PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN FINANCIAL DISTRESS TERHADAP MANAJEMEN LABA (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2009-2014) Dahniar Dwi Ariesanti Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
[email protected] Abstract Earnings Management is an attempt to intervene in the management of the financial statements related accrual components that can be managed by the manager that is discretionary accrual to realize the desired profitThe purpose of this study to analyze the influence of good corporate governance mechanism, namely institutional ownership, managerial ownership and composition of board of commissioner and the other object is financial distress to earnings management. This research was conducted on Banking companies listed of Indonesian Stock Exchange in 2009-2014. This research is quantitative research and uses linear regression for data analysis. The result of this study shows the corporate governance mechanism (institutional ownership, managerial ownership, composition of board of commissioner not influence to earnings management. Financial distress had positive effect and significant to the earnings management. Keywords: Earnings Management, Institutional Ownership, Managerial Ownership, Composition of Board of Commissioner, Financial Distress LATAR BELAKANG Kasus kecurangan akuntansi di dunia bisnis terkait laporan keuangan semakin berkembang terutama pada perusahaan-perusahaan go public baik di dalam maupun luar negeri, sehingga menarik perhatian serius dari para stakeholder. Pada tahun 2009 – 2014 tercatat telah terjadi banyak skandal keuangan yang diterbitkan, beberapa kasus timbul pasca krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 2008 yakni adanya kasus kecurangan akuntansi besar yang terjadi pada tahun 2008 dengan melibatkan beberapa orang berkedudukan tinggi termasuk para pemilik perusahaan yakni kasus manipulasi
laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak manajemen Bank Century dengan tujuan untuk memperoleh dana penyelamatan dari Menteri Keuangan. Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik akibat terjadinya masalah pendanaan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kondisi antara lain kondisi giro wajib minimum (GWM) untuk memenuhi kebutuhan modal dan likuiditas bank sebesar Rp 6,56 triliun, serta kondisi kecukupan modal dibawah standar yang telah ditetapkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 06/10/PBI/2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum terkait kriteria minimum CAR yakni sebesar 8%, pihak manajemen mengubah jumlah tambahan modal yang dibutuhkan yakni sebesar Rp 1,77 triliun namun ditulis sebesar Rp 632 miliar agar memperoleh persetujuan tambahan modal dari Menteri Keuangan. Rendahnya tingka kecukupan modal yang dialami oleh Bank Century diakibatkan adanya aset berupa SSB (Surat-Surat Berharga) yang berkualitas rendah atau tergolong macet (Adilia, 2009). Selain itu, pada tahun 2011 terdapat kasus laporan fiktif kas di Bank BRI unit Tapung Raya terkait perekayasaan laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak top management sebagai kepala cabang untuk kepentingannya sendiri. Hal ini dideteksi oleh tim pemeriksa dan pengawas dari BRI Cabang Bangkinang pada tanggal 23 Febuari 2011, ditemukan kejanggalan dari hasil pemeriksaan antara jumlah saldo neraca dan kas yang tidak seimbang. Tindakan meningkatkan tingkat kecukupan modal seperti yang terjadi pada bank Century membuktikan bahwa praktik manajemen laba ternyata masih sering dilakukan dalam industri perbankan. Hal tersebut membuat industri perbankan menarik untuk diteliti karena industri perbankan mempunyai regulasi
yang lebih ketat dibandingkan dengan industri lain. Dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 06/10/PBI/2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum terkait kriteria minimum CAR yang harus terpenuhi oleh badan usaha, sehingga manajer memiliki insentif untuk melakukan manajemen laba agar dapat memenuhi ketentuan Bank Indonesia yakni sebesar 8%. Industri perbankan
merupakan
industri
“kepercayaan”,
jika
investor
berkurang
kepercayaannya karena laporan keuangan yang bias akibat praktik manajemen laba, maka mereka akan melakukan penarikan dana bersama-sama sehingga akan menimbulkan rush (Nasution, 2007). Dampak dari kejadian-kejadian ini adalah berkurangnya kepercayaan investor terhadap keandalan informasi keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Praktik manajemen laba diduga dilakukan oleh pembuat laporan keuangan untuk memperoleh suatu manfaat dari praktik yang dilakukan. Pernyataan ini didukung oleh Scott (2001) yakni manajemen laba merupakan tindakan manajemen dalam proses menyusun pelaporan keuangan sehingga dapat menaikkan atau menurunkan laba akuntansi sesuai kepentingannya. Praktik ini dapat menurunkan kualitas dan kredibilitas dari laporan keuangan suatu perusahan di masyarakat sebagai pengguna laporan keuangan. Perbedaan kepentingan antara pihak manajemen dan pemegang saham yang disebabkan pemisahan wewenang yang pada awalnya ditujukan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dimana pemilik perusahaan memberikan wewenang pada pengelola untuk mengurus jalannya perusahaan seperti mengelola dana dan mengambil keputusan atas perusahaan atas nama pemilik. Konflik tersebut menimbulkan adanya asimetri
informasi yakni adanya ketidak seimbangan antara informasi yang didapat antara pihak manajemen dan pemegang saham karena pengelola manajemen mempunyai informasi yang tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan atau pemegang saham (asymmetric information), (Form for Corporate Governance Indonesia atau FCGI, 2001). Perusahaan
memerlukan
keberadaan
peraturan
dan
mekanisme
pengendalian yang efektif dalam mengidentifikasi dan mengurangi adanya kepentingan yang berbeda agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Good corporate governance dapat didefinisikan sebagai susunan aturan yang menentukan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, dan stakeholder serta menempatkannya sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan sehingga dapat meningkatkan perlindungan terhadap orang-orang berkepentingan terhadap perusahaan (FCGI, 2001). Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking (Siregar dan Utama, 2005). praktik manajemen laba dapat dimnimumkan dengan memperbesar kepemilikan saham oleh institusional yang dianggap sebagai sophisticated investor dengan jumlah kepemilikan yang cukup signifikan dapat memonitor manajemen yang berdampak mengurangi motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba (Herawaty, 2008). Struktur kepemilikan lain yang dapat mengurangi tindak manajemen laba adalah kepemilikan manajerial. Semakin banyak saham yang dimiliki oleh pihak manajemen maka praktik manajemen laba akan semakin
rendah (Jensen and Meckling, 1976). Proporsi dewan komisaris independen juga berperan penting dalam mekanisme monitoring, namun Jika dewan komisaris independen terlalu banyak maka pengontrolan perusahaan oleh dewan komisaris dianggap kurang optimal karena adanya perbedaan pandangan dalam perusahaan (Boediono, 2005). Faktor lain yang mempengaruhi manajemen laba yakni perusahaan yang mengalami kendala pendanaan (financial distress). Perusahaan yang mengalami kendala pendanaan cenderung akan melakukan manajemen laba untuk selalu memberikan signal baik di mata investor. Adam S.Koch (2002) mengemukakan bahwa perilaku earnings management meningkat seiring meningkatkannya financial distress perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh mekanisme good corporate governance meliputi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen serta faktor financial distress terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2014. KAJIAN PUSTAKA Agency Theory Perspektif agency theory merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak yang menyatakan bahwa seorang atau lebih principal meminta kepada orang lain (agen) untuk melakukan jasa tertentu demi kepentingan principal, dengan mendelegasikan otoritas kepada agen.
Adanya perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemilik tersebut dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan yang diputuskan oleh manajemen. Teori agensi mengasumsikan bahwa principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, perusahaan secara keseluruhan, dan prospek di masa yang akan datang dibandingkan dengan principal. Hal ini menyebabkan ketidakdeimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent, kondisi ini disebut sebagai asimetri informasi (information asymetry). Adanya asumsi bahwa tiap pihak bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh principal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Adanya asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat menjadi peluang bagi manajer untuk melakukan tindakan earnings management untuk mengelabuhi pemilik mengenai kinerja ekonomi perusahaan”. Semakin tinggi asimetri informasi antara manajer (agent) dengan pemilik (principal) maka mendorong tindakan manajemen laba oleh manajemen (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Kondisi asimetri informasi akan menyebabkan adanya penyimpangan informasi laporan keuangan yang lebih diketahui oleh pihak manajer (agent) dibandingkan pemilik (principal) untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Kondisi tersebut dapat menyesatkan para pengguna laporan dalam proses pengambilan keputusan jika manajer dengan sengaja memberikan pelaporan informasi yang tidak sebenarnya melalui laporan keuangan kepada para pengguna termasuk principal. Manajemen Laba Manajemen laba menurut Scoot (2009:403) didefinisikan sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajemen untuk mencapai tujuan khusus. Manajemen laba merupakan suatu proses yang disengaja dan mengarahkan pelaporan laba pada tingkat tertentu. Upaya manajer untuk memaksimalkan nilai perusahaan akan mengarah pada upaya memaksimalkan kesejahteraan pribadi. Atas dasar itulah mengapa laba dinilai sebagai cermin perilaku oportunis seorang manajer dengan mempercantik laporan keuangannya (fashioning accounting reports), yaitu melaporkan laba atau kinerja sesuai dengan kepentingan yang dicapainya. Perspektif ini sejalan dengan teori agensi yang menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan akan mendorong setiap pihak berusaha memaksimalkan kesejahteraan masing-masing (Sulistyanto, 2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba Ada berbagai faktor yang mendorong pihak manajemen untuk melakukan manajemen
laba,
namun
secara
umum
menurut
Scoot
(2009:411)
mengelompokkan menjadi enam alasan, yakni sebagai berikut: 1)
Bonus Purposes. Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan
akan
bertindak
secara
opportunistic
untuk
melakukan
manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini. Hal ini disebabkan
karena dasar perhitungan bonus yang akan diterima oleh manajemen adalah tingginya laba akuntansi. 2)
Political motivations. Manajemen laba yang digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3)
Taxations motivations. Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi yang digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan perusahaan.
4)
Pergantian CEO. CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk menaikkan bonus. Dan jika kinerja perusahaan buruk, akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5)
Initial Public Offering. Perusahaan yang go publik belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go publik melakukan manajemen laba dalam prospectus dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
6)
Pentingnya memberi informasi pada investor. Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja baik.
Mekanisme Good Corporate Governance Perusahaan sangat memerlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang efektif dalam mengarahkan kegiatan operasional perusahaan
serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda agar dapat mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan perusahaan. Ada beberapa mekanisme corporate governance yang sering digunakan, dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap manajemen laba adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan proporsi dewan komisaris independen. Kepemilikan Institusional Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peran yang sangat penting dalam meminimalkan konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Kepemilikan institusional merupakan bagian dari mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking. Menurut Sari, dkk (2013) investor institusional diyakini mampu memonitor tindakan manajer dengan lebih baik dibanding dengan investor individual. Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial dapat diartikan sebagai pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris). Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Jensen and Meckling, 1976). Kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi manajemen laba karena dapat mengurangi masalah dalam hubungan keagenan. Masalah
tersebut adalah masalah kontrol pemegang saham pada manajer yang meliputi adanya tindakan agent yang tidak dapat diamati oleh principal dan mekanisme pengendalian. Besar kecilnya kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham (Faizal, 2004). Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa presentase kepemilikan saham oleh manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Boediono, 2005). Proporsi Dewan Komisaris Independen Berdasarkan The National Comitte on Corporate Governance menjelaskan fungsi dari dewan komisaris yakni untuk mengawasi direksi baik yang berhubungan dengan kebijakan dan pelaksanaan direksi dan berfungsi untuk memberikan saran kepada direksi. proporsi dewan komisaris dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Melalui peranan dewan komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen, proporsi dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Dapat dikatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba. Financial Distress Menurut Ross et al .(1996) financial distress adalah ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan kata lain
perusahaan
mengalami insolvency. Financial distress tergambar dari ketidakmampuan atau tidak tersedianya dana untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo (Wardhani, 2006). Menurut Sari, dkk (2013) menyatakan bahwa financial distress dapat mengurangi tindakan earning management karena perusahaan yang tidak mengalami kesulitan pendanaan atau keuangan tidak cenderung melakukan earning management. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Adam S. Koch (2002) yang mengemukakan bahwa perilaku earning management (manajemen laba) meningkat seiring meningkatnya financial distress perusahaan. Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Kepemilikan institusional memiliki pengaruh terhadap manajemen laba H2: Kepemilikan manajerial memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. H3: Proporsi dewan komisaris independen memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. H4: Financial Distress memiliki pengaruh terhadap manajemen laba METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Anshori dan Iswati (2009:13), penelitian kuantitatif adalah penelitian yang menitikberatkan pada pengujian hipotesis, data yang digunakan harus terukur, dan kemudian menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan.
Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data kuantitatif, yaitu data yang diukur dalam suatu skala numerik berupa angka-angka. Sumber data yang digunakan merupakan data sekunder berupa laporan keuangan tahunan (annual report) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode 2009 - 2014. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari website Bursa Efek Indonesia yaitu www.idx.co.id. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode tahun 2009-2014 berjumlah 41 perusahaan perbankan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Adapun kriteria yang digunakan untuk memilih sampel adalah sebagai berikut: (1) Perusahaan perbankan harus mempublikasikan laporan keuangan tahunannya secara lengkap periode 20092014. (2) Perusahaan perbankan harus menerbitkan laporan tahunan yang memiliki kelengkapan data mengenai variabel yang dibutuhkan dalam penelitian. Berdasarkan kriteria pemilihan sampel yang telah dilakukan, maka sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 13 bank untuk setiap tahunnya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan penggabungan data atau pooling data, sehingga jumlah unit analisis data untuk tahun 2009-2014 adalah 78 bank (6x13).
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Manajemen Laba Manajemen laba diukur dengan proksi Discretionary accruals (DAC) dihitung dengan menggunakan Modified Jones Model (Dechow et al, 1995) yang dapat mendeteksi manajemen laba secara konsisten, dengan tahapan: a. Total Accrual ( ) = Nit – CFOit ................................................................(1) b. Menghitung nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS (ordinary least square), yaitu: ....(2) c. Menghitung nondiscretionary accruals (NDA) ..............................................................................................................(3) d. Menghitung discretionary accruals ...........................................................................(4) Keterangan: : Total akrual (total accruals) NI : Laba bersih operasi (net income) CFOit : Aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operation) perusahaan i pada periode ke t : Total aset perusahaan i pada akhir tahun t-1 : Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t : Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t : Aktiva tetap perusahaan pada periode ke t : Nondiscretionary accruals perusahaan i pada periode ke t : Discretionary accruals perusahaan i pada tahun t e : Error
Kepemilikan Institusional Menurut Beiner et al. (2003) kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh insitusi. Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan institusional adalah persentase jumlah saham yang
dimiliki pihak institusional dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar (Ujiyantho dan Pramuka, 2007) yang diperoleh melalui perhitungan dengan rumus: INST =
∑ ∑
x 100%
Kepemilikan Manajerial Midiastuty dan Machfoedz (2003) mendefinisikan kepemilikan manajerial sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan meliputi komisaris dan direksi. Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar (Ujiyantho dan Pramuka, 2007) yang diperoleh melalui perhitungan dengan rumus: MANJ =
∑ ∑
x 100%
Proporsi Dewan Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh anggota dewan komisaris perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007) yang diperoleh melalui perhitungan dengan rumus:
PDKI =
∑
x 100%
∑
Financial Ditress Pada tahun 1968, Edward I.Altman melakukan penelitian yang berhasil menciptakan model yang dikenal dengan sebutan Altman Z-Score, model ini merupakan gabungan dari beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan dalam memprediksi financial distress suatu usaha karena setiap financial distress yang serius akan mengarahkan perusahaan menuju kebangkrutan. Industri perbankan merupakan perusahaan jasa, sehingga menggunakan metode Altman Z-score dengan versi empat variabel, maka formulasi yang digunakan untuk memprediksi tingkat financial distress adalah sebagai berikut (Puryati dan Savitri, 2012): Z = 6,65 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1,05 X4 Keterangan: Z = Z-Score Index X1 = Loan / Deposit Ratio X2 = Retained Earning / Total Assets X3 = Earning Before Interest and Tax / Total Assets X4 = Market Value of Equity to Book Value of Total Debt Berdasarkan persamaan Z-score maka diperoleh nilai Z sebagai berikut: a.
Jika nilai Z > 2,99 maka dapat dikategorikan dalam kondisi sehat (safe zone)
b.
Jika nilai 1,81 < Z
2,99 maka dapat dikategorikan perusahaan dalam
kondisi yang terdapat signal atas potensi kebangkrutan (grey area)
c.
Jika nilai Z
1,81 maka dapat dikategorikan perusahaan sedang dalam
kondisi kesulitan keuangan dan memiliki potensi kebangkrutan yang tinggi HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif Tabel 1 Statistik Deskriptif Descriptive Statistics Std. N Minimum Maximum Mean Deviation Manajemen Laba 78 -,25 ,13 -,0233 ,07203 Kep.Inst 78 5,90 97,75 59,0296 25,80870 Kep.Manaj 78 ,00 68,76 7,6218 17,10870 PDKI 78 33,33 75,00 56,9463 8,71176 FD 78 2,68 6,74 5,2218 ,90289 Valid N (listwise) 78 Sumber: Data diolah SPSS Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa nilai n adalah 78 yang berarti terdapat 78 laporan keuangan tahunan bank yang menjadi sampel penelitian dengan variabel kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, dan financial distress sebagai variabel independen (X) dan manajemen laba yang merupakan variabel dependen (Y) dalam penelitian. Variabel dependen manajemen laba dengan proksi discretionary accrual (DA) memiliki rata-rata sebesar -0,02, nilai terendah sebesar -0,25 dan nilai tertinggi sebesar 0,13, dengan nilai standar deviasi (standard deviation) sebesar 0,07203 lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata sebesar -0,0233 menunjukkan bahwa data terdistribusi dengan baik. Variabel kepemilikan institusional menunjukkan nilai terendah sebesar 5,90% dan tertinggi sebesar 97,75% secara rata-rata diperoleh sebesar 59,0296 dengan standar deviasi sebesar 25,8087. Sedangkan variabel
kepemilikan manajerial memiliki nilai terendah sebesar 0,00 dan nilai tertinggi 68,76%. Nilai rata-rata variabel ini adalah sebesar 7,6218 dengan standar deviasi sebesar 17,10870. Proporsi dewan komisaris independen memiliki nilai rata-rata sebesar 56,9463 dengan nilai tertinggi sebesar 75,00 dan nilai terendah sebesar 33,33. Variabel financial distress memiliki nilai terendah sebesar 2,68 dan nilai terbesar sebesar 6,74, nilai rata-rata variabel financial distress sebesar 5,2212 lebih tinggi dibandingkan dengan standar deviasi sebesar 0,90222. Uji Normalitas
Test Statistic Signifikansi
Tabel 2 Unstandardized Residual 0,052 0,200
Sumber: SPSS, Diolah Penulis Berdasarkan hasil uji kolmogorov-smirnov pada tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai test statistic data adalah 0,052 dengan probabilitas 0,200 diatas =0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya, dilakukan pengujian autokorelasi dengan hasil pada tabel 3 di bawah ini: Tabel 3 Model R Square Adjusted R Square 1 0,123 0,075 Sumber: SPSS, Diolah Penulis
Durbin-Watson 1,956
Berdasarkan uji autokorelasi pada tabel 3 diperoleh hasil bahwa nilai DW sebesar 1,956 dan jika dibandingkan dengan nilai tabel menggunakan nilai signifikansi 5% dengan jumlah sampel 78 (n) dan jumlah variabel independen 4 (k=4) maka pada tabel Durbin-Watson diperoleh nilai dl = 1,5265 dan nilai du = 1,7415. Dapat diketahui bahwa nilai DW lebih besar dari batas atas (du) 1,7415
dan kurang dari 4 - 1,7415. Sehingga diperoleh hasil du < d <4-du yaitu 1,7415 < 1,956 <2,2585 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala autokorelasi. PEMBAHASAN Variabel Independen Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Proporsi Dewan Komisaris Independen Financial Distress Sumber: SPSS, Diolah Penulis
Tabel 4 Signifikansi
Keterangan
0,485 0,253 0,217
Tidak Berpengaruh Tidak Berpengaruh Tidak Berpengaruh
0,033
Berpengaruh
Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Berdasarkan hasil uji t pada tabel 2, variabel kepemilikan institusional memiliki signifikansi 0,485 (lebih dari 0,05) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap variabel manajemen laba, artinya tinggi rendahnya kepemilikan saham oleh pihak institusi tidak mampu mengurangi terjadinya manajemen laba. Kepemilikan saham yang besar seharusnya membuat pihak institusional memiliki kekuatan lebih dalam mengawasi kegiatan operasional perusahaan. Namun, pada kenyataannya investor institusional tidak dapat membatasi praktik manajemen laba karena investor institusional tidak memiliki kemampuan dan kesempatan dalam membatasi kebijakan manajemen dalam manipulasi laba akibat adanya kesenjangan informasi antara investor institusi sebagai pemilik dengan manajemen sebagai agent, selain itu investor institusional hanya berperan sebagai pemilik sementara yang lebih fokus pada current earnings sehingga adanya kepemilikan oleh institusional belum tentu akan berdampak pada peningkatan proses pengawasan terhadap praktik manajemen laba. Kepemilikan saham oleh institusi yang tinggi dapat menimbulkan adanya
kesenjangan keagenan yang berdampak pada kekuasaan yang menyimpang antara pihak mayoritas dan minoritas sehingga dapat menyebabkan tekanan bagi pihak minoritas dalam hal ini yakni pihak manajemen untuk memenuhi keinginan investor institusional untuk selalu memberikan kinerja yang baik dengan laba yang terus tinggi, oleh sebab itu manajemen lebih memilih untuk melakukan praktik manajemen laba. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Manajemen Laba Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,253 lebih besar 0,05 artinya kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Semakin banyak kepemilikan manajerial yang dimiliki dalam sebuah perusahaan sebagai sarana monitoring belum tentu mempengaruhi berkurangnya praktik manajemen laba. Hal ini menandakan bahwa adanya struktur kepemilikan manajerial di perusahaan perbankan masih relatif kecil, sehingga belum belum dapat mengurangi praktik manajemen laba sepenuhnya. Besar kecilnya kepemilikan oleh pihak manajerial belum tentu berpengaruh sebagai sarana monitoring terhadap manajemen laba. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat manajemen laba dengan pola income increasing adalah bonus purposes, manajemen dituntut untuk selalu menampilkan kinerja laba perusahaan yang positif dan meningkat, tidak jarang pula pihak pemilik perusahaan memberikan insentif imbalan berupa bonus dan tunjangan bagi manajemen agar selalu memberikan performa kinerja yang baik, di lain sisi pihak manajemen memiliki informasi lebih dibandingkan pemilik sehingga dengan leluasa.
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh, Astuti (2004), Guna dan Herawaty (2010), Fathoni (2014) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen Terhadap Manajemen Laba Hasil penelitian ini adalah proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini berarti besar kecilnya proporsi dewan komisaris independen tidak mempengaruhi tinggi rendahnya praktik manajemen laba. Data statistik menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen cenderung stabil dan diatas batas ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan Bank Indoenesia yakni diatas 50%. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk adanya tindakan praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Tingkat manajemen laba tidak terlalu berfluktuasi dan kecenderungan untuk tidak melakukan income increasing. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya independensi dari dewan komisaris independen dalam mengawasi kinerja dari manajemen karena mayoritas kepemilikan oleh investor luar yang lebih dominan menuntut untuk selalu menunjukkan laba (current earning) yang tinggi dan cenderung tidak terlalu memperdulikan kondisi perusahaan yang seseungguhnya. Hal tersebut dapat berdampak pada lemahnya pengawasan oleh proporsi dewan komisaris independen pada kinerja manajer karena kurangnya kepercayaan oleh pihak luar termasuk investor institusional. Komisaris independen tidak bisa benar-benar independen dalam melaksanakan tugas dan
pengawasannya karena terbatas oleh peraturan/kebijakan dari pemegang saham mayoritas, sehingga tidak bisa mendorong pelaksanaan good corporate governance secara optimal untuk membatasi praktik manajemen laba (Agustia, 2013). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2009), Sari,dkk (2013), Fathoni,dkk (2014), Guna dan Herawaty (2010) yang menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Pengaruh Financial Distress Terhadap Manajemen Laba Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa financial distress berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Pentingnya memberi informasi pada investor mengenai kinerja perusahaan sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja baik. Pengaruh positif dari terjadinya financial distress terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa ketika sebuah perusahaan mengalami kendala pendanaan (financial distress) maka manajer cenderung untuk melakukan manajemen laba agar tetap memberikan signal yang baik dengan menampilkan kinerja laba jangka pendek yang selalu meningkat meskipun pada kenyataannya kondisi perusahaan sedang bermasalah. Semakin tinggi tingkat kesulitan keuangan perusahaan maka akan meningkatkan kecenderungan perusahaan untuk melakukan manajemen laba (Ariati dan Suranta, 2012). Hal tersebut terjadi karena karakteristik perbankan sebagai penyalur dana yang cenderung memiliki kewajiban lancar yang lebih tinggi dibandingkan asset lancar. Ketika jumlah utang lancar melebihi aset lancar yang dimiliki perusahaan
selama tahun berjalan menyebabkan perusahaan tidak mampu untuk menutupi utang yang besar dan perusahaan akan cenderung melakukan earnings management dengan meningkatkan laba (Gunawan, dkk, 2014). Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adam S.Koch (2002) dan Hsiao Fen Hsiao (2010) yang menyatakan bahwa
perilaku earning
management meningkat seiring meningkatnya financial distress perusahaan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Ketika laba kurang maka manajemen cenderung melakukan manajemen laba dengan mengolah komponen akrual melebihi ketentuan yang telah ditetapkan agar dapat memenuhi keinginan investor.
2.
Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Komposisi kepemilikan manajerial yang masih sangat kecil karena masih banyak manajer yang tidak ingin menanggung risiko besar ditambah dengan tuntutan kepemilikan pengendali menyebabkan manajer cenderung untuk mengelola laba sesuai keinginan investor untuk memperoleh bonus yang besar dari pemilik dibandingkan dengan biaya keagenan yang tinggi.
3.
Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba . Meskipun komposisi dewan komisaris independen sudah memenuhi ketentuan regulasi namun apabila peran komisaris yang tidak dapat independen dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas kinerja
manajemen serta tidak diimbangi dengan kepercayaan pihak investor yang memiliki kendali dan kepemilikan mayoritas maka pengawasan akan berjalan tidak efektif karena manajemen cenderung lebih mementingkan keinginannya untuk melakukan apapun termasuk melakukan manajemen laba agar pihak pemilik merasa puas terhadap kinerjanya dan tentunya keuntungan bagi manajer sendiri memperoleh bonus yang dijanjikan 4.
Variabel financial distress berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Semakin tinggi tingkat kesulitan pendanaan yang dialami oleh perusahaan maka akan meningkatkan kecenderungan perusahaan untuk melakukan manajemen laba.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran yaitu bagi investor harus lebih teliti dalam memilih perusahaan untuk menanamkan modalnya pada perusahaan yang memang memiliki kinerja yang baik dan dapat diandalkan. Investor disarankan untuk lebih meninjau kondisi financial perusahaan yang akan ditanamkan modalnya terkait kemampuan perusahaan dalam mengelola aset lancar untuk membiayai utangnya dan memperoleh laba yang maksimal agar dapat meminimalkan risiko adanya praktik manajemen laba, karena perusahaan yang mengalami financial distress cenderung untuk melakukan manajemen laba yang tinggi agar dapat menarik perhatian dan mempertahankan performa kinerja di mata investor.
DAFTAR PUSTAKA Adam S, Koch. 2002. “Financial Distress and the Credibility of Mangement Earnings Forecasts”. GSIA Working Paper No. 2000-10. http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.415580. Diakses tanggal 10 Maret 2015. Aidilia, Tahta. 2009. “Ringkasan Audit BPK Atas Kasus Bank Century”.http://www.kompasiana.com/topic.php.uid=18589022499&topic= 11499. Artikel diakses tanggal 28 Maret 2015. Altman, Edward I. 1968. “Financial Ratios: Discriminan Analysis and the Prediction of Corporate Bankruptcy”. Journal Of Finance Edition 123 September, pp. 589-609. Ariati, Merry dan Suranta, Eddy. 2012. “Pengaruh Kualitas Audit dan Kondisi Kesulitan Keuangan Terhadap Opini Going Concern dan Manajemen Laba”. Forum Bisnis & Keuangan I, pp 166-184. Astuti, Dewi Saptantianah Puji. 2004. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Laba di Seputar Right Issue”.http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/dewi%20saptantianah %20puji%20astuti.pdf. Diakses tanggal 15 Maret 2015. Bank Indonesia. Peraturan. 2006. Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Boediono, Gideon S. B. 2005. “Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur”. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi VII, pp. 172-194. Dechow, Patricia M., R.G Sloan and A.P. Sweeney. 1995. “Detecting Earnings Management”. The Accounting Review 70, p193-225. Fathoni, Ahmad Fauzan, dkk. 2014. “The Effect Of Corporate Governance Mechanism, Financial Distress on Earning Management Behavior: Empirical Study in Property and Infrastructure Industry in Indonesian Stock Exchanges”. Jurnal Ekonomi Volume 22 No.1, pp. 116-131. Ghozali, Imam. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS 19. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Guna, Welvin I dan Arleen Herawaty. 2010. “Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit, dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi Volume 12 No. 1, pp 53-68.
Gunawan, Fransisca Gunawan, dkk. 2014. “Hubungan Antara Financial Distress Dengan Earnings Management Pada Badan Usaha Sektor Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2010-2012”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Volume 3 No.1, pp 1-18 Herawaty, Vinolla. 2008. “Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai Perusahaan”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Volume 10 No. 2, pp. 97108. Hsiao-Fen, H. Et al. 2010. “Earning Management, Corporate Governance Anda Auditor’s Opinions: A Financial Distress Prediction Model”. Journal. Taiwan. Jensen M. C. Dan Meckling, W. H. 1976. “Theory of teh firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Dalam Journal of Financial Economics”. Vol 3, p. 305-360. Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. “Pedoman Umum Good Corporate Governance”. http://www.governance-indonesia.or.id/main.htm. Diakses tanggal 28 Maret 2015. Lasdi, L. 2008. “Perilaku Manajemen Laba Perusahaan dan Konservatisme Berbeda atau Sama?”. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan. Volume 1 No. 2, pp. 109-125. Midiastuty, Pranata Puspa dan Mas’ud Machfoedz. 2003. “Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba”. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi VI, pp 176-199. Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. “Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia”. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. http://www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id. Diakses tanggal 10 Maret 2015. Puryati, Dwi dan Savitri. 2012. “Model Financial Distress Vs.Altman Z-Score: Analisa Perbandingan Prediksi Kebangkrutan Di Industri Perbankan yang Terdaftar di BEI Periode 2004-2008”. Finance & Accounting Journal. Volume 1 No. 2, pp 212-227. Pozen, Robert C. 1994. “Institusional Investor: The Reluctant Activists”. Harvard Business Review Boston. Vol. 72. Iss 1: pp. 140- 149. Sari, dkk. 2013. “Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance dan Financial Distress Terhadap Earnings Management (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Ekonomi. Volume 1 No.1, pp. 1-15.
Setyawati, Lilis dan Ainun Na’im. 2000. “Manajemen Laba”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 15, No.4, pp. 424-441. Scott, R.W. 2009. Financial Accounting Theory, 5nd. New Jersey: Prentice-Hall. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Research and Development. Bandung: Alfabeta. Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: Grasindo. Ujiyantho, Muh. Arief dan Bambang Agus Pramuka. 2007. “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi X, pp. 1-26. Wahyuningsih, Panca. 2009. “Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional dan Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba”. Dalam Jurnal Fokus Ekonomi. Volume 4 No. 2, pp. 78-93. Widyaningdyah, Agnes Utari. 2001. ”Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public di Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Volume 3 No.2, pp89-101. Wulandari, Ndarungpuri. 2010. “Pengaruh Asimetri Informasi , Manajemen L4aba dan Indikator Mekanisme Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan Publik di Indonesia”. Jurnal Fokus Ekonomi. Volume 3 No.1, pp 1-23.