ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
Muh. Nur Latif
Citra Perempuan Dalam Karya Nawal El-Sa’dawi Muh. Nur Latif
ﺧﻼﻝ ﺩﺭﺍﺳﱵ ﻭﻣﻄﺎﻟﻌﱵ ﻹﻧﺘﺎﺟﺎﺕ ﻧﻮﺍﻝ ﺍﻟﺴﻌﺪﺍﻭﻱ ﺍﻟﻔﻜﺮﻳﺔ ﻓﻘﺪ ﺍﺗﻀﺤﺖ ﻟﺪﻱ ﺎ ﺍﳊﺎﺩﺓ ﻋﻠﻰ ﻭﺍﻗﻊ ﺍﳊﻴﺎﺓ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻭ ﺍﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﻋﺎﺷﺘﻬﺎ ﻧﻮﺍﻝﺍﻧﺘﻘﺎﺩﺍ ﲞﻼﻑ ﻷﺳﻠﻮﺏ، ﻭﻫﺬﻩ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﺩﺍﺕ ﺗﺴﺘﺨﺪﻡ ﺃﺳﻠﻮﺑﺎ ﺳﻬﻼ ﻃﺒﻴﻌﻴﺎ، ﺍﻟﺴﻌﺪﺍﻭﻱ ﻟﻘﺪ ﺍﺭﺗﻜﺰ.ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺘﻤﺘﻊ ﺑﻪ ﺃﻏﻠﺒﻴﺔ ﺍﻷﺩﺑﺎﺀ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻭﻫﻮ ﺃﺳﻠﻮﺏ ﺍﻟﻔﻦ ﺍﻟﻜﺎﻣﻞ ﺎﻳﺔﻣﻮﺿﻮﻉ ﺇﻧﺘﺎﺟﻬﺎ ﺍﻟﻔﻜﺮﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻠﻖ ﻭ ﺍﻻﺣﺒﺎﻁ ﻭﻣﺸﻘﺎﺕ ﺍﳊﻴﺎﺓ ﻭﻣﺘﺎﻋﺒﻬﺎ ﺍﻟﻼ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺍﳊﻴﺎﺓ ﻋﻨﺪﻫﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻻ ﺍﳌﺸﻘﺎﺕ.ﳍﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺎﺷﺘﻬﺎ ﺷﺨﺼﻴﺔ ﺍﻟﻘﺼﺔ ﻣﻊ ﺃﻥ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻭﻫﺐ ﰲ ﻗﻠﺐ ﻛﻞ ﻋﺒﺪﻩ ﺍﻟﺴﻌﺎﺩﺓ،ﺎﻳﺔ ﳍﺎ ﻭﺍﳌﺘﺎﻋﺐ ﻭﺍﻻﺣﺒﺎﻁ ﻻ .ﻭﺍﻟﺸﻘﺎﺀ NAWAL el Saadawi bukanlah nama yang asing lagi bagi masyarakat sastra di Indonesia. Wanita kelahiran Kafr Tahla-tepi Sungai Nil-Mesir, 72 tahun yang lalu ini selalu membangkitkan emosi pembaca dengan bahasa emotif (emotife language) di dalam setiap karyanya. Sejauh pengamatan sastra Arab yang telah dikaji, dalam setiap karya Nawal el Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus penggambaran realitas sosial politik dengan menggunakan colloquaialism atau gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel analitik. Nawal el Saadawi tidak mengikuti aliran al-fanna al-kamil (keindahan) yang kebanyakan digunakan sastrawan Arab. Bahasa sarkatis yang sering digunakan Nawal ini cukup membuat geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Hal itu harus dibayar mahal olehnya. Pada 6 September 1981 ia dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan yang sah. Namun, di dalam sel Saadawi terus berkarya. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi diam-diam tetap menulis. Sekeluarnya dari penjara, tulisan itu menghasilkan esai berjudul Memoar dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, dia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut. Potret Nawal Sebagai Seorang Feminis Penulis Lillian Robinson ( 1970 ) pernah mengatakan bahwa pertanyaan paling penting yang dapat kita tanyakan kepada diri sebagai pengamat sastra yang feminis adalah: “ lalu, apa ?” Terimplikasi didalam pertanyaan itu adalah suatu sudut pandang yang merasuki ilmu sosial pada umumnya—bahwa tujuan dari pada segala karsa dan karya kita adalah untuk melakukan pengubahan terhadap tatanan dunia. Memulai dengan pertanyaan “lalu, apa ?” berarti kita menyandang pula sejumlah Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
43
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
pertanyaan lain, seperti : Apatujuan saatra , dan dengan sendirinya, apa tujuan kritik sastra terhadap keadaan sosial dan perekonomian kehidupan kita semua ? Sebagian besar pengamatan sastra yang berwawasan feminis bergerak di dalam pencerahan inti dari gerakan feminisme itu sendiri yakni bahwasanya gender adalah konstruk sosial, dan bahwasanya konstruksi tersebut telah memaksakan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang. Dari sudut pandang tersebut, tidak sulit kita mencapai asumsi bahwa hasil-hasil kesadaran masyarakat, misalnya sastra dan kritik sastra, juga merupakan konstruk sosial, dan bahwa dengan sendirinya kedua itu pun surat unsur politis. Sebagaimana upaya-upaya pengkajian perempuan pada umumnya, kritik sastra berwawasan feminis bertolak dari asumsi bahwa kita harus menciptakan pegetahuan kita sendiri, dan senantiasa menciptakannya kembali dalam batasan-batasan yang di berikan oleh sejarah—dan bahwa dalam menciptakan pengetahuan, kita lalu bertindak terhadap hubungan kekuasaan di dalam kehidupan kita. Sebagai pengamat sastra yang feminis kita bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman kita tentang teks sastra dapat kita uraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai pengkajian atas sejarah dan pengkajian yang berdampak politis, terakhir, kita pun dapat melakukan penulusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metoda untuk membentuk kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang di buat oleh dan perempuan. Ternyata, mengatakan bahwa sastra dan kebudayaan adalah produk politik berarti kita menantang moda berpikir yang dominant di masyarakat kita. Ada pemahaman di dalam kesastraan, yang di sebut formalisme, yang melihat sastra sebagai terpisah dari sejarah, tidak menjadi bagian dari ulur kehidupan realitas umat manusia. Ada pula pendapat bahwa sejarah, terutama sejarah modern, pada intinya adalah suatu kisah penderitaan individu, suatu penderitaan yang dibuat universal.dan dijamin keberadaanya dalam kondisi kemanusiaan. Salah satu isu pokok bagi feminisme adalah kontruksi cultural yang disebut subjektifitas. Didalam orgumentasi yang bergentayangan mengenai feminisme,dan bahkan diantara feminis itu sendiri, hampir selalu muncul pernyataan: mengapa gerangan perempuan tidak bersatu saja dan menggulingkan dan patriarki yang dikatakan menjadi sumber ketertindasan perempuan secara universal. Dan, mengapa jika semua perempuan menderita dibawah patriarki, tidak semua perempuan jadi feminis ? sementara itu, ada pula tudingan yang mengatakan bahwa, tampa sadar, sering kali kaum feminis sendiri secara tidak sengaja berkolusi dengan nilai-nilai serta asumsi-asumsi patriarchal yang merusak dalam kehidupan masyarakat. Masalahnya, subyektivitas itu sendiri menjadi bagian dari konvensi, pendidikan dan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya. Kritik sastra yang berwawasan feminis juga mengakui bahwa sastra ikut andil dalam proses mengkonstruksikan subjektivitas itu. Dalam esainya yang terkenal, “Ideology and ideological apparatuses”, Louis Althusser mengikutsertakan sastra dalam lembaga-lembaga Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
44
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
ideology yang menyumbang terhadap proses mereproduksi hubungan-hubungan produksi, atau hubungan-hubungan sosial yang menjadi kondisi mutlak bagi eksistensi dan kelestarian mode produksi kapitalistik. Argumentasinya disini adalah bahwa tidak saja kesusastraan mewakili mitos dan versi-versi khayalan dari hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan nyata yang pada gilirannya membentuk ideology, tetapi juga bahwa fiksi realis (bentuk kesusastraan yang paling dominan diabad ke-20 ini), menghadang si pembaca dengan berbicara langsung kepadanya, sembari menawarkan kepadanya suatu posisi yang paling “mungkin” baginya untuk membaca teks itu, yakni sebagai pemeran di dalam ideology itu sendiri. Menurut Althusser, ideology bukan suatu rentetan ilusi belaka. Ia merupakan suatu sistem perwakilan (dikursus, imaji dan mitos) yang terkait dengan hubunganhubungan nyata yang dihidupi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan sesungguhnya. Namun, katanya, “Apa yang terwakilkan di dalam ideologi itu bukannya sistem dari hubungan-hubungan nyata yang mengatur eksistensi manusia, tetapi hubungan khayalan individu-individu itu terhadap hubungan sesungguhnya yang mereka hidupi. “(Althusser 1971, p. 155). Dengan lain perkataan, ideology merupakan suatu hubungan kenyataan mau pun hubungan khayalan dengan dunia. Tetapi, lanjut Althusser, tujuan akhir dari semua ideology adalah sang subjek (atau individu di dalam masyarakat). Dengan begitu adalah peran mutlak dari ideology untuk mengkonstruk manusia untuk dijadikannya sebagai subjek. Untuk kaitan argumentasi ini dengan topik hari ini, ada pendapat bahwa bahasalah yang memberikan peluang untuk munculnya subjektivitas, karena bahasalah yang memungkinkan seorang pembicara untuk menempatkan dirinya sebagai Aku, sebagai pokok dari sebuah kalimat. Dalam bahasalah maka manusia menempatkan dirinya sebagai subjek. Sang subjek dikonstruk di dalam bahasa dan di dalam diskursus. Karena tatanan simbolik dalam penggunaan bahasa berhubungan erat dengan ideology, maka sang subjek pun dikonstruk di dalam ideologi. Ideologi meredam peran bahasa dalam konstruk subjek. Sebagai akibat, individu “mengenal” diri sendiri lewat cara ideologi menegur dirinya, menyebut dirinya dan menempatkan dirinya itu. Akhirnya, individu “bergerak sendiri”, bertindak atas “kemauan sendiri”, dan mengambil peran-peran partisipatif sebagai subjek di dalam formasi sosial. Dalam bahasa patriarkal, perempuan “memilih sendiri” untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, merawat anak, berkorban demi keluarga, dan bukan menjadi insinyur, misalnya penggunaan subjek disini memiliki dua sisi. Bukan saja subjek dalam artian gramatikanya, yang adalah penggerak dan penanggung jawab atas setiap tindak-tanduknya sendiri, tetapi juga sebagai mahluk yang disubjekkan, yang tunduk pada otoritas formasi sosial yang di dalam ideologi dominant merupakan subjek absolute (misalnya Tuhan, Raja, Bos, Sang Pria, Kemanusiaan, hatinurani). Dalam bahasa hukum, individu dilihat sebagai “subjek yang bebas yang dapat tunduk dengan keinginannya sendiri kepada garisan-garisan yang ditetapkan subjek”, artinya individu jadi bebas memilih pendudukannya. Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
45
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
Ideologi cenderung menghadang sosok individu sebagai subjek, dan di dalamnya sang subjek diberi jatidiri yang pasti. Misalnya, kalimat “kita orang Timur”, membuat orang terpaku pada norma-norma yang sudah ditetapkan sebagai adat ketimuran. Atau “memang itu sifat manusia”, membuat segala sesuatu sudah “begitu sehingga tidak mungkin lagi ada upaya untuk mengubahnya. Jacques Lacan, seorang penelaah teori Freud, memilih sang subjek antara aku yang dipersepsi, dengan aku yang melakukan persepsi. Menurutnya, terdapat kontradiksi antara diri yang disadari, yakni diri yang tampil sendiri di dalam diskursus, dengan diri yang Cuma sebagian ditampilkan, yakni diri yang muncul dalam suatu percakapan dengan masyarakat. Di dalam kesenjangan kedua diri inilah, kata Lacan, muncul apa yang disebut bawah sadar. Penulis Mesir yang di Indonesia paling dikenal berkat novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, Nawal El Saadawi, akan melangkah lebih jauh untuk melanjutkan perjuangan kemanusiaannya, terutama yang berhubungan dengan kaum perempuan Arab. Ia menyatakan akan mencalonkan dirinya dalam pemilihan presiden Mesir pada Oktober 2005. Kepada harian setempat al-Masry al-Youm, perempuan berusia 73 tahun itu mengatakan bahwa ia akan mencalonkan diri dengan programprogram politik, sosial, dan ekonomi. Katanya pula, ia akan menentang apa yang disebutnya sebagai kolonialisme Amerika-Israel di Mesir dan kawasan Arab. Jika pencalonannya diajukan, Saadawi akan menjadi perempuan pertama Mesir yang mencalonkan diri sebagai presiden. Saadawi adalah seorang psikiater, novelis, dan penulis. Ibu dua anak tersebut juga pejuang hak asasi kaum perempuan Arab. Kontribusinya tak putus - putus dalam debat mengenai masalah - masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan Arab. Istri dokter sekaligus novelis Mesir Sherif Yousseff Hetata itu sudah lama menjadi sosok yang kontroversial. Tulisan-tulisan sastra dan ilmiahnya kerap mendatangkan kesulitan dan, bahkan, bahaya baginya. Pada 1972, ia kehilangan pekerjaannya di pemerintahan. Majalah-majalah yang dibikin, dipimpin, dan melibatkannya sebagai editor, yaitu Health dan Noon, ditutup oleh pemerintah Mesir. Sejumlah dari buku-bukunya dilarang beredar di Mesir dan sejumlah negara Arab. Presiden Anwar Sadat menjebloskannya ke penjara pada 1981. Pemerintah Mesir juga menutup salah satu organisasi yang dipimpinnya, Arab Women’s Solidarity Association, pada 1991. Karya-karya dari penerima sejumlah penghargaan internasional itu telah beredar secara luas di seluruh dunia dalam 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Sosok Perempuan Dalam Karya-Karya Nawal El-Sa’dawi Perempuan sebagai kelompok di dalam masyarakat merupakan ciptaan, tetapi sekaligus juga diredam oleh diskursus yang kontradiktif. Contohnya begini, secara garis besar, terutama dalam tatanan masyarakat urban dan berpendidikan, perempuan ikut partisipasi dalam diskursus kebebasan, penentuan nasib sendiri dan rasionalitas sosial. Tetapi pada saat bersamaan, perempuan juga terlibat dalam diskursus khas Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
46
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
perempuan yang ditawarkan masyarakat, misalnya sebagai mahluk yang tunduk, pasif, dituntun intuisi dan dirasuki ketidakmampuan. Maka terjadilah kesenjangan antara Aku-nya perempuan yang tampil sebagai sendiri dan Aku-nya yang muncul cuma sebagian. Tidak heran muncul tekanan-tekanan yang tidak nyaris tidak tertahankan, karena kedua aku saling bertentangan. Untuk mengakomodasikan kesenjangan tersebut, mudah sekali bagi perempuan untuk mundur saja dengan kalimat, “Saya toh cuma perempuan”. Mengkaji perempuan di dalam sastra, dengan pemusatan perhatian pada sastra akhir abad 20 di Negara Arab, menarik untuk dilihat bahwa bersamaan dengan perangkulan kapitalisme dalam tatanan negara, kita lihat pula bangkitnya aliran realisme klasik sebagai gaya yang paling digemari dalam sastra, film dan drama televisi. Hal itu konon berlaku dimana-mana kapitalisme industrial merasuk. Mungkin karena realisme klasik menawarkan kepada pembacanya tidak saja posisi yang menelaah teks agar mudah dicernakan, tetapi juga posisi sebagai muara pemahaman serta peluang bertindak sesuai dengan pemahaman itu. Dalam membahas bagaimana ideologi gender diproduksi dan direproduksi dalam praktek-praktek kebudayaan, satu hal perlu kita tekankan : seyogyanya jangan sampai menjadikan teks itu sendiri sebagai dasar analisis. Jadi, teks tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana sudah lama menjadi titik tolak kritik sastra. Jika membatasi analisis hanya pada isi teks itu sendiri berarti menjadikan objek analisis itu sebagai dasar keterangan untuk dirinya sendiri, suatu hal yang rasanya mustahil dilakukan. Beberapa pengkajian kritik sastra mengatakan bahwa menyempitkan masalah cuma pada teks belaka merupakan suatu bentuk reduksionisme yang sia-sia belaka. Argumentasi yang sama diajukan oleh Tineke Hellwigg (1990), bahwasanya, “Sejak dulu kesusastraan dianggap sebagai proses komunikasi. Ada pengarang, ada teks (karya), ada pembaca dan ada kenyataan (semesta). Peranan kenyataan dalam proses komunikasi ini selalu dianggap paling ruwet. Pengarang dan pembaca hidup dalam suatu kenyataan sosial, tetapi kenyataan sosialistik yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks mengemukakan sejenis kenyataan, tetapi kenyataan dalam teks tak perlu sama dengan realitas hidup yang dihadapi pengarang atau pu pembaca. Dalam melakukan kritik sastra, apalagi yang berwawasan feminis, ada baiknya kita menghindari anggapan bahwa teks adalah medium yang memberikan kita pandangan sekilas tentang kenyataan. (Hellwigg, 1990). Teks dapat kita pandang sebagai “acuan timbale balik dari kenyataan yang menciptakannya” (as a figuration of the reality that bought if forth and to which it responded, bal 1988 : 3). Menilik ini semua, rasanya kita butuhkan suatu kerangka untuk dapat membaca sastra secara tepat. Menurut Terry Eagleton (1976), cara sebuah karya sastra dihasilkan memaktubkan sekian kekuatan disamping hubungan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi karya itu sendiri. Dengan padangan ini, karya sastra dari kurun mana saja akan dicirikan oleh pola dominant yang khas untuk kurun itu yang menjadi determinan teks yang akan diproduksi. Analisis terhadap proses-proses ini, menurut Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
47
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
Eagleton, lalu harus juga memaktubkan penelaahan terhadap tahap-tahap pengembangan kekuatan-kekuatan yang menghasilkan karya tersebut (misalnya teknologi percetakan) serta hubungan-hubungan dalam mana karya itu dihasilkan (misalnya siapa yang memberikan izin, atau menjadi patronnya). Analisis demikian mutlak ada untuk membedah arti hakiki teks itu sendiri. Artinya, kondisi-kondisi material produksi begitu terinternalisasi, setiap karya sastra menunjukkan sendiri tatakrama bagaimana karya itu harus dikonsumsi, serta secara mantap mengisyaratkan ciri-ciri ideologinya sekitar untuk siapa, oleh siapa dan bagaimana karya itu dihasilkan. Antologi cerita pendek Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga secara eksplisit mendeskripsikan kehidupan tertindas terombang-ambing oleh kekuatan dan kekuasaan. Cerpen pertama Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga, Nawal el Saadawi secara impresif mengisahkan tokoh Zainab dalam menapaki kehidupan. Kegetiran, kepedihan, dan segala kesengsaraan yang selalu menguntit setiap napasnya, dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Ia mendeskripsikan dengan jelas, pure, serta alur ceritanya yang rapi runtut mengenai bagaimana Zainab mendapatkan perlakuan tidak adil oleh orang-orang sekelilingnya karena ketidakberdayaannya sebagai seorang anak-perempuan-istri. Zainab hanya bisa pasrah dengan segala macam ancaman dan siksaan yang mendera hidupnya. Dengan suspense yang terus meningkat, Nawal el Saadawi mengeksplorasikan kepasrahan dan ketidakberdayaan Zainab, "Sebelum subuh ia sudah dibangunkan oleh tamparan ibunya agar ia mau membawa kapas di atas kepalanya. Ia tidak mengenal apa pun kecuali kata ’Ya’, dan bila bapaknya mengikatnya di tempat bajak sebagai ganti kerbau yang sakit, dia tidak mengatakan apa pun kecuali ’Ya’. Suaminya tidak pernah mengangkat matanya untuk menatapnya sekalipun, dan di saat suaminya itu tidur di atasnya, sedangkan ia lagi demam, ia tidak berkata apa-apa kecuali kata ’Ya’." Ekspresionisme yang diungkapkan Nawal El Saadawi dalam setiap karyanya ini kerap mendobrak doktrin-doktrin dominasi laki-laki terhadap wanita (androsentrisme) seperti dituturkan dalam cerpen Kisah Fathiah al-Misriyah. Dalam cerpen ini diceritakan bagaimana Fathiah digambarkan sebagai wanita yang memberontak oleh aturan-aturan hidup yang menyudutkan hidupnya. Ia ingin membunuh bapaknya yang menurutnya telah menjual dirinya (menikahkan) pada seseorang konglomerat dari Mekkah yang usianya jauh lebih tua dari bapaknya. Rentetan frasa dengan nada provokatif serta suspense yang terus meningkat, membuat cerita ini meninggalkan kesan yang sangat dalam, bahwa penulis menentang kultur sekaligus doktrin dan undang- undang di negaranya. Hal itu bisa ditemukan dalam : “Matinya Sang Penguasa” … “Saat suaminya kembali dari ladang, dan karena ia tidak menemukan sang anak dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiyatnya. “Setiap anak laki-lakinya meninggal suaminya Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
48
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
akan memukulnya secara membabi buta begitu pula bila anak yang dilahirkan anak perempuan” (Saddawi, 1992 : 99). “Perempuan di Titik Nol” … “Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya muka dan badan sata menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman adalah seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. (Saddawi, 1992 : 64) “Memoar Seorang Dokter Perempuan” …Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya ? Mengapa tak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan ? Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tak mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya. (Saddawi, 1995 : 84). “Tak ada Tempat Bagi Perempuan di Surga”… "Bapakku memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah undang-undang tidak menghukum bapakku serta tidak menghukum suami Rabiah. Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang memperjualbelikan kami atas nama nikah yang sah, talak atau poligami yang sah" (Saddawi, 2003 : 158). Di sisi lain, ada yang menarik dari karya Nawal, yaitu keberaniannya melontarkan sarkastis kepada pemerintah. Seperti yang ditulisnya di Catatan dari Penjara Perempuan, "Jika pihak penguasa marah pada seorang pengarang bersangkutan dapat diberangus dan suaranya dibungkam, sehingga tak terdengar lagi oleh siapa pun. Seorang pengarang tak mungkin mencapai puncak kesusastraan dan bertahan di sana, jika tak direstui oleh pemerintah" (Saadawi 1992 : 6-7). Pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan emosi para pembaca. Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
49
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
Tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup. Seperti karya-karyanya yang terdahulu, Memoar Seorang Dokter Perempuan, Matinya Seorang Menteri, Catatan dari Penjara Perempuan, Perempuan di Titik Nol, dan Kabar dari Penjara, semua mengangkat hal yang sama. Semua tidak lepas dari uraian jiwa Nawal (sekaligus tokoh dalam karya sastra) yang mengalami guncangan hidup dan depresi yang sangat dalam. Tidak ada satu pun karyanya bisa membuat para pembaca tersenyum atau tertawa. Aliran naturalisme-realisme yang dianut oleh Nawal el Saadawi, di sisi lain ditemukan adanya suatu kejanggalan yang terkesan dibuat- buat, yaitu tema yang diangkat selalu menampilkan penderitaan hidup, tidak menampilkan kebahagiaan hidup di hati tokohnya, seakan hidup ini adalah penderitaan tiada akhir. Padahal Tuhan selalu menghiasi suka dan duka di hati hamba- hamba-Nya. Namun Nawal begitu pandai menyembunyikan kesan itu dengan rising plot (alur menanjak), di mana jalinan peristiwa dalam karya yang dihasilkannya terus menanjak, tanpa ada peleraian sampai cerita itu selesai di puncak. Kesan itu benarbenar tak terbaca oleh para pembaca. Penutup Suatu pola kritik sastra berwawasan feminis berasumsi bahwa perempuan secara universal bukanlah mahluk yang serupa, bahwa hubungan-hubungan mereka juga di tentukan oleh ras , kelas dan identipikasi seksual. Namun ada konstruksi yang serupa yang serupa yang dapat dikatakan universal yang diberlakukan terhadap perempuan, yakni konstruksi yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi dominan. Dalam sekian posisi yang diberikan oleh ideologi tersebut kepada perempuan, terdapat sekian yang tidak lompatibel, bahkan kontradiktif satu sama lainya. Ini melahirkan sekian tekanan-tekanan dan akan melahirkan sekian respons. Pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan emosi para pembaca. Adapun tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup
Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
50
Muh. Nur Latif
ﻧﺎﺩﻱ ﺍﻷﺩﺏ
Daftar Pustaka 1. Atmazaki. 1990. Ilmu-Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang : Angkasa 2. Damono Joko. Sapardi, 1970. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta : Pusat Bahasa. 3. Egelton, Terry. 1985. Ideology and The Cultural Production of Gender. Boston : Michelle Barret. 4. Hellwigg, Tinekke. 1991. Mencari Identitas Wanita dalam Penulisan Novel Indonesia, Yogyakarta : UGM Press. 5. As-Sa’dawi, Nawal. 1990. Memoar Seorang Dokter Perempuan. Jakarta : Yayasan Obor. 6. ____________. 1992. Matinya Sang Penguasa. Jakarta : Yayasan Obor 7. ____________. 1992. Perempuan di Titik Nol. Jakarta : Yayasan Obor 8. ____________. 1992. Matinya Sang Menteri. Jakarta : Yayasan Obor 9. ____________.2003. Tak Ada Tempat Bagi Perempuan di Sorga.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 10. Teuw, A. 1983. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori. Jakarta : Pustaka Ilmu.
Tahun ke 3, Nomor 1, Februari 2005
51