www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XV, Nomor 1 : 29 - 42
ISSN 0216-1877
BIOLOGI IKAN KERAPU Epinephelus tauvina ( Forskal) DAN CATATAN PENYEBAB KEMATIANNYA oleh RESMAYETI PURBA 1) ABSTRACT BIOLOGY OF THE GROUPER Epinephelus tauvina (FORSKAL) AND THE NOTES ON THE CAUSE OF DEATH. The grouper Epinephelus tauvina belongs to the family Serranidae. Abundance of the grouper in Banten Bay more than grouper of high. Yunevil Epinephelus tauvina have habitat is lives on the coast with grow seawalegt Ulva reticulata and Gracillaria spp., and adult live deep water of sandy muddy bottom. The grouper is a carnivora and voracious fish taking live fish and Crustacea food. In the early life stages identification of the sexes grouper is difficult. When age 2 year, with body weight 5 kg and size 50 cm majority of the grouper appear to be female, and so when they attain a body weight 11 kg, size 70 cm the majority become male. In Indonesia, grouper is one of the most important commercial marine fishes. The grouper life and marketable size ranges from 0.5 to 1.0 kg have high price and demand. The grouper culture in floating net-cages, with stocking density 30 - 60 fish/m3, initial body weight 82-130 g and size 21 cm, to feed trash fish, feeding frequency is usually twice daily at about 10 % of total fish body weight per day, can attained marketable size after 6-7 month of rearing. The problems of grouper culture in floating net-cages is cause of the illnes by parasit Tricodina sp., Gyrodactylus sp., Dactygyrus sp., and Trematoda on the gills, skin and fin fish. The control of disease fish of infection bath treatments with formalin 200 ppm for 1 hours and tetramycine 0.5 m/kgfish injected once intramuscularly no effective.
perairan Teluk Banten adalah ikan kerapu lumpur atau "Grouper" Epinephelus tauvina (Forskal) (BASYARIE & TANAKA 1986). Epinephelus tauvina termasuk dalam marga Epinephelus ; suku : Serranidae; Anak bangsa: Percoidei; bangsa; Perciformes; Anak kelas; Ellasmobranchii; kelas; Chondrichthyes.
PENDAHULUAN Ikan kerapu termasuk Serranidae, dikenal ikan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Penyebarannya meliputi tropik dan subtropik dan
famili yang cukup darah ter-
diri dari 370 jenis. Salah satu dari jenis ter-
sebut
yang
banyak
ditemukan
di
29
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Penyebarannya meliputi perairan Laut Merah dampai ke perairan Filipina, Tahiti, Kepulauan Okinawa dan perairan Jepang Selatan (TAN & TAN 1974). Ciri -ciri kerapu lumpur secara morfologi : bentuk tubuh agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillary lebar di luar mata, gigi-gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan posterior. Habitat benfli Epinephelus tauvina adalah pantai yang banyak ditumbuhi algae jenid Ulva reticulata dan Gracilaha spp. dan setelah dewasa hibup di perairan yang lebih dalam dengan dasar terdiri dari pasir berlumpur (SUGAMA & EDA 1986). Benih Epinephelus tauvina yang dipelihara di kurung apung atau tangki percobaan memperlihatkan tingkah laku selalu berada di dasar. Epinephelus tauvina termasuk jenis ikan karnivora dan cara makannya dengan "mencaplok" satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar. Hasil analisa lambung Epinephelus tauvina menunjukkan bahwa jenis krustacea (rebon, dogol dan krosok) merupakan jasad pakan yang paling disukai, kemudian jenis ikan4kan (tembang, teri dan belanak). Hal ini berhubungan dengan aktivitas gerakan udang yang lambat memudahkan kerapu menyergapnyia (SUGAMA 1986).
buh sekitar 70 cm dan berat 11 kg (SELVARAJ & RAJAGOPALAN 1973). Di dalam tangki percobaan ikan betina yang telah dewasa bila akan memijah mendekati jantan. Bila waktu memijah tiba, ikan jantan dan betina akan berenang bersamasama di permukaan air. Pemijahan terjadi pada malam hari, antara pukul 18.00 sampai pukul 22.00. Jumlah telur yang dihasilkan tergantung dari berat tubuh betina, sebagai contoh ikan kerapu betina yang beratnya 8 kg dapat menghasilkan telur 1.500.000 butir dan selama memijah telur yang dikeluarkan dapat mencapai 62% — 75% dari jumlah telur yang ada dalam tubuhnya (LIM et al 1977). Telur yang telah dibuahi bersifat "non adhesive" yaitu telur yang satu tidak melekat pada telur yang lainnya. Bentuk telur adalah bulat dan transparan dengan garis tengah sekitar 0,80 mm - 0,85 mm. Pembelahan sel telur pertama yang telah dibuahi terjadi setelah 35 menit "fertilization" dan pembelahan sel berikutnya terjadi setiap 15 menit sampai 25 menit sekali, dan setelah 3 jam akan terbentuk sel yang kompleks (Gambar 1). Perkembangan sel telur diawali dengan pembentukan fase blastula, granula, neurola kemudian berubah bentuk menjadi embriyo. lima belas jam kemudian bagian-bagian embriyo terbentuk dan 18 jam berikutnya dapat dipindahkan ke wadah pemeliharaan dengan suhu air antara 28° C - 30° C dan salinitas 30 ppt 32 ppt. Embriyo akan berkembang jadi burayak dengan panjang sekitar 1,21 mm 1,65 mm. Burayak ini telah memiliki kantong telur, mata, alat pencernaan dan sirip ekor. Perkembangan selanjutnya adalah burayak mulai dapat membuka mulut dan menggerakkan rahangnya untuk makan, setelah 20 hari — 30 hari burayak berubah menjadi benih yang aktif berenang (HUSSAIN & MASAKI 1979). Di alam, ukuran
DAUR HIDUP KAN KERAPU Epinephelus tauvina bersifat "hermaprodit protogyni "yaitu pada kehidupan awal belum dapat ditentiikan jenis kelaminnya. Sel kelamin betina terbentuk setelah ikan kerapu berumur 2 tahun dengan panjang 50 cm dan berat 5 kg. Sel kelamin betina ini berubah menjadi sel kelamin jantan pada umur 4 tahun dengan panjang tu-
30
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
benih inilah yang sering tertangkap oleh nelayan. Kelimpahan benih ikan kerapu ini sepanjang tahun tidak sama. Di sekitar Teluk Banten kelimpahan yang paUng tinggi terjadi pada bulan-bulan tertentu, yaitu pada bulan Februari sampai April. Pada bulan-bulan tersebut kelimpahan benih ikan kerapu rampur ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan benih jenis kerapu lainnya (SUGAMA & EDA 1986). BUDIDAYA IKAN KERAPU
Jenis kerapu lumpur Epinephelus tauvina cocok untuk dibudidayakan karena harganya cukup tinggi, laju pertumbuhan hariannya lebih cepat dan nilai konversi pakan lebih rendah dibanding jenis kerapu yang lain (IMANTO 1986). Ikan kerapu yang masih hidup dengan berat antara 0,5 kg — 1 kg merupakan ukuran yang disukai masyarakat. Hal ini menyebabkan ikan kerapu lumpur yang berukuran 0,5 kg — 1 kg mempunyai harga relatif lebih tinggi dibanding yang berukuran lebih besar. Akhir-akhir ini permintaan masyarakat akan kerapu semakin meningkat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memenuhi permintaan ini adalah melakukan usaha budidaya kerapu Epinephelus tauvina yang berasal dari alam dengan kurung apung. Kurungan terapung adalah wadah atau tempat yang terbuat dari bahan jaring, diikat pada sebuah kerangka, dan digunakan untuk pemeliharaan ikan di perairan yang terbuka seperti teluk, danau dan waduk. Bentuknya dapat berbentuk empat persegi panjang atau silinder, ukurannya mulai dari beberapa meter persegi sampai lebih dari seratus meter persegi. Sebuah kurungan terapung mempunyai bagian-bagian : rangka yang terbuat dari serat buatan seperti polietilen (Gambar 2a). Ukuran mata jaring tergantung kepada ukuran awal ikan
yang ditebar. Agar jaring dapat terapung maka dipakai pelambung yang terbuat dari bahan busa plastik (styrofoam), kayu, bambu dan drum kosong. Empat buah jangkar beton atau besi sebagai pemberat diikat pada setiap sudut rangka dengan tali kuralon (Gambar 2b). Usaha budidaya ikan laut pada kurung apung ini memiliki keuntungan yaitu : memungkinkan penggunaan perairan yang tersedia secara maksimum dan ekono-mis, mengurangi predator, populasi ikan mu-dah dikontrol, mudah dipindahkan bila terjadi hal yang membahayakan, mudah dipa-nen dan modal awal relatif lebih kecil. Padat penebaran ikan pada kurung apung tergantung pada ukuran awal ikan dan luas wadah pemeliharaannya. Untuk ukuran benih 10 cm padat penebaran yang baik adalah 37 ekor/m^,sedangkan untuk ikan yang panjangnya 18 cm — 21 cm dan berat 82 gram — 130 gram adalah 30 ekor — 60 ekor/ m . Lama pemeliharaan ikan kerapu pada kurung apung untuk mencapai ukuran konsumsi, yaitu 0,5 kg — 1 kg tergantung pada ukuran awal ikan yang ditebar. Di Sub Balai penelitian Budidaya Pantai — Bojonegara, telah dilakukan budidaya ikan kerapu lumpur Epinephelus tauvina yang mempunyai panjang awal 18 cm — 21 cm, berat 82 gram — 130 Gram dan padat penebaran 30 — 60 ikan/m3 serta diberi pakan ikan rucah. Frekuensi pemberian pakan adalah 2 kali sehari dan jumlah pakan yang diberi 10% dari berat ikan. Dean ini akan mencapai ukuran konsumsi yaitu 0,5 kg — 1 kg setelah dipelihara selama 6 atau 7 bulan (DANAKUSUMAH et al 1986). Di negara lain, budidaya beberapa jenis ikan kerapu di kurung apung telah berkembang. Misalnya di Malaysia dan Kuwait, telah melakukan budidaya ikan kerapu Epinephelus salmoides (TENG & CHUA 1978), dan Epinephelus tauvina (HUSSAINeffl/. 1975).
31
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
PENYAKIT DAN CARA PENGOBATANNYA Seperti usaha budidaya lainnya, usaha budidaya jaring apung ini juga tidak terlepas dari berbagai kendala pengembangan usaha budidaya kerapu lumpur Epinephelus tauvina pada kurung apung di Sub Balai Penelitian Pantai Bojonegara — Serang adalah serangan penyakti pada waktu tertentu. Akibat serangan penyakit ini pertumbuhan ikan tersebut terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian. Ikan kerapu yang menderita sakit biasanya memperlihatkan gejalagejala yang dapat diketahui dengan jelas dan mudah. Beberapa gejala yang dapat terlihat dengan jelas adalah sebagai berikut : 1. Kelainan tingkah laku Kondisi ikan berenang terlihat sangat lemah dengan posisi miring atau "diving" (Menukik dari permukaan langsung ke dasar, bergerak kembali ke permukaan dan akan tetap berada di permukaan. 2. Nafsu makan berkurang dan daya tahan tubuh melemah. 3. Kelainan bentuk mata, sisik dan warna tubuh. Mata menonjol, sisik badan sebahagian lepas, warna tubuh menjadi lebih gelap. 4. Kelainan pada insang dan sirip ekor. Tutup insang membuka terus - menerus secara cepat, sirip ekor tidak normal. 5. Kelainan pada kulit. Ada luka-luka pada kulit dan bintik - bintik putih serta merah Tiga hari setelah ikan-ikan menunjukkan gejala sakit akan berada di permukaan air dengan posisi terbalik dan frekuensi pernafasannya cepat sekali. Dean yang sakit ini harus diambil dari kurung apung untuk diberi pengobatan dan sebahagian lagi langsung diperiksa organ tubuh bagian dalam. Organ tubuh seperti hati, alat - alat pencer-
32
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
naan, jantung, ginjal keadaannya normal jika dibandingkan dengan organ tubuh ikan sehat. Lembaran insang, lendir dan sirip ikan kerapu yang sakit diamati dengan mikroskop. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa jenis parasit seperti Trichodina sp., Gyrodacty sp., Dactypgrus sp., dan Tre-matoda dalam jumalh yang banyak menem-pel pada insang dan sirip ekor ikan tersebut. Pengobatan yang telah dlakukan di Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara -Serang terhadap ikan terinfeksi adalah me-rendam ikan tersebut dalam larutan 0,5 ml/ kg. ikan. Namun pengobatan ini belum mem-bawa hasil yang memuaskan karena tiga hari kemudian ikan kerapu yang sakit akhirnya mati. Hasil Penelitian di Singapore menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang ikan kerapu lumpur Ephinephelus tauvina di-sebabkan oleh parasit Ichthyoplithirius mul-tifilis dan Crytocaryon irritan (Protozoa), Ic-htyosporidosis sp. (Jamur) dan Vibriosis parahaemolyciticus fBakteri) (CHONG & CHAD 1986a). Parasit dari golongan Protozoa, Bakteri dan Jamur mengakibatkan luka-luka pada kulit dan akhirnya timbul bintik-bintik putih dan merah pada bagian kepala, tubuh dan sirip ikan kerapu. Sedang-kan parasit dari jenis Bakteri menyerang organ tubuh bagian dalam ikan kerapu^ seperti hati, ginjal dan sel darah. Penanggulangan dan pengobatan yang telah dilakukan terhadap ikan kerapu lumpur Epinephelus tauvina yang terinfeksi oleh parasit Protozoa, Bakteri dan Jamur adalah penggunaan zat antibiotik dengan cara perendaman dan penyuntikan ikan sakit dan melalui makanan (CHONG & CHAD 1986b). Antibiotik yang efektif digunakan untuk penanggulangan ikan kerapu yang terinfeksi oleh Protozoa, Bakteri dan Jamur sebagai berikut :
www.oseanografi.lipi.go.id
C. Jamur Perendaman ikan sakit dengan Methylene blue 0,1 ppm selama 1 jam yang dilakukan berulang-ulang selama 3 hari. Dapat juga mengoleskan larutan Potassium dichromate pada tubuh ikan kerapu yang luka.
A. Protozoa
Dengan perendaman Formalin 200 ppm, selama lA jam sampai 1 jam, diulang selama 3 hari. Nitrofurazone 30 ppm, selama 12 jam Malachite green 0,5 ppm selama ^jam Methylehe blue 0,1 ppm selama 1 jam, diulang selama 3 hari
Pengukuran rata-rata parameter kualitas air pada kurung apung seperti suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH dan kecerahan secara berturut-turut adalah 28° C; 6,8 ppm; 31,5 ppt; 8,2 dan 45,3. Keadaan ini masih dalam batas yang tidak membahayakan bagi kehidupan ikan kerapu. Dugaan sementara, penyebab kematian ikan kerapu lumpur Epinephelus tauvina pada kurung apung di Sub Balai Peneliatian Budidaya Pantai adalah parasit Trichodina sp., Gyrodactylur sp., Dactygyrus sp., dan Trematoda. Akhirnya timbul suatu masalah, apakah ikan kerapu yang mati tersebut hanya disebabkan oleh jenis parasit tersebut atau disebabkan oleh jenis virus, bakteri dan parasit lainnya. Untuk membuktikannya penelitian dengan mengamati mutu pakan ikan yang diberikan, penggunaan obat dan zat antibiotika dengan dosis dan waktu pemberian yang tepat masih terus dilakukan. Dengan demikian, diharapkan dapat menunjang pengembangan usaha budidaya ikan kerapu lumpur Epinephelus tauvina di masa yang akan datang.
Melalui makanan dapat digunakan Metronidazole 5 gram/kg selama 10 hari. B. Bakteri Dengan perendaman Nitrofurazone 15 ppm selama 4 jam Sulphonamedi 50 ppm selama 4 jam Neomycin sulfhate 50 ppm selama 2 jam Acriflavine 100 ppm selama 1 menit (pencelupan). Melalui makanan diberikan: Oxytetracyline 0,5 g/kg makanan selama 7 had Sulphonamides 0,5 g/kg makanan selama 7 hari Chloramphenicol 0,2 g/kg makanan selalama 2 hari Ampicilin 0,5 g/kg makanan selama 4 hari Erythromycine estolate 1 g/kg makanan selama 5 hari Jika ikan tidak mau makan, dapat dilakukan penyuntikan ikan sakit dengan Penicilin 3 units/kg ikan.
33
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
34
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
j. fase Blastula.
k. fase Gastrula.
35
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
1. fase perkembangan Embryo.
m. fase Embryo kompleks.
36
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
n. fase terbentuknya larva.
o. larva.
37
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
38
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Ikan kerapu (Epinephelus tauvina)
39
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 4. Dean kerapu (Epinephelus tauvina) yang sirip ekornya luka.
40
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
report of mariculture research and development project (ATA - 192 in Indonesia : 400 - 409.
DAFTAR PUSTAKA BASYARIE, A and H. TANAKA, 1986. Some biological data of grouper Epinephehis tauvina In Banten Bay Scientific report of mariculture research and development project (ATA — 192 ) in Indonesia : 17 — 26 CHONG, Y.C., and T.M. CHOU. 1986a. Manual on floating net—cages fish farming in Singapores coastal waters. Fist. Handbook. 1 : 17p. CHONG, Y.C., and TJV1. CHOI. 1986b. Common diseases of marine fish, no : 2. 32p. DANAKUSUMAH, E., K. IMANISHI and K. SUGAMA, 1986 A prelimary study on rearing of grouper Epinephelus fuscoquttatus dalam kurung apung In Scientific report of mariculture research and development project ( ATA 192 ) in Indonesia : 400 - 409. HUSSAIN, N.A. and MASAKI, 1979. Larval rearing and development of the brown spotted grouper Epinephelus tauvina. Aquaculture No.: 339 - 350. HUSSAIN, N.A., M. SAIF and M. UKUWA. 1975. On the culture of Epinephelus tauvina (Forskal). Kuwait. Inst. Sci. Res. MAS: 14 p. EMANTO, P.T., 1986 Pengamatan pada pertumbuhan ikan kerapu lumpur Epinephelus tauvina dan Epinephelus fuscoqutta-tus dalam kurung apung. In Scientific
LIM, R., F.Y. CHEN., M. CHOW., and T.M. CHAO, 1977. Artificial spawning larval rearing of the groupers Epinephelus tauvina (Forskal) in Singapura. SingapuraJ.Pri.Ind. 5 (1) : 1 -22. SELVARAJ. G.S.D. and M. RAJAGOPA-LAN, 1973. Some observation on the fecundity and spawning habits of the brock cod, Epinephelus tauvina (Forskal). Indian J. Fish. 20 (2) : 668 - 671. SUGAMA, K., 1986. Study kebiasaan ma-kanan dan pertumbuhan benih ikan kerapu Epinephelus tauvina di Teluk Banten. In Scientific report of mariculture research and development project (ATA-192) in Indonesia: 143- 155. SUGAMA, K and H. EDA., 1986 Survey benih ikan kerapu Epinephelus spp. di per air an Teluk Banten. Scientific report of mariculture research and development project (ATA 192) in Indonesia : 179 — 181. TAN, S.M. and K.S. TAN., 1974. Biology of the tropical grouper, Epinephelus tauvina (Forskal). Singapura J. Pri. Ind. 2 (2) :
123-133. TENG, S.K. and T.E. CHUA. 1978. Effect of stocking density on the growth of estuary grouper, Epinephelus tauvina cultured in floating net-cages. Aquaculture 15:273-287.
41
Oseana, Volume XV No. 1, 1990