BUMI SEBAGAI TEMPAT BERMUKIM1 Tejoyuwono Notohadiprawiro
Pernyataan Pembuka Pada waktu saya menerima surat dari Panitia Pusat Penyelenggara Kongres Ahli Ilmu Kebumian Nasional 1995, yang meminta saya menyajikan makalah kunci, saya setengah tidak percaya. Betulkah impian saya selama bertahun-tahun menjadi kenyataan? Benarkah para pakar dan ahli berbagai ilmu dan disiplin serumpun akhirnya mau hidup dan berkarya sebagai suatu keluarga besar? Mudah-mudahan rintisan Anda ini bukan sekadar letupan semangat sesaat yang kemudian larut lagi tanpa bekas tertimbun oleh serpihan-serpihan ilmu dan disiplin yang diciptakan oleh lingkungan tradisi, pandangan konvensional, kegiatan rutin, dan birokrasi sektoral. Mudah-mudahan Kongres ini bukan sekedar "pertemuan arisan" yang diadakan setiap tahun sekali. Saya benar-benar berharap Kongres ini menandai kelahiran suatu jaman pembaharuan paradigma bagi pemajuan serentak dan terpadu semua ilmu yang menyangkut bumi di Indonesia. Kita harus mengakui secara jujur bahwa kemajuan ilmu kita masing-masing bergantung pada kelangsungan interaksi sinergistik antar kita, saling mengisi, saling melengkapi, dan saling membenahi. Pendek kata, kita saling membutuhkan. Saya tidak menganjurkan agar jatidiri ilmu kita masing-masing kita lebur menjadi satu. Hal ini tidak benar karena bagaimanapun kebanggan profesi pribadi tetap diperlukan sebagai motivator kuat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang kita perlukan ialah tanggungjanji (commitment) kita masing-masing untuk saling memperkaya cerapan dan saling memperluas cakrawala pandangan. Apa pun yang dilakukan ilmu masing-masing hendaknya selalu memperhatikan konsekuensi atau implikasi yang dapat ditimbulkannya pada ilmu yang lain. Untuk ini barangkali federasi antar organisasi profesi yang ada merupakan bentuk penghimpunan yang terbaik.
1
Makalah Kunci Kongres Ahli Ilmu Kebumian Nasional, Yogyakarta, 6-7 Desember 1995
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
1
Saya mencatat Kongres ini belum mencakup semua pakar dan ahli ilmu kebumian. Para pakar dan ahli tanah belum memperoleh tempat. Saya akan sangat berterima kasih apabila Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Himpunan Gambut Indonesia (HGI), dan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) dapat diajak serta. Alangkah baik apabila para pakar dan ahli ekologi, klimatologi, meteorologi, dan oseanologi diikutsertakan pula. Semoga prakarsa Anda ini akan dapat menggerakkan kebijakan pemerintah mendirikan suatu lembaga non-departemental bagi penelitian dan pengembangan ilmuilmu kebumian di bawah satu atap, dan memberikan dorongan kepada universitas yang mampu mendirikan suatu Pusat Studi Ilmu-Ilmu Kebumian.
Bumi dan Dunia Bumi (earth) adalah salah satu planet tatasurya kita yang sampai sekarang diakui memiliki bentuk-bentuk kehidupan terlengkap. Di ujung bawah deret makhluk bumi didapati virus yang dicerapi sebagai suatu ujud antara benda mati (inanimate) dan benda hidup (animate). Di ujung atas deret ini didapati manusia yang dicerapi sebagai makhluk paling sempurna karena mampu berfikir, berperasaan, bertenaga, berekayasa, dan bermasyarakat. Makhluk bumi menurut susunan organ, struktur tubuh, proses metabolisme, dan perilaku terpilahkan menjadi tumbuhan dan hewan. Manusia dengan kesanggupan berekayasa, bermasyarakat, dan melembagakan kehidupannya, menjadikan bumi suatu dunia (world). Bumi yang merupakan ujud biogeofisik dalam kehidupan manusia diubah menjadi dunia yang merupakan ujud geopolitik. Dalam konteks bumi segala persoalan dapat dihampiri dan diselesaikan menurut kaedah alam yang biasanya ternalarkan langsung. Akan tetapi dalam konteks dunia penghampiran dan penyelesaian persoalan menjadi rumit. Upaya penyelesaian tidak lagi dapat disandarkan pada kaedah alam semata-mata. Kaedah sosial, budaya, dan politik menjadi sangat menonjol dan sering menjadi penentu pokok penyelesaian persoalan. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian bumi dan pengertian dunia tidak terpisahkan. Maka para pakar dan ahli ilmu-ilmu kebumian perlu memahami masalah sosial, budaya dan politik apabila menginginkan gagasan, pendapat, dan karya mereka laku dijual kepada jajaran birokrasi dan dimengerti oleh khalayak ramai. Namun demikian pandangan sosial, budaya, dan politik tidak boleh sampai memiuhkan (distort) hakekat ilmu-ilmu kebumian. Ilmu-ilmu kebumian harus tetap dipelihara dan dikembangkan secara Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
2
murni. Cerapan bumi dan dunia yang bertumpang-tindih kadang-kadang menyebabkan sementara orang cenderung memalsukan ilmu-ilmu kebumian demi mendukung aspirasi ekonomi atau kekuasaan. Dalam kasus seperti ini kepentingan dunia diletakkan di atas kepentingan bumi. Bumi dieksploitasi dengan mengabaikan asas-asas konservasi sumberdaya alam. Seharusnya kepentingan bumi diletakkan di atas kepentingan dunia karena dunia ada lantaran bumi ada. Inilah falsafah keterlanjutan sumberdaya alam yang dengan sendirinya juga menjadi falsafah keterlanjutan seluruh kehidupan bumi. Pembicaraan dalam makalah ini tidak memisahkan masalah bumi dari masalah dunia. Uraian tentang keterhunian bumi sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari kepentingan dan kebutuhan manusia yang mendiami bumi.
Bermukim Bermukim dapat diartikan menjalani hidup dan kehidupan menetap di suatu tempat selama waktu panjang. Ketermukiman (habitability) suatu tempat ditentukan oleh 1. kecukupan ketersediaan kebutuhan dasar untuk hidup, yaitu udara bebas pencemaran, air bebas pencemaran, dan pangan 2. kecukupan ketersediaan kebutuhan pokok untuk hidup, yaitu sandang, perumahan sehat, dan sumber energi 3. kecukupan ketersediaan sarana peningkatan mutu kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, informasi, dan peribadatan 4. kecukupan ketersediaan prasarana pengembangan kehidupan, yaitu perhubungan, pengangkutan, dan perniagaan 5. jaminan keselarasan kehidupan, seperti peluang bekerja dan berusaha memperoleh nafkah, keamanan, ketenangan, penghormatan hak asasi manusia, dan pelayanan hukum yang adil dan merata. Mengingat faktor-faktor penentu ketermukiman suatu tempat, bermukim adalah gabungan masalah bumi dan masalah dunia. Faktor-faktor terpenting dalam konteks bumi ialah kecukupan ketersediaan kebutuhan dasar dan pokok untuk hidup. Udara berkenaan dengan atmosfer, air berkenaan dengan hidrosfer, dan pangan, sandang, perumahan dan energi berkenaan dengan litosfer, pedosfer dan biosfer. Masalah kecukupan adalah perkara kepadatan penduduk dan pola persebarannya, serta gaya hidup penduduk. Pola persebaran penduduk yang menyebabkan kepadatan penduduk tidak merata, menjadi faktor penting dalam konteks dunia. Potensi pemenuhan Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
3
kebutuhan menjadi terkotak-kotak, dibatasi oleh pagar politik. Kelebihan bekalan bahan kebutuhan yang ada di bagian dunia yang satu tidak dengan sendirinya dapat disalurkan untuk mengisi kekurangan bekalan yang ada di bagian dunia yang lain. bahkan kelebihan tersebut yang dimiliki oleh suatu negara atau sekelompok negara sering mereka gunakan sebagai senjata politik untuk mempengaruhi atau menguasai negara atau sekelompok negara lain yang berkekurangan. Kelebihan pangan dan energi menjadi senjata-senjata politik paling hebat dewasa ini. Di satu negara pun pemenuhan berbagai kebutuhan penduduk dapat tidak merata. Terjadilah kantong-kantong kemiskinan yang di Indonesia pada waktu ini dikenal secara populer dengan sebutan "desa tertinggal" atau dengan istilah yang merendahkan sesama bangsa "kawasan timur Indonesia". Faktor yang menimbulkan ketimpangan tersebut di Indonesia adalah kebijakan pembangunan yang dianut dalam menyusun Repelita. Ketermukiman adalah harkat suatu kawasan menurut imbangan antara permintaan penduduk akan berbagai kebutuhan manusia dan apa yang dapat ditawarkan oleh bumi akan berbagai kebutuhan tersebut. Dalam situasi tanpa pagar-pagar politik, dapat berlangsung saling kompensasi antar kawasan pemukiman. Suatu kawasan yang berharkat ketermukiman tinggi memberikan subsidi kepada kawasan yang berharkat ketermukiman rendah. Maslahat inti penduniaan ekonomi melalui berbagai organisasi perdagangan dunia dan regional, seperti APEC, tidak lain daripada meningkatkan harkat ketermukiman kawasan yang sudah dihuni dan memperluas kawasan yang dapat dimukimi. Dalam jangka panjang hal ini dapat membantu meratakan persebaran penduduk dan meringankan kehidupan di kawasan penduduk padat. Upaya meningkatkan atau memperluas ketermukiman kawasan dengan sistem kompensasi menganut asas subsidi silang. Ketermukiman kawasan dapat ditingkatkan atau diperluas pula dengan menerapkan teknologi meningkatkan kemampuan tawar bumi di kawasan bersangkutan. Upaya seperti ini menganut asas swasembada. Kebaikan asas ini ialah menciptakan kemandirian. Akan tetapi dengan asas ini penggunaan sumberdaya dapat menjadi tidak efisien, bahkan dapat mengarah ke eksploitasi sumberdaya lewat batas sehinggat bersifat tidak terlanjutkan. Dengan asas subsidi silang dapat berlangsung spesialisasi penggunaan sumberdaya sesuai dengan harkat kelayakannya. Ini berarti sumberdaya digunakan secara efisien dan berkelanjutan. Akan tetapi dengan asas subsidi silang kemandirian berkurang, keadaan ketermukiman kawasan menjadi rentan pengaruh faktor-faktor luar.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
4
Pilihan arif menciptakan ketermukiman kawasan merupakan kompromi antara asas subsidi silang dan asas swasembada. Dengan demikian perlakuan atas sumberdaya untuk produksi dan konservasi dapat berlangsung seiring.
Lingkungan Hidup Bumi terbentuk dari sejumlah lingkup (sphere) yang berantarmuka (interfacing). Lingkup-lingkup itu ialah atmosfer sebagai lingkup gas, hidrosfer sebagai lingkup cair, litosfer sebagai lingkup padat batuan, pedosfer sebagai lingkup padat tanah, dan biosfer sebagai lingkup hidup. Litosfer dan pedosfer secara bersama juga disebut geosfer. Pedosfer merupakan gejala sempadan (borderline phenomenon) yang terbentuk di dalam mintakat (zone) pertemuan antara atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer. Pedosfer mengandung udara dari atmosfer, air dari hidrosfer, mineral dari litosfer, dan bahan organik dari biosfer. Biosfer berkedudukan khas sehubungan dengan lingkup-lingkup yang lain. Dari satu sisi keberadaannya ditentukan oleh atmosfer dalam hal iklim dan musim, oleh hidrosfer dalam hal air tanah dan air bumi, dan oleh geosfer dalam hal bekalan hara dan habitat akar. Dari sisi lain biosfer mempengaruhi atmosfer dalam hal iklim meso dan iklim mikro, hidrosfer dalam hal neraca dan daur air, dan geosfer dalam hal pelapukan batuan dan mineral serta pembentukan tanah. Pedosfer merupakan hamparan darat berbentuk mosaik tanah. Pola mosaik tanah beragam antar wilayah, bergantung pada keadaan lingkugnan pembentuk tanah di wilayah masing-masing. Tampakan mosaik tanah di suatu bentangtanah (soilscape), yang menjadi salah satu gatra bentanglahan (landscape). Jadi, pedosfer terbagi menjadi berbagai bentangtanah dan tiap macam bentangtanah menentukan potensi ketergunaan tanah di suatu wilayah. Lingkungan hidup adalah keseluruhan keadaan luar yang mempengaruhi kemaujudan (existence) makhluk, atau yang berperan dalam hidup dan kehidupan makhluk. Keadaan luar terbagi tiga menurut perannya, yaitu: (1) keadaan yang diperlukan secara mutlak, (2) keadaan yang menguntungkan, dan (3) keadaan yang membahayakan. Ketersediaan udara segar dan ketersediaan air bersih dan pangan dalam jumlah mencukupi adalah keadaan yang mutlak diperlukan. Keadaan yang
menguntungkan mencakup
ketersediaan tanah produktif dalam luasan cukup dan keamanan dari bencana alam. Pencemaran mendatangkan keadaan yang membahayakan.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
5
Harkat lingkungan hidup (1) ditentukan oleh imbangan antara ketiga peran keadaan luar, (2) bergantung pada kebutuha dan keinginan penghuni berkenaan dengan maksud dan tujuan penghuniannya, dan (3) bersifat nisbi karena bermatra tempat dan waktu. Imbangan antara ketiga gatra lingkungan hidup sampai suatu tingkat tertentu dapat diperbaiki atau dibenahi dengan teknologi dan/atau dengan pelonggaran batas-batas politik. Akan tetapi teknologi yang berada di tangan orang atau masyarakat yang tidak bertanggungjawab akan memperburuk imbangan tersebut. Harkat lingkungan hidup menentukan ketermukiman bumi. Teknologi dapat menjaga kesegaran udara dan kebersihan air, serta menjaga atau meningkatkan produktivitas tanah. Pelonggaran batas-batas politik memperbesar peluang suatu negara ikut mengenyam maslahat produktivitas tanah yang dipunyai negara lain dengan jalan mendatangkan pangan dari negara tersebut. Teknologi yang diterapkan semata-mata untuk mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek akan memperbesar resiko bencana alam, pencemaran lingkungan, dan perluasan kemiskinan mutlak atau nisbi. Dengan kata lain, penerapan teknologi secara itu akan menurunkan harkat ketermukaan bumi. Dari segi kuantitas, udara merupakan sumberdaya takterbatas. Berkenaan dengan lingkungan hidup, yang perlu dijaga ialah kualitas (kesegaran) udara, yang berarti menanggulangi pencemarannya. Air tawar merupakan sumberdaya terbatas, padahal air tawar diperlukan mutlak untuk mendukung keterlanjutan kehidupan di bumi dan juga sangat penting bagi semua sektor sosio-ekonomi. Dari seluruh jumlah air yang ada di bumi sebanyak 1360 juta km3 hanya 0.3251%v yang bersifat tawar berupa air sungai, air danau, air tanah, air bumi sampai jeluk 800 m, dan air atmosfer. 97,2%v berupa air laut dan 2,15%v berada dalam bentuk selubung es dan gletser (Strahler & Strahler, 1973). Pembangunan manusia tidak mungkin tanpa memanfaatkan sumber-sumber air. Dalam konteks pembangunan sosio-ekonomi, sumberdaya air perlu dibangun menuruti watak multisektoralnya, sedang dalam pemanfaatannya perlu diarahkan memenuhi kepentingan ganda untuk pertanian, industri, pembangunan perkotaan, tenaga air, perikanan darat, pengangkutan, rekreasi, dan kegiatan-kegiatan lain (UNCED, 1992). Berkenaan dengan pemeliharaan lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya air harus mencakup rasionalisasi pemanfaatan air, penghematan penggunaan air, konservasi air, dan pencegahan pencemaran air. Akan tetapi air juga merupakan wahana penyakit, sehingga
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
6
menimbulkan persoalan kesehatan besar di banyak negara sedang berkembang. Diperkirakan 80% dari semua penyakit dan lebih daripada sepertiga kematian di negaranegara sedang berkembang disebabkan karena air membawa jasad patogen atau vektor penyakit. Maka sanitasi air menjadi sangat perlu berkenaan dengan ketermukiman wilayah (UNCED, 1992). Kelaparan dan malagizi (malnutrition) adalah endemik di negara-negara sedang berkembang. Pada tahun 2025 kira-kira 84% jumlah penduduk dunia, yang diperkirakan sebanyak 8,5 milyar, akan bertempat tinggal di negara-negara sedang berkembang. Tantangan utama pertanian di negara-negara tersebut ialah meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan untuk memberi makan penduduk yang jumlahnya terus memekar. Peningkatan ini harus diusahakan terutama lewat intensifikasi karena di banyak negara sedang berkembang kemungkinan pengembangan lahan baru sudah sangat terbatas. Apabila kelaparan akan dibasmi benar, intensifikasi pengusahaan lahan pertanian harus bersifat terlanjutkan, baik secara ekologi maupun secara sosio-ekonomi (UNCED, 1992). Upaya ini menghadapi kendala berat berupa degradasi tanah. 46% luas tanah dunia pada waktu ini telah mengalami degradasi sedang, 15% mengalami degradasi berat, dan 1% mengalami degradasi luar biasa berat. Proses yang terutama mendegradasi tanah ialah erosi air, yang disebabkan karena penggembalaan ternak lwat batas (overgrazing), penggundulan hutan, dan kegiatan pertanian (Keating, 1993). Kendala lain yang menghadang upaya peningkatan produktivitas pertanian ialah hama dan penyakit. Ditaksir antara 25% dan 50% kehilangan pra- dan pasca-panen disebabkan karena serangan hama dan penyakit tumbuhan. Penyakit hewan juga menimbulkan kerugian besar, bahkan di banyak wilayah sampai menutup upaya pengembangan peternakan (UNCED, 1992). Sumberdaya energi merupakan komponen penting lingkungan hidup. Dalam masyarakat maju, energi terutama dibangkitkan dari sumberdaya fosil takterbarukan, yaitu minyak dan gas bumi serta batubara, dan dari tenaga kinetik air. Meskipun tenaga air bersifat terbarukan, akan tetapi ketersediaannya terbatas. Di wilayah pedesaan kebanyakan negara sedang berkembang, sumber utama energi ialah biomassa berupa kayu bakar, sisa pertanaman, dan kotoran ternak, bersama dengan energi hayati berupa tenaga hewan dan manusia. Penggunaan dan permintaan akan energi berpangkal minyak (oil based) berkembang dengan laju yang belum pernah terjadi, sejalan dengan pembangunan ekonomi
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
7
yang sangat meluas, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Pembangunan yang sedang berlangsung di kawasan ini, yang disanjung sebagai 'mukjizat ekonomi' menuntut biaya lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat tinggi. Persoalan-persoalan berat akan muncul berupa: (1) peningkatan emisi gas-gas rumahkaca, (2) hujan masam, (3) pencemaran dan kerusakan mintakat pantai dan lepas pantai, (4) perobohan lingkungan berkenaan dengan pembangunan prasarana, (5) pencemaran air permukaan dan air bumi, dan (6) peningkatan pencemaran dan risiko kesehatan perkotaan (Clark, 1991). Untuk menjaga ketermukiman bumi, kebijakan dan teknologi energi perlu difikirkan ulang. Suatu sistem energi baru perlu dikembangkan berupa campuran antara sumber energi fosil dan sumber energi alternatif yang terbarukan dan bersih. Sumber energi terbesar ialah matahari yang dapat dimanfaatkan lewat proses fotosintesis menjadi energi biomassa dengan membudidayakan pertanaman energi, dan lewat proses pengubahan foton menjadi elektron untuk menghasilkan energi listrik. Sumber energi alternatif lain yang juga potensial ialah angin (UNCED, 1992; Flavin, 1995). Penanganan limah dan bahan kimia berbahaya harus masuk dalam agenda pembangunan. Jumlah sampah dan buangan selokan (sewage) dari kota yang cepat meningkat merupakan ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Menurut UNCED (1992), setiap tahun sebanyak 5,2 juta orang, termasuk 4 juta anak-anak, meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh penyingkiran buangan selokan dan limbah padat yang tidak benar. Di negara-negara sedang berkembang, kurang daripada 10% limbah kota yang ditangani dan dari jumlah itu hanya sebagian kecil saja yang ditangani menurut persyaratan baku. Pada akhir abad XX diperkirakan lebih daripada dua milyar penduduk tidak mendapatkan sanitasi dasar, dan kira-kira setengah penduduk kota di negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pembuangan limbah yang memadai. Limbah kota mencemari udara, lahan, dan air secara luas.
Keadaan Indonesia Keterlanjutan produksi pertanian bergantung pada sejumlah variabel, antara lain energi matahari, kesuburan tanah, iklim setempat, dan genotip spesies tanaman dan ternak (Anon., 1991). FAO Agro-Ecological Zones Project telah menghimpun data latar belakang untuk menggambarkan profil potensi lahan di negara-negara sedang berkembang untuk mengembangkan pertanian tadah hujan (Harrison, 1984). Data tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
8
1. Persen luas lahan dengan iklim sesuai (tidak terlalu kering, tidak terlalu dingin) dan tanah tanpa persoalan kesuburan (tanpa kegaraman berat, tidak dangkal, dsb.) yang menggambarkan basis lahan potensial Amerika Selatan
46%
Asia Tenggara
33%
Amerika Tengah
27%
Afrika
27%
Asia Baratdaya
7%
2. Penyusutan luas lahan budidaya pada tahun 2000 menjadi tidak sesuai untuk budidaya apabila tidak dilakukan konservasi tanah Asia Tenggara
36%
Amerika Tengah
30%
Asia Baratdaya
20%
Afrika
16,5%
Amerika Selatan
10%
3. Persen penurunan produksi pertanian pada tahun 2000 akibat erosi tanah yang tidak terkendalikan Amerika Tengah
25%
Afrika
25%
Amerika Selatan
21%
Asia Tenggara
12%
Asia Baratdaya
5%
4. Peningkatan produktivitas pertanaman dengan menerapkan sistem konservasi lengkap tanpa mengubah pola pertanaman atau menaikkan aras masukan Amerika Tengah
80%
Asia Tenggara
63%
Asia Baratdaya
54%
Afrika
41%
Amerika Selatan
29%
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
9
Luas lahan potensial Asia Tenggara terbatas dan rentan akan degradasi. Yang paling perlu dikerjakan untuk memelihara potensi tanah untuk pertanian ialah konservasi. Untungnya, tanah-tanah Asia Tenggara bertanggapan baik terhadap konservasi. Menurut World Bank News (Brown, 1995), biaya tahunan sebagai pangsa PDB yang ditanggung Indonesia dalam bentuk kerusakan lingkungan karena erosi tanah dan penggundulan hutan menurut catatan tahun 1984 ialah 4,0%. Angka tersebut pada tahun-tahun terakhir ini tentu lebih tinggi mengingat lahan kritis dan kerusakan hutan makin meluas. Gambaran Indonesia mirip benar dengan gambaran Asia Tenggara. Sebagian besar tanah di Indonesia berharkat piasan (marginal) atau rendah bagi pertanian, khususnya untuk pertanian pangan. Tanah-tanah itu termasuk ordo ultisol, oksisol, spodosol, histosol, dan sebagian termasuk ordo inseptisol. Agihannya yang dihitung dari angka-angka Muljadi & Soepraptohardjo (Sudjadi, 1984) adalah sebagai berikut. Tanah piasan
Wilayah Luas, juta ha Jawa
Persen luas wilayah
3
24
Sumatera
37
78
Kalimantan
47
87
Sulawesi
4
23
Irian Jaya
39
91
Indonesia
130
68
Jawa dan Sulawesi berkemampuan terbaik dilihat dari rendahnya proporsi tanah piasannya. Dari segi ini Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya berpotensi rendah untuk perluasan lahan pertanian pangan. Padahal ketiga wilayah ini menjadi tujuan utama transmigrasi pola pertanian pangan. Sudah barang tentu hambatan tanah dapat disingkirkan sampai tingkat tertentu dengan menerapkan teknologi produksi sepadan, yang tentu akan meningkatkan biaya produksi dan risiko kerusakan lingkungan. Faktor tanah menjadi kendala terpenting bagi perluasan lahan pertanian pangan di Indonesia. tanah-tanah yang baik terbatas hamparannya dan terutama terdapat di Jawa dan Bali, itu pun sudah tergunakan habis. Bahkan sejak dua dasa warsa terakhir lahan pertanian bertanah baik justru menyempit karena makin banyak yang teralihkan penggunaannya untuk tanpertanian, seperti industri, perumahan, kawasan hunian mandiri, lapangan rekreasi, dan fasilitas pariwisata. Dari angka-angka yang tersedia bolehlah diperkirakan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
10
bahwa sekurang-kurangnya 20.000 ha lahan pertanian setiap tahun tergusur oleh penggunaan tanpertanian (Notohadiprawiro, 1995). Ada yang memperkirakan sampai 50.000 ha setahun. Upaya intensifikasi menjadi berat karena menghadapi kendala penyusutan luas lahan yang makin banyak. Peningkatan hasilpanen harus lebih tinggi lagi daripada kalau tidak ada penyusutan luas lahan. Indonesia juga menghadapi persoalan air, baik untuk memenuhi kebutuhan pertanian maupun tanpertanian. Menurut DRN Kelompok II (1994), jumlah kebutuhan air dan laju pertambahannya per tahun dalam kurun waktu 25 tahun antara tahun 1990 dan 2015 adalah sebagai berikut. Sektor
Jumlah kebutuhan juta m3 1990
Pertanian Tanpertanian
Laju kenaikan rerata % setahun
2015
72.003
110.102
2
3.302
9.391
7
Imbangan kebutuhan air pertanian dengan tanpertanian pada tahun 1990 ialah 22:1 dan pada tahun 2015 menurun menjadi 12:1. Ada ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan air di beberapa daerah. Proporsi penggunaan air di suatu daerah terhadap penggunaan total se-Indonesia tidak seimbang dengan proporsi ketersediaan air di daerah bersangkutan terhadap ketersediaan total se-Indonesia. Ketimpangan ini dapat diperlihatkan di daerah lima besar dalam penggunaan air. Ketimpangan terbesar terdapat di Jawa yang berada di kawasan iklim berkebasahan sedang, dan di NTB yang berada di kawasan iklim kering. Proporsi penggunaannya terlalu besar dibandingkan dengan proporsi cadangannya. Sebaliknya, Kalimantan dibebani terlalu sedikit dibandingkan dengan proporsi cadangannya yang besar. Berarti penggunaannya tidak efisien. Sumatera dan Sulawesi dapat dikatakan seimbang antara penggunaan dan cadangan. Air tidak dapat diantar-pulaukan karena merupakan barang ruah (bulky) dan digunakan dalam jumlah banyak sekali sekaligus. Maka tiap pulau harus dapat berswasembada air.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
11
Persen terhadap Daerah
Kebutuhan total Pertanian
Cadangan total
Tanpertanian
Air permukaan Air tanah
Jawa
59
42*
69
65
6
6
Sumatera
19
23
17
19
23
19
Sulawesi
11
8
5
4
8
4
4
11
4
5
31
27
Kalimantan
NTB 3 2 1 1 0,4 * Angka depan adalah tahun 1990 dan angka belakang adalah tahun 2015.
0,1
Ketersediaan air juga tidak merata sama sekali. Hal ini dapat ditunjukkan dengan ketersediaan air aliran dalam m3 per kapita per hari menurut catatan tahun 1991 sebagai berikut (DRN Kelompok II, 1994). Jawa Bali NTB NTT Timor Timur Sulawesi Sumatera Kalimantan Maluku Irian Jaya
: : : : : : : : : :
0,15 5,5 11 25 48 29 21 52 157 1.488
(DKI)
-
(Sulut) (Lampung) (Kalsel)
-
6,4 (Jabar)
77 120 610
(Sultra) (Bengkulu) (Kalteng)
Jawa dan Bali sangat miskin air, sedang Irian Jaya sangat kaya air. Hari depan pertanian di Jawa suram, tidak hanya karena lahannya makin sempit, juga kebutuhan airnya makin sulit dipenuhi, karena terdesak oleh kepentingan tanpertanian yang berkekuasaan ekonomi dan politik jauh lebih kuat. Pertanian merupakan sektor penting, bahkan merupakan tulang punggung, ekonomi nasional bagi banyak negara sedang berkembang, karena kadang-kadang memegang pangsa utama dalam pendapatan ekspor. Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, sektor ini akan mengemban bagian terbesar tanggungjawab memberikan pertumbuhan cukup kepada ekonomi pedesaan bagi penyediaan lapangan kerja penduduknya. Tanpa pertumbuhan ini urbanisasi akan terus meningkat dengan segala akibat buruknya berupa kekumuhan perkotaan yang tidak terkolalakan, dan kemungkinan besar kerusuhan sosiopolitik. Kebutuhan akan pembangunan pedesaan di luar usahatani yang berkelanjutan juga sangat perlu dipenuhi (UNCED, 1992).
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
12
Rujukan Anon. 1991. Promoting sustainable agriculture. UNDP Annual Report. h 10-11. Brown, L.R. 1995. Nature's limits. Dalam: State of the World. W.W. Norton & Company. New York. h 3-20. Clark, A.L. 1991. Southeast Asia energy and mineral development: environment and economics. Conference on 'Toward a Sustainable Environmental Future for the Southeast Asian Region'. Yogyakarta. DRN Kelompok II. 1994. Kebutuhan riset dan koordinasi pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. xii + 141 h. Flavin, C. 1995. Harnessing the sun and the wind. Dalam: State of the World. W.W. Norton & Company. New York. h 58-79. Harrison, P. 1984. Achieving a balance, constructively. Ceres 17(2): 33-36. Keating, M. 1993. The earth summit's agenda for change. Centre for Our Common Future. X + 70 h. Notohadiprawiro, T. 1995. Prospek penyediaan pangan pada abad XXI ditinjau khusus dalam konteks tataguna lahan di Indonesia. Seminar Nasional dalam Temu Ilmiah Mahasiswa Pertanian Nasional II. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto. Strahler, A.N., & A.H. Strahler. 1973. Environmental geoscience: interaction between natural systems and man. Hamilton Publishing Company. Santa Barbara. x + 512 h + A1-6 + B1-36 + I1-23. Sudjadi, M. 1984. Problem soils in Indonesia and their management. Dalam: Ecology and Management of Problem Soils in Asia. Food and Fertilizer Technology Center Book Series No. 27. h 58-73. UNCED (UN Conference on Environment and Development). 1992. The global partnership for environment and development. A guide to Agenda 21. Rio de Janeiro. Geneva. 116 h.
«»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
13