CAHAYA DI ATAS JALAN TERJAL Kuteringat semasa aku masih di bangku SD. Hubungankulah satu-satunya yang paling awet di antara teman-temanku. Semenjak duduk di kelas 4 hingga beranjak ke kelas 6, tak pernah sekalipun aku berpindah hati. Hatiku tetap kupautkan kepada Ema Sulistiana yang kata temanteman ia gadis yang menjadi ratu bagi wajah-wajah cantik gadis lain di SDN Garahan III. Dan memang kusadari, putri bapak guru agama kelas 5 & 6 itu kecantikannya memang tak layak bila diragukan. Ya, tidak malulah jika bersanding dengannya untuk menghadiri acara-acara besar yang sifatnya umum. Dan tak kupungkiri, itulah salah satu alasanku tetap bertahan-teguh memegang cintanya, selain ia memang taat beragama dan patuh kepada orang tuanya. Jikalau terus kukeruk ingatan tentang awal detik-detik terbitnya cintaku semasa bau kencur itu, perut ini seakan digelitik oleh berpuluh-puluh jemari. Bagaimana tidak, semula ia musuhku, akan tetapi lama-kelamaan justru menjelma orang yang paling kusayangi. Ia orang yang paling menjengkelkan, ketika ranking 1 yang biasa kuraih jatuh ke tangannya. Paling aku benci ketika lomba gerak jalan yang kuketuai semasa Agustus-an tempo dulu kalah mutlak kepada group yang ia komandoi. Namun setelah itu, di saat kupandangi ia dengan sepenuh-kebencianku sedang tertawa berduaan bersama seorang cowok, hatiku seolah bergetar. Aku tidak hanya marah, benci dan jengkel, tapi rasa cemburu itu juga diam-diam bercokol dalam hati. Anehnya, semakin ia kubenci, bayangan wajahnya tak mau jauh dari pelupuk mataku. Saat terpejampun, mata hatiku tetap menerawang jelas akan wajahnya. Dan dengan bergulirnya sang waktu, rasa itu tercium oleh indera teman-teman cowok sekelasku. Mereka mulai mengojlokku. Mereka semangat sekali menjodohkanku dengannya. Pernah, ketika habis istirahat tasku hilang, saat kucari dan kutanya, tasku ternyata mereka ikat erat dengan tas milik Ema Sulistiana. “Zal, jangan kau sangka kami yang mengikat tasmu. Tasmu saja yang mencari pasangannya sendiri,” kata Misrai selaku ketua kelas di kelas 4 dulu itu. Dan masih tetap kuingat, sungguh saat itu Ema kayak kepiting rebus, mukanya langsung memerah. Ia berusaha melepas ikatan itu sekuat tenaga. Tapi, ia tak bisa. Lalu, minta bantuan teman-teman, mereka sengaja mempermainkannya. Bukan hanya tidak mau, malah menertawakannya. Aku yang berdiri di depan tempat dudukku, sebenarnya ingin sekali menghampiri Ema, kemudian melepaskan ikatan tersebut, tapi aku juga mikir takut ledekan teman-teman makin menggemuruh. Akhirnya, Ema menangis, maka kemudian sebagian teman cowokku mendekatinya untuk melepas dan mengambil tasku. Dasar anak ingusan, ketika ikatan terlepas, Ema tertawa seraya berkata, “Aku hanya berakting.” Dan rupanya bukan hanya itu yang mereka lakukan dalam rangka main perjodohan antara aku dan Ema. Sempat pula kulihat tulisan “Rizal dan Ema” di jalan beraspal menuju sekolah dan tembok belakang sekolah yang mereka gores dengan pecahan genting. Dan akhirnya, bertambah hari, bulan demi bulan, aku yang selama ini memendam rasa dan diam-diam setuju dengan permainan ala teman-teman, betul-betul menjalin hubungan asmara dengan si pujaan hati, Ema Sulistiana.
Hubungan yang berjalan mulus itu beberapa tahun kemudian bernasib sial. Ema yang kuyakini akan menjadi belahan jiwa-separuh nafas dalam hidup dan matiku ternyata lenyap seiring musnahnya harapanku yang tertanam kokoh dalam sudut hati. Semenjak kelulusan dan aku meneruskan sekolah sekaligus tinggal di pulau seberang, tak kusangka setelah kupulang ke kampung halaman, rupanya Ema telah resmi menjadi istri Dedi, kakak kelasku yang dulu kupercayakan untuk menjaganya. Pagar makan tanaman. Tanaman yang dipaksa oleh akar agar bersedia dimakan pagar. Seketika belati terasa menghunjam ulu hatiku. Dendam bercampur amarah menguasai pikiran dan hatiku. Ingin rasanya Dedi saat itu kutemui lalu kutelan mentahmentah. Ingin sekali aku membinasakannya. Lalu menghapus namanya dari catatan sebagai makhluk Tuhan yang masih bernafas. Tapi segera kutersadar, ke pulau seberang aku tak hanya mengantongi ilmu dunia, ilmu akhirat tak luput juga dari pencarianku. Aku telah paham ilmu agama. Aku begitu mengerti sesungguhnya dendam-amarah adalah sifat tidak terpuji. Aku pun juga telah tahu orang menerima takdir dan tawakkal akan disayang Tuhan. Benar memang, cinta pertama tak mudah dilupakan. Aku terus berupaya membunuh rasa sayangku terhadap Ema. Akhirnya, aku bertemu dengan seorang gadis yang _sungguh_ dari wajah dan gerak-geriknya mirip Ema, bahkan Ema banget. Namanya Wulandari. Gadis jelita itu selalu mengirim sebagian hasil kiriman dari rumahnya kepadaku. Ternyata ia tahu bahwa aku jauh dari keluarga. Ia pun juga paham kalau jauh dari keluarga biasanya tak lepas dari kekurangan. Aku merasa diperhatikan Wulan. Lambat-laun Wulan begitu dekat denganku. Sering bertukar cerita ini dan itu, dari masalah pendidikan hingga hal yang paling pribadi. Akhirnya aku merasa cocok menaruh cinta pada Wulan. Syukurlah, ternyata ia pun menyambut cintaku. Namun, entahlah apa kehendak takdir padaku, aku sama sekali tak paham. Setiapkali aku merasa nyaman, tentram dan damai bersama gadis yang kurasa sangat sesuai dengan keinginanku, takdir selalu berkata lain. Di pertengahan terjalinnya hubunganku dengan Wulan, masya Allah, _percaya atau tidak_ Wulan segera diambil oleh-Nya. Ia menghadap Sang Pencipta di saat keterjalinan kami mulai beranjak serius. Padahal, kedua orang tua kami sudah sama-sama tahu. Dari pihak keluargaku sudah tinggal menunggu hari baik saja untuk melamar Wulan. Ya, tapi apa boleh dikata, ini adalah semata suratan dari-Nya. Sungguh sangat tak mudah mencari pengganti Wulan. Perjuangan berdarah-darah yang telah kutempuh. Mencari mutiara di antara tumpukan pepasir sangatlah menguras keringat. Kuakui kebenaran itu. Bertahun-tahun hidupku sepi. Jiwaku sunyi. Hati tak ada bisikan yang juga disuarakan dari kedalaman hati. Jenuh hidup ini. Bosan. Muak. Hidup segan, mati tak mau. Aku bingung sebingung-bingungnya kemana hendak kucari tulang rusukku. Aku terus berdoa. Bermunajat di malam yang sepi dan rutin seusai menyembah-Nya. Kuminta, “Perkenankanlah hamba menemukan pencarian tulang rusuk yang selama ini hamba cari.” Maha Benar
Allah
yang
berfirman, “Berdoalah
padaku, senantiasa
Aku
akan
mengabulkannya.” Selang beberapa hari kemudian, doaku terjawab. Diyah, lengkapnya Zakiyatus Sa’diyah, gadis yang tak kalah ayu ketimbang Ema dan Wulan, diciptakan Tuhan untuk menerima persembahan cinta tulusku. Diyah, putri juragan tambak ikan di pulau Madura itu sedemikian
rela membuka pintu hatinya ‘tuk kumasuki. Bukan hanya masuk, aku pun melabuhkan cintaku dalam relung hatinya. Ruang kosong hatinya ia ikhlaskan ‘tuk kuisi dengan sepenuh cinta, kasih dan sayangku. Lantaran kecerdasan dan keayuannya, hatiku terperangkap dalam jebakan cintanya. Lalu, aku begitu yakin dan sangat memastikan bahwa inilah kiriman Tuhan yang sengaja digariskan untuk melengkapi bilangan tulang rusukku yang telah lama hilang. Maka segera kuangkat kaki. Dalam langkah, arahku mantap menuju rumah yang selama ini dihuni kedua orang tua dan adik laki-lakiku. Tak lupa, aku bawa beberapa lembar foto Diyah di dalam tas. Perjalanan yang agak jauh dan cukup melelahkan. Ketika sampai di rumah, aku langsung ke titik point. Kuserahkan foto Diyah kepada bapakku. Kumintai pendapatnya. Kuserahkan keputusan ini kepada orang yang dengan perantaranya aku terlahir. Dan sungguh tak kusangka, jawaban yang memecahkan seisi dada itu pun terdengar dari mulut bapakku, “Adakah kau buta, Zal?! Macam apa ekonomi orang tuamu ini? Jarak sini ke Madura itu menghabiskan uang berapa? Harta mana yang mau dijual? Sawah mana yang mau digadaikan?” Kemudian ibuku juga ambil bagian, “Wanita sini yang tahu agama dan pintar ngaji juga banyak, kok. Kenapa repot-repot kau mencari yang jauh? Mau buang-buang harta? Iya kalau kita berlimpahan harta. Kenyataannya, hidup kita morat-marit kayak ini. Untuk mengirimmu saja, kami harus pontang-panting. Kemarin waktu kau minta beli kitab, ibu menjual ayam satusatunya itu. Ya, jangan aneh-anehlah mintanya. Lagian, bukan saatnya kau mencari pasangan. Buat apa sih, sedini ini kau terus-terusan mengincar wanita? Sekarang kau dalam masa belajar. Tekuni saja belajarmu! Konsentrasikan pikiranmu untuk mencari ilmu, bukan mencari wanita!” “Pokoknya, bapak dan ibu di sini tidak setuju kau mencari pasangan yang jauh. Jauh ekonominya, juga jauh jaraknya. Kita berkaca dengan keberadaan kita. Dan yang lebih penting lagi, ingatlah tujuanmu ke sana. Ingat pesan bapak dulu itu, banyak orang gagal menjadi alim ilmu karena terhalang oleh godaan wanita. Wanita itu yang akan merusak kesuksesanmu. Camkan itu!” tambah bapak sekaligus menutup pembicaraan ketika itu. “Tuhan, terima kasihku pada-Mu. Keberuntungan besar bagi orang yang memperoleh petunjuk-Mu. Cahaya-Mu telah menyadarkanku lewat kedua orang tuaku. Rabbi, zidni ilman warzuqni fahman. Wahai Tuhanku, tambahkanlah ilmu padaku dan karuniailah aku pemahaman. Amien….” tangisku dalam doa di tengah malam yang sunyi. Kuterpekur seorang diri, inikah cahaya dari Tuhan di balik jalan terjal itu? Inikah mutiara yang bertubi-tubi menggagalkanku menemukan tulang rusuk itu? Mungkin. Tapi, entahlah! ***
DATANG BERSAMA MATAHARI "Ingat, Sobat, anak itu amanah! Titipan Yang Kuasa. Harus betul dijaga," sela Ripin di tengah pengaduan kawannya, Hamim, di ruang tengah. Sepulangnya Ripin dari kantor swasta tadi, ia diharap mampir ke rumah Hamim meski barang sesaat dikarenakan terdapat suatu hal yang teramat penting. Tak lain, pokok pikirannya mengenai Nusi anak pertama Hamim yang baru saja keluar dari lapas sebab terjangkit kasus pengedar sekaligus pengonsumsi berat obat terlarang. Memang semenjak lulus dari SMA Nusi tak mau meski dipaksa untuk meneruskan studi ke bangku kuliah. Alasannya tetap satu, karena banyak sarjana sekarang hanya jadi pengangguran. Tak ada guna sekolah tinggi di jaman sekarang, cuma buang-buang waktu dan memubazirkan biaya. Sementara 'tuk kerja sesulit mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Begitu ia berargumen. Karena tak ada aktifitas itulah yang membuat Nusi lepas kendali. Salah berteman. Acapkali waktu kesehariannya dihabiskan di ruang pengap rumah Rohik, si penggarong ulung, bandar narkoba, promotor preman kampung Citro Asmoro yang paling ditakuti di desanya. Kelakuan para bandit itu sangat kejam dan tak kenal tatakrama. Tak ayal, banyak penduduk sekitar yang mengaduh dan terusik akibat hura-huranya. Meski bulan puasa tempo lalu, sebagian besar masyarakat memergoki mereka, baik malam maupun siang hari, bergantian mencumbu dan menikmati tubuh seksi perempuan sundal di rumah Rohik yang selama ini jadi markas satusatunya. Tak hanya itu, kerap kali mereka teler di siang hari dengan botol-botol minuman beralkohol di atas meja. "Kau hanya pintar berteori sebab kau tak pernah merasakannya," respon Hamim. Dingin. Lengannya disilangkan di dadanya yang gempal. "Coba, jika kau jadi aku! Pasti kau juga akan kewalahan, bahkan mungkin mencekiknya. Siapa bakal tahan melihat kelakuannya yang sama sekali tak sesuai harapan? Entahlah, darah siapa yang menyebar di aliran sarafnya? Kutakmengerti kenapa ia tak sepertiku dan ibunya?" tambah Hamim sembari menyeruput susu cokelat hidangan istri Ripin. "Dunia ini berputar. Hidup tak selamanya mulus. Inilah keindahan makna dari kehidupan. Berliku dan bertahap," jawab Ripin bersahaja. Tangan kanannya menindih batang rokok yang ujungnya memerah. Ia matikan di asbak Rajawali yang terbuat dari perselin mengkilap. Lalu, lanjutnya, "Hidup ini sudah ditentukan. Tak selamanya hidup akan berjalan sesuai dengan keinginan. Ingatkah kau dengan riwayat Ibrahim? Bukankah ia seorang nabi yang terlahir dari ayahanda pembuat patung sesembahan kaum Jahiliyah? Sebaliknya, Kan'an ia mati mengenaskan sebab ingkar terhadap ajakan ayahandanya, nabi Nuh. Maaf, Kawan, aku bukan berteori. Aku hanya mengatakan kebenaran yang sekiranya dianggap benar dan memang jelas benar. Jadi, tak selamanya betul buah jatuh tak jauh dari pohonnya." "Itu nabi, hamba pilihan Allah yang diistimewakan. Beda denganku yang hanya hamba biasa ini."
"Justru di situ titik temunya. Nabi yang sudah dimulyakan, bisa saja punya keturunan yang tak seakidah. Apalagi kita? Tak lain anak itu amanah, sebagaimana kataku tadi. Ia titipan Tuhan. Ada pula, anak itu terlahir 'tuk menguji keimanan dan ketabahan kita. Ya, mungkin seperti yang kau alami ini," ucap Ripin. Dulu keduanya adalah sepasang sahabat karib tatkala sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan. Dan kini, tepatnya 20 tahun berselang, mereka dipertemukan lagi dalam satu profesi. Namun, Ripin selama ini belum dikaruniai keturunan. Maklum, ia baru dapat petunjuk 'tuk nikah di saat umurnya sudah berkepala 4, yakni 45. Dan pernikahannya baru digelar 7 bulan yang lewat. Umur Ripin dan istrinya berpaut 19 tahun. "Berbagai cara telah kucoba, tapi nihil," ucap Hamim putus asa. "Hidup ini berproses. Kau tugasnya hanya berikhtiar, berusaha. Jangan kau ikut campur mengatur takdir Tuhan. Tuhanlah yang nantinya menentukan anakmu bagaimana," tanggap Ripin. "Kalau boleh tahu, cara apa saja yang telah kau tempuh?" imbuhnya. "Teramat banyak. Kumanja ia, apa yang ia pinta, aku penuhi, namun akhirnya ia bertingkah kekanak-kanakan dan tambah hari ia makin bengal kepada kami. Sangat susah diatur. Kemudian, kudatangi rumah orang pintar, ternyata ia kian keras kepala. Suka membangkang. Dan sekitar lima tahun belakangan ini kuambil sikap dingin ke dia. Sekali ia ingin sesuatu, langsung kudamprat. Kupasang muka galak di hadapannya. Kutakmau ditolerir. Tapi, ia makin liar. Kelakuannya makin brutal saja. Kadang sebulan sekali ia pulang. Ia habiskan kesehariannya dengan bersenang-senang bersama perempuan dan mabuk-mabukan." Sebuah pengakuan jujur dari seorang Hamim. "Banyak jalan menuju Roma, Sobat," kata Ripin singkat. "Maksudmu?" "Tidakkah kau bercermin padaku? Siapa aku dulu? Ibuku pun tak menyangka aku bakal hidup sedamai ini, di tengah ketenteraman hati dan ketenangan jiwa," gumam Ripin membuka ingatan yang telah lama dimakan waktu. "Iya, kuingat kau dulu mahasiswa pemberontak, panglima demonstrasi, penghuni diskotek, tak percaya Tuhan, tukang kibul dosen. Dan yang selalu kuingat, kau adalah play boy kelas kakap di kampus, dosen cantik pun tak pula luput dari sasaranmu, hingga kau dijuluki 'Pria Mata Gerobak'." "Makanya......" "Dari itu kuadukan masalah ini padamu, karena kuingin pula perubahan terjadi pada anakku. Dan kuyakin kali ini kutaksalah lagi memilih orang minta sumbangan pendapat," keluh Hamim seraya yakin. Ripin memutar otak. Ia berharap Hamim tetap tidak tahu soal masa lalu dirinya dan Riadatul Begajoli, istri Hamim, saat melampiaskan birahinya di gedung sewaan pas di sebelah kiri bar 'Malam Panjang' sepulang kuliah malam waktu lampau. Detik-detik terakhir di mana Hamim akan melangsungkan akad pernikahannya bersama Riadatul. Dan tak genap sembilan bulan dari pernikahannya, Nusi sudah terlahir dari rahim Riadatul.
"Berdoalah 'tuk kebaikan anakmu! Jangan bosan! Perlakukan ia laksana kau adalah matahari," Ripin mulai memberi jalan keluar. Solusi pertama, tak ada masalah. Hamim begitu paham. Memang ia sadari selama ini tak pernah menyempatkan diri berdoa untuk Nusi. Tapi, pemecah yang kedua, Hamim bingung. Di tengah ketidakpahamannya ia bertanya, "Apa maksudmu perlakukan ia seolah aku matahari?" Ripin membetulkan duduknya. Matanya menyiratkan keseriusan. Serta-merta ia memberi penjelasan akan maksud ucapannya. Ia berkisah dari sebuah dongeng, bahwa pada suatu waktu, angin dan matahari beradu kemampuan hendak melepas jaket dari badan seorang lelaki. Angin yang kebagian urutan pertama, langsung mengumpulkan segenap kekuatannya menghembus tubuh lelaki. Sangat keras dan dahsyat. Tapi, jaket lelaki itu tak juga lepas, malah lebih dilengketkan dengan bantuan erat pegangan tangannya. Angin menyerah. Lalu, tiba giliran matahari. Ia menyoroti tubuh lelaki pemakai jaket itu dengan sinarnya. Sinar yang mengundang peluh mengalir deras. Maka, tanpa dipaksa, lelaki tersebut dengan lapang dada dan kesadaran yang penuh melepas jaket dari badannya. "Datangi anakmu bersama matahari! Akrabi dia! Bicaralah dengan lemah-lembut! Sampaikan kata hatimu dari hati ke hati! Berilah ia contoh yang baik! Jangan lupa, iringi doa! Insya Allah, perubahan baik akan menghampiri anakmu," nasehat Ripin di akhir kisahnya. Diakui atau tidak, apa yang dipaparkan Ripin merupakan pengalaman pribadinya. Jiwa pemberontaknya dulu tercipta sebab ia teramat jarang merasakan kedamaian di tengah keluarganya. Setiap hari dipastikan ibunya mengomel pada dirinya. Entah salah, entah ada kekurangan. Belum lagi, sentuhan lembut ayahnya tak lagi ia rasakan selama ia lulus SMP, setelah ayahnya resmi menceraikan ibunya. Dan baru enam tahun setelah jadi sarjana muda, ia mulai menapaki perubahan, yaitu setelah ayahnya merujuk dan ibunya datang bersama matahari. "Trim's ats msukanx. Mas Hmim crta bhw ia dpt slusi drmu. Stlh kmi cb, sykurlah, cra drimu ckup manjur. Ankmu sdh insyaf dn btul2 tobat. Skli lg, trim's." Demikian isi SMS kiriman Riadatul Begajoli yang nyelonong ke layar HP Ripin, setelah beberapa bulan kemudian. ***
HATI DI UJUNG TANDUK Kala poros bumi terus bergulir, aku dengan segumpal daging dan segenggam ruh terlahir. Berbagai jalan aku lewati, baik tikungan, tanjakan dan setapak terjal kulalui. Berhasil dengan sempurna, tanpa harus ditopang adigang adigung adiguna. Aku tumbuh dan berkembang, terus pula tubuh ini mengembang. Meniti lika-liku hidup, yang kuyakini takkan selamanya redup. Orang tua yang melahirkanku dengan setonggak sabar, mengajariku terus dan terus berupaya tegar. Malam tak akan selalu gelap, pada saatnya nanti matahari akan datang dengan sinarnya yang mengkilap. Sungguh, bertambah hari aku menanti matahari, teramat mengharap untuk jadi penerang sanubari. Tapi, kali ini ketegaranku terasa sudah lenyap, tertelan situasi hati yang kian senyap. Sepi sekali, dan jarang kuasa keriangan terbeli. Semenjak ayahku pamitan, ia hendak cari kerja ke Kalimantan, perasaanku diserang kekalutan. Kalut-marut meratap nasib ayah di seberang, tak jamin jalan hidupnya akan nyaman. Kuhabiskan waktu seorang diri, di pelataran masjid dan bilik pondok hanya menyendiri. Aku merasa sangat berhutang, ia nekat merantau kerja demi biaya sekolahku seorang. "Ayah, bagaimana kabarmu? Semoga kesalamatan menyertaimu," doaku di penghujung malam, saat malaikat langit turun memberi salam. Bilamana kuingat keberadaan ayah, hatiku kian goyah. Saat aku makan, apakah ayah di sana juga makan? Saat aku tidur, apakah ayah telah istirahat di kasur? Dalam keteringatanku, apakah ayah tetap merasa ada bersamaku? Bertambah minggu, aku terus menunggu. Sehatkah atau kumatkah? Memang selama ini ayah selalu sakit, sebab tak tahan dingin dan anemia yang menjangkit. Dikala seperti ini aku cemas, tidakkah di sana kesehatannya terkuras? Tiada hari tanpa bekerja, hendak mengganjal perut tak bisa tinggal menuju meja. Butuh usaha dan ikhtiar, agar tubuh tak rapuh dan terkapar. Akhir punya akhir, muncullah kegundahan dalam pikir. Ayah tak ada berita, senangkah atau tengah menderita? Berbulan-bulan kutakdapati kabar, ibu tak jemu menyeruku agar bersabar. Hingga pada suatu hari, kucoba telepon Mang Suri. Sebab hanya nomor dia yang kupunya, dan sesuai pesannya kalau ada apa-apa jangan segan menghubungi HPnya. Nomor itupun segera aku pencet, agak lama karena angka di tombolnya sudah lecet. Kumenanti, di atas sesuatu yang tak pasti. Ternyata tak nyambung, aku tambah bingung. "Ayah, aku rindu padamu, ingin rasanya ingin bertemu." Kutaktahu apa yang menimpanya di sana, aku hanya bimbang dan merana. Kutaktahu apa yang harus kuperbuat dan hendak kemana, hanya gulita dan hitam pekat yang jadi warna. Seketika di mataku seolah terbentang sebidang papan hitam besar, aku berlindung pada-Nya semoga tak menempuh jalan kesasar. Berkali-kali, kupencet tombol memanggili. Agak lama berselang, terdengar suara dari seberang, "Maaf, ayahmu telah lama berpisah dengan kami, bilangnya ia ingin mencari penghasilan yang lebih tinggi. Selama ini kami di sini turut pula mencarinya, namun entah tak
kami ketahui di mana jejaknya. Janganlah kau risau, biar suasana tak tambah kacau!" tandas Mang Suri, saat cemas benar-benar menguasai diri. "Mang, jelas saja risauku tiada terbilang, bila sudah jelas tahu ayah menghilang. Tolong carikan ayahku, Mang, di sini aku selalu dalam perasaan gamang. Kumohon, Mang!" pintaku, kemudian terpaku. Percakapan selesai, namun kegelisahanku belumlah usai. Meski Mang Suri siap dan berjanji mencari ayah, tetapi ketenangan dan kedamaian hidupku nyaris tergoyah. Seolah tubuh ini tak lagi berdarah, bisaku tiada lain hanya pasrah. Semoga kesalamatan memihaknya, mudahmudahan kebaikan selalu bersamanya. Aku merajuk memori semenjak masa kecil, bayar iuran sekolah dengan mencicil. Aku menyadari ekonomi keluargaku menengah ke bawah, mata pencaharian ayah tak lepas jauh dari sawah. Sedangkan ibuku tiap hari hanya ke pasar, di sana ia melangsungkan akad tawarmenawar. Untuk bisa berbelanja, gorengan-gorengan harus lebih dulu ia jaja. Kerapkali aku menenteng gorengan itu setiap pagi ke sekolah, niat mengabdi dan membantu mereka mencukupi nafkah. Namun ayah selalu merasa susah, lalu memutuskan diri untuk berpisah. Senantiasa diriku selalu digelayuti rasa salah, hingga mengganggu semesterku di sekolah. Dan peringkat pun beralih, peringkat pertama tak lagi kuraih. Selama itu, hidupku tak menentu. Sejak ayah berangkat, keberadaanku kian musakat. Terdampar seakan jauh dari petunjuk, bagai segumpal hati di ujung tanduk. Terkoyak dan tercabik-cabik, laksana perahu kecil tak bercadik. Terbang, menghilang, tertelan di balik awan. Tak mampu lagi bernapas, terlunta dan terhempas. Seminggu telah berlalu, suasana hatiku tak jua lepas dari pilu. Serta merta kudengar telepon, kagetku minta ampun. Komunikasi terhubung, setelah kutekan tombol penyambung. Sayup-sayup ibu bersuara, kucoba bergembira. "Nak, penyakit ibu kambuh, doakan semoga cepat sembuh!" suaranya pelan, membuat hatiku trenyuh betulan. Aku semakin hilang pegangan, kemana akan kugapai tangan? "Ibu kenapa? Sakit apa?" "Entahlah tak dikira, tadi malam ibu bermimpi kera. Kera itu menggigit, sekujur tubuh ibu menjadi sakit." Suasana makin mencekam, tak bergeming aku terdiam. Ya, semoga penyakit ibu terobati, doaku dalam hati. Aku kian kalut, bertambah takut dan kalang kabut. Mimpi kera menurut ahli tafsir, merupakan alamat hadirnya sihir. Kepada siapakah? Ibu atau ayah? Baik terhadap ayah maupun ibu, aku tak rela sihir itu datang mengganggu. "Gimana kabarmu? Ayahnya sudah ketemu?" lanjut ibu, menggebu.
"Aku baik-baik saja alias sehat walafiat, sementara ayah belum diketahui di mana ia beralamat. Namun Ibu tak perlu cemas, pencariannya sudah diatur tuntas. Aku yakin tak lama lagi segalanya terberantas," ucapku bertandas. "Syukurlah jika demikian, terima kasih kamu telah perhatian." Berbulan-bulan kumenunggu, keberadaan ayah tak juga ketemu. Belum usai masalah yang satu, datang lagi masalah baru. Aku tercenung, perasaan bingung. Aku merana hendak bagaimana, sementara ibu sakit dan ayah entah di mana. Alang bukan kepalang, kegundahanku tak terbilang. Aku pusing, kepala serupa gasing, berputar tujuh keliling. Kupanjat doa dalam hening, dengan kondisi kepala cukup pening. Bagai dipatuk paruh burung, pikiran dan jiwa ini kian murung. Di suatu pagi yang cerah, ke ndalem kiai kakiku mengarah. Kuucapkan salam di hadapannya, kugapai lalu kucium tangannya. Di sisinya berterus terang kubilang, sehari mohon pamit untuk pulang. Kepalaku merunduk, kemudian beliau mengangguk. Setelah menyampaikan maksud, aku segera beringsut. Kali ini murni berkat hati yang berbisik, agar aku pulang walau sedetik. Dengan jiwa yang bergemuruh, aku undur diri tanpa seorang pun yang menyuruh. Sesampainya aku di rumah, sederet keluarga menyambutku ramah. Dari kejauhan terlihat jelas mereka melambai, saat di dekatnya air mataku tak terasa luruh berderai. Tak kuasa kuungkap, tatkala tragedi ini mulai kutangkap. Ternyata ibuku tak hanya sakit, tetapi maut dengan beringas hendak melilit. Sekonyong-konyong hatiku hancur, bulir kristal tak terbendung deras mengucur. Cepat-cepat kutuntun ia menutup hidupnya dengan lantunan syahadat, syukurlah berhasil juga meski tadinya sempat tersendat-sendat. Sekejap awan tersibak, cahaya menyeruak. Jasad ibu terbaring kaku, adapun ruhnya kembali mengawang ke hadirat Yang Maha Satu. Kembali kuterpaku, di kesunyian yang beku. Garis-garis wajah tak lagi bersinar, bagai dawai tak berdenting tanpa senar. Aku tertunduk, merunduk disebabkan kini hatiku di ujung tanduk. Bingung ke mana ingin berpegang dan berlabuh, bila sampai saatnya nanti hati ini goyang dan terjatuh. Dikala hari bertambah hari, kudapati informasi dari Mang Suri. Bahwa ayah ditemukan sedang dibekuk dan diringkus di penjara sekarang, lantaran ia membawa lari dan mengajak kawin paksa istri orang. Jauh sebelumnya dari sangkaanku, ayah akan berbuat asusila dan menantang suku. Hatiku teramat teriris, mengarungi hidup yang nyaris sadis. Kepada Tuhan Yang Maha Dahsyat kubermunajat, mohon lindungan dari fitnah dunia yang biadab dan bejat. "Tuhan, kuatkan aku yang kini sebatangkara, menjalani keruwetan hidup dan melawan sengsara," doaku di penghujung malam, semoga dimakbul oleh Dzat As-Salam. ***
KEPADA YANG TERHORMAT TUAN IZRAIL PENGAP. Hampir tak ada udara terhempas. Kasur empuk berbungkus kain putih ialah pemandangan menjemukan. Tatkala hari gelap, hanya detak jarum jam yang terdengar atau igauan lelap para penunggu pasien. Prapto terbaring tak bisa pejamkan mata. Telinganya pekak, sesak suara penghalang mimpi. Ia terbaring. Sorot matanya menyusuri atap. Ia meratap, mungkin. Entah apa yang tengah diratap. Mungkin saja nasib malang yang lagi menderanya. Sebulan yang lalu, karma telah turun tangan terhadap dirinya. Perilaku durjana anti manusiawi telah sah menjadi detak jantungnya. Sutejo, keponakannya, ia mutilasi setelah disodomi, lalu dimasukkan ke dalam karung beras kemudian dilemparkannya ke sungai lepas. Tak hanya Sutejo korbannya. Menurut pengakuannya lebih dari 5 orang yang tubuhnya telah dicincang menjadi berpotong-potong. Bukan hanya di situ, Prapto yang seumur hidupnya tidak pernah kawin itu juga sering merampok pengguna jalan. Kapak dan celurit yang sering ia gunakan sebagai alat penodong mangsanya. Tapi, siapa bilang Prapto dibebaskan dari jerat hukum? Bukan tak ada pihak berwajib yang belum mencium kelakuan bejat Prapto. Kepada sekian petugas ia melontarkan urusan kriminalnya. Bahkan sempat pula Prapto sendiri yang mendatangi kantornya. Ia bicara jujur, apa adanya. Ia akui semua yang telah ia perbuat. Hingga ia pun memperlihatkan barang bukti dan saksi mata. Namun, apa jawaban yang dapat ia tangkap? “Dasar orang tak waras! Enyahlah kau dari sini!” Ia tak habis pikir, seketika itu batinnya bergumam, “Kenapa dunia ini sudah tidak lagi menerima orang jujur? Kejujuran makin mengikis, tetapi jika aku datang dengan kujujuran, malah diusir tanpa hormat. Lantas, mau dikemanakan orang jujur yang kini kian secuil, sedang dunia sendiri tak mau mengakui keberadaannya? Memang dunia ini lama-kelamaan semakin tidak bisa dicerna keedanannya. Tambah hari, bulan dan tahun, edannya kian menjadi-jadi. Lebih baik kubiarkan saja dunia berputar dengan poros keedanannya, sebelum aku juga semakin edan kata dunia.” Ia muak dengan para petugas itu. Ia pun lalu melanjutkan perjalanannya. Menerobos orangorang yang menyesaki mall dan super market. Ia tak tahu kepada siapa harus mengadu. Ia mencari orang yang bisa menerima pengaduannya. Ia teramat sangat ingin mengakhiri “jalan hitam” nya. Ia ingin merubah gelap-pekat menjadi terang-benderang. Tak sanggup menahan penat yang sangat, akhirnya Prapto tertidur pulas di serambi sebuah Masjid Agung di kota itu. “Sebelum nyawamu berhenti tepat di kerongkonganmu, bertobatlah!” gema suara itu memecah keheningan.