DAMPAK DAN ANTISIPASI KEBAKARAN HUTAN Oleh : Sri Lestari
*)
Abstract The frequent accurrences of forest fire causes air pollution. Concentration Sulfur Oxides, particulate SO4 = and smoke endangers the inhabitant’s health, and also decreases amount of rainfall. The result of observation by BMG (Institute of Meteorological and Geophisical in Indonesia) on concentration pollutant Sulfur Oxides, particulate SO4= and smoke in accurrences of forest fire for September 1997 in Kalimantan and Sumatera showed the increase to 700 % pollutant smoke, 313 % molecular cation NH4++ , Ca+ , Mg++ and 540 % anion Cl- , NO- and SO4— And UPTHB, BPPT to do rainmaking for disperse the smoke. Kata kunci : Kebakaran hutan, kabut asap dan debu, polusi udara, inversi, modifikasi cuaca. 1. PENDAHULUAN Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini,• hampir setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sering menimbulkan kerugian besar. Bahkan pada tahun 1997/98 akibat kebakaran hutan dan lahan, bencana yang diakibatkan telah dikategorikan sebagai bencana nasional. Hal tersebut disebabkan karena besarnya kerugian materil yang mencapai 34 milyard• dolar US, dengan kurun waktu berlangsung yang mencapai 9 bulan (Juni 97 –Maret 98) dan wilayah yang mendapat musibah hampir• meliputi seluruh wilayah Republik Ibdonesia, bahkan menyeberang sampai ke Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan tanggal 16 Juni 1998 luas hutan yang terbakar di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 1997 adalah 263.992 Ha, sedang hutan yang terbakar sebagian besar adalah hutan produksi, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa kebakaran hutan merupakan suatu tindakan yang memang disengaja. Kesengajaan tersebut disebabkan karena tindakan membakar hutan merupakan cara yang paling mudah, cepat dan murah dalam mengelola hutan dibandingkan dengan cara yang lainnya. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kebakaran hutan dan lahan adalah terjadinya pencemaran udara karena munculnya polutan asap dan debu yang melayang di udara dalam waktu yang relatif
*)
lama dan dalam area wilayah yang sangat luas sehingga dapat menjadikan : Polusi udara, yaitu dengan terakumulasinya debu dan asap, konsentrasi kation NH4++, Ca+, Mg++ dan anion Cl- , NO3-- dan SO4= di dalam suatu kolom udara dengan jumlah di atas ambang batas yang telah ditetapkan sehingga dapat membahayakan kesehatan baik bagi manusia, hewan dan tanaman, serta penurunan derajat keasaman udara. Jarak pandang yang sangat pendek sehingga dapat mengganggu lalu lintas perhubungan udara, laut dan darat. Berkurangnya jumlah curah hujan, hal ini disebabkan karena dengan adanya asap yang mengambang di udara dalam waktu yang relatif agak lama maka proses pertumbuhan awan dan penguapan dapat terhambat, sehingga peluang untuk terjadinya hujan tidak ada. Antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah adanya kebakaran hutan adalah dengan menerapkan Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang pengendalian praktek pembakaran hutan dan dampaknya yang disertai dengan pasal-pasal yang mengatur juga mengenai sangsi hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Selain itu, UPT Hujan Buatan BPPT juga melakukan pengkajian modifikasi cuaca yang bertujuan untuk pemadaman kebakaran hutan, yaitu dengan mengupayakan pencucian atmosfer misalnya dengan mengusahakan untuk menurunkan lapisan asap yang tebal sehingga memberi peluang untuk pertumbuhan awan dan hujan. 2. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN
Peneliti UPT Hujan Buatan, BPP Teknologi. Jl. M.H. Thamrin No. 8 , Jakarta.
Dampak Dan Antisipasi Kebakaran Hutan (Sri Lestari)
171
Dengan munculnya kabut asap dan debu hasil pembakaran hutan dan lahan akan dapat menimbulkan pencemaran udara yang sangat membahayakan kesehatan manusia terutama pada sistem pernafasan. Bila dicermati dengan sungguh-sungguh ternyata bahaya yang ditimbulkan karena pencemaran udara lebih besar dan memprihatinkan bila dibandingkan dengan pencemaran air dan makanan Mengatasi pencemaran air dan makanan dapat dilakukan relatif lebih mudah dibandingkan dengan pencemaran udara. Satusatunya jalan untuk menghindari resiko yang disebabkan pencemaran udara adalah dengan jalan tidak menghirup udara di daerah tersebut yaitu dengan meninggalkan jauh-jauh tempat yang terkena pencemaran lingkungan. Konsentrasi polutan kabut asap dan debu yang sangat pekat dapat berbahaya bagi pernafasan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh WHO atas pengaruh pencemaran udara bagi kesehatan dapat dilihat dalam lampiran tabel 1. Dari tabel tersebut disebutkan bahwa konsentrasi ion SO4 sebesar 0.05 ppm pada udara dalam waktu lama (lebih dari 2 jam selama per hari) dapat membahayakan bagi kesehatan yang berupa gangguan penyakit ispa (inpeksi saluran pernafasan atas, bronchitis dan asma. Dampak yang ditimbulkan karena adanya asap dari kebakaran hutan adalah polusi udara, jarak pandang yang makin pendek dan menurunnya intensitas curah hujan. 2.1. Polusi Udara Pada bulan September 1997 BMG telah mengadakan pemantauan polusi udara di daerah yang terkena bencana asap kebakaran hutan dan lahan yaitu di Pontianak, Palangkaraya dan Jambi. Adapun parameter-parameter yang dipantau adalah ; (a) Konsentrasi debu (SPM), (b) Derajat keasaman air hujan dan (c) Konsentrasi kation (NH4+, Ca++ Mg++) serta Konsentrasi anion (Cl-, NO- , SO4=) 2.1.a. Konsentrasi Debu Dari penelitian yang telah dilakukan BMG diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa konsentrasi debu selama kebakaran hutan meningkat antara 300 % hingga 700 % dibandingkan dengan konsentrasi debu sebelum terjadi kebakaran hutan. Dari tabel no 2 dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi debu di Jambi Sumatera lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan konsentrasi debu di Pontianak dan Palangkaraya Kalimantan, hal ini disebabkan karena jumlah 172
luas hutan yang terbakar di Sumatera lebih kecil bila dibandingkan dengan luas hutan yang terbakar di Kalimantan. Tabel 2 : Lokasi, Jumlah konsentrasi debu dan sebelum dan saat kejadian kebakaran hutan. Sebelum Saat Kenaik Lokasi (ppm) Keba -an Karan (ppm) Pontianak 69.64 500.96 7x Palangkaraya 62.55 504.92 7x Jambi 91.92 297.03 3x 2.1.b. Penurunan Derajat Keasaman Udara. Dari hasil pengukuran Derajat Keasaman (pH) udara menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan pH udara pada saat terjadi kebakaran bila dibandingkan dengan saat sebelum adanya kebakaran hutan dan lahan. Tabel 3 : Lokasi, Derajat Keasaman (pH) sebelum dan saat kejadian kebakaran hutan. Sebelum Saat Penu Lokasi Keba runan Karan Pontianak 5.82 4.96 - 0.66 Palang Karaya 6,25 5.92 - 0.32 Jambi 6.19 6.03 - 0.16 2.1.c. Konsentrasi kation (NH4+, Ca++ Mg++) dan anion (Cl-, NO- , SO4=) Kation NH4+ Ca++ Mg++ Peningkatan Konsentrasi kation NH4+ Ca++ Mg++ di Jambi adalah yang tertinggi di bandingkan dengan peningkatan di Pontianak dan Palangkaraya. Peningkatan Amonium (NH4+ ,) antara 30 % hingga 79 % (0.95 ppm – 1.7 ppm) , peningkatan unsur Calsium (Ca++ ) berkisar 45% hingga 180% (0.245 ppm – 0.685 ppm) sedangkan peningkatan Magnesium antara 5 % hingga 313 % (0.115 ppm – 0.475 ppm). Anion (Cl-, NO- , SO4=) Peningkatan anion (Cl-, NO-, SO4=) ini bervariasi, untuk peningkatan Clorida (Cl-) berkisar tertinggi di Jambi 18 kali dari 0.12 ppm hingga 2.19 ppm demikian pula peningkatan ion NO- tertinggi juga di Jambi yaitu sebesar 540 % ( 0.075 ppm menjadi 0.480 ppm) sedangkan untuk peningkatan SO4= tertinggi terjadi di Palangkaraya yakni sebesar 260 % ( 0.025 ppm – 0.09 ppm),
Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 2, Januari 2000 : 171-175
2.2. Jarak Pandang (Visibility) Akibat pekatnya konsentrasi asap dan debu yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan menjadikan jarak pandang yang semakin pendek. Bila udara bersih jarak pandang dapat mencapai lebih dari 5 (lima) kilometer namun dengan adanya asap dan debu, mengakibatkan jarak pandang menjadi sangat terbatas bahkan pernah hanya mencapai 50 – 100 meter. Menurut Silverman dalam bukunya “Weather and Climate Modification” bahwa jauhnya jarak pandang sangat dipengaruhi oleh jumlah atau konsentrasi seluruh partikel yang ada pada per satuan volume udara, dan jari-jari partikel tersebut. Semakin banyak jumlah partikel apalagi dengan jari-jari yang semakin besar maka akan semakin pendek jarak pandang. Hasil pencatatan monitoring jarak pandangbaik di Pontianak, Palangkaraya dan Jambi menunjukkan bahwa secara rata-rata pada pagi hari hingga jam 10.00 jarak pandang berkisar 300 m – 700 m, jam 10.00-14.00 jarak pandangdapat mencapai 1000 m bahkan kadang sampai 2000 m namun setelah jam 14.00 jarak pandang menurun dengan cepatnya hingga kurang dari 500 m. Bahkan pada minggu-minggu pertama bulan September 1997, jarak pandang sangat pendekrata-rata kurang dari 500 m dari pagi hingga sore, sehingga sampai terjadi evakuasi penduduk dari Pekanbaru Riau ke Medan. Dari pengamatan visual mengenai keberadaan asap menunjukkan bahwa asap umumnya berada dekat permukaan pada malam hari hingga pagi hari, yang kemudiannaik setelah matahari terbit. Hal ini memperkuat dugaan bahwa fluktuasi naik turunnya ketebalan asap sangat dipengaruhi oleh profil suhu udara ke atas. 2.3.
Penurunan Intensitas Curah Hujan.
Pembakaran hutan yang terus menerus dilakukan menyebabkan kabut asap semakin pekat sehingga mengganggu proses pemanasan matahari ke permukaan bumi. Hal ini menyebabkan kurangnya penguapan di wilayah sekitarnya sehingga mengakibatkan awan dan hujan sulit terjadi. Kabut asap yang bertahan cukup lama menjadikan lapisan udara yang disekitarnya akan cenderung bersifat stabil dan sulit terbentuk uap air atau awan sehingga hujan tidak terjadi yang akibat selanjutnya justru mungkin akan menimbulkan gangguan pola aliran udara, yaitu kondisi suhu permukaan lebih rendah dibandingkan dengan suhu di lapisan udara di atasnya maka akan terjadi lapisan inversi. Dengan adanya lapisan inversi ini menyebabkan partikel dari bawah
tidak dapat terangkat, dan tertahannya polutan yang akan keluar dari sumber ke udara, kondisi inilah yang justru mengakibatkan terjadinya penumpukan yang lebih awet di udara. 3. ANTISIPASI TIMBULNYA KEBAKARAN HUTAN 3.1. Undang-Undang Nomor : 23 tahun 1997 Dengan melihat besarnya kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan dan sulitnya penanggulangan, maka mulai tahun 1997 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan Undang-Undang no 23 tahun 1997 tentang pengendalian praktek pembakaran hutan dan dampaknya, yang intinya antara lain : Kebijakan Tanpa Bakar (“Zero Burning Policy”). Pembukaan hutan dan penyiapan lahan dengan pembakaran yang dilakukan oleh Badan Usaha dilarang sama sekali. Pembakaran dengan ijin (Fire Scribed Burning). Ijin ini diperuntukkan bagi kegiatan pengendalian kebakaran hutan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, perbaikan habitat kehidupan liar serta pembakaran sampah domestik dan limbah industri. Pembakaran secara terkendali (Pemisible control burning). Peraturan ini dikhususkan kepada masyarakat peladang berpindah, dengan tujuan untuk penyiapan ladang dan padang penggembalaan. Dalam hal ini masyarakat yang akan membakar cukup lapor kepada Kepala Desa setempat. Pemberian sangsi hukuman dan denda bagi para pelaku yang secara sengaja melanggar ketentuan. 3.2. Modifikasi Cuaca Konsentrasi polutan seperti asap dan debu akan lebih cepat bergerak dan menghilang apabila di lapisan udara tersebut terdjadi angin dengan kecepatan tinggi atau adanya pencucian atmosfer melalui hujan dan pembersihan asap. Untuk mengusahakan agar kondisi angin yang tadinya calm/lemah berubah menjadi kecepatan tinggi dalam cakupan wilayah yang luas sampai saat ini belum dapat dilakukan. Sedangkan untuk mengadakan pencucian atmosfer dapat dilakukan dengan melalui teknologi modifikasi cuaca yang ditujukan untuk menurunkan lapisan kabut asap dan debu sehingga memungkinkan untuk dapat terjadinya pertumbuhan awan dan hujan. Teknologi modifikasi cuaca, yang dilakukan adalah dengan menyemai serbuk Cuicklime (CaO) yang berdiameter 40 mikron, ke dalam
Dampak Dan Antisipasi Kebakaran Hutan (Sri Lestari)
173
lapisan asap. Penyemaian CaO akan dapat menimbulkan reaksi yang berbentuk pengikatan unsur-unsur gas H2O, CO2 dan SO2 oleh CaO sehingga kepekatan (viskositas) dari udara asap akan berkurang dan akibatnya radiasi matahari dapat menembus ke permukaan bumi. Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya arus konveksi yang akan memanaskan dengan molekul-molekul H2O dan CO2 demikian akan timbul pemanasan lokal pada kolom udara yang dipanasi oleh reradiasi tersebut sehingga akan terjadi gangguan pada sistem dinamika udara dari asap tebal yang berupa adanya perubahan kecepatan angin, suhu udara dan visibility di lokasi penyemaian. 3.3. Pengendalian kebakaran di Malaysia. Pemerintah Malaysia pada saat ini sangat memperhatikan pengendalian kebakaran hutan. Bagi para pelaku pembakar hutan yang melanggar peraturan benar-benar diberi sangsi hukuman atau denda tanpa pandang bulu. Pembakaran hanya dibenarkan apabila dilakukan dilahan pertanian untuk memberantas penyakit, serangga, bangkai dan pembakaran dengan tujuan penelitian. Usaha-usaha dalam menangani pengendalian kebakaran hutan adalah dengan jalan antara lain : a. Mengedarkan pamlet-pamlet kepada masyarakat umum mengenai pentingnya mencegah terjadinya kebakaran, informasi dan peraturan mengenai larangan membakar berikut bentuk sangsi hukumannya serta dampak pembakaran terbuka terhadap bahaya pencemaran udara. b. Selalu mengadakan pemantauan bila ada kebakaran hutan setiap hari terutama pada musim panas/kering. Dalam pemantauan terjadinya pembakaran terbuka dilakukan dengan cara-cara menindak lanjuti pengaduan, pengawasan lapangan (rondaan zone), pengamatan melalui udara dan penggunaan satelit.
BPPT sebagai lembaga penelitian tidak boleh berhenti dalam mengkaji teknologi modifikasi cuaca dalam kaitannya dengan kebakaran hutan. DAFTAR PUSTAKA 1. Agus Paulus.W. 2000, Pembakaran Lahan Mengurangi Curah Hujan, Harian Kompas 20 Maret 2000, Jakarta. 2. Ahmad Sasmito, 1998, Karakteristik Sebaran Polutan Saat Terjadi Kebakaran Hutan Di Daerah Kalimantan Dan Sumatera, Bulan September 1997, Buletin Meteorologi dan Geofisika No 1 Tahun 1998, BMG Jakarta. 3. Samsul Bahri dan Baginda P. Sitorus, 1999, Peranan Teknologi Modifikasi Cuaca Dalam Upaya Penanggulangan Asap Kebakaran Hutan, Prosiding Konferensi Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Kedeputian Bidang TPSA, BPPT, Jakarta. 4. Tuty MHW, dkk, 1998, Hasil Analisis Kimia Debu di Beberapa Tempat Yang Terkena Bencana Asap 1997, Buletin Meteorologi dan Geofisika No 1 Tahun 1998, BMG Jakarta 5. UPT Hujan Buatan, 1997, Modifikasi Cuaca Untuk Penanggulangan Asap Akibat Kabakaran Hutan dan Lahan Di Wilayah Sumatera dan Kalimantan, BPPT, Jakarta. RIWAYAT PENULIS Sri Lestari lahir di Yogyakarta, Tanggal 5 Februari 1954. Menyelesaikan pendidikan S1 Di Universitas Gadjah Mada, Fakultas Geografi. Sejak tahun 1980, bekerja sebagai staf UPTHB BPPT.
4. PENUTUP 1. Mengingat dampak kebakaran hutan dapat menimbulkan pencemaran udara yang sangat membahayakan kesehatan manusia maka pemerintah Indonesia harus serius dalam menangani masalah pengendalian pembakaran hutan. 2. Meskipun sudah dikeluarkan UU No 23 th 1997 tentang pengendalian praktek pembakaran hutan dan dampaknya, namun
174
Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 2, Januari 2000 : 171-175
LAMPIRAN Tabel 1. Akibat polusi pencemaran udara bagi kesehatan Pollutan
Kosentrasi
Lama
Akibat
Sulfur Oxida dan partikel SO2
1.6.ppm 0.2 ppm
Rata-rata 1 jam dalam sepanjang hari
Berjangkitnya penyakit batuk dan ispa (infeksi pernapasan saluran atas)
Sulfur Oxida dan partikel lain
0.05 ppm
Dalam waktu yang sangat lama
Anak-anak mudah terserang penyakit batuk berdahak yang berkepanjangan
0.2 ppm SO2 disertai dengan debu hitam 200 ug/m3
Sepanjang hari
Memburuknya penyakit bronchitis bagi penderita yang sudah kronik.
0.25 ppm SO2 disertai dengan debu hitam 750 ug/m3
Sepanjang hari
Meningkatnya penyakit kejiwaan.
.
Dampak Dan Antisipasi Kebakaran Hutan (Sri Lestari)
175