Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013
Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Isteri Atikah Pustikasari1 1
Program Studi D-III Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin Alamat Korespodensi: Prodi DIII keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas MH. Thamrin, Jln.Raya Pondok Gede No.23-25 Kramat Jati Jakarta Timur 13550 Telp: 021 80855119
ABSTRAK Kekerasan dalam rumah tangga menjadi fenomena kehidupan dan merupakan masalah diseluruh dunia yang hampir terjadi di berbagai strata sosial, ekonomi maupun agama. Namun tindakan kekerasan yang dialami masih tersembunyikan karena dianggap sebagai urusan pribadi (privacy) sehingga sedikit sekali keluarga yang melaporkan peristiwa kekerasan kepada pihak berwajib sehingga fakta kekerasan dalam rumah tangga yang terdata masih sangat terbatas. Penelitian ini adalah menggunakan sumber data primer dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan survey tingkat rumah tangga. Desain penelitian potong lintang. Populasi adalah perempuan yang sudah menikah yang tinggal dalam rumah tangga. Usia pertama menikah yang dilakukan wanita di Kabupaten Bekasi 51,3% dibawah usia 20 tahun, ini merupakan salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).dalam penelitian ini wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun mengalami KDRT selama menikah sebanyak 115 (73,9%). Jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan psikis 77,1% dan terendah kekerasan fisik 23,6%. Terdapat hubungan antara wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun KDRT. Wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun berisiko sebesar 2 kali lebih tinggi mengalami KDRT. Faktor lain yang berhubungan dengan KDRT yaitu pendidikan suami rendah, penghasilan suami rendah, pengambilan keputusan didominasi suami, pemilihan pasangan, suami pengguna alkohol, konflik orang tua dan riwayat suami dengan perilaku kekerasan fisik. Kata kunci : Pernikahan Dini, KDRT Pendahuluan Kekerasan dalam rumah tangga menjadi fenomena kehidupan dan merupakan masalah diseluruh dunia yang hampir terjadi di berbagai strata sosial, ekonomi maupun agama. Namun tindakan kekerasan yang dialami masih tersembunyikan karena dianggap sebagai urusan pribadi (privacy) sehingga sedikit sekali keluarga yang melaporkan peristiwa kekerasan kepada pihak berwajib dan fakta kekerasan dalam rumah tangga yang terdata masih sangat terbatas, sehingga diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Kasus kekerasan terhadap perempuan sering dijumpai didunia, baik di negara terbelakang, negara berkembang, bahkan dinegara maju. Di Eropa 25% -50% perempuan yang berusia 16 hingga 44 tahun menjadi korban Kekerasan (Rice, 2006). Kekerasan terhadap perempuan diakui sebagai salah satu dari ketidaksetaraan kesehatan yang terjadi pada perempuan yang terjadi dalam rumah tangga yang menyumbang 16 % dan seperempat dari semua kejahatan kekerasan yang dilaporkan . (Home office, 2004; Dodd etal, 2004; BCS 1998; Dobash dan Dobash, 1980). Di Bangladesh terdapat 67 % wanita mengalami kekerasan dalam rumah tangga. (Bates, 2004). Di London 41% wanita mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik. (Richardson, 2002).
Situasi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tahun 2003, dari 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 kasus (46%) adalah kasus kekerasan dalam keluarga Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor penyebabnya adalah pernikahan dini. Praktek pernikahan dini ( perkawinan anak) secara bertahap berkurang selama bertahun-tahun. Di negara berkembang 36 % wanita usia 20-24 melaporkan bahwa mereka menikah sebelum usia 18 tahun. Lebih dari 60 % wanita menikah sebelum mencapai usia 18 tahun di lima negara Sub Sahara, Afrika dan Bangladesh. Di Nigeri memiliki tingkat perkawinan dini (usia anak) tertinggi di dunia, satu dari tiga gadis yang menikah sebelum usia 15 tahun dan 75 % perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Secara keseluruhan lebih dari 60 juta wanita usia 20-24 menikah sebelum usia 18 tahun. (UNICEF global databases, 2007; Ann Walker J ,2012). Metode Penelitin ini adalah mengunakan sumber data primer dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan survey tingkat rumah tangga. Desain penelitian adalah potong lintang. Sampel penelitian ini adalah perempuan (isteri) yang telah menikah yang tinggal di kabupaten Bekasi berjumlah 224 sampel. Sampel dipilih secara simple
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 random sampling, dan sampel berimbang dengan rancangan klaster. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dengan menggunakan perangkat komputer SPSS. Analisis terdiri dari analisis univariat dan bivariat. Uji coba instrumen menghasilkan bahwa kuesioner tidak dapat diberikan pada saat suami responden ada dirumah. Selanjutnya apabila pada saat pengumpulan data ditemukan korban yang memang mengalami KDRT dan menunjukkan adanya tanda-tanda bekas penganiayaan, maka dilakukan pemberikan saran untuk melakukan pengobatan, visum dan memberikan informasi tempat pengaduan dan lembaga-lembaga perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan. Hasil Kekerasan Dalam Rumah tangga yang dialami responden di Kabupaten Bekasi, 2013 adalah pengakuan dari responden yang telah mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial dengan kategori ringan bila mengalami pernah 1 kali tindakan kekerasan, kategori sedang bila mengalami 2-5 kali tindakan kekerasan dan kategori berat bila mengalami tindakan kekerasan lebih dari lima kali baik dalam 1 tahun terakhir maupun selama menikah. Kekerasan fisik Kekerasan fisik yang dialami oleh istri berupa tindakan fisik yang telah dilakukan oleh suami/pasangan dalam rumah tangga seperti ditendang, ditampar / dipukul, diseret / didorong, dijambak rambut, disulut dengan api atau puntung rokok, dan diancam dengan pisau atau senjata tajam lainnya. Dalam penelitian ini dihasilkan kekerasan fisik sebanyak 23,6% selama menikah dengan kategori ringan 14,7%, sedang 6,7% dan berat 2,2%. Kekerasan Psikis Kekerasan Psikis yang dialami responden adalah pengakuan responden terhadap tindakan seperti diabaikan, dipanggil dengan sebutan goblok, mengatakan ibu pelacur, dipanggil dengan sebutan binatang (anjing, babi), diancam dengan melotot, berteriak/membentak, dihancurkan/melempar barang, marah jika ibu berbicara dengan laki-laki lain, dipantau setiap saat, dilarang berkunjung dan berkomunikasi dengan keluarga besar dan teman, serta dianggap tidak setia. Dalam penelitian ini kekerasn psikis yang dialami sebesar 77,1% selama menikah dengan kategori ringan 45%, sedang 13,8% dan berat 18,3%. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan Ekonomi adalah pengakuan responden terhadap tindakan tidak diberi uang belanja, dilarang bekerja dan dipaksa bekerja oleh suami selama menikah. Dalam penelitian ini dihasilkan 62,5% mengalami kekerasan ekonomi dengan kategori ringan 20,5%, sedang 14,3% dan berat 27,7%. Kekerasan Seksual Kekerasan Seksual adalah pengakuan responden terhadap tindakan seperti dipaksa melakukan hubungan seksual padahal ibu tidak mau, dipaksa melakukan hubungan seksual dan ibu takut untuk menolak dan diancam/dipaksa melayani seks laki-laki lain selama menikah. Dalam penelitian ini dihasilkan 56,7% mengalami kekerasan seksual dengan kategori ringan 19,2%, sedang 19,6% dan berat 17,9%. Jenis kekerasan selama menikah tertinggi adalah kekerasan psikis 77,1% dan terendah fisik 23,6%. Gambaran responden berdasarkan koteks individu. Tabel 1. Usia Pertama menikah Usia Pertama Jumlah menikah (n) < 20 tahun 115 ≥ 20 tahun 109 Total 224
Persentase % 51,3 48,7 100
Rerata usia pertama menikah 19 tahun (95%CI) dengan SD: 3,470, minimal usia menikah 13 tahun dan maksimal 24 tahun. Usia responden 114 (64,3%) dan usia suami 102 (45,5%)%) kurang dari 35 tahun. Pendidikan istri kategori rendah (≤ SMP) 126 (56,3%) dan suami 103 (46%). Pekerjaan istri kategori bekerja 69 (72,5%) dan suami 216 (96,4%). Penghasilan istri kategori rendah 198 (88,4%) dan suami 95 (42,2%). Status pernikahan 8 (3,6%) cerai. Suami Pengguna Alkohol 22 (9,8%). Hubungan konteks individu dengan KDRT selama menikah. Berdasarkan uji regresi logistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia pertama menikah responden dengan kekerasan dalam rumah tangga selama menikah. Responden yang menikah pada usia < 20 tahun mempunyai resiko KDRT sebesar 2 kali dibandingkan dengan responden yang menikah pada usia ≥ 20 tahun. Terdapat hubungan yang bermakan antara pendidikan suami dengan kekerasan dalam rumah tangga. Responden yang mempunyai suami berpendidikan rendah mempunyai resiko mengalami KDRT sebesar 2 kali dibandingkan dengan responden yang mempunyai suami berpendidikan tinggi. Ada hubungan yang bermakna antara penghasilan suami responden dengan kekerasan dalam rumah tangga selama menikah. Responden yang mempunyai suami berpenghasilan rendah mempunyai resiko mengalami KDRT selama menikah sebesar 2 kali
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 dibandingkan dengan resnponden yang mempunyai suami berpenghasilan tinggi. ada hubungan yang bermakna antara pengambilan keputusan utama dengan kekerasan dalam rumah tangga selama menikah. Pengambilan keputusan dalam keluarga yang didominasi oleh suami berisiko sebesar 2 kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan pengambilan keputusan oleh istri. Responden yang menikah karena dijodohkan berisiko mengalami KDRT 4 kali dibandingkan dan responden yang menikah atas pilihan sendiri. Ada hubungan yang bermakna antara suami pengguna alkohol dengan kekerasan dalam rumah tangga selama menikah. Responden yang mempunyai suami sebagai pengguna alkohol berisiko 3 kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan responden yang mempunyai suami tidak sebagai pengguna alkohol. Ada hubungan yang bermakna antara riwayat suami berperilaku kekerasan dengan kekerasan dalam rumah tangga selama menikah. Sehingga responden yang mempunyai suami dengan riwayat perilaku kekerasan fisik akan bersiko mengalami KDRT sebesar 3,6 kali selama menikah. Ada hubungan yang bermakna antara konflik orang tua dengan kekerasan dalam rumah tangga selama menikah. Responden yang mempunyai riwayat konflik pernikahan orang tua akan berisiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga selama menikah sebesar 2 kali dibandingkan dengan responden yang tidak dengan riwayat konflik pernikahan orang tua. Pembahasan Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa ibu rumah tangga yang mengalami KDRT selama menikah sebanyak 86,2% dengan bentuk kekerasan terbanyak adalah kekerasan kekerasan psikis 77,1% , ekonomi 62,5%, Seksual 56,7% dan yang terendah adalah kekerasan fisik 23,6%. Penelitian ini lebih rendah dilihat dari jenis kekerasan fisik dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di London, 41% wanita mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik (Richardson, 2002) dan penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2005) yang menunjukkan 74,4% responden mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dimana bentuk kekerasan terbanyak dialami responden adalah kekerasan psikologis 76,4% dan kekerasan fisik 22,8%. Hasil Penelitian UNICEF (1995) menyebutkan seperempat wanita didunia dianiaya oleh pasangan mereka, di Malaysia pada tahun 1989 ditemukan 36% dari 1,8 Juta penduduk perempuan dianiaya secara fisik oleh suami mereka (Purnianti, 2000). Akibat kekerasan dalam rumah tangga, isteri yang menjadi korban kekerasan lebih berdampak negatif dan mengalami kerugian dibanding laki-laki yang menjadi korban, dan pelaku perempuan mengalami lebih depresi dibanding pelaku laki-laki (Cristian,et.al, 1994).
Dampak lain yang diakibatkan oleh perlakuan kekerasan ini dapat berupa hilangnya rasa percaya diri, munculnya rasa bersalah dan rasa malu yang luar biasa, merasa tidak dapat mengendalikan diri sebagaimana mestinya, munculnya rasa ketakutan, dan kondisi trauma psikologis (Diarsi. dkk, 2001). Trauma psikologis disebabkan oleh pengalaman diluar batas kewajaran yang dapat diterima manusia sehingga menimbulkan reaksi kecemasan atau stress yang sulit diatasi oleh individu yang mengalaminya. Stres traumatis adalah perasaan terpukul karena beban emosional yang terlalu berat untuk diatasi. Kondisi ini dapat menyebabkan munculnya perasaan tidak berdaya, sehingga ia tidak melakukan perlawanan dengan alasan yang konvensional dan tradisional yaitu takut dicerai, dan mempertahankan keutuhan rumah tangga (Winarno,2003). Besarnya dampak yang dirasakan oleh korban perlu penangan yang khusus , keterlibatan/pendampingan psikolog untuk mengatasi dampak psikologis sangat perlu untuk mengatasi /menurunkan perasaan bersalah, tidak percaya diri yang akhirnya menuju kepada usaha bunuh diri. Untuk melindungi perempuan terhadap kejadian berulang perlu kesadaran dari korban untuk segera melaporkan tindakan kekerasan kepada pihak berwenang khusus kepolisian, sehingga dapat segera diambil tindakan untuk korban maupun pelaku. Untuk lembaga-lembaga penangana korban kekerasan dalam rumah tangga perlu melakukan penangan yang komprehensif, dari mulai memberikan pendampingan psikologis korban. Apabila korban sudah dapat mengatasi masalah dan dapat mengatasi/menghindari tindak penganiayaan/kekerasan, korban dapat dijadikan support grup untuk kaum wanita yang lain diwilayahnya dengan memberikan materi/sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana sikap wanita untuk tidak terulang kembali mengalami kekerasan dengan pembekalan ketrampilan yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga sehingga tidak tergantung sepenuhnya secara finansial kepada suami. Usia pertama menikah dalam penelitian ini menunjukkan sebesar 51,3% ibu rumah tangga di Kabupaten Bekasi, 2013 melakukan pernikahan dibawah usia 20 tahun. Persentase ibu rumah tangga usia dibawah 20 tahun menunjukkan 73,9% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama menikah. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian lain di Indonesia yang menghasilkan 44 % anak yang menikah usia dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (Plan indonesia, 2011). Penelitian ini pun lebih tinggi dengan temuan UNICEF (2005), yang menunjukkan bahwa 67 % wanita yang menikah usia muda mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan dalam penelitian lain, wanita yang melakukan pernikahan diusia muda akan mengalami 40 – 80% kekerasan fisik. (Bruce J, Llyod & A. Leonard) 1995. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita yang melakukan pernikahan usia muda akan berisiko
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Melalui hasil penelitian ini, diketahui pentingnya dilakukan penundaan usia menikah dengan cara pemberdayaan remaja melalui pendidikan . Ketidaktahuan wanita yang melakukan pernikahn usia dini diakibatkan karena kurangnya edukasi dan kurangnya kesadaran untuk melakukan pendidikan kesehatan pra nikah dan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia secara umum. Hal lain yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat terutama remaja mengenai pendewasaan usia pernikahan. Dengan intervensi berupa penyuluhan yang dilakukan oleh tokoh masyarakat maupun petugas kesehatan. Untuk mengurangi angka kejadian kekerasan dalam rumah tangga pada kelompok remaja yang melakukan pernikahan dini, maka untuk itu pula perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat maupun aparat penegak hukum terhadap UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan memasukkan materi kekerasan dalam rumah tangga dan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dalam kursus pra nikah. Perlu dilakukannya perubahan UU perkawinan, terutama pasal yang mengatur perkawinan anak dan batas usia perkawinan. Pemerintah bekerja dengan masyarakat untuk dapat melakukan pemantauan dan pencegahan terhadap praktek-praktek perkawinan perempuan dalam usia anak dengan berbagai alasan seperti penerapan adat istiadat, agama maupun pemaksaan oleh orang tua dan lingkungan setempat. Kategori pendidikan memperlihatkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga lebih tinggi terjadi pada responden dengan suami berpendidikan rendah dibandingkan dengan istri yang mempunyai suami berpendidikan tinggi. Dalam penelitian ini 75,7% suami yang berpendidikan rendah. Responden yang mempunyai suami berpendidikan rendah berisiko mengalami KDRT 2 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai suami berpendidikan tinggi. Dalam hal ini kondisi pendidikan masih berhubungan dengan ketidaksetaraan gender, bahwa tingkat pendidikan untuk anak laki – laki lebih diutamakan dibandingkan jenjang pendidikan untuk wanita. Namun kebijakan pemerintah pada umumnya tidak bias gender, pasal 5 Undangundang N0.20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menekankan bahwa pendidikan adalah hak setiap penduduk. Pendidikan merupakan salah satu sumber yang dapat memproteksi wanita terhadap kekerasan (Jewkes at.al,2002). Wanita dengan pendidikan tinggi akan lebih mempunyai otonomi dalam keluarga dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini pula suami yang berpendidikan rendah lebih berisiko melakukan kekerasan dalam rumah tangga 2 kali terhadap pasangannya . Dalam penelitian lain pula menemukan bahwa laki-laki yang berpendidikan rendah 1,2 - 4,1 kali lebih mungkin melakukan kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan laki – laki berpendidikan tinggi. (Ackerson et al,2008; Dalal,rahman & Jansson, 2009).
Melalui hasil penelitian ini, perlu dilakukan peningkatan pendidikan baik terhadap remaja perempuan maupun remaja laki – laki . Tidak hanya dengan program wajib sekolalah 9 tahun tetapi perlu ditingkatkan program wajib sekolah 12 tahun sesuai dengan program Kemendikbud yang akan mencanangkan program belajar 12 tahun tahun 2014 dan diharapkan tahun 2020 masyarakat Indonesia berpendidikan minimal SMA. Berdasarkan penghasilan, suami yang melakukan kekerasan tertingi pada suami dengan penghasilan rendah (75,8%). dimana penghasilan rendah merupakan salah satu implikasi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, Gelles (1997). Penghasilan rendah diakibatkan karena pendidikan rendah. Apabila pendidikan suami tinggi diharapkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan menjadi lebih tinggi. Pada penemuan penelitian ini secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara penghasilan suami yang rendah terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Responden yang mempunyai suami dengan penghasilan rendah bersiko 2 kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan responden yang mempunyai suami berpenghasilan tinggi. Pada beberapa studi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan, menyatakan bahwa kekerasan terhadap isteri lebih sering terjadi pada status pendapatan rendah dan status sosial ekonomi rendah, namun tidak menutup kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga terjadi juga pada keluarga dengan status ekonomi menengah keatas. Kekerasan terhadap isteri pada golongan status ekonomi menengah dan keatas cenderung ditutupi, karena suami atau pelaku berhasil menyembunyikan perlakuannya tersebut darihukuman polisi. Meskipun demikian kekerasan dalam rumah tangga status ekonomi menengah keatas tersebut kejadiannya lebih rendah dibandingkan pada status ekonomi rendah. Status pendapatan rumah tangga yang rendah berhubungan dengan status pekerjaan suami. Keadaan status pekerjaan suami yang pengangguran merupakan suatu hal yang memalukan dirasakan bagi suami, hal inilah yang menjadi faktor pendukung terjadinya kekerasan terhadap isteri. (Gelles, 1997). Dalam penelitian ini, pengambilan keputusan yang didominasi oleh suami mengalami kekerasan dalam rumah tangga 74,2%. Pengambilan keputusan dalam keluarga yang didominasi oleh suami berisiko 2 kali mengalami KDRT dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang didominasi oleh isteri. Hal ini jelas terlihat budaya patriarkhi sangat jelas masih dianut oleh masyarakat ditempat penelitian ini. Budaya pathriarki menempatkan perempuan dalam posisi sub ordinat, perempuan menanggung derita ketidak sewenangan dan kekerasan pihak laki-laki dan semakin kuat pengaturan, penopangan kontruksi dan pengulangan dominasi lakilaki. Perempuan menjadi pasif, inferior dan dirugikan namun juga menjadikan perempuan belajar untuk mengalah, melemah dan tidak berdaya. Ketidak berdayaan perempuan, baik yang dipelajari secara sadar
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 ataupun tidak, secara sukarela atau tidak, perempuan menjadi sasaran empuk dari kekerasan kaum laki – laki (Nurhayati, 2012). Pemilihan pasangan dalam penelitian ini ditemukan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga yang diakibatkan karena perjodohan yang mencapai 88,9% lebih tinggi dibandingkan dengan karena pilihan sendiri (65%). Hasil penelitan yang dilakukan oleh Kiribati family health and support study , mengindikasikan hal yang sama, bahwa wanita yang menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan wanita yang memilih pasangan sendiri. Hal yang harus dilakukan, melalui hasil penelitian ini. Perlunya informasi kepada masyarakat terutama orang tua remaja melalui petugas kesehatan (puskesmas) dalam program peduli remaja berupa penyuluhan tentang persipan pra nikah pada remaja , baik persiapan fisik maupun persiapan psikis dan kesiapan remaja dalam memasuki jenjang pernikahan . Berdasarkan kebiasaan suami pengguna alkohol dalam penelitian ini , ditemukan tingginya proporsi kekerasan yang dialami responden selama menikah (86,4%). Responden yang mempunyai suami pengguna alkohol akan mengalami kekerasan 4 kali peningkatan resiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Konsumsi alkohol dan narkoba merupakan salah satu faktor yang terkait dengan terjadinya kekerasan. Dalam penelitian lain penggunaan alkohol sangat terkait dengan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga (Abraham, et al, 2004: Flake, 2005, Dalal Rahman & Jonsson, 2009; Gage,2006). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa wanita yang mempunyai pasangan penguna alkohol mengalami 4,6 kali peningkatan resiko terjadinya kekerasan oleh pasangan dalam rumah tangga dibandingkan dengan pasangan yang pengguna alkohol ringan atau tidak . Dalam penelitian lain juga ditemukan hasil bahwa penggunaan alkohol dengan kekerasan dalam rumah tangga sangat lemah atau tidak ada hubungan sama sekali (Abbey et al, 2004; Gutierres & Van puymbroek, 2006; Tang & Lai, 2008). Konflik orang tua dalam penelitian ini, ditemukan sepertiga dari responden berasal dari keluarga yang mempunyai konflik pernikahan orang. Laki – laki yang mempunyai perilaku kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan terhadap pasangannya. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Kiribati community health and study, bahwa ada hubungan yang positif terjadi kekerasan fisik maupun seksual dalam rumah tangga dengan riwayat suami berperilaku kekerasan fisik.. Kesimpulan dan Saran Kekerasan Dalam rumah tangga yang dialami oleh responden di Kabupaten Bekasi, berdasarkan jenis kekerasan fisik sebanyak 23,6%, psikis 77,1%, ekonomi
62,5% dan Seksual 56,7%. Istri yang menikah pada usia < 20 tahun berisiko sebesar 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan isteri yang menikah ≥ 20 tahun. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia menikah dengan kekerasan dalam rumah tangga. Terdapat faktor lain yang berhubungan dengan KDRT pada isteri yaitu Pendidikan suami rendah, penghasilan suami rendah, pngambilan keputusan utama dikeluarga yang didominasi oleh suami, pemilihan pasangan dijodohkan, Suami Pengguna Alkohol, konlfik orang tua dan suami dengan riwayat perilaku kekerasan fisik. Saran Untuk Pemerintah 1. Melalui Puskesmas khususnya Program peduli remaja untuk dapat memberikan pendidikan dan penyuluhan pada kelompok remaja di sekolah tingkat SMP & SMA mengenai kesehatan reproduksi ( Persiapan fisik & psikis) menjelang pernikahan dan dampak yang ditimbulkan akibat pernikahan dini terutama Kekerasan Dalam rumah Tangga. 2. Kemendikbud untuk segera mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, sehingga usia minimal masyarakat minimal SMA. 3. KUA Kabupaten Bekasi , Memberikan sosialisasi materi kekerasan dalam rumah tangga dan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dalam kursus- kursus pra nikah kepada pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. 4. Perlu dilakukannya perubahan UU perkawinan, terutama pasal yang mengatur perkawinan anak dan batas usia perkawinan. 5. Pemerintah bekerja dengan masyarakat untuk dapat melakukan pemantauan dan pencegahan terhadap praktek-praktek perkawinan perempuan dalam usia anak dengan berbagai alasan seperti penerapan adat istiadat, agama maupun pemaksaan oleh orang tua dan lingkungan setempat. Untuk Lembaga yang melakukan pelayanan KDRT 1. Melakukan pelayanan kasus secara komprehensif/holistik. Dari mulai saat terjadinya pengaduan korban penganiyaan dengan pendampingan secara psikologis sampai korban merasa nyaman dan tidak terancam akan mengalami kekerasan kembali. 2. Menjadikan korban sebagai Support grup untuk kaum wanita yang lain diwilayahnya dengan memberikan materi/sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana sikap wanita untuk tidak terulang kembali mengalami kekerasan dengan pembekalan ketrampilan yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga sehingga tidak tergantung sepenuhnya secara finansial kepada suami.
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 Untuk Masyarakat 1. Meningkatkan keterampilan masyarakat khususnya perempuan melalui lembaga swadaya masyarakat. 2. Meningkatkan kerjasama dengan instansi dan pihak terkait dalam upaya pencegahan dan penanggulangan KDRT kepada pihak berwenang seperti Polisi (Perlindungan perempuan & anak) serta lembaga perlindungan perempuan. Ucapan Terima Kasih DR. dr. Sabarinah B. Prasetyo,MSc, ibu walikota Kab. Bekasi yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengumpulkan data di lapangan demikian pula seluruh responden yang telah bersedia secara sukarela terlibat dalam penelitian ini.
Bruce , J.C, Llyod , Leonard .A, (1995),Families in focus, new perspectives on mothers, father and children, population council , New York. Dalal K, Rahman F, Jansson B (2009). Wife abuse in rural Bangladesh. Journal of Bio-social Science, 41 (5): 561-573 Diarsi , Myra Dkk (2004), layanan terpadu pertautan multidisiplin dan sinergi kekuatan masayrakat dan negara, Jakarta, Komnas anti kekerasan terhadap perempuan. Dobash and Dobasah, R. (1980) Violences Againt wives, London Donovan , Josephine, (1993). Feminish Theory in intellected traditions of American Feminist, New York, Continum.
Daftar Pustaka Abbey et al, (2004) Sexual assault and alcohol consumption: what do we know about their relationship and what types of research are still needed? Agression and violent Behavior. Abraham N, et al ( 2004), Sexual violance againt intimate partner in Cape Town: prevalence and risk factors reported by men . bulletin of the wordld Health Organization. Ackerson LK,et al (2008) Effect of individual and proximate educational context on intimate violance : A Population-based study of women in India. American Journal of public health, 98 (3): 507-514. Adeyinka ,Adebambo Veronika, (2010). Cultural influence on child marriage focus on Northen Nigerians Resident in Ogun State, Nigeria. University of Agriculture,Abeokuta. www.unaab.edu.ng/Ugproject/2010.bsc.adebobamboav.P DF diunduh 12 Januari 2013 Ann walker – Judith,2012. Early marriage in Afrika – trend, Harmful Effect and interventions. African Journal of Reproductive Health June 2012 (Special Editon);16(2): 231
Fadlyana, Edy. Shinta Larasaty (2009), Pernikahan usia dini dan permasalahannya, Seri Pediatri Vol.11 No. 2. Agustus 2009. Universitas Padjajaran. Bandung. Flake DF (2005), individual, family and community risk markers for domestic violence in Peru. Violance againt woman. Gelles, Richard, (1997). Intimate violence in families, Saga Publications, California, USA. Gutierres SE, Van Puymbroeck (2006). Childhood and adult violence in the lives of women who misuse substance. Agression and violance Behavior. Henrica A.F.M (2010), Survey Module on Violence against women, UNECE World Health Organization. Home office violent crime unit ,2004. Developing domestic violance strategies – A guides for partnership, London. Jansen ,A.F.M. Henrica, (2010), Survey module on violence againt women, UNECE. Jewkes R, Sen P, Garcia-Moreno C (2002), sexual violance in Krug EG at.al. word report on violence and health pp.149-181, Geneva, World Health Organization.
Boy A, Kulczycki (2008). What we know about intimate partner violence in the Middle East and Nort Africa. Violence Againt Women.
Kementrian Kesehatan Republik indonesia,(2010). Riset Kesehatan Dasar 2010, Jakarta.
Boyle MH et al. (2009). Community influences on intimate partner violence in India: Women’s education, attitudes towards mistreatment and satandard of living. Social science and Medicine , 69 (5)” 691-697
Kishor, Johnson, (2004), Reproductive health and domestic violence: are the poorest women uniwuely disadvanted. www.wordwideopen.org/ reproductive health and domestic violence. Diunduh 15 April 2013.
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 Kiribaty Family Health & Support Study, Risk and protective factors for intimate partner violence, www.spc.int/ index2php, diunduh tanggal 13 April 2013. Komnas permpuan (2004), Memaknai catatan awal tahun 2004, dari angka- angka, Megawati dan pemilu 2004, www. Institut peremppuan.co.id. diunduh Desember 2012. LeFevre, Joyce, (2001), Future options foreclosed: girls Who marry early. Drawn in part from tha UNICEF report, Early Marriage, child spouses (UNICEF,2001), www.path.org/publications/files/RHK/aeticle.14.PDF di unduh 11 Januari 2013 Martin, Reeder,(2011). Keperawatan Maternitas, kesehatan wanita, Bayi dan Keluarga, EGC, Jakarta. Nurhayati , Ety,(2012). Psikologi perempuan dalam berbagai perspektif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Purnianti, ( 2000).“masyarakat dan penghapusan terhadap perempuan”, dalam kumpulan karangan untuk Prof. Tapi Omas ihromi, Kelompok pejuang perempuan tertindas kerjasama kedubes Belanda, Jakarta. Schumacher . A Julie,2005. Husbands and wives Marial Adjusment. Verbal agression and physical aggresion as longitudinal predictors of physical aggresion in early marriage. Journal of consulting and clinical Psycology Vol .73 no. 1 , 28-37 UNICEF, 2005 , early mariage a harmful traditional practice Walby, Silvi and Allen, Jonathan (2004). Domestic violance, sexual assault and stalking: finding from the British Crime Survey (London: Home Office Resarch, Development and statistic directorate. WHO, (2007), WHO Multy-country study on women,s health and domestic, Violence.
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013
Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013