PEMANFATAN JAMUR PATOGEN SERANGGA DALAM PENANGGULANGAN Helopeltis antonii DAN AKIBAT SERANGANNYA PADA TANAMAN JAMBU METE Tri Eko Wahyono1
D
alam sistem pengendalian hama terpadu (PHT), pengenalan terhadap jenis dan biologi hama sasaran diperlukan sebagai dasar penyusunan taktik pengendalian. Tindakan pengendalian hama dilaksanakan sesuai dengan hasil monitoring populasi dan hanya dilakukan bila populasi hama melampaui padat populasi kritis yang ditentukan, serta mengutamakan pelestarian dan pemanfaatan musuh alami yang ada di alam. Penggunaan insektisida kimia sintetis diupayakan sebagai pilihan terakhir dan sedapat mungkin dipilih jenis insektisida serta teknik aplikasi yang paling aman bagi lingkungan khususnya untuk kelangsungan hidup parasitoid dan predator.
Beberapa mikroorganisme baik bakteri, jamur maupun virus telah diketahui dapat digunakan untuk mengendalikan populasi hama serta terbukti aman bagi parasitoid dan predator suatu hama. Jamur entomopatogenik Beauveria bassiana (Bals) Vuill. telah dikenal oleh para praktisi di lapangan memiliki potensi untuk mengendalikan beberapa jenis hama di perkebunan termasuk Helopeltis sp. (Darmono dan Gunawan 1999). B. bassiana adalah jamur yang umum dijumpai di tanah dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Entomopatogen ini diketahui dapat menyerang beberapa jenis hama penting di antaranya whiteflies, aphids, belalang, rayap, Colorado potato beetle, Mexican bean beetle, Japanese beetle, boil weevil, cereal leaf beetle, bark beetle, lygus bugs, semut api, penggerek jagung Eropa, codling moth, dan Douglas fir tussock moth (Steinhaus 1949). Di Indonesia B. bassiana telah dibuktikan mampu menyerang dan mematikan Helopeltis antonii (Sudarmadji dan Gunawan 1994). Hasil penelitian Sulistyowati et al. (2002) menunjukkan bahwa penggunaan B. bassiana secara terusmenerus pada pertanaman kakao tidak berpengaruh buruk terhadap musuh alami maupun serangga berguna lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan strain B. bassiana dan perekat perata yang efektif dalam mengendalikan H. antonii.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di laboratorium hama dan penyakit, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Bogor, pada bulan Desember 2003 sampai Maret 2004. Bahan yang digunakan adalah H. antonii yang telah dikembangbiakkan di laboratorium dan B. bassiana yang diperbanyak dengan media jagung. Dua isolat B. bassiana yang digunakan masing-masing berasal dari Jombang dan Leptocorisa sp. yang terinfeksi jamur tersebut. Dua strain jamur B. bassiana yang telah diperbanyak pada media jagung ditimbang 10 g kemudian ditambahkan air 1 liter dan dua jenis perekat perata masing-masing 0,2 ml. Perekat perata masing-masing mengandung bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat serta alkil gliserol ftalat. Larutan tersebut selanjutnya disemprotkan pada tanaman jambu mete, ditunggu sampai tanaman tersebut kering, lalu dimasukkan imago H. antonii sebanyak 10 ekor pada masingmasing tanaman lalu dikurung dengan menggunakan kurungan yang terbuat dari kain kasa. Bibit tanaman jambu mete sebagai tanaman uji berumur 6 bulan dan pertumbuhannya seragam. Bibit merupakan hasil pembibitan di rumah kaca. Perlakuan yang diuji adalah lima kombinasi strain B. bassiana dan perekat perata (Tabel 1). Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah alat semprot, tabung erlenmeyer, tabung reaksi, timbangan elektrik, pengaduk, kurungan kasa, stoples, autoclave yaitu alat sterilisasi media buatan untuk perbanyakan B. bassiana, jarum ose, serta laminar flow untuk menginokulasikan jamur B. bassiana pada media jagung.
Tabel 1. Perlakuan kombinasi strain B. bassiana dan perekat perata yang diuji di laboratorium Balittro, Bogor, 2003/2004 Kode
Perlakuan
A
B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat B. bassiana strain Leptocorisa + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B. bassiana strain Leptocorisa + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat Kontrol (tanpa B. bassiana dan tanpa perekat perata)
B C
1
Teknisi Litkayasa Lanjutan pada Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Telp. (0251) 321879, Faks. (0251) 327010
Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, 2006
D E
17
Parameter yang diamati dan diukur adalah tingkat kematian H. antonii setelah aplikasi dengan jamur B. bassiana dan tingkat serangan H. antonii pada bibit jambu mete. Tingkat kematian H. antonii dihitung dengan rumus sebagai berikut: P =
a b
x 100%
P = persentase kematian a = jumlah serangga yang mati b = jumlah serangga yang diamati Tingkat serangan H. antonii pada bibit jambu mete diketahui berdasarkan pertumbuhan vegetatif yang meliputi: (a) tinggi tanaman, diukur dari leher akar sampai dengan titik tumbuh, (b) diameter batang, diukur 5 cm di atas pangkal batang dengan menggunakan jangka sorong/sigmat, dan (c) jumlah daun yang tumbuh.
Tabel 2. Tingkat kematian Helopeltis antonii pada beberapa perlakuan Beauveria bassiana dan jenis-jenis perekat perata, laboratorium Balittro, Bogor, 2003/2004 Tingkat kematian H. antonii (%) pada pengamatan hari ke
Perlakukan
A B C D E
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 0 0 0 0
18 12 8 2 0
22 28 10 2 0
22 28 16 12 0
22 36 40 16 4
34 40 48 28 4
38 40 58 42 8
56 46 62 60 8
58 62 78 80 8
80 78 90 88 38
Keterangan: A = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat C = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat D = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat E = Kontrol (tanpa B. bassiana dan tanpa perekat perata)
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kematian H. antonii Hasil pengamatan terhadap persentase mortalitas H. antonii menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan agen hayati dan kontrol. Mortalitas imago mulai terjadi pada hari kedua setelah infestasi. Rata-rata persentase mortalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan B. bassiana strain Jombang yang ditambah perekat dengan bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat (18%), diikuti oleh B. bassiana strain Jombang yang ditambah perekat dengan bahan aktif alkil gliserol ftalat (12%) dan B. bassiana strain Leptocorisa sp. ditambah perekat dengan bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat (8%) (Tabel 2). Pada pengamatan hari ke-3, 4 , dan 5 terdapat perbedaan nyata antara perlakuan dan kontrol. Rata-rata persentase mortalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan B. bassiana strain Jombang yang ditambah dengan perekat perata dengan bahan aktif alkil gliserol ftalat masing-masing 28%, 28%, dan 36%. Pada perlakuan kontrol, mortalitas H. antonii mulai terjadi pada hari ke-5 dengan tingkat kematian sebesar 4%, sedangkan pada perlakuan B. bassiana strain Jombang ditambah perekat bahan aktif alkil gliserol ftalat tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. bassiana strain Leptocorisa sp. ditambah perekat dengan bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat masing-masing 36% dan 40%. Hasil percobaan ini bertentangan dengan pendapat Rosmahani et al. (2002) yang menyatakan bahwa penggunaan B. bassiana yang dicampur dengan perekat perata dengan 18
bahan aktif alkil anil poliglikol eter memberikan pengaruh yang cukup tinggi dalam mengendalikan hama penggerek buah kopi daripada yang dicampur dengan perekat perata yang mengandung bahan aktif alkil gliserol ftalat. Pada pengamatan hari ke-6 dan 7 ada perbedaan nyata antara perlakuan dan kontrol. Perlakuan B. bassiana strain Leptocorisa sp. ditambah perekat dengan bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat memberikan tingkat mortalitas H. antonii berturut-turut 48% dan 58%, sedangkan pada perlakuan B. bassiana strain Jombang ditambah perekat perata dengan bahan aktif alkil gliserol ftalat tingkat mortalitas H. antonii sebesar 34%. Hasil penelitian Atmadja et al. (2001) menunjukkan B. bassiana asal Jombang mampu menyebabkan kematian pada imago H. antonii sebesar 94-98%, dan 8692% bila B. bassiana diaplikasikan pada pakan. Pada hari ke-8, 9, dan 10, tingkat kematian H. antonii tidak berbeda di antara perlakuan kecuali kontrol. Pada perlakuan kontrol, tingkat kematian H. antonii lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Tingkat kematian H. antonii tertinggi pada hari ke-10 terdapat pada perlakuan B. bassiana strain Leptocorisa sp. ditambah dengan perekat perata dengan bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat yaitu 90%, sedangkan kontrol hanya 38%. Sulistyowati et al. (2003) menyatakan bahwa perlakuan B. bassiana dengan menggunakan perekat perata yang mengandung alkil aril alkoksilat dan asam oleat dapat mematikan hama penggerek buah kopi sebesar 100%. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, 2006
Identifikasi serangga yang mati oleh B. bassiana dilakukan dengan cara mengumpulkan serangga yang mati pada cawan petri agar miselia jamur tumbuh pada tubuh serangga tersebut. Kematian serangga H. antonii akibat B. bassiana terlihat setelah tiga hari dengan munculnya hifa di seluruh tubuhnya (Gambar 1). Semua strain B. bassiana dapat mematikan H. antonii dengan tingkat keefektifan pengendalian yang sebanding. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan tingkat keefektifan dua jenis strain B. bassiana yang berbeda dengan perekat perata, yang diaplikasi terhadap H. antonii pada bibit jambu mete.
diikuti dengan gugurnya daun (Gambar 3). Pada tanaman teh, H. antonii menyerang bagian pucuk dan mampu menurunkan produksi 97,6% selama 8 minggu (Dharmadi 1990). Hasil pengamatan Wiratno et al. (1996) di pembibitan menunjukkan
Kerusakan tanaman jambu mete (%) 80 67,4 60
Tingkat Serangan H. antonii pada Tanaman Jambu Mete
48,86
50,42
48,86
C
D
43,27
40 20
Serangan H. antonii pada bibit jambu mete cukup tinggi, sekitar 43,27-67,4% (Gambar 2). Terdapat perbedaan nyata antara kontrol dengan perlakuan pemberian B. bassiana ditambah dengan perekat perata. Perlakuan B. bassiana ditambah perekat perata menunjukkan hasil yang tidak berbeda pada semua perlakuan. Hal ini disebabkan imago H. antonii terlihat aktif menyerang tanaman sewaktu B. bassiana diinfestasikan. Tingginya tingkat serangan H. antonii pada kontrol disebabkan imago masih dapat bertahan hidup pada hari ke-4 setelah aplikasi, sedangkan pada perlakuan pemberian B. bassiana dan perekat perata kematian serangga sudah terlihat pada hari kedua.
0
A
B
E
Perlakuan Keterangan: A = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat C = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat D = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat E = Kontrol (tanpa B. bassiana dan tanpa perekat perata)
Tanaman yang terserang menunjukkan gejala kerusakan pada tunas-tunas daun muda, tangkai daun terdapat bercakbercak hitam tidak merata, daun dan ranting mengering dan
Gambar 2. Persentase kerusakan tanaman jambu mete akibat serangan H. antonii, laboratorium Balittro, Bogor, 2003/ 2004
Gambar 1. Imago H. antonii yang terinfeksi B. bassiana, laboratorium Balittro, Bogor, 2003/2004
Gambar 3. Serangan H. antonii pada pucuk bibit jambu mete, laboratorium Balittro, Bogor, 2003/2004
Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, 2006
19
bahwa sebelum menyerang pucuk, nimfa instar 1 dan 2 menyerang daun muda terlebih dahulu. Kerusakan yang disebabkan oleh H. antonii ada dua macam, yaitu daun dan pucuk muda berwarna coklat kemudian mengering dan akhirnya mati, serta adanya bekas tusukan pada batang muda yang dapat memacu infeksi patogen lain. Adhi et al. (2000) menyatakan bahwa kombinasi antara H. antonii dengan jamur Pestaloiopsis desseminata mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih parah dibandingkan dengan kerusakan akibat serangan sendiri-sendiri. Dengan demikian, luka terutama pada bagian pucuk akibat tusukan H. antonii dapat menjadi tempat infeksi jamur P. desseminata. Pertumbuhan Daun Setelah Infestasi H. antonii Tanaman yang terserang oleh H. antonii ternyata dapat tumbuh kembali, terlihat dengan munculnya tunas-tunas baru. Tunas-tunas yang baru tumbuh terlihat pada semua perlakuan. Rata-rata daun yang terbentuk pada setiap perlakuan adalah 1,6-2,6 helai daun tiap tanaman (Gambar 4).
Rata-rata pertumbuhan daun (helai)
Diameter Batang
30
Sebelum terserang Setelah terserang Pemulihan
25 20 15 10 5 0
A
B
C
D
E
Perlakuan Keterangan: A = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat C = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat D = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat E = Kontrol (tanpa B. bassiana dan perekat perata) Gambar 4. Rata-rata pertumbuhan daun jambu mete setelah infestasi H. antonii
20
Pengamatan pada 4 minggu setelah infestasi H. antonii menunjukkan perlakuan B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat dan B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat memiliki tingkat pertumbuhan daun baru rata-rata 2,6 helai daun, sedangkan perlakuan B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat dan B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat masingmasing 2,2 dan 2 helai daun/tanaman, sedangkan kontrol 1,6 helai daun. Pada serangan berat, tanaman tidak dapat membentuk tunas baru. Wiratno dan Wikardi (1994) menyatakan bahwa satu tusukan pada titik tumbuh dapat menyebabkan kematian pucuk tanaman. Walaupun terdapat tusukan H. antonii pada bagian atas, tengah dan bawah, bila titik tumbuh tidak terserang maka ranting tersebut masih dapat tumbuh dan berkembang. Namun, secara agronomis hal ini sangat merugikan karena banyak daun-daun yang tidak terkena sinar matahari langsung sehingga akan menurunkan produktivitas tanaman. Menurut Ohler (1979), keadaan ini akan menyebabkan pertumbuhan tanaman cenderung berkembang ke samping sehingga tajuk tanaman akan bersentuhan dengan tajuk tanaman di sebelahnya.
Pengamatan terhadap diameter batang pada 4 minggu setelah aplikasi menunjukkan adanya perbedaan dari masing-masing perlakuan. Rata-rata diameter batang tertinggi terlihat pada perlakuan B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat sebesar 0,8 mm, sedangkan diameter terkecil pada perlakuan kontrol yaitu 0,72 mm. Diameter batang pada perlakuan B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat, B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat, dan B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat berturut-turut adalah 0,79; 0,77; dan 0,74 mm (Gambar 5). Serangan hama pada bibit tanaman mempengaruhi perkembangan tanaman.
Tinggi Tanaman Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada 4 minggu setelah aplikasi. Pada kontrol tidak ada pertambahan tinggi tanaman akibat tingginya serangan H. antonii. Pertambahan tinggi tanaman terlihat pada perlakuan B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat, B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, 2006
Diameter batang (mm) 0,82
Sebelum terserang Setelah terserang
0,82 0,80 0,78 0,76 0,74 0,72 0,70 0,68
A
Tinggi tanaman (cm) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
B
C
D
E
Perlakuan
Sebelum terserang Setelah terserang
A
B
C
D
E
Perlakuan
Keterangan: A = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat C = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat D = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat E = Kontrol (tanpa B. bassiana dan perekat perata)
Keterangan: A = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat B = B. bassiana strain Jombang + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat C = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan as am oleat D = B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat E = Kontrol (tanpa B. bassiana dan perekat perata)
Gambar 5. Rata-rata pertumbuhan diameter batang tanaman jambu mete, Balittro, Bogor, 2003/2004
Gambar 6. Rata-rata tinggi tanaman jambu mete pada awal dan sesudah perlakuan, Balittro, Bogor, 2003/2004
aktif alkil gliserol ftalat, B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat, dan B. bassiana strain Leptocorisa sp. + perekat perata bahan aktif alkil gliserol ftalat berturut-turut sebesar 0,2; 0,06; 0,2; dan 0,4 cm (Gambar 6).
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN B. bassiana strain Jombang dan Leptocorisa sp. dan dua jenis perekat perata yang digunakan mempunyai efektivitas yang sama dalam menekan atau mematikan H. antonii pada bibit jambu mete. Pemberian jamur B. bassiana dan perekat perata dapat menurunkan populasi hama serta mengurangi tingkat kerusakan pada tanaman. Dengan demikian kedua strain jamur B. bassiana tersebut dapat digunakan untuk mengendalikan H. antonii di lapang dengan dosis dan waktu penyemprotan yang tepat. Pembentukan tunas baru dan daun masih dapat terjadi 4 minggu setelah infestasi H. antonii pada perlakuan B. bassiana. Tanpa perlakuan B. bassiana, tanaman mati karena tingkat serangan H. antonii yang tinggi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, 2006
Adhi, E., M. Supriadi, S. Rahayuningsih, D. Kilin, dan N. Nuryani. 2000. Pestaliopsis desseminata pada jambu mete, biologi dan interaksinya dengan Helopeltis antonii. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 6(3): 66-72. Atmaja, W.R., T.E. Wahyono, T.H. Savitri, dan E. Karmawati. 2001. Keefektifan Beauveria bassiana terhadap Helopeltis antonii SIGN. Prosiding Seminar Nasional III Pengelolaan Serangga yang Bijaksana Menuju Optimasi Produksi. Bogor, 6 November 2001. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bogor. hlm. 179-186. Darmono, T.W. dan S. Gunawan. 1999. Alih teknologi pengembangan dan aplikasi Beauveria bassiana untuk pengendalian Helopeltis sp. di beberapa perkebunan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. hlm. 797-804. Dharmadi, A. 1990. Faktor penyebab peningkatan populasi serangga hama Helopeltis antonii Signoret di perkebunan teh. Prosiding Simposium Teh V, Bandung, 27 Februari-1 Maret 1990. hlm. 173-188. Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Bandung.
21
Ohler, J.G. 1979. Cashew. Communication 71, Departemen of Agricultural Research, Kolningljk Institute, V.D. Tropen, Amsterdam. 25 pp. Rosmahani L., E. Korlina, dan D. Rachmawati. 2002. Keefektifan beberapa strain Beauveria bassiana terhadap penggerek buah kopi. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat berbasis Agribisnis. Bogor, 17-18 September 2002. Bagian Proyek PHT Perkebunan, Bogor. hlm. 213-220. Steinhaus, E.A. 1949. Principles of Insect Pathology. Mc Graw Hill Book Company, New York, Toronto, London. p. 757-770. Sudarmadji, D. dan S. Gunawan. 1994. Patogenisitas fungi entomopatogen Beauveria bassiana terhadap Helopeltis antonii. Menara Perkebunan 62: 1-5. Sulistyowati, E., Y.D. Junianto, Sri-Sukamto, S. Wiryadiputra, L. Winarto, dan N. Primawati. 2002. Analisis status penelitian
22
dan pengembangan PHT pada pertanaman kakao. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat "Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat Berbasis Agribisnis", Bogor, 17-18 September 2002. Bagian Proyek PHT Perkebunan, Bogor. hlm. 251-264. Sulistyowati, E., Mufrihati, dan Baharudin. 2003. Pengkajian efektifitas beberapa agens hayati untuk mengendalikan hama penggerek buah kakao (PBK). Laporan Hasil Penelitian 2003. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Wiratno dan E.A. Wikardi. 1994. Pengaruh tusukan Helopeltis antonii terhadap pertumbuhan ranting jambu mete. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat IX(2): 103-105. Wiratno, E.A. Wikardi, I.M. Trisawa, dan Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis antonii (Hemiptera: Miridae) pada tanaman jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 7(1): 36-42.
Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, 2006