DARI PEWAHYUAN PROGRESSIF MENUJU TAFSIR PEMBEBASAN: Telaah atas Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack Iswahyudi Konsenterasi Pemikiran Islam Program Doktor PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya, Jl. A. Yani 117 Surabaya, email:
[email protected]
Abstract: Polytheism and unjust social power haven been conceptually rejected by the Qur’an. Unfortunattely, its religious message is not properly understood by many Moslem scholars. They interpret it to legitimate their own interests which are sometimes contradictory to the spirit of the Qur’an. This phenomenon happens in South Africa. Farid Esack, a Muslim intellectual in this region, proposes to read the Qur'an in different direction, namely to deconstruct reading which is according to him perpetuate political interest and oppression. Esack critically reconstructs tafsir-method of the Qur'an for the purpuse of liberating Moslems. To do so, he proposes the interpretation concept which is based on some principles and key words of the Qur'an. His concern of liberating Moslems is transparent in his hermeneutical endeavour. For that reason discussing Esack’s hermeneutics is still significant and relevant to the discourse on current Qur’anic studies. Esack’s proposals are elucidated in this article.
77
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
78
Keywords: apartheid, wahyu progressif, tafsir pembebasan, kunci penafsiran PENDAHULUAN Al-Qur’an adalah kitab suci yang menurut Komaruddin Hidayat memiliki dua karakter; yaitu karakter sentrifugal dan karakter sentripetal.1 Karakter pertama adalah karakter al-Qur’an yang membuka ruang penafsiran bagi siapapun yang membacanya. Al-Qur’an menyediakan dirinya untuk ditafsiri dengan varian yang beragam. Sementara karakter yang kedua, al-Qur’an selalu menjadi ruang kembali dari setiap penafsiran. Oleh karena itu, setiap implikasi dan tindakan yang dilakukan seringkali direferensikan untuk membela al-Qur’an. Dua wilayah seperti inilah yang acapkali dalam setiap tindakan, entah berupa tindakan destruktif atau penentangnya selalu “merasa” dipayungi oleh al-Qur’an.2 Pemahaman atas kitab suci tidak bisa dilepaskan dari intensi, kondisi kejiwaan, audiensi, pengalaman, kondisi sosial dan ideologi subjek penafsir. Pluralitas modus yang memayungi penafsir tersebut adalah wilayah yang bisa diteliti dan juga dikritisi. Karena bisa diteliti dan dikritisi berarti ia bisa masuk dalam wilayah ilmu pengetahuan manusia. Sebagai ilmu, pemahaman atas kitab suci, karena itu, selalu terbuka untuk perubahan. Pengandaian pemahaman kitab suci bukan sebagai proses keilmuan akan mengantarkan pada dogmatisme agama. Pada sisi lain, pemahaman seperti ini akan mengantarkan pada pencarian Fundamental values kitab suci yang bisa berguna bagi perbedaan dan dialektika kehidupan manusia. Fundamental values, menurut penulis, bisa diteliti berdasarkan pencarian paradigma kitab suci secara holistik dan sejarah kenabian Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996),
1
15.
Ibid.
2
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
79
pada umumnya dan sejarah Muhammad pada khususnya.3 Pembacaan kitab suci yang keluar dari paradigma al-Qur’an serta konteks sejarah kenabian layak untuk ditelaah ulang. Inilah agaknya yang menjadi konsentrasi serius pemikir organik dari Afrika Selatan Farid Esack. Farid Esack, dengan pengalaman pribadi di negaranya sendiri dan di Pakistan, melihat kontradiksi mendalam antara idealitas kitab suci dengan praktik keberagamaan penganutnya. Pertanyaan besar Farid Esack adalah kenapa, atas nama Islam, sebagian penganut agama Islam mengucilkan penganut agama lain? Kenapa, atas nama Islam, sebagian pemeluk Islam tidak menghargai perempuan? Serta kenapa agama Islam yang ceritanya membela kelompok miskin dan terlemahkan tidak bisa menjadi kekuatan pembebas dari ketertindasan, diskriminasi dan kemiskinan? Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, Farid Esack dalam berbagai tulisannya, memberi perspektif lain dalam penafsiran kitab suci. Ia menawarkan hermeneutika yang berfungsi untuk mendialektikakan antara teks kitab suci dengan pengalaman kemanusiaan. LATAR KULTURAL FARID ESACK Afrika Selatan, tempat Farid Esack dilahirkan dan dibesarkan, adalah wilayah dengan pluralitas agama. Di Wynberg dan Bouteheuwel banyak ia jumpai tetangga Kristen di rumah dan di sekolah. Di wilayah ini pula kelompok-kelompok suku asli San, Khoikhoin, dan Nguni dengan aneka kepercayaan tinggal. Walau ketiga suku tersebut disebut sebagai penduduk asli, tetapi lama-kelamaan suku Nguni yang berprofesi sebagai petani dan peternak sapi menguasai populasi penduduk di Afrika Selatan. Oleh karena itu, bila disebut warga Afrika Selatan maka yang dimaksud adalah suku Nguni terseIbrahim misalnya merupakan cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala; Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme; dan Isa adalah contoh revolusi roh atas dominasi materialisme; maka Muhammad merupakan teladan kaum papa, hamba sahaya dan komunitas tertindas yang berhadapan dengan para konglomerat, elit Quraisy dan gembong-gembongnya dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih sayang, persaudaraan dan egaliter. Karena ini Nabi Muhammad pernah menjadi anggota aktif dari Hilfu al-Fudūl, organisasi pembela kelompok miskin Arab. Lihat, Asghar Ali Engineer, Islam and Its Relevance to Our Age (Kuala Lumpur: Ikraq, 1987), 3. 3
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
80
but. Pada akhir abad kedelapan belas, orang-orang belanda (datang pada tahun 1652) dan Inggris (datang pada tahun 1795) membentuk komunitas kulit putih di Afrika Selatan. Komunitas inilah pada periode-periode berikutnya menjadi dominan dan bersikap rasial hingga memunculkan rezim Apartheid.4 Komunitas kulit putih inilah yang berkuasa di Afrika Selatan, termasuk di Cape pada saat Farid Esack dilahirkan. Ia dilahirkan di komunitas Muslim awal ini, Cape, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga miskin pada tahun 1959.55 Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal.6 Tahun 1974, Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya.7 Di Pakistan, Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jāmi’ah alUlūm al-Islāmiyyah, Karachi.8 Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan apartheid. Selama di tanah airnya ini, Esack bersama beberapa temannya semasa di Pakistan, Ebrahim Rosool, membentuk organisasi politik keagamaan, The Call of Islam dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack berkeinginan dan berjuang keras untuk menemukan formulasi Islam khas Afrika Selatan, berdasarkan pengalaman penindasan dan upaya pembebasan yang disebutEsack, Al-Qur’an, Liberasi, 45. Bonteheuwel adalah suatu daerah yang sangat tandus di negeri itu dan dengan sengaja disisihkan sebagai tempat pemukiman bagi orang kulit hitam, kulit berwarna, dan keturunan India. Ibid., 2. 6 Simon Dagut, Profile of Farid Esack , http://www.Home page Farid Esack.com, 4. 7 Ibid., 5. 8 Ibid. 4 5
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
81
nya sebagai a search for an outside model of Islam.9 Tahun 1990, Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jamī’ah Abī Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations [CSIC]) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies dengan desertasi berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression.10 Masa kecil Esack adalah masa kecil yang menyedihkan. Ia telah ditinggal oleh ayahnya. Ibunya harus berperan ganda sebagai ayah sekaligus ibu untuk enam anaknya, termasuk Esack. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak jarang ia mengais-ngais sisa makanan orang lain. Walau begitu, niat Esack dalam pendidikan tidak pernah surut. Hal yang membuat dirinya tidak lupa adalah ketika ia melihat ibunya menjadi korban pemerkosaan. Peristiwa ini menggugah Esack bahwa berteologi sesungguhnya bukanlah hanya “mengurusi” Tuhan dan bercerita tentang surga dan neraka. Berteologi yang hanya mengurusi Tuhan adalah teologi mubadzir, karena Tuhan tidak perlu diurusi. Teologi harus diarahkan pada praksis bukan digenggam erat untuk tujuan kesalehan individual. Membela manusia, sama dengan membela Tuhan.11 BERBAGAI PEMBACAAN AL-QUR’AN Sebelumnya, Esack menjelaskan berbagai pembacaan atas al-Qur’an. Ia membaginya ke dalam dua garis. Garis pembaca internal dan garis pembaca eksternal. Garis pembaca internal dikelompokkan menjadi tiga, yaitu; orang Islam awam, ulama konfessional dan ulama kritis. Sedangkan dari garis dunia luar terdiri dari pecinta polemik, revisionis (pengamat yang tidak berkepentingan) dan pengamat partisan. Pada garis pembaca internal, kelompok orang Islam awam Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2 (1991), 215, 10 Dagut, Profile of Farid Esack, 4. 11 Wawancara dengan Farid Esack dalam /http//www.tempo.co.id. 9
82
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
digambarkan oleh Esack sebagai kelompok pembaca al-Qur’an sebagaimana seorang pemuda yang jatuh cinta secara buta, suatu pembacaan pasrah tanpa pertanyaan. Sikap pembacaan lain atas al-Qur’an dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan. Sementara pada level kedua, kelompok ulama konfessional adalah kelompok ulama yang apologetik dan fanatik. Masuk kelompok ini dalam pandangan Esack adalah tokoh Abul A’la al-Maududi dan Binti Syãthi. Setiap apapun temuan baru dari luar Islam dijawab oleh kelompok ini dengan mengatakan bahwa semuanya telah terangkum dalam al-Qur’an. Ibarat orang yang jatuh cinta, ia adalah pemuda yang tidak mau kekasihnya dianggap kurang sempurna oleh orang lain. Sedangkan pembaca terakhir dari garis internal adalah pembaca kritis. Yaitu pembaca yang selalu bertanya kepada al-Qur’an bahkan pertanyaan-pertanyaan ontologis, pertanyaan tentang hakekat kehadirannya. Pertanyaan kritis tidak dimaksudkan sebagai upaya menjauhkan dirinya dari al-Qur’an tetapi justru diniatkan untuk mendekat. Ibarat orang yang jatuh cinta, pecinta kritis mempertanyakan banyak hal tentang kekasihnya seolah-olah ia bukan orang yang dicintainya. Masuk dalam jajaran pembaca kritis ini adalah Fazlur Rahman, M. Arkoun dan Abu Zayd.12 Esack mengapresiasi pembacaan terakhir atas al-Qur’an yaitu pembaca kritis. Al-Qur’an oleh kelompok ini dianggap sebagai teks biasa. Sebagai teks biasa, pembacaan atasnya harus menimbang realitas dan budaya sebagai fakta empiris yang memengaruhinya.13 Sebagai karya berbahasa Arab, al-Qur’an adalah sebuah teks. Karena itu, budaya Arab ikut menentukan atas makna tersebut. Di sinilah perlu kritisisme ketika akan menggunakan teks itu dalam wilayah dan kultur yang berbeda dengan Arab. Kelompok kritis juga mempertanyakan klaim objektifisme pembacaan al-Qur’an. Bagi mereka, tidak ada sesuatu yang netral. Pembacaan al-Qur’an adalah upaya ruang subjektifitas bermain. Mengutip Abu Zayd, Esack menjelaskan bahwa banyak orang melihat al-Qur’an hanya sebatas nilai 12 Farid Esack, Samudera al-Qur’an, terj. Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press, 2007), 15-19. 13 Nasr Hamd Abu Zayd, Mafhūm al-Nās, Dirāsah fi Ulūm al-Qur’ān (Kairo: alHay’ah al-Mis}riyyah al-’Ammah li al-Kutu>b, 1993), 27.
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
83
estetis atau hanya sekedar doa-doa dan hukum, bahkan ada yang memandang al-Qur’an sebagai teks yang mengintimidasi.14 Esack agaknya sepakat dengan Abu Zayd tentang pentingnya pembacaan yang produktif (al-Qirā’ah al-Muntijah) dan menghindari tafsir ideologis (al-Qirā’ah al-idiulujiya atau al-Qirā’ah al-Mughridah).15 Dari sini dapat dilihat bahwa Esack, walau tidak dijelaskannya sendiri, termasuk sebagai pembaca kritis dalam garis internal. Implikasi pembacaan kritis ini dapat dilihat pada pemaknaan yang diberikan Esack atas al-Qur’an melampaui makna-makna literal teks dan tradisi kebahasaan pada umumnya. Ia melompat jauh pada mainstream kemanusiaan universal seperti pemaknaan tawhīd yang diarahkan untuk ketiadaan stratifikasi manusia. Menganggap orang lain lebih rendah, perilaku kapitalisme dan mengakui rasialisme adalah bagian perlawanan atas tawhīd. Pelakunya, bagi Esack, bisa dianggap sebagai mushrik. Sementara itu, pada garis luar, terdapat tiga kelompok yaitu; pembaca partisipan, revisionis dan pembaca polemik. Yang pertama, pembaca partisipan adalah pembaca orang luar secara kritis. Ia mempertanyakan aspek-aspek yang telah baku diyakini oleh pemeluknya. Hampir sama dengan pembaca kritis, permbaca partisipan ini juga mempertanyakan hal-hal ontologis, seperti bagaimana kemungkinan hubungan Tuhan dengan Muhammad dan bagaimana proses turunnya wahyu dan lain sebagainya. Seberapa besar historisitas kemanusiaan terlibat dalam formasi tekstualitas al-Qur’an. Wilfred Cantwell Smith (dimensi spritual wahyu) dan Montgomery Watt (dimensi sosiologis wahyu) adalah dalam katagori kelompok pertama ini. Bahkan pada saat-saat tertentu, pembaca partisipan mempertanyakan keabsahan Muhammad menjadi Nabi.16 Kelompok revisionis, sebagai kelompok nomor dua dari gaEsack, Samudera al-Qur’an, 19. Zayd, Mafhūm al-Nās, 22. Abu Zayd dalam studi hermeneutika kontemporer bisa dikelompokkan sebagai penganut hermeneutika kritis. Yang melihat selabut ideologis dalam setiap praktik penafsiran. Hermeneutika menurut Bleicher dibagi menjadi tiga yaitu hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Lebih lengkap dalam Josef Bleicher. Contemporary Hermeneutics, Hermeneutic as Method, Philosophy and Critique (London, Boston and Henley: Routledge Kegan Paul, 1980). 16 Esack, Samudera al-Qur’an, 22. 14 15
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
84
ris luar, menganggap dirinya tidak memiliki kepentingan apa pun dalam membaca al-Qur’an. Kelompok ini menekankan penelitian kritis terhadap al-Qur’an serta catatan Muslim sejak permulaan, dan perlunya membandingkan catatan ini dengan sumber-sumber di luar Muslim. Kelompok ini juga mementingkan penggunaan bukti-bukti material kontemporer yang diambil dari semacam arkeologi dan geneologi. Tidak jarang, kelompok ini menegaskan bahwa komunitas Muslim adalah komunitas yang terbentuk dari adaptasi agama Judeo-Kristiani. Bahkan kelompok ini mengatakan bahwa Islam adalah “anak haram” dari agama Yahudi. Muhammad karena itu, tidak lain adalah messianis dari agama Yahudi. Masuk dalam kelompok ini intelektual seperti John Wansbrough.17 Sementara kelompok terakhir adalah pembaca pencinta polemik. Pembaca terakhir ini seringkali membawa asumsi-asumsi yang telah dimiliki untuk menjustifikasi argumen tentang al-Qur’an. Ia selalu menyalahkan atas apa yang dibangun oleh al-Qur’an, bahkan kadang-kadang ia merasa terancam dengan keberadaan al-Qur’an. Esack tidak menyebut siapa tokoh di balik kelompok ini, tetapi Esack menjelaskan bahwa kadang-kadang dua kelompok sebelumnya masuk dalam katagori pembaca pencinta polemik.18 Dalam mengomentari pembaca dari garis luar, Esack bersikap terbuka dan tidak apolegetik. Esack sadar bahwa ia harus banyak mendengar, baik dari orang yang berbeda maupun yang sependapat. Namun, ia memposisikan sebagai pendengar yang kritis. Kecurigaan sejauh mungkin dihindari. Esack memagari diri sikap kritisnya dengan asumsi bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar netral. Selalu saja ada kepentingan dibalik sebuah tafsir. Lebih dari itu, setiap pembaca atau mufassir selalu dilingkupi oleh sejarah kelas, gender, ras dan periode tertentu. Dengan sadar Esack ingin menjadikan Islam yang sesuai dengan Muslim Afrika Selatan. Karena itu, warisan Muslim Afrika Selatan mulai awal kedatangan hingga Ibid., 23-24. Ibid., 24.
17 18
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
85
Esack hidup dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menjelaskan makna al-Qur’an.19 Pemikiran Esack koheren dengan apa yang diungkap oleh Karl Mannheim bahwa seorang individu (pembaca) tidak mungkin membangun gagasan-gagasan sendiri. Perspektif gagasan individual sebenarnya merupakan produk keadaan sosial. Dan karena suatu pemikiran ditentukan secara sosial, maka kita tidak perlu mencacimaki ”kepalsuan”. Apa yang disimpulkan oleh suatu teori mungkin sungguh-sungguh berasal dari produk kepentingan kelas tertentu.20 Dalam perspektif hermeneutika, model pembacaan Esack dapat dikatagorikan sebagai model hermeneutika kritis, yaitu sebuah pembacaan yang tidak hanya terpaku pada bahasa, tetapi lebih dari itu mencari unsur di balik bahasa tersebut. Ia bisa berarti kepentingan kekuasaan, afirmasi atas ideologi dominan atau gejolak jiwa penafsir. Asbāb al-nuzūl al-Qur’an dalam pembacaan kritis memiliki dua sisi; yaitu sisi spesifik dan sisi universal. Sisi spesifik adalah aspek yang melatari ayat al-Qur’an dalam kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulullah bersama sahabatnya seperti turunnya ayat yang mengharamkan khamr atau surat al-Ma>u>n. Sementara sisi universal adalah sebab umum kondisi sosial masyarakat Arab pada waktu itu. Kondisi sosial penting dilihat karena kehadiran al-Qur’an adalah respon atas watak dan perilaku masyarakat Arab secara umum, seperti sistem kapitalisme, perbudakan, hegemoni kelompok yang kuat, gemar berkelahi dan lain sebagainya. Bila sisi spesifik asbāb al-nuzūl terjadi hanya sekali, maka sisi universal bisa bersikap kontekstual sesuai dengan wilayah dan kondisi sosio kultural al-Qur’an dimalkan. Pembacaan yang hanya melihat asbāb al-nuzūl spesifik biasanya terpaku pada makna literal teks. Objek pembacaannya terpaku pada bahasa. Sementara asbāb al-nuzūl universal menjadikan bahasa sebagai pintu masuk dan meneliti unsur-unsur lain disekitar bahasa seperti ideologi dan relasi kuasa yang ada dalam masyarakat. SeIbid., 27. A. Faridl Ma’ruf, “Perihal Ideologi, Pengertian, Fungsi dan Kritiknya” dalam Jurnal Filsafat Potensia, Edisi Khusus Januari 2003, 93. 19 20
86
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
perti inilah cara pembacaan al-Qur’an dalam hermeneutika kritis sebagaimana dilakukan oleh Esack. Tipologi yang ia buat sesungguhnya diarahkan untuk suatu orientasi pembacaan kritis yang ia inginkan yaitu pembacaan pembebasan. Berikut adalah gambaran tipologi Esack tersebut.
TAFSIR PEMBEBASAN Tafsir pembebasan Esack diawali dari beberapa prinsip dasar. Prinsip dasar ini sebagai pondasi rasionalitas atas apa yang akan dibangun oleh Esack tentang penafsiran al-Qur’an. Prinsip pertama, pewahyuan al-Qur’an menggambarkan bahwa Tuhan adalah Zat Maha Transenden yang aktif dalam urusan dunia dan umat manusia. Ia adalah pewahyuan progresif. Salah satu tanda keaktifan Tuhan adalah dengan mengutus nabi-nabi sebagai instrumen pewahyuan progresif tersebut. Prinsip tadrīj (berangsur-angsur dalam penetapan hukum) adalah cerminan intraksi kreatif-progresif antara kehendak Tuhan, realitas di bumi dan kebutuhan komunitas untuk direspon. Progresifitas kewahyuan ini ditandai dengan; pertama, pengakuan al-Qur’an bahwa dirinya adalah tuntunan kese-
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
87
harian (QS. al-Isra': 106).21 Kedua, Islam muncul di tengah-tengah perjuangan nabi-Nya, Muhammad. Muhammad juga pada saat yang sama membutuhkan al-Qur’an sebagai pelipur lara dan dukungan moral atas perjuangan yang dilakukan.22 Prinsip kedua, al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbāb annuzūl (sebab-sebab yang melatari wahyu diturunkan). Sebab ini dalam tradisi hermeneutika kontemporer dibagi menjadi dua; sebab yang bersifat umum dan sebab yang bersifat khusus. Sebab yang bersifat umum adalah kondisi masyarakat pada saat Nabi diutus yaitu penindasan kelompok yang kuat atas yang lemah, kapitalisme pembesar-pembesar Quraisy dan juga rasialisme perbudakan. Sedangkan sebab-sebab khusus adalah sebab spesifik atas ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an. Prinsip ketiga, perdebatan tentang teori naskh23 seharusnya dilihat dalam perspektif yang progresif, yaitu adanya fakta situasional al-Qur’an. Seluruh wahyu maupun ayat-ayat khusus pada umumnya diturunkan dalam konteks kondisi sosial tertentu. Ketika masyarakat Muslim mulai terbentuk, pewahyuan al-Qur’an pun mengikuti perubahan kondisi dan lingkungannya. Hal ini bisa dilihat pada kasus pengharaman alkohol. Pada periode Makkah, al-Qur’an menyebut alkohol setara dengan rahmat Tuhan lain seperti susu dan madu (QS. al-Nahl: 66-69). Di Madinah, ada sebagian orang yang menginginkan alkohol diharamkan. Lalu turun QS. al-Baqarah: 219. setelah berpesta di sebuah rumah di Madinah, beberapa orang benar-benar mabuk dan ketika seorang di antara mereka memimpin shalat pada malam harinya, ia salah mengucapkan kalimat tertentu dalam al-Qur’an. Ketika hal ini dilaporkan kepada Muhammad turunlah QS. al-Nisa': 43. Setelah beberapa lama, di pesta lain muncul 21 “Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” 22 Esack, Al-Qur’an, Liberasi, 87. 23 Sayyid Ahmad Khan (w.1898) dan Ismail al-Faruqi (w.1986) menolak teori naskh. Mereka berpendapat bahwa wahyu-wahyu yang turun sebelumnya dalam situasi tertentu dan yang diubah atau diperbaiki kemudian, tidaklah benar-benar dibatalkan. Daripada menganggap bahwa yang sebelumnya itu dibatalkan oleh yang datang setelahnya, lebih tepat jika memandangnya tetap sah untuk diterapkan dalam kondisi yang serupa dengan saat turunya wahyu tersebut. Ibid., 91.
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
88
keributan pada saat beberapa orang meneriakkan puisi jahiliyah kepada suku musuhnya. Menanggapi peristiwa itu, al-Qur’an diturunkan melalui QS. al-Maidah: 90-91.24 1. Tiga Unsur Intrinsik Memahami Teks Sebagai pewahyuan progresif, al-Qur’an adalah teks yang di dalam dirinya adalah “terbuka” dengan berbagai kemugkinan pemahaman. 25 Karena itu, Esack milhat tiga unsur instrinsik dalam proses memahami teks. Pertama, penafsir hendaknya masuk dalam alam pikiran yang dikehendaki Tuhan. Cara ini diambil dari gaya mistik Islam. Dalam dunia mistik terdapat kolaborasi mendapatkan pengetahuan, yaitu metodologi kesalehan yang digabungkan dengan ilmu pengetahuan untuk melahirkan makna. Tuhan adalah Zat Transenden yang kreatif, Ia selalu hadir dalam proses kemanusiaan. Oleh karena itu, Tuhan juga berperan langsung dalam pemahaman teks, sedangkan Muhammad adalah kunci dalam melahirkan teks. Jika Rahman menjelaskan bahwa teks dapat digali oleh “pikiran murni”, maka problem lebih penting sesungguhnya lebih dari itu, yaitu bagaimana menerapkan penggalian dari “pikiran murni” tersebut pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.26 Esack, Al-Qur’an, Liberasi, 92. Nasr Hamid Abu Zayd memberi dua pengertian tentang teks al-Qur’an. Pertama, terlepas dari sumber ilahiahnya, teks al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem kebahasaan kolektif yang melatarinya, yaitu bahasa Arab, terutama dalam penggunaan historisnya di Jazirah Arab abad 6 M. Kedua, dalam pada itu, teks al-Qur’an sebagai pengungkapan individual (parole/kalam) dari sistem kebahasaan kolektif (langguage/ lughah), bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melankan teks yang mampu menciptakan sisttem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang dari bahasa induknya, tetapi juga mengubah dan mentransformasikannya. Dari dua pengertian di atas, Abu Zayd membedakan –bukan memisahkan- dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan interaksi dan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya. Pertama, fase ketika teks alQura’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya. Fase ini disebut dengan marhalah at-tashakkūl. Kedua, fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induknya, dan yang kemudian menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan lain. Fase kedua ini disebut dengan marhalah at-tashkīl. Lihat Nas}r H{amd Abu> Zayd, Mafhūm al-Nās, 24-25. 26 Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (London: One World Oxford, 1997), 12. 24 25
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
89
Kedua, penafsir adalah manusia yang memikul banyak beban. Beban itu adalah pra pemahaman yang telah dipikulnya serta anganangan masa depan yang diharapkan. Di pihak lain, ia tidak bisa melepaskan dari hal-hal masa saat ini. Pra pemahaman itu adalah tradisi, pengalaman, budaya dan bahasa yang telah tertanam dalam pikiran. Sementara masa depan adalah angan-angan yang diimpikan. Penafian aspek ini akan menyebabkan campur baurnya antara Islam normatif dengan Islam yang “dipikirkan” oleh pemeluknya.27 Ketiga, penafsiran tidak bisa dilepaskan dari bahasa, sejarah dan tradisi.28 Makna kata selalu dalam proses terus menerus. Makna tauhid, takwa dan jihad misalnya dalam al-Qur’an tidaklah mesti dimaknai dengan sesuatu yang bersifat teologis, tetapi bisa dimaknai dalam perspektif antroposentris. Bila tauhid misalnya pada periode awal dimaknai sebagai lawan dari kemushrikan, maka pada konteks negara atau komunitas mengalami proses rezimentasi despotik seperti kezaliman apatheid adalah lawan dari primordialisme kelompok dan golongan. Tauhid dalam arti ini diorientasikan untuk pembelaan manusia. 2. Kunci-Kunci Penafsiran Penggunaan hermeneutika untuk kepentingan pembebasan adalah sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu keterkaitan antara teks, kontek, pembaca sebagai penopang hermeneutika dan tindakan praksis pembaca menjadi tidak terelakkan. Dalam hermeneutika muslim awal dalam bentuk tafsir dan ta’wil memiliki beberapa kelemahan. Tafsir adalah hermeneutika klasik yang memiliki keterputusan hubungan antara penafsir dengan realitas konkrit. Ta’wil sebenarnya memiliki keterkaitan, hanya saja keterkaitannya hanya sebatas pada realitas metafisik. Sementara itu, hermeneutika yang diintrodusir oleh intelektual kontemporer belum menusuk pada jantung pembebasan. Ibid., 75. Ibid., 76. Lihat juga Zakiyuddin Baidhawy, “Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an Farid Esack” dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 203-204. 27 28
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
90
Diagram Pembandingan Hermeneutika
Implikasi dari tafsir pembebasan adalah adanya kunci-kunci penafsiran. Kunci-kunci tersebut diambil dari terma-terma penting yang diambil dari al-Qur’an seperti, taqwā (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhīd (keesaan Tuhan), al-nās (manusia), al-mustad’afûn fi al-ard (yang tertindas di bumi), adl and qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihād (perjuangan dan praksis).29 Kita akan mengurai bagaimana terma-terma tersebut dioleh oleh Esack menjadi terma penting dalam hermeneutika praksis liberatif. Pertama, taqwā adalah sistem etika paling inklusif yang digunakan al-Qur’an dan paling banyak dimunculkan. Maknanya sangat komprehensif dalam menyatukan tanggungjawab baik kepada Tuhan maupun manusia. QS. al-Lail: 4-10 dan al-Hujurat: 13 adalah buktinya. Al-Qur’an menegaskan perlunya suatu komunitas atau individu untuk melengkapi diri dengan takwa, demi melanjutkan tugas para nabi dalam melakukan transformasi dan pembebaIbid., 83.
29
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
91
san QS. Ali Imran: 102-105. Menurut al-Qur’an, komitmen kepada Makhluk Tuhan adalah bagian dari komitmen terhadap Tuhan. Taqwā inilah yang membentengi para intelektual organik dari nafsu duniawi dalam melakukan pembebasan.30 Kedua, tauhīd memiliki arti “satu” atau “yang menyatu”. Tauhīd adalah pondasi, pusat dan akhir dari seluruh tradisi Islam. Sebagaimana taqwā, tauhīd adalah komponen penting prapemahaman sekaligus prinsip penafsiran. Di tingkat eksistensial tauhīd adalah adalah penolakan terhadap konsep dualisme eksistensi manusia, yaitu yang sekular dan yang spritual, yang sakral dan yang profan. Di tingkat sosiopolitik, tauhīd menentang pemisahan manusia secara etnis. Pemisahan ini disejajarkan dengan syirik, antitesis dari tauhīd. Praktek rasialisme Apartheid dalam kerangka ini adalah praktek syirik. Memandang tauhīd sebagai prinsip hermeneutika berarti bahwa berbagai pendekatan kepada al-Qur’an, baik filosofis, spritual, hukum maupun politis, mesti dilihat sebagai komponen dari satu jalinan.31 Ketiga, al-Nās. Nās dimaknai sebagai kelompok sosial. AlQur’an meletakkannya dalam suatu “dunia tauhīd di mana Tuhan, manusia dan alam menampilkan harmoni yang penuh makna dan tujuan”. Amanat Tuhan diletakkan secara ekslusif di atas pundak manusia. (QS. al-Ahzab: 72). Amanat ini mengangkat derajat materi ke taraf lebih tinggi sebagai pemelihara kehidupan di bumi dan juga sebagai wakil-Nya (QS. al-Hijr: 29). Manusia dibela oleh Tuhan ketika malaikat menolak atas penciptaannya (QS. al-Baqarah: 31). Dalam konteks politik, kekuasaan rakyat adalah lebih utama dari pada kekuasaan kelompok ras tertentu. Esack melihat ada dua implikasi dari fungsi manusia yang mulia tersebut dalam ranah hermeneutika. Pertama, al-Qur’an haruslah ditafsiri dengan memberi tekanan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan dan mendukung mayoritas. Kedua, penafsiran mesti dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi manusia mayoritas bukan pada kelompok minoritas yang diistimewakan. Ibid., 126. Ibid., 130.
30 31
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
92
Keempat, mustad’afūn. Mereka adalah orang yang tertindas, dianggap lemah dan tidak berarti serta yang diperlakukan secara arogan. Mustadh’afūn berarti mereaka yang berada dalam status sosial inferior, yang rentan, tersisih atau tertindas secara sosioekonomis. Al-Qur’an sebenarnya menyebut mereka dalam karakter demikian dengan berbagai kata seperti arādzil (yang tersisih),32 fuqarā’ (fakir) dan masākīn (orang miskin), namun yang membedakan dengan kata mustad’afūn adalah bahwa yang terakahir ada suatu pihak yang tertanggungjawab terhadap kondisi mereka. Seseorang bisa menjadi mustad’af bila ada kebijakan dari pihak yang berkuasa dan arogan terhadap mereka. Orang atau kelompok yang menindas adalah mustakbirūn (orang yang arogan, sombong dan menindas). Kelima, Qisth dan adl. Dua kata ini merujuk pada makna sama, yaitu keadilan, berlaku adil dan sama. Keadilan digambarkan oleh Tuhan sebagai keteraturan semesta (QS. al-Jathiyah" 22). Orangorang yang berjuang dan mati karena memperjuangkan keadilan dianggap sebagai mati “di jalan Allah” (QS. Ali Imran: 20). Kondisi sosial ekonomi yang tidak merata, akses politik yang timpang serta tidak ada pembagian merata antar ras, suku dan budaya adalah lawan dari keadilan. Untuk upaya ini, Al-Qur’an menegaskan agar manusia menjadi “saksi” Tuhan bagi keadilan (QS. al-Nisa': 135).33 Keenam, jihād. Secara harfiah, jihād berarti “berjuang”, “mendesak seseorang” atau “mengeluarkan energi atau harta”. Jihād memiliki makna lebih luas mencakup perjuangan untuk mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum. Berbagai ayat yang berbicara jihād seperti QS. al-Nisa': 90, al-Furqan: 52, al-Taubah: 4 dan lainlain. Esack menerjemahkan jihād sebagai “perjuangan untuk praksis. Praksis menurutnya didefinisikan sebagai tindakan sadar yang diambil suatu komunitas manusia yang bertanggungjawab atas tekat politiknya sendiri. Al-Qur’an mendasarkan teori juga berdasarkan praksis seperti dalam QS. al-Qashash: 29.34 QS. Hud: 27. Esack, Qur’an Liberation, 141-144. 34 “Orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami.” 32 33
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
93
CATATAN KRITIS Tafsir pembebasan Farid Esack, melalui prinsip-prinsip dan kata kunci yang diperkenalkannya memiliki beberapa problem. Di antaranya adalah; Pertama, Farid Esack merekonstruksi status ontologis penafsir. Baginya, penafsir hendaknya masuk dalam ruang pikiran Tuhan. Pernyataan ini mengandung masalah. Bagaimana seseorang masuk dalam pikiran Tuhan, sementara Tuhan mengatasi berbagai konteks dan situasi. Maksud Tuhan seringkali terejuwantah dalam pluralitas makna. Dengan asumsi bahwa seseorang bisa mengenali pikiran Tuhan, maka seseorang akan terjerembab pada monolisme pemahaman. Hal ini akan berpotensi pada pengakuan kebenaran dirinya serta menafikan kebenaran orang lain. Tuhan dimaknai sebagai Maha Kreatif akan ditemukan titik koherensinya bila pembelaan Tuhan terhadap orang-orang miskin dan marjinal dipahami sebagai pembelaan tiada henti. Masuk dalam pikiran Tuhan dalam katagori penafsiran ini akan mengantarkan pula pada tafsir pembebasan semu. Yaitu seolah-olah membela kelompok miskin, atas nama Tuhan, tetapi justru mengeksploitasinya sebagaimana konsep hegemoni Gramsci35 atau kekerasan simboliknya Bourdeu.36 Walau Esack telah memagari praktek ini dengan kata kunci taqwā, tetapi konsep taqwā adalah konsep abstrak. Ia butuh penerjemahan dalam tataran nyata yang bisa dibuat indikasinya. Kedua, katagori-katagori apa yang digunakan oleh Farid Esack ketika merumuskan kata kunci penafsirannya menjadi seperti itu. Kenapa misalnya, ia tidak memasukkan prinsip īmān dan kufr, sebuah tawaran yang diusung oleh Asghar Ali Engineer.37 Artinya, kata kunci-kata kunci yang digunakannya sebagai paradigma al-Qur’an masih debatable. Subjektifitas pengalaman Esack dalam perspektif ini sangat dominan.
35 Antonio Gramsi, Selections from the Prison Notebooks (New York: Internationale Publisher, 1976). 36 Pierre Bourdiew and Jean Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture (London: Sage Publication, 1977). 37 Ali Asghar Engineer, Islam and Revolution (New Delhi: Ajanta Publication, 1984), 29.
94
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
Ketiga, tafsir pembebasan Esack menuntut adanya seorang penafsir organik. Artinya seseorang yang tidak saja menafsirkan kitab suci untuk membela kelompok miskin dan marjinal, tetapi ia harus terjun ke ranah empiris langsung untuk melakukan pembelaan kepada mereka. Bagi Esack barangkali tidak menjadi problem, karena ia di samping menciptakan teori ia juga pelaksana pembebasan masyarakat Islam dari kuasa rezim Aparheid. Penafsir organik akan semakin sulit dicari kader penerusnya untuk masyarakat Muslim mayoritas seperti di Indonesia misalnya. Hal ini terjadi karena sudah terpolarisasinya keilmuan seseorang dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan. Pejuang LSM misalnya, bukanlah seorang ahli tafsir, atau sebaliknya seorang Kiai yang ahli tafsir tidak terjun dalam heroisme pembelaan kaum miskin. Esack agaknya tidak mengantisipasi kelangkaan penafsir organik ini dan bagaimana langkah-langkah menemukan kader. Apa melalui pendidikan atau yang lainnya? Keempat, membicarakan tafsir tidak bisa lepas dari problem yang berkaitan dengan status ontologis teks seperti yang dibahas oleh Arkoun38 atau Fazlur Rahman.39 Bagaimana teks kitab suci sampai kepada kita dari Allah yang Transenden kurang dibicarakan oleh Esack. Padahal untuk merubah paradigma berpikir hingga sampai pada praksis pertama-tama yang harus dirubah adalah pemahaman tentang status ontologis teks tersebut. Karena itulah hampir semua ulama kontemporer selalu memulai perbincangan kritik tafsir dari aras ini. Namun, tafsir atau hermeneutika al-Qur’an Farid Esack memiliki signifikansi yang penting pada saat sekarang untuk dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Seperti telah maklum, kegagalan ideologi-ideologi besar seperti komunisme, kapitalisme dan demokrasi mendorong kelompok Islam garis keras seperti Jama’ah Islamiyah, FPI, HTI, Ansharut Tauhid dan organisasi-organisasi semisal menawarkan ideologi alternatif, yaitu Islam. Islam bagi kelompok Islam garis keras ini adalah agama sekaligus 38 Mohammad Arkoun, Rethingking Islam Today (Washington: Center for Contemporary Arab Studies, 1987), 8-10. 39 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1-11.
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
95
negara. Kegagalan ideologi-ideologi tersebut disebabkan karena negara tidak menjalankan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan pada faktanya, hal ini mustahil. Agama bisa dijalankan secara kaffah, menurut kelompok Islam garis keras, bila negara tempat bernaungnya adalah negara Islam. Karena alasan ini, mereka memperjuangkan ide khilāfah Islāmiyah, suatu negara Islam yang menurut mereka dibangun atas sistem khilāfah. Dalam usaha perjuangan ini tidak jarang mereka menggunakan cara-cara kekerasan dan destruktif. Tawaran ideologi Islam sebenarnya mengandung banyak anomali, seperti model khilāfah seperti apa dan watak pemimpin seperti apa yang mereka idealkan karena posisi Nabi Muhammad sendiri masih menjadi perdebatan apakah sebagai pemimpin negara atau pemimpin keagamaan murni serta bagaimana rasa kenyamanan masyarakat akan dibangun ketika mereka berkuasa, padahal belum memiliki kekuasaan saja mereka sudah bersikap destruktif. Lebih dari itu, dalam perspektif hermeneutika, landasan normatif yang mereka jadikan argumen belumlah mencapai derajat “kepastian”. Ia hanyalah tafsir dan pemahaman yang masih memungkinkan pemahaman lain di luar kelompok mereka. Tawaran Esack, menurut penulis, bisa menjadi alternatif bagi kebuntuan ideologi-ideologi tersebut yaitu perlu adanya penafsirpenafsir organik yang memahami agama secara substansial. Bentuk negara harus disesuaikan dengan kondisi kebangsaan. Hanya saja tema-tema al-Qur’an tentang keadilan, pembebasan, non diskriminasi dan lain-lain harus diperjuangkan oleh negara. Umat Islam harus berkontestasi dalam negara itu sebagai intelektual organik untuk memperjuangkan nilai-nilai tersebut. PENUTUP Sebagaimana para pemikir Muslim kontemporer lain, Farid Esack tidak memiliki sebuah tafsir utuh al-Qur’an sebagaimana intelektual masa lalu. Kepentingan Esack adalah melakukan kritik atas kecenderungan para penafsir tradisional yang mengarahkan metodologinya pada tradisi literalisme yang terlalu kuat terutama di Afrika
96
Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97
Selatan dan dunia Islam pada umumnya. Tradisi semacam inilah yang meneguhkan penindasan atas umat Islam tidak merasa dibela oleh ajaran agamanya. Atau pada sisi lain, tafsir seperti ini digunakan oleh kelompok penguasa untuk mengafirmasi kekuasaan otoritarianismenya. Kasus yang ada di Afrika Selatan, tempat ia hidup, adalah refleksi dari kondisi semacam ini. Farid Esack di sisi lain adalah simbol pemikir Islam dalam wilayah minoritas Muslim dalam penduduk mayoritas non Muslim. Dalam situasi kemiskinan, marjinalisasi politik dan ekonomi serta sistem yang diskriminatif perlu adanya sebuah tafsir yang progressif untuk kepentingan umat Islam minoritas ini. Esack karena itu adalah sebagian kecil intelektual yang melihat kondisi sosial ini secara jeli dan mengarahkannya pada tafsir al-Qur’an. Kenapa alQur’an? Al-Qur’an adalah kitab suci yang dijadikan sumber primer oleh setiap umat Islam tanpa protes. Kecenderungan tanpa protes inilah yang acap kali dimanfaatkan oleh para penafsir untuk meneguhkan kepentingan tertentu. DAFTAR RUJUKAN Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin (ed.). Studi al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Abu Zayd, Nasr Hamd. Mafhūm an-Nās, Dirāsah fi Ulūmi al-Qur’an. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-’Ammah li al-Kutub, 1993. Arkoun, Mohammad. Rethingking Islam Today. Washington: Center for Contemporary Arab Studies, 1987. Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics, Hermeneutic as Method, Philosophy and Critique. London, Boston and Henley: Routledge Kegan Paul, 1980. Bourdieu, Pierre and Jean Claude Passeron. Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage Publication, 1977 Dagut, Simon. Profile of Farid Esack. http://www.Home page Farid Esack.com. Engineer, Asghar Ali. Islam and Revolution. New Delhi: Ajanta Publication, 1984.
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif
97
Engineer, Asghar Ali. Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq, 1987. Esack, Farid. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. London: One World Oxford, 1997. Esack, Farid. “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R., 2. 1991. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. New York: Internationale Publisher, 1976. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.