COUNSELING THE ACADEMICALLY GIFTED CHILDREN by Rochmat Wahab*
[email protected] Abstract Statiscally, the number of the cademically gifted children is quite many who are distributed in all areas. The academically gifted children will be benefecial for themself and other people, if they can develop optimally. There are many academically gifted children who are succesful in their lifes, however we can find some of them feel defficulties. Because of that, they need counseling services. There are some important issues in counseling, especially for the academically gifted children, such as : (1) divergent thinker, (2) excitability, (3) sensitivity, (4) perceptiveness, (5) entelechy. (6) self-concept, (7) counseling with parents, and (8) underachievement. To help in facing the important issues, it is needed social-personal counseling, academic counseling, and career counseling. These three counseling approaches are needed simultaneously and depend on their needs. The models and strategies of counseling for the academically gifted children are therapeutic, preventive, and developmental models. The choice of models is strongely determined by the need of effective counseling, in order to achieve the optimal result. To establish the effective counseling, it is needed counseling services conducted by the professional counselors.
KONSELING BAGI ANAK BERBAKAT AKADEMIK Oleh Rochmat Wahab*
[email protected] Abstrak Secara statistik anak berbakat akademik (ABA) di manapun berada menunjukkan angka yang banyak. ABA akan berarti bagi dirinya dan orang lain jika mereka dapat berkembang optimal. Di samping ada yang sudah berhasil mengembangkan diri secara optimal, di antara mereka tidak sedikit yang memerlukan bantuan konseling. Ada sejumlah isu konseling bagi AB di antaranya, (1) pemikir yang divergent, (2) Eksitabilitas, (3) Sensitivitas, (4) Perseptiveness, (5) Entelechy, (6) self-concept, (7) counseling with parents, and (8) underachievement. Untuk membantu dalam menghadapi isu-isu penting itu, sangat diperlukan konseling sosial-personal, konseling akademik, dan konseling karir. Ketiga layanan konseling ini sangat diperlukan secara simultan, sesuai dengan kebutuhan. Model dan strategi konseling yang dapat dikembangkan untuk ABA adalah pendekatan terapetik, strategi preventif, dan strategi pengembangan. Pilihan strategi sangat ditentukan oleh kebutuhan layanan konseling bagi ABA, sehingga hasilnya optimal. Untuk dapat mewujudkan layanan konseling yang efektif, maka konseling harus dilakukan oleh konselor yang profesional. Kata Kunci : Konseling, Anak Berbakat Akademik. *Rochmat Wahab adalah dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UNY
A. Pendahuluan 1
Secara statistik jumlah anak berbakat akademik (ABA) sangatlah besar di Indonesia. Di antara mereka ada yang telah berhasil mewujudkan potensinya, sehingga dapat berprestasi optimal, namun sebagian besarnya cenderung belum berprestasi kurang. Hal ini ditunjukkan dengan penampilan sejumlah anak SD, SMP, SMA, bahkan mahasiswa di antara sejumlah PT dengan prestasi secara menakjubkan yang tidak hanya pada tingkat nasional, melainkan juga pada tingkat internasional. Jika dicermati lebih jaug, maka jumlah anak yang berprestasi masih jauh dari angka yang seharusnya. Kekurangberhasilan itu, tidak hanya disebabkan oleh persoalan kompleks yang dihadapi bangsa Indonesia, melainkan juga sistem pendidikan yang diterapkan belum banyak memberikan fasilitasi bagi perkembangan anak berbakat. Di sisi lain arus globalisasi sangat menghendaki kemampuan kompetitif dalam berbagai hal di antara setiap warga Indonesia. Untuk dapat mengantarkan bangsa Indonesia di masa depan yang lebih prospektif dan mampu bersaing secara terbuka, maka sangatlah diperlukan sistem pendidikan yang mampu membangun keunggulan (excellence). Untuk membangun keunggulan tersebut, bangsa Indonesia bertumpu pada individu-individu yang memiliki potensi dan prestasi cemerlang, salah satunya adalah ABA. Hingga kini berbagai upaya telah dilakukan dalam membangun keunggulan, di antaranya melakukan reformasi hukum di bidang pendidikan, manajemen pendidikan, proses pembelajaran, kurikulum, dan sistem evaluasi. Namun pada kenyataannya semua upaya reformasi di bidang pendidikan belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Salah satunya adalah kinerja Bimbingan dan Konseling (BK) belum mampu menampilkan prestasi yang membanggakan terutama dalam memberikan pelayanan bagi anak berbakat akademik. Anak berbakat akademik tidak hanya membutuhkan layanan BK tidak hanya untuk pengembangan potensinya, melainkan juga untuk mengatasi persoalan yang dimilikinya. Berdasarkan pengalaman negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, layanan bimbingan dan konseling (BK) merupakan suatu jantung proses pendidikan yang ternyata mampu menunjukkan kontribusinya dalam mengakselerasi kemajuan pendidikan, yang pada gilirannya mampu membangun keunggulan. B. Karakteristik Anak Berbakat Akedemik Anak Berbakat Akademik (ABA) pada hakekatnya dapat dikenali melalui pemahaman tentang karakteristik kebutuhannya. Kitano and Kirby (1986) menegaskan bahwa karakteristik ABA di antaranya: (1) memiliki rentangan perhatian yang lama dikaitkan dengan bidang akademik tertentu, (2) memiliki pemahaman konsep, metode, dan terminologi pada tingkat lanjut untuk bidang tertentu, (3) mampu menerapkan konsep-konsep dari bidang-bidang tertentu ke kegiatan-kegiatan dalam bidang lainnya, (4) adanya keinginan untuk mencurahkan sebagian besar waktu dan usahanya untuk mencapai standar yang tinggi dalam suatu bidang akademik tertentu, (5) adanya kemampuan kompetitif dalam bidang akademik tertentu dan motivasi untuk berbuat yang
2
terbaik, (6) kemampuan belajar cepat dalam bidang studi tertentu, dan (7) memiliki keajegan dan dikendalikan oleh tujuan dalam bidang tertentu. Karakteristik-karakteristik tersebut berkonsekuensi pada kebutuhankebutuhannya. Kitano and Kirby (1986) menjelaskan bahwa kebutuhankebutuhan yang perlu dipenuhi, di antaranya: (1) mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kompetensi fundamental, perbendaharaan teknis, dan pengetahuan lanjut dari suatu bidang yang dimilikinya, (2) berinteraksi dengan para pemimpin dalam bidangnya, (3) menerapkan pengetahuannya untuk penyelesaian masalah yang mutakhir, (4) mengkomunikasikan pengetahuannya, dan (5) mengembangkan kemampuannya dalam bidang akademik dan sosial lainnya. Jika dikaitkan dengan kepentingan konseling maka VanTassel-Baska (1998) menegaskan bahwa karakteristik ABA dapat dikelompokkan menjadi: (1) kluster pertama, aspek personal-sosial : anak berbakat cenderung memiliki sensistivitas yang tinggi, rasa keadilan, dan perfeksionisme, (2) kluster kedua, aspek akademik : anak berbakat cenderung menunjukkan kemampuannya dalam memanipulasi sistem simbul yang abstrak, kecepatan retensi yang tinggi, kecepatan belajar dan menguasai lingkungan; dan (3) kluster ketiga, aspek karir: anak berbakat cenderung memiliki kemampuan melakukan beberapa hal dengan baik (multipotensialitas), minat yang bervariasi dan beragam, dan lokus kontrol internal yang tinggi (kemandirian). Variasi dan penonjolan sifat dan kemampuan ABA sangat dipengaruhi oleh kondisi dan lingkungan yang melingkupinya. C. Pentingnya Konseling Bagi Anak Berbakat Banyak karakteristik yang dimiliki anak berbakat. Namun beberapa karakteristik anak yang menyakut sensitivitas yang tinggi, idealis, dorongan yang tinggi untuk unggul, dan rasa keadilan yang sangat tinggi sungguh berkonsekuensi terhadap sejumlah masalah. Silverman (Van tassel-Baska, 2001) mengemukakan sejumlah masalah, di antaranya: (1) kebingungan tentang makna keberbakatan, (2) perasaan akan perbedaan, (3) perasaan akan ketidaktepatan, (4) kritik terhadap diri sendiri, (5) tingkat konflik internal yang meningkat, (6) kurangnya pemahaman diri dari orang lain, (7) harapan dari orang lain yang tidak realistik, dan (8) Hostility orang lain terhadap kemampuan anak berbakat. Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan pentingnya program konseling di sekolah. Di samping itu bahwa berdasarkan potensi yang dimiliki anak berbakat, maka untuk perkembangan anak secara optimal sangatlah diperlukan fasilitasi dan bimbingan orang dewasa lainnya yang secara profesional dapat diwujudkan melalui layanan konseling. Perlunya konseling bagi ABA juga diperkuat oleh Silverman (1993) melalui pendapatnya bahwa konseling sangat diperlukan untuk membantu anak berbakat akademik dalam mengatasi sikap masyarakat, di samping membantu mereka untuk mencari jalan keluar terhadap sistem pendidikan yang tidak dirancang untuk mengoptimalkan kemajuannya. Dengan demikian konselor diharapkan mampu memberikan bantuan emosional bagi ABA dan guru, bahkan
3
orangtuanya untuk melakukan modifikasi kurikuler dan strategi layanan konseling, sehingga sesuai dengan potensi dan kebutuhan ABA. D. Isu Konseling Bagi Anak Berbakat Berdasarkan karakteristik ABA ada sejumlah isu pokok yang terkait dengan khidupan anak berbakat. Whitesell (1990), menegaskan bahwa ada 5 isu utama dalam layanan konseling bagi anak berbakat: (1) Pemikir yang divergen: Anak berbakat cenderung jujur tentang kompleksitas isu, menekankan pada keinginan yang kuat untuk memahami, memperoleh bantuan membangun perasaan diri yang lebih kuat, memperoleh bantuan untuk belajar mendengar terhadap suatu keadaan yang terfokus, dan membutuhkan dorongan untuk membuat hubungan yang positif. (2) Excitability: Anak berbakat akademik membutuhkan kemampuan selfregulation dan self control, memelihara tingkat dorongan berbuat yang nyaman, menemukan kepuasan terhadap upaya-upaya yang kreatif dan yang bernuansa intelektual. (3) Sensitivity: Anak berbakat akademik memiliki kebutuhan untuk tahu, berkenaan dengan: orang yang tidak bertanggung jawab akan sesuatu, mengapa seseorang itu memberikan sesuatu kepadanya, saat ketika pemberiannya tidak dapat diterima, bagaimana menerima suatu hadiah dari orang lain, menentukan hambatan akan perasaan, dan bagaimana menentukan jarak dirinya dengan orang lain secara fisik atau mental. (4) Perseptiveness: Anak berbakat akademik belajar kapan/bagaimana mempercayai persepsinya sendiri, bagaimana menjadi dapat dipercaya, belajar menghadapi perbedaan pendapat, belajar menghargai perasaan orang lain, dan mencoba untuk menjadi pengamat orang lain atau bermain peran. (5) Entelechy: Anak berbakat akademik secara positif menunjukkan komitmen secara intens kepada orang-orang lain dan ide-ideanya, simpatik, empatik, dan terlibat dalam penyebab-penyebab yang bersifat lokal atau global. Sebaliknya yang bersifat negatif, Anak Berbakat Akademik cenderung menunjukkan gangguan personal dan frustasi, terlalu banyak menghadapi tanggung jawab, dan merasa bertanggung jawab terhadap sesuatu, dan rasa dosa. Selain daripada itu Colangelo (dalam Calangelo and Davis, 1991), juga mengemukakan sejumlah isu penting dalam konseling, yaitu self-concept, counseling with parents, and underachievement. Pertama, self-concept merupakan salah satu area yang berarti dalam riset konseling bagi anak berbakat. Self-concept dipandang sebagai suatu struktur kognitif yang kuat yang mampu memediasi interpretasi dan respon terhadap kejadian dan perilaku yang diarahkan kepada indvidu. Dengan kata lain bahwa self concept mencakup persepsi diri dan evaluasi diri. Bagi ABA, yang penting adalah academic and social self-concept. Kedua, counseling with parents sangat diperlukan karena tidak semua orangtua memiliki informasi yang cukup tentang perkembangan kebutuhan pengembangan ABA. Untuk membantu ABA berkembang optimal, sangatlah
4
diperlukan dukungan dari orangtua, baik berkenanaan dengan pemenuhan keubutuhan emosional, stimulasi intelektual, maupun pengalaman edukasional. Ketiga, underachievement merupakan salah satu isu konseling yang sangat penting mendapat perhatian, karena mengabaikan anak underachievement berdampak kurang positif dan merugikan sekali terhadap ABA. Untuk mengahadapi ABA yang underachievement sangat diperlukan pendekatan terhadap guru dan orangtua. Jika memperhatikan isu-isu tersebut, sungguh kompleks persoalan anak berbakat akademik, sehingga kebutuhan layanan konseling merupakan suatu yang mutlak. Oleh karena itu tidaklah sepenuhnya benar bahwa di sekolahsekolah favorit, kebutuhan konseling menjadi tidak sepenting dibandingkan dengan kebutuhan konseling di sekolah biasa yang bukan favorit. E. Komponen Konseling 1. Konseling sosial-pribadi Konseling sosial-pribadi pada hakekatnya lebih menitikberatkan pada preservasi perbedaan afektif. Konseling sosial-pribadi bagi ABA adalah suatu upaya yang sangat strategis bagi pengembangan kehidupan ABA, karena dari semua aspek yang ada dalam kehidupan manusia, aspek sosial-pribadi merupakan jantung dari kehidupan manusia. Berdasarkan hasil studi Gardner (1983) dan Colangelo, Assouline, and Ambroson (1992) yang diperkuat dengan hasil penelitian Wahab (2003) dinyatakan bahwa kecakapan sosial-pribadi dapat didefinisikan sebagai kecakapan yang berkenaan dengan pemerolehan kesadaran diri dan kolektif, harga diri (self-esteem), membuat keputusan, manajemen waktu, resolusi konflik, keterampilan berkomunikasi, menghargai perbedaan dan bekerja sama, dan keterampilan kepemimpinan, sehingga dapat hidup mandiri dan bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Untuk lebih jelasnya kata-kata kunci kecakapan sosial-pribadi dapat diikuti penjelasannya lebih lanjut. Pertama, memperoleh kesadaran diri dan kolektif. Memperoleh kesadaran diri dan kolektif dapat diartikan sebagai kecakapan individu dalam memahamai diri sendiri sebagai makhluk pribadi dan sosial (self- and collective- awareness or consciousness). Untuk dapat memahami dirinya, maka individu harus tahu karakteristik dirinya, baik yang menyangkut kemampuan, minat, maupun aspirasi, di samping keberadaannya sebagai makhluk pribadi, sosial, dan beragama. Kedua, memperbaiki harga diri (self-esteem, self-concept, self-worth, self-acceptance, dan sebagainya) paling tidak istilah ini ada sekitar 15 istilah yang berbeda (Strein, 1995). Pada dasarnya rasa harga diri terkait dengan berbagai elemen, elemen kognitif dapat dikarakteristikkan dengan rasa memiliki kekuatan dan rasa percaya diri, elemen afektif dapat diindikasikan dengan rasa harga diri yang tinggi dan rendah, dan elemen evaluatif dapat diindikasikan dengan apa yang seharusnya seorang lulusan dapat lakukan (ideal standard). Ketiga, membuat pilihan sehat dan keputusan efektif. Kecakapan ini merupakan kecakapan pribadi yang sekaligus kecakapan sosial, sehingga tidak
5
dapat hanya mengandalkan kemampuan mengendalikan dirinya sendiri, melainkan juga diperlukan kemampuan mengendalikan orang lain, karena keputusan pilihan dan keputusan yang dibuat seringkali melibatkan orang lain. Adapun kecakapan membuat pilihan yang sehat dan keputusan efektif dapat diidentifikasi melalui kemampuan membuat keputusan, mengidentifikasi sumber informasi, menentukan tujuan, dan mengambil tindakan yang perlu untuk mencapai tujuan. Keempat, manajemen waktu. Kecakapan mengelola waktu sangat memerlukan adanya komitmen diri yang kuat dengan dilandasi tanggung jawab, yang tidak hanya terkait dengan dirinya sendiri, orang lain, bahkan dengan Tuhan. Dalam kata hikmat disebut bahwa waktu adalah laksana pedang, jika tidak bisa menggunakannya dengan benar, maka waktu itu akan membunuh diri sendiri. Oleh karena itu dengan dilandasi tanggung jawab, maka melakukan manajemen waktu yang efektif dan efisien merupakan kecakapan yang penting bagi eksistensi setiap individu. Kecakapan mangelola waktu dilihat melalui kemampuan menentukan prioritas, mengelola beberapa tugas dalam waktu yang bersamaan, mengalokasikan waktu yang seefisien mungkin untuk memenuhi batas waktu, dan bersemangat dalam memulai pengerjaan tugas. Kelima, kemampuan resolusi konflik. Kemampun resolusi konflik merupakan kemampuan pribadi dan sekaligus kemampuan sosial, karena konflik yang terjadi tidak hanya terjadi pada level pribadi, melainkan juga pada level sosial. Adapun kemampuan resolusi konflik dapat ketahui melalui kemampuan mengidentifikasi sumber konflik, kecakapan resolusi konflik emosi, kecakapan resolusi konflik nilai, dan kecakapan resolusi konflik Keenam, keterampilan berkomunikasi. Kecakapan ini merupakan kecakapan instrumen yang diperlukan dalam membangun relasi sosial, sehingga individu dapat menangkap ide dan mengkomunikasikannya kepada orang lain (sebagai pasangannya). Kecakapan ini dapat diindikasikan dengan kemampuan membuat percakapan, kecakapan berkomunikasi secara lisan dan tertulis, dan kecakapan berkomunikasi non-verbal kebutuhan. Ketujuh, respek terhadap perbedaan individual dan bekerja sama. Kecakapan ini sangat terkait dengan kepentingan setiap individu yang menghadapi kondisi masyarakat yang plural dan hiterogin. Kecakapan ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan menghargai orang lain, bersikap positif terhadap orang lain, dan kesediaan dan kemampuan membantu dan bekerja sama. Kedelapan, keterampilan kepemimpinan. Keterampilan kepemimpinan merupakan keterampilan yang sangat diperlukan oleh setiap individu, terlebihlebih ketika dia dalam kehidupan berkelompok atau berorganisasi. Dengan demikian kehadiran dia lebih fungsional dan kontributif. Adapun keterampilan kepemimpinan dapat diindikasikan dengan kemampuan mengkoordinasikan kerja teman sebayanya dan bawahannya, mendorong hubungan kelompok yang positif, mengarahkan dan membimbing orang lain, mendelegasikan tugas-tugas kerja, dan memotivasi orang lain.
6
Kesemua kecakapan tersebut antara satu dan lainnya saling terkait, sehingga bermakna bagi kehidupan ABA baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Konseling sosial-pribadi dapat dilakukan secara individual atau kolektif (individual or group counseling), di dalam ruang konseling, kelas, atau di luar kelas, bahkan di tempat terbuka lainnya. Yang penting setting yang dipilih didasarkan pada pencapaian efektivitas layanan konseling, demikian juga dapat diterima oleh ABA dengan baik dan nyaman. 2. Konseling Akademik Walaupun ABA memiliki keunggulan di bidang akademik, namun untuk pengembangan dirinya secara optimal, mereka masih memerlukan fasilitasi dan bantuan secara terarah. Berkenaan dengan itulah maka konseling akademik lebih menitikberatkan pada perencanaan program akademik yang sesuai dengan kebutuhan kognitif siswa. Namun tidak berarti bahwa bentuk layanan konseling akademik lainnya kurang berarti. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Whitesell (1998), bahwa konseling akademik bagi ABA lebih mengutamakan pada perencanaan akademik, perencanaan pendidikan berdiferensiasi, alternatif pendidikan, dan perencanaan karir. Secara lebih rinci jenis layanan konseling akademik bagi ABA sebagai berikut: Pertama, Perencanaan akademik. Perencanaan akademik terdiri atas kegiatan yang difokuskan pada penentuan jurusan atau kegiatan ekstra kurikuler yang relevan, mentorship, pemagangan, keterampilan mengikuti tes, keterampilan membuat keputusan, dan keterampilan belajar. Kedua, perencanaan pendidikan berdiferensiasi. Dalam rangka membuat rencana pendidikan berdiferensiasi, upaya yang perlu dilakukan adalah menentukan tujuan yang bersifat tahunan, menentukan benchmark kemajuan, menunjukkan data asesmen yang relevan, menentukan prosedur dan proses belajar, dan membuatkan rekomendasi dari konferensi staf. Ketiga, alternatif pendidikan. Untuk dapat mengembangkan potensi akademik dan aspek lainnya yang terkait, maka perlu ditentukan dan dikembangkan sistem pendidikan yang relevan, yaitu bisa berbentuk program akselerasi atau pengayaan. Demikian pula perlu mengantisipasi dampakdampaknya, sehingga pilihannya dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ABA secara optimal. Keempat, perencanaan karir. Perencanaan karir yang penting dilakukan adalah berkenaan dengan memilih bidang minta, memilih sekolah atau perguruan tinggi yang sangat cocok dengan individu dan minatnya, memilih jurusan, dan memberikan mentorship. Konseling akademik bagi ABA dapat dilakukan melalui konseling kelompok atau individual, tergantung mana yang dipandang lebih efektif bagi ABA, sehingga sangat diperlukan kemampuan konselor untuk mengidentifikasi kebutuhan dan jenis konseling yang diperlukan. 3. Konseling Karir
7
Kerr (1990) menegaskan bahwa ABA yang memiliki potensi akademik tinggi ternyata tidak selalu lancar dalam perjalanan hidupnya setelah sekolah menuju dunia kerja, karena dipengaruhi oleh sejumlah problem sosio-emosional dan kebutuhan ABA yang berbeda sebagai akibat dari satu atau berbagai kemampuan yang unik. Berikut ini Davis dan Rimm (1989) mengemukakan dua persoalan penting yang dapat berkontribusi terhadap kemampuan perencanaan karir ABA, yaitu multipotensialitas dan early emergence. Demikian pula upaya yang dapat dilakukan baik sebagai langkah pencegahan maupun penanganan. Multipotensialitas adalah kemampuan menyeleksi dan mengembangkan sejumlah pilihan karir sebagai akibat dari berbagai minat, bakat, dan kemampuan yang dimiliki. Luasnya rentangan kesempatan yang tersedia cenderung meningkatkan kompleksitas pembuatan keputusan dan penentuan tujuan, bahkan dapat juga menunda pemilihan karir. Persoalan ini akan dihadapai secara berbeda oleh ABA pada jenjang pendidikan yang berbeda. Pada tingkat SMP, karena keunggulan ABA dalam beberapa atau semua bidang, kesulitan membuat keputusan terus berlangsung. ABA mungkin juga dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial dan rekreasional tanpa menunjukkan minat yang jelas, bahkan mereka memiliki jadwal yang numpuk, sehingga mereka hanya memiliki waktu tersisa yang sangat sedikit untuk memikirkan dalam membuat keputusan yang mantap. Pada tingkat SMA, problem membuat keputusan antara persoalan akademik dan karir merupakan akibat dari jadwal kegiatan kelas dan partisipasi yang tinggi dalam kegiatan sekolah. Beberapa ABA menerima kepemimpinan dari berbagai kelompok yang menjadi tempat kegitannya di sekolah, kegiatan agama, bahkan organisasi masyarakat. Dengan demikian nampak tanda-tanda kecemasan dan keletihan, yang akhirnya dapat berakibat pada penundaan untuk memikirkan perencanaan dan pembuatan keputusan tentang kelanjutan studi dan pemilihan minat karir. Hal ini berakibat juga pada sejumlah ABA tidak berhasil menunjukkan prestasi akademiknya yang baik pada beberapa mata pelajaran. Strategi intervensi yang diyakini relevan bagi ABA, di antaranya sebagai berikut sesuai dengan jenjang pendidikannya: a. Sekolah Menengah Pertama: Mendiskusikan makna dan nilai kerja. Mendiskusikan nilai-nilai keluarga dan masyarakat yang terkait kerja. Memberikan kesempatan kerja volunteer yang sesuai dengan minatnya. Memberikan pengalaman untuk menghabiskan sedikit waktu dengan orang dewasa yang bekerja di tempat yang paling diminati. Mengurangi keterlibatan dalam berbagai kegiatan sosial dan rekreasi dengan memprioritaskan pada beberapa kegiatan ekstrakurikuler. b. Sekolah Menengah Atas: Mencari tes vokasional yang sesuai dari konselor atau psikolog yang profesional. Mendorong un tuk mengadakan kunjungan ke perguruan tinggi atau jurusan-jurusan yang diminati.
8
Memberikan kesempatan untuk bekerja secara volunteer secara lebih meluas. Mengeksplorasi kemungkinan magang dengan para profesional. Memberikan bimbingan yang berbasis nilai yang menekankan pemilihan sebuah karir yang memiliki sarat nilai. Mendorong untuk tidak konformis atau tidak memilih karir secara stereotyped. Mengkspose kepada siswa model-model karir yang unik.
Early emergence adalah anak yang memiliki minat karir yang sangat tinggi. Memiliki ide atau komitmen sejak awal terhadap suatu bidang karir merupakan suatu karakteristik umum bagi ABA, karena itu early emergence seharusnya tidak dipandang sebagai masalah perkembangan, melainkan sebagai suatu kesempatan yang harus ditindaklanjuti untuk pengembangannya, bukan ditolak atau dirusak. Memberikan perlakuan terhadap early emergence berarti memberikan perhatian yang kuat terhadap keberbakatan, dengan memberikan latihan keterampilan yang perlu untuk meningkatkan kualitas kinerja dari bidang yang diminati. Seperti juga multipotensialitas, tanda-tanda early emergence adalah sebagai berikut: (1) Pada tingkat SMP: ABA melanjutkan minatnya yang sangat tinggi dan mengekspresikan dorongan yang kuat untuk latihan lanjut dalam bidang keberbakatan dan minatnya. Pengembangan minat sosial tingkat dewasa tertunda karena suatu komitmen terhadap kerja yang merupakan bidang keberbakatannya atau karena tertolak oleh orang lain. (2) Pada tingkat SMA: ABA mengembangkan suatu identitas yang kuat berkenaan dengan bidang keberbakatannya (misal : komputer, artis). Mereka mengekspresikan suatu dorongan yang kuat akan bantuan perencanaan sebuah karir sesuai dengan bidang yang diminatinya. Suatu dorongan untuk keterampilan tes guna mengikuti kompetisi dengan kelompok sebayanya. Strategi intervensi yang mungkin dapat ditawarkan untuk early emergence pada jenjang pendidikan yang berbeda, di antaranya sebagai berikut: a. Sekolah Menengah Pertama: Memberikan dukungan dan dorongan selama latihan intensif. Memberikan kesempatan sejumlah waktu untuk kerja sendiri. Mencari kesempatan untuk latihan bekerja (mengikuti profesional sehari penuh) sesuai dengan minatnya. Menghindarkan penekanan ABA dari kegiatan sosial.
seorang
b. Sekolah Menengah Atas: Melanjutkan dukungan, dorongan, dan waktu untuk sendiri. Mencari kesempatan untuk magang dan pengalaman kerja di bidang yang diminati. Mencari bimbingan karir dan seorang konselor yang familiar dengan bidang keberbakatannya atau dari seorang profesional di bidangnya.
9
Membuat suatu rencana detil untuk latihan dan pendidikan yang mengarahkan kepada tujuan karir yang terpilih, mencakup rancangan keuangannya. Mengeksplorasi pendididikan di perguruan tinggi atau pelatihan pasca sekolah menengah sejak dini, baik melali kontak maupun kunjungan. Membantu ABA membangun hubungan dengan seorang mentor di bidangnya.
Konseling karir bagi ABA dapat diselenggarakan baik sebagai reaksi atas kebutuhan ABA, maupun sebagai langkah proaktif konselor untuk menfasilitasi ABA dalam pemilihan karir. Konseling karir dapat dilakukan secara individual atau kolektif tergantung pada kebutuhan konseling.
F. Model dan Strategi Konseling Piirto (1994), Colangelo (2002), dan Milgram (1991) mengemukan bahwa secara umum model dan strategi konseling bagi ABA dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Konseling terapetik Konseling terapetik dimaksudkan untuk memberikan perlakuan terhadap persoalan yang dihadapi oleh ABA, baik itu berkenaan dengan persoalan sosialpribadi, akademik, maupun karir. Adapun strategi yang sering menunjukkan efektivitas yang tinggi bagi penyelesaian persoalan ABA, di antaranya sebagai berikut: pengelompokan dengan teman sebaya, menstrukturkan sistem, pembuatan jejaring, konseling/diskusi kelompok, terapi pustaka, pemberian model tokoh keagamaan, mentorship, pemagangan, konseling sebaya, konseling keluarga, konseling individual, dan kelompok pendukung. 2. Konseling preventif Konseling preventif dimaksudkan untuk memberikan perlakuan terhadap ABA dengan berorientasi pada pencegahan akan terjadinya persoalan yang akan muncul di kemudian hari. Adapun strategi yang sering dijadikan pilihan, di antaranya: perencanaan akademik yang sesuai, mencegah perkembangan kelainan prilaku, mencegah underachievement, mencegah konflik sosial/akademik, menaruh perhatian terhadap kebutuhan afektif terhadap populasi khusus, perencanaan karir, dan menghindari dampak terhadap keluarga. 3. Konseling perkembangan Konseling perkembangan dimaksudkan untuk memberikan layanan konseling yang berorientasi pada dukungan terhadap pemenuhan kebutuhan ABA untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensi dan kondisinya. Adapun strategi yang dilakukan di antaranya: memahami kekuatan dan kelemahan, penerimaan diri dan pengakuan terhadap keterbatasan ABA, komitmen untuk memelihara kemampuan ABA, pengembangan internal locus of control, penerimaan kesalahan sebagai pengalaman belajar, keterampilan mengatasi konflik, keterampilan pemecahan masalah, kesadaran, pemahaman
10
dan penerimaan terhadap orang lain, keterampilan berkomunikasi, keterampilan kepemimpinan dan pembuatan keputusan, pengetahuan tentang teknik pengurangan stress, dan kemampuan memandang dirinya sendiri dan kejadian dengan humor. Pilihan model konseling sangatlah tergantung pada kepentingan konseling, apakah konseling dimaksudkan untuk melakukan pencegahan, melakukan penanganan dan penyelesaian, atau melakukan pengembangan. Artinya kehadiran konseling bagi ABA sangat dinantikan pada saat kapanpun, sehingga tidak ada hari bagi ABA tanpa kebutuhan konseling, karena layanan konseling diperlukan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun. G. Yang Seharusnya Melakukan Konseling VanTassel-Baska (1998) menegaskan bahwa ada tiga pihak yang memiliki tanggung jawab dalam pemberian layanan konseling bagi ABA, yaitu konselor sekolah, guru kelas, dan orangtua. Mereka sering tidak bersedia atau tidak terampil dalam memberikan konseling bagi ABA, karena itu salah satu alternatif untuk memberikan bimbingan ABA adalah guru ABA. Dalam beberapa setting, orang-orang yang bekerja dengan ABA untuk sejumlah waktu dalam sistem “pulling out” melihat perilaku ABA berdasarkan suatu tujuan dan dasar-dasar yang terus berkembang. Di samping itu mereka juga memiliki akses yang cukup bertemu dengan ABA berdasarkan jadwal yang mereka miliki. Sering kali, guruguru ini juga yang mengetahui tentang hakekat dan kebutuhan anak berbakat, baik aspek kognitif maupun afektif. Dengan demikian, guru ABA mungkin merupkan posisi yang terbaik dalam memberikan bimbingan yang diperlukan oleh ABA. Menyadari akan keterbatasan guru ABA, terutama untuk tugas mengajar lainnya, dalam memberikan layanan konseling bagi ABA, maka konselor sekolah seharusnya mengambil alih tugas ini dengan penuh tanggung jawab, sehingga konselor mampu menunjukkan kinerja untuk semua siswa, seiring dengan guidance for all. Di samping konselor, layanan konseling yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ABA secara menyeluruh dapat dilakukan oleh orangtua yang memang memiliki waktu yang cukup banyak hidup bersama-sama ABA di rumah. Setidak-tidaknya orangtua memiliki kepekaan dan kesediaan untuk memberikan dukungan, fasilitas, dan kemudahan bagi pemenuhan segala kebutuhan ABA untuk berkembang lebih optimal. Untuk dapat menunjukkan kinerja optimal, baik bagi konselor, guru, maupun orangtua, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa hal penting: Konselor hendaknya: Terlatih dan teknik konseling secara umum. Sensitif terhadap isu-isu afektif pada berbagai fase perkembangan. Bersedia menyusun mentorship, magang, dan program khusus. Terlatih untuk melaksanakan dan menginterpretasi tes-tes khusus dan inventori. Familiar dengan teknik-teknik bermain peran.
11
Mampu mendiagnose bidang-bidang pengembangan psikososial anak.
masalah
berkaitan
dengan
Guru
hendaknya: Sadar akan keunikan kebutuhan sosial dan emosi ABA. Terlatih dalam teknik intrervensi yang efektif terhadap ABA. Sensitif terhadap isu-isu afektif. Bersedia mengatasi isu-isu psikososial yang terjadi sehari-hari di kelas. Terlatih untuk menterjemahkan informasi asesmen ke dalam program pilihan. Familiar dengan ABA yang dapat bermain peran. Mampu mengarahkan kegiatan anak dan mengelompokkannya secara tepat sehingga dapat membantu perkembangan psikososial.
Orangtua hendaknya: Sadar akan kenuikan kebutuhan anak untuk semua aspeknya. Memiliki keterampilan sederhana untuk memenuhi kebutuhan anak. Menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bagi kegiatan anak di rumah. Mendampingi anaknya untuk mengunjungi tempat-tempat yang mendidik. Bersedia bekerja sama dengan konselor, guru, dan personal sekolah lainnya untuk kepentingan kemajuan anaknya. Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang-orang yang ada di dekat ABA. Idealnya setiap pihak tidak harus mendominasi dalam mendidik dan mempenagruhi pertumbuhan ABA, melainkan yang penting adalah setiap pihak mampu menampilakn perannya sesuai dengan kebutuhan pada saat yang tepat. Lepas dari itu, untuk kepentingan layanan konseling diharapkan konselor sekolah mampu menunjukkan peran dan keterlibatannya secara optimal, sehingga mampu berbuat yang terbaik baik optimalisasi ABA dalam kehidupannya.
H. Penutup Konseling bagi ABA merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sedikitpun, kendatipun konselor dihadapkan sejumlah persoalan yang kompleks. Jika konselor tidak mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal terutama bagi perkembangan ABA, maka konselor secara berangsur-angsur akan menghadapi penururan trust yang sudah ada di tangannya. ABA dengan segala karakateristik dan sifatnya menunjukkan perilaku dan kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak sebayanya, sehingga konselor perlu sekali memahami hakekat dan perkembangan ABA guna memudahkan layanan yang akan diberikan. Dengan segala kelebihannya, ABA tetap masih memerlukan layanan konseling untuk dapat menuju kepada cita-citanya. Tanpa konseling yang tepat, tidak menutup kemungkinan potensi yang unggul pada
12
ABA justru kontra produktif, tidak hanya merugikan dirinya saja, tetapi menimbulkan persoalan yang besar, baik bagi keluarga, sekolah, maupun masyarakat, karena mereka bisa saja melakukan bunuh diri, karena merasa frustasi secara mendalam akibat tidak mendapatkan pengajuan dari masyarakat. Akhirnya ABA yang memiliki berbagai keunggulan akan tetap unggul manakala mendapatkan perlakuan konseling yang sesuai pada saatnya. Sangatlah disadari bahwa tulisan ini tidak akan dapat terwujud, jika tidak ada bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Karena itu dalam mengakhiri tulisan ini, perkenankan penulis menyampaikan banyak terima kasih, semoga bantuan dan dukungan yang berupa apapun diterima sebagai amal kebajikan dan mendapatkan balasan yang sebanyak-banyaknya dan selalu dalam ridlo-Nya. Amien.
Daftar Pustaka Clark, Barbara (1983), Growing Up Gifted: Developing the Potential of Children at Home and at School, Second Edition, Colombus: Charles E. Merril Publishing Company. Colangelo, N (1991), Counseling Gifted Student in Colangelo, N. and Davis, G.A, Handbook of Gifted Education, Boston: Allyn an Bacon. ------------, (2002), Counseling Gifted and Talented Student, Storrs, CT: The National Research Center on the Gifted and Talented, University of Connecticut Colangelo, N. Assouline, S.G., and Ambroson, D.L. (1992), Talent Development, Ohio: Ohio Psychology Press. Davis, Gary A. and Rimm, Sylvia B. (1989), Education of the Gifted and Talented, Second Edition, Boston: Allyn and Bacon Gardner, Howard (1983), Frames of Mind: The Multiple Intelligence, New York: Basic Books. Kerr, Barbara, (1990), Career Planning for Gifted and Talented Youth, ERIC EC Digest # E492, ED 321 497. Kitano, Margie K. and Kirby, Darrell F, (1986), Gifted Education : A Comprehensive View, Boston : Little, Brown and Company. Milgram, Roberta M, Ed. (1991), Counseling Gifted and Talented Children : A Guide for Teachers, Counselors, and Parents, New Jersey : Ablex Publishig Coorporation
13
Piirto, Jane (1994), Talented Children and Adults : Their Development and Education, New Yor: Maxwell Macmillan International Silverman, Linda Kreger, Ed. (1993), Counseling the Gifted and Talented, Denver: Love Publishing Company. Stendberg, Robert J. and Davidson, Janet E. (Ed.) (1986), Conceptions of Giftedness, Cambridge: Cambridge University Press. Wahab, Rochmat (2003), Bimbingan Sosial-Pribadi Perkembangan, Bandung: PPs UPI (Disertasi)
Berbasis
Model
Whitesell, Kristi (1990), Counseling the Gifted, whitekh@mail. perrymont. lynchburg.org
14