Test of Some Concentration of Piper aduncum L. Leaf Powder Extract to Control Setora nitens Wlk (Lepidoptera; Limacodidae) in Palm Oil Plant (Elaeis guineensis Jacq) By Muhammad Abdul Gani (
[email protected]/085272162275) Under Supervision by Dr. Rusli Rustam, SP., MSi and Ir. Desita Salbiah, MSi
Palm oil plant is one of plantation crop that grown by people of Indonesia, especially Sumatra (Riau). Setora nitens is one of the major pests in palm oil plantations. Management control to decrease the Setora nitens by using synthetic insecticides. Reducing the effects caused by synthetic insecticides, therefore need alternative in pest control techniques such as use organic insecticide derived from Piper aduncum L. The purpose of this research is to get Piper aduncum L. leaf powder extract concentrate that effective to control Setora nitens at palm oil plantations. This research was carried out experimentally by using Completely Randomized Design consisting of 5 treatments with 4 replications. The treatment consisting five level: SRH 0 (no concentration), SRH 1 (concentration of 25 g/liter of water), SRH 2 (concentration of 50 g/liter of water), SRH 3 (concentration of 75 g/liter of water) and SRH 4 (concentration 100 g/liter of water). Results showed that the concentration of 100 g/liter was able to kill Setora nitens by 45% and this has not been effective in controlling caterpillars Setora nitens because not reach 80%. The best concentration to kill 95% of the population of Setora nitens is 206% or 2.06 kg/l of water. Piper aduncum L. leaf powder extract has not been effective in controlling caterpillars Setora nitens at palm oil plantations. Keyword: Palm oil plant (Elaeis guineensis Jacq), Setora nitens, Piper aduncum L. PENDAHULUAN Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya daerah Sumatra (Riau), sehingga kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian masyarakat di Riau. Badan Pusat Statistik Riau (2012), mencatat luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2009 mencapai 1.925.341 hektar dengan jumlah produksi sebesar 5.932.308 ton, pada tahun 2010 mencapai 2.103.174 hektar dengan produksi sebesar 6.293.542 ton dan pada tahun 2011 telah mencapai 2.256.538 hektar dengan produksi sebesar 6.932.572 ton. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dari tahun ketahun luas lahan dan produksi kelapa sawit di Riau mengalami peningkatan yang pesat. Dalam aspek teknis budidaya tanaman kelapa sawit tidak terlepas dari serangan hama. Salah satu hama yang menyerang tanaman kelapa sawit adalah hama ulat api Setora nitens.
Ulat api Setora nitens menyerang tanaman kelapa sawit dengan memakan daun sehingga daun rusak dan bahkan tinggal lidinya saja. Serangan hama ulat api menyebabkan proses fotosintesis tanaman kelapa sawit akan terhambat, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi kelapa sawit, pada tanaman menghasilkan (TM) berdampak pada penurunan produksi hingga 70% pada 1 kali serangan dan 93% pada serangan ulangan dalam tahun yang sama (Pahan, 2008). Upaya pengendalian yang dilakukan oleh perkebunan rakyat maupun pengusaha besar pada umumnya memakai insektisida sintetis. Mengurangi dari dampak-dampak yang ditimbulkan oleh insektisida sintetis, maka perlu adanya alternatif dalam teknik pengendalian hama ulat api ini seperti penggunaan insektisida nabati. Salah satu tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai insektisida nabati adalah sirih hutan (Piper aduncum L.) yang merupakan spesies tanaman famili Piperaceae yang daun dan buahnya memiliki potensi sebagai sumber insektisida botani. Senyawa aktif yang terdapat pada tumbuhan Piperaceae termasuk dalam golongan piperamida seperti piperin, piperisida, piperlonguminin dan guininsin. Senyawa tersebut telah banyak dilaporkan bersifat insektisida (Miyakado et al.,. 1989; Parmar et al., 1997; Scott et al., 2008 dalam Zarkani, 2008). Senyawa tersebut bersifat sebagai racun saraf dengan mengganggu impuls saraf pada akson saraf seperti cara kerja insektisida piretroid (Lees & burt 1988; Scott et al., 2007 dalam Muliya, 2010). Beberapa informasi dasar tentang aktivitas bagian tumbuhan sirih hutan telah diketahui. Perlakuan dengan ekstrak heksana daun sirih hutan pada konsentrasi 1-20 mg/ml mengakibatkan kematian larva caplak Rhipicephalus microplus, parasit pada ternak seperti sapi, keledai, kuda, dan domba, sebesar 11,4-70,42% dengan LC50 9,30 mg/ml dan pada konsentrasi 5-100 mg/ml menghambat reproduksi imago sebesar 12,5-54,2%. Sementara itu perlakuan dengan minyak atsiri daun sirih hutan pada konsentrasi 0,1 mg/ml mengakibatkan kematian larva caplak tersebut sampai 100% (Silva et al, 2007). Hasil penelitian Arneti (2012), menunjukkan bahwa konsentrasi 0,5% ekstrak metanol daun sirih hutan dapat menyebabkan kematian larva Crocidolomia pavonana sebesar 17,7%. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (Piper aduncum L.) yang efektif untuk mengendalikan hama ulat api Setora nitens pada tanaman kelapa sawit. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru yang berlangsung selama 3 bulan (bulan Maret sampai dengan Mei 2013). Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan yakni SRH 0 (tanpa konsentrasi), SRH 1 (konsentrasi 25 g/liter air), SRH 2 (konsentrasi 50 g/liter air), SRH 3 (konsentrasi 75 g/liter air) dan SRH 4 (konsentrasi 100 g/liter air). Adapun parameter yang diamati adalah waktu awal kematian, lethal time (LT50 ), lethal concentration (LC50), persentasase mortalitas harian, persentase mortalitas total, suhu dan kelembaban.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Jl. Bina Widya km 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Panam Pekanbaru, pada suhu rata-rata 290C dan kelembaban 80,25% (Lampiran 2), dengan hasil sebagai berikut : Awal kematian ulat api Setora nitens (jam) Hasil pengamatan awal kematian serangga uji setelah dianalisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (Piper aduncum L.) memberikan pengaruh nyata terhadap awal kematian ulat api Setora nitens (Lampiran 1 a), hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata awal kematian ulat api Setora nitens setelah pemberian konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (jam) Konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 0 g/l air 25 g/l air 50 g/l air 75 g/l air 100 g/l air
beberapa
Rata-rata waktu awal kematian (jam) 72,00 c 14,00 b 13,25 b 11,00 a 9,25 a
KK: 5.9% Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 0 g/l air terlihat bahwa tidak ada ulat api Setora nitens yang mati sampai akhir pengamatan (72 jam). Aplikasi ekstrak tepung daun sirih hutan memperlihatkan pengaruh terhadap awal kematian larva Setora nitens dengan kisaran waktu 9,25-14 jam. Perlakuan ekstrak tepung daun sirih hutan 25 g/l air awal kematian larva Setora nitens terjadi 14 jam setelah aplikasi dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan 50 g/l air dengan awal kematian larva Setora nitens 13,25 jam. Saat konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan ditingkatkan menjadi 75 g/l air awal kematian larva Setora nitens semakin cepat (11,00 jam) dan berbeda nyata dengan perlakuan 25 g/l air dan 50 g/l air. Namun pada konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan ditingkatkan menjadi 100 g/l air tidak memperlihatkan berbeda nyata dengan perlakuan 75 g/l air. Data tersebut di atas terlihat bahwa peningkatan konsentrasi yang diberikan, maka awal kematian larva Setora nitens semakin cepat terjadi. Hal ini diduga bahwa kandungan
bahan aktif yang semakin tinggi akan mempercepat awal kematian larva Setora nitens. Pernyataan ini diperkuat oleh Aminah (1995) bahwa senyawa yang terkandung dalam konsentrasi ekstrak sirih hutan yang tinggi maka pengaruh yang ditimbulkan terhadap kematian serangga uji semakin tinggi. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Dewi (2010) yang menyatakan bahwa konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi maka pengaruh yang ditimbulkan semakin tinggi pula, di samping itu daya kerja suatu senyawa sangat ditentukan oleh besarnya konsentrasi. Sirih hutan mempunyai kandungan bahan aktif yaitu senyawa piperamidin. Menurut (Miyakado et al, 1989; Morgan & Wilson, 1999 dalam Zarkani 2008), senyawa ini masuk sebagai racun kontak dengan cara masuk ke dalam tubuh serangga melalui lapisan kutikula pada serangga tersebut. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ardiansyah 2001, bahwa selain melalui lapisan kutikula pada hama, mekanisme kerja racun kontak juga dapat masuk ke dalam tubuh hama melalui celah/lubang alami pada tubuh atau langsung mengenai mulut hama. Setelah masuk ke dalam tubuh, senyawa piperamidin akan bekerja sebagai racun saraf dengan menghambat aliran impuls saraf pada akson sehingga mengakibatkan ketidakaturan gerakan dan kejang, yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Miyakado et al, 1989; Morgan & Wilson, 1999 dalam Zarkani 2008).
A
B
Gambar 1. Perubahan fisik Setora nitens setelah diberi perlakuan ekstrak tepung daun sirih hutan. (A) Setora nitens yang hidup dan (B) Setora nitens yang mati. (Sumber: Foto Penelitian (2013)
Lethal Time (LT50) (Jam) Hasil pengamatan Lethal Time 50 setelah dianalisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mematikan ulat api Setora nitens sebanyak 50% (Lampiran 1 b), hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata lethal time 50 dengan perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (jam). Konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 0 g/l air
Rata-rata lethal time 50 % (Jam) 72,00
25 g/l air
72,00
50 g/l air
72,00
75 g/l air
72,00
100 g/l air
63,50
KK = 10.6 %
Berdasarkan Tabel 2, konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan yang tertinggi yaitu 100 g/l air sampai akhir pengamatan (72 jam) tidak dapat menyebabkan mortalitas 50% pada larva Setora nitens. Hal ini diduga toksisitasnya pada larva Setora nitens rendah dibandingkan dalam mengendalikan kutu daun Persik Myzus persicae Sulzer dengan konsentrasi yang sama 100 g/l air pada jam ke 25,50 (Hariadi 2013). Kurang efektifnya ekstrak tepung daun sirih hutan disebabkan ukuran larva Setora nitens yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Busvine (1980) dalam Dadang dan Prijono (2008) bahwa serangga yang berukuran lebih besar (umur relatif sama) sering lebih tahan terhadap senyawa bioaktif dari pada serangga yang berukuran lebih kecil. Larva Setora nitens diduga masih dapat mentolerir terhadap peningkatan konsentrasi dan bahan aktif piperamidin yang terkandung dalam ekstrak daun tepung daun sirih hutan, sehingga untuk mematikan 50% serangga uji pada semua perlakuan menunjukkan hasil yang sama. Pendapat ini diperkuat oleh Prijono (1999) mengemukakan bahwa kepekaan suatu serangga terhadap senyawa bioaktif dapat disebabkan oleh kemampuan metabolik serangga yang dapat menguraikan dan menyingkirkan bahan racun dari tubuhnya, selain itu serangga mampu mentolerir racun yang diberikan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Parkinson dan Ogilvie (2008) dalam Arneti (2012) yang menyatakan bahwa dengan adanya senyawa toksik pada makanannya maka sebagian dari energi makanan yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan dialokasikan untuk detoksifikasi senyawa racun tersebut oleh serangga. Kematian larva Setora nitens juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya suhu. Menurut Kartasapoetra (2008) suhu dikatakan tinggi jika suhu tersebut lebih rendah 300C. Berdasarkan pengamatan rata-rata suhu di lapangan selama penelitian berlangsung menunjukkan suhu yang lebih rendah, yaitu 290C. Hal ini mempengaruhi efektifitas daya racun dari bahan aktif yang terkandung dalam daun sirih hutan. Pendapat ini sesuai dengan Dadang dan Prijono (2008) yang menyatakan bahwa pada kisaran suhu tertentu, daya racun senyawa bioaktif pada umumnya meningkat dengan semakin tingginya suhu karena peningkatan suhu akan mempercepat terjadinya interaksi senyawa bioaktif dengan bagian sasaran atau mempercepat terbentuknya senyawa metabolit yang lebih beracun.
Lethal Concentration (LC50 dan LC95) Ekstrak Daun Sirih Hutan (% ) Berdasarkan nilai hasil analisis probit lethal concentration (LC) yang merupakan tolak ukur toksisitas suatu bahan, ekstrak tepung daun sirih hutan efektif terhadap ulat api Setora nitens dengan LC50 dan LC95 yaitu berturut-turut 11,8% dan 206% (Lampiran 3). Hasil analisis Probit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penduga parameter toksisitas ekstrak tepung daun sirih hutan terhadap ulat api Setora nitens Parameter
Konsentrasi (%)
SK 95%(%)
LC50
11,8
(7,8 - 73,2)
LC95
206
(46,1 - 1140)
Ket. SK= Selang kepercayaan
Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan konsentrasi 11,8% atau setara 118 g/l air ekstrak ekstrak tepung daun sirih hutan mampu mematikan 50% dari ulat api Setora nitens. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai LC50 besar dari 10% yaitu 11,8% sehingga toksisitasnya terhadap ulat api Setora nitens rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Prijono (1999) bahwa ekstrak kasar tumbuhan yang lebih dari konsentrasi 10% kurang efisien digunakan karena dalam penyiapannya akan membutuhkan sumber bahan tanaman yang cukup banyak dan semakin kecil konsentrasi dari 10% maka tingkat toksisitasnya terhadap serangga uji tinggi. Sementara itu konsentrasi yang tepat untuk mematikan 95% dari populasi hama ulat api Setora nitens adalah 206% atau setara 2,06 kg/l air. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak tepung daun sirih hutan belum mampu dalam mengendalikan hama ulat api Setora nitens, karena diperlukan bahan yang banyak untuk mengendalikan hama larva Setora nitens 95% yaitu sebesar 2,06 kg/l air. Hal ini sesuai pendapat Prijono (2007) bahwa LC95 ekstrak suatu bahan insektisida nabati dengan pelarut air efektif jika konsentrasi bahan yang digunakan lebih kecil dari 100 g (10%). Besarnya konsentrasi yang dibutuhkan dalam mematikan 50% dan 95% dari populasi larva Setora nitens diduga karena terurainya bahan aktif piperamidin oleh sinar ultraviolet waktu penelitian berlangsung, sehingga dengan konsentrasi tertinggi (100 g/l air) tidak mampu mematikan 50% dan 95% populasi larva Setora nitens. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Dadang dan Prijono (2008) bahwa senyawa insektisida nabati mudah terurai bila terpapar pada sinar matahari khususnya bagian spektrum ultraviolet. Mortalitas Harian (%) Hasil pengamatan terhadap persentase mortalitas harian ulat api Setora nitens dengan perlakuan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan yang berbeda menunjukkan pengaruh terhadap kematian ulat api Setora nitens. Persentase kematian ulat api Setora nitens dapat dilihat pada Gambar 2.
35 30
SRH0
22.5 22.5
SRH1
Mortalitas Harian (%)
30 25 20 15
SRH2
15
10 5
5
10 5
7.5
SRH3
7.5
SRH4 0
0
0 0 1
10
2
00
0
0
0
0
3
4
5
6
7
pupa (hari 21)
Hari Setelah Aplikasi
Gambar 2. Mortalitas harian larva Setora nitens setelah perlakuan ekstrak tepung daun sirih hutan Gambar 2 memperlihatkan bahwa mortalitas harian larva Setora nitens pada hari pertama semua perlakuan telah menyebabkan kematian larva Setora nitens pada kisaran 15-30%. Pada hari kedua semua perlakuan telah menyebabkan kematian ulat api Setora nitens pada kisaran 5-10% dan pada hari ketiga semua perlakuan telah menyebabkan kematian ulat api Setora nitens dengan kisaran 0-7,5% kecuali perlakuan 0 g/l air. Hari keempat sampai ketujuh, serangga uji yang tinggal di tanaman kelapa sawit tidak mati dan berubah menjadi pupa pada hari ke 21. Pada hari pertama pengamatan menunjukkan tingginya angka kematian ulat api, hal ini diduga disebabkan oleh bahan aktif dari insektisida nabati tepung daun sirih hutan bekerja secara maksimal sebagai racun kontak. Senyawa aktif piperamidin telah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai racun kontak (Miyakado et al., 1989 dalam Zarkani, 2008), sehingga jika diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi maka aktivitas insektisidanya menjadi lebih tinggi. Mortalitas harian tertinggi dengan persentase 30% pada konsentrasi 100 g/l air terjadi pada hari pertama dan mortalitas terendah pada konsentrasi 25 g/l air dengan persentase mortalitas harian sebesar 15% pada hari pertama. Hal ini diduga senyawa piperamidin yang menempel pada tubuh ulat api telah bereaksi sehingga tingkat mortalitasnya tinggi. Pada hari kedua dan ketiga pengamatan perlakuan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 25, 50, 75, dan 100 g/l air menunjukkan tingkat mortalitas yang rendah. Pada hari keempat sampai ketujuh semua perlakuan tidak menyebabkan kematian larva Setora nitens. Hal ini disebabkan senyawa aktif yang terdapat pada daun sirih telah berkurang karena terdegradasi.
Dadang dan Prijono (2008) mengemukakan beberapa kekurangan insektisida nabati, antara lain persistensi insektisida nabati rendah, sehingga pada tingkat populasi hama yang tinggi, untuk mencapai keefektifan pengendalian yang maksimun diperlukan aplikasi yang berulang-ulang agar hama bisa menurun populasinya. Kemudian ditambahkan oleh Setyowati (2004) bahwa bahan-bahan nabati cepat terurai dan residunya mudah hilang, hal ini disebabkan karena senyawa kimia yang ada dalam bahan nabati mudah terdegradasi oleh lingkungan. Mortalitas Total (%) Hasil pengamatan persentase mortalitas total ulat api Setora nitens setelah dianalisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan memberikan pengaruh nyata terhadap persentase mortalitas total ulat api Setora nitens (Lampiran 1 c), dan hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase mortalitas total dengan pemberian beberapa konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (%) Konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan
Persentase mortalitas total (%)
0 g/l air
0,00 a
25 g/l air
20,0 b
50 g/l air
27,5 b
75 g/l air
40,0 c
100 g/l air
45,0 c
KK = 10.9% Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5% .Setelah ditransformasi dengan formula Arc Sin
Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan tanpa ekstrak tepung daun sirih hutan, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 25 g/l air, dan 50 g/l air berbeda tidak nyata tetapi berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 75 g/l air dan 100 g/l air. Hal ini diduga ulat api Setora nitens masih mampu mentolerir senyawa aktif dari ekstrak daun sirih hutan sehingga dengan peningkatan konsentrasi yang digunakan tidak menimbulkan pengaruh yang nyata dalam mematikan larva Setora nitens. Pada Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan yang diberikan maka semakin tinggi tingkat persentase mortalitas total ulat api. Terlihat pada tabel tersebut menunjukkan bahwa ekstrak tepung daun sirih hutan dengan konsentrasi 25 g/l air dapat menyebabkan mortalitas ulat api sebesar 20%, ekstrak tepung
daun sirih hutan dengan konsentrasi 50 g/l air dapat menyebabkan mortalitas ulat api sebesar 27,5%, ekstrak tepung daun sirih hutan dengan konsentrasi 75 g/l air dapat menyebabkan mortalitas ulat api sebesar 40% dan ekstrak tepung daun sirih hutan dengan konsentrasi 100 g/l air dapat menyebabkan mortalitas total ulat api sebesar 45% sampai akhir pengamatan. Tingkat mortalitas total ulat api Setora nitens tertinggi yaitu pada 40% dan 45% dengan konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 75 g/l air dan 100 g/l air sehingga konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan yang digunakan belum mampu dalam mengendalikan ulat api Setora nitens karena tidak dapat menyebabkan kematian sebesar 80%. Hal ini sesuai pendapat Dadang dan Prijono (2008) bahwa ekstrak pestisida nabati dikatakan efektif sebagai pestisida apabila perlakuan dengan ekstrak tersebut dapat mengakibatkan tingkat kematian lebih dari 80%.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Uji beberapa konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (Piper aduncum L.) untuk mengendalikan hama ulat api Setora nitens Walker pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ekstrak tepung daun sirih hutan yang diberikan pada perlakuan tertinggi yaitu 100 g/l air dapat mematikan ulat api Setora nitens sebesar 45% hal ini belum efektif mengendalikan ulat api Setora nitens karena tidak mancapai 80%. 2. Konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan yang tepat untuk mematikan 95% dari populasi hama ulat api Setora nitens adalah 206% atau 2,06 kg/l air. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut dalam menggunakan insektisida nabati dari daun sirih hutan (Piper aduncum L.) untuk mengendalikan hama ulat api (Setora nitens Wlk.) karena mengingat banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi tingkat kematian hama sasaran.
DAFTAR PUSTAKA Aminah, S. N. 1995. Evaluasi tiga jenis tumbuhan sebagai insektisida dan repelan terhadap nyamuk di laboratorium. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Ardiansyah, Wiranto, Mahajoeno. E. 2001. Toksisitas ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) pada siput murbei (Pamocea canaliculata). Skripsi Universitas Negeri Surakarta. (Tidak dipublikasikan).
Arneti. 2012. Bioaktivitas ekstrak buah Piper aduncum L. (Piperaceae) terhadap Crocidolomia pavonana (f.) (Lepidoptera : Crambidae) dan formulasinya sebagai insektisida botani. Disertasi Program Pasca Sarjana. Universitas Andalas Padang. (Tidak dipublikasikan). Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2012. Riau Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Pekanbaru. Dadang dan Prijono. 2008. Insektisida Nabati. Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dewi, R.S. 2010. Keefektifan ekstrak tiga jenis tumbuhan terhadap Paracoccus marginatus dan Tetranychus sp. pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Tesis Program Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak dipublikasikan). Hariadi. D. 2013. Uji beberapa konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan (Piper aduncum L.) dalam mengendalikan hama kutu daun persik Myzus persicae Sulzer (Homoptera: Aphidae) pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.). Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Riau, Pekanbaru. (Tidak dipublikasikan). Kartasapoetra. A. G. 2008. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. Muliya, E. 2010. Selektifitas ekstark Piper retrofractum dan Tephrosia vogelli terhadap Nilaparvata lugens dan Cyrtorhinus lividipenennis. Departemen Proteksi Tanaman. Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Pahan, Iyung. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Prijono, D. 1999. Prinsip-Prinsip Uji Hayati. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Pengendalian Hama Terpadu. Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 2007. Modul Praktikum Toksikologi Insektisida Pengujian Toksisitas Insektisida. Departemen Proteksi Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setyowati, D. 2004. Pengaruh Macam Pestisida Organik dan Interval Penyemprotan Terhadap Populasi Hama Thrips, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) www. Google.com. Diakses tanggal 25 Oktober 2012. Silva, M. H. L., R. C. L. Costa, A. K. S. Lobato, C. F. Oliveira neto & H. D. Laughinghouse IV. 2007. Effect of Temperature and Water Restriction on
Piper aduncum L. Seed Germination. Journal of Agronomy 6 (3): 472-475. www.google.com. Diakses tanggal 25 Oktober 2012. Zarkani, A. 2008. Aktifitas insektisida ekstrak Piper retrofractum Vahl. dan Tephrosia vogelli Hook. F. terhadap Crocidolomia pavonana (F) dan Plutella xylostella serta keamanan ekstrak tersebut terhadap Diadegma semiclausum (Hellen). Tesis Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.