“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
DAKWAH PADA MASYARAKAT TERASING Studi Analisis tentang Tipologi Mitra Dakwah “Suku Anak Dalam” di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi Oleh: Wisri Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo
[email protected]
Abstract: Tribal Child Within is part of a group of indigenous people who were in the Jambi region spread over three districts namely Batang Hari, Bungo and Tebo Sarolangun Bangko and which is the object of this study is the tribe who live at Children In Park Hill twelve Black Water District Sarolangun Jambi. They are his remote, isolated, left behind in the economic, educational, health, social, political and religious. To meet the needs of daily life conducted by collecting forest products and hunting animals. Focus of this study is to describe the characteristics or typology Tribal Children In terms of cultural, social and economic. With the aim of understanding the characteristics of the tribe after the Child Within, the authors could find an effective strategy for the propagation of the Tribal Children In and other isolated communities which have such characteristics Spare the Child Within. To answer the above problems is first author of observation and interviews to several parties involved in this study and analyzed (Content analisys). From these data and translate it into the category of the author and pass into units , then draw conclusions inductively to construct an effective theory in preaching on Tribal Child Within. From this study, the authors that an effective strategy for the propagation of the Tribal Children In preaching the approach is the cultural, economic approach, social approach and the final approach to language as propaganda entrance on Children In Tribal communities. Key words: Propagation, Society Remoteness, Typology and Tribal Children In
JURNAL LISAN AL-HAL
35
35
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
A. Pendahuluan Islam sebagai al-din Allah SWT merupakan manhaj al-hayat (metode hidup) atau way of life (jalan hidup), acuan dan kerangka nilai kehidupan.1 Satu hal yang diyakini umat Islam adalah kemanfaatan ajaran yang diikutinya berlaku secara universal, tidak terbatas pada pengikutnya saja, tetapi untuk keseluruhan alam ini. Dakwah merupakan suatu aktivitas seorang Muslim untuk menyebarkan ajaran Islam ke muka bumi yang penyampaiannya diwajibkan kepada setiap Muslim, yang mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Dakwah merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan umat beragama. Dalam ajaran agama Islam, ia merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, yang berisi seruan kepada keinsyafan, atau mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.2 Taman Nasional Bukit Dua belas adalah taman nasional yang terletak di Sumatra, Indonesia. Tepatnya di Kabupaten Sarolangun, Kecamatan Air Hitam, Provinsi Jambi. Taman ini merupakan taman nasional yang relatif kecil, meliputi wilayah seluas 605 km. Dan di kawasan hutan lindung inilah berdiam Suku Anak Dalam atau Suku Kubu atau Orang Rimba.3 Kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan Suku Anak Dalam. Kepercayaan bahwa setiap benda di Bumi ini seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar, mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia. Mereka meyakini bahwa benda-benda mempunyai kekuatan untuk memberi mereka kejahteraan dan keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini menekankan pada : pertama, Bagaiamanakah karakteristik Suku Anak Dalam ?, Kedua, Bagaimanakah pandangan individu dakwah terkait dakwah pada Suku Anak Dalam ? Masyarakat terasing atau dengan istilah lain masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada 1 2 3
36 36
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta : Kencana. Cet. 2, 2006), hlm.3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 194. http://id.wikipedia.org/wiki/Taman Nasional Bukit Duabelas, 21:30 am.
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
cara-cara atau kebisaaan-kebisaaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka.4 Alamsyah Mandolani dalam bukuya Pola Komunikasi Orang Rimba Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi menyebutkan bahwa orang rimba dapat juga dikatakan masyarakat terasing. Istilah masyarakat terasing telah lama beredar di Indonesia yang dipelopori Departemen Sosial sebagai institusi pemerintah yang bertugas mengurusi masalah masyarakat terasing. Orang Rimba merupakan salah satu dari 370 suku atau sub suku yang dikategorikan Departemen Sosial sebagai masyarakat terasing, yang tersebar di pedalaman hutan-hutan di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di kawasan sekitar Taman Bukit Dua Belas ini menyebut dirinya Orang Rimba, hal ini guna untuk membedakan diri mereka dengan orang luar atau disebut dengan orang terang. Pola komunikasi yang terdapat pada orang rimba TNBD ini secara keseluruhan berbentuk Roda, yaitu tersentral pada satu orang, dapat dilihat bahwa dalam komunikasi antar sesama mereka orang rimba menggunakan Manti (juru bicara) sebagai orang yang mengantar pesan kepada rombong lain. Sedangkan komunikasi orang rimba dengan orang terang dalam bidang perdagangan dijembatani oleh Jenang dan waris (duta) sebagai jembatan dalam pemecahan masalah yang terjadi antara orang rimba dengan orang terang. Johan Weintre berpendapat bahwa karakteristik Orang Rimba yang hidup di Batin Sembilan, yang mencakup budaya, mata pencaharian orang rimba, kehidupan sosial orang rimba, dan sistem perkawinan orang rimba. Ajaran Agama Islam yang menganndung Rahmatan lil Alamin sebagai al-din Allah SWT merupakan manhaj al-hayat (metode hidup) atau way of life (jalan hidup), acuan dan kerangka nilai kehidupan.5 Satu hal yang diyakini umat Islam adalah kemanfaatan ajaran yang diikutinya berlaku 4 http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat. html, diakses pada 02 Maret 2014, 22:42 am. 5 M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta : Kencana. Cet. 2, 2006), hlm.3
JURNAL LISAN AL-HAL
37
37
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
secara universal, tidak terbatas pada pengikutnya saja, tetapi untuk keseluruhan alam ini. Syaikh Ali Mahfudz mendefinisikan dakwah dengan :
ﺍﻻﺟﹺﻞﹺﺎﺟﹺﻞﹺ ﻭ ﺍﻟﻌﺓﺎﺩﻌﻭﺍ ﺑﹺﺴﻔﹸﻮﺯﻴﻜﹶﺮﹺ ﻟﻦﹺ ﺍﳌﻨﻰﹺ ﻋﻬﺍﻟﻨ ﻭﻭﻑﺮ ﺑﹺﺎﳌﻌﺮﺍﻻﹶﻣ ﻭ,ﻯﺍﳍﹸﺪﺮﹺ ﻭﻠﹶﻰ ﺍﳋﹶﻴﺎﺱﹺ ﻋﺚﱡ ﺍﻟﻨﺣ “Mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagian di dunia dan akhirat”.6 Sedangkan menurut Muhammad Sulton dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya, yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlaq Islamiyah.7 Untuk menyebarluaskan ajaran Islam dengan berdakwah perlu kiranya untuk menetapkan tujuan dakwah. Pada pokoknya dakwah itu mempunyai tujuan untuk mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akherat. Tujuan program kegiatan dakwah dan penerangan agama adalah menumbuhkan pengertian, kesadaran penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang dibawakan oleh aparat dakwah atau penerangan agama.8 Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad (1980) menerangkan delapan macam-macam dakwah (golongan manusia), yakni : 1). Golongan para ulama 2). Golongan ahli Zuhud dan Ibadah 3). Golongan penguasa dan pemerintah, 4). Golongan kaum pedagang dan pegawai 5). Golongan kaum lemah dan fakir miskin 6). Golongan keluarga dan para hamba &). Golongan ahli taat dan durhaka dari orang-orang yang biasa, 8). Golongan orang yang tak mau menerima dakwah Allah dan Rasulullah dan tak mau beriman kepada Allah dan Rasulullah9 Semua aktifitas kegiatan dakwah tidak akan pernah berhasil tanpa adanya masyarkat. Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau Ali Mahfudz, Hidayatu al-Mustarsyidin ila al-Thuruq al-Wa’dhli wa al-Khatabah, (Dar al-I’thisham,1979), hlm. 17 7 Muhammad Sulton, Desain ILmu Dakwah (Kajian Ontologis Epistemelogis dan Aksiologis). (Semarang : Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 9 8 H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. 6 hlm. 4. 9 Abdullah bin Alawy al-Haddad, Da’watu al-Tammah wa Tadzkiratu al-‘Ammah, Dar al-Hawi,1421 H, cet. IV, hlm. 14 6
38 38
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individuindividu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitasentitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.10 Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.11 Masyarakat terasing adalah kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumberdaya alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas.12 Semakna dengan pengertian masyarakat terasing adalah masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka.13 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, diakses pada 02 September 2013, 22:30 am. 11 Ibid 12http://ruliati-dosenkucantik.blogspot.com/2012/02/kebkom-prioritas- keluargamiskin-dan.html, diakses pasa 02 September 2013, 22:35 am. 13 http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat. html, diakses pada 02 September 2013, 22:42 am.
JURNAL LISAN AL-HAL
39
39
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
Masyarakat tradisional menurut Rentelu, Pollis, dan Schaw, adalah masyarakat yang statis. Tidak ada perubahan sama sekali. Tidak ada dinamika yang timbul dalam kehidupannya. Statis di sini dapat diartikan selalu sama dari hari ke hari. Sekalipun anggota masyarakatnya semakin hari terus bertambah akibat reproduksi atau berkurang akibat kematian, semuanya tidak mengubah kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat tradisional juga dapat diartikan sebgai sekelompok orang yang hidup dengan tradisi-tradisi tertentu. Adat istiadat yang sudah ada sebelumnya. Tidak terpengaruh oleh adanya perubahan zaman karena mereka merasa cukup dengan kehidupan dan penghidupan yang mereka jalani, secepat apapun evolusi kebudayaan yang terjadi pada zaman tersebut. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Dikatakan demikian karena umumnya mereka hidup di daerah pedesaan yang letak geografisnya berada jauh dari perkotaan dengan segala hiruk-pikuk kehidupan kota dan modernisasi. Itulah sebabnya mereka masih berpegang teguh pada tradisi lama. Apabila ada masyarakat pedesaan yang sudah terpengaruh dengan perkembangan zaman sehingga mengalami perubahan dalam kehidupannya, ia tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat trasional lagi.14 Untuk mengetahui ciri-ciri masyarakat terasing atau dengan istilah lain masyarakat tradisional dapat dilihat dari pengertian masyarakat terasing dan masyarakat tradisional yang telah diuraikan di atas. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat kita simpulkan ciri masyarakt terasing atau masyarakat tradisional, yaitu sebagai berikut : Teguh pada tradisi lama yang mereka jalankan dalam kehidupan. Tidak terpengaruh oleh perubahan yang ada.Tidak ada dinamika dalam kehidupan sosialnya.Masih memiliki hubungan langsung dengan alam sekitarnya. Kehidupan yang dijalankan, umumnya bersifat agraris. Memiliki ketergantungan yang besar terhadap alam sekitar dalam kehidupannnya. Pola kehidupannya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam bagi kehidupannya. Pola kehidupan yang ada juga ditentukan oleh struktur sosial berkaitan dengan letak geografis serta struktur kepemilikan dan penggunaan tanah yang ada.15 Metode penelitian yang gunakan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, 14 http://www.anneahira.com/pengertian-masyarakat-tradisional.htm, September 2013, 23:43 am. 15 ibid
40 40
JURNAL LISAN AL-HAL
02
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif.16 Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Lexy Moleong17 : 1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapan dengan kenyataan ganda. 2. Metode ini secara tidak langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. 3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubunganhubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan, serta proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena.18 Lokasi penelitian adalah lokasi di mana penelitian ini akan dilakukan. Pada penelitian ini, peneliti mengambil lokasi Taman Nasional Bukit Dua Belas Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data primer untuk mengetahui langsung karakteristik Suku Anak Dalam selain data primer Peneliti menggunakan data sekunder untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan terhadap masyarakat Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi. Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data adalah trianggulasi, yaitu :19 Wawancara, Observasi/Pengamatan dan Dokumentasi. 16 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hlm.131 17 Ibid, hlm. 138. 18 Moh. Nazir. Ph. D, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 16 19 Lexy Moleong. J. Metodologi Penelitian Kualitatif…. hlm. 135
JURNAL LISAN AL-HAL
41
41
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
B. Keberadaan Agama dan Budaya Masyarakat Geertz menjelaskan tentang definisi agama kedalam lima kalimat, yang masing-masing saling mempunyai keterkaitan. Definisi agama menurut Geertz : Agama sebagai sebuah system budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan agama sebagai: 1). Sebuah sistem simbol yang bertujuan 2). Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara 3). Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum 4). Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual 5). Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.20 Definisi di atas cukup menjelaskan secara runtut keseluruhan keterlibatan antara agama dan budaya. Pertama, sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang. Ide dan simbol tersebut bersifat publik, dalam arti bahwa meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Kedua, agama dengan adanya simbol tadi bisa menyebabkan seseorang marasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk maupun benar dan salah bagi dirinya. Ketiga, agama bisa membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi. Dalam hal ini agama terpusat pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan pasti bagi dunia. Keempat, konsepsi–konsepsi dan motivasi tersebut membentuk pancaran faktual yang oleh Geertz diringkas menjadi dua, yaitu agama sebagai “etos” dan agama sebagai “pandangan hidup”. Kelima, pancaran faktual tersebut akan memunculkan ritual unik yang memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut, yang oleh manusia dianggap lebih penting dari apapun.21 Sedang Emile Durkheim mendifinisakan agama dengan suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. 20 Daniels L. Pals, Seven Theories, Tujuh Teori Agama (terj. Inyiak Ridwan Munir dan M. Syukri). (Yogyakarta : Irchisod). Hlm. 342. 21 Ibid, Hlm. 343-346.
42 42
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.22 Sementara Marx menafsirkan agama sebagai candu bagi masyarakat “Kesukaran agama- agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran yang sebenarnya dan protes melawan kesukarann yang sebnarnya. Agama adalah nafas lega makhluk tertindas, hatinya dunia yang tidak punya hati, spirit kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat”.23 Dalam kehidupan masyarakat Agama masuk ke relung-relung kehidupan sosial masyarakat, hidup dan berkembang serta eksis sedemikian rupa sehingga muncullah Budaya yang bahkan keberadaan budaya bisa mengalahkan ajaran Agama. Kalau kita perhatikan bahwa budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.24 Sedangkan Kata kebudayaan, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa Latin cultura berarti memelihara, mengolah dan 22 http://media.isnet.org/islam/gapai/Durkheim.html, diakses pada 08 September 2013, 7:20 am. 23 http://sosiologimarxis.wordpress.com/2011/03/05/60/, diakses pada 08 Septem 2013, 7:27 am. 24 Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta : Penerbitan Universitas, 1980), hlm. 170
JURNAL LISAN AL-HAL
43
43
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan mengolah, memelihara, dan mengerjakan hal-hal yang menghasilkan tindakan budaya. Karena itu, konsep kebudayaan menjadi sangat beragam dan meloncat-loncat. Hal ini seperti pernyataan Kroeber dan Kluckhohn (Alisjahbana, 1986:207-208), definisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi 7 hal, yaitu : 1. Kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks, meliputi hokum, seni, moral, adat-istiadat, dan segala kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. 2. Menekankan sejarah kebudayaan, yang memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. 3. Menekankan kebudayaan yang bersifat normative, yaitu kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku. 4. Pendekatan kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. 5. Kebudayaan dipandang sebagai struktur, yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. ] 6. Kebudayaan sebagai hasil perbuatan dan kecerdasan. Kebudayaan adalah sesuatu yang membedakan hewan dengan manusia, misalkan manusia pintar menggunakan symbol dalam komunikasi sedangkan hewan tidak. 7. Definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang bersistem.25 Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Sedang perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lainlain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.26
25 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity press, 2006), cet. II, hlm. 4.
https://docs.google.com/file/d/0B6aC4A7EcCajVXRnbExjVktjZlE/edit?pli=1, Diakses pada 03 September 2013, 12 : 45. 26
44 44
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
Beberapa pendapat yang ada tentang unsur kebudayaan universal, pendapat C. Kluckhohn yang sering dijadikan sebagai referensi. Pendapat C. Klluckhohn tentang 7 unsur kebudayaan universal merupakan hasil intisari dari pendapat-pendapat lainnya yang selanjutnya disebut culture universals, yaitu sebagai berikut : System kepercayaan (system religi), System pengetahuan, Peralatan dan perlengkapan manusia, Mata pencaharian dan system ekonomi, System kemasyarakatan, Bahasa, Kesenian. Menurut Koentjaraningrat didasarkan pada mudah atau susahnya suatu unsur kebudayaan mengalami perubahan. Artinya, unsur kebudayaan yang ada pada nomor urut pertama dianggap sebagai unsur kebudayaan universal yang paling sulit berubah, sedangakan urutan terakhir merupakan unsur kebudayaan yang paling mudah berubah.27 C. Perubahan Sosial, Budaya dan Konversi Agama Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahanperubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Unsur-unsur yang termasuk ke dalam sistem sosial adalah nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilakunya diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Selain itu Kingsley davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat. William F Ogburn berusaha memberikan pengertian tertentu, walau tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan sosial. Dia mengemukakan ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan unsur-unsur sosial dalam masyarakat, sehingga terbentuk tata kehidupan sosial yang baru dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, polapola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya. Perubahan budaya adalah perubahan unsur-unsur kebudayaan karena perubahan pola pikir masyarakat sebagai pendukung kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan yang berubah adalah sistem kepercayaan/religi, sistem mata pencaharian hidup, sistem 27 http://www.anneahira.com/7-unsur-kebudayaan-universal.htm, diakses pada 03 September 2013, 13:10 am.
JURNAL LISAN AL-HAL
45
45
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan tehnologi, bahasa, kesenian, serta ilmu pengetahuan.28 1. Factor-Faktor Penyebab Perubahan Sosial dan Kebudayaan. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Yaitu : Komunikasi; Cara dan pola pikir masyarakat; Faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.29 2. Faktor-faktor Penghambat Perubahan Sosial dan Budaya Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya : Kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; Perkembangan IPTEK yang lambat; Sifat masyarakat yang sangat tradisional; Ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; Prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; Rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; Hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.30 Sedangkan menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, faktor yang menyebabkan konversi agama meliputi; konflik jiwa, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, ajakan dan sugesti, faktor emosi, kemauan, cinta, pernikahan, hidayah dan kebenaran agama. Para ahli sosiologi menjelaskan bahwa faktor dari penyebab terjadinya konversi agama meliputi Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain). Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orangorang yang dekat, Pengaruh pemimpin keagamaan. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).
28 http://zahranmirzan.blogspot.com/2013/01/makalah-perubahan-sosialbudaya.html, Diakses pada 03 September 2013, 15:50 am. 29 http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya, Diakses pada 03 September 2013, 21:45 am. 30 Ibid…
46 46
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
D. Metode penelitian yang digunakan Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif.31 Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Lexy Moleong32 : 1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapandengan kenyataan ganda. 2. Metode ini secara tidak langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. 3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubunganhubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan, serta proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena.33 Lokasi penelitian adalah lokasi di mana penelitian ini akan dilakukan. Pada penelitian ini, peneliti mengambil lokasi Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. 31 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hlm.131 32 Ibid, hlm. 138. 33 Moh. Nazir. Ph. D, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 16
JURNAL LISAN AL-HAL
47
47
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data primer untuk mengetahui langsung karakteristik Suku Anak Dalam selain data primer Peneliti menggunakan data sekunder untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan terhadap masyarakat Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi. Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan proses trianggulasi, yaitu : 34 Wawancara, Observasi/Pengamatan dan Dokumentasi Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).35 Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. 36 Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.37 Dalam proses analisis data terhadap komponen-komponen utama yang harus benar-benar dipahami. Komponen tersebut adalah reduksi data, Kajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk menganalisis berbagai data yang sudah ada digunakan metode deskriptif analitik. Metode ini digunakan untuk menggambarkan data yang sudah diperoleh melalui proses analitik yang mendalam dan selanjutnya diakomodasikan dalam bentuk bahasa secara runtut atau dalam bentuk naratif. Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu dimulai dari lapangan atau fakta empiris dengan cara terjun ke lapangan, mempelajari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data dalam penelitian kualitaif dilakukan secara bersamaan dengan cara proses pengumpulan data. Lexy Moleong. J. Metodologi Penelitian Kualitatif…. Hlm. 135 Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 53 36 Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 103 37 Ibid, hlm. 3 34 35
48 48
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
E. Karakteristik Suku Anak Dalam Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Tepatnya di wilayah Kabupaten Sarolangun, Kecamatan Air Hitam. Semula kawasan ini merupakan kawasan hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan areal penggunaan lain yang digabung menjadi taman nasional. Hutan alam yang masih ada terletak di bagian Utara taman nasional ini, sedangkan yang lainnya merupakan hutan sekunder. Keadaan topografi taman nasional ini datar sampai bergelombang sedang, dengan bukit/gunung seperti Bukit Suban, Sungai Punai (± 164 m. dpl), Gunung Panggang (± 328 m. dpl), dan Bukit Kuran (± 438 m. dpl). Masyarakat asli suku Anak Dalam (Orang Rimba) telah mendiami hutan Taman Nasional Bukit Duabelas selama puluhan tahun. Suku Anak Dalam menyebut hutan yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai daerah pengembaraan; dimana mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara dan saling menghidupi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, suku Anak Dalam melakukan kegiatan berburu babi, mencari ikan, mencari madu, dan menyadap karet untuk dijual. 1. Sejarah asal-usul Suku Anak Dalam Isitlah Suku Anak Dalam digunakan untuk menyebut suku terasing yang berada di provinsi Jambi. Istilah yang mempunyai arti sama dengan Suku Anak Dalam Adalah Orang Rimba dan Orang Kubu. Berkaitan dengan sejarah asal-usul Suku Anak Dalam sendiri menurut Tumenggung Tarib adalah sebagai berikut : “…Jadi ado cerito itu bujang tebuang namonyo, jadi bujang tebuang itu artinyo bujang dibuang entah kareno kesalahan apo dio dibuang. Jadi dio seorang diri di dalam hutan, jadi dio setiap tahun meladang. Bikin ladang nanam apo-nanam apo gitu. Jadi ceritonyo, dio nak nyimat ladang tu ado yang ngomong “awas-awas tekapak” ditengok dak do orang, jadi ngapak-ngapak lagi, ngomong lagi “awas-awas tekapak”, orang dak do lagi selain buah iko, buahnyo buah kelumpang buah kayu buah pohon tapi namonyo pohon kelumpang. Buahnyo itu diambik bawa balek, kareno ado wong ngomong disitu dak do lain selain buah kelumpang tu, jadi buah ko ajaib. istilahnyo macam tu lah. Jadi dibawa balek bujang tebuang tu, simpan dirumah. Setiap dio pergi kerja beladang, baleknyo makanan itu la siap di rumah. Jadi dio merasokan siapolah yang bantu awak iko ? kato Bujang Tebuang itu tadi. Ini pasti ado orang bantu ini, cubo awak intip siapo ? jadi intiplah keluar rumah, nyumputlah di dekat rumahnyo. Ado
JURNAL LISAN AL-HAL
49
49
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
orang di dalam rumahnyo bawa labu, dulukan pake labu untuk ciduk air labu yang segede-gede iko kan lehernyo tu, bawak labu pegi turun nyiduk aik. Dio naik liat kelumpang tu, o.. ternyata kelumpang awak iko yang jadi gadis cantik, dio ambek lah kelumpang tu dio sumputkan, gadis tu balek dio nyari kelumpang tu la dak do lagi kan. Ceritonyo, dio keluarlah ke orang banyak minta nikah, nikahlah samo buah kelumpang makonyo dikato orang ado orang kelumpang. Jadi dio tu beranak-pinak beranakpinak itu ado di air hitam, makekal, kejapung, trap…”38 Menurut Tumenggung Tarib, asal-usul dari Suku Anak Dalam itu berawal dari cerita seorang laki-laki yang bernama Bujang Tebuang artinya Bujang yang dibuang. Ia hidup seorang diri hutan dan pekerjaannya sehari-hari adalah berladang. Pada suatu saat ketika ia sedang membuka lahan ada suara yang berkata “awas-awas terkapak” dilihat di sekelilingnya tidak ada orang selain buah pohon kelumpang. Akhirnya buah tersebut dibawa pulang olehnya. Ajaibnya, setiap ia pulang dari bekerja, makanan dan minuman telah tersedia di rumahnya. Bujang Tebuang tadi merasa curiga dan berinisiatif untuk mengintipnya. Al-hasil ternyata buah kelumpang tadi menjelma menjadi wanita cantik, wanita yang telah menyediakan makanan dirumahnya. Singkat cerita akhirnya mereka berdua menikah dan beranak-pinak termasuk Suku Anak Dalam itu sendiri. a. Makna Kepercayaan masyarakat Suku Anak Dalam Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah etnik mereka yakni dewodewo. Mereka juga mempercayai roh roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. “…Kepercayaan Suku Anak Dalam ko, Seperti Dewa Kayu, Dewa Gajah, Dewa Harimau, Dewa Gua, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Padi itu Dewa. Jadi mereka sering buat sesajen, sesajen apo ni ? sesajen Dewa Harimau berati dio memanggil Dewa Harimau, sesajen apo ni ? sesajen apo ni ? sesajen Dewa Gajah berati dio memanggil Dewa gajah…”39 (...kepercayaan Suku Anak Dalam itu, seperti Dewa Kayu, Dewa Gajah, Dewa Harimau, Dewa Gua, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Padi, itu dewa. Jadi mereka sering membuat sesajen, ini sesajen apa ? sesajen untuk Dewa Harimau berarti dia memanggil Dewa Harimau, ini sesajen apa ? sesajen untuk Dewa Gajah berarti dia memanggil Dewa Gajah...) 38 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013 39 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013
50 50
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mantera yang memiliki kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. “Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu.” Atinya: Mereka (Suku Anak Dalam) mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau. Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh Tumenggung Njawat40 “Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo”. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan. b. Makna Melangun bagi Suku Anak Dalam Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. “…Jadi melangun tu kareno kesedihan, jadi kalo melangun misal meninggal di sini satu orang, kita harus berangkat karena kalau kito nunggu di siko, orang yang meninggal itu tebayang-bayang di muko, teringat terus. nah tulah makonyo melangun…”41 (...Jadi Melangun itu dikarenakan kesedihan, misalnya ada orang meninggal di sini satu orang, maka kita harus berangkat melangun. Karena jika kita tetap tinggal di sini, maka orang yang meninggal itu akan terbayang-bayang selalu. Nah, makanya kita melangun..) Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung 3 tahun. Namun kini Kepala Suku Anak Dalam Sebelum Tumenggung Tarib Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013 40 41
JURNAL LISAN AL-HAL
51
51
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Bukit XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 1 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu. “…Kalau jaman dulu itu pergi sampek 3 tahun. Misal meninggal di sini pergi ke Rantau Limau Mani atau ke Tanah Garo atau ke Merangin, nah itu pegi 3 tahun lamonyo baru balek lagi. Kalau sekarang idak lagi, paling satu bulan udah balek kareno hutan ni kan sempit kagek ditinggal diambek pla samo wong…”42 (...Kalau zaman dahulu melangun bisa sampai tiga tahun. Misalnya di sini ada orang yang meninggal, maka kita melangun ke Rantau Limau Mani atau ke Tanah Garo atau ke Merangin. Nah, itu perginya selama 3 tahun baru kembali lagi. Kalau sekarang sudah tidak lagi, paling satu bulan pergi melangun sudah kembali lagi, dikarenakan hutan semakin sempit, jika terlalu lama ditinggal nanti bisa-bisa dijarah orang..) Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya. c. Makna Seloko dan Mantera bagi Suku Anak Dalam Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko atau selokaseloka yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain: 1. Bak emas dengan suasa . 2. Bak tali berpintal tigo 3. Yang tersurat dan tersirat 4. Mengaji di atas surat 5. Banyak daun tempat berteduh 6. Meratap di atas bangkai 7. Dak teubah anjing makan tai (kebisaaan yang sulit di ubah ) 8. Dimano Biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai). 9. Dimano bumi dipijak di situ langit dijunjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri) 42 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013
52 52
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
10. Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak ) 11. Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil) 12. Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bisa (berubah).43 d. Makna budaya Besale44 Besale merupakan istilah Orang Rimba yang secara umum berarti membangunkan semangat atau jiwa manusia untuk dibersihkan dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang merasukinya. Asal usul upacara Besale ini didasari oleh kepercayaan orang rimba terhadap dewa-dewa yang menguasai hutan. Orang rimba meyakini bahwa jika ada keluarga atau saudara mereka yang sakit, berarti dewa telah menurunkan malapetaka. Oleh sebab itu, sebagai bujukan kepada dewa agar menyembuhkan penyakit tersebut, mereka mengadakan upacara Besale. Secara khusus, penyelenggaraan upacara Besale ditujukan untuk membersihkan atau mengusir roh-roh jahat yang dianggap sebagai sumber penyakit dan untuk mengembalikan kesucian jiwa orang yang sakit agar kembali sehat. Secara umum, Besale ditujukan untuk menjaga keseimbangan hubungan antara kehidupan manusia dengan alam gaib, yang bagi orang rimba keduanya dijaga dengan baik. Jika tidak dijaga dengan baik, maka ketidak seimbangan itu akan berpengaruh buruk terhadap kehidupan mereka secara luas, seperti meluasnya penyakit yang sulit untuk diobati. Pada saat upacara dilakkan, orang yang sakit akan dibacakan mantera. Mantera tersebut akan dibaca dengan cara dinyanyikan sambil menari. Selain itu, disediakan sesaji berupa buah-buahan dan makanan sebagai persembahan kepada dewa-dewa agar memberikan kebaikan kepada mereka dan melindungi mereka dari roh jahat. Seperti layaknya upacara adat Suku Anak Dalam yang lain, Besale juga menetapkan larangan dan pantangan bagi mereka yang diobati. Pantangan itu harus ditaati, karena jika tidak, maka upacara dianggap gagal dan harus diulangi dari awal. Upacara Besale dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pada proses pelaksanaanya, syarat dan larangan yang ditetapkan adalah sama. Hanya waktu
43 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013. 44 Ibid...
JURNAL LISAN AL-HAL
53
53
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
penyelenggaraannya berbeda. Besale perseorangan membutuhkan waktu yang relatif singkat daripada jika dilakukan secara bersama-sama. Upacara adat Besale dipimpin oleh dukun Besale. Dalam upacara adat lain, duku Besale juga difungsikan sebagai pemimpin agama dan perantara antara manusia dengan kekuatan gaib. Pada pelaksanaan upacara, dukun Besale dibantu oleh beberapa orang, antara lain Inang (dukun perempuan yang bertindak sebagai pengarah dan pendamping dukun Besale), Pembayu (pengawas bagi dukun Besale dan Inang), Biduan (penabuh redab), dan Pembina (pelindung dalam pelasksanaan upacara Besale). Waktu dan tempat penyelenggaraan upaara Besale tergantung pada jenis dan tempat upacara Besale yang akan dilaksanakan. Adapun jenis dan tempat upacaranya sebagai berikut : JENIS TEMPAT Dalam hutan, dibangunkan bangsal (rumah) Besale Biasa beratap nipah yang kemudian dibakar Di tanah yang bisaa dipakai untuk Besale Bejanan menguburkan dukun atau Sidi Besale Berumah Putih Ditepian sungai atau semilu aik Besale BerunggukDi rumah si sakit, jika dukun mendapat ilham ungguk baru upacara dapat dipindahkan Peralatan yang perlu disediakan dalam upacara Besale antara lain; kembang berte (alat penangkal atau pagar), minyak rambut (untuk bersuci), sisir dan sampan (penutup kepala). Adapun peralatan yang berfungsi sebagai pelengkap upacara antara lain; kemenyan, lilin madu, sirih pinang, kembang mayang, lonceng kecil, tepung beras, telur ayam, sesaji, kayu aro (symbol kesejahteraan), alat music berentak, dan alat music redap. Pelaksanaan upacara adat Besale terbagi dalam dua kegiatan besar, yaitu : 1. Persiapan Melakukan persiapan yang dimulai dengan melakukan perundingan antara keluarga si sakit dengan dukun Besale, untuk menentukan hari pelaksanaan, perlengkapan dan lokasi pelaksanaan. Setelah lokasi ditentukan, langkah selanjutnya adalah membangun sejenis bangsal beratapkan daun nipah secara bergotong royong oleh mereka Suku Anak Dalam. Pada bangsal tersebut diletakkan empat balai (tempat sesaji) yang mengandung symbol tertentu, yakni :
54 54
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
a) Balai Pengasuh, merupakan symbol persembahan kepada roh halus yang telah masuk ke dalam tubuh dukun Besale. b) Balai Kurung Resio, merupakan simbol jiwa manusia yang paling dalam. c) Balai Bertajuk Kembang, merupakan symbol berkumpulnya roh leluhur. d) Balai Gelanggang Kuning, merupakan symbol “penunggu” desa, yaitu jin, iblis, dan setan yang bergentangan di lautan dan udara. 2. Pelaksanaan Setelah semua peralatan siap, maka proses pengobatan dimulai. Pertama-tama dukun Besale makan sirih, kemudian merapikan rambut dengan cara memberinya minyak dan menyisirnya secara rapi, dengan tujuan untuk menyucikan diri. Sejenak kemudian, dukun Besale mengambil duduk bersila untuk bersemedi dan memusatkan pikiran. Dalam semedi ini (dengan dibantu inang), roh sidi akan masuk ke raga dukun Besale. Saat roh sidi masuk ke raga sang dukun, maka seketika itu juga dukun disebut sidi.
1. Suasana adat Besale
3. Dukun Besale meminyaki rambutnya, setelah itu dirapikan dengan sisir.
2. Dukun Besale memulai upacaranya dengan memakan daun sirih.
4. Dukun Besale duduk bersila bersemedi memusatkan pikiran
JURNAL LISAN AL-HAL
55
55
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
Kemudian Inang menebarkan kembang berte di sekitar telapak kaki sidi, dengan maksud agar setiap langkah sidi terlindung dari roh jahat. Sejenak kemudian sidi dan orang yang akan diobati melakukan berentak, yaitu menari berkeliling. Proses selanjutnya adalah menurunkan perlengkapan Balai Pengasuh kira-kira satu meter dari atap, dan orang yang sakit didudukkan dibawah balai. Sambil melakukan berentak (menari), sidi mengobati dengan mengibaskan selendang yang telah diolesi minyak pada orang yang sakit. Hal ini diikuti juga oleh Pembayu dan Inang.
Balai pengasuh
Menurunkan balai pengasuh kira-kira 1 Meter dari atap
Setelah selesai, Balai Kurung Resio diturunkan dan seluruh peserta upacara disuruh duduk di bawah Balai Kurung Resio sambl ditutup kepalanya dengan kain putih. Selanjutnya, Sidi dan peserta melakukan berentak sementara Inang dan Pembantu Inang memberikan pengobatan. Berikutnya, Balai Betajuk Kembang diturunkan, didiringi berentak oleh sidi. Seusai berentak, Sidi diam sejenak untuk beristirahat (sanglo). Tahapan berikutnya adalah mengarak Balai Gelanggang Kuning. Balai dipegang oleh empat orang peserta upacara Besale. Adapaun pesrta yang lain duduk di bawah Balai Gelanggang Kuning sambil diobati oleh sidi. Upacara dilanjutkan dengan “naik kayu aro” yang berbentuk segi empat. Pohon sengaja ditanam di luar bangsal agar semua peserta upacara dapat ikut memanjat, dengan tujuan supaya roh-roh jahat tidak mengganggu lagi. Bagian akhir upacara ditandai dengan mengeluarkan roh halus yang masuk ke dalam raga dukun Besale dengan bantuan Inang dan Sidi. 56 56
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
Pelaksanaan upacara Besale ada beberapa larangan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar, jika dilanggar maka upacara tersebut harus diulangi dari awal lagi. Dan larangan ini berlaku saat upacara berlangsung dan setelahnya. Larangan tersebut antara lain; dilarang berbicara keras, tertawa terbahak-bahak atau sejenisnya di area upacara, tidak boleh melakukan perbuatan kotor seperti melakukan perbuatan melanggar norma kesusilaan dan kejahatan (merampok, mencuri, mencopet) di lokasi upacara, dan terakhir tidak boleh membantu persiapan upacara, kecuali diminta oleh dukun Besale. 2. Mata Pencaharian Suku Anak Dalam Dahulu dalam mempertahankan hidupnya, Suku Anak Dalam memanfaatkan apa yang tersedia di hutan. Seperti berburu, mencari umbiumbian, menangkap ikan, dan berladang. “...kalau sekarang dengan dulukan udah beda. kalau dulu berburu, cari bana, tubo, banyaklah yang dimakan di dalam hutan, umbi-umbian…”45 (...kalau sekarang dengan dulu berbeda, kalau dulu berburu, mencari bana –nama buah-, tuba –untuk mencari ikan-, dan masih banyak lagi sesuatu yang dapat di makan di hutan, seperti umbi-umbian...) Seiring perkembangan zaman dan semakin sempitnya hutan membuat mata pencaharian mereka berubah walaupun tidak berubah secara total. Kini mata pencaharian Suku Anak Dalam sama seperti masyarakat pada umumnya yakni pohon karet dan kelapa sawit. “…kalau sekarang hidupnyo samolah macam urang luar ni karet, sawit, upahan apo yang biso dikerjakan samo bae…”46 (kalau sekarang mata pencahariannya sudah sama dengan orang desa karet, kelapa sawit dan mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan –menjadi buruh-...) Meskipun demikian, mereka tetap tidak meninggalkan kebiasaan lama. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mereka tetap melakukan berburu, seperti berburu ayam hutan dan lain sebagainya, menangkap ikan, berladang, dan mencari umbi-umbianpun tetap mereka lakukan. Ada beberapa cara yang mereka gunakan dalam berburu. Yaitu dengan menggunakan senjata seperti tombak, senapan, dan menggunakan perangkap. Kegitan lainnya yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup adalah menangkap berbagai jenis ikan, termasuk udang dan ketam 45 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013 46 Ibid..
JURNAL LISAN AL-HAL
57
57
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
di sungai, dengan peralatan: pancing, jala, tombak, perangkap ikan (kubukubu), dan pagar-pagar ikan. Terkadang mereka nubo, yaitu menggunakan racun dari akar-akar Tubo. Caranya akar-akar tersebut dimasukkan ke sungai, maka ikan akan mabuk dan terapung. Dengan demikian, tinggal mengambil dan memasukkannya ke sebuah wadah yang disebut dukung atau ambung.
Suku Anak Dalam menyadap pohon karet untuk diambil getahnya
Menangkap ikan merupakan salah satu cara Suku Anak Dalam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
3. Kehidupan Sosial Suku Anak Dalam a. Aturan Masyarakat Suku Anak Dalam47 Aturan masyarakat Suku Anak Dalam bersumber pada “Induk Undang-undang, Pucuk Undang-undang nan Delapan, Undang-undang nan Dua Belas dan Teliti”. Prinsip aturan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu Undang-undang dan Teliti. Undang-undang terdiri atas : 1) Induk Undang-undang, terdiri atas 5 macam : a) Titian teras bertangga batu, maknanya adalah undang-undang dari Nabi atau hadist (titian teras) dan undang-undang dari Allah atau AlQur’an (bertangga batu). Prinsip ini sebagian tidak dilaksanakan karena dianggap dari Nabi Muhammad saw. b) Cermin yang nan kabur, maknanya meneladani sesuatu yang jelas kebaikannya yaitu perilaku nenek moyang untuk tetap hidup di dalam hutan. 47 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013.
58 58
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
c) Lantak nan tidak goyah, maknanya kebenaran harus ditegakkan. d) Nan tiado lapuk karna hujan, nan tiado lekang karna panas, maknanya sesuatu sudah pasti menurut ketentuan tidak boleh berubah karena waktu maupun tempat yang berbeda. e) Kato seiyo, maknanya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dan disepakati bersama dan harus dilaksanakan oleh semua. Ini menggunakan prinsip demokrasi. 2) Pucuk Undang nan Delapan, terdiri atas aturan 4 di atas dan 4 di bawah. a) Empat di atas terdiri atas : (1) Mencarah Telur (berzina dengan ibu sendiri) (2) Menikam Telur (berzina dengan anak sendiri) (3) Melebung Dalam (berzina dengan saudara sendiri) (4) Mandi Pancuran Gading (berzina dengan istri orang) b) 4 di bawah terdiri atas : (1) Tantang Pahamun (main hakim sendiri, tanpa menunggu keputusan sidang), jika dilakukan maka harus membayar denda sebanyak 160 kain. 60 kain dibayar yang seratus dimaafkan. (2) Amogran (megancam orang yang tidak punya salah), membayar dendan sebesar 120 kain, dibayar 20 yang seratus dimaafkan. (3) Siu Bakar (membakar rumah orang), denda 180 kain, 80 dibayar 100 dimaafkan. (4) Tabung Racun (meracuni orang). Jika tidak dapat terselamatkan dendanya 500 kain, dan jika masih terselamatkan 250 kain. Menurut penuturan Tumenggung Tarib, untuk 4 yang di atas tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sanksinya adalah hukuman mati. Untuk 4 yang di bawah hanya dikenakan denda saja. Dan dalam pembayaran dendapun masih diberi dispensasi. Sebagaiamana di atas.48 c) Undang-undang nan Dua Belas Sedangkan teliti adalah norma yang telah diperkuat oleh tambahan peraturan khusus atas dasar kesepakatan para tokoh masyarakat seperti dinyatakan dalam seloka adat “kok bulat sudah boleh digolekkan, kok pipih sudah boleh dilayangkan” aturan yang dijadikan keputusan adat dibuat dengan ikat janji dan seumpah perumusnya, bila ada niat tidak baik akan kena kutuk roh nenek moyang.
48 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013
JURNAL LISAN AL-HAL
59
59
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
b. Struktur Kepemimpinan Suku Anak Dalam 49 Struktur kepemimpinan Suku Anak Dalam pada suatu kelompok disebut pengulu, yang terdiri atas jabatan : Temenggung, Wakil Tumenggung, Depati, Mangku, Menti dan Anak Dalam. Tugas masingmasing adalah : 1) Temenggung : sebagai ketua dari tiap kelompok. Tumenggung berperan sebagai pihak yang memahami adat dan dapat memutuskan hukuman atau sanksi atas pelanggaran adat yang dilakukan oleh anggota kelompoknya atau pihak diluar kelompoknya yang melakukan pelanggaran di wilayah kelompoknya. Tumenggung sifatnya turuntemurun dan hanya dapat diturunkan kepada anak laki-laki. 2) Depati, bertugas sebagai hakim, mengadili perkara yang terjadi serta membantu denda terhadap pihak yang tidak mampu. Depati dapat diturunkan oleh Tumenggung bila terbukti bersalah dalam mengambil keputusan. 3) Mangku, bertugas sebagai penasehat kepada semua Pengulu, termasuk kepada rakyat. 4) Menti, bertugas menyampaikan pengumuman atau himbauan dari Tumenggung kepada rakyatnya. 5) Anak Dalam, bertugas membantu Depati.
49 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013.
60 60
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
STRUKTUR KEPEMIMPINAN SUKU ANAK DALAM
TUMENGGUNG DEPATI
MANGKU
MENTI ANAK DALAM
c. Sistem Kekerabatan Suku Anak Dalam 50 Sistem kekerabatan Suku Anak Dalam adalah matrilineal yang sama dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal di dalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri di luar pekarangan tempat tinggal. Suku Anak Dalam tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh Suku Anak Dalam. Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan yang terjadi antara orang desa dan Suku Anak Dalam, sama dengan antara anak kelompok Suku Anak Dalam dan kelompok Suku Anak Dalam lain.
50 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013.
JURNAL LISAN AL-HAL
61
61
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; pertama dengan mas kawin. Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya. Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut. Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/saudara kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau. Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, di samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Poligini jarang terjadi di kelompok Tumenggung Tarib. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya dilakukan oleh laki-laki. Dan kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan. d. Ritual perkawinan adat Suku Anak Dalam Perkawinan merupakan dasar organisasi sosial yang menghubungkan dua pihak menjadu satu kerabat. Dengan perkawinan maka setiap anggota dari kerabat pria dan wanita sudah diikat oleh aturan kekerabatan dan sebaliknya mengandung hak-hak dan kewajiban. Masyarakat Suku Anak Dalam mengenal dua cara perkawinan yaitu perkawinan melalui pertunangan dan perkawinan lari. Perkawinan tunangan dilakukan dengan cara pihak pria tinggal pada keluarga gadis. Selama masa pertunangan tersebut maka pria membantu keluarga gadis bekerja. Setelah dianggap bahwa pria tersebut diterima yang dibuktikan dengan rajin bekerja dan kuat maka siap untuk dinikahkan. Masa berindung semang antara 2-5 tahun. Perkawinan dilakukan di Bebalai. Pada saat sebelum pesta perkawinan maka pihak pria diwajibkan membuat gubug yang digunakan dalam pesta. Pembuatan balai dilakukan selama satu hari. Sedangkan perkawinan lari terjadi bila dalam masa berinduk semang, pria membawa lari anak gadis. Perkawinan dapat dilaksanakan setelah keduanya disiksa dengan pukulan kayu. Setelah selesai maka keduanya dapat dinikahkan tanpa bebalai.
62 62
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
e. Bahasa Suku Anak Dalam Suku Anak Dalam memiliki dua bahasa. Pertama bahasa asli rimba dah kedua bahasa melayu. Ketika berkomunikasi dengan komunitasnya mereka menggunakan bahasa rimba dan jika berkomunikasi dengan masyarakat luar mereka menggunakan bahasa melayu. “…kalau samo wong dusun kami becakap dusun la, kalau betemu wong dalam kami becakap bahasa rimbo. Bahaso rimbo tu macam ni, kalau bahaso dusun nak kemano bahaso rimbonyo nok kemono…”51 (...jika berbicara dengan orang desa kita menggunakan bahasa mereka –bahasa melayu-, kalau berbicara dengan orang rimba menggunakan bahasa rimba. Bahasa rimba itu contohnya seperti ini, bahasa orang desa nak kemano –mau kemana-, bahasa rimbanya nok kemono...) f. Kesenian Suku Anak Dalam Dalam kehidupan masyarakat Suku Anak Dalam ada kesenian tarian yang di sebut dengan tari Tauw dan tari Lang. Tari Lang dilakukan ketika ada masyarakat Suku Anak Dalam yang melangsungkan pernikahan. Tarian ini dilakukan oleh para wanita dengan tujuan memanggil para dewa-dewa agar pernikahan yang mereka lakukan diberkati. Sedangkan tari Tauw dilakukan sebagai tanda rasa syukur atas melimpahnya penghasilan mereka. “…Sebenarnyo kalau dirimbo ni keseniannyo Cuman tarian, itu namonyo tari Tauw, tari Lang. jadi, tari Tauw lain tari Lang lain. Tari Lang ini sebenarnyo waktu pernikahan, itu sudah manggil-manggil dewa langsung tarian, yang menari perempuan-perempuan. Yang satunya lagi tari Tauw, tari Tauw itu kan kito kesenanganlah, kesenangan dapat apokan, pestalah, kesenangan dapat lauk dapat apo…”52 (...sebenarnya kalau di dalam rimba keseniannya hanya tarian, yaitu tarian Tauw dan tarian Lang. Tari lang dilakukan ketika ada pernikahan, untuk memanggil dewa-dewa dan yang menari adalah para wanita. Dan tai Tauw dilakukan ketika penghasilan melimpah ruah..) F. Kiat-kiat Dakwah pada Suku Anak Dalam Berbicara tentang dakwah, Ustadz Arif Pantoro53, S.Pd.I memaknai dakwah dengan : 51 Tumenggung Tarib, Kepala Suku Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 12 Agustus 2013 52 Ibid… 53 Arif Pantoro, Da’i yang ditugaskan pemerintah Kabupaten Sarolangun untuk mengembangkan keislaman di Desa Bukit Murau Singkut III Sarolangun-Jambi,
JURNAL LISAN AL-HAL
63
63
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
“Dakwah itu mengajak manusia menuju kepada jalan yang benar. Oleh karena itu, dakwah adakalanya mengajak manusia untuk masuk Islam dan adalakanya mengembangkan atau memperkuat keIslaman itu sendiri di tengah-tengah masyarakat Islam yang keagamaannya masih kurang…” KH. Ahmad Munir Sarja54, memahami dakwah dengan : “Amar ma’ruf nahi munkar atau dakwah itu kewajiban bagi seluruh umat Islam. Jadi, seluruh umat Islam wajib saling mengingatkan kepada sesama agar mereka semua bisa selamat baik di dunia maupun di akhirat. Dalam surat al-ashr sudah dijelaskan bahwasannya semua manusia itu merugi, kecuali orang-orang yang beriman, melakukan amal shalih, dan yang terakhir saling menasehati di antara sesama. Dan juga perlu di ingat umat Rasulullah ini bisa dikatakan sebagai Khairu Ummah jika memang mereka melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau dengan kata lain melakukan kegiatan dakwah...” Sedangkan dakwah menurut Ustadz Hasyim55 dimaknai dengan: “Dakwah itu macem mano kito ko ngajak uwong supayo biso taat dan patuh kepado Allah SWT jugo melaksanakan sunah-sunahnyo Rasulullah...” (Dakwah itu bagaimana kita bisa mengajak manusia untuk bisa taat dan patuh kepada Allah SWT juga melaksanakan sunah-sunahnya Rasulullah saw). Dalam kegiatan dakwah dibutuhkan strategi yang tepat, sehingga pesan-pesan dakwah yang disampaikan da’i dapat diterima oleh objek dakwah. Terkait strategi dalam berdakwah Ustadz Arif Pantoro, S.Pd.I menjelaskan; “…Agar dakwah yang kita lakukan bisa mengena kepada masyarakat, menurut saya pertama-tama yang harus dilakukan adalah memperbaiki diri kita sendiri. Bagaimana kita mau mengajak orang lain kepada kebaikan, kalau kita sendiri tidak baik. Nanti jadinya seperti lilin dia bisa menerangi orang lain, tapi dirinya sendiri habis terbakar. Makanya, di dalam al-qur’an dijelaskan ﻥﹶﻠﹸﻮﻔﹾﻌﺎ ﻟﹶﺎ ﺗﻝﹸ ﻣﻘﹸﻮ ﺍﷲِ ﺍﹶﻥﹾ ﺗﺪﻨﺎ ﻋﻘﹾﺘ ﻣﺮﻛﹶﺒ, Allah itu sangat murka kepada orang yang bisanya hanya ngomong saja, tapi pembuktiannya tidak ada. Jadi, sangatlah penting bagi para da’i untuk Wawancara Pribadi, Sarolangun, 21 Juli 2013 54 Ahmad Munir Sarja, Pengasuh Pondok Pesantren Ihya’ul Ulum Sarolangun Jambi, Wawancara Pribadi, Sarolangun, 25 Juli 2013. 55 Hasyim, Da’i Suku Anak Dalam, Wawancara Pribadi, Air Hitam-Sarolangun, 15 Agustus 2013.
64 64
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
memperbaiki diri sendiri sebelum terjun kemasyarakat, baik dari segi prilakunya, keilmuannya dan lain sebagainya sehingga dakwah yang dilakukan benar-benar dapat diterima oleh masyarkat…” KH. Ahmad Munir Sarja, menjelaskan tentang strategi dakwah yang efektif sebagaimana yang beliau kemukakan; "…La terus, bagaimana caranya biar masyarakat mau menerima dakwah yang kita sampaikan ? dalam kitab Ihya’ Ulumuddin itu ada penjelasan begini, dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar seorang muhtasib, muhtasib itu ya sama dengan da’i itu, pertama harus alim, wara’, khusnul khuluq, lemah lembut. Kalau mau dakwahnya sukses ya harus begitu, pinter, wara’, kelakuannya baik, lemah lembut dalam menyampaikan dakwahnya biar masyarakat simpati dengan apa yang ita sampaikan. Yang tidak kalah penting itu seperti ungkapan pepatah arab ﺍﻟﹶﻤﻘﹶﺎﻝﹺﺎﻥﺴ ﻟﻦ ﻣﺮﻴﺎﻥﹸ ﺍﳊﹶﺎﻝﹺ ﺧﺴ ﻟberi contoh langsung dengan perbuatan ojo mek ngomong tok (jangan Cuma bicara saja)…” Sedangkan Ustadz Hasyim berkaitan dengan strategi dakwah, beliau menjelaskan; “…Sekarang tu la banyak wong bedakwah, macam khotbah, pengajian-pengajian dan lain sebagainyo, tapi memang wongnyo be dak nak sadar. Mungkin hidayah Allah belum turun jadi womg-wong tu masih jugo macam tu bae. Dakwah itu berat, macem mano dak berat kito ngajak uwong, mau idak mau kalau kito nak ngajak uwong baek-baek la dulu kito ni, keluargo kito jugo. Apo kato uwong kagek, masak kito ngajak uwong shalat, na kito dewek idak shalat, keluargo kito juga idak shalat. Jadinyo malu dewek la kito ni…” (sekarang itu sudah banyak orang berdakwah, seperti khotbah, pengajian-pengajian dan lain sebagainya, tapi memang manusianyalah yang belum sadar. Mungkin mereka belum mendapat hidayah dari Allah SWT. Dakwah itu berat, bagaimana tidak berat kita mengajak orang, mau tidak mau jika kita mengajak orang maka perbaiki dulu diri sendiri dan keluarga. Apa kata orang nanti, masak kita mengajak orang untuk shalat kita sendiri tidak shalat, keluarga kita tidak shalat. Yang ada kita akan malu pada diri sendiri) Dakwah Islam, dakwah yang bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri manusia agar eksistensi mereka mempunyai makna di hadapan Tuhan dan sejarah. Sekali lagi perlu dijelaskan di sini bahwa tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan bukan hanya tugas kelompok tertentu umat Islam.
JURNAL LISAN AL-HAL
65
65
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
Tantangan pelaksanaan dakwah kepada Suku Anak Dalam sangatlah kompleh, hal ini seperti yang dikemukakan oleh KH. Ahmad Munir Sarja yang mempunyai kiat-kiat tersendiri dalam proses dakwah pada Suku Anak Dalam : “Dakwah pada Suku Anak Dalam merupakan tantangan tersendiri bagi para da’i. Membutuhkan kesabaran ekstra dan kegigihan dalam berdakwah. Tantangannya, mereka kan dapat dikatakan orang-orang terbelakang, hidupnya di hutan, dan jarang berkumpul dengan orangorang seperti kita, mau tidak mau yo kudu sabar lan usaha sing temen. Kalau pada masa Rasulullah mungkin sama dengan orang baduwi, orang yang hidupnya di pelosok-pelosok jauh dari keramaian. Kalau menurut saya, dakwah kepada mereka cara yang tepat ya mengikuti cara Rasulullah SAW. Seperti bersikap lemah lembut, mengerti akan kondisi mereka yang masih terbelakang sehingga membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, pelan-pelan tidak langsung ini harus begini dan begini. Dan yang tak kalah penting bagaimana kita bisa menunjukkan kepada mereka bahwa Islam itu indah dan Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin sehingga mereka tertarik dan masuk Islam berdasrakan hati nurani mereka sendiri. Alon-alon sing penting kelakon, artinya begini pertama yang harus dijelaskan kepada mereka adalah tentang ketuhanan yaitu tauhid, setelah mereka mempunyai keyakinan yang teguh baru nanti dijelaskan tentang kewajiban-kewajiban dalam Islam, mulai dari shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya. Intinya, pelan-pelan saja sedikit demi sedikit untuk membawa mereka kepada Islam yang kaffah.” Selanjutnya Ustadz Arif Pantoro, S.Pd.I berpendapat bahwa kiatkiatnya pada Suku Anak Dalam. Adalah : “Suku Anak Dalam dapat dikatakan sebagai kelompok masyarakat terbelakang. Kehidupan mereka sehari-haripun masih sangat tradisional, berpegang teguh kepada adat-istiadat, dan kepercayaan merekapun masih bersifat animisme. oleh karena itu dakwah kepada mereka membutuhkan kesabaran dan keuletan agar dakwah yang disampaikan dapat diterima oleh mereka. Di sinilah mental seorang da’i akan diuji, apakah dia dapat bertahan atau menyerah begitu saja. Menurut saya, pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana mereka simpati kepada kita, bisa dengan memberi semacam bantuan dan lain sebagainya. Setelah itu sedikit-demi sedikit kita mulai masuk kedalam kehidupan mereka dan memperkenalkan Islam. Karena mereka sangat berpegang teguh kepada adat istiadat dan ajaran nenek moyang, mungkin cara yang tepat adalah mengikuti cara berdakwahnya wali songo. jadi, budaya-budaya yang berkembang di kehidupan mereka dibiarkan saja, kita cukup 66 66
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
mewarnainya dengan nuansa Islami. Sehingga mereka merasa dihargai dan akhirnya tertarik untuk memeluk Islam.” Sementara pendapat Ustadz Hasyim adalah : “Selamo awak di siko, yang paling pontiang adolah macem mano sanak tu nak kelua dari hutan. Kalu sanak tu maseh ado di hutan payah nak dakwah. Jadi kini kito lagi berusaho ngajak wong-wong sanak tu kelua dari hutan. Banyak caro yang kito buat, mulai dari buat tempat tinggal kerjosamo samo Depsos, jugo macem mano anak-anak sanak biso sekolah. Kebanyakan, sanak-sanak yang sudem ado di masyarakat, masuk Islam karena hati nurani mereko deweklah. Kito idak makso. Tiap hari sanak tu ngelik kito shalat, denga kito adzan, ngelik kito berangkek shalat jum’at akhirnya mereko tetarek masuk Islam.” (Selama saya di sini, yang paling penting adalah bagaimana sanak (panggilan akrab suku anak dalam) mau keluar dari hutan. Jika sanak masih berada di hutan susah untuk berdakwah. Jadi, sekarang kita sedang berusaha mengeluarkan mereka dari hutan, bekerjasama dengan Depsos. Dan kami juga mengusahakan bagaimana agar anak tersebut dapat bersekolah. Mayoritas dari sanak-sanak yang sudah hidup bermasyarakat, mereka masuk islam atas kehendak mereka sendiri tanpa ada paksaan. Setiap hari mereka melihat kita shalat, mendengar kita adzan, melihat kita berangkat shalat jum’at akhirnya mereka tertarik dan masuk Islam. G. Temuan Penelitian Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa temuan yang dapat ditemukan penulis : 1. Karakteristik Suku Anak Dalam tentang Budaya Berkaitan dengan budaya suku anak dalam penulis dapat menemukan beberapa temuan, yaitu : a) Kepercayaan : Kepercayaan Suku Anak Dalam adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan. b) Melangun : Melangun merupakan tradisi suku anak dalam ketika ada salah satu dari keluarga mereka yang meninggal. Yakni mereka akan berpindah tempat, karena mereka beranggapan bahwa tempat tersebut membawa sial. Melangun dahulu bisa mencapai 3 tahun, berhubung hutan semakin sempit untuk sekarang melangun hanya berkisar satu bulan hingga satu tahun dan perginyapun tidak sejauh dulu. c) Besale : Besale merupakan upacara untuk memohon kepada para dewa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan selamat dari
JURNAL LISAN AL-HAL
67
67
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
marabahaya. Upacara besale ini dilakukan pada malam hari dan dipimpin oleh orang yang memiliki kemampuan lebih yang disebut dengan dukun. Dan pada upacara ini disiapkan berbagai macam sesajian dan diiringi dengan tari-tarian serta bunyi-bunyian. Pada intinya upacara besale ini dilakukan dalam rangka mengobati seseorang yang terkena penyakit agar cepat sembuh. d) Seloko : Seloko adalah ungkapan yang mengandung pesan, amanat, petuah, atau nasehat yang bernilai etik dan moral, serta sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi. Seperti; “dak teubah anjing makan tai” artinya kebisaaan yang sulit dirubah, “dimano biawak terjun disitu anjing tetulung” artinya dimana kita berbuat salah disitu adat yang dipakai. 2. Mata Pencaharian Suku Anak Dalam Dalam mempertahankan hidupnya, suku anak dalam bermata pencaharian sebagai berikut : Meramu, Berburu, Menangkap Ikan dan Berladang 3. Kehidupan Sosial Suku Anak Dalam Dalam kehidupan sehari-hari Suku Anak Dalam sangat teguh pada adat istiadat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya, temuan penelitian tentang aturan-aturan itu adalah : a) Aturan Masyarakat Suku Anak Dalam Aturan masyarakat Suku Anak Dalam bersumber pada “Induk Undangundang, Pucuk Undang-undang nan Delapan, Undang-undang nan Dua Belas dan Teliti”. 1) Undang-undang induk terdiri atas 5 macam : (a) Titian teras bertangga batu (b) Cermin yang nan kabur (c) Lantak nan tidak goyah (d) Nan tiado lapuk karna hujan, nan tiado lekang karna panas (e) Kato seiyo 2) Pucuk Undang nan Delapan, terdiri atas 4 di atas dan 4 di bawah. a). 4 di atas terdiri atas : (1) Mencarah Telur (berzina dengan ibu sendiri) (2) Menikam Telur (berzina dengan anak sendiri) (3) Melebung Dalam (berzina dengan saudara sendiri) (4) Mandi Pancuran Gading (berzina dengan istri orang) b). 4 di bawah terdiri atas : (1) Tantang Pahamun (main hakim sendiri, tanpa menunggu keputusan sidang), jika dilakukan maka harus membayar denda sebanyak 160 kain. 60 kain dibayar yang seratus dimaafkan.
68 68
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
(2) Amogran (megancam orang yang tidak punya salah), membayar dendan sebesar 120 kain, dibayar 20 yang seratus dimaafkan. (3) Siu Bakar (membakar rumah orang), denda 180 kain, 80 dibayar 100 dimaafkan. (4) Tabung Racun (meracuni orang). Jika tidak dapat terselamatkan dendanya 500 kain, dan jika masih terselamatkan 250 kain. 3) Undang-undang nan Dua Belas 4) Teliti, yakni norma yang telah diperkuat oleh tambahan peraturan khusus atas dasar kesepakatan para tokoh masyarakat seperti dinyatakan dalam seloka adat “kok bulat sudah boleh digolekkan, kok pipihsudah boleh dilayangkan” aturan yang dijadikan keputusan adat dibuat dengan ikat janji dan seumpah perumusnya, bila ada niat tidak baik akan kena kutuk roh nenek moyang. a) Struktur Kepemimpinan Suku Anak Dalam Struktur kepemimpinan Suku Anak Dalam pada suatu kelompok disebut pengulu, yang terdiri atas jabatan : Tumenggung, Wakil Tumenggung, Depati, Mangku, Menti dan Anak Dalam. Tugas masingmasing jabatan adalah sebagai berikut : Tumenggung : sebagai ketua dari tiap kelompok. Depati, bertugas sebagai hakim, mengadili perkara yang terjadi serta membantu denda terhadap pihak yang tidak mampu. Depati dapat diturunkan oleh Tumenggung bila terbukti bersalah dalam mengambil keputusan. Mangku, bertugas sebagai penasehat kepada semua pengulu, termasuk kepada rakyat. Menti, bertugas menyampaikan pengumuman atau himbauan dari Tumenggung kepada rakyatnya. Anak Dalam, bertugas membantu Depati. b) Sistem Kekerabatan Suku Anak Dalam Sistem kekerabatan Suku Anak Dalam adalah matrilineal yang sama dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal di dalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri di luar pekarangan tempat tinggal. c) Perkawinan Suku Anak Dalam Masyarakat Suku Anak Dalam mengenal dua cara perkawinan yaitu perkawinan melalui pertunangan dan perkawinan lari. Perkawinan tunangan dilakukan dengan cara pihak pria tinggal pada keluarga gadis. Selama masa pertunangan tersebut maka pria membantu keluarga
JURNAL LISAN AL-HAL
69
69
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
gadis bekerja. Setelah dianggap bahwa pria tersebut diterima yang dibuktikan dengan rajin bekerja dan kuat maka siap untuk dinikahkan. Masa berindung semang antara 2-5 tahun. Perkawinan dilakukan di Bebalai. Pada saat sebelum pesta perkawinan maka pihak pria diwajibkan membuat gubug yang digunakan dalam pesta. Pembuatan balai dilakukan selama satu hari. Sedangkan perkawinan lari terjadi bila dalam masa berinduk semang, pria membawa lari anak gadis. Perkawinan dapat dilaksanakan setelah keduanya disiksa dengan pukulan kayu. Setelah selesai maka keduanya dapat dinikahkan tanpa bebalai. d) Bahasa Suku Anak Dalam memiliki dua bahasa, yakni bahasa rimba dan bahasa melayu. e) Kesenian Kesenian Suku Anak Dalam berupa tari-tarian ada dua. Yaitu tari Lang dan tari Tauw. Tari Lang dilakukan ketika ada masyarakat Suku Anak Dalam yang melakukan pernikahan. Sedangkan tari Tauw dilakukan ketika masyarakat Suku Anak Dalam mendapatkan penghasilan yang melimpah. Tabel Temuan Penelitian DATA TEMUAN 1. Animisme 2. Melangun Sistem religi suku anak 3. Seloko mantera dalam 4. Besale 1. Meramu 2. Berburu Mata Pencaharian Suku 3. Menangkap Ikan Anak Dalam 4. Berladang Struktur kepemimpinan Suku Anak Dalam pada suatu kelompok disebut Pengulu, yang terdiri atas Struktur Kepemimpinan jabatan : Tumenggung, Wakil Suku Anak Dalam Tumenggung, Depati, Mangku, Menti, Anak Dalam 1. Undang-Undang Induk 2. Pucuk Undang-Undang nan Aturan Masyarakat Suku Delapan Anak Dalam 3. Undang-Undang nan Dua Belas
70 70
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
Matrilineal (kekerabatan yang menarik garis keturunan menurut garis ibu) 1. Perkawinan Tunangan 2. Perkawinan Lari 3. Berinduk Semang (pihak pria tinggal bersama keluarga wanita setelah melakukan pertunangan. untuk bekerja membantu keluarga mempelai wanita, sebagai pembuktian bahwa ia telah pantas untuk melakukan pernikahan. Masa berinduk semang 2-5 tahun) 1. Bahasa Rimba 2. Bahasa Melayu 1. Tari Lang 2. Tari Tauw 1. Sabar 2. Pelan-pelan 3. Lemah-lembut 4. Pendekatan budaya 5. Da’i yang berkualitas 6. Memahami psikologis mitra dakwah 7. Memilih materi dakwah yang sesuai 8. Dakwah bilhal
Sistem kekerabatan Suku Anak Dalam
Bentuk-bentuk Perkawinan pada Suku Anak Dalam
Bahasa Suku Anak Dalam Kesenian Suku Anak Dalam
Strategi dakwah yang efektif pada suku anak dalam menurut individu dakwah.
H. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat di sisimpulkan bahwa : Pendekatan budaya merupakan salah satu strategi dakwah yang efektif untuk berdakwah kepada suku anak dalam dan masyarakat tersing lainnya yang mempunyai karakteristik seperti suku anak dalam. Pendekatan sosial, pendekatan ini mengharuskan seorang da’i sebelum terjun ke medan dakwah, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan kepada para tokoh masyarakatnya, karena hal ini akan memudahkan langkah dakwah kedepannya. Dan yang tidak
JURNAL LISAN AL-HAL
71
71
“Dakwah Pada Masyarakat Terasing”
kalah penting adalah bagaimana seorang da’i dapat menjalin komunikasi yang baik kepada mitra dakwah seperti menjalin silaturahmi dan lain-lain. Dakwah dengan melakukan pendekatan adat-istiadat mitra dakwah juga perlu dilakukan oleh seorang da’i. Artinya adat-istiadat yang telah berkembang dan mengakar kuat dalam kehidupan mitra dakwah jika tidak bertentangan dengan ajaran syari’at maka dibiarkan saja. Dan untuk adat istiadat yang bertentangan jika masih bisa dimodifikasi maka cukup dimodifikasi tanpa harus melenyapkannya. Seorang da’i sebelum terjun ke medan dakwah, ia dapat memahami bahasa sehari-hari atau bahasa ibu dari mitra dakwah itu sendiri. Hal ini bertujuan agar da’i dapat berkomunikasi dengan baik dan dapat menyampaikan pesan-pesan dakwahnya tanpa ada hambatan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Dzikron, Metodologi Da’wah, 1987, Fakultas Da’wah, IAIN Walisongo, Semarang. Al-Haddad, Abdullah bin Alawy, 1421 H, Da’watu al-Tammah wa Tadzkiratu al-‘Ammah, Dar al-Hawi. Amin, Masyhur, 1997, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Yogyakarta : AlAmin Pers. Anshari, Hafi, 1993, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya : alIkhlas. Arifin, H. M, 2004, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi, Jakarta: PT Bumi Aksara. Aziz, M. Ali, 2004, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana. Bungi, Burhan, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ghazali, Imam, 2008, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin Jalan Menuju Penyucian Jiwa (diterjemahkan oleh Mujahiddin Muhayyan, dkk.), Kairo : Dar al-Salam, cet. I. Hasanuddin, 1996, Hukum Dakwah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Penerbitan Universitas. L. Pals, Daniels, Seven Theories, Tujuh Teori Agama, terj. Inyiak Ridwan Munir dan M. Syukri, Yogyakarta : Irchisod. Mahfudz, Ali, 1979, Hidayatu al-Mustarsyidin ila al-Thuruq al-Wa’dhli wa al-Khatabah, Dar al-I’thisham. 72 72
JURNAL LISAN AL-HAL
“Volume 6, No. 1, Juni 2014”
Mulkhan, Abdul Munir, 1993, Paradigma Intelektual Muslim,Yogyakarta : Sipress. Munir, M, 2006, Metode Dakwah, Jakarta : Kencana, Cet. 2. Munir, Muhammad dan Ilahi, Wahyu, 2006, Managemen Dakwah, Jakarta : Kencana, cet. I. Musthan, Zulkifli,2002, Ilmu Dakwah, Makassar: Yayasan Fatiya, Jilid I. Nasution, Harun, 1995, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX. Nazir, Moh., Ph. D, 2003, Metode Penelitian , Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Saputra, Wahidin, 2011, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Jiid 1. Shihab, M. Quraish, 1998, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan. Sulton, Muhammad, 2003, Desain ILmu Dakwah (Kajian Ontologis Epistemelogis dan Aksiologis), Semarang : Pustaka Pelajar. Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya : alIkhlas. Taimiyah, Ibn, 2001, Manhaj Dakwah Salafiyah, pent. Amiruddin, dari judul asli, al-Amru bi al-Ma’rûf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, Jakarta: Pustaka Azzam. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992, Ensiklopedia Islam, Jakarta : Djambatan. Ya’qub, Hamzah, 1973, Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah, Bandung : CV.
JURNAL LISAN AL-HAL
73
73