Volume 2, Nomor 3, Desember 2004 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Roswita Roza, Ahmad Fuad, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Hernowo Koentoadji, Musliha, Kesumawati Syafei, Anton Purba, Indah Wulandari Dewan Redaksi Suchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Rudiatin S. Djatmiko, Tini Kustini Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini akan terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Peminat yang ingin memperoleh buletin ini dapat menghubungi Tim RUU dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 10, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 3817416, facsimile (021) 2311743, email :
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links kemudian publikasi”
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Volume2Nomor 3,Desember2004
DARI MEJA REDAKSI
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan tetap berusaha untuk memberikan suatu bacaan dan wacana yang akurat dan proporsional mengenai hukum perbankan dan kebanksentralan, maka Buletin ini terbit untuk yang terakhir kali di tahun 2004. Selain itu Redaksi juga tetap memberikan tampilan cover merah dan biru yang merupakan corporate identity Bank Indonesia agar Buletin ini mudah dikenali oleh pembaca. Konsisten mewujudkan visi Buletin, yaitu memperluas wawasan di bidang hukum perbankan dan kebanksentralan, maka sistematika isi Buletin tetap dipertahankan sebagaimana halnya pada edisiedisi sebelumnya. Dalam edisi kali ini Redaksi menampilkan 5 artikel yang merupakan pemikiran atas beberapa topik yaitu Peranan Bank Indonesia Dalam Mendorong Ekspor Melalui Pengaturan Metode Pembayaran dan Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional, Pembahasan Terhadap Draft RUU Amandemen UU Koperasi Berkenaan Dengan Pengaturan Koperasi Simpan Pinjam, Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI–RTGS), Sekuritisasi Aset Sebagai Salah Satu Alternatif Sumber Pendanaan Bagi Dunia Usaha, dan Arah Kebijakan Liberalisasi Jasa Perbankan Indonesia. Rubrik Resensi Buku edisi ini mengetengahkan judul buku “Hukum Sebagai Panglima” yang ditulis oleh Prof. DR. Charles Himawan, S.H., LL.M. dan diterbitkan pada bulan Mei 2003, sedangkan untuk Rubrik Komentar Atas Putusan Pengadilan, Redaksi mengangkat topik “Masalah Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Hutang Bank Terhadap Debitur Wan-Prestasi”. Selain itu, Buletin ini juga menampilkan hasil Seminar Nasional “Mencari Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah” dan Sidang Ke 44 Pokja IV Electronic Commerce – United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Kemudian sebagai salah satu media informasi yang disampaikan kepada masyarakat luas, Buletin ini juga memuat informasi tentang peraturan-peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia, yaitu berupa daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada Oktober – Desember 2004. Dengan informasi dan wacana yang cukup beragam, semoga Buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya Selamat membaca. Jakarta, Desember 2004 Redaksi
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Volume2Nomor 3,Desember2004
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2, Nomor 3, Desember 2004
Halaman Dari Meja Redaksi Daftar Isi Peranan Bank Indonesia Dalam Mendorong Ekspor Melalui Pengaturan Metode Pembayaran dan Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional ………………….………………………................ 1-20 Þ Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL. M. KSP Model Baru Atau Pemberdayaan Bank Koperasi? (Pembahasan Terhadap Draft RUU Amandemen UU Koperasi Berkenaan Dengan Pengaturan Koperasi Simpan Pinjam).………............... 21-29 Þ Agus Santoso, S.H., LL.M. Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI – RTGS) ……..…..………………….................. 30-34 Þ Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Sekuritisasi Aset : Suatu Alternatif Sumber Pendanaan Bagi Dunia Usaha……………………………………………………................. 35-47 Þ Anton Purba, S.H., LL.M. Sekelumit Renungan Mengenai Arah Kebijakan Liberalisasi Jasa Perbankan Indonesia…………………………………………………................ 48-52 Þ Tim Perbankan dan Enquiry Point Direktorat Hukum Resensi Buku : Hukum Sebagai Panglima…………………………................ 53-54 Þ Hernowo Koentoadji, S.H., dan Yulita Kuntari, S.H. Komentar atas Putusan Pengadilan : “Masalah Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Hutang BankTerhadap Debitur Wan-Prestasi”.................. 55-59 Þ Suyud Margono, SH., MH. dan Arus Akbar Silondae, SH., LLM. Cakrawala Hukum : Seminar Nasional “Mencari Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah” dan Sidang Ke 44 Pokja IV Electronic Commerce – United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) ……………………………………………………………….......... 60-63 Þ Redaksi
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Volume2Nomor 3,Desember2004
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia Oktober - Desember 2004…..………………………… ......... 64-65 Þ Tim Administrasi dan Informasi Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Volume2Nomor 3,Desember2004
PERANAN BANK INDONESIA DALAM MENDORONG EKSPOR MELALUI PENGATURAN METODE PEMBAYARAN DAN METODE PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh : Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL. M.
I. PENDAHULUAN
UU No. 13 Tahun 1968, Bank Indonesia telah pernah mengatur penyediaan Latar Belakang Masalah fasilitas pembiayaan impor dan ekspor Dalam perdagangan internasional kepada dunia usaha melalui bank. 1 pertumbuhan ekspor dapat dipengaruhi Namun, Bank Indonesia pada dasarnya oleh kelancaran pelaksanaan metode belum mengatur penyediaaan fasilitas pembayaran perdagangan internasional pembiayaan perdagangan internasional yang dapat berupa Letter of Credit (L/C) yang dapat disediakan perbankan kepada dan non L/C yang terdiri dari Advance importir dan eksportir. Mengingat dengan Payment, Collection, Open Account dan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 Bank Consignment. Di Indonesia, metode Indonesia tidak boleh lagi menyediakan pembayaran perdagangan internasional fasilitas pembiayaan perdagangan dimaksud dinyatakan dalam PP No. 1 internasional, maka pemerintah Tahun 1982 dan PP ini mengamanatkan mendirikan PT. Bank Ekspor Indonesia kepada Bank Indonesia agar (Persero) pada bulan November 1999 mengeluarkan peraturan pelaksanaan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan atas metode pembayaran tersebut. perdagangan internasional menggantikan Namun, hingga kini Bank Indonesia belum fasilitas yang sama dari Bank Indonesia. melaksanakannya. Namun, PT Bank Ekspor Indonesia dalam Selain itu, dalam perdagangan (Persero) kurang berhasil internasional terdapat juga metode pelaksanaannya karena mengenakan pembiayaan perdagangan internasional bunga komersial 2 atas fasilitas yang juga turut mempengaruhi pembiayaan tersebut. pertumbuhan ekspor. Semasa berlakunya
1
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pembiayaan impor dan pembiayaan ekspor kepada importir dan eksportir melalui bank umum yang telah memperoleh izin melakukan kegiatan internasional. Namun, dengan berlakunya Undang-undang tersebut Bank Indonesia menghentikan penyediaan fasilitas pembiayaan impor dan pembiayaan ekspor dimaksud karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang dimaksud. 2 PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) menyediakan fasilitas pembiayaan impor (refinancing) dan pembiayaan ekspor (refinancing) kepada dunia usaha melalui bank dengan tingkat bunga sebesar Prime Lending Rate PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) ditambah marjin Bank. Seharusnya, PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) dapat menetapkan tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar sehingga fasilitas pembiayaan impor dan ekspor yang disediakan menjadi lebih menarik. Untuk pelaksanaannya sebaiknya ada Undang-undang PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) yang mengaturnya.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
1
Volume2Nomor 3,Desember2004
Kemudian, dalam upaya memperlancar pelaksanaan metode pembayaran dan metode pembiayaan perdagangan internasional adalah suatu kebutuhan bisnis untuk melibatkan forum Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul berkenaan dengan pelaksanaan kedua metode.
senilai L/C sepanjang eksportir memenuhi persyaratan L/C. Persyaratan L/C adalah persyaratan berupa pemenuhan dokumendokumen yang dinyatakan dalam L/C baik secara fisik maupun secara isi dokumen. Pemikiran yang melatarbelakangi penggunaan L/C ialah terjaminnya pembayaran kepada eksportir dan terjaminnya pemenuhan dokumen untuk Pokok Permasalahan kepentingan importir sesuai dengan Berdasarkan latar belakang masalah di ketentuan Uniform Customs and Practice atas dapat dirumuskan beberapa pokok for Documentary Credits (UCP) dengan permasalahan yang selanjutnya akan tetap memperhatikan hukum nasional. ditelaah sebagai berikut: 1. Sejauhmana L/C melibatkan para pihak minimal pentingnya Bank Indonesia mengatur importir, eksportir, bank penerbit dan bank metode pembayaran perdagangan internasional?, 2. Sejauhmana pentingnya koresponden. Namun, L/C adalah kontrak antara bank penerbit dan eksportir. Dalam Bank Indonesia mengatur metode pelaksanaan L/C para pihak hanya pembiayaan perdagangan internasional?, 3. Apakah perlu Bank Indonesia mengatur berurusan dengan dokumen, tidak dengan transaksi barang, jasa atau pelaksanaan pembentukan forum Arbitrase untuk lainnya. Dan, L/C merupakan kontrak yang menyelesaikan perselisihan mengenai pelaksanaan metode pembayaran dan independen terhadap kontrak terkait seperti kontrak jual beli. metode pembiayaan perdagangan Transaksi L/C melibatkan minimal empat internasional? macam kontrak yang terdiri dari kontrak jual beli, kontrak penerbitan L/C, L/C, dan II. M E TO D E P E M B AYA R A N D A N kontrak keagenan. Masing-masing METODE P E M B I AYA A N kontrak secara bisnis terkait satu sama PERDAGANGAN INTERNASIONAL lain namun secara ketentuan terpisah satu 2.1. Metode Pembayaran Perdagangan sama lain. Prinsip pemisahan kontrak ini diperlukan untuk keperluan kelancaran Internasional pelaksanaan L/C itu sendiri. Pelaksanaan a. Letter of Credit L/C tidak boleh dikaitkan dengan tiga Letter of Credit (L/C) 3 adalah janji kontrak lainnya karena apabila dikaitkan membayar dari bank penerbit (issuing akan menghambat pelaksanaan L/C bank) kepada eksportir (beneficiary) tersebut. Hakekat L/C adalah perwujudan
3
Lebih jauh lihat, Ramlan Ginting, Letter of Credit – Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2002.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
2
Volume2Nomor 3,Desember2004
pembayaran atas dasar penyerahan dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Hakikat kontrak penjualan adalah realisasi jual beli secara aktual. Hakekat kontrak penerbitan L/C adalah perwujudan pemberian fasilitas kredit dari bank penerbit kepada applicant. Akhirnya, hakekat kontrak keagenan adalah perwujudan pelaksanaan instruksi bank penerbit oleh bank koresponden. Jika masing-masing kontrak dikaitkan satu sama lain maka dalam pelaksanaannya akan terjadi ‘perbenturan kepentingan’ antara sesama kontrak. Perbenturan kepentingan dapat mengakibatkan terhambatnya atau gagalnya pelaksanaan L/C.
diberlakukan terhadap setiap L/C yang diterbitkan bank di Indonesia demi keseragaman pelaksanaan L/C secara universal. Tetapi, ketentuan mengenai metode pembayaran L/C secara komprehensif belum ada di Indonesia. Bank Indonesia dalam hal ini Direktorat Luar Negeri sedang menyusun ketentuan dimaksud. Khusus untuk transaksi jual beli domestik di Indonesia pembayarannya dapat menggunakan metode L/C Dalam Negeri. L/C Dalam Negeri dinamakan juga L/C Lokal atau L/C Domestik atau L/C Antar Pulau namun sebutan resminya adalah Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) yang telah diatur terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No.5/6/PBI/ 2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (PBI SKBDN). Bank Indonesia mengatur SKBDN dalam upaya mendorong ekspor juga. Ketentuan SKBDN yang menjadi materi aturan PBI SKBDN pada dasarnya diambil alih dari ketentuan UCP 500 yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Berbeda dengan UCP 500, PBI SKBDN merupakan produk hukum yang wajib diikuti perbankan dan dunia usaha dalam pelaksanaan SKBDN.
Dalam pelaksanaannya L/C pada umumnya dibuat tunduk pada Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP)4 yang merupakan ketentuan L/C yang berlaku universal. Walaupun bukan merupakan produk hukum, UCP telah dianut oleh lebih kurang 160 negara termasuk Indonesia. Pemberlakuan UCP dilaksanakan secara sukarela yang didasarkan pada kesepakatan bank penerbit dan eksportir yang dinyatakan dalam L/C. Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/34/ ULN tanggal 17 Desember 1993 mengatur cara pemberlakuan UCP. Dikatakan, L/C yang diterbitkan oleh bank penerbit di Indonesia dapat tunduk atau tidak pada UCP 5. Namun, secara tersirat Bank Indonesia menghendaki agar UCP
Menurut PBI SKBDN, SKBDN digunakan untuk transaksi dalam negeri sehingga semua pihak dan perpindahan barang dilakukan di dalam negeri. Namun demikian, jika SKBDN diterbitkan atas dasar L/C yang diterima dari luar negeri
4
UCP yang berlaku saat ini adalah Uniform Customs and Practice for Documentary Credits, 1993 Revision, ICC Publicatioan No. 500, sering disingkat sebagai UCP 500. 5 Pengaturan yang bersifat pilihan yang demikian ini dibuat agar secara formal Bank Indonesia tidak memaksakan bahwa L/C harus tunduk pada UCP mengingat UCP bukan produk hukum.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
3
Volume2Nomor 3,Desember2004
atau berdasarkan transaksi non L/C dari luar negeri, maka dalam hal ini perpindahan barang dapat dilakukan dari dalam negeri ke luar negeri. Hal demikian ini diperkenankan karena tujuan utama pengaturan SKBDN adalah untuk turut mendorong ekspor, namun hal sebaliknya yakni mendorong pertumbuhan impor tidak boleh terjadi. Mekanisme dan prosedur pelaksanaan SKBDN pada dasarnya sama dengan yang berlaku atas L/C karena ketentuan PBI SKBDN pada dasarnya sesuai dengan ketentuan UCP 500.
didasarkan pada kebiasaan internasional. Untuk keperluan Indonesia, Bank Indonesia juga belum mengatur Advance Payment Dalam Negeri. Pelaksanaan Advance Payment, jika ada, didasarkan pada kebiasaan praktik perbankan Indonesia. b 2. Collection Collection (Inkaso) adalah pengiriman dan penagihan dokumen ekspor oleh eksportir kepada importir dengan menggunakan jasa bank untuk pelaksanaannya. Collection terdiri dari documentary collection yaitu pengiriman dokumen komersial dan wesel untuk ditagihkan kepada importir, dan clean (bill) collection yaitu pengiriman wesel untuk ditagihkan kepada importir. Dalam hal documentary collection, eksportir dapat meminta kepada bank agar dokumen diserahkan kepada impotir atas dasar Documents Against Payment (D/P) yaitu penyerahan dokumen komersial kepada importir setelah adanya pembayaran, atau Documents Against Acceptance (D/A) yaitu penyerahan dokumen komersial kepada importir setelah wesel berjangka diaksep importir.
b. Non Letter of Credit Metode pembayaran non L/C terdiri dari Advance Payment, Collection, Open Account dan Consignment. b1. Advance Payment Advanced Payment (Pembayaran Dimuka) adalah pembayaran yang dilakukan oleh importir kepada eksportir sebelum barang dikapalkan. Kesepakatan cara pembayaran ini dicantumkan dalam kontak jual beli antara eksportir dan importir. Advance Payment ini dapat dilakukan melalui bank atau langsung kepada eksportir. Sementara, dokumen komersial pada umumnya dikirim langsung oleh eksportir kepada importir. Biasanya Advance Payment hanya dilakukan untuk transaksi yang nilainya tidak besar, atau jika importir sangat percaya kepada eksportir atau apabila importir sangat membutuhkan barang sedangkan eksportir lain tidak ada.
Kesepakatan menggunakan Collection dituangkan dalam kontrak jual beli antara eksportir dan importir. Metode Collection dapat berjalan lancar jika eksportir dan importir sudah saling percaya dan terdapat keyakinan bahwa pemerintah negara importir tidak akan melakukan kebijakan devisa ketat.
Metode Collection telah memiliki Advance Payment belum memiliki ketentuan internasional yakni Uniform ketentuan internasional. Pelaksanaannya Rules for Collections, 1995 Revision, International Chamber of Commerce
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
4
Volume2Nomor 3,Desember2004
Publication No. 522 (URC). Sebagaimana halnya UCP, URC juga bukan merupakan produk hukum. URC bertujuan menciptakan keseragaman pelaksanaan Collection secara internasional. Sebagaimana UCP, pemberlakuan URC juga bersifat sukarela dalam arti didasarkan pada kesepakatan eksportir dan bank pengirim. Pemberlakuan URC dinyatakan dalam collection instruction dari eksportir kepada bank pengirim. Berbeda dengan UCP, Bank Indonesia belum mengatur cara pemberlakuan URC. Selain itu, berbeda dengan metode L/C, Bank Indonesia juga belum memprakarsai penyusunan ketentuan komprehensif mengenai metode Collection.
jual beli di antara keduanya akan diperhitungkan dalam pembukuan masingmasing atau importir akan melunasi pembayaran pada tanggal yang disepakati. Kesepakatan penggunaan Open Account dicantumkan dalam kontrak jual beli antara eksportir dan importir. Dokumen komersial dikirim langsung oleh eksportir kepada importir supaya dapat mengambil barang setelah tiba di pelabuhan tujuan di negara importir. Metode Open Account dapat digunakan jika eksportir percaya bahwa importir dapat dan mau melaksanakan pembayaran, eksportir percaya pemerintah negara importir tidak akan memberlakukan kebijakan devisa ketat, dan eksportir memiliki likuiditas yang cukup untuk memberikan kredit kepada importir.
Kemudian, tidak seperti SKBDN, Bank Indonesia juga belum mengatur metode Collection Dalam Negeri. Dalam praktik Collection di Indonesia ada bank yang menyatakan Collection yang dilakukannya tunduk pada URC namun ada juga bank yang melaksanakan Collection tidak tunduk pada URC tetapi berdasarkan kebiasaan praktik perbankan Indonesia. Hal demikian ini mengakibatkan pelaksanaan metode Collection Dalam Negeri tidak seragam dan juga tidak memiliki kepastian hukum seperti halnya metode SKBDN.
Metode Open Account belum memiliki ketentuan internasional. Pelaksanaan metode Open Account didasarkan pada kebiasaan internasional. Demikian juga khusus untuk kebutuhan di Indonesia Bank Indonesia belum mengatur metode Open Account Dalam Negeri. Pelaksanaannya juga didasarkan pada praktik perbankan Indonesia. b 4. Consignment
b 3. Open Account
Consignment (Konsinyasi) adalah pengiriman barang yang belum terjual ke luar negeri. Barang hanya dititipkan oleh eksportir kepada importir di luar negeri untuk dijual kepada pihak lainnya. Pembayaran harga barang oleh importir kepada eksportir dilakukan setelah barang terjual.
Open Account (Perhitungan Kemudian), kebalikan dari Advanced Payment, adalah pengiriman dan penagihan dokumen keuangan oleh eksportir kepada importir dengan menggunakan jasa bank. Dalam Open Account eksportir dan importir sepakat bahwa penyelesaian pembayaran
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
5
Volume2Nomor 3,Desember2004
Untuk mengurangi risiko, eksportir dapat menggunakan jasa bank untuk pengiriman dokumen komersial dan penggunaan jasa bonded warehouse untuk tempat penitipan barang sampai terjual. Kepada bank pengirim dokumen komersial diminta agar bank korespondennya di luar negeri menyerahkan dokumen komersial kepada bonded warehouse dan meminta warehouse receipt dari bonded warehouse.
C. Hanya saja pada metode pembiayaan lebih difokuskan pada sumber dan mekanisme pembiayaannya bukan pada ketentuan-ketentuan pembayarannya. Sebagaimana halnya metode pembayaran, metode pembiayaan juga berperan mendorong ekspor. Perbankan internasional menyediakan fasilitas pembiayaan perdagangan internasional baik untuk transaksi impor maupun ekspor. Namun, fasilitas pembiayaan Ketika importir berhasil menjual barang, perdagangan internasional belum begitu importir menyerahkan pembayaran berkembang di Indonesia bila kepada bank koresponden untuk ditransfer dibandingkan dengan negara lain seperti kepada eksportir. Dan, bank koresponden Amerika, Ingggris, dan Singapura. menyerahkan kepada importir Delivery Di Amerika, Inggris, dan Singapura dikenal Instruction untuk mengambil barang dari model-model pembiayaan perdagangan bonded warehouse. internasional6 yang disediakan perbankan Consignment belum memiliki ketentuan seperti fasilitas overdraft, pinjaman, internasional, sehingga pelaksanaannya advance against collection, negotiation of didasarkan pada kebiasaan internasional. bill, documentary acceptance credit, dan Untuk keperluan dalam negeri Bank acceptance credit line. Indonesia juga belum mengaturnya Fasilitas overdraft merupakan fasilitas sehingga pelaksanaannya juga pembiayaan bank berupa penarikan uang berdasarkan praktik perbankan Indonesia. yang melebihi saldo giro eksportir yang 2.2. Metode Pembiayaan Perdagangan ada pada bank. Di Indonesia fasilitas overdraft sudah digunakan sebelum Internasional pengiriman barang namun nilai dan jangka Sebenarnya antara metode pembayaran waktunya dibatasi. dan metode pembiayaan perdagangan internasional sulit dipisahkan karena Fasilitas pinjaman merupakan pemberian keduanya memiliki keterkaitan yang erat. kredit oleh bank kepada eksportir. Fasilitas ini sudah ada di Indonesia dan digunakan Metode pembiayaan perdagangan internasional pada dasarnya mencakup sebelum pengiriman barang sebagai juga metode pembayaran L/C dan non L/ modal kerja eksportir.
6
Jane Kingman-Brundage and Susan A. Schulz, The Fundamentals of Trade Finance: The Ins and Outs of Import-Export Financing, New York, John Wiley & Sons, 1986. Kemudian, BPP, Trade Finance – Payments and Services, BPP Publising Limited, London, Desember 1991. Dan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Singapura, “Lembaga dan Skim Pembiayaan Ekspor di Singapura”, Juni 1996. Juga, OCBC Bank, “Trade Finance”, OCBC Bank Singapore, 2000 – 2003.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
6
Volume2Nomor 3,Desember2004
Fasilitas advance against collection merupakan pemberian pembiayaan bank dengan cara mengambil alih dokumen ekspor dari eksportir dan bank akan menerima penggantian pembayaran dari importir di luar negeri dengan mengirimkan dan menagihkan dokumen ekspor kepada importir. Bank yang mengambil alih mempunyai hak regres terhadap eksportir. Di Indonesia fasilitas advance against collection ini pada dasarnya belum berkembang. Fasilitas Collection masih dilakukan secara konvensional dalam arti bank melakukan pengiriman dan penagihan dokumen kepada importir di luar negeri dan bila hasilnya (hasil ekspor) telah diperoleh akan dibayarkan kepada eksportir.
L/C. Di Indonesia fasilitas documentary acceptance credit ini sudah dikenal namun pelaksanaannya belum seperti di Amerika, Inggris, dan Singapura. Wesel ekspor berjangka yang diterbitkan atas dasar metode L/C dapat didiskontokan kepada bank. Namun karena di Indonesia masih sering tidak dibedakan antara fasilitas negosiasi (pengambilalihan) dan fasilitas diskonto atas wesel ekspor berjangka maka diskonto pada dasarnya dilakukan tanpa akseptasi atas wesel ekspor berjangka yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Fasilitas acceptance credit line merupakan fasilitas pembiayaan metode Collection. Dalam hal ini eksportir meminta bank untuk melakukan Collection atas trade bill. Kemudian eksportir menarik acceptance bill atau sering juga disebut accomodation bill pada bank sebesar jumlah yang disepakati dari nilai trade bill. Bank mengaksep accommodation bill dan mendiskontokannya pada discount market dan hasilnya dibayarkan kepada eksportir. Bank akan memperoleh pembayaran dari importir atas dasar hasil pembayaran trade bill. Indonesia pada dasarnya belum mengenal fasilitas acceptance credit line ini.
Fasilitas negotiation of bill merupakan fasilitas pembiayaan bank dengan cara mengambil alih wesel ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode pembayaran Open Account atau Collection. Pengambilalihan dilakukan sebelum wesel ekspor ditagihkan pembayarannya ke luar negeri, sementara eksportir menerima pembayaran ketika pengambilalihan dilakukan. Indonesia mengenal fasilitas negotiation of bill namun pada dasarnya atas wesel ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode L/C.
Selain fasilitas pembiayaan perbankan di atas terdapat metode pembiayaan perdagangan internasional lain yakni Countertrade, Factoring dan Forfaiting. Ketiga jenis metode pembiayaan perdagangan internasional ini juga melibatkan perbankan walau pada dasarnya ketiganya bukan merupakan produk perbankan. Pada Countertrade yang merupakan perdagangan imbal beli
Fasilitas documentary acceptance credit merupakan fasilitas pembiayaan bank dengan cara eksportir menerbitkan wesel ekspor berjangka dan meminta bank mengaksep dan mendiskontokannya pada discount market serta membayarkan hasilnya kepada eksportir. Fasilitas documentary acceptance credit ini dapat berdasarkan metode L/C dan metode non
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
7
Volume2Nomor 3,Desember2004
internasional antara eksportir dan importir yang berasal dari dua negara yang berbeda, pembayaran transaksi pertukaran barang (imbal beli) antara eksportir dan importir dilakukan dengan metode L/C atau non L/C yang nilainya didasarkan pada nilai barang yang saling dipertukarkan. Dan, transaksi Countertrade ini dapat tanpa diikuti dengan aliran devisa namun dapat juga diikuti dengan aliran devisa sebagaimana halnya pada perdagangan internasional yang normal. Sementara, pada Factoring yang merupakan transaksi pembelian piutang dagang eksportir berjangka pendek, pembelian piutang dagang pada umumnya dilakukan oleh factoring company namun dapat juga pembeliannya dilakukan bank. Transaksi Factoring ini didasarkan pada jual beli yang pembayarannya disepakati dengan metode non L/C. Kemudian, pada Forfaiting yang merupakan transaksi pembelian piutang ekspor berjangka menengah dan panjang, bank akan dilibatkan untuk membiayai transaksi jual beli yang dilakukan eksportir dan importir dengan membeli tagihan ekspor. Selain itu, bank juga akan diminta untuk menjamin pembayaran promissory note yang diterbitkan importir atau mengaksep wesel ekspor berjangka yang diterbitkan eksportir. Transaksi jual beli dapat dilakukan dengan metode L/C atau metode non L/C. Pengaturan produk pembiayaan perdagangan internasional itu pada dasarnya belum dilakukan oleh Bank Indonesia. Ketiadaan pengaturan ini berdampak pada tingkat pengembangan produk pembiayaan perdagangan
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
internasional di Indonesia yang berdampak pula pada pertumbuhan ekspor nasional.
III. PENGATURAN BANK INDONESIA ATAS METODE PEMBAYARAN DAN METODE PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL 3.1. Metode Pembayaran Perdagangan Internasional a. Dasar Hukum Pengaturan metode pembayaran perdagangan internasional sebenarnya telah memiliki dasar hukum yaitu Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 Tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa (PP No. 1 Tahun 1982). Namun, PP No. 1 Tahun 1982 tidak memuat aturan rinci mengenai metode pembayaran perdagangan internasional itu. PP No. 1 Tahun 1982 hanya menyatakan bahwa metode pembayaran perdagangan internasional dilakukan dengan tunai atau kredit (Pasal 3 ayat (1)). Kemudian, dalam Penjelasan PP No. 1 Tahun 1982 dinyatakan bahwa metode pembayaran perdagangan internasional dapat dilakukan dengan : 1. Advance Payment, 2. Letter of Credit, 3. Collection dengan kondisi Documents Against Payment dan Documents Against Acceptance, 4. Open Account, 5. Consignment, dan 6. Metode pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan internasional sesuai kesepakatan antara eksportir dan importir. Selanjutnya, PP No. 1 Tahun 1982 mengamanatkan agar Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Gubernur Bank Indonesia bersamasama atau masing-masing dalam bidangnya mengeluarkan peraturan
8
Volume2Nomor 3,Desember2004
pelaksanaan atas metode pembayaran perdagangan internasional, namun hingga saat ini tindak lanjut amanat PP No. 1 Tahun 1982 belum terlaksana sebagaimana seharusnya.
mengurangi beban tugas Bank Indonesia. Bayangkan kalau sebagian besar pengadilan negeri selalu meminta bantuan saksi ahli dari Bank Indonesia betapa sulitnya Bank Indonesia memenuhinya. Belum lagi memenuhi permintaan pihak kepolisian dan kejaksaan.
Bank Indonesia selama ini beranggapan bahwa pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional cukup didasarkan pada ketentuan internasional atau kebiasaan dan praktik internasional. Metode pembayaran L/C misalnya agar dilaksanakan sesuai dengan UCP dan demikian juga dengan metode Collection agar dilaksanakan sesuai dengan URC. Namun, UCP dan URC bukanlah produk hukum sehingga pemberlakuan UCP dan URC tidak mengikat dalam arti para pihak dapat menggunakannya dan juga dapat tidak menggunakannya. Kemudian, bila terdapat kasus hukum mengenai pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional maka Indonesia belum memiliki landasan hukum yang dapat digunakan para penegak hukum untuk menyelesaikannya.
b. Pengaturan L/C Pasar sebenarnya mengharapkan agar Bank Indonesia mengatur metode pembayaran perdagangan internasional. Dan, khusus untuk metode pembayaran L/ C Bank Indonesia dalam hal ini Direktorat Luar Negeri 7 sedang memprakarsai pembuatan Peraturan Bank Indonesia tentang Letter of Credit (PBI L/C). Perlunya pembuatan PBI L/C ini telah mendapatkan dukungan terutama dari kalangan perbankan, KADIN, Depperindag, Depkeh dan HAM, dan Mahkamah Agung. Pembahasan PBI L/C juga mengikutsertakan wakil dari lembaga atau instansi tersebut. PBI L/C ini akan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan L/C internasional di Indonesia. Kepastian hukum diperlukan oleh bank dan dunia usaha dalam pelaksanaan L/C sehari-hari. Secara khusus, PBI L/C ini akan sangat diperlukan dalam menyelesaikan kasus hukum mengenai L/C terutama di pengadilan. Dengan adanya ketentuan hukum mengenai pelaksanaan transaksi L/C diharapkan penggunaan L/C akan semakin lancar dan meningkat sehingga
Dalam praktik selama ini para penegak hukum sering meminta Bank Indonesia agar dapat menyediakan saksi ahli untuk membantu penyelesaian kasus hukum mengenai metode pembayaran perdagangan internasional. Sekiranya telah ada peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia mengenai metode pembayaran perdagangan internasional maka kehadiran saksi ahli paling tidak dapat dikurangi frekuensinya dan hal ini berarti
7
Lihat , Direktorat Luar Negeri - Bank Indonesia, Kajian Pengaturan Letter of Credit di Indonesia, Jakarta, Desember 2003.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
9
Volume2Nomor 3,Desember2004
berdampak positif bagi pertumbuhan Agung telah mengakui bahwa perdagangan internasional. pelaksanaan L/C memerlukan payung Ketentuan PBI L/C dibuat sejalan dengan hukum nasional minimal setingkat PBI L/ ketentuan UCP 500 dan hukum L/C C, maka sudah dapat dipastikan bahwa internasional sehingga materi PBI L/C pelaksanaan non L/C juga membutuhkan berskala internasional. PBI L/C tidak akan ketentuan hukum nasional yang minimal menghambat praktik L/C yang selama ini juga berupa PBI non L/C. Alasan utama telah dilakukan oleh perbankan dan dunia adalah bahwa pelaksanaan metode non L/ usaha. PBI L/C justru memayungi secara C belum memiliki ketentuan internasional, hukum praktik L/C. PBI L/C mengatur kecuali untuk metode Collection, prinsip-prinsip L/C, bank pelaksana L/C, sehingga pengaturannya minimal dalam biaya pelaksanaan L/C, dokumen L/C, bentuk PBI sangat diperlukan. cara pembayaran L/C, penggantian pembayaran (reimbursement), penipuan dalam transaksi L/C, ganti rugi, pilihan hukum dan pilihan forum. UCP 500 yang berlaku universal sebagai acuan dalam pelaksanaan L/C sehari-hari ternyata dianggap masih belum cukup untuk melindungi kepentingan bank dan dunia usaha dalam melaksanakan transaksi L/C terutama terkait dengan aspek hukum. Bagaimanapun juga UCP 500 tetaplah bukan produk hukum sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus hukum mengenai L/C. Untuk mengatasi kekurangan ini diperlukan pengaturan L/C minimal berupa PBI L/C. Kiranya suatu ‘kekeliruan’ bila selama ini pelaksanaan L/ C dianggap aman dengan hanya mendasarkannya pada UCP 500. Di Amerika, sebagai contoh, L/C diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Article 5 Uniform Commercial Code. c. Pengaturan Non L/C Terhadap metode pembayaran non L/C Bank Indonesia belum memprakarsai pembuatan PBI non L/C. Bila perbankan, KADIN, Pemerintah dan Mahkamah
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Kecenderungan penggunaan metode non L/C juga relatif meningkat dalam perdagangan internasional terutama di negara-negara maju mengingat biayanya relatif lebih kecil dan prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan metode L/C. Penggunaan metode non L/ C pada umumnya dilakukan dunia usaha dari perusahaan yang sama atau satu grup yang melakukan bisnis di negara yang berbeda. Para eksportir yang pembayaran hasil ekspornya didasarkan pada metode non L/C ini cenderung mengharapkan mendapatkan perlakuan yang sama dengan metode L/C pada saat menjual tagihan ekspornya kepada bank. Para eksportir mengharapkan kepastian pembayaran hasil ekspor walau didasarkan pada metode non L/C. Perlakuan pembayaran yang sama ini telah dapat diperoleh di negara lain seperti Amerika, Inggris dan Singapura. Di ketiga negara tersebut eksportir yang memiliki tagihan ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode Collection atau Open Account dapat memperoleh pembayaran segera dari bank sebagaimana umumnya dilakukan
10
Volume2Nomor 3,Desember2004
terhadap pembayaran tagihan ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode L/C.8 Dalam pelaksanaan pembayaran berdasarkan metode non L/C sudah tentu bank memerlukan perlindungan agar terhindar dari risiko non payment oleh importir di luar negeri. Berkenaan dengan itu, maka bank akan melakukan pembayaran (pengambilalihan) tagihan ekspor dengan syarat tagihan ekspor dimiliki eksportir yang bonafid atau tagihan ekspor dijamin dengan Jaminan Bank atau Jaminan Export Credit Agency.9 Pembayaran tagihan ekspor yang demikian ini belum lazim dalam praktik perbankan Indonesia. Untuk pelaksanaannya Bank Indonesia perlu mengatur dalam PBI non L/C mekanisme dan prosedur pembayaran, institusi pelaksana, institusi penjamin, biaya, ganti rugi, penipuan, pilihan hukum dan pilihan forum. Kehadiran PBI non L/C ini akan sangat membantu dan menambah kepercayaan dunia usaha Indonesia dalam melakukan perdagangan internasional yang pembayarannya menggunakan metode non L/C. Kepercayaan ini tentunya sangat diharapkan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekspor nasional. Selain itu, sama halnya dengan PBI L/C, PBI non L/C ini juga akan menjadi ketentuan hukum yang dapat digunakan lembaga peradilan untuk menyelesaikan
kasus hukum mengenai pembayaran non L/C.
metode
d. Peranan Banking Arrangement dan Memorandum of Understanding Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekspor melalui kerjasama antar bank sentral Bank Indonesia telah menendatangani sejumlah Banking Arrangement (BA) atau Memorandum of Understanding (MOU) dengan beberapa bank sentral. BA atau MOU bertujuan untuk turut membantu kelancaran pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional yang dilakukan oleh perbankan di masing-masing negara bank sentral. Bila ada ‘kemacetan’ dalam pelaksanaan metode L/C atau metode non L/C maka masing-masing bank sentral akan berupaya mengatasi kemacetan dengan melakukan pendekatan kepada bank terkait di negaranya. Namun, bila pendekatan itu kurang berhasil atau gagal sama sekali maka bank sentral tidak bertanggung jawab secara finansial. Bank sentral hanya bertanggung jawab secara moral. Bank Indonesia telah menandatangani BA atau MOU antara lain dengan bank sentral Irak, Iran, Rumania, dan Rusia.10 3.2. Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional a. Ketiadaan Ketentuan Internasional Pembiayaan perdagangan internasional belum diatur secara internasional
8
Jane Kingman-Brundage and Susan A. Schuld, Loc.Cit. Alasdair Watson, The Finance of International Trade, The Institute of Bankers, London, 1976. BPP, Loc.Cit. Goh Tianwah, Handbook on Trade Financing, Rank Books, Singapore, 1987. 9 BPP, Op.Cit., hal. 187, 294. 10 Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia , 2004.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
11
Volume2Nomor 3,Desember2004
sebagaimana halnya terhadap metode pembayaran L/C dan Collection. Oleh karena itu produk-produk pembiayaan perdagangan internasional pun bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Produk-produk metode pembiayaan perdagangan internasional di Amerika, Inggris, Singapura, dan Malaysia sebagai contoh jauh lebih berkembang dari yang ada di Indonesia. b. Perlunya Pengaturan di Indonesia Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekspor nasional maka untuk kondisi saat ini nampaknya Bank Indonesia perlu mengatur produk-produk metode pembiayaan perdagangan internasional dalam praktik perbankan Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia mengatur dalam PBI mengenai mekanisme dan prosedur pembiayaan, instrumen pembayaran, institusi pelaksana, institusi penjamin, biaya, penetapan harga, ganti rugi, penipuan, pilihan hukum, dan pilihan forum. Pengaturan produk-produk sebagaimana telah dikemukakan dalam Angka II. 2.2. dapat dilakukan secara bertahap dan dimulai dengan pengaturan fasilitas diskonto atau rediskonto atas bankers’ acceptance baik yang pembayarannya didasarkan pada metode L/C maupun Collection atau Open Account. Bankers’ acceptance adalah wesel berjangka yang diaksep oleh bank pengaksep dan membayarnya pada saat jatuh tempo. Bankers’ acceptance adalah instrumen pembayaran. Terkait dengan pembiayaan
perdagangan internasional D.P. Gupta sebagai penasehat senior di UNCTAD mengatakan: “Central banks have a dominant role to play in export financing. Yet in many developing countries their export financing functions have been passive. Many of them do not have a special scheme for developing and promoting export. Some central banks do not take an active part in assisting the export sector on the grounds that such a role is not strictly a legitimate central banking function. In a developing economy, however, a central bank should formulate its policies and gear its operations so as to find solutions to the country’s overall economic problems”.11 Di Amerika, bankers’ acceptance sudah lama berkembang. Bankers’ acceptance adalah akseptasi wesel berjangka yang dilakukan bank pengaksep dan pembayarannya dilaksanakan bank pengaksep pada saat jatuh tempo. Pembayaran bankers’ acceptance telah terjamin pada saat jatuh tempo. Bank di Amerika dapat mengaksep wesel berjangka menjadi bankers’ acceptance dan bahkan dapat juga mendiskonto bankers’ acceptance-nya sendiri. Dalam hal ini, Comptroller of the Currency di Amerika12 mengatakan: “by accepting the draft, the bank makes an unconditional promise to pay the holder of the draft a stated amount at a specified date”.
11
D.P. Gupta (The Senior Advisor, International Trade Centre), dalam International Trade Centre UNCTAD/ GATT, The Financing of Exports from Developing Countries, ITC, Geneva, 1984, hal. 16. 12 Comptroller of the Currency-Administrator of National Bank, Bankers’ Acceptance, September 1999, hal.1
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
12
Volume2Nomor 3,Desember2004
Importir Amerika dapat memohon kepada banknya untuk mendapatkan acceptance financing bila tidak dapat memperoleh pembiayaan dari eksportir luar negeri. Untuk memperoleh acceptance financing importir dan bank menyetujui acceptance agreement yang intinya adalah bahwa bank setuju mengaksep wesel berjangka untuk keperluan importir dan importir setuju membayar wesel berjangka yang diaksep bank. Atas dasar acceptance agreement importir menerbitkan wesel berjangka kepada bank dan bank mengaksepnya sehingga menjadi bankers’ acceptance dan mendiskontonya. Hasil diskonto digunakan oleh importir untuk membayar harga barang kepada eksportir.13 Bank sendiri dapat menahan bankers’ acceptance dalam portofolionya atau bank dapat merediskontonya pada pasar sekunder. Sebelum atau pada saat bankers’ acceptance jatuh tempo importir membayar kepada bank pengaksep sebesar nilai nominal bankers’ acceptance. Bila bank merediskonto bankers’ acceptance pada pasar sekunder, maka bank pengaksep membayar kepada holder sebesar nilai nominal bankers acceptance pada saat jatuh tempo.14 Selain importir, eksportir Amerika juga dapat memperoleh acceptance financing dari bank atas penjualan barangnya secara kredit kepada importir yang
memiliki reputasi internasional. Setelah menyetujui acceptance agreement eksportir menerbitkan wesel berjangka atas banknya. Bank mengaksep wesel berjangka sehingga menjadi bankers’ acceptance dan mendiskontonya.15 Dalam hal ini juga bank dapat menahan bankers’ acceptance hingga jatuh tempo atau merediskontonya pada pasar sekunder. Sebelum atau pada saat jatuh tempo eksportir membayar kepada bank pengaksep sebesar nilai nominal bankers’ acceptance. Bila bank pengaksep merediskonto bankers’ acceptance pada pasar sekunder maka bank pengaksep akan membayar kepada holder sebesar nilai nominal bankers’ acceptance pada saat jatuh tempo.16 Sesuai dengan Federal Reserve Act 1913, as amended, bankers’ acceptance juga dapat didiskontokan pada Federal Reserve jika memenuhi kriteria: 1. Banker’s acceptance harus membiayai transaksi impor atau ekspor, pengapalan barang dalam negeri dan transaksi devisa. 2. Banker’s acceptance memiliki jangka waktu tidak melebihi enam bulan. 3. Total nilai wesel yang diaksep bank tidak boleh melampaui sepuluh persen dari jumlah modal bank ditambah surplus.
13
Robert K. LaRoche, “Bankers Acceptances”, Federal Reserve Bank of Richmond – Economic Quarterly, Volume 1993, hal. 75-6. Tulisan ini dipublikasikan kembali oleh Federal Reserve Bank of Richmond, Virginia, 1998. Ia mengatakan: ‘A bankers acceptance, or BA, is a time draft drawn on and accepted by a bank’ 14 Ibid, hal. 76. 15 Ibid. 16 Ibid.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
13
Volume2Nomor 3,Desember2004
Ketentuan diskonto bankers’ acceptance di Amerika bertujuan memperbaiki likuiditas pasar banker’s acceptance sehingga mendorong pertumbuhan perdagangan internasionalnya. Pada awalnya selama bertahun-tahun Federal Reserve Bank membeli banker’s acceptance di pasar (open market) dengan tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar.17 Federal Reserve Bank saat itu tidak mendiskonto bankers’ acceptance yang ditawarkan bank pengaksep sebagaimana diharapkan Congress Amerika. Pada kurun waktu 1925 hingga 1931 bankers’ acceptance membiayai impor dan ekspor Amerika rata-rata sepertiga dari total impor dan ekspor. Bahkan pada tahun 1931 bankers’ acceptance membiayai perdagangan internasional Amerika hampir setengah dari total nilai perdagangan 18 internasionalnya. Pada tahun 1932 dukungan Federal Reserve Bank terhadap pasar bankers’ acceptance menurun tajam. Pada kurun waktu pertengahan 1943 hingga akhir 1946 peranan Federal Reserve Bank di pasar bankers’ acceptance sangat berkurang. Kemudian, mulai pada tahun 1955 peranan Federal Reserve Bank dalam pasar bankers’ acceptance kembali meningkat ketika Federal Open Market Committee memberi kewenangan kepada Federal Reserve Bank of New York untuk melakukan repurchace agreement atas
bankers’ acceptance dan melakukan jual beli bankers’ acceptance sesuai dengan tingkat bunga pasar sebagai upaya melaksanakan keputusan Committee di bidang kebijakan moneter. 19 Saat itu bankers’ acceptance digunakan sebagai instrumen moneter juga. Pada tahun 1970an Federal Reserve Bank menetapkan bahwa pasar bankers’ acceptance telah matang dan telah dapat berdiri sendiri. Federal Reserve Bank pun pelan-pelan menarik dukungannya terhadap pasar bankers’ acceptance dan sejak tahun 1984 telah berhenti melakukan jual beli bankers’ acceptance untuk kepentingannya sendiri. Namun, bankers’ acceptance dapat digunakan sebagai kolateral untuk mendapatkan fasilitas tertentu dari Federal Reserve Bank. 20 Banker’s acceptance yang diciptakan bank-bank diatur oleh Federal Reserve System. Sama dengan Amerika, di Inggris bankbank juga dapat melakukan akseptasi atas wesel berjangka menjadi bankers’ acceptance. Bankers’ acceptance merupakan wesel berjangka yang dijamin pembayarannya oleh bank pengaksep pada saat jatuh tempo. 21 Dikatakan: bankers’ acceptance dapat dijual dengan diskonto ke discount market yang pembeli dan penjualnya adalah bank, dunia usaha dan perorangan. Bank pengaksep dapat juga bertindak sekaligus sebagai bank
17
Ibid, hal. 80. Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Bandingkan, Robert K. LaRoche, Ibid., hal. 75. 18
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
14
Volume2Nomor 3,Desember2004
pendiskonto. Bila bank ini memerlukan likuiditas maka bankers’ acceptance dapat didiskonto ke discount market.22
Bankers’ acceptance dapat berupa wesel berjangka yang diterbitkan importir atau eksportir. Importir menerbitkan wesel Namun, bankers’ acceptance juga dapat berjangka atas kemungkinan penerimaan dijual secara diskonto ke Bank of England hasil penjualan barang impor dan diaksep dengan tingkat diskonto yang lebih menarik oleh bank pengaksep menjadi bankers’ dibanding dengan tingkat diskonto yang acceptance. Sementara, eksportir diberikan discount market. Tetapi, tidak menerbitkan wesel berjangka atas hasil semua bankers’ acceptance dapat penjualan barang ekspor dan kemudian menjadi didiskontokan ke Bank of England. Bank diaksep oleh bank pengaksep 25 bankers’ acceptance. of England secara periodik menentukan bank-bank yang bankers’ acceptance-nya Sama dengan Amerika dan Inggris, dapat didiskontokan ke Bank of England. Malaysia juga memiliki pasar uang untuk Per 15 Desember 2003 bank yang bankers’ acceptance. Bankers’ bankers’ acceptance-nya dapat acceptance digunakan untuk membiayai didiskontokan ke Bank of England transaksi impor dan ekspor serta berjumlah 51 bank yang antara lain adalah perdagangan dalam negeri Malaysia. ABN AMRO Bank NV, BNP Paribas, Banker ’s Acceptance juga dapat Dresdner Bank AG, Deutsche Bank AG, didiskonto atau dirediskonto pada pasar HSBC Bank plc, Lloyds TSB Bank plc dan sekunder dengan suku bunga yang Royal Bank of Canada yang ada di Inggris. menarik. Diskonto dapat dilakukan atas Bank of England membeli bankers’ transaksi impor dan ekspor baik yang acceptance dalam rangka money market pembayarannya menggunakan metode L/ operation. Selain membatasi jumlah bank C maupun metode non L/C. Banker’s yang eligible Bank of England juga acceptance diatur oleh Bank Negara membatasi nilai bankers’ acceptance per Malaysia.26 bank.23 Selain fasilitas diskonto, Bank of Untuk transaksi impor, importir Malaysia England juga menyediakan fasilitas dapat memperoleh acceptance financing rediskonto kepada bank-bank yang berdasarkan acceptance agreement eligible bila bank-bank itu disamping yang disepakati terlebih dahulu antara mengaksep juga mendiskonto wesel importir dan banknya. Dalam acceptance berjangka.24
22
Fiona Collinson, Michael Giddings and Malcolm Sullivan, Financial Products: A Survival Guide, Euromoney Publications PLC, London, 1996, hal. 51. 23 Bank of England, “Banks Whose Bankers’ Acceptance are Eligible for Discount at the Bank of England”, 15 December 2003. 24 Fiona, Michael Giddings, Malcolm Sullivan, Loc.Cit. 25 Ibid. 26 Abdul Latiff Abdul Rahim, Guide to Bankers Acceptance and Export Credit Refinancing, Institute of Bankers Malaysia, Pelanduk Publications, Malaysia, Oktober 1990, hal. 2 – 14.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
15
Volume2Nomor 3,Desember2004
agreement itu ditentukan credit line untuk importir. Sebagai syarat lainnya maka importir wajib menerima wesel tunai dari eksportir luar negeri. Setelah isu acceptance agreement dan wesel tunai selesai maka importir menerbitkan wesel berjangka kepada bank untuk diaksep menjadi bankers’ acceptance dan mendiskontonya atau meminta bank lain mendiskontonya. Hasil diskonto atas bankers’ acceptance digunakan untuk membayar wesel tunai yang diterbitkan eksportir luar negeri. Ketika jatuh tempo bankers’ acceptance importir membayar kepada bank pengaksep sebesar nilai nominal bankers’ acceptance. 27 Kemudian untuk ekspor, eksportir Malaysia juga dapat memperoleh fasilitas bankers’ acceptance. Dasar pemberiannya juga adalah acceptance agreement antara eksportir dan banknya. Setelah acceptance agreement disepakati maka eksportir menerbitkan wesel berjangka (export bill) yang tertariknya adalah importir di luar negeri. Export bill ini diserahkan kepada bank untuk ditagihkan pada waktunya. Kemudian, eksportir menerbitkan wesel berjangka (‘accommodation bill) kepada bank untuk diaksep menjadi bankers’ acceptance dan mendiskontonya atau meminta bank lain mendiskontonya. Hasil diskonto atas bankers’ acceptance diberikan kepada eksportir. Ketika export bill jatuh tempo bank pengaksep menerima pembayaran dari importir
sebagai pengganti dana bank pengaksep yang telah diberikan kepada eksportir.28 Di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia menyediakan fasilitas rediskonto kepada semua bank devisa yang mendiskonto wesel ekspor berjangka yang diterbitkan eksportir.29 Pada saat itu, semua bank devisa yang telah mendiskonto wesel ekspor berjangka dapat merediskonto tagihan ekspor tersebut dengan menerbitkan wesel bank (bank’s draft) tanpa membatasi limit per masing-masing bank. Tujuan fasilitas rediskonto Bank Indonesia saat itu adalah untuk mendorong pertumbuhan ekspor dan sekaligus memupuk cadangan devisa. Menurut data Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan Mei 1999 melalui fasilitas rediskonto Bank Indonesia berhasil mengumpulkan devisa hasil ekspor sebesar USD 23,2 miliar. Namun, dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 penyediaan fasilitas rediskonto dihentikan oleh Bank Indonesia karena dianggap bertentangan dengan undang-undang tersebut. Sebenarnya dalam upaya Bank Indonesia mendorong pertumbuhan ekspor maka fasilitas diskonto dan rediskonto atas bankers’ acceptance seperti yang terdapat di Amerika, Inggris, dan Malaysia dapat diterapkan di Indonesia dengan modifikasi. Bank Indonesia dapat menentukan bank pengaksep yang eligible untuk mengaksep wesel dalam hal ini wesel ekspor
27
Ibid, hal. 9-10. Ibid, hal. 10. 29 Lihat, Direktorat Luar Negeri - Bank Indonesia, Kajian Kemungkinan Penerapan Skim Rediskonto Wesel Ekspor, Jakarta, Desember 2003, hal. 5. 28
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
16
Volume2Nomor 3,Desember2004
berjangka sehingga menjadi bankers’ acceptance. Biaya akseptasi bank ditentukan oleh Bank Indonesia secara periodik yang besarnya di bawah tingkat bunga pasar. Untuk bankers’ acceptance yang pembayarannya atas dasar metode Collection dan Open Account agar sebelum dilakukan akseptasi perlu dijamin terlebih dahulu dengan Jaminan Bank atau Jaminan PT. Asuransi Ekspor Indonesia. Besarnya biaya penjaminan juga ditetapkan Bank Indonesia secara periodik yang besarnya juga di bawah biaya pasar. Sementara, untuk wesel berjangka yang pembayarannya atas dasar metode L/C, wesel ekspor berjangka dapat langsung diaksep menjadi bankers’ acceptance, kecuali reputasi bank penerbit diragukan. Bankers’ acceptance dapat didiskonto atau dirediskonto oleh bank pengaksep kepada PT Bank Ekspor Indonesia (Persero)30 atau Bank Indonesia dengan tingkat bunga yang lebih menarik dari tingkat bunga pasar. Tetapi, bank pengaksep juga dapat mendiskonto sendiri bankers’ acceptance-nya atau mendiskonto bankers’ acceptance kepada bank pendiskonto tersendiri. Selain itu, PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) dapat juga merediskonto bankers’ acceptance kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia mendiskonto atau merediskonto bankers’ acceptance untuk kepentingannya sendiri adalah dalam upaya pengelolaan cadangan devisa dan pengembangan pasar bankers’ acceptance untuk mendorong
pertumbuhan ekspor. Dan, Bank Indonesia dapat membatasi nilai bankers’ acceptance per masing-masing bank pengaksep sesuai dengan kebijakan devisa Bank Indonesia. Pada saat bankers’ acceptance jatuh tempo Bank Indonesia akan mencairkannya kepada bank pengaksep bukan kepada pihak tertarik wesel. Kegiatan Bank Indonesia ini merupakan kegiatan jual beli wesel dalam rangka pemupukan cadangan devisa sehingga tidak bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 1999 yang melarang Bank Indonesia memberikan kredit atau pembiayaan kepada perbankan atau kepada dunia usaha melalui perbankan. Sementara, PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) melakukan transaksi diskonto atau rediskonto dalam rangka pengembangan pasar bankers’ acceptance untuk mendorong pertumbuhan pembiayaan perdagangan internasional yang akan mendorong pula pertumbuhan perdagangan internasional terutama ekspor. PT Bank Ekspor Indonesia dapat mencairkan bankers’ acceptance pada saat jatuh tempo kepada bank pengaksep atau pihak tertarik. Sesuai data Direktorat Luar Negeri, rata-rata nilai wesel ekspor berjangka yang diambil alih bank dari eksportir pada periode Juni 2002 sampai dengan Januari 2003 mencapai USD 281,9 juta per bulan. 3.3. Forum Arbitrase Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dalam pelaksanaan metode
30
Pelaksanaan diskonto dan rediskonto bankers’ acceptance oleh PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) sebaiknya diatur dalam Undang-undang PT Bank Ekspor Indonesia (Persero).
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
17
Volume2Nomor 3,Desember2004
pembayaran dan metode pembiayaan perdagangan internasional diperlukan forum peradilan untuk pemeriksaannya. Forum peradilan ini dapat berupa Arbitrase. Arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa bisnis di luar peradilan umum. Arbitrase merupakan alternatif terhadap forum peradilan umum yang telah dikenal secara tradisional. Dunia usaha yang berasal dari negara maju cenderung memilih Arbitase untuk menyelesaikan perselisihan bisnis baik dengan rekan bisnis yang sama-sama berasal dari negara maju maupun dengan rekan bisnis yang berasal dari negara berkembang. Bahkan khusus untuk menangani perselisihan mengenai pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional, International Chamber of Commerce telah mendirikan ‘Arbitrase tersendiri’, di luar ICC International Court of Arbitration, yang ditangani oleh para ahli metode pembayaran perdagangan internasional. Dunia bisnis di Indonesia juga sudah relatif banyak menggunakan Arbitrase terutama sejak diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) pada tanggal 12 Agustus 1999. Di bidang Pasar Modal di Indonesia telah ada forum Arbitrase tersendiri, dan demikian juga di bidang perdagangan Komoditi Berjangka bahkan di bidang Perbankan Syariah. Kontrak Asuransi Kerugian juga sudah memuat klausul Arbitrase.
31
Arbitrase cenderung dipilih para pelaku bisnis internasional karena para arbitrator merupakan orang yang ahli di bidangnya dan dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau berbeda pendapat. Selain itu, pemeriksaan Arbitrase bersifat tertutup, relatif cepat dan relatif murah. Putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat dan tidak dipublikasikan sehingga reputasi para pihak tetap terjaga.31 Ciri-ciri positif Arbitrase itu pada dasarnya tidak ditemukan pada peradilan umum. Namun, kelemahan arbitrase adalah jika putusannya tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah, maka perlu dimintakan penetapan pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut. Berkenaan dengan Arbitrase untuk metode pembayaran dan pembiayaan perdagangan internasional sudah saatnya Bank Indonesia melakukan pengaturan dalam bentuk PBI Arbitrase sebagai tindak lanjut dari UU Arbitrase yang berlaku saat ini. Pengaturan ini pada pokoknya meliputi penentuan arbitrator, jenis Arbitrase, ketentuan acara Arbitrase, mekanisme pelaksanaan putusan Arbitrase dan biaya Arbitrase. Khusus untuk arbitrator agar diatur bahwa arbitrator terdiri dari wakil Bank Indonesia, perbankan, ahli perbankan atau ahli hukum perbankan. Pengaturan Bank Indonesia melalui PBI Arbitrase ini akan turut memperlancar pelaksanaan metode pembayaran dan pembiayaan perdagangan internasional yang berarti turut juga memperlancar pelaksanaan perdagangan internasional.
Lihat Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
18
Volume2Nomor 3,Desember2004
3.4. Kerjasama antar Lembaga
internasional merupakan suatu kebutuhan pasar dalam rangka turut mewujudkan pertumbuhan perdagangan internasional khususnya ekspor. Bank Indonesia dalam hal ini Direktorat Luar Negeri sedang memprakarsai penyusunan PBI L/C yang materinya pada dasarnya telah disesuaikan dengan kebutuhan perbankan dan dunia usaha dalam melaksanakan transaksi L/C sehari-hari.
Dalam membuat semua PBI yang disebutkan di atas adalah suatu kebutuhan untuk membahasnya dalam forum kerjasama antar lembaga atau instansi yang terdiri dari asosiasi perbankan, perbankan, asosiasi eksportir, asosiasi importir, KADIN, Depperindag, Depkeh dan HAM, Mahkamah Agung dan Perguruan Tinggi. Sehingga, substansi semua PBI menjadi sesuai dengan kebutuhan pasar.
Dalam pembahasan konsep PBI L/C saat 2. Pengaturan Bank Indonesia atas metode pembiayaan perdagangan ini yang diprakarsai Bank Indonesia dalam internasional juga merupakan suatu hal ini Direktorat Luar Negeri kerjasama kebutuhan pasar dalam rangka turut antar lembaga tersebut telah dilaksanakan mewujudkan pertumbuhan ekspor. dengan baik sehingga hasilnya telah Di Amerika, Inggris, Singapura dan mencerminkan kebutuhan pasar, bukan Malaysia metode pembiayaan kebutuhan Bank Indonesia semata. Dalam perdagangan internasional telah pembahasan ini wakil perbankan, berkembang jauh bila dibandingkan Perbanas, KADIN, Depperindag, Depkeh dengan Indonesia. Secara khusus, dan HAM dan Mahkamah Agung pasar bankers’ acceptance d i merupakan anggota tim yang bersama Amerika, Inggris, dan Malaysia telah dengan Bank Indonesia melakukan berkembang dengan baik dalam pembahasan intensif atas konsep PBI L/ rangka membiayai perdagangan C tersebut. Pembahasan yang demikian internasional ketiga negara tersebut. ini akan mencapai tujuan penerbitan PBI L/C yaitu membantu memperlancar 3. Pengaturan Bank Indonesia untuk pelaksanaan metode pembayaran pembentukan forum Arbitrase untuk perdagangan internasional demi menyelesaiakan perselisihan yang mendukung pertumbuhan perdagangan timbul dalam pelaksanaan metode internasional. pembayaran dan metode pembiayaan perdagangan internasional adalah juga IV. KESIMPULAN DAN SARAN suatu kebutuhan pasar dan akan turut Berdasarkan uraian-uraian di atas maka memperlancar pelaksanaan dapat ditarik beberapa butir kesimpulan perdagangan internasional. dan saran sebagai berikut : 4.2. S a r a n 4.1. Kesimpulan 1. Bank Indonesia sudah saatnya 1. Pengaturan Bank Indonesia atas mengatur dengan PBI metode metode pembayaran perdagangan pembayaran L/C dan non L/C
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
19
Volume2Nomor 3,Desember2004
khususnya Open Account dan Collection guna mendukung kelancaran pelaksanaan perdagangan internasional terutama kegiatan ekspor. Kebutuhan perbankan dan dunia usaha hendaknya menjadi dasar utama penyusunan materi PBI dengan tetap memperhatikan ketentuan internasional yang ada.
transaksi bankers’ acceptance di Amerika, Inggris, dan Malaysia yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan perdagangan internasional kiranya dapat dicontoh dengan modifikasi sesuai kondisi pasar di Indonesia. Kegiatan diskonto atau rediskonto atas bankers” acceptance itu kiranya juga dapat dimanfaatkan oleh Bank Indonesia sebagai kegiatan menambah cadangan devisa.
2. Bank Indonesia juga sudah saatnya mengatur dengan PBI metode 3. Bank Indonesia sebaiknya mengatur pembiayaan perdagangan pembentukan forum Arbitrase dengan internasional khususnya fasilitas PBI untuk memeriksa perselisihan diskonto atau rediskonto atas bankers’ yang mungkin terjadi dalam acceptance untuk membiayai pelaksanaan metode pembayaran dan perdagangan internasional Indonesia metode pembiayaan perdagangan terutama kegiatan ekspor. Pola internasional. Para arbitrator hendaknya berasal dari kalangan Bank Indonesia, perbankan, ahli perbankan, atau ahli hukum perbankan.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
20
Volume2Nomor 3,Desember2004
KSP MODEL BARU ATAU PEMBERDAYAAN BANK KOPERASI? (PEMBAHASAN TERHADAP DRAFT RUU AMANDEMEN UU KOPERASI BERKENAAN DENGAN PENGATURAN KOPERASI SIMPAN PINJAM)*) oleh: Agus Santoso, SH, LL.M**)
I. PENDAHULUAN Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengajukan rancangan Bab mengenai simpan pinjam (KSP) dalam draft RUU Koperasi. Menarik untuk dikemukakan bahwa pokok-pokok pikiran mengenai KSP dalam rancangan ini sangat berbeda karakteristiknya dengan KSP yang dikenal selama ini, terutama karena design pengaturan KSP dalam draft RUU dimaksud adalah berupa KSP yang karakteristiknya dapat menjadi lembaga intermediary, lengkap dengan design pengawasan, pengaturan rahasia simpanan dan pinjaman KSP, dan lembaga rehabilitasi KSP. Design baru ini diilhami oleh Model Law for Credit Union yang dikembangkan oleh World Council for Credit Union (WOCCU).1 Pertanyaannya, apakah KSP model WOCCU ini tepat untuk diimplementasikan di Indonesia? Bagaimana keterkaitannya dengan keselarasan hukum di bidang
lembaga keuangan yang telah ada? Apakah Indonesia perlu membentuk lagi suatu design baru di bidang perkoperasian, ataukah lebih baik mengembangkan dan memberdayakan KSP dengan format “lama”, yaitu dalam format yang sesuai dengan hakekat koperasi “dari anggota dan untuk anggota”, serta mengembangkan dan memberdayakan lembaga bank koperasi atau pemilikan bank oleh koperasi sebagaimana yang telah diatur di dalam UU Perbankan2? Untuk memulai menganalisis pertanyaan ini, pertama-tama perlu dikemukakan bahwa dalam sistem keuangan Indonesia dewasa ini, lembaga keuangan yang dominan adalah bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga perbankan, yang merupakan lembaga intermediary, terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang diatur dalam UU Perbankan dan UUBI. Otoritas
*) Makalah disampaikan sebagai Pembahas dalam Diskusi Nasional Pembahasan RUU Koperasi Mengenai Ketentuan Simpan Pinjam, Hotel Aryaduta Jakarta, tanggal 13 Oktober 2004. **) Analis Hukum Senior Direktorat Hukum Bank Indonesia. 1 Lihat Prijadi Atmaja, Model Peraturan Perundangan tentang Simpan Pinjam Koperasi yang merupakan terjemahan dari Model Law for credit Union dengan editor Dave Grace dan Brian Branch, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), 2004. Pada Pengantar pengalih Bahasa di halaman iii, dijelaskan bahwa dalam penerjemahan ini, istilah credit union diterjemahkan sebagai koperasi simpan pinjam. 2 Yang dimaksud dengan UU Perbankan adalah UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
21
Volume2Nomor 3,Desember2004
pengawas dan Pembina bank berdasarkan kedua UU tersebut adalah Bank Indonesia.3 Sedangkan lembaga keuangan bukan bank (bukan lembaga intermediary) diatur dalam beberapa produk perundang-undangan, yaitu UU No.11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, PP No.7 Tahun 1969 jo PP No.10 Tahun 1990 tentang Perum Pegadaian, Keputusan Menteri Keuangan No. 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura, serta Keputusan Menteri Keuangan No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan yang meliputi meliputi kegiatan usaha: (1) Sewa Guna Usaha (leasing); (2) Anjak Piutang (factoring); (3) Usaha Kartu Kredit (credit card); dan (4) Pembiayaan Konsumen (consumer finance).4 Otoritas pengawas lembaga keuangan bukan bank adalah Departemen Keuangan. Disamping kedua lembaga keuangan tersebut, ada juga lembaga penyedia jasa keuangan lain, seperti kantor pos dalam hal pelayanan simpanan dan transfer dana (yang otoritas pengawasnya adalah Menparpostel), serta koperasi simpan pinjam atau KSP (yang otoritas pengawasnya adalah Kementerian Koperasi dan UMKM). Oleh karena itu, berkenaan dengan adanya keinginan dari Kementerian Koperasi dan UMKM untuk membentuk KSP model baru, yaitu sebagai lembaga intermediary, maka
relevan pula untuk mengkaji lebih lanjut tentang ide KSP sebagai lembaga intermediary ini dikaitkan dengan tujuan dasar dari koperasi, serta kajian hukum mengenai pertanyaan apakah pengaturan hukum positif bahwa badan hukum koperasi dapat berkiprah sebagai bank tidak mencukupi.
II. DALAM SISTEM KEUANGAN INDONESIA BANK ADALAH SATUSATUNYA LEMBAGA INTERMEDIASI Dari uraian mengenai sistem keuangan di Indonesia di atas, dapat diketahui, bahwa bank adalah satu-satunya lembaga intermediasi. Tidak ada lembaga selain bank yang diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat. UU Perbankan menegaskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.5 Berdasarkan Pasal 5 UU Perbankan, ada 2 (dua) jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 6 Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang
3
Lihat Pasal 29 UU Perbankan jo Pasal 8 huruf (c) UU BI. Lihat Pasal 1 KMK No. 448/KMK.017/2000. 5 Lihat Pasal 1 angka (2) UU Perbankan. 6 Lihat Pasal 1 angka (3) UU Perbankan. 4
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
22
Volume2Nomor 3,Desember2004
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.7 Jadi, usaha bank secara mendasar berbeda dari usaha KSP, yang sesuai dengan azas perkoperasian tugasnya adalah menghimpun dana dari anggota dan menyalurkannya untuk anggota. Mengingat bank mengelola dana masyarakat dan kelangsungan usaha bank sangat tergantung pada terpeliharanya tingkat kepercayaan masyarakat (public confidence), maka dalam UU Perbankan diatur bahwa bank harus tunduk pada aturan-aturan yang ketat (heavily regulated), khususnya dalam rangka terpeliharanya tingkat kesehatan bank.8 Berkenaan dengan itu, berdasarkan Pasal 29 UU Perbankan jo Pasal 8 huruf (c) UUBI, lembaga yang oleh UU diberi kewenangan (otoritas) untuk menyelenggarakan pengaturan bank, perijinan, pengawasan dan pengenaan sanksi terhadap bank adalah Bank Indonesia (bank sentral). Kemudian, dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, sistem perbankan Indonesia didukung 6 (enam) pilar, yaitu (1) struktur perbankan yang
sehat; (2) sistem pengaturan yang efektif; (3) sistem pengawasan yang independen dan efektif; (4) industri perbankan yang kuat; (5) infrastruktur pendukung yang mencukupi; dan (6) perlindungan konsumen.9 Sangat ketatnya sistem regulasi (termasuk pengaturan permodalan dan likuiditas bank) dan pengawasan bank yang berbeda dengan regulasi dan pengawasan KSP yang lebih longgar menjadikan level playing field dari kedua lembaga penyedia jasa keuangan ini harus dibedakan, karena jika level playing fieldnya sama padahal tingkat keketatan regulasi dan pengawasannya berbeda, maka tentu bank tidak akan mampu berkompetisi secara sehat dengan KSP. Untuk mendukung terwujudnya sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien itu, maka entry policy menjadi hal yang sangat krusial. Mengenai hal ini, Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan mengatur pula bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Penjelasan dari Pasal 16 ayat (1) tersebut menguraikan bahwa kegiatan
7
Lihat Pasal 1 angka (4) UU Perbankan. Lihat Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan. Berkenaan dengan itu, Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan mengatur bahwa kewajiban untuk memelihara tingkat kesehatan bank dilakukan dengan menaati ketentuan berkenaan dengan (1) kecukupan modal; (2) kualitas aset; (3) kualitas manajemen; (3) likuiditas; (4) rentabilitas; (5) solvabilitas; dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank; serta wajib melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip kehati-hatian (prudent). 9 Keenam pilar ini merupakan kerangka dasar visi pembangunan sistem perbankan Indonesia atau dikenal pula sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia atau API. 8
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
23
Volume2Nomor 3,Desember2004
menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu, maka dalam Pasal 16 ayat (1) ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat. Selanjutnya, penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan menguraikan bahwa di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembagalembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1), karena kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembagalembaga tersebut diatur dengan undangundang tersendiri. Selain pengaturan yang tegas dan lugas untuk memastikan ditaatinya entry policy, UU Perbankan juga berupaya untuk menjaga integritas sistem perbankan nasional dengan memberikan ancaman pengenaan sanksi pidana terhadap pihakpihak yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia. Mengenai hal ini, Pasal 46 ayat (1) menyatakan: “Barangsiapa yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)”. Selanjutnya, ayat (2) Pasal 46 berbunyi: “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah, melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya”. Mengenai implementasi kedua pasal di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam praktiknya, di berbagai daerah, banyak perkara pidana yang terjadi sebagai akibat penuntutan terhadap KSP yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 16 UU Perbankan, sehingga dituntut pidana atas dasar Pasal 46 UU Perbankan. Pada umumnya, KSP tersebut melayani penghimpunan simpanan non anggota dengan cara memperlakukannya sebagai calon anggota, namun sifat dari calon anggota tersebut ternyata permanen atau tidak pernah dicatat menjadi anggota, sehingga praktik seperti ini menyalahi ketentuan PP No. 9 Tahun 1995 yang mengatur bahwa calon anggota koperasi dalam jangka waktu 3 bulan setelah
24
Volume2Nomor 3,Desember2004
melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota.
III.
KOPERASI DAN BANK
Apabila dalam sistem keuangan Indonesia yang dapat melakukan kegiatan usaha intermediasi hanyalah bank, maka pertanyaannya tentunya, apakah koperasi dapat berkiprah di sektor perbankan. Mengenai hal ini, UU Perbankan mengatur bahwa: Bank Umum atau BPR diperbolehkan dalam bentuk badan hukum Koperasi (vide Pasal 21 UU Perbankan); selanjutnya Berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 23 UU Perbankan, Bank Umum atau BPR dapat didirikan dan dimiliki oleh Koperasi. Selanjutnya, penegasan bahwa Koperasi sebagai pendiri PT diperkenankan oleh Dirjen Bina Lembaga Koperasi (vide Surat Dirjen Bina Lembaga Koperasi Indonesia No.1627/BLK/XII/1984 tanggal 12 Desember 1984 yang ditujukan kepada Dirjen Kumdang Departemen Kehakiman). Dari surat tersebut dapat diketahui bahwa Koperasi yang telah berbadan hukum dapat ikut serta sebagai pendiri PT dalam rangka kerjasama dengan pihak ketiga, dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Koperasi. Kerjasama tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan asas dan sendi-sendi dasar Koperasi. Dengan demikian, maka UU Perbankan dan produk perundang-undangan di bidang perkoperasian pada dasarnya telah membuka peluang yang sangat luas
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
bagi koperasi untuk berkiprah di sektor perbankan, sehingga ditinjau dari sistem hukum, sebenarnya tidak diperlukan pengaturan perundang-undangan yang bersifat membuka peluang bagi KSP untuk diberi peran selaku lembaga intermediasi baru. Dengan perkataan lain, apabila koperasi ingin memiliki peran sebagai lembaga intermediasi, maka koperasi itu dapat mengajukan permohonan izin usaha sebagai bank kepada Bank Indonesia atau menjadi pemilik suatu bank (dalam hal koperasi ingin berkiprah di sektor perbankan). Dalam praktiknya, pernah ada 1 (satu) bank umum yang berbadan hukum Koperasi, yaitu Bank Umum Koperasi Indonesia atau Bukopin, namun sayang sekali bank tersebut telah mengubah bentuk hukumnya menjadi perseroan terbatas (PT). Alasannya badan hukum PT dirasakan lebih luwes dalam rangka upaya peningkatan modal dan lebih memberikan kejelasan mengenai pertanggung jawaban pemilik/pengurusnya. Patut dikemukakan bahwa pemegang saham PT Bank Bukopin saat ini sebagian besar adalah Koperasi. Selain itu, perlu dikemukakan pula bahwa apabila kita melihat badan hukum BPR, ternyata dewasa ini masih banyak BPR yang berbadan hukum Koperasi. Dilihat dari keragaan (performance) usahanya, dari 43 sample BPR yang berbadan hukum Koperasi yang diambil secara acak, dapat diketahui bahwa pada umumnya keragaan usahanya cukup baik, yaitu dalam pengertian bahwa BPR dimaksud dapat mencapai laba (yaitu sebanyak 41 BPR Koperasi), dan dapat memberikan kredit kepada masyarakat dengan rasio LDR
25
Volume2Nomor 3,Desember2004
yang relatif di atas rata-rata tingkat LDR berdasarkan konsep usaha bersama nasional yang pada saat ini berkisar antara berdasarkan atas asas kekeluargaan dan 50%. demokrasi ekonomi cenderung Namun demikian, apabila ada complain membatasi dirinya dalam berusaha, sehingga badan hukum itu dianggap bahwa seolah-olah bank dengan badan 11 hukum koperasi hanya dapat berkiprah kurang menguntungkan. sebagai secondary bank seperti halnya BPR (bukan bank umum), maka barangkali ada baiknya kita menelaah beberapa kelemahan badan hukum koperasi yang beroperasi di Indonesia, khususnya berkenaan dengan kiprah koperasi di sektor perbankan. Pertama-tama, kiranya patut dikemukakan bahwa Koperasi pada hakekatnya adalah kumpulan orang (bukan konsentrasi modal) yang memiliki kepentingan ekonomi yang sama, melakukan usaha berdasarkan prinsip-prinsip koperasi. Oleh karena itu, tujuan utama dari kegiatan usaha koperasi tentunya adalah untuk kepentingan kesejahteraan anggotanya, misalnya pelayanan yang baik, bukan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sebagaimana halnya perusahaan yang bermotifkan keuntungan (profit oriented).10 Berkenaan dengan dianutnya konsep itu, mungkin para pengusaha di Indonesia berpendapat bahwa melakukan bisnis dengan badan hukum koperasi
Selanjutnya, kiranya dapat pula disampaikan hasil penelitian hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2002 tentang badan hukum koperasi di sektor perbankan.12 Beberapa hal yang dianggap sebagai kendala berkembangnya bank koperasi antara lain adalah: adanya pembatasan dari konsep tujuan berkoperasi itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan anggota. Dapat terjadi bahwa prioritas pelayanan bank akan lebih diutamakan kepada anggota koperasi. Akibatnya, bank ini akan sulit bersaing dengan bank lainnya. Berbeda dengan pendirian PT yang mengatur minimal modal 13 , di dalam pendirian Koperasi tidak ada ketentuan minimal modal Koperasi. Pasal 41 UU Perkoperasian hanya menentukan bahwa modal Koperasi terdiri atas modal sendiri dan modal pinjaman, sedangkan besarnya modal dasar tidak ditentukan. Selain itu, kendala untuk cepat tersedianya tambahan modal apabila bank-nya memerlukan juga
10
Mengenai hal ini, Pasal 3 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 11 Bandingkan dengan Pasal 4 huruf (d) UU Perkoperasian yang menyebutkan mengenai konsep usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. 12 Penelitian hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Direktorat Hukum Bank Indonesia, 2002. 13 Lihat Pasal 25 UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), modal minimal pendirian PT adalah Rp.25.000.000,00.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
26
Volume2Nomor 3,Desember2004
seringkali dihadapi. Hal ini mengingat, pada Koperasi untuk menambah modal dilakukan dengan menambah simpanan anggota atau meminjam (dari bank). Peningkatan simpanan belum tentu disetujui seluruh anggota, sedangkan pinjaman, biasanya harus ada agunan yang belum tentu dimiliki Koperasi. Berdasarkan UU No.3 tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Koperasi tidak termasuk dalam pengertian “Perusahaan”. Hal ini disebabkan berbedanya syarat pendaftaran Koperasi dengan PT, dimana pada Koperasi tidak didaftarkan pada Daftar Perusahaan, padahal pendaftaran pada Daftar Perusahaan merupakan indikasi bahwa badan tersebut akan menjalankan kegiatan perusahaan. Pada Koperasi, setelah Akta Pendirian Koperasi disahkan, kemudian didaftarkan dalam Daftar Umum yang disediakan untuk itu di kantor pejabat dengan dibubuhi tanggal, nomor, serta tanda tangan pejabat. Akta Pendirian Koperasi yang telah disahkan diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh pejabat yang mengesahkan.14 (Beradasarkan hasil penelitian FH UGM, pada Koperasi, meskipun ada perintah untuk pengumuman, tetapi jarang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, karena faktor biaya).15 Sedangkan pada pendaftaran PT, setelah semua syarat pendirian dipenuhi
dan Akta Pendirian PT sudah selesai dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris, maka Akta Pendirian PT tersebut harus dimohonkan pengesahan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh status badan hukum.16 Jika permohonan dikabulkan, maka Direksi wajib mendaftarkan Akta Pendirian beserta SK Pengesahan dari Menteri Kehakiman di dalam Daftar Perusahaan sebagaimana yang dimaksud oleh UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dalam jangka waktu 30 hari setelah pengesahan Menteri diberikan.17 Setelah dilakukan pendaftaran, direksi wajib mengajukan permohonan ke Kantor Percetakan Negara agar PT tersebut diumumkan di dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia paling lambat 30 hari setelah PT didaftarkan. Selama pengumuman belum dilakukan, Direksi bertanggung jawab secara penuh atas semua tindakan hukum yang telah dilakukan atas nama PT.18 Selain itu, dalam kaitannya dengan bentuk badan hukum kepemilikan bank, pendirian PT dengan akta otentik lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan akta di bawah tangan pada Koperasi. Adanya keterbatasan profesionalitas dan kompetensi dalam rangka memilih Pengurus dan Pengawas Koperasi, karena mereka harus dipilih dari dan oleh anggota.19
14
Lihat Pasal 10 ayat (3) UU Perkoperasian. Hasil penelitian FH UGM tahun 2002, Penelitian Hukum kerjasama antara FH UGM dengan Direktorat Hukum Bank Indonesia. 16 Lihat Pasal 7 ayat (6) jo Pasal 9 ayat (1) UU PT. 17 Lihat Pasal 21 UU PT. 18 Lihat Pasal 23 UU PT. 19 Pasal 29 UU Perkoperasian mengatur bahwa Pengurus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam Rapat Anggota. Lihat juga Pasal 38 yang mengatur bahwa Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam rapat anggota. 15
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
27
Volume2Nomor 3,Desember2004
Berbeda dari pertanggungjawaban pemegang saham pada PT yang diatur dalam UU PT, pertanggungjawaban anggota Koperasi (sebagai pemilik) Koperasi tidak diatur dalam UU Perkoperasian, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 55 UU Perkoperasian bahwa dalam hal terjadi pembubaran Koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib, dan modal penyertaan yang dimilikinya. Dalam hal ini tidak diatur bagaimana seandainya anggota Koperasi itu ikut serta mengakibatkan timbulnya kerugian yang mengakibatkan bubarnya Koperasi.
boleh menjadi lembaga intermediary. Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU Perbankan.
Kontrol pihak ketiga terhadap badan hukum Koperasi cenderung lemah. Hal ini mengingat pada Koperasi, pengawasan dilakukan oleh Pengawas yang diangkat dari anggota Koperasi. Walaupun pengangkatan Pengawas dari anggota pada satu sisi sangat positif, yaitu ia mengetahui kepentingan ekonomi yang dikehendaki anggota Koperasi, sehingga dapat mengontrol tindakan Pengurus yang tidak sesuai dengan keinginan anggota Koperasi, akan tetapi ada sisi negatifnya, yaitu dalam hal anggota tidak mempunyai sumber daya manusia yang capable dan professional, sehingga tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu, UU perkoperasian juga tidak secara tegas mengatur lembaga pemeriksaan pada koperasi dalam hal ada dugaan perbuatan melawan hukum dalam pengurusan Koperasi.
UU Perbankan dan produk perundangundangan di bidang perkoperasian pada dasarnya telah menyediakan aturan-aturan yang mendukung berkembangnya usaha koperasi dengan membuka peluang yang sangat luas bagi koperasi untuk berkiprah di sektor perbankan.
Berkenaan dengan tersedianya peluang yang sangat luas bagi koperasi untuk berkiprah dalam usaha perbankan, maka kiranya ide pengembangan KSP untuk menjadi lembaga intermediary perlu dipertimbangkan secara lebih hati-hati. Hal ini terutama terkait dengan hakikat koperasi yang tujuannya adalah “dari dan untuk anggota”. Selain itu, patut diperhatikan pula kepentingan nasional untuk mewujudkan sistem keuangan Indonesia yang sehat, mengingat pengembangan KSP yang dapat menghimpun dana dari masyarakat akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan perbankan (memperhatikan level IV. KESIMPULAN / SARAN playing field). Selanjutnya, patut pula Dalam sistem keuangan Indonesia, bank diperhatikan bahwa pada dasarnya sistem adalah badan usaha satu-satunya yang hukum Indonesia telah mendukung
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
28
Volume2Nomor 3,Desember2004
dimungkinkan beroperasinya “bank dengan badan hukum Koperasi”, sehingga daripada “membangun sesuatu dari awal dengan biaya infrastruktur yang sangat mahal” dan “akan berbenturan dengan UU
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
lainnya”, alangkah lebih baik jika koperasi memberdayakan usahanya melalui perangkat hukum perbankan yang sudah established.
29
Volume2Nomor 3,Desember2004
TRANSFER DANA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT (SISTEM BI-RTGS) Oleh : Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional – Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
I. PENDAHULUAN
diimplementasikan di seluruh Kantor Bank Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Indonesia sampai dengan akhir tahun Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 2003. sebagaimana telah diubah dengan Manfaat diterapkannya Sistem BIUndang-undang Nomor 3 Tahun 2004, RTGS, selain menurunkan risiko sistem Bank Indonesia mempunyai tugas untuk pembayaran nasional dengan mengatur dan menjaga kelancaran sistem meningkatkan kepastian penyelesaian pembayaran dalam rangka mendukung akhir (settlement), juga menyediakan terwujudnya sistem pembayaran yang tambahan pilihan sarana transfer yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya cepat, efisien, aman dan handal, serta sistem pembayaran yang efisien, cepat, penyediaan informasi saldo rekening giro aman, dan handal dimaksudkan untuk bank secara real time dan menyeluruh mendukung stabilitas sistem keuangan. sehingga dapat membantu bank Upaya untuk mewujudkan sistem meningkatkan disiplin dan pembayaran yang dapat mendukung profesionalismenya dalam mengelola stabilitas sistem keuangan dilakukan likuiditas. Pada saat ini sarana transfer secara berkesinambungan melalui dana yang dapat dilakukan oleh bank baik penurunan berbagai risiko sistem untuk kepentingan bank atau kepentingan pembayaran nasional. nasabahnya selain dilakukan melalui Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Sistem BI-RTGS, dapat juga dilakukan pada tanggal 17 November 2000 Bank antara lain melalui sistem kliring, Indonesia telah mengimplementasikan pemindahbukuan antar/intra bank, SWIFT, Sistem Bank Indonesia Real Time dan bank koresponden. Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) yang merupakan sistem transfer dana elektronik antar bank dalam mata uang rupiah yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. Sistem BI-RTGS ini diimplementasikan untuk pertama kali di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dan selanjutnya secara bertahap telah
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
II. UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENDUKUNG KELANCARAN DAN KEAMANAN TRANSFER DANA MELALUI SISTEM BI-RTGS Dalam rangka mendukung kelancaran dan keamanan penyelenggaraan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya baik dari sisi teknis maupun dari sisi hukum. Dari
30
Volume2Nomor 3,Desember2004
sisi teknis, Bank Indonesia telah termasuk prosedur pengamanan menetapkan security features tertentu, penggunaan Sistem BI-RTGS di seperti adanya system and application lingkungan internal Peserta; password access, setiap level user di bank 2. Menyampaikan kebijakan dan prosedur peserta Sistem BI-RTGS memiliki batasan tertulis tersebut di atas dan setiap fungsional tertentu, tercetaknya advis dan perubahannya kepada Bank Indonesia; laporan pada setiap langkah operasional 3. Melakukan pemeriksaan internal yang yang dilakukan, approver bukan orang menjamin keamanan operasional yang melakukan construct data dan Sistem BI-RTGS sekurang-kurangnya adanya fungsi Audit Trail sebagai sistem 1 (satu) kali dalam setahun dan monitoring. Selanjutnya dari sisi hukum, menyampaikan laporan hasil Bank Indonesia telah mengeluarkan pemeriksaan internal tersebut kepada ketentuan Sistem BI-RTGS yaitu Peraturan Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) Bank Indonesia No. 6/8/PBI/2004 tentang bulan setelah dilakukan pemeriksaan Sistem BI-RTGS dan petunjuk internal; dan pelaksanaannya, membuat perjanjian 4. Melakukan security audit sekurangpenggunaan sistem BI-RTGS, dan dari sisi kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka antar bank peserta RTGS telah dibuat waktu 1 (satu) tahun sejak kepesertaan kesepakatan antar peserta RTGS (bye dan setiap terjadi perubahan dalam laws), yang menyepakati mekanisme dan sistem teknologi informasi internal teknis pelaksanaan serta hak dan Peserta yang terkait dengan Sistem kewajiban masing-masing bank, yang lebih BI-RTGS serta menyampaikan hasil rinci dari ketentuan sistem BI-RTGS, security audit tersebut kepada Bank berkaitan dengan transaksi antar bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS. setelah dilakukan security audit. Berkaitan dengan ketentuan Sistem BIRTGS, dalam rangka mendukung kelancaran dan keamanan penggunaan sistem BI-RTGS, dalam PBI tentang Sistem BI-RTGS antara lain diatur pokokpokok pengaturan sebagai berikut : A. Kewajiban Peserta dalam Rangka Meningkatkan Keamanan Transaksi Dalam rangka meningkatkan keamanan transaksi melalui Sistem BI-RTGS bank peserta Sistem BI-RTGS wajib : 1. Menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS,
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
B. Kewajiban dan Tanggung Jawab Bank sebagai Peserta Pengirim dan Bank sebagai Peserta Penerima Kewajiban dan tanggung jawab peserta pengirim dan peserta penerima antara lain berkaitan dengan kewajiban peserta pengirim untuk melaksanakan instruksi transfer sesuai dengan instruksi nasabahnya, dan melakukan instruksi tersebut dalam jangka waktu tertentu, dan kewajiban peserta penerima untuk menyampaikan dana kepada nasabah penerima dalam jangka waktu tertentu dan pembayaran bunga serta kompensasi apabila tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
31
Volume2Nomor 3,Desember2004
PBI Sistem BI-RTGS. Selanjutnya dalam hal terdapat kesalahan transaksi yang dilakukan oleh peserta pengirim, dalam PBI Sistem BI-RTGS diatur juga mengenai mekanisme koreksi yang wajib dilakukan oleh Peserta pengirim. C. Pengawasan Bank Indonesia melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan Sistem BI-RTGS pada peserta secara berkala dan sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap kepatuhan peserta pada Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya serta Perjanjian Penggunaan Sistem BI-RTGS antara Bank Indonesia dengan peserta. Dalam melakukan pengawasan langsung Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain, yang memiliki keahlian dan kompetensi di bidang audit teknologi informasi, untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan. D. Sanksi Untuk mendorong kepatuhan bank peserta pada ketentuan yang diatur dalam PBI Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam PBI Sistem BI-RTGS berupa: 1. Teguran tertulis; 2. Kewajiban membayar; dan atau 3. Perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan (suspend). Berkaitan dengan perjanjian penggunaan sistem BI-RTGS antara BI sebagai penyelenggara RTGS dan bank peserta RTGS tersebut di atas, antara lain secara
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
khusus diatur mengenai kesepakatan di antara para pihak bahwa Hasil Olahan Komputer (HOK) yang dikeluarkan oleh Sistem BI-RTGS yang bersifat elektronik merupakan suatu alat bukti transaksi melalui Sistem BI-RTGS yang sah. Dari sisi hukum, kesepakatan ini memiliki arti yang sangat penting untuk mengantisipasi timbulnya dispute di antara para pihak, mengingat dalam sistem hukum Indonesia, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan transfer dana, belum ada ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur bahwa alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah. III. KASUS KEJAHATAN VS SISTEM BIRTGS Kasus kejahatan di bidang perbankan yang terjadi beberapa waktu yang lalu dan direalisasikan dengan cara perpindahan dana dari satu bank ke bank yang lain pada prinsipnya dapat dilakukan dengan berbagai sarana sebagaimana dimaksud di atas, seperti melalui sistem kliring, sistem BI-RTGS atau sarana lainnya seperti transfer via telex antar bank, transfer intra/antar bank melalui ATM, atau transfer antar bank melalui SWIFT. Sistem BI-RTGS hanya merupakan salah satu sarana atau vehicle untuk melakukan perpindahan uang, dalam hal ini perpindahan dana dari satu bank ke bank yang lainnya, baik untuk kepentingan bank itu sendiri maupun untuk kepentingan nasabahnya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara sistem BI-RTGS sebagai ”kendaraan” untuk mengirim uang dengan ”mobil TIKI”. Sistem komputer menjalankan perintah transfer yang dimasukkan (entry) oleh petugas bank, sama halnya dengan
32
Volume2Nomor 3,Desember2004
petugas TIKI yang mengantar uang ke alamat yang ditulis oleh pengirim. Adapun tindak kejahatannya sendiri terlepas dari sarana yang digunakan dalam melakukan transfer dana.
sosialisasi ketentuan sistem RTGS dan sistem internal.
Dari beberapa kasus yang terjadi, permasalahan mendasar yang sering menyebabkan timbulnya kejahatan tersebut lebih didasarkan pada lemahnya kontrol internal bank yang bersangkutan, misalnya adanya keterlibatan pimpinan kantor cabang/ kantor cabang pembantu dan atau petugas operasional internal bank dalam tindak kejahatan, belum terdapat atau belum diimplementasikannya sistem dan prosedur internal bank yang baku untuk transfer dana, posisi dan fungsi internal audit dalam organisasi lemah, design sistem pemberian hak akses maupun acces limit ke dalam sistem komputer untuk transfer dana belum memadai, dan bank belum melakukan pelatihan maupun
Dengan adanya kondisi tersebut di atas, untuk mendukung agar bank selalu berhatihati dalam melakukan kegiatan transfer dana tersebut, maka sesuai dengan penjelasan dalam bab II, dalam ketentuan Sistem BI-RTGS lebih ditegaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban bank peserta Sistem BI-RTGS untuk meningkatkan keamanan transaksi antara lain melalui pelaksanaan internal kontrol dan security audit, melakukan perintah transfer dana sesuai dengan perintah nasabahnya dan dalam jangka waktu tertentu, dan melakukan mekanisme koreksi yang telah ditetapkan dalam ketentuan Sistem BI-RTGS apabila terdapat kesalahan dalam melakukan transaksi dalam Sistem BI-RTGS.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
33
Volume2Nomor 3,Desember2004
Selanjutnya untuk mengontrol kepatuhan bank dalam memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam Sistem BI-RTGS, BI melakukan pengawasan terhadap bank tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu sebagai pendorong kepatuhan bank peserta Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia akan mengenakan sanksi administratif terhadap bank yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Kejahatan di bidang perbankan, khususnya yang berkaitan dengan transfer dana/penggunaan sarana transfer dana secara umum (bukan hanya melalui Sistem BI-RTGS, tetapi semua sarana yang dapat dilakukan oleh bank baik melalui sarana elektronik dan sarana lainnya) menjadi perhatian khusus dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Transfer Dana. RUU tersebut pada saat ini sedang disusun Bank Indonesia bekerja sama dengan para pakar dari berbagai universitas di Indonesia dan praktisi perbankan serta telah disosialisasikan kepada berbagai kalangan, termasuk para penegak hukum, lembaga konsumen, dan para akademisi. Upaya penyusunan RUU Transfer Dana ini diharapkan selain dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang terkait dalam kegiatan transfer dana juga diharapkan dapat mencegah kejahatan berkaitan dengan transfer dana dan membuat jera pelaku kejahatan transfer dana dengan adanya sanksi pidana yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. IV. PENUTUP
antar bank, baik untuk kepentingan bank maupun nasabahnya merupakan salah satu upaya Bank Indonesia dalam menurunkan risiko sistem pembayaran nasional dengan meningkatkan kepastian penyelesaian akhir (settlement), menyediakan tambahan pilihan sarana transfer yang cepat, efisien, aman dan handal, serta menyediakan informasi saldo rekening giro bank secara real time dan menyeluruh sehingga dapat membantu bank meningkatkan disiplin dan profesionalismenya dalam mengelola likuiditas. Sebagai salah satu sarana transfer dana, Sistem BI-RTGS terlepas dari munculnya berbagai kejahatan di bidang perbankan, karena dari beberapa kasus yang telah terjadi penyebab munculnya kejahatan tersebut bukan disebabkan oleh keberadaan sarana transfer dana tersebut tetapi lebih didasarkan pada lemahnya internal kontrol bank yang melakukan transfer dana. Untuk mencegah dan mengatasi kondisi tersebut di atas, telah dilakukan berbagai langkah antara lain dengan adanya kewajiban untuk lebih meningkatkan pemeriksaan internal dan security audit pada bank yang bersangkutan, serta kewajiban memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Sistem BI-RTGS. Selanjutnya dalam RUU Transfer Dana, terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh oknum bank dan pihak di luar bank yang berkaitan dengan kegiatan transfer dana akan dikenakan sanksi pidana yang sesuai dengan tindak kejahatan tersebut.
Penggunaan Sistem BI-RTGS sebagai sarana untuk melakukan transfer dana
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
34
Volume2Nomor 3,Desember2004
Sekuritisasi Aset: Suatu Alternatif Sumber Pendanaan Bagi Dunia Usaha1 Oleh : Anton Purba, S.H., LL.M
Pendahuluan Industri perbankan memainkan peran yang sangat penting dalam menunjang program pembangunan ekonomi. Khususnya di negara-negara berkembang, perbankan merupakan sumber pendanaan utama bagi sektor riil. Sumber pendanaan lainnya seperti sekuritisasi aset, umumnya belum berkembang dengan baik. Sebagai contoh, sejak akhir tahun 1980 industri perbankan di Indonesia berkembang dengan pesat dan merupakan sumber utama pendaanan bagi dunia usaha, sampai dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Krisis ekonomi di negara-negara Asia seperti Indonesia menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lambannya pemulihan ekonomi adalah karena ketidakmampuan perbankan untuk memberikan kredit dengan suku bunga yang dapat menopang dunia usaha. Tinggginya suku bunga perbankan setelah terjadinya krisis ekonomi disebabkan karena perbankan berlomba-lomba untuk
menarik dana masyarakat dengan menawarkan suku bunga simpanan yang sangat tinggi. Bank membutuhkan banyak dana untuk memenuhi dan mengimbangi penarikan dana yang dilakukan oleh banyak nasabah sehubungan dengan menurunnya kepercayaan masyakat terhadap perbankan. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, masalah ketersediaan dana telah menjadi salah satu faktor penentu dalam keberhasilan program pembangunan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan, termasuk bank, yang mencari sumber dana ke pasar internasional. Setelah terjadinya krisis ekonomi, tingginya suku bunga pinjaman dan terbatasnya kemampuan perbankan untuk menyalurkan dana menyebabkan lambannya proses pemulihan ekonomi. Hal ini antara lain karena belum berkembangnya sumber pendanaan lain di luar bank, seperti sekuritisasi aset. Di negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat, sekuritisasi aset telah dikembangkan sejak tahun 1960-an.
1
Artikel ini ditulis kembali dari makalah yang disusun oleh penulis sewaktu menjalani kuliah di Melbourne Law School, The University of Melbourne, Australia.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
35
Volume2Nomor 3,Desember2004
I. Sekuritisasi Aset a. Definisi Sekuritisasi Aset Cara konvensional yang biasa digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana adalah dengan menerbitkan surat berharga atau melalui pinjaman dari bank. Kewajiban yang timbul bagi perusahaan adalah mengembalikan pinjaman disertai dengan bunga, yang secara umum pengembalian dana tersebut dijamin dengan aset perusahaan. Hal ini berarti bahwa kreditur sepenuhnya bergantung kepada perusahaan. Namun apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau pailit, kemungkinan pengembalian dana tersebut akan mengalami hambatan. Sekuritisasi aset, yang merupakan bentuk lain dari sumber pendanaan bagi perusahaan, telah mengubah ketergantungan kreditur kepada kemampuan debitur untuk melunasi pinjaman. Hal ini disebabkan karena dalam sekuritisasi aset sumber pengembalian pinjaman terpisah dari perusahaan yang meminjam.2 Setelah terjadinya krisis ekonomi jumlah investor yang melakukan investasi di negara-negara Asia mengalami penurunan. Penyebab penurunan ini adalah, setelah terjadinya krisis ekonomi risiko yang melekat pada perusahaan yang ada di wilayah Asia menjadi lebih tinggi. Hal tersebut membuat wilayah Asia menjadi tidak menarik untuk dijadikan tempat investasi, walaupun sebenarnya
masih banyak perusahaan yang menunjukkan kinerja yang baik dan memiliki kondisi keuangan dengan cash flow yang baik. Sekuritisasi aset dalam bentuk yang paling sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut (terjemahan): Sebuah proses untuk mengemas pinjaman-pinjaman individu dan pinjaman-pinjaman dalam bentuk lainnya, dan mengubah pinjamanpinjaman tersebut menjadi instrumen sekuritas, dan meningkatkan status kredit atau credit rating untuk meningkatkan penjualannya kepada pihak investor. Proses tersebut mengubah pinjaman-pijaman individu atau pinjaman-pinjaman dalam bentuk lainnya yang tidak likuid dan tidak dapat dengan segera dijual kepada investor menjadi instrumen yang likuid dan diminati pasar.3 Menarik tidaknya suatu sekuritisasi aset sangat tergantung kepada stuktur dan jaminan yang digunakan. Secara umum, sekuritisasi aset menggunakan struktur yang tidak rentan terhadap kepailitan, yang secara efektif melindungi sekuritisasi aset dari kerugian yang dialami oleh perusahaan yang melakukan sekuritisasi aset (originator). Selain itu, risiko kredit yang melekat pada originator juga akan berkurang secara substansial dengan adanya diversifikasi tersebut, yang merupakan karakter utama dari sekuritisasi aset.4
2
Steven L. Schwartz (a), Structured Finance: a guide to the principles of asset securitization (2nd ed 1993) 1,1. 3 Leon T. Kendall, ‘Securitization: a new era in American Finance’ in Leon T. Kendall and Michael J. Fishman (eds), A Primer Securitization (1996) 3. 4 Walid A. Chammah, ‘An Overview of Securitization’ in Joseph Jude Norton and Paul R. Spellman (eds), Asset Securitization: interational financial and legal prospective (1991) 1, 2.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
36
Volume2Nomor 3,Desember2004
Sekuritisasi aset sebagai sumber dana pertama sekali diperkenalkan di Amerika Serikat di awal tahun 1960-an dengan menggunakan kredit dengan jaminan rumah (mortgage). Pada awalnya, perusahaan pembiayaan yang sangat bergantung kepada simpanan nasabah sebagai sumber dana, menggunakan sekuritisasi aset untuk membiayai permintaan kredit untuk pembangunan rumah.5 Saat ini berbagai macam aset, seperti piutang dagang, kredit mobil, penghasilan dari franchise dan jasa penyewaan, piutang yang bersumber dari penjualan kaset dan compact disk, dan kartu kredit, telah digunakan secara luas dalam sekuritisasi aset. Likuiditas aset yang akan digunakan sangat menentukan struktur sekuritisasi aset. Ada beberapa hal yang membuat suatu aset lebih menarik untuk digunakan dalam sekuritiasi aset dibandingkan dengan aset lain, yaitu: ·
Cash flow yang dapat diprediksi;
·
Tingkat tunggakan yang rendah;
·
Amortisasi seluruh pinjaman pokok pada saat jatuh tempo;
·
Tingkat keragaman debitur berdasarkan demografi dan geografi;
·
Jaminan yang memiliki nilai dan manfaat yang tinggi bagi debitur.6
b. Stuktur Sekuritisasi Aset Proses sekuritisasi aset melibatkan banyak pihak: originator pinjaman; special purpose vehicle (SPV); perusahaan pemeringkat, investor, underwriter, dan peningkat nilai kredit (credit enhancer).7 Originator pinjaman adalah pihak yang menciptakan pinjaman dan dapat juga mengelola pinjaman tersebut, misalnya untuk menagih pinjaman atau tindakan lainnya yang diperlukan untuk memastikan debitur untuk memenuhi kewajibannya.8 SPV adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk membeli aset dari originator dan kemudian menerbitkan surat berharga yang dijamin dengan aset tersebut. Penggunaan SPV sangat menguntungkan originator karena penjualan aset dapat diperlakukan sebagai penjualan pinjaman sehingga mengurangi kewajiban originator. 9 Secara struktur SPV tidak rentan terhadap kepailitan sehingga pembayaran kepada investor tidak akan terpengaruh oleh masalah keuangan yang dihadapi oleh originator yang pada awalnya memiliki hak atas pembayaran pinjaman yang dijual kepada SPV. Hal ini dimungkinkan dengan adanya persyaratan dalam sekuritisasi aset bahwa pengalihan piutang dari originator kepada SPV tidak dapat dihambat oleh apapun, kondisi originator tidak akan mempengaruhi SPV,
5
Mark Odenbach, ‘Mortgage Securitization: what are the differs and constraint from an originator’s perspective?’(September 2002) 17 Housing Finance International 52, 57. 6 Chammah op.cit. 3. 7 Kendall, op.cit. 3. 8 Christopher W. Frost, ‘Asset Securitization and Corporate Allocation’ (1998) 72 Tulane Law Review 1001, 103. 9 Frost, log.cit.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
37
Volume2Nomor 3,Desember2004
dan SPV tidak boleh memiliki kewajiban apapun kepada originator yang dapat menurunkan solvabilitasnya. 10 Memisahkan piutang tersebut dari originator berarti bahwa SPV tidak akan terpengaruh apabila originator mengalami kesulitan keuangan dan SPV tidak wajib untuk melakukan konsolidasi dengan originator. Pada umumnya, SPV dimiliki oleh pihak ketiga yang independen. 11 Dalam hal SPV dimiliki dan dikontrol oleh originator, maka harus ditegaskan dalam anggaran dasar perusahaan mengenai larangan bagi originator untuk mempailitkan SPV.12
tersebut dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh originator karena struktur sekuritisasi aset tidak memerlukan penempatan dana untuk mendukung pelaksanaan sekuritisasi aset tersebut.13 Dalam hal originator adalah bank, sekuritisasi aset memungkinkan bank untuk menjual kreditnya yang akan menurunkan rasio kebutuhan modal. Dengan demikian sekuritisasi aset akan menurunkan effective cost of funds yang harus ditanggung oleh bank.14 Penerbitan surat berharga akan menciptakan efisiensi keuangan karena transaksi tersebut tidak akan muncul dalam laporan keuangan originator, maka sekuritisasi aset dapat Penting untuk dikemukakan bahwa meningkatkan credit rating bank.15 penerbitan surat berharga tersebut di atas dilakukan oleh SPV dan bukan oleh Agar sekuritisasi aset menarik bagi originator. Ini adalah perbedaan utama investor, perlu melibatkan perusahaan dan yang paling penting dibandingkan pemeringkat. Peringkat suatu perusahaan dengan metode lain. Surat berharga yang yang dikeluarkan oleh perusahaan diterbitkan dimaksudkan untuk dibayar pemeringkat adalah faktor yang sangat kembali dengan menggunakan dana yang penting dalam proses sekuritisasi aset bersumber dari piutang yang dibeli SPV karena investor melihat hal tersebut dari originator dan bukan dari cash flow sebagai representasi dari due diligence originator. Oleh karena itu, investor yang harus dilakukan oleh investor apabila potensial akan lebih tertarik untuk me- melakukan investasi secara pribadi. review cash flow piutang tersebut dari Peringkat suatu perusahaan juga pada me-review laporan keuangan menentukan jenis-jenis surat berharga originator. Selanjutnya, pemisahan piutang yang dapat dijual beserta dengan harga
10
MichaelJ. Cohn, ‘Asset Securitization: how remote is bankruptcy remote?’ (1998) 26 Hofstra Law Review 929, 931. 11 Kenneth N. Elmgren, ‘An Overview of Securitization’ in Joseph J. Norton, Paul R. Spellman, and Mitchell S. Dupler (eds), International Asset Securitization (1995) 1, 14. 12 Schwarz (a), op.cit. 6. 13 Ibid,13. 14 Steven L. Schwarz (b), ‘Structuring and Legal Issues of Asset Securitization in the Unites States’ in Joseph Jude Norton and Paul R. Spellman (eds), Asset Securitization (1999) 16, 18. 15 Robert Hill, ‘International Securitization: an investment bank’s perspective’ in Helena Morrisey (ed), International Securitization (1992) 81, 85.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
38
Volume2Nomor 3,Desember2004
pasar dari surat-surat berharga tersebut.16 Dalam sekuritisasi aset di pasar internasional, perusahaan pemeringkat memberikan jalan bagi penerbit surat berharga dan investor di pasar internasional untuk melihat peluang investasi di pasar internasional. Oleh karena kebanyakan investor tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa suratsurat berharga yang diperjualbelikan di pasar internasional, tersedianya analisa yang terpercaya mengenai kualitas surat berharga tidak hanya menolong investor untuk melakukan investasi yang didasarkan pada informasi yang tepat, tetapi juga membantu investor untuk menghemat waktu dan uang karena credit ratings menyederhanakan analisa terhadap surat berharga dengan menyediakan informasi yang singkat dan tepat bagi investor. Alasan utama bagi investor untuk memilih surat berharga yang dijamin dengan aset bukan hanya karena sekuritisasi aset menawarkan penghasilan yang lebih menarik, tetapi juga karena analisanya lebih sederhana dibandingkan dengan analisa pinjaman dari bank atau korporasi.17 Perlu dikemukakan bahwa perusahaan pemeringkat adalah pihak yang netral dan tidak terlibat dengan pihak manapun. Perusahaan tidak memberikan masukan atau nasihat apapun mengenai
proses sekuritisasi aset, namun hanya menilai data-data yang disediakan oleh perusahaan yang akan menerbitkan surat berharga. Oleh karena credit ratings bukan merupakan rekomendasi untuk menjual atau membeli surat berharga tertentu.18 Untuk meningkatkan kualitas aset yang akan digunakan dalam sekuritisasi aset, dapat digunakan credit enhancer untuk menyerap risiko kredit yang ada dalam proses sekuritisasi aset. Terdapat beberapa credit enhancer yang dapat digunakan, misalnya dengan menggunakan jaminan yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan surat berharga yang diterbitkan. Selain itu dapat juga digunakan L/C yang diterbitkan oleh bank yang memiliki credit rating yang tinggi. Metode lain adalah dengan menerbitkan surat berharga kelas dua, yang memiliki kedudukan subordinasi dalam pembayaran pokok dan bunga. Disamping itu, originator juga dapat menciptakan cadangan dana pada saat menerbitkan surat berharga yang dapat digunakan untuk pembayaran surat berharga dalam hal SPV mengalami kerugian. Menggunakan perusahaan asuransi, yang bersedia untuk menjamin pembayaran kembali atas surat berharga yang diterbitkan juga merupakan hal yang biasa dilakukan dalam sekuritisasi aset.19 Peningkatan kualitas aset perlu dilakukan
16
Elmgren, op.cit. 13. David Slover,’Asset-backed Securities: an investor’s perspective’ in Helena Morrisey (ed), International Securitization (1992) 131, 132. 18 Paul G. Taylor, ‘Credit Ratings on International Asset-Backed Securities’ in Joseph J. Norton, Paul R.Spellman, and Mitchell S. Dupler (eds), International Aset Securitization (1995) 161, 161-63. 19 Bruce Whittaker, ‘Australia’ in David G.Glennie, Eduard C. de Bouter, and Randall D. Luke (eds), Securitization (1998) 1, 2. 17
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
39
Volume2Nomor 3,Desember2004
apabila pasar memperkirakan bahwa piutang tidak akan cukup untuk melindungi investor apabila SPV mengalami kerugian. Oleh karena itu, perusahaan pemeringkat membutuhkan peningkatan kualitas aset untuk meyakinkan investor akan keamanan investasi mereka. Originator dan perusahaan pemeringkat dapat merundingkan jumlah yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas aset.20
strukturnya. Sehubungan dengan hal tersebut, SPV harus menganalisa keinginan pasar sebelum menerbitkan surat berharga. Jika tidak dilakukan analisa pasar, surat berharga tersebut kemungkinan tidak akan menarik bagi investor.22 Ada beberapa jenis sekuritisasi aset dengan struktur yang berbeda-beda, yaitu:
· Investment bank atau underwriter memiliki kewajiban untuk menentukan harga pasar surat berharga yang akan diterbitkan dan juga untuk mempromosikan kepada para investor. Oleh karena investor yang berbentuk institusi biasanya memiliki · hubungan yang berkelanjutan dengan investment bank, mereka dapat mengkonsultasikan harga wajar atau harga jual surat berharga tersebut. Investment bank biasanya memiliki pegawai yang · memiliki keahlian untuk mengklasifikasikan surat berharga dan mengetahui persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan sekuritisasi aset.21 Pihak yang memainkan peran yang paling penting dalam sekuritisasi aset adalah investor. Pengembangan sekuritisasi aset hanya mungkin dilakukan apabila investor mau membeli surat berharga yang diterbitkan oleh SPV. Oleh karena itu, penerbitan surat berharga harus · memenuhi harapan para investor, baik dari segi jangka waktu, suku bunga, dan
Asset-backed certificates, adalah sekuritisasi aset dimana aset yang diadikan jaminan seluruhnya dijual ke SPV yang dikelola oleh pihak ketiga yang independen; Asset-backed obligations, adalah surat hutang yang dikeluarkan oleh SPV, dimana SPV tersebut dapat dimiliki oleh originator atau oleh pihak ketiga yang independen; Asset-backed preferred stock, adalah surat berharga yang diterbitkan oleh SPV yang membeli aset yang dijadikan jaminan dari perusahaan induknya atau dari perusahaan yang terafiliasi. Dimungkinkan pula untuk mendukung penerbitan surat berharga tersebut dengan surety bonds yang diterbitkan oleh bank dengan rating AAA dengan tujuan agar surat berharga yang diterbitkan dapat memperoleh rating yang tertinggi. Asset-backed commercial paper, adalah penjualan aset kepada SPV yang kemudian menerbitkan commercial
20
Kendall, op.cit. 4. Kendall, op.cit. 4. 22 Kendall, op.cit. 5. 21
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
40
Volume2Nomor 3,Desember2004
paper. CP tersebut dapat dijamin dengan cash flow dari aset tersebut, atau CP lain yang dijamin dengan aset.23
untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini karena suku bunga di pasar uang yang relatif rendah Ciri yang paling utama dari sekuritisasi dan juga karena adanya dukungan credit aset adalah pembayaran surat berharga rating yang tinggi. Selain itu, karena aset yang dapat diperkirakan dengan jelas. Hal tersebut dialihkan ke SPV, maka risiko ini karena piutang yang dibeli oleh SPV kredit originator juga akan menurun. digunakan untuk membayar pokok dan Sekuritisasi aset juga memperbaiki cash modal, dan bunga surat berharga yang diterbitkan oleh flow, rasio return-on-aset, rasio 24 Melalui SPV. Namun demikian, jenis piutang pendapatan originator. tersebut juga menentukan sejauh mana sekuritisasi asset originator juga dapat pembayaran tersebut dapat diperkirakan. memperbanyak sumber pendanaan Jika jumlah debitur dari piutang tersebut sehingga dapat menghindarkan biaya cukup banyak, maka terjadinya sedikit tinggi akibat ketergantungan hanya pada 25 tunggakan tidak akan mempengaruhi satu sumber dana. Bagi industri ketepatan waktu pembayaran kepada perbankan, sekuritisasi aset merupakan kreditur. Walaupun demikian, faktor yang salah satu pilihan untuk menghindarkan paling menentukan adalah kemampuan biaya tinggi dalam memenuhi kebutuhan debitur untuk membayar piutang tersebut. dana. Pada saat ini, dimana sektor Berkaitan dengan hal ini, maka jumlah properti mulai berkembang dengan pesat debitur haruslah cukup banyak untuk dan kredit untuk sektor properti juga menyerap risiko tunggakan dari sebagian mengalami peningkatan yang cukup debitur. Dengan demikian seluruh kreditur signifikan, maka sektor perbankan dapat menggunakan sekuritisasi aset untuk dapat dibayar tepat waktu. mendapatkan dana dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan biaya III. Keuntungan Menggunakan dana yang bersumber dari simpanan Sekuritisasi Aset Sebagai Sumber masyarakat dengan cara menjual piutang Pendanaan dari kredit properti tersebut melalui Sekuritisasi aset menawarkan banyak sekuritisasi aset. Hal ini berarti selain keuntungan. Keuntungan pertama adalah menurunkan risiko usaha, pada saat yang cost of fund yang rendah, karena sama bank mendapatkan pemasukan pendanaan secara langsung di pasar uang dana dengan biaya bunga yang lebih melalui SPV akan membantu originator rendah. Kondisi seperti ini akan
23
Chammah, op.cit. 3. Luke, op.cit.210. 25 Steven Ashbourne, Martin Fingerhut, and David Glennie, ‘Canada’ in David G. Glennie, Eduard C. de Bouter, and Randall D. Luke (eds), Securitization (1998) 43, 51. 24
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
41
Volume2Nomor 3,Desember2004
membantu bank untuk memperbaiki rasio membiayai kegiatan usaha mereka. keuangan dalam rangka memenuhi Mengingat bunga pinjaman merupakan ketentuan di bidang perbankan. sumber utama pendapatan bank, penurunan pemberian pinjaman mengakibatkan penurunan pendapatan IV. Sekuritisasi Aset di Negara bank secara signifikan, bahkan banyak Berkembang bank yang mengalami negative spread. Pengalaman dari krisis ekonomi di Selain itu, banyak debitur yang tidak negara-negara berkembang di Asia mampu untuk membayar cicilan bunga menunjukkan bahwa salah satu faktor yang pinjaman akibat kenaikan suku bunga yang menyebabkan lambannya pemulihan sangat drastis. ekonomi adalah karena kurang Seperti halnya di industri perbankan, dunia tersedianya dana murah untuk mendukung usaha di Indonesia juga pada umumnya kegiatan dunia usaha, yang di negara- belum memanfaatkan sekuritisasi aset negara berkembang merupakan sebagai sumber dana alternatif. komponen terpenting di dalam program Akibatnya, pada saat terjadi krisis ekonomi pengembangan ekonomi. Setelah dan industri perbankan mengalami terjadinya krisis ekonomi, suku bunga kesulitan untuk menyalurkan kredit, bank naik secara drastis yang diakibatkan kegiatan dunia usaha mengalami oleh peningkatan kebutuhan bank akan penurunan yang sangat signifikan. Selain dana untuk mengimbangi terjadinya itu, ketergantungan yang besar kepada penarikan dana secara besar-besaran industri perbankan tidak hanya terhambatnya oleh nasabah. Oleh karena perbankan di mengakibatkan Indonesia pada umumnya mengandalkan pembangunan ekonomi tetapi juga terhambatnya sumber dana dari simpanan nasabah, mengakibatkan maka industri perbankan harus menaikkan perkembangan pasar uang di negarasuku bunga simpanan untuk meningkatkan negara berkembang, baik berdasarkan minat masyarakat untuk menyimpan jenis maupun kualitas.26 Ketergantungan kepada industri perbankan sebagai dananya di bank. Peningkatan suku bunga simpanan sumber utama pendanaan telah tersebut mengakibatkan meningkatnya memperburuk krisis ekonomi dan cost of fund yang harus ditanggung oleh mengakibatkan program pemulihan bank. Di sisi lain, hal ini juga meningkatkan ekonomi sulit untuk dilaksanakan karena suku bunga pinjaman yang mengakibatkan dunia usaha, sebagai penunjang utama menurunnya kemampuan dunia usaha pembangunan ekonomi, tidak dapat untuk menggunakan dana dari bank untuk melanjutkan kegiatan usahanya akibat
26
Graffam, op.cit. 267.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
42
Volume2Nomor 3,Desember2004
tidak adanya dana. Sebelumnya dunia usaha cukup stabil, sehingga tidak ada yang mengantisipasi akan terjadinya kelangkaan dana, dan karena akses pasar lokal ke pasar uang internasional sangat terbatas akibat menurunnya kepercayaan investor internasional, maka satu-satunya harapan adalah campur tangan pemerintah. Sayangnya, kemampuan pemerintah juga sangat terbatas karena besarnya beban utang luar negeri. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk menarik investor asing dengan memberikan berbagai insentif tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Penyebab utamanya adalah karena pasar lokal tidak lagi semenarik sebelum terjadinya krisis dan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki country risk yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan capital inflow menurun drastis, sebaliknya capital flight terjadi dengan jumlah yang signifikan. Keadaan ini menunjukkan bahwa akibat dari kurang berkembangnya pasar uang lokal telah mengakibatkan pemulihan ekonomi menjadi semakin sulit. Sebagaimana diketahui, kecukupan dana (murah) adalah salah satu faktor penting dalam program pemulihan ekonomi. Namun ketersediaan dana di negaranegara berkembang seperti Indonesia yang sebagian besar berasal dari pinjaman dari lembaga keuangan internasional seringkali mengakibatkan naiknya cost of fund yang harus ditanggung oleh dunia usaha. Sekuritisasi
27 28
aset sebagai hasil dari inovasi pasar keuangan merupakan salah satu jalan keluar yang dapat dipakai oleh dunia usaha karena sekuritisasi aset memberikan jaminan yang lebih baik bagi investor asing. Selain itu, sekuritisasi aset juga akan menjadi faktor pendorong bagi berkembangnya secondary market yang akan menjadi sumber dana alternatif bagi dunia usaha. Penggunaan sekuritisasi aset di negaranegara berkembang sampai saat ini masih sangat terbatas. Di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan, sekuritisasi aset sudah mulai berkembang dengan baik, namun masih terbatas pada perusahaan-perusahaan besar. Banyak pihak yang percaya bahwa di masa yang akan datang sekuritisasi aset akan berkembang lebih cepat di negara-negara Asia. Hal ini karena sekuritasi aset memiliki karakteristik yang lebih menarik bagi investor asing dibandingkan dengan instrumen pasar uang lainnya.27 Mengingat credit risk Indonesia relatif masih tinggi, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi risiko yang melekat pada aset yang akan digunakan dengan cara melakukan pooling terhadap debitur dalam jumlah besar, sehingga risiko kegagalan pemenuhan kewajiban oleh debitur menjadi relatif lebih kecil, selain memperbaiki credit rating melalui tersedianya credit enhancer.28 Khusus di negara yang dilanda krisis ekonomi seperti Indonesia, keberadaan credit enhancer adalah faktor yang sangat
Graffam, op.cit 267. Graffam, op.cit 272.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
43
Volume2Nomor 3,Desember2004
penting dalam mensukseskan transaksi sekuritisasi aset. Di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi, terdapat peluang yang cukup baik untuk mengembangkan sekuritisasi aset.29 Pengalaman dari krisis ekonomi yang menunjukkan bahwa ketergantungan yang terlalu besar pada institusi keuangan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usaha di sektor riil, membuat dunia usaha mencari alternatif sumber pendanaan. Dalam hal sekuritisasi aset, perusahaan yang berorientasi ekspor relatif memiliki peluang yang lebih besar untuk menarik investor asing. Hal ini karena mata uang regional masih lebih lemah dibandingkan dengan mata uang negaranegara maju, sehingga potensi untuk melakukan ekspor relatif besar. Kondisi ini akan membantu penjualan surat berharga yang dikeluarkan oleh SPV karena cash flow yang baik adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan sekuritisasi aset. Selain itu, apabila SPV dapat menjual surat berharga tersebut kepada investor asing, maka surat berharga tersebut akan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk dijual di pasar local,30 mengingat keterlibatan pihak asing biasanya akan meningkatkan kepercayaan pasar lokal. V. S e k u r i t i s a s i A s e t S e b a g a i Instrumen Penunjang Dalam Pembangunan Ekonomi Di negara-negara yang terkena krisis ekonomi, pemulihan sektor perbankan
29 30
merupakan prioritas utama setiap pemerintah. Tujuannya agar sektor perbankan dapat dengan segera melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Namun, pemulihan sektor perbankan ternyata membutuhkan waktu yang relatif lama dan lebih dari itu, program pemulihan ekonomi yang ditawarkan oleh IMF tidak berhasil mempercepat program pemulihan ekonomi, khususnya sektor perbankan yang menjadi salah satu pilar utama pembangunan. Akibatnya banyak kegiatan sektor riil yang harus dihentikan. Di Indonesia, salah satu sektor usaha yang terhenti kegiatannya adalah sektor properti. Akibatnya, sebagian besar kredit sektor properti menjadi macet sehingga mengakibatkan menurunnya kinerja sektor perbankan. Inovasi di sektor keuangan adalah salah satu elemen penting yang dapat membatu pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, sekuritisasi aset adalah salah satu contoh yang memiliki karakteristik yang cocok dilakukan di Indonesia. Di dunia internasional, inovasi di sektor keuangan telah menjadi satu fenomena yang mendapat banyak perhatian dunia usaha, karena memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap sistem keuangan dan kebijakan moneter. Salah satu faktor yang memicu inovasi tersebut adalah seringnya terjadi defisit yang besar sehingga dibutuhkan instrumen keuangan yang dengan cepat dapat menyediakan dana yang relatif murah untuk menutupi defisit
Graffam, op.cit 273. Graffam, op.cit 273.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
44
Volume2Nomor 3,Desember2004
tersebut. Sekuritisasi aset adalah merupakan salah satu inovasi yang telah membuat perubahan yang mendasar terhadap konsep dan pengertian fungsi intermediasi perbankan dan metode pendanaan yang sebelumnya dikenal.31 Di beberapa negara Asia, seperti Korea, sekuritisasi aset telah dikembangkan sejak tahun 1999, dan pada bulan Desember 2002 jumlah surat berharga yang dijual oleh Korean Morgage Company (KoMoKo) telah mencapai 2.5 triiliun Won. Pengalaman di Korea juga menunjukkan bahwa sekuritisasi aset telah membantu menurunkan tingkat suku bunga sebagai akibat dari kompetisi di pasar uang.32 Pengalaman di Korea tersebut di atas menunjukkan bahwa, pengembangan pasar uang juga dengan sendirinya akan memperkuat fundamental ekonomi. Sebagai perbandingan, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa kurang berkembangnya pasar uang lokal telah mengakibatkan terbatasnya akses dunia usaha ke sumber pendanaan diluar perbankan sehingga dapat dikatakan sebagian besar perusahaan sepenuhnya bergantung kepada perbankan nasional. Akibatnya, pada saat terjadinya krisis perbankan yang disertai dengan kenaikan suku bunga, dunia usaha tidak hanya mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya kepada bank tetapi juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan dana murah untuk membiayai kegiatan usaha mereka sehingga perusahaan yang pada awal terjadinya krisis sebenarnya masih produktif, pada akhirnya mengalami kesulitan keuangan. Masalah keuangan tersebut di atas dapat dihindarkan dengan menggunakan sekuritisasi aset, baik oleh industri perbankan maupun dunia usaha karena inti dari sekuritisasi aset adalah mentransformasikan aset menjadi instrumen pasar uang.33 Oleh karena itu, sekuritisasi aset lebih menguntungkan untuk digunakan sebagai instrumen pendanaan karena dapat menurunkan cost of fund.34 Mengingat permasalahan yang dihadapi dunia usaha dan industri perbankan adalah cost of fund yang sangat tinggi, maka sekuritisasi aset merupakan alternatif yang dapat dipilih sebagai media untuk mendapatkan dana dengan cost yang lebih rendah. Selanjutnya, karena sekuritisasi aset merupakan transaksi yang bersifat offbalance sheet, maka transaksi tersebut tidak akan mengakibatkan kenaikan rasio hutang terhadap modal (debt-to-equity ratio). Disamping itu, apabila perusahaan menggunakan instrumen lain, misalnya pinjaman dari lembaga keuangan, maka hal tersebut akan mengakibatkan naiknya
31
Obay, op. cit, 62. Jong-hee Lee, ‘Mortgage Securitization in Korea’ (March 2003) 17 Housing Finance International 24, 24. 33 Steven Todd, ‘The Effect of Securitization on Consumer Mortgage Costs’ (Spring 2001) 29 Real Estate Economics 29, 30. 34 Todd, op.cit 31. 32
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
45
Volume2Nomor 3,Desember2004
risiko yang dihadapi perusahaan tersebut karena semakin besar kewajiban maka kemampuan perusahaan untuk menyerap risiko usaha akan semakin menurun, khususnya dalam hal terjadi krisis ekonomi. Sebaliknya, dalam sekuritisasi aset perusahaan tidak akan menanggung beban hutang yang lebih besar karena sekuritisasi aset merupakan penjualan aset yang bersifat clean sale. Dalam hal risiko yang melekat pada aset (piutang) yang dijual tersebut lebih rendah dibandingkan dengan risiko pada saat aset (piutang) tersebut dikelola oleh originator, maka suku bunga yang harus dibayar oleh SPV juga akan menjadi lebih rendah.35 Selain itu, karena SPV tidak akan terpengaruh oleh kondisi keuangan originator (bancruptcy remote), maka credit rating dari originator tidak akan mempengaruhi nilai penjualan surat berharga.36 Hal ini berarti pemenuhan kewajiban kepada para investor akan lebih terjamin sehingga akan memudahkan penjualan surat berharga yang berasal dari perusahaan (originator) dengan credit rating yang rendah.37 Saat ini, dimana kredit konsumsi untuk kendaraan bermotor dan sektor properti sedang mengalami booming, merupakan saat yang tepat bagi perbankan untuk
melakukan sekuritisasi aset. Dana murah yang diperoleh dari penjualan piutang tersebut akan membuat bank mampu untuk memberikan kredit kepada sektor usaha yang produktif. Dengan demikian industri perbankan akan kembali dapat melakukan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang dapat membantu pemulihan dunia usaha. Selain itu, penjualan kredit juga akan mengurangi kewajiban bank untuk membentuk cadangan, sehingga CAR bank akan meningkat. Sekuritisasi aset juga akan membuka peluang bagi bank untuk melakukan diversifikasi portofolio dan membuka kesempatan untuk memperluas customer base38 dan juga sekaligus mengurangi konsentrasi bank hanya pada area tertentu sehingga dapat mengurangi risiko usaha.39 Pemerintah juga dapat melakukan sekuritisasi aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PLN dan Telkom. Kedua BUMN tersebut memiliki potensi tagihan yang sangat besar. Dengan jumlah pelanggan yang sangat banyak dan usahanya yang bersifat monopoli, kedua BUMN tersebut memiliki peluang yang besar untuk melakukan sekuritisasi aset dengan suku bunga yang rendah karena potensi default yang kecil.
35
Minh Van Ngo, ‘Getting the Question Right on Floating Liens and Securitized Assets’ (Winter 2002) 19 (1) Yale Journal on Regulation 85, 129. 36 Obay, op.cit, 62. 37 Christopher Korth, Zane Swanson, and Robert Singer, ‘Securitizing East Europe’s External Bank Debt’ (December 1998) 2 Multinational Finance Journal 295, 297. 38 Obay, op.cit, 106. 39 Susan M. Phillips, ‘The Place of Securitization in the Financial System: implications for banking and monetary policy’ in Leon T. Kendall and Michael J. Fishman (eds), A Primer on Securitization (1996) 129, 129.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
46
Volume2Nomor 3,Desember2004
Kesimpulan Sekuritisasi aset adalah proses konversi kredit yang diberikan atau piutang menjadi surat berharga. Sekuritisasi aset memungkinkan perusahaan untuk mengubah aset yang bersifat nonmarketable menjadi surat berharga yang likuid karena sekuritisasi aset dapat menghilangkan risiko yang melekat pada aset, sehingga surat berharga yang diterbitkan memiliki nilai yang lebih tinggi. Keuntungan utama dalam melakukan sekuritisasi aset adalah tersedianya dana yang relatif lebih murah dibandingkan dengan dana yang bersumber dari institusi keuangan. Selain itu, sekuritisasi aset membuka peluang bagi negara-negara peminjam untuk melakukan diversifikasi sumber pendanaan sekaligus membuka
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
peluang untuk masuk dalam pasar uang internasional. Sekuritisasi aset juga dapat meningkatkan nilai pasar portofolio yang dimiliki oleh dunia usaha dan menciptakan iklim yang lebih baik bagi pemberian kredit baru. Sekuritisasi aset juga dapat mempercepat pertumbuhan secondary market yang terintegrasi yang dapat membantu negaranegara berkembang yang mengalami kesulitan keuangan untuk menarik investor asing. Bagi perusahaan, hal ini berarti membuka peluang untuk berhubungan dengan pasar uang internasional dan mendapatkan sumber pendanaan yang secara ekonomi lebih menguntungkan karena perusahaan tidak mengalami peningkatan beban hutang dan risiko.
47
Volume2Nomor 3,Desember2004
SEKELUMIT RENUNGAN MENGENAI ARAH KEBIJAKAN LIBERALISASI JASA PERBANKAN INDONESIA Oleh : Tim Perbankan dan Enquiry Point – Direktorat Hukum
Pendahuluan Terpaan angin globalisasi (kalau tidak mau disebut “internasionalisasi”) perdagangan dunia baik sektor barang maupun jasa, tidak terkecuali sub-sektor jasa perbankan di dalamnya, tampaknya semakin hari berhembus semakin kencang sebagai konsekuensi logis dari semakin berintegrasinya perekonomian dunia. Berbagai pandangan pesimistis berpendapat bahwa liberalisasi dan segala macam atribut yang dibawanya laksana kuburan yang siap menelan perbankan nasional yang baru saja sembuh dari sekarat berkepanjangan akibat deraan krisis perbankan. Liberalisasi, dari kacamata ini, dianggap sebagai suatu produk canggih dari proses metamorfosa kolonialisme wilayah/teritorial yang telah out of date menjadi kolonialisme ekonomi dalam bentuknya yang sangat modern sekarang ini. Secara sekilas pendapat ini mendapat pembenaran apabila melihat implikasi negatif dari suatu proses liberalisasi, khususnya terhadap industri domestik, yang sering menempatkan industri domestik pada posisi yang “kalah” apabila berhadapan dengan hal-hal yang berbau asing dan seperti “orang asing” di
negeri sendiri. Apabila direnungkan dan dikaji lebih dalam, sebetulnya pandangan ini menafikan secara absolut benefit yang dibawa oleh liberalisasi tersebut dalam memperluas lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, efisiensi dan sebagainya. Persoalan sebenarnya lebih terletak pada bagaimana Indonesia, khususnya Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan nasional, dapat menyikapi secara elegan dan lebih arif angin liberalisasi tersebut sehingga dapat memanfaatkan benefit yang ditawarkan sekaligus meminimalisir implikasi negatif yang ditimbulkan. Tulisan ini bermaksud memberikan deskripsi halhal yang sebetulnya dapat dilakukan oleh otoritas perbankan dalam mengembangkan sistem perbankan nasional dalam era liberalisasi perbankan.
Liberalisasi Sektor Berdasarkan GATS
Keuangan
Gagasan penerapan liberalisasi sektor keuangan khususnya di negara-negara berkembang sebetulnya telah dipopulerkan oleh Profesor McKinnon sejak tahun 1973. 1 Beliau
1
Profesor Ronald E. McKinnon adalah seorang pakar ekonomi internasional pada Stanford University. Anjuran liberalisasi tersebut dituangkan pada buku pertamanya “Money and Capital in Economic Development”. Pada tahun 1993, McKinnon mengeluarkan buku “The Order of Economic Liberalization : Financial Control in the Transition to a Market Economy” yang secara gamblang menekankan perlunya sequencing of financial liberalization dalam meliberalisasi sektor keuangan. Khusus masalah ini akan dibahas dalam tulisan yang akan datang.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
48
Volume2Nomor 3,Desember2004
merekomendasikan liberalisasi sektor keuangan setelah mengkaji efek negatif yang disebabkan oleh kebijakan represi keuangan (financial repression policy)2 yang diterapkan oleh beberapa negara. Kebijakan ini bercirikan pembatasan maksimum terhadap tingkat suku bunga dana pihak ketiga maupun kredit serta alokasi kredit yang tidak merata kepada setiap sektor. Kebijakan liberalisasi di sektor keuangan memperbaiki kebijakan ini dengan cara meniadakan kontrol bunga dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar sehingga tercipta mobilisasi dana masyarakat yang cukup tinggi dalam mendanai sektor-sektor yang diperlukan untuk pembangunan. Secara historis, tampaknya Indonesia mulai menganut ideologi ekonomi dengan berorientasi pada pasar bebas melalui proses liberalisasi ini dengan melakukan deregulasi berupa Paket Juni 1983 untuk memperbaiki sektor keuangan dan sektor riil yang berorientasi ekspor. Paket Juni ini kemudian dilanjutkan dengan kemudahan pendirian bank melalui Paket Oktober 1988 yang lebih dikenal dengan Pakto 88. Tujuan semula sebetulnya adalah untuk menciptakan sistem perbankan sebagai lembaga intermediasi yang efisien melalui penciptaan tingkat suku bunga yang kompetitif sesuai mekanisme pasar. Namun dalam perkembangannya justru paket deregulasi tersebut memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi terjadinya krisis perbankan mulai medio 1997 karena dalam kenyataannya banyak pelaku pasar yang berjiwa “petualang” dan semata-mata memiliki motif “dagang” menjadi pengurus dan pemegang saham bank sekaligus debitur bank. Para pemilik bank ini merupakan para pengusaha di sektor riil yang kebetulan pula berhasil menjadi tycoon melalui pemberian segala jenis fasilitas yang luar biasa koruptif oleh penguasa Orde Baru. Kolaborasi yang saling memanfaatkan ini berlangsung cukup harmonis sehingga dana masyarakat yang dihimpun oleh bank yang seharusnya dialokasikan kepada sektor yang membutuhkan justru ditanam pada sektor riil yang menjadi core business para pengusaha tersebut. Singkat kata, bank dijadikan mesin uang untuk membesarkan bisnis pemilik bank di sektor riil sehingga efisiensi yang diharapkan tinggal harapan semata. Ada benarnya pendapat Didik J. Rachbini yang mengatakan bahwa secara umum kebijakan Pakto 88 dilihat dari aspek suku bunga dapat dikatakan gagal total.3 Pengalaman serupa pernah dialami oleh Chile, saat ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 2004, semasa pemerintahan rezim Pinochet.4 Persis yang dilakukan oleh para teknokrat
2
Sritua Arief, “Pemikiran Pembangunan dan Kebijaksanaan Ekonomi”, Lembaga Riset Pembangunan, Jakarta, 1983. 3 Didik J. Rachbini, dkk., “Bank Indonesia menuju Independensi Bank Sentral”, PT. Mardi Mulyo, Jakarta, 2000. 4 Jenderal Augusto Pinochet Ugarte merupakan diktator yang berkuasa di Chile tahun 1973-1988. Seperti halnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia, Pinochet menafikan eksistensi demokrasi dan menguasai seluruh sektor ekonomi, politik dan sosial melalui kroni-kroninya. Sebagian besar rakyat Chile percaya bahwa sumber kekuasaan rezim Pinochet adalah Pinochet, Tuhan dan Directorate of National Intelligence (DINA).
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
49
Volume2Nomor 3,Desember2004
asal (University of California at) Berkeley pada zaman Orde Baru, teknokrat asal (University of) Chicago yang dikenal dengan sebutan Chicago Boys melakukan banyak hal di bidang ekonomi seperti deregulasi, privatisasi dan kebijakan pasar bebas lainnya dibandingkan sebelumnya yang penuh dengan praktek monopoli yang tidak memiliki semangat kompetisi khas kapitalisme. 5 Sebagaimana tipikal pemerintahan diktator militer, sektor ekonomi termasuk sektor keuangan dikontrol secara sentralisasi di bawah satu tangan, yaitu presiden. The Chicago Boys mempelopori pembukaan ekonomi Chile terhadap modal asing sehingga terjadi integrasi ekonomi Chile ke dalam sistem ekonomi internasional sehingga liberalisasi dilakukan secara agresif dan drastis. Tetapi ternyata semua berakhir secara sad ending. Sama halnya yang terjadi di Indonesia dalam hal sebagian besar masyarakat Indonesia menyalahkan “mafia” Berkeley atas krisis moneter yang masih dirasakan dampaknya sampai sekarang ini, the Chicago Boys pun disalahkan atas terjadinya krisis ekonomi seiring dengan kejatuhan Pinochet tahun 1988. Liberalisasi yang agresif tanpa diimbangi dengan penguatan struktur industri jasa keuangan domestik, termasuk
perbankan, agar dapat bersaing dengan industri internasional justru menimbulkan tingkat suku bunga dan inflasi yang sangat tinggi, banyaknya perusahaan (termasuk bank) yang ditutup, serta terjadinya defisit yang luar biasa terhadap transaksi berjalan pada neraca pembayaran, yang dianggap merupakan “dosa besar” the Chicago Boys pada rakyat Chile. Kelahiran GATS6 pasca Uruguay Round memberikan arah yang jelas bagi kebijakan liberalisasi negara berkembang. GATS setidaknya mengakui peranan penting yang dapat dimainkan oleh negara berkembang dalam perdagangan jasa dan memaklumi adanya asymmetric playing field antara negara berkembang dengan negara maju sehingga GATS memberikan special & different (S&D) treatment kepada negara berkembang. Article IV GATS secara eksplisit mengatur tentang Increasing Participation of Developing Countries dan pada paragraph (2) bahkan menegaskan perlunya negara maju membentuk contact point untuk memfasilitasi negara berkembang melakukan akses terhadap informasi pasar negara maju. Dengan kondisi yang demikian, pada dasarnya liberalisasi yang dikehendaki GATS adalah liberalisasi yang progresif melalui tahapan-tahapan negosiasi di antara negara anggota WTO dengan dasar saling
5
Lihat Gary S. Becker, “What Latin America Owes to the “Chicago Boys” dalam Hoover Digest No. 4, 1997. 6 GATS (General Agreement on Trade in Services) merupakan salah satu Annex dari Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization yang mengatur aturan main untuk perdagangan jasa.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
50
Volume2Nomor 3,Desember2004
menguntungkan. Namun demikian pencapaian liberalisasi yang progresif tersebut tetap dalam rentang kendali national objective masing-masing negara anggota WTO.
Apa Sebetulnya yang Harus Dilakukan oleh Indonesia ? Pengalaman Chile dan krisis perbankan yang baru dialami Indonesia seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam menyikapi perkembangan liberalisasi di Indonesia. Schedule of Specific Commitment (SOC) Indonesia memberikan semacam “grandfather clause”7 kepada bank asing yang telah eksis pada saat disusun SOC (1997) sehingga menjadi legally binding pada level multilateral. Banyak pihak, termasuk beberapa kalangan di Bank Indonesia sendiri, menyayangkan hal tersebut yang terkesan seolah-olah memperlakukan bank domestik secara diskriminatif. Kelihatannya pemerintah di bawah koordinasi Departemen Keuangan RI sebagai pihak yang berwenang untuk mengatur bank saat itu secara politis berusaha untuk mengapresiasi kontribusi
bank asing terhadap pembagunan ekonomi di Indonesia sehingga muncullah “grandfather clause” tersebut. Namun sebenarnya apabila dipandang perlu tidak tertutup kemungkinan diambil kebijakan untuk menarik komitmen dimaksud untuk sementara sepanjang telah terjadi serious injury pada perbankan domestik akibat liberalisasi. Ini mendapat pembenaran dalam Article X GATS mengenai Emergency Safeguards Measures (ESM). Dalam beberapa kali sidang multilateral WTO, ASEAN minus Singapore telah berkali-kali mengajukan makalah mengenai masalah ESM ini, namun berkali-kali pula negara maju berkeberatan terhadap usulan tersebut dengan alasan tidak feasible dan tidak desirable. 8 Dalam hal ini juga belum terdapat kesepahaman apa yang dimaksud dengan industri domestik (perbankan domestik), apakah bank yang dimaksud hanya bank yang didirikan oleh WNI/Badan Hukum Indonesia atau termasuk bank campuran. Demikian juga apakah bank-bank yang semula dimiliki oleh WNI/Badan Hukum Indonesia apabila telah dibeli mayoritas sahamnya oleh pihak asing apa termasuk dalam
7
Grandfather clause biasanya berupa suatu klausul dalam peraturan perundang-undangan yang mengecualikan suatu subyek hukum yang telah ada pada saat dibentuknya peraturan perundangundangan tersebut terhadap suatu ketentuan yang sedang diatur. 8 Namun ASEAN dengan didukung oleh sebagian negara berkembang lainnya tetap bersikukuh dengan proposal mengenai ESM ini dan bahkan sedikit “mengancam” bahwa apabila ternyata tidak tercapai kesepakatan mengenai konsep ESM, maka ASEAN akan “meninjau kembali” perundingan bilateral melalui proses offer-request. Berkaitan dengan isi proposal ASEAN tersebut, memang secara ilmiah ASEAN agak mengalami kesulitan untuk mendefinisikan “domestic industry”, disamping dalam kenyataannya data mengenai sektor jasa tidak teradministrasi secara baik, termasuk Indonesia tidak memiliki data tersebut.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
51
Volume2Nomor 3,Desember2004
pengertian bank domestik atau bukan. Dalam room document, ASEAN mengusulkan masing-masing negara menentukan sendiri-sendiri apa yang dimaksud dengan domestic industry. Mengingat konsep ESM masih diibaratkan sebagai perjalanan tanpa ujung, bagi Indonesia yang perlu dilakukan saat ini adalah mengkaji seberapa besar kontribusi bank asing pasca krisis perbankan terhadap perekonomian Indonesia sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Pemerintah terhadap jasa asuransi dan turisme. Apabila ternyata kehadiran bank asing tidak memberikan kontribusi yang signifikan, maka perlu dipikirkan kembali untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan bank asing yang beroperasi setelah SOC dibuat dengan SOC yang ada sebagai benchmark. GATS memungkinkan pula bagi negara anggota untuk menerapkan prudential measures dalam mengimplementasikan peraturan di bidang keuangan sesuai ketentuan Annex on Financial Services. Tentunya hal ini dilakukan secara simultan dengan penguatan struktur perbankan domestik sesuai dengan standar internasional dan international best practices. Tampaknya liberalisasi secara progresif akan berjalan relatif mulus dengan keberhasilan BI dalam menyusun cetakbiru perbankan nasional berupa Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Dari
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
kacamata policy maker, API harus diapresiasi dan diakui sebagai suatu loncatan besar dalam usaha memberikan semacam panduan atau garis-garis besar terhadap sistem perbankan nasional di masa yang akan datang. Paling tidak, BI selaku otoritas pengawas perbankan sekarang telah memiliki pegangan yang pasti mengenai hendak diapakan, dibagaimanakan dan dikemanakan sistem perbankan Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesempatan ke depan. API merupakan assessment Bank Indonesia terhadap kekuatan perbankan nasional dalam rangka liberalisasi sektor jasa keuangan, yang tentunya akan dilakukan secara gradual dan progressive melalui mekanisme negosiasi secara multilateral dan bilateral dengan mitra runding di WTO. Namun demikian usaha dan kerja keras masih dibutuhkan dalam mengkonkretkan visi dan misi API ke dalam ketentuan perbankan sebagai ius constitutum. Melakukan harmonisasi ketentuan perbankan plus nilai-nilai luhur API dengan SOC yang ada dengan tetap memperhatikan aturan-aturan GATS agar proses penguatan struktur perbankan domestik berjalan seiring dengan proses liberalisasi itu sendiri harus dimotivasi dengan kesadaran bahwa liberalisasi memberikan benefit berupa efisiensi dan fair competition bagi sistem perbankan nasional.
52
Volume2Nomor 3,Desember2004
RESENSI BUKU Judul Penulis Oleh
: : :
Hukum Sebagai Panglima Prof. DR. Charles Himawan, S.H., LL.M. Hernowo Koentoadji, S.H. dan Yulita Kuntari, S.H.
Buku “Hukum Sebagai Panglima” bisa dikatakan sebagai salah satu “monumen” peninggalan almarhum Prof. DR. Charles Himawan, S.H. LLM sumbangsih pemikiran beliau terhadap supremasi hukum di Indonesia, yang dituangkan dalam artikel-artikel yang dimuat dalam harian Kompas. Buku ini dibagi dalam lima bagian yang mengupas masalah Peradilan, Hukum Ekonomi, Hak Asasi Manusia, Etika dan Filsafat Hukum, serta Konstitusi. Bagian pertama buku ini mengangkat topik Peradilan. “Siri Napacce “ Pemegang Kekuasaan Riil merupakan artikel yang menjadi salah satu benchmark tulisan beliau dan menjadi pedoman penulisan di bidang hukum. Harapan akan terciptanya peradilan yang mandiri sebagai salah satu upaya penegakkan hukum dan langkahlangkah mewujudkannya, dikupas secara rinci dalam tulisan ini. “Presiden Berhak Menolak Calon Ketua MA” merupakan sumbangsih pemikiran beliau untuk DPR, menyikapi penolakan Gus Dur untuk mengangkat Ketua MA dari dua calon yang diajukan. Pemikiran beliau dalam menyikapi maraknya kejahatan perbankan dituangkan dalam artikel bertajuk “BI Perlu Bantuan Peradilan-Dalam Menanggulangi Kejahatan Perbankan. “Harmonisasi Hukum Antaranggota ASEAN” menyoroti
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
perlunya menentukan isi keadilan hukum di negara-negara anggota, walaupun penerapannya berbeda-beda. Diharapkan perbedaan yang ada lambat laun akan menuju pada suatu persamaan agar harmonisasi hukum di kawasan ASEAN dapat dicapai. Bagian kedua buku ini menguraikan tentang Hukum Ekonomi. Artikel “Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum ? “sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh badan peradilan dalam menyikapi besarnya jumlah putusan pengadilan di bidang utang piutang yang merupakan macan kertas belaka karena tidak dapat dilaksanakan. “Mercusuar Hukum bagi Pelaku Ekonomi”, mengemukakan sebuah tinjauan mengenai tiga tipe keputusan keputusan Mahkamah Agung yang merupakan legal light house atau mercusuar hukum bagi para pelaku ekonomi, yaitu keputusan yang menggambarkan sikap MA mengenai pelaksanaan hukum pada umumnya, keputusan MA tentang perjanjian hutang piutang dan Grosse Akta, dan keputusan MA tentang perjanjian utang piutang disertai perdagangan internasional, yang dilengkapi dengan uraian mengenai Keputusan MA atas kasus-kasus yang pernah terjadi. Artikel “Penyebab Utama Kredit Macet” juga
53
Volume2Nomor 3,Desember2004
dituangkan dalam 2 (dua) tulisan yang intinya mengupas kredit macet yang akhirakhir ini sering dipakai sebagai salah satu alasan kurang dana pada bank. Penulis menyoroti dasar pertimbangan yang dijadikan dasar pemberian kredit dan peran peradilan dalam penyelesaian kredit macet tersebut. Dari beberapa artikel yang ada di bagian ini yang ada dapat ditarik suatu ”benang merah” yang menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan hukum. Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Hukum harus berjalan seimbang, mengingat suksesnya upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi perlunya didukung kepastian hukum. Concern beliau terhadap penegakan hukum sebagai salah satu upaya mewujudkan kepastian hukum ditegaskan dalam artikel bertajuk “ Harapan Milenium 2000, Hukum Lebih Ditegakkan. Artikel “Mencegah Rahasia Bank Sebagai Perisai Kejahatan” menyoroti peran peradilan sebagai perisai terakhir untuk menjamin konsistensi penerapan peraturan mengenai kerahasiaan bank, disamping BI sebagai perisai pertama. Berkaitan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia, penulis memaparkannya dalam ketiga buku ini. Bab ini berisi lima artikel yang mengupas upaya penegakan hukum dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia, antara lain bertajuk “Empat Himbauan Presiden Mengenai Penegakan Hukum”, “Melindungi Menteri dan Pers dengan Kekuatan Hukum “dan “Hukum sebagai Penyelamat SIUP”. Kiranya artikel tersebut masih relevan untuk dijadikan bahan refleksi pada saat ini, ketika hak memperoleh informasi publik banyak disuarakan.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Di bab keempat buku ini, penulis memberikan sumbangsih pemikiran untuk Abdurrahman Wahid/Gus Dur (Presiden RI) dan para Elite Politik dalam bentuk tulisan bertajuk “ Etika Politik dan Ketaatan Hukum Socrates”. Penulis mencoba membaca pikiran Gus Dur, ketika merujuk pada Socrates setelah menerima Memorandum DPR. Gus Dur menafsirkan keputusan Socrates yang menerima begitu saja vonis mati dari Pengadilan Heliast (memorandum rakyat Athena) sebagai kematian yang konyol. Dari segi real politics, beliau mencoba survive di tengah badai serangan yang dilancarkan terhadapnya dengan menolak memorandum DPR. Di bagian akhir buku ini, penulis memberikan sumbangan pikiran untuk anggota MPR berkaitan dengan eksperimen dengan sistem Amandemen untuk UUD 1945. Sejarah Konstitusi AS dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa Amandemen merupakan jalan ampuh untuk menyesuaikan suatu dokumen sakral dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Secara keseluruhan, dari sisi substansi, artikel-artikel dalam buku ini menarik untuk dibaca dan cukup lengkap karena mengupas permasalahan hukum dari berbagai sisi dengan dilengkapi pemikiran para tokoh filsuf, sastrawan dan pemikir dari berbagai masa. Dari sisi pemaparan, artikel dalam buku ini cukup mudah dipahami karena diuraikan dengan alur dan bahasa yang mudah dicerna serta dilengkapi dengan tinjauan mengenai kasus-kasus yang pernah terjadi.
54
Volume2Nomor 3,Desember2004
KOMENTAR ATAS PUTUSAN PENGADILAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 1436 K/ Pdt/ 2001 “Masalah Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Hutang Bank Terhadap Debitur Wan-Prestasi” Oleh : Suyud Margono, SH., MH. & Arus Akbar Silondae, SH., LLM. (Pusat Kajian Hukum Bisnis STIE Perbanas, Jakarta)
Kasus Posisi : Permasalahan hukum ini terjadi bermula ketika Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) pada November 1991 memberikan pinjaman/ kredit dalam jangka waktu 12 bulan kepada Debitur yaitu PT. Twin Jaya Steel, yang berkedudukan di Medan, yang di wakili oleh Direktur Utama : Tn. Hanafi dan Komisaris Utama Ny. Siti Aminah.
kepada kreditur, “BPD SUMUT” pada hari jatuh temponya Desember 1992. Pihak kreditur telah memberikan peringatan (somasi) kepada Debitur agar membayar hutangnya. Peringatan I : Juli 1992, Peringatan ke II Januari 1995 dan dilanjutkan pada Peringatan ke III : Febuari 1997. Namun Debitur belum juga membayar hutangnya kepada Kreditur “BPD SUMUT”.
Karena Debitur setelah diperingatkan Pinjaman/Kredit yang diberikan “BPD sampai tiga kali, belum juga membayar SUMUT” kepada PT. Twin Jaya Steel lunas hutangnya tersebut diatas, maka tersebut di atas, selanjutnya mendapat pihak kreditur : “BPD SUMUT” sebagai jaminan dari T. Faisal Oloan Nasution, Penggugat mengajukan gugatan perdata SH. dan Ny. Kushandinigsih Susilowati di Pengadilan Negeri Medan terhadap (suami-istri) sebagai penjamin (avalist) Debitur dan “Pinjaman hutang” yaitu : dengan membuat Surat Pernyataan 1. PT. Twin Jaya Steel sebagai Tergugat Penyerahan Tanah/ Melepaskan hak atas I. tanahnya. 2. Tn. Hanafi, untuk diri sendiri dan sebagai Direktur Utama PT. Twin Jaya Dalam perkembangan selanjutnya Steel sebagai Tergugat II. pinjaman/kredit ini menjadi kredit macet. 3. Ny. Siti Aminah, bertindak untuk diri Pihak Debitur : PT. Twin Jaya Steel dengan sendiri dan sebagai Komisaris Utama : Tn. Hanafi (sebagai Direktur Utama) dan PT. Twin Jaya Steel sebagai Tergugat Ny. Siti Aminah (Komisaris Utama) tidak III. mampu membayar kembali Kredit tersebut
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
55
Volume2Nomor 3,Desember2004
4. Tn. Faisal Oloan Nasution, SH. dan Ny. Kushandiningsih Susilowati suami-istri sebagai Tergugat IV.
·
Pengadilan Negeri · · Dalam persidangan terungkap bahwa PT. Twin Jaya Steel (tergugat I) sejak didirikan 9 Desember 1985 sampai dengan diberikan kredit tanggal 25 November 1991, ternyata belum disyahkan sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman RI.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Negeri memberi putusan yang pada pokoknya sebagai berikut:
· Tergugat IV (penjamin) mengajukan gugatan Rekonpensi, yang menuntut agar Pengadilan Negeri memutuskan a.l: · ·
·
·
bahwa PT Twin jaya Steel, bukan sebagai badan hukum bahwa penjamin tidak bertanggung jawab atas pelunasan hutang/kredit yang diterima oleh PT Twin Jaya Steel. bahwa penyerahan tanah sebagai jaminan atas pelunasan kredit tidak mempunyai kekuatan hukum
Terbukti bahwa Tergugat II dan tergugat III menerima pinjaman uang dari penggugat yang tidak dilunasi oleh tergugat II dan Tergugat III, hal ini merupakan perbuatan “Perbuatan Cidera Janji” (wanprestasi) Ternyata Tergugat IV memberikan jaminan untuk Tergugat I (PT Twin Jaya Steel) yang saat itu belum merupakan Badan Hukum
·
Perbuatan Tergugat II dan III yang tidak membayar lunas hutangnya kepada penggugat adalah “Perbuatan Cidera Janji”(wanprestasi)
Dalam Rekonpensi: ·
·
menghukum BPD Sumut menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah, kepada Penjamin.
·
Menyatakan Tergugat I Konpensi ( P T. Tw i n J a y a S t e e l ) b u k a n sebagai Badan Hukum Menyatakan Penggugat Rekonpensi (Penjamin) tidak turut bertanggung jawab atas pelunasan kredit. Menyatakan penyerahan tanah sebagai jaminan pelunasan kredit/ hutang tidak mempunyai kekuatan hukum Menghukum Tergugat (Rekonpensi (BPD SUMUT) menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa: · · Bahwa PT Twin Jaya Steel, sejak didirikan dengan akte pendirian pada tanggal 19 Desember 1985 sampai dengan peminjaman kredit di BPD SUMUT tahun 1991 masih belum PENGADILAN TINGGI merupakan Badan Hukum, karena belum memperoleh pengesahan dari Dengan Pertimbangan hukum bahwa Menteri Kehakiman RI karena Tergugat II dan Tergugat III mengakui adanya pinjaman dimana
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
56
Volume2Nomor 3,Desember2004
Tergugat IV mengakui juga sebagai Penjamin (Avalist), maka Tergugat IV tetap bertanggung jawab sampai pinjaman dilunasi oleh Tergugat II dan Tergugat III. Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Tergugat IV (penjamin) juga telah melakukan wanprestasi. Membatalkan Putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri yang menyatakan penyerahan tanah sebagai jaminan hutang/kredit tidak mempunyai kekuatan hukum
Komentar Hukum yang setidaknya dapat kami tarik dalam perkara ini, pihak Bank (BPD SUMUT) selaku kreditur memberikan pinjaman kredit kepada badan hukum perseroan “Perseroan Terbatas”/ PT. Twin Jaya Steel. Dalam perjanjian pinjaman kredit tindakan ini diwakili oleh Direktur Utama dan Komisarisnya (Tergugat II dan III). Terhadap Pinjaman Kredit tersebut Pihak Tergugat II dan III memberikan jaminan tanah milik Pihak Ketiga (dalam perkara ini selaku Tergugat IV) sebagai “Penjamin” (Avalist).
MAHKAMAH AGUNG Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan pada pokoknya adalah sebagai berikut: ·
Menghukum Tergugat II dan Tergugat III membayar hutangnya kepada BPD SUMUT · Menyatakan Tergugat I (PT. TWIN JAYA STEEL) bukan sebagai Badan Hukum, karena belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman RI · Menyatakan Hutang/kredit dimaksud bukan hutang/kredit Tergugat I (PT. TWIN JAYA STEEL) · Menyatakan Tergugat IV (Penjamin) Tidak turut bertanggung jawab terhadap pelunasan hutang/kredit dimaksud. · Menyatakan Penyerahan Tanah dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah oleh Tergugat IV (penjamin) terhadap pelunasan hutang/kreditTergugat I (PT.TWIN JAYA STEEL) tidak mempunyai kekuatan hukum Komentar Hukum :
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Karena PT. Twin Jaya Steel selaku Debitur tidak membayar lunas hutangnya tersebut (cidera- janji), maka tanggungjawab membayar hutang tersebut, ada pada Direktur Utama dan Komisarisnya secara pribadi (personal responsibility) dan bukan menjadi tanggungjawab hukum dari PT. Twin Jaya Steel selaku Badan Hukum, karena Fakta Hukum yang terjadi “Perseroan Terbatas” (PT. Twin Jaya Steel) tersebut, sejak didirikan 1985 sampai diterimanya pinjaman dari Bank tahun 1991, ternyata masih belum memperoleh pengesahan dari Departemen, Kehakiman dan HAM sebagai suatu Badan Hukum. Apabila kita menganalisis perkara ini, majelis Hakim Tingkat Pertama dan Terakhir pada hakikatnya telah memberikan pertimbangan hukum yang baik berdasarkan hukum Perseroan Terbatas (PT) memiliki dua sisi, yaitu pertama sebagai suatu badan hukum dan kedua pada sisi yang lain adalah wadah atau tempat diwujudkannya kerja sama
57
Volume2Nomor 3,Desember2004
antara para pemegang saham atau pemilik modal. Hal ini terlihat jelas dari ketentuan umum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT). Terlihat dari ketentuan Pasal 1 butir 1 UUPT di atas, bahwa PT memperoleh status badan hukum berdasarkan sistem tertutup (de gesloten systeem van rechtspersonen), di mana suatu perbuatan perdata semata-mata tidak dapat dijadikan suatu organisasi menjadi badan hukum, tetapi harus berdasarkan undangundang atau dengan undang-undang. Hal ini membedakannya dengan yayasan yang menjadi badan hukum berdasarkan sistem terbuka (het open systeem van rechtspersonen), yaitu tidak berdasarkan undang-undang atau dengan undangundang, melainkan berdasarkan kebiasaan, doktrin, dan mungkin didukung oleh yurisprudensi. Mengenai sifat Penjaminan (avalist) yang dilakukan oleh Pihak ketiga (Tergugat IV) dari Suatu Utang (antara Kreditur dan Debitur), beberapa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, mengatur unsur-unsur formal yang melekat pada perjanjian pemberian jaminan ialah bahwa penjamin menjamin dipenuhinya perikatan pihak ketiga. Isi perjanjian itu sendiri bisa beraneka ragam. Namun esensi perjanjian pemberian jaminan itu adalah bentuknya, yakni suatu kewajiban accessoir bagi pemenuhan suatu perikatan pihak lain yang timbul dari perjanjian lain.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
Perjanjian pemberian jaminan juga dapat disebut sebagai perjanjian accessoir karena perjanjian itu tidak mungkin berdiri sendiri. Keberadaannya bergantung pada suatu perjanjian pokok, karena pada prinsipnya tiada suatu perjanjian jaminan tanpa suatu perjanjian pokok. Ketentuan terhadap lepasnya tanggungjawab Pihak Penjamin seiring dengan dengan Pasal 1820 KUHPerdata berbicara perihal pemenuhan perikatan dan tidak berbicara perihal pemenuhan tanggung jawab. Dengan demikian isi prestasi seorang Penjamin adalah sama dengan isi prestasi yang harus dipenuhi oleh Debitur. Secara yuridis kontruksinya adalah sebagai berikut : apabila si Penjamin memenuhi prestasinya sesuai isi perjanjian pemberian jaminan, maka pada saat bersamaan ia memenuhi juga prestasi (membayar hutang) orang yang dijamin. Kontruksi sedemikian ini hanya dimungkinkan, apabila isi prestasi dari kedua perjanjian itu sama. Dalam praktek, sifat accessoir dari suatu perjanjian pemberian jaminan telah kehilangan artinya. Hal ini disebabkan karena dalam hampir semua perjanjian pemberian jaminan Penjamin mengesampingkan haknya agar kreditur menuntut pembayaran terlebih dahulu dari debitur. Selanjutnya Pasal 1931 KUHPerdata menyatakan bahwa Penjamin tidak wajib membayar kepada Kreditur kecuali jika Debitur lalai membayar hutangnya; dalam hal itupun barang kepunyaan Debitur harus
58
Volume2Nomor 3,Desember2004
disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Akibat juridis selanjutnya Penjamin (Avalist) tidak dapat dituntut untuk melaksanakan kewajiban hukum sebagai “Penjamin/Avalist” membayar hutang “PT. Twin Jaya Steel” yang belum berstatus sebagai Badan Hukum tersebut,
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
disamping tidak memenuhi kewajiban pembayaran hutang (pemenuhan perikatan). Maka sesuai dengan UUPT Pemegang Saham dan Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum termasuk hutang terhadap Bank (BPD SUMUT) yang dilakukan perseroan.
59
Volume2Nomor 3,Desember2004
CAKRAWALA HUKUM Oleh : Redaksi
Dalam Cakrawala Hukum kali ini Redaksi sedang nasabah juga tidak menyampaikan 2 (dua) topik yang mengetahui secara persis informasi berhubungan dengan perkembangan apa yang dapat mendukung segala hukum perbankan dan kebanksentralan, aspek dan prospek usahanya). yaitu Seminar Nasional “Mencari Solusi 2. Kendala yang dihadapi dalam Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan menerapkan skim pembiayaan bagi Syariah” yang diselenggarakan pada hasil diantaranya adalah : kendala tanggal 11 Oktober 2004 di Jakarta dan resiko, kendala kepercayaan, kendala Sidang Ke 44 Pokja IV Electronic administratif, kendala teknis, kendala Commerce – United Nations biaya, dan kendala psikis nasabah. Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang diselenggarakan di 3. Tingkat penggunaan skim pembiayaan Wina, Austria pada tanggal 11-22 Oktober bagi hasil ini, secara nasional, 2004. berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) I. Seminar Nasional “Mencari Solusi per Juni 2004 mencapai 30 % terhadap Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan total portofolio pembiayaan. Selain itu, Syariah” industri perbankan syariah perlu Pokok-pokok pembahasan dalam melakukan identifikasi faktor-faktor seminar meliputi : yang mempengaruhi dominasi pembiayaan non bagi hasil di 1. Skim pembiayaan bagi hasil perbankan syariah Indonesia, (Mudharabah dan Musyarakah) sehingga dapat mengambil policy merupakan pilar dari perbankan action yang tepat untuk mengatasi syariah yang mengandung nilai masalah yang ada sesuai target yang kejujuran dan keadilan ekonomi. Skim diinginkan. pembiayaan ini juga dapat mengatasi problem asymmetric information yaitu 4. Menurut hasil penelitian PPSK BI, permasalahan perbedaan informasi penyebab rendahnya pembiayaan bagi yang diterima antara perbankan hasil di perbankan syariah adalah : dengan nasabahnya (perbankan internal, nasabah, regulasi, pemerintah sebagai pemberi pinjaman tidak dan institusi lain. Untuk mengatasi hal sepenuhnya menguasai informasi tersebut diperlukan kesadaran dari permasalahan yang dihadapi oleh pihak terkait untuk mengatasi nasabah mengenai prospek usahanya, permasalahan ini secara
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
60
Volume2Nomor 3,Desember2004
komprehensif, sinergis, tuntas dan berkesinambungan.
ekonomi bukan hanya berfokus untuk menghindari praktek bunga.
5. Dalam hal pemahaman esensi perbankan syariah kaitannya dengan Islamic Bank diperlukan pemahaman mengenai philosophy yang menjadi dasar adanya perbankan syariah sehingga dapat membentuk perilaku Pelaku, mengingat percepatan pertumbuhan dari Islamic Bank sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) pihak yaitu : Pemerintah dan Regulator (faktor eksternal), Nasabah (faktor eksternal) dan Sumber Daya Insani (faktor internal).
7. Alternatif strategi pengembangan perbankan syariah yang direkomendasikan adalah :
6. Sasaran pengembangan perbankan syariah adalah : a) Meningkatkan manfaat perbankan syariah bagi kesejahteraan masyarakat. b) Mewujudkan perbankan syariah yang sehat, kompetitif dan efisien. c) Menjamin pemenuhan prinsip syariah secara konsisten berdasarkan mudharabah (partnership). d) Menjamin prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah. e) Mengimplementasikan semua prinsip syariah dalam kegiatan
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
a) Memberikan pelayanan yang terbaik b) P e r l u n y a m e n y e m p u r n a k a n perundang-undangan tentang Bank Syariah yang lebih komprehensif.
II. SIDANG KE 44 POKJA IV ELECTRONIC COMMERCE - UNITED NATIONS COMMISSION ON INTERNATIONAL TRADE LAW (UNCITRAL). Dalam sidang ini kehadiran Delegasi Indonesia adalah sebagai observer. Indonesia perlu menentukan sikap terhadap terhadap konvensi tersebut sehingga perlu dilakukan koordinasi antar berbagai instansi/lembaga terkait seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman, Departemen Keuangan, Departemen Perhubungan, Kominfo, Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan, serta Bank Indonesia. Penentuan posisi tersebut terkait dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang
61
Volume2Nomor 3,Desember2004
merupakan kewenangan Departemen 3. Penyerahan draft Konvensi kepada Luar Negeri Majelis Umum PBB untuk mendapat pengesahan. Pokok-pokok yang menjadi pembahasan sidang adalah sebagai Pengajuan draft Konvensi kepada Majelis berikut : Umum PBB dilakukan oleh Sekretariat PBB. Sehubungan dengan hal tersebut, 1. Ruang lingkup berlakunya Konvensi kepada setiap negara yang akan Konvensi berlaku untuk penggunaan meratifikasi atau tunduk pada Konvensi electronic communications yang dapat menyatakan secara tertulis kepada dilakukan berdasarkan perjanjian antara Sekretariat PBB. Pada saat pernyataan para pihak dimana kegiatan atau tertulis tersebut disampaikan, negara transaksinya dilakukan di negara yang tersebut tidak secara otomatis terikat pada berbeda (business to business, business Konvensi namun bebas menentukan to government atau government to kapan negara tersebut akan tunduk. government). Konvensi tidak berlaku Pengaturan dimaksud ditujukan agar untuk penggunaan electronic proses penundukan terhadap Konvensi communications yang terkait dengan : dapat dilakukan secara fleksibel oleh a. perjanjian yang sifatnya personal atau setiap negara. family (household) purposes; b. foreign exchange transactions, sistem pembayaran antar bank, perjanjian pembayaran antar bank, sistem kliring dan settlement atas surat berharga atau financial asset/instrumen lainnya, yang sudah diatur secara khusus oleh suatu negara; c. bills of exchange, promissory notes dan negotiable instrument lainnya; d. dokumen pengiriman barang. 2. Penundukan terhadap Konvensi Setiap negara bebas menentukan apakah akan meng-adopt ketentuan dalam konvensi atau tidak. Penundukan terhadap konvensi dapat dilakukan untuk seluruh atau sebagian ketentuan sebagaimana yang diatur dalam konvensi.
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
4. Konvensi Internasional Setiap negara yang tunduk pada Konvensi wajib pula tunduk pada konvensi internasional yang ditetapkan, yaitu : a. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York, 10 June 1958); b. Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York, 14 June 1974) and Protocol (Vienna, 11 April 1980); c. United Nations Convention on Liability of Operators of Tr a n s p o r t Te r m i n a l s in International Trade (Vienna, 19 April 1991); d. United Nations Convention on Independent Guarantees and Standby Letters of Credit (New York, 11 December 1995); e. United Nations Convention on the Assignment of Receivables in
62
Volume2Nomor 3,Desember2004
5. a.
b.
c.
d.
e.
International Trade (New York, 12 December 2001). Definisi Communication adalah segala bentuk pernyataan, penawaran, pemberitahuan, permintaan termasuk persetujuan penawaran di mana para pihak sepakat untuk membuat suatu contract. E-communication adalah segala bentuk komunikasi yang digunakan dalam pengiriman data messages. Data message adalah informasi yang digenerate, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetic, optical, atau sarana yang sejenis dengan itu, termasuk tetapi tidak terbatas pada EDI, e-mail, telegram, telex, atau telecopy. Sistem informasi adalah suatu sistem yang digunakan untuk men-generate, mengirim, menerima, menyimpan, atau memproses data message. Automated message system adalah suatu program komputer atau sarana elektronik atau sarana automated lainnya yang digunakan untuk melakukan atau menerima data message secara keseluruhan atau sebagian tanpa intervensi dari seseorang (generated by system).
6. Waktu pengiriman dan waktu penerimaan electronic communication Waktu pengiriman dalam electronic communication adalah pada saat
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
“message” tersebut telah dikirim oleh sistem informasi namun masih berada dalam kontrol pengirim, atau apabila sistem informasi tersebut tidak berada dalam kontrol pengirim maka waktu pengiriman adalah pada saat “message” tersebut diterima. Sedangkan waktu penerimaan adalah pada saat “message” diterima oleh penerima pada electronic address penerima atau apabila melalui electronic address lain maka waktu penerimaan adalah pada saat penerima dianggap atau seharusnya “aware” atas diterimanya “message” pada electronic address tersebut. Pengaturan hal ini masih menjadi bahan diskusi sehubungan dengan pendapat dari anggota yang mengemukakan bahwa electronic communication termasuk pula antara lain faximile dan telex. 7. Kesalahan dalam comunication
electronic
Apabila seseorang melakukan kesalahan melakukan input dalam electronic communication sementara sistem tidak secara otomatis memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melakukan koreksi, maka orang tersebut berhak untuk menarik kembali “message” dimaksud. Sehubungan dengan hal tersebut, peserta sidang masih akan mengkaji lebih jauh cakupan “menarik kembali” apakah harus mengirimkan transaksi baru (membatalkan seluruh proses) atau cukup dengan melakukan koreksi atas input message yang salah tersebut.
63
Volume2Nomor 3,Desember2004
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA OKTOBER-DESEMBER 2004
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
64
Volume2Nomor 3,Desember2004
DAFTAR SURAT EDARAN (EKSTERN ) BANK INDONESIA OKTOBER-DESEMBER 2004
BULETINHUKUMPERBANKANDANKEBANKSENTRALAN
65
Volume2Nomor 3,Desember2004