BMT SEBAGAI CORPORATE SOCIAL ENTREPRENEURSHIP Hendro Wibowo Sekretaris Program Studi Perbankan Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Depok, Jawa Barat Jl. Raya Bojongsari Depok, Jawa Barat, 16517 Telp 0251-8616655 Email :
[email protected] ABSTRAC The problems of poverty and unemployment is one of the fundamental issue. To achieve the government's poverty reduction targets in this set of community development strategies to eradicate poverty ie enhancing the productivity of the poor to increase their income. Increased productivity through enterprise development and empowerment of the poverty, especially efforts to Micro and Small scale developed by the proverty with the role of the BMT. The existence of BMT, especially in the terms of accumulation and distribution. still rely on the linkage of capital of Islamic financial institutions larger as well as BPRS and Islamic Banking, it has implications for policy on determining the selling price (pricing) or the rate for the results supplied to customer financing to be large because it is not regardless of the referral (benchmark) to the conventional interest rate, cost of funds, the level of competitors, inflation, exchange rate and overhead costs. Corporate Social Entrepreneurship, a program must be current developed especially for BMT, so the BMT as a Corporate Social Entrepreneurship can has two types of hybrids established with the aim pursuing a dual strategy of value creation to achieve a sustainable balance. So that the BMT stand integrate commercial concept to support social purpose and for-profit from incorporating social programs. Keyword: BMT, funding, lending, Corporate Social Entrepreneurship
1
Bab I Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang Masalah kemiskinan dan pengangguran merupakan salah satu persoalan
mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun, dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia. Karena merupakan suatu hal yang berhasil dalam menjalankan roda pemerintahan, apabila dua permasalahan tersebut bisa diatasi dengan baik. Kita akui bahwa, jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ketahun mengalami penurunan walaupun masih dalam kategori belum signifikan, dimana pada tahun 2010 hanya 31,02 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau 13.33% dari jumlah penduduk sebanyak 220 juta. TABEL. 1 JUMLAH PENDUDUK MISKIN INDONESIA (2004- 2009) Jumlah Penduduk Miskin (juta) 2004 36,15 2005 35,10 2006 39,30 2007 37,17 2008 34,96 2009 32,53 2010 31,02 Sumber: Susenas berbagai tahun. BPS
Tahun
Persentase thd total penduduk pd tahun ybs (poverty Incidence) 16,66 15,97 17,75 16,58 15,42 14,15 13,33
Lebih jauh lagi, jika diperhatikan pemerataan penduduk miskin baik di perkotaan maupun perdesaan belum merata, berdasarkan data BPS umumnya tingkat kemiskinan yang terjadi diperdesaan adalah sebagian besar petani. Menurunkan angka kemiskinan, selain menitikberatkan pertumbuhan ekonomi, juga harus menerapkan pemerataan distribusi pendapatan yang baik. TABEL. 2 KARAKTERISTIK KEPALA RUMAH TANGGA MENURUT MATA PENCAHARIAN (2008) Karakteristik Rumah Tangga Rumah Tangga Miskin 1. Perkotaan 2. Perdesaan
Tidak Bekerja (%)
Pertanian (%)
Industri (%)
Lainnya (%)
14.0 8.67
30.02 68.99
10.55 5.09
44.72 17.26
2
Karakteristik Rumah Tidak Bekerja Tangga (%) 3. Perkotaan + 10.62 Perdesaan Rumah Tangga tidak Miskin 1. Perkotaan 15,38 2. Perdesaan 7.91 3. Perkotaan + 11.1 Perdesaan Sumber : Badan Pusat Statistik
Pertanian (%)
Industri (%)
Lainnya (%)
58.35
6.86
26.16
9.39 55.2 35.06
12.19 5.97 8.7
63.07 30.92 45.05
Padahal pada tahun tahun 2002 anggaran pengentasan kemiskinan sejumlah anggaran pengentasan Rp 20.4 Triliun, kemudian meningkat pada tahun 2005 kemiskinan sejumlah Rp 23 Triliun, meningkat menjadi Rp 42 Triliun pada tahun 2006, kemudian tahun 2007 berjumlah Rp 51 Triliun dan Tahun 2008 berjumlah Rp 63 Triliun kemudian meningkat lagi pada tahun 2009 berjumlah Rp 66.2 Triliun lalu di tahun 2010 meningkat menjadi Rp 94 Triliun (Bappenas, 2010). Dapat disimpulkan bahwa anggaran kemiskinan dari tahun ke tahun meningkat mulai dari tahun 2004 ke tahun 2005 sebesar 20%an hingga tahun 2010an meningkat, namun untuk penurun angka kemiskinan tidak signifikan, berarti ada gap yang terjadi antara anggaran kemiskinan dengan penurunan kemiskinan. TABEL. 3 ANGGARAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM APBN (2002- 2010) 100
94
80
63
60
51
40
38.4 20
66.2
37.3
20.4 16
36.1
18
35.1 42 39.3
37.2
35.3
23
32.5
31
0 2002
2003
2004
2005
Jumlah Anggaran (Triliun) Sumber : APBN dan berbagai sumber
2006
2007
2008
2009
2010
Penduduk Miskin (Juta)
Dengan demikian untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan, pemerintah dalam hal ini menetapkan strategi pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan yakni meningkatkan produktivitas masyarakat miskin
3
untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha dengan skala Mikro dan Kecil yang dikembangkan oleh masyarakat miskin melalui peranan BMT atau KJKS dengan inovasi penghimpunan dan penyaluran dana. Disisi lain, perkembangan BPRS dan BMT, khusus untuk BMT dan KJKS dimana perkembangan KJKS dan BMT, memiliki potensi yang cukup besar menurut data dari berbagai sumber juga dijelaskan mengenai perkembangan lembaga keuangan menurut Gerakan Indonesia untuk Pengembangan Keuangan Mikro adalah 1: TABEL. 4 LEMBAGA KEUANGAN MIKRO No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Institusi Unit Kreditur Jumlah Kredit (Rp) BPR 2,148 2,400,000 Rp9,431,000,000,000 BRI Unit 3,916 3,100,000 Rp14,182,000,000,000 Badan Kredit 5,345 400,000 Rp197,000,000 Desa KSP 1,097 665,000 Rp531,000,000,000 USP 35,218 Na Rp3,629,000,000,000 LDKP 2,272 1,300,000 Rp358,000,000,000 Pegadaian 264 16,867 Rp157,697,252,000 BMT 3,038 1,200,000 Rp157,000,000,000 Credit Union 1,146 397,401 Rp505,729,317,823 & NGO 54,444 9,479,268 Rp28,951,623,569,823 Total Sumber : Gema PKM, Oktober 2004
Deposan 5,610,000 29,870,000
Jumlah Simpanan (Rp) Rp9,254,000,000,000 Rp27,429,000,000,000
480,000
Rp380,000,000
Na Na Na No Savers Na
Rp85,000,000,000 Rp1,157,000,000,000 Rp334,000,000,000 No Savings Rp209,000,000,000
293,648
Rp188,014,828,884
36,253,648
Rp38,656,394,828,884
Dari data diatas menunjukkan bahwa secara nasional jumlah BMT lebih besar dibandingkan jumlah KSP, jumlah BMT mencapai 3.038 unit, sementara jumlah KSP sebanyak 1.097 unit. Begitu pula jumlah simpanan yang dimiliki oleh BMT lebih besar dari pada simpanan yang ada di KSP. Jumlah dana yang disimpan di BMT mencapai Rp. 209.000.000.000,- sedangkan di KSP hanya sebesar Rp. 85.000.000.000,-. Ini menunjukkan jumlah simpanan di KSP hanya 40,6% dari jumlah simpanan di BMT. Akan tetapi, walaupun jumlah simpanan lebih besar di BMT dari pada di KSP, jumlah kredit yang terjadi di BMT justru lebih kecil dari pada jumlah kredit di KSP. Di BMT jumlah kredit mencapai Rp. 157.000.000.000,-
sedangkan
jumlah
kredit
di
KSP
mencapai
Rp.
1
Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, “Mapping Microfinance in Indonesia”,Jurnal Ekonomi Rakyat, (Maret, 2005), http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_5.htm.
4
531.000.000.000,-. Ini berarti jumlah kredit yang tersalurkan di BMT hanya sekitar 29,5 % dari jumlah kredit di KSP. Berarti data diatas belum menunjukkan peran yang begitu optimal bagi BMT atau KJKS dalam mengentaskan kemiskinan. Dan ini terlihat lebih spesifik dari neraca yang dimiliki oleh beberapa BMT atau KJKS. TABEL. 5 NERACA GABUNGAN BMT (RIBU RUPIAH) KETERANGAN AKTIVA KAS PENEMPATAN PADA BANK LAIN PEMBIAYAAN PASIVA DPK KEWAJIBAN LAIN-LAIN MODAL SIMPANAN PENGURUS DONASI/HIBAH
BMT BERKAH MADANI
BMT PILAR MANDIRI
BMT AQOBAH PARUNG
BMT MBA ITS
36.426 970.356
13.543 19.625
6.181 30.080
5.395 135.692
3.349.043
152.461
21.767
90.000
1.981.287 1.386.471
8.610 1.306
19.996 -
312.516 550.000
243.200
957 50.000
221.120
Sumber : data diolah
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa funding yang dimiliki BMT dan KJKS mayoritas merupakan dari chanelling programme, dimana dana-dana tersebut adalah berasal dari penempatan dana BPRS maupun chanelling program dari bank syariah atau dari dana dana hibah lainnya. Hal inilah yang menyebabkan cost of fund dari BMT atau KJKS besar. Padahal BMT atau KJSKS merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat, karena cost of fund yang diberikan besar sehingga berdampak dari penentuan pricing penyaluran dana seperti rate margin murabahah dan rate bagi hasil pembiayaan mudharabah besar. Kondisi ini menurut hemat penulis merupakan problem academic yang patut untuk diteliti dan dianalisis lebih dalam untuk agar peranan KJKS atau BMT sebagai social entrepreneurship untuk menggerakkan sektor riil lebih dioptimal. Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi pertumbuhan yang kuat dalam studi social entrepreneurship pada tingkat administrasi bisnis dan ekonomi mikro. Ini telah terjadi terutama kasus sejak Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank dan contoh yang terkenal sebuah perusahaan sosial, memenangkan Harga Nobel Perdamaian pada tahun 2006. Namun, peningkatan kepentingan akademis
5
sebagian besar telah terbatas pada studi kasus atau upaya untuk menemukan yang umum definisi kewirausahaan sosial2. Saat ini literatur akademis tidak menyediakan kaitan antara social entrepreneurship dan kebijakan pembangunan ekonomi. Seberapa penting adalah pengusaha sosial ekonomi pembangunan dan apa implikasi kebijakan? Dikarenakan bahwa yang bergerak di sektor riil dengan skala mikro dan kecil adalah masyarakat miskin Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi. Sehingga inilah, hal yang menarik bagi penulis untuk membahasnya. 1.2.
Perumusan Masalah Pada saat ini praktik riil di BMT atau KJKS dalam penghimpunan dana
yang berasal dari anggota belum signifikan, dana BMT atau KJKS masih mengandalkan modal dari linkage lembaga keuangan syariah yang lebih besar seperti BPRS maupun Bank Syariah, hal ini berdampak pada penentuan kebijakan harga jual (pricing) yang dibuat tidaklah terlepas dari rujukan (benchmark) kepada suku bunga konvensional, cost of fund (biaya dana), tingkat pesaing (competitor), inflasi, nilai tukar rupiah dan biaya overhead. Yang menjadi soroton penting, dalam penulisan ini adalah cost of fund (biaya dana) dalam hal penghimpunan dan rate yang masih mengikuti (benchmark) dari lembaga keuangan konvensional, masih terdapat kritikan-kritikan terhadap beberapa praktik yang dilakukan BMT atau KJKS selama ini terutama pada piutang murabahah yang dianggap masih sama dengan kredit pada perbankan 2
Bishnu Pariyar and Anthony E. Ward. Social Entrepreneurship: Producing Yunus out of Branson and Teresa. University of York. Bishnu Pariyar adalah seorang peneliti internal di White Rose Centre for Enterprise and an undergraduate di Departemen Kebijakan dan Pekerja Sosial Universitas York UK. Dan Anthony E. Ward adalah Dosen di Departemen Elektronik dan Manajer Pembelajaran Kewurausahaan Universitas York UK.
6
konvensional. Kritikan ini didasarkan pada kenyataan bahwa proses penentuan harga jual murabahah adalah tetap menggunakan metode pembebanan bunga flat tingkat dan prinsip cost of fund yang merupakan pikiran utama dalam lembaga keuangan mikro konvensional. GAMBAR. 1 OPERASIONAL LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Penghimpunan Dana Wadiah Yad Dhamanah Mudharabah Mutlaqoh Ijarah, Modal, dll
P O O L I N G D A N A
Penyaluran Dana
Pendapatan
Prinsip Bagi Hasil
Bagi Hasil
Prinsip Jual Beli
Margin
Prinsip Sewa
Sewa/Fee Penetapan Margin
Hak Pihak Ketiga BIAYA OVERHEAD COST OF FUND BENCHMARK BANK KONVENSIONAL
Sumber : diolah oleh penulis
Bahkan penentuan marjin dan bagi hasil yang diberikan BMT atau KJKS terkadang lebih besar dari suku bunga konvensional. Kondisi seperti ini menuntut adanya persepsi yang kurang baik dari masyarakat bahwa praktik bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional bahkan mungkin lebih jahat dari bank konvensional, karena hilangnya nilai substansi dari penghimpunan dana maupun penyaluran dana oleh BMT atau KJKS baik piutang murabahah dan pembiayaan mudharabah sehingga akan berdampak pada kekecewaan masyarakat dan cenderung meninggalkan bank syariah. Sehingga yang menikmati, BMT atau KJKS adalah sebagian masyarakat yang memiliki dana dan usaha yang bagus, maka dengan demikian agak sulit masyarakat miskin bisa menikmati fasilitas yang disediakan oleh BMT atau KJKS. Sehingga perlu ada terobosan baru dimana BMT atau KJKS berdiri sebagai social entrepreneurship sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat miskin sehingga dalam hal penghimpunan BMT atau KJKS sebagai corporate social entrepreneurship sehingga bisa dimanfaatkan oleh
7
masyarakat miskin sehingga sehingga dapat turut andil dan penyaluran dana juga masyarakat miskin bisa diberikan fasilitas dana, maka penulis berkesimpulan dalam membuat rumusan pertanyaan masalah penelitian ini adalah ; Bagaimana konsep dan pengelolan operasional BMT atau KJKS sebagai Corporate Social Entrepreeurship yang bemanfaat bagi masyarakat miskin dalam melakukan inovasi baik produk penghimpunan dan penyaluran dana ?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penulisan Tantangan-tantangan di atas merupakan sesuatu yang harus diberikan
terobosan mengenai inovasi produk baik penghimpunan maupun penyaluran dana karena sangat signifikan mempengaruhi bagaimana portofolio investasi BMT atau KJKS dijalankan. Apalagi aplikasi yang dominan dari BMT atau KJKS saat ini adalah dari segi penghimpunan dana yang seharusnya dari anggota namun belum signifikan, pendanaan BMT atau KJKS masih dominan dari dana linkage lemaga keuangan bank maupun BPRS kemudian dari segi penyaluran dana masih mayoritas pada piutang murabahah, dengan demikian operasional ini telah menjalar
kepada
operasional
BMT
atau
KJKS
secara
keseluruhan.
penyempurnaan aplikasi inovasi produk baik penghimpunan maupun penyaluran dana menurut penulis harus dijadikan prioritas inovasi yang tiada henti dari segenap produk yang dimiliki BMT atau KJKS dikarenakan lebih fleksibel dalam melakukan inovasi tanpa ada batasan dan aturan yang tidak membolehkan untuk melakukan inovasi. Kondisi tersebut pada akhirnya memberi inspirasi bagi kita bahwa inovasi produk keuangan syariah khususnya BMT atau KJKS harus diarahkan, tidak hanya agar label syariah bisa terserap pasar tetapi juga bagaimana menawarkan produk syariah kepada masyarakat tanpa saling memberatkan baik bagi BMT maupun nasabah. Untuk itu, paper ini berupaya fokus memaparkan sumbang saran agar inovasi produk terutama dalam funding (penghimpunan) dapat sedikit demi sedikit dan secara berkelanjutan disempurnakan aplikasinya melalui serangkaian inovasi yang realistis, yang (seharusnya) dapat dikembangkan oleh perbankan syariah maupun BMT di Indonesia di tengah kondisinya sekarang.
8
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.
Pengertian Social Entrepreneurship Selama dua dekade terakhir, masyarakat telah menemukan dan
mempelajari dalam waktu yang panjang sektor bisnis yang bersifat sosial tetapi menguntungkan. Sama seperti bisnis biasanya, Sama seperti pengusaha mengubah wajah bisnis, pengusaha sosial bertindak sebagai agen perubahan bagi masyarakat, merebut kesempatan orang lain yang kehilangan dan mulai untuk perbaikan sistem, menemukan pendekatan baru, dan menciptakan solusi untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik, terutama taraf kehidupan masyarakat miskin. Sementara seorang pengusaha bisnis mungkin menciptakan industri yang sama sekali baru, pengusaha sosial muncul dengan solusi baru untuk masalah-masalah sosial dan kemudian mengimplementasikannya dalam skala besar. Sejarah Contoh Memimpin Pengusaha Sosial: seperti Margaret Sanger (US): Pendiri dari Planned Parenthood Federation of America, dia memimpin gerakan untuk usaha keluarga berencana di seluruh dunia dan Jean Monnet (Prancis): Bertanggung jawab untuk rekonstruksi ekonomi Perancis setelah Perang Dunia II, termasuk pembentukan Batubara dan Baja Eropa (ECSC). Para ECSC dan Pasar Bersama Eropa prekursor langsung dari Uni Eropa3. Sehingga ide yang muncul ini, dinamakan dengan istilah Social Entrepreneurship. Social Entrepreneurship merupakan inisiatif yang dilakukan dalam sektor nirlaba yang ditujukan bukan untuk mengeksploitasi/menghasilkan sumber pergantian manajemen organisasi dalam hal pendanaan atau non-profit yang direncanakan mampu menciptakan nilai-nilai sosial dalam ekonomi sektor ketiga 4. atau istilah lain Social Entrepreneurship adalah sebuah badan atau lembaga barubaru
ini
dimana
menurut
literatur
mengkonseptualisasikan
Social
3
Ashoka. What is a Social Entrepreneur? 2009 [cited February 2 2009]. Available from http://ashoka.org/social_entrepreneur. 4 Lihat dari Bishnu Pariyar and Anthony E. Ward. Social Entrepreneurship: Producing Yunus out of Branson and Teresa. University of York. Dikutip dari Stevenson, H. 2000. Entrepreneurship’s Wild Ride, interview with Mike Roberts, Harvard Business School, available from:http//hbswk.hbs.edu/item.jhtml?id=1541&t=entrepreneurship. Cited 8 Agustus 2005.
9
Entrepreneurship usaha (termasuk bisnis) dilakukan untuk memupuk rasa sosial perusahaan tanggung jawab dalam kedua non-profit dan-untuk sektor nirlaba5. Saat ini tumbuh permasalahan sosial yang kompleks, berarti bahwa Social Entrepreneurship
harus
dipahami
sebagai
proses
menciptakan
struktur
kesempatan organisasi untuk mengurangi masalah sosial dan mengkatalisasi sosial transformasi6. Istilah lain Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare) 7. Sehingga dari pengertian ini Social Entrepreneur adalah agen perubahan (change agent) yang mampu untuk8: 1. Melaksanakan cita-cita mengubah dan memperbaiki nilai-nilai sosial 2. Menemu kenali berbagai peluang untuk melakukan perbaikan 3. Selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, pembelajaran yang terus menerus 4. Bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya 5. Memiliki
akuntabilitas
dalam
mempertanggungjawabkan
hasil
yang
dicapainya, kepada masyarakat.
5
Dees, J.G. Entreprising Non Profits: What do you do When Traditional Sources of Funding Fall Short? Harvard Business Review, January-February, 1998. pp.5-15. 6 Alvord H.S, Brown, D.L, and Christine W.L. Social Entrepreneurship and societal Transformation: An Exploratory Study, Journal of Applied Behavioural Science, 2004. Vol. 40 (3) pp. 260-282. 7 Santosa, Setyanto.”Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan”. Makalah disampaikan pada dialog “Membangun Sinergitas Bangsa Menuju Indonesia yang Inovatif, Inventif dan Kompetitif” diselenggarakan oleh Himpunan IESP FE Unibraw, 14 Mei 2007. Lihat juga Jurgen Nagler. Is Social Entrepreneurship Important For Economic Development Policies. University of New South Wales, Sydney, 3 April 2007. 8 Lihat santosa setyanto.
10
2.1.1. Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan Ekonomi Social Entreprenuers makin berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu memberikan daya cipta nilai–nilai sosial maupun ekonomi, yakni9: 1. Menciptakan kesempatan kerja, terutama yang sangat signifikan bagi masyarakat yang miskin (kurang beruntung); 2. Melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat; 3. Menjadi modal sosial yang bermanfaat untuk pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan; 4. Peningkatan Kesetaraan (equity promotion), yang akan disediakan untuk menyediakan kebutuhan bagi masyarakat miskin
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Corporate Social Entrepreneurship adalah lembaga atau badan yang berdiri dengan tujuan untuk menciptakan solusi yang inovatif untuk menyelesaikan problematika sosial dan ekonomi.
Oleh
karena
itu,
kebijakan
pembangunan
ekonomi
harus
mempertimbangkan tidak hanya kebutuhan pengusaha atau pemilik modal pada umumnya, seperti undang-undang kepailitan, lembaga-lembaga kerja, mengurangi beban regulasi, tetapi juga terutama mendorong pengusaha sosial dengan memberikan spesifik pendidikan dan program pemberdayaan social dan ekonomi dan yang paling penting, akses lebih mudah untuk pendanaan terutama untuk masyarakat miskin atau kurang beruntung. Untuk merealisasikan hal ini semua, BMT atau KJKS menurut penulis lebih cocok berperan sebagai Corporate Social Entrepreneurship sehingga pengembangan dan operasional bisnis baik bersifat sosial maupun profit dapat mudah dalam mengimplementasikannya.
9
Jurgen Nagler. Is Social Entrepreneurship Important For Economic Development Policies. University of New South Wales, Sydney, 3 April 2007.
11
2.2.
Pengertian BMT Menurut definisi yang dikeluarkan Micro Credit Summit (1997),
Keuangan Mikro adalah "Program pinjaman uang terhadap keluarga miskin untuk digunakan sebagai usaha yang memberikan hasil dan income dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya"10. Definisi ini jelas menyatakan yang berhak untuk mendapatkan pinjaman tersebut adalah keluarga miskin dengan prinsip pinjaman, tanpa pengecualian apakah si miskin nanti dapat memenuhi dan melunasi hutang atau tidak. Dalam sumber lain yang menjelaskan tentang microfinance disebutkan bahwa "keuangan mikro (microfinance) meliputi pinjaman, tabungan-tabungan, asuransi, layanan transfer, dan berbagai produk keuangan yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (low-income clients)11. Namun, ada definisi lain yang berkaitan tentang lembaga keuangan mikro syariah dan konvensional telah dijelaskan menurut lembaga terkait yakni: BERBAGAI VERSI DEFINISI DAN KRITERIA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH ORGANISASI
JENIS USAHA
Keputusan Menteri Baitul Maal Negara Koperasi & Tamwil (BMT) UMKM RI No.91 Tahun 2004 ttg Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan KJKS Bab I Pasal 1 PINBUK (Pusat BMT Inkubator Bisnis Usaha Kecil) berdiri berdasarkan akta notaries No.005 tanggal 13
KETERANGAN KRITERIA wat BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah dan berbadan hukum koperasi jasa keuangan syari’ah, maka petunjuk pelaksanaanya juga seharusnya mengikuti aturan jasa keuangan syari’ah, yaitu kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil. Terdiri dari dua sisi kegiatan, yaitu Baitul Maal dan Baituttamwil. Kegiatan Baituttamwil mengutamakan pengembangan kegiatankegiatan investasi dan produktif dengan sasaran/usaha ekonomi yang dalam pelaksanaannya saling mendukung untuk
10
Ascarya dan Yulizar, Redefine Micro, Smal and Medium Enterprises Classifiation and the potency of Baitul Maal wa Tamwiel as Intermediary Institutions in Indonesia, Paper ini dipresentasikan di First International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development (University of Brunei Darussalam and IRTI-IDB). 2008. hal 3 11 “about microfinance and microcredit”, www.yearofmicrocredit.org. diakses tanggal 16 Juni 2011.
12
maret 1995 dalam strategi kerja.
Undang-undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal 44 Rancangan Undang-undang LKM Asian Development Bank (ADB)
Koperasi
Lembaga Mikro Lembaga Mikro
pembangunan usaha-usaha kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Baitul Maal mengutamakan kegiatan-kegiatan kesejahteraan, bersifat nirlaba diharapkan mampu mengakumulasikan dana ZIS yang yang pada gilirannya berfungsi mendukug kemungkinankemungkinan risiko yang terjadi dalam kegiatan ekonomi pengusaha kecil-bawah itu. Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk: a. Anggota Koperasi yang bersangkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya. Keuangan lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan mikro bukan bank yang tidak sematamata mencari keuntungan. Keuangan Lembaga penyedia jasa penyimpan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment service) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insuranse to poor and low income households and their microenterprises).
Sumber : data diolah
Dari penjelasan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan KJKS/BMT/Koperasi Syariah pada prinsipnya adalah hampir sama dengan LKM Konvensional. Tetapi, ada beberapa kegiatan yang berbeda dalam hal akad dan transaksinya,
yaitu dengan sistem syariah yang tidak
memperkenankan adanya konsep bunga. Melalui sistem ini dapat dikembangkan bentuk-bentuk pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah seperti dengan menggunakan konsep sistem cost plus dan profit sharing. Secara defisini diatas, dijelaskan lebih rinci sebagai berikut: a. jual beli (bai’ murabahah, bai’ salam dan bai’ istishna’); b. titipan (wadi’ah), c. bagi hasil (mudharabah dan musyarakah); d. sewa (ijarah); e. zakat; f. jasa, seperti mewakilkan (wakalah), pengalihan hutang (hiwalah) dan jasa lainnya.
13
2.2.1. Produk Penghimpunan Dana & Penyaluran Dana BMT Penghimpunan dana dalam KJKS/BMT sebagaimana dijelaskan menurut definisi diatas adalah menghimpun dana dari masyarakat dan anggotanya. Antara lain sebagai berikut12: PENGHIMPUNAN DANA Simpanan
JENIS PENGHIMPUNAN Simpanan Pokok
AKAD
Musyarakah
Simpanan Wajib
Simpanan Sukarela
Investasi dari Pihak Investasi Lain
PENYALURAN DANA Pembiayaan
12
JENIS PENYALURAN Jual Beli
KETERANGAN
Merupakan modal awal anggota yang disetorkan dimana besar simpanan pokok tersebut sama dan tidak boleh dibedakan antara anggota. Merupakan modal anggota yang disetorkan dimana besar kewajibannya diputuskan berdasarkan hasil syuro (musyawarah) anggota serta penyetorannya dilakukan secara kontinyu setiap bulannya sampai seseorang dinyatakan keluar dari keanggotaan Koperasi Syariah.
Wadi’ah Amanah & Yad Dhamanah
Merupakan dana titipan anggota yang disetorkan dan pengambilan dana pada waktu yang tidak bisa ditentukan, dan besarannya dananya pun terserah.
Mudharabah & Merupakan dana yang disetorkan oleh Musyarawakah pihak atau lembaga lain yang dikhususkan untuk diivestasikan berupa pembiayaan yang dilakukan BMT/KJKS, kemudian diberikan rate return yang kompetitif.
AKAD Bai’ Murabahah
KETERANGAN jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Pembayaran ditetapkan pada waktu tertentu, baik dalam bentuk cicilan atau tunai
Ibid, hal. 14
14
Bai’ salam
Bai’ Istishna’
Bagi Hasil
Mudharabah
Musyarakah
Jasa
Sewa Menyewa
Ijarah
Pinjaman
Qardh
jual beli barang dengan cara pemesanan berdasarkan persyaratan dan kriteria tertentu sesuai kesepakatan serta pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan tertentu, kriteria, dan pola pembayaran sesuai dengan kesepakatan transaksi kerjasama usaha antara pihak pemilik dana (shahibul maal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana/modal kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha Sewa menyewa atas manfaat suatu barang dan/atau jasa antara pemilik obyek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan berupa sewa atau upah bagi pemilik obyek sewa. pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Sumber : data diolah
15
Bab III Metodologi Penelitian 3.1.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif.
Metode
penelitian kualitatif
adalah
metode
penelitian
yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme 13 digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi 14. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dianalisis tidak untuk menerima atau menolak hipotesis (jika ada). Hasil analisis tersebut berupa deskripsi atas gejala-gejala yang diamati dan tidak harus berbentuk angka-angka atau koefisien antarvariabel. Namun, penelitian kualitatif bukan tidak mungkin memiliki data kuantitatif. 15
3.2.
Jenis Data Jenis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data,
yaitu data primer dan sekunder. 1. Data Primer Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasa dilakukan oleh peneliti. 16 Penelitian ini mengambil data primer dari hasil wawancara atau diskusi dengan praktisi BMT dan dari hasil observasi dari beberapa BMT atau KJKS. 13
Filsafat postpositivisme sering juga disebut sebagai paradigm interpretif dan konstruktif,yang memandang realitas social sebagai sesuatu yang holisttik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif (reciprocal). 14 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008. hlm. 9 15 Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia, 2005. hlm. 17 16 Husein Umar, Riset Akuntansi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. hlm. 69.
16
2.
Data Sekunder Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram. 17 Penelitian ini mengambil data sekunder berupa: 1) Laporan Keuangan BMT 2) Teori-teori yang peneliti ambil dari berbagai literatur 3) Hasil wawancara dan pengamatan langsung (observasi) di kantor pusat salah satu bank syariah yang telah memiliki lembaga training tersendiri 4) Literatur lain seperti buku, artikel, jurnal, majalah, internet, dll.
3.3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan beberapa metode yaitu : 1. Interview (wawancara) Metode ini digunakan untuk pengumpulan data dan menggali informasi lebih mendalam yang langsung ditujukan kepada lembaga keuangan mikro syariah yakni BMT, praktisi BMT dan akademisi yang berhubungan dengan corporate social entrepreneurship. 2. Studi Kepustakaan Metode ini digunakan untuk menggali dasar-dasar teori yang terkait operasional
BMT
dan
pengembangan
tentang
corporate
social
entrepreneurship.
3.4.
Batasan Penelitian Batasan penelitian ini difokuskan pada pengembangan dan inovasi dari
peran BMT sebagai corporate social entrepreneurship. Pengembangan dan inovasi tersebut dibatasi pada operasional BMT baik dalam penghimpunan (funding) dan penyaluran dana (lending). 17
Idem.
17
3.5.
Analisis Data Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan keadaan yang diamati.18 Penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang mengandalkan pada peran yang saling melengkapi secara terus menerus antara pengumpulan dan analisis data melalui pengajuan pertanyaan dan pembandingan teoritis. 19 Data yang didapat peneliti dari hasil pengumpulan data dibandingkan dengan indikatorindikator hasil dari studi pustaka. Penelitian ini disusun untuk mengekplorasi fenomena yang terjadi dengan memadukan konsep dan pengelolaan operasional BMT sebagai lembaga atau badan yang bergerak di bidang corporate social entrepreneurship dalam melakukan inovasi produk baik dalam penghimpunan berbasis pengelolaan dan pemanfaatan sampah maupun penyaluran dana kepada masyarakat miskin. Dalam menganalisis permasalahan, terlebih dahulu melakukan proses analisis terhadap permasalahan kemudian mengaitkan permasalahan yang terjadi di lapangan beserta solusinya dengan menggunakan sistem sinergi stakeholder yang tepat. Agar memperoleh kebenaran yang ilmiah, penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa tahapan yaitu tahap penyajian bukti atau fakta (skeptik), memperhatikan permasalahan yang relevan (analitik), dan tahap menimbang secara obyektif untuk berpikir logis (kritik) 20.
18
Menurut Bogdan dan Taylor, mengutip dalam bukunya Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, bandung, 1997, hlm. 3. 19 Sujoko Efferin et. al., Metode Penelitian untuk Akuntansi: Sebuah Pendekatan Praktis, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 154. 20 op.cit. Narbuko. Hal 6
18
Bab IV Analisis dan Pembahasan 4.1.
Pembahasan Dinamika kesejahteraan sosial bagi masyarakat miskin jauh lebih
sederhana. dengan aset yang sangat sedikit atau sama sekali tidak ada, mereka yang miskin memiliki tiga dukungan sumber yaitu pekerjaan, pemerintah dan keluarga. Pada masing-masing kasus, bentuk dukungannya hanyalah pendapatan. Pemerintah memberikan penyaluran dana bagi masyarakat miskin dalam tahun terakhir, dan alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun anggaran yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, tetapi tidak mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan, berarti ada sesuatu hal yang menjadi bahan pertanyaan, apakah pengelolaan yang salah atau bagaimana??. Analisis faktor penyebab kemiskinan seringkali terlalu kompleks dan mencakup banyak aspek. Misalkan dari beberapa pandangan pakar Anne Booth dan Firdaus 1996 dalam papernya Effect of Price and Market Reform on the Poverty Situation of Rural Communities and Firm Families menyatakan penyebab kemiskinan adalah keterbatasan penduduk (dalam hal ini adalah masyarakat miskin) mengakses pasar fasilitas publik dan kredit, yang selama ini jarang sekali mengakses lembaga keuangan khususnya lembaga keuangan mikro syariah. Dalam teori pertumbuhan Ekonomi Solow (Solow Growth Theory) menekankan penguasaan modal dan penguasaan teknologi dapat mengentaskan kemiskinan, khusus untuk penguasaan modal, dimana Jhingan (2002) menjelaskan juga bahwa tingkat investasi yang rendah kembali menyebabkan modal kurang dan produktivitas rendah. Inilah yang ditunjukan dalam gambar .produktivitas rendah tercermin di dalam pendapatan nyata yang rendah. Tingkat tabungan yang rendah menyebabkan tingkat investasi rendah dan modal kurang. Kekurangan modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah Lingkaran setan ini dilukiskan di dalam gambar tingkat pendapatan rendah, yang mencerminkan rendahnya investasi dan kurangnya modal
19
merupakan ciri umum kedua lingkaran setan tersebut. Dengan lingkaran setan Kemiskinan ini menyangkut keterbelakangan manusia dan sumberdaya alam. Pengembangan sumber alam pada suatu Negara tergantung pada kemampuan produktif manusia. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, langka akan keterampilan teknik, pengetahuan dan aktivitas kewiraswastaan, maka sumber alam akan tetap terbengkalai, kurang atau salah guna.pada pihak lain, keterbelakangan sumber alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia 21. Dengan kacamata analisis ini, kita akan mendaftar faktor-faktor penyebab kemiskinan pedesaaan adalah faktor sosial budaya, seperti rendahnya pendidikan dan budaya malas, faktor geografi, seperti lahan kurang subur dan keterbatasan SDA, faktor ekonomi seperti kurang modal dan penguasaan teknologi. Faktorfaktor ini ditengarai sebagai akar dari keterbatasan akses masyarakat terhadap pasar, fasilitas kredit, dan rendahnya produktivitas yang berujung pada kemiskinan. Memang, faktor-faktor ini tidak keliru tetapi hanya menyelasaikan masalah sekundernya. GAMBAR. 2 PENYEBAB KEMISKINAN
Faktor Sosial & Budaya Rendahnya keahlian dan pendidikan Terbatasnya kesempatan kerja Cultural proverty
e
Faktor Ekonomi Kurang modal Rendahnya teknologi
Keterbatasan Akses Pasar produk Faktor Publik Fasilitas Kredit
KEMISKINAN
Faktor Geografi dan Lingkungan Keterbatasan SDA Penyakit Lahan kurang subur Faktor Personal dan Fisik Umur/Usia Jenis Kelamin Fisik Sumber : berbagai sumber 21
Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Guritno, [penterjemah] Jakarta:Raja Grafindo. 2002.
20
Sehingga diperlukan solusi untuk mengentaskan kemiskinan, dimana solusi tersebut adalah BMT atau KJKS dan usaha mikro yang akan diproyeksikan menjadi social entrepreneurship, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan. GAMBAR. 3 PEMETAAN KEMISKINAN DAN SEKTOR RIIL
Sumber : Dr. Noer Soetrisno, Deputi Kementrian UMKM
Dari hal diatas, penulis dalam hal ini ingin menjelaskan bahwa tentang tipologi pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh BMT atau KJKS dalam pengentasan kemiskinan, melalui program Corporate Social Entrepreneurship
21
GAMBAR. 4 HYBRID SPECTRUM OF CORPORATE SOCIAL ENTREPRENEURSHIP
Traditional Non Profit
Non Profit with Income-Generating Activities
Social Entreprise
Social Responsible Business
Corporation Practicing Social Responsiblity
Traditional for Profit
Sumber : data diolah BMT atau KJKS merupakan lembaga keuangan yang menghasilkan nilai baik sosial dan ekonomi dan dioperasionalkan, secara esensi dan sejarah bahwa BMT atau dengan kepanjangan istilah dari Baitul Maal wat Tamwil yang seharusnya beroperasional memiliki dua motif Baitul Maal (social motive) maupun Tamwil (profit motive). sehingga dalam spektrum diatas terdapat 2 bagian utama: pertama, dimana bagian sebelah kiri adalah lembaga atau badan nirlaba dengan kegiatan komersial yang menghasilkan nilai ekonomi untuk mendanai kegiatan sosial, tetapi tujuan utamanya adalah menghasilkan sebuah prestasi dari misi dan arahan stakeholder lembaga keuangan mikro syariah. Kedua, dibagian sebelah kanan adalah entitas atau lembaga nirlaba yang menciptakan nilai sosial, tetapi yang utama adalah membuat motif keuntungan dari operasional dan kemudian mendistribusikan keuntungan kepada shareholder yakni pemegang saham. Mendapatkan laba bagi BMT merupakan tujuan utama dari bisnis, sedangkan dampak sosial adalah tujuan utama sosial perusahaan atau lembaga BMT dengan kegiatan yang menghasilkan pendapatan dapat menunjang kegiatan sosial lebih besar lagi. Keberlanjutan keuangan atau pendanaan tidak dapat dicapai tanpa dana eksternal atau hasil dari kerja operasional sendiri. Jika dana dari eksternal maka akan kembali lagi cost of fund yang diberikan terlalu besar sehingga berdampak kepada calon anggota yang akan diberikan financing. Namun, untuk pendapatan atau laba yang dihasilkan atau diciptakan dengan internal, maka akan terwujud nilai ekonomis yang murah sehingga berdampak pada penyaluran dana bisa menjadi murah. Oleh karena itu, kedua jenis spectrum menjadi menarik jika strategi penciptaan nilai ganda untuk mencapai nilai
22
keseimbangan yang berkelanjutan. Maka diperlukan, metode komersial untuk mendukung tujuan sosial yang merupakan penggabungan dua motif. GAMBAR. 5 HYBRID SPECTRUM OF CORPORATE SOCIAL ENTREPRENEURSHIP
Social Responsibility
Traditional Non Profit
Economic Suistanability
Suistanability Equilibrium
Non Profit with Income-Generating Activities
Social Responsible Business
Social Entreprise
Corporation Practicing Social Responsiblity
Traditional for Profit
Sumber : data diolah
Sehingga dengan demikian, dari sisi kiri diharapkan lembaga keuangan BMT atau KJKS yang didirikan untuk menciptakan nilai sosial, bagaimanapun, keberlanjutan keuangan tidak dapat dicapai tanpa dana eksternal atau dihasilkan sendiri. Kemudian, dari sisi kanan BMT atau KJKS didirikan untuk menciptakan nilai ekonomi, namun sering harus membuat kontribusi sosial untuk bertahan hidup di pasar. Oleh karena itu, BMT didirikan memiliki dua jenis hibrida dengan tujuan mengejar strategi penciptaan nilai ganda untuk mencapai keseimbangan yang keberlanjutan. Sehingga BMT berdiri mengintegrasikan konsep komersial untuk
mendukung
tujuan
sosial
mereka
dan
untuk-keuntungan
dari
menggabungkan program-program sosial untuk mencapai keuntungan mereka dengan
membuat
tujuan.
Sehingga
dalam
bentuk
konkrit
untuk
mengimplementasikan dua motif tersebut adalah BMT selaku Corporate Social Entrepreneurship
mengembangkan
atau
membudidayakan
sampah
agar
bermanfaat dan menjadi nilai jual bagi masyarakat.
23
GAMBAR. 6 BMT SEBAGAI CORPORATE SOCIAL ENTREPRENEURSHIP DALAM PENGELOLAAN SAMPAH an Organik
S A H M P A H
Plastik Kertas
Penghimpunan/ Pengumpul dalam Bentuk komoditas
Logam R U M A H
T A N G G A
G U D A N G
M A A L
P E N G U M P U L
W A T
Organik
Organik I (Dedaunan)
Organik II (sisa makanan )
B A I T U L
Penghimpunan dalam bentuk kompos
T A M W I L
A N O R G A N I K
Penyaluran
Industri Daur Ulang
USAHA
MIKRO
KECIL
Penyaluran
Petani
LINGKUNGAN BERSIH, SEHAT, INDAH, PENDABATAN BERTAMBAH MASYARAKAT SEJAHTERA
Sumber : diolah oleh penulis
Dalam konsep ini, dimana masyarakat sebagai penghasil sampah yang terdiri dari dua bagian, yakni: sampah organik dan sampah anorganik. Untuk sampah an organik yang terdiri dari : TABEL. 6 SAMPAH ANORGANIK SAMPAH PLASTIK plastik krese plastik bening bungkus snack kemasan penyedap bungkus mie bungkusmakan dll
SAMPAH KERTAS kertas HVS kertas koran bungkus tempe bungkus rokok kardus bekas undangan sobek-sobekan bungkus makanan kertas dll
LOGAM & KACA besi tembaga kabel kaca botol plastik botol kaca pecahan gelas/ piring seng ember pecah dll
Sumber : diolah dari berbagai sumber
24
Dimana sampah anorganik yang dikumpulkan oleh masyarakat, khususnya dikumpulkan oleh masyarakat miskin (dibawah garis standar kehidupan) ke lembaga keuangan mikro syariah dalam hal ini adalah BMT, dimana dari hasil pengumpulan sampah yang diterima oleh BMT dari masyarkat miskin, dicatat oleh BMT sebagai tabungan atau deposito masyarakat miskin dalam bentuk komoditas yakni sampah anorganik. Jadi yang pada umumnya, sampah diberikan kepada para pengumpul kemudian dalam konsep ini pengumpul tersebut adalah BMT yang menampung sampah anorganik. Kemudian dalam sampah organik tidak akan ada sisa bahan organik yang terbuang, jadi tidak perlu ada yang namanya tempat pembuangan akhir (TPA)”. Pengganti TPA adalah “Pabrik Kompos” dengan bahan bakunya adalah sampah dan bahan lain yang dianggap perlu baik yang berasal dari sampah rumah tangga yakni sisa makanan maupun dari sampah dedaunan atau kotoran pohon yang jatuh. Lokasi berada di gudang penyimpanan sampah yang dimiliki oleh BMT setempat yang secara bertahap akan dibuat pabrik kompos. Lahan yang diperlukan flat atau datar atau dapat saja dipindah ke tempat lainnya yang penting lahan yang disediakan oleh BMT. Pabrik daur ulang (kompos) ini di buat agar pengelolaan sampah dilakukan secara terpusat/terpadu, artinya pengelolaan sampah dilakukan di satu titik tempat yang berada di gudang BMT setempat. Sampah yang semula hanya dibuang begitu saja menjadi bahan baku industri pupuk kompos, kemudian setelah menjadi kompos barulah disalurkan kepada BMT, kemudian kompos ini dijadikan sebagai tabungan atau deposito masyarakat kepada BMT dalam bentuk komoditas yakni pupuk kompos. Jadi kesimpulannya adalah penghimpunan yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam bentuk sampah organik tetapi harus diolah menjadi kompos kemudian menjadi tabungan komiditas kepada BMT dan sampah anorganik langsung ditabung atau deposito ke BMT. Berikutnya dari segi penyaluran dana, karena BMT sebagai corporate yang menghimpun dalam bentuk komoditas, maka penyaluran dana juga dalam bentuk komoditas, seperti; penghimpunan yang diperoleh dari bahan anorganik (plastik, kertas dan logam atau kaca), maka penyalurannya ditujukan oleh masyarakat
25
miskin yang mempunyai usaha daur ulang dalam bentuk home industry, sehingga bentuk penyaluran dana bisa berbentuk jual beli (bai’) dan juga dalam bentuk bagi hasil (mudharabah atau musyarakah). Berikutnya penghimpunan yang diperoleh dari bahan organik (dedaunan dan makanan sisa rumah tangga) akan didaur ulang dalam bentuk kompos kemudian penyaluran dananya akan diberikan kepada petani yang miskin untuk membantu proses penanaman baik petani padi maupun petani lainnya. Sehingga dalam penyaluran dana (lending) yang dilakukan oleh BMT sebagai corporate social entrepreneurship difokuskan pada masyarakat miskin dalam hal ini adalah yang bergerak disektor usaha mikro maupun kecil. Sehingga kalau ini dilakukan baik dalam hal penghimpunan maupun penyaluran dana tidak berpengaruh pada intervensi apapun baik intervensi dari investor yang berakibat cost of fund akan meningkat, karena selama ini lembaga keuangan baik syariah maupun non syariah masih memikirkan berapa besar yang harus diberikan kepada para deposan hal ini yang disebut sebagai cost of fund, dengan konsep ini yang bertindak sebagai deposan adalah masyarakat miskin yang mengumpulkan sampah baik organik maupun anorganik. Tujuannya ada dua: pertama, memberdayakan masyarakat miskin karena selama ini masyarakat miskin tidak pernah menjadi deposan sehingga dengan konsep ini, masyarakat miskin bisa menjadi deposan dengan demikian masyarakat miskin akan memiliki asset dengan adanya tabungan atau deposito yang mereka tanamkan di BMT dalam bentuk komoditas. Kedua, maka hal ini berdampak pada biaya yang terjadi di BMT bisa lebih kecil, karena deposannya adalah masyarakat miskin yang mengumpulkan komoditas dari sampah organik dan anorganik, sehingga cost of fund bisa kecil karena penyaluran dananya dalam bentuk komoditas juga. Dalam bentuk penyaluran dananya, juga memiliki tujuan, yakni: memberdayakan masyarakat miskin dengan penyaluran dana yang dilakukan oleh BMT dengan bentuk komoditas, maka masyarakat miskin yang memiliki usaha daur ulang atau home industry bisa terbantukan karena ada penyaluran komiditas dengan harga yang murah, sehingga masyarakat terbantu dengan rate margin maupun rate bagi hasil yang rendah. Sehingga kesimpulannya adalah BMT sebagai corporate social entrepreneurship dapat berperan dalam dua hal; pertama,
26
peran sebagai corporate social, dimana BMT menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk komoditas dengan rate yang murah, disinilah dapat membantuk masyarkat miskin yang memiliki usaha dalam bidang pertanian maupun daur ulang dalam bentuk home industry. Kemudian dalam bentuk entrepreneurship BMT memberdayakan masyarakat miskin untuk mengumpulkan sampah baik dalam bentuk sampah organik maupun anorganik untuk dikelola dan menjadi asset bagi masyarakat miskin. Dengan demikian konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut: GAMBAR. 7 BMT SEBAGAI CORPORATE SOCIAL ENTREPRENEURSHIP DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Pooling of Commodity Lending Funding an Organik
S A H M P A H
Plastik Kertas
Penghimpunan/ Pengumpul dalam Bentuk komoditas
Logam R U M A H
T A N G G A
G U D A N G
M A A L
P E N G U M P U L
W A T
Organik
Organik I (Dedaunan)
Organik II (sisa makanan )
B A I T U L
Penghimpunan dalam bentuk kompos
Hak Pihak Ketiga
T A M W I L
A N O R G A N I K
Penyaluran
Industri Daur Ulang
USAHA
Prinsip Bagi Hasil Pendapatan B/H MIKRO
Prinsip Jual Beli Pendapatan Margin KECIL
Penyaluran
Petani
Penetapan Margin/Bagi Hasil
LINGKUNGAN BERSIH, SEHAT, INDAH, PENDABATAN BERTAMBAH MASYARAKAT SEJAHTERA
Sumber : diolah oleh penulis
27
Bab V Penutup 5.1. 1.
Kesimpulan Desain corporate social entrepreneursip yang dapat dikembangkan oleh lembaga keuangan mikro syariah yakni BMT harus dimulai dari konsep pemberdayaan sampah baik sampah organik maupun anorganik yang bisa diimplementasikan dalam operasional BMT baik dalam penghimpunan maupun penyaluran dana. Sehingga dua jenis hibrida dengan tujuan mengejar strategi penciptaan nilai ganda untuk mencapai keseimbangan yang keberlanjutan. Sehingga BMT berdiri mengintegrasikan konsep komersial untuk mendukung tujuan sosial dan untuk mendapatkan keuntungan dari menggabungkan program-program sosial.
2.
Dalam hal penghimpunan dana desain corporate social entrepreneursip yang diterapkan oleh BMT dimulai dari konsep pemberdayaan sampah baik sampah organik sampah anorganik yang dikumpulkan oleh masyarakat, khususnya dikumpulkan oleh masyarakat miskin (dibawah garis standar kehidupan) ke lembaga keuangan mikro syariah dalam hal ini adalah BMT, dimana dari hasil pengumpulan sampah yang diterima oleh BMT dari masyarkat miskin, dicatat oleh BMT sebagai tabungan atau deposito masyarakat miskin dalam bentuk komoditas yakni sampah anorganik. Jadi yang pada umumnya, sampah diberikan kepada para pengumpul kemudian dalam konsep ini pengumpul tersebut adalah BMT yang menampung sampah anorganik.
3.
Dalam hal penyaluran dana desain corporate social entrepreneursip yang BMT harus dimulai dari BMT sebagai corporate yang menghimpun dalam bentuk komoditas, maka penyaluran dana juga dalam bentuk komoditas, seperti; penghimpunan yang diperoleh dari bahan anorganik (plastik, kertas dan logam atau kaca), maka penyalurannya ditujukan oleh masyarakat miskin yang mempunyai usaha daur ulang dalam bentuk home
28
industry, sehingga bentuk penyaluran dana bisa berbentuk jual beli (bai’) dan juga dalam bentuk bagi hasil (mudharabah atau musyarakah).
5.2. 1.
Saran atau Rekomendasi Industri Keuangan Mikro Syariah. Setelah melihat dan menganalisa komposisi operasional BMT pada saat ini, baik dari penghimpunan hanya bisa dilakukan yang mempunyai uang kemudian mengharap dari linkage program sehingga mengakibatkan biaya yang dikeluarkan oleh BMT terlalu besar (cost of fund), maka berdampak kepada rate pembiayaan atau dana yang disalurkan, sehingga BMT berdiri sebaiknya tidak hanya mengejar profit dan keuntungan saja, akan tetapi juga mengembangkan social oriented.
Konsep
corporate
social
entrepreneurship
yang
dikembangkan saat ini patut dicontoh oleh BMT dalam upaya meningkatkan taraf hidup
masyarakat
miskin dan meningkatkan
perekonomian sehingga Usaha Mikro dan Kecil yang dimiliki masyarakat miskin bisa kuat dan berkembang. 2.
Pemerintah. Agar dapat membuat peraturan terhadap lembaga keuangan mikro syariah atau BMT untuk pengembangan opeasional dan juga pemerintah memiliki program untuk menyediakan dana, fasilitator atau pendampingan agar inovasi yang dilakukan BMT dapat berjalan lancar dan berkesinambungan.
3.
Akademisi. Agar dapat membuat kajian-kajian sejenis dalam rangka menambah koleksi khazanah ilmiah secara khusus pada keilmuan perbankan dan keuangan syariah mikro syariah dan secara umum pada keilmuan ekonomi Islam.
29
Daftar Pustaka Alvord H.S, Brown, D.L, and Christine W.L. Social Entrepreneurship and societal Transformation: An Exploratory Study, Journal of Applied Behavioural Science, 2004. Vol. 40 Anne Booth dan Firdaus. Effect of Price and Market Reform on the Poverty Situation of Rural Communities and Firm Families. 1996 Ascarya dan Yulizar, Redefine Micro, Smal and Medium Enterprises Classifiation and the potency of Baitul Maal wa Tamwiel as Intermediary Institutions in Indonesia, Paper ini dipresentasikan di First International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development (University of Brunei Darussalam and IRTI-IDB). 2008. Ashoka. What is a Social Entrepreneur? 2009 [cited February 2 2009]. Available from http://ashoka.org/social_entrepreneur. Bambang Ismawan dan Setyo Indonesia”,Jurnal
Budiantoro, “Mapping
Ekonomi
Rakyat,
Microfinance in
(Maret,
2005),
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_5.htm. Bishnu Pariyar and Anthony E. Ward. Social Entrepreneurship: Producing Yunus out of Branson and Teresa. University of York. Tanpa tahun. Buchori, Nur S, “Panduan Praktis Koperasi Syariah Indonesia” , Jakarta : Kosindo, 2007. Dees, J.G. Entreprising Non Profits: What do you do When Traditional Sources of Funding Fall Short? Harvard Business Review, January-February, 1998. Husein Umar, Riset Akuntansi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Guritno, [penterjemah] Jakarta:Raja Grafindo. 2002. Jurgen Nagler. Is Social Entrepreneurship Important For Economic Development Policies. University of New South Wales, Sydney, 3 April 2007 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, bandung, 1997
30
Marwal, Muhammad Ilyas. “Rekonstruksi Murabahah Sebuah Ijtihad Solusi Pembiayaan”. Bahan Presentasi pada Diskusi BMT Center . Jakarta, 31 Juli 2007. Santosa, Setyanto.”Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan”. Makalah disampaikan pada dialog “Membangun Sinergitas Bangsa Menuju Indonesia yang Inovatif, Inventif dan Kompetitif” diselenggarakan oleh Himpunan IESP FE Unibraw, 14 Mei 2007. Stevenson, H. 2000. Entrepreneurship’s Wild Ride, interview with Mike Roberts, Harvard
Business
School,
available
from:http//hbswk.hbs.edu/item.jhtml?id=1541&t=entrepreneurship. Cited 8 Agustus 2005. Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia, 2005. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008 Sujoko Efferin et. al., Metode Penelitian untuk Akuntansi: Sebuah Pendekatan Praktis, Bayumedia Publishing, Malang, 2004
31