DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI -----------------------------LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN PLH DIRJEN PEMASYARAKATAN, DIREKTUR AKIP, DAN KALAPAS SELURUH INDONESIA --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Hadir Ijin Acara
: 2013-2014 : I : : Tertutup : Rapat Dengar Pendapat. : Senin, 26 Agustus 2013. : Pukul 10.10 – 16.40 WIB : Ruang Rapat Komisi III DPR RI. : Drs. Al Muzzammil Yusuf, M.Si / Wakil Ketua Komisi III DPR RI. : Endah Sri Lestari, SH, M.Si / Kabagset. Komisi III DPR RI. : 35 orang dari 50 anggota Komisi III DPR RI. : 2 orang anggota Komisi III DPR RI. : Kondisi riil lembaga pemasyarakatan, permasalahan dan saran pemecahan / solusi penyelesaiannya. Paradigma pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat dibuka pukul 10.10 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III, Drs. Al Muzzammil Yusuf, M.Si dengan agenda sebagaimana tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN Penjelasan PLH Dirjen Pemasyarakatan terkait kondisi pemasyarakatan saat ini, diantaranya sebagai berikut: Ada tiga dekade perkembangan Lapas di Indonesia, sebelum tahun 2000 setiap tanggal 17 Agustus berita mengenai lapas datar-datar saja dan pemberian remisi tidak menjadi permasalahan oleh masyarakat. Setelah tahun 2006 dengan adanya perkembangan tindak pidana, gembong narkoba masuk, publik figur yang tersangkut kasus korupsi masuk, pelaku terorisme masuk. Setiap ada pemberian remisi kepada Narapidana, masyarakat menuding Lembaga Pemasyarakatan terlalu mudah memberikan remisi kepada para napi.
1
Permasalahan mengenai Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang dinilai obral remisi oleh masyarakat, sehingga memunculkan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Masyarakat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Keberadaan PP tersebut dirasakan begitu besar dampaknya diseluruh Lapas yang ada, dan lahirnya aturan ini juga memberi tugas baru yang mungkin dinilai tidak sesuai dengan keahlian yakni misalnya pemberian terapi dan rehabilitasi yang seharusnya dilakukan dengan supervisi ahli kesehatan. Penanganan terhadap teroris juga dirasa menjadi sebuah hambatan, misalnya deradikalisasi. Permasalahan over kapasitas merupakan akar dari berbagai permasalahan yang terjadi di Lapas/Rutan. Dampak daripada over kapasitas/kelebihan penghuni di Lapas/Rutan, sebagai berikut: Buruknya kondisi kesehatan narapidana/tahanan, Suasana psikologis narapidana/tahanan memburuk, Mudah terjadinya konflik antar penghuni, meningkatnya ketidakpuasan penghuni, pembinaan tidak berjalan sesuai ketentuan dan terjadi pemborosan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik, makanan dan pakaian. Mengenai permasalahan yang terjadi dikaitkan dengan PP No. 99 Tahun 2012, dalam forum disampaikan dampak dari lahirnya PP tersebut. Implikasi psikologis yang terjadi adalah sulitnya pemberian remisi bagi Napi disebabkan oleh persyaratan yang rumit. Selain itu, alokasi anggaran untuk keamanan menjadi tinggi (Misalnya bantuan dari TNI/Polri). Permasalahan yang dihadapi pemasyarakatan saat ini meliputi; Posisi pemasyarakatan dalam SPPT (system Peradilan Pidana Terpadu), Organisasi, Sumber daya manusia (SDM), Perencanaan dan Penganggaran, Optimalisasi tugas dan fungsi, Pengawasan dan partisipasi publik, Manajemen perubahan, Over kapasitas. Saat ini Jumlah Lapas dan Rutan adalah 457 unit, sebagian besar dalam kondisi over kapasitas, dalam 6 tahun terakhir pertumbuhan tingkat hunian di Lapas/Rutan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Jumlah penghuni pada tahun 2008 adalah 135.985 orang, sedangkan pada saat ini berjumlah 155.914 orang. Kapasitas hunian saat ini sebesar 108.186 Orang, sehingga mengalami over kapasitas sebesar 44% atau 47.728 Orang. Jumlah pegawai pemasyarakatan seluruh wilayah Indonesia sebanyak 30.181 orang, sementara jumlah ideal petugas pemasyarakatan 44.900 orang, sehingga masih kebutuhan pegawai sebanyak 14.719 orang. Adapun jumlah paramedis dan tenaga medis saat ini sebanyak 803 orang, sementara kebutuhannya 1.892 orang, dan masih membutuhkan paramedis dan tenaga medis sebanyak 1.089 orang. Perlu diketahui saat ini, khusus petugas pengamanan sejumlah 12.311 orang apabila dibagi menjadi 4 regu pengamanan, maka rata-rata jumlah petugas pengamanan dalam satu regu yang bertugas menjaga narapidana/tahanan adalah sebanyak 3.077 orang. Apabila jumlah petugas pengamanan dalam 1 regu tersebut dibandingkan dengan jumlah penghuni saat ini adalah 3.077: 155.914 atau 1:53, artinya setiap 1 orang petugas pengamanan akan menjaga dan mengawasi sebanyak 53 orang narapidana/tahanan. Anggaran Kementerian Hukum HAM T.A 2014 adalah Rp. 6.155.184.000.000,-, sementara anggaran untuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sendiri pada T.A 2014 sebesar Rp.44.817.927.000,- atau 1% dari anggaran kementerian hukum dan secara keseluruhan, dan mengalami penurunan dari T.A. 2013 sebesar Rp.21.388.997.000,-. Untuk indek kebutuhan hidup napi/tahanan perorang perhari idealnya sebesar Rp.58.863,-, mengingat keterbatasan anggaran di kemekumham maka Indek Kebutuhan hidup napi/tahanan perorang perhari saat ini rata-rata sebesar Rp.29.189,- atau baru terpenuhi 50%. Anggaran saat ini diperuntukan bagi 130.000 penghuni, padahal kondisi riil saat ini 155.914 Penguni (data 18 Agustus 2013)
2
Penyelesaian permasalahan pemasyarakatan sebagaimana tercantum dalam cetak biru pemasyarakatan meliputi; Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Posisi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Manajemen Organisasi, Manajemen SDM, Perencanaan dan Penganggaran, Teknis Pemasyarakatan, Pengawasan dan Partisipasi Publik, Manajemen Perubahan dan Over Kapasitas. Dalam sistem peradilan pidana terpadu (SPPT) tidak ada hubungan yang sinergi, lembaga penegak hukum di Indonesia jalan dengan visi dan misinya masingmasing. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu melaksanakan internalisasi konsepsi pemasyarakatan keadalam Sub system peradilan pidana lainnya, Konfigurasi peraturan SPPT misalnya melakukan amandemen UU Pemasyarakatan. Dalam manajemen organisasi, seyogyanya kemandirian organisasi pemasyarkatan perlu dipertimbangkan bahwa direktorat Jenderal Pemasyarakatan memiliki peran sebagai Pembina teknis kepada Unit Pelaksana Teknis yang menjalankan tugas dan fungsi pemasyarakatan, dan seharusnya UPT Pemasyarakatan bertangjung jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam rangka mengatasi permasalahan manajemen Sumber Daya Manusia, perlu adanya Penguatan dan keterlibatan secara langsung dalam sistem perencanaan dan pengadaan pegawai termasuk persyaratan khusus. Permasalahan yang dihadapi dalam sistem perencanaan anggaran di UPT pemasyarakatan adalah sebagai berikut: Pengalokasian anggaran pada UPT pemasyarakatan merupakan kewenangan sekretariat jenderal, UPT Pemasyarakatan saat ini melaksanakan program dan kegiatan sekretariat jenderal (program generik), bukan melaksanakan program pembinaan dan penyelenggaraan pemasyarakatan (program teknis), sehingga tidak adanya keselarasan antara kegiatan (output) yang dilaksanakan oleh UPT Pemasyarakatan dengan program yang dilaksanakan. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan dan penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan teknis, Membuat mekanisme perencanaan dan penganggaran yang kondusif berdasarkan performa program, dan Pemenuhan sarana dan prasarana UPT Pemasyarakatan. Upaya penyelesaian permasalahan over kapasitas telah dilaksanakan melalui kegiatan Pembangunan Lapas Rutan, Pemindahan narapidana, Percepatan pemberian PB, CB, dan CMB sampai dengan 17 Agustus sebesar 31.746 orang, Pidana alternatif (restoratif justice, pidana bersyarat,kerja sosial, rehabilitasi) Untuk itu disampaikan beberapa point penting yang perlu ditindaklanjuti, yaitu : Penyelesaian permasalahan pemasyarakatan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh Kemenkumham, Penyelesaian permasalahan pemasyaraktan memerlukan dukungan dari semua pihak, Perlu adanya pemahaman dan komitmen yang sama dari seluruh stakeholder dalam melaksanakan perubahan pemasyarakatan, Perlu adanya kemandirian organisasi pemasyarkatan, yaitu UPT Pemasyarakatan bertanggung jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Perlu segera revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Permasalahan penanganan terhadap Napi Teroris (yang notabene Ahli) yang dilakukan oleh SDM yang kurang memadai. Usulan untuk memisahkan para Napi teroris karena jika dijadikan satu dapat menjadi suatu permasalahan di kedepannya. Terhadap hal ini, BNPT juga akan membangun sebuah tempat khusus yang manajemennya tersendiri. Permasalahan perlakuan yang tidak adil kepada para Tahanan yang dilakukan dengan Kekerasan pada saat penyidikan (Polri) dan tawar-menawar pasal dengan oknum Kejaksaan. Kerusuhan banyak terjadi karena juga oleh penambahan akumulasi tahanan dan implikasi psikologis dengan mendapat perlakuan tidak adil dari penegak hukum. Permasalahan untuk penanganan kekerasan adalah seharusnya dengan metode pendekatan terhadap warga binaan. Aspirasi yang didapat adalah juga mengenai dampak dari PP No. 99 Tahun 2012, misalnya tidak ”direstui” oleh lembaga3
lembaga terkait. Peningkatan juga diperlukan dalam hal alat komunikasi bagi petugas yang bertanggung jawab. Permasalahan mengenai Lapas yang over capacity menjadi permasalahan yang dialami hampir seluruh Lapas. Selanjutnya hal percepatan permohonan eksekusi hukuman mati yang memerlukan batas waktu yang jelas; dan permasalahan mengenai tidak ada pemisahan khusus terhadap para narapidana dari berbagai jenis pidana, yang ditakutkan dapat mempengaruhi satu sama lain. Permasalahan mengenai kemungkinan dampak dari terbitnya PP No. 99 Tahun 2012. Selanjutnya permasalahan dalam pemberian rekomendasi dalam pemberian remisi oleh lembaga-lembaga tertentu. Terkait terhambatnya pemberian hak-hak warga binaan yang sering tertunda oleh lembaga penegak hukum dan putusan pengadilan yang seringkali terlambat diterima oleh warga binaan. Permasalahan kondisi bangunan, sarana, dan prasarana yang sangat tidak memadai, seperti kondisi bangunan yang tidak layak dan terendam air. Permasalahan selanjutnya adalah pelayanan kesehatan yang sering menemui hambatan, dan anggaran kesehatan yang sangat minim, dimana petugas Lapas memiliki kewajiban terhadap kesehatan para warga binaan. Selain itu, kesejahteraan petugas perlu dipikirkan, karena dirasa terlepas dari Integrated Criminal Justice System. Petugas-petugas di lembaga pemasyarakatan agar tidak selalu disudutkan oleh peristiwa yang terjadi di lapas dan menjadi ramai di publik. Tingkat kapasitas petugas dan kesejahteraan pegawai pun perlu ditingkatkan, dan perlunya pemberian apresiasi kepada petugas lapas. Permasalahan mengenai dukungan anggaran yang selama ini minim. Selain itu juga dalam dukungan peraturan atau legislasi. Selanjutnya dukungan mengenai penanganan kekerasan atau konflik. Kemudian disampaikan permasalahan mengenai minimnya personil dan perlunya telah lebih lanjut mengenai tujuan pemidanaan dan tujuan pemidanaan. Aturan yang diberlakukan perlu juga mempertimbangkan implementasinya. Permasalahan sanitasi, serta permasalahan listrik dan air, yang terkadang membutuhkan swadana untuk mendapatkan sumber air. Permasalahan dalam Lapas adalah kekurangan petugas keamanan. Media juga dinilai dapat memberikan efek yang negatif yang menyulut permasalahan keamanan. Kemudian masukan yang juga menyoroti masalah peraturan dari PP No. 99 Tahun 2012 yang menimbulkan kekecewaan terhadap pemberian remisi. Direktur AKIP menjelaskan mengenai proses seleksi dan integritas Taruna AKIP, baik kemampuan, kesehatan, dan pengamatan fisik. Selanjutnya program-program pembinaan bagi Taruna AKIP. Saat ini akademi mengarah pada Diploma IV. Perlunya juga rehabilitasi terhadap trauma petugas yang berada di Lapas yang terjadi kerusuhan (Crisis Center). Meminta dukungan anggaran pendidikan dari Komisi III DPR RI terutama karena membutuhkan lulusan yang dapat mendukung seluruh UPT di Indonesia. Kondisi permasyarakatan saat ini, yang secara garis besar telah meningkat dari tahun ke tahun dan memiliki indeks perkembangan over kapasitas sebesar 44% yang terbagi dalam tiga kategori yakni Kategori I (lebih dari 50%), Kategori II (dibawah 50%), dan Kategori III (tidak mengalami over capacity). Kondisi petugas permasyarakatan yang secara garis besar tidak memenuhi kondisi ideal yakni dimana angka kebutuhan ideal adalah 44.900 orang, namun jumlahnya saat ini adalah 30.181 orang. Bahwa alokasi anggaran Direktorat Jenderal Permasyarakatan pada Tahun 2013, yang disertai dengan penjelasan mengenai indeks kebutuhan Napi/Tahanan per hari yang selama ini telah terpenuhi 50%. Pada hal manajemen penanganan permasalahan telah disusun Cetak Biru Pembaruan Pelaksanaan Sistem Pelaksanaan Sistem Permasyarakatan sesuai dengan Permenkumham No. HH-OT.02.02 Tahun 2009, yang mana difokuskan pada hal-hal yang telah teridentifikasi tersebut diatas.
4
Pada hal pertama mengenai Sistem permasyarakatan yang diarahkan pada deinstitusionalisasi/kebijakan non pemenjaraan (Community Base Corrections) yang juga memberi perlakuan khusus bagi anak, perempuan dan kelompok rentan. Permasalahan dalam SPPT ini adalah belum dipahaminya secara utuh konsep dan misi permasyarakatan dalam bekerjanya SPPT oleh Lembaga Penegak hukum lainnya. Hubungan antara lembaga-lembaga yang bernaung dalam sistem peradilan pidana cenderung tidak sinergis. Langkah yang perlu dilaksanakan adalah internalisasi konsepsi permasyarakatan ke dalam subsistem peradilan pidana lainnya yakni dibentuk Desk Koordinasi pelaksaan SPPT, Pola Koordinasi di tingkat teknis, dan Konfigurasi peraturan SPPT. Pada konsep manajemen organisasi, yakni melakukan evaluasi struktur organisasi Kemenkumham untuk mencapai bentuk dan model koordinatif dan kejelasan dalam restrukturisasi organisasi; melakukan evaluasi struktur organisasi dan tata kerja tugas dan fungsi permasyarakatan, dan melakukan pembenahan SOP dan jabatan fungsional di semua UPT. Pembenahan SDM dilakukan dengan penguatan sistem perencanaan dan pengadaan pegawai, perbaikan pola karier dan jabatan fungsional penegak hukum, perbaikan Diklat terutama bagi jabatan fungsional, dan Alokasi Tunjangan fungsional petugas. Dalam hal manajemen perencanaan dan penganggaran, yang juga dinilai mengalami kelemahan dalam polanya, untuk itu diperluknan perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan teknis, mekanisme perencanaan dan penganggaran yang kondusif berdasarkan performa, pelatihan khusus, dan pemenuhan sarana dan prasarana. Optimalisasi Tusi Pemasyarakatan yang saat ini pelaksanaan tugas dan fungsinya belum optimal, yang kemudian dilakukan perbaikan dengan revisi aturan tentan pembinaan, penyusunan model pembinaan, penyusunan modul pelatihan, penyusunan manual pemasyarakatan, dan kerjasama dalam bidang latihan kerja, pendidikan, dan organisasi profesi. Selain itu dilakukan peningkatan pengawasan dan partisipasi publik, manajemen perubahan dan identifikasi permasalahan over kapasitas. Maka dari itu, langkahlangkah yang telah ditempuh adalah reformasi birokrasi pemasyarakatan, pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Pembangunan Nasional, Inpres No. 9 Tahun 2011 dan Inpres No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, pembentukan Action Plan layanan pemasyarakatan bersama-sama dengan KPK, Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Sedangkan langkah yang dilakukan untuk penanganan terhadap over kapasitas adalah pembangunan Lapas rutan dan pemindahan narapidana; selain itu juga dilakukan perceparan pemberian PB, CB, dan CMB melalui kegiatan Crash Program, dan pemberlakuan program Pidana Alternatif. Hal-hal yang perlu ditindaklanjuti adalah misalnya komitmen bersama untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut di atas dan revisi UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, peningkatan SDM dan dukungan Anggaran. Beberapa hal yang disampaikan oleh para Kalapas Seluruh Indonesia, diantaranya sebagai berikut : 1. Menyampaikan permasalahan penanganan terhadap narapidana Teroris (yang notabene merupakan para ahli di bidang nya, misalnya ahli intelijen, merakit bom, dsb) yang dilakukan oleh SDM (petugas Lapas) yang kurang memadai. 2. Diusulkan untuk memisahkan para narapidana teroris karena apabila dijadikan menjadi satu akan dapat menjadi suatu permasalahan kedepannya. Dan terhadap hal ini, BNPT juga akan membangun sebuah tempat khusus yang manajemennya tersendiri. 3. Adanya laporan perlakuan tidak adil pada tahanan yang dilakukan dengan kekerasan pada saat penyidikan oleh Kepolisian dan tawar-menawar pasal dengan oknum Kejaksaan.
5
4. Kerusuhan banyak terjadi dikarenakan penambahan jumlah tahanan dan implikasi psikologis tahanan yang mendapat perlakuan tidak adil dari penegak hukum. 5. Terkait permasalahan untuk penanganan kekerasan seharusnya dengan metode pendekatan terhadap warga binaan. 6. Terkait dengan dampak dari PP No. 99 Tahun 2012, misalnya banyaknya syarat-syarat untuk mendapatkan remisi yang tidak ”direstui” oleh lembaga terkait, seperti KPk dan BNN. 7. Permasalahan di Lapas Nusakambangan, diantaranya over kapasitas serta meminta agar status Lapas Nusakambangan diperjelas dengan peraturan perundang-undangan. Meminta agar diberikan tunjangan khusus bagi petugas Lapas di pulau-pulau seperti Nusakambangan. 8. Selanjutnya dalam hal percepatan permohonan eksekusi hukuman mati agar memerlukan batas waktu yang jelas. 9. Diperlukan pemisahan khusus terhadap para narapidana dari berbagai jenis pidana, sehingga tidak dapat mempengaruhi narapidana satu dengan lainnya. 10. Dampak dari terbitnya PP No. 99 Tahun 2012 dikaitkan dengan solusi permasalahan dalam pemberian rekomendasi bagi pemberian remisi oleh lembaga-lembaga tertentu seperti KPK dan BNN. 11. Sering kali terhambatnya pemberian hak-hak warga binaan yang sering tertunda oleh lembaga penegak hukum dan yudisial, misalnya salinan putusan. 12. Bahwa kondisi bangunan, sarana, dan prasarana yang sangat tidak memadai. Selain itu permasalahan selanjutnya adalah pelayanan kesehatan yang sering menemui hambatan. 13. Permasalahan dampak psikologis warga binaan terhadap lahirnya PP No. 99 Tahun 2012, meminta agar Komisi III dapat memberikan suatu intervensi terhadap manajemen pemberian remisi, permasalahan fasilitas yang kurang memadai dan tidak adanya tunjangan resiko. 14. Bahwa tidak semua fasilitas Lapas itu tidak memadai, namun juga kesejahteraan petugas perlu dipikirkan, karena dirasa terlepas dari Integrated Criminal Justice System. 15. Memohon dukungan agar tidak selalu disudutkan oleh publik, tingkat kapasitas petugas dan pegawai pun perlu ditingkatkan. 16. Terkait dengan permasalahan over kapasitas dan keterbatasan petugas yang sebenarnya sudah lama terjadi. 17. Bahwa lahirnya PP No. 28 Tahun 2006 sebenarnya juga telah mulai memicu kegelisahan dari warga binaan. Kemudian PP No. 99 Tahun 2012 juga memicu naiknya tingkat ketegangan, misalnya karena rekomendasi dari lembaga terkait yang mengatakan bahwa pemohon tidak menjadi Justice Collaborator selama proses hukum. 18. Meminta penjelasan lebih lanjut tentang adanya informasi bahwa kebijakan pemangkasan anggaran pemasyarakatan sebesar 30%. 19. Bahwa tes urine dan razia handphone terus dilakukan, namun masih mendapat hambatan. Perlunya pengaturan lebih ketat mengenai penggunaan alat komunikasi. 20. Bahwa fasilitas pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan sangat terbatas dan kurang layak. Hal ini juga terkait dengan keterbatasan anggaran yang minim dibandingkan dengan instansi lainnya. 21. Bahwa untuk pemisahan antara Lapas dan Rutan dapat menjadi salah satu solusi untuk permasalahan overkapasitas. Disamping manajemen Lapas yang masih sangat buruk. 22. Bahwa selama ini masih sangat minimnya dukungan anggaran, selain itu juga dukungan dalam bentuk peraturan atau legislasi, serta dukungan penanganan kekerasan atau konflik.
6
23. Permasalahan mengenai minimnya personil dan perlunya telaah lebih lanjut mengenai tujuan pemidanaan. Aturan yang diberlakukan perlu juga mempertimbangkan implementasinya. 24. Menyampaikan usulan perbaikan bangunan lembaga pemasyarakatan yang tidak layak seperti Lapas yang terendam air. 25. Meminta untuk segera dibantu permasalahan sanitasi di Lapas Cipinang. 26. Permasalahan di lapas seperti permasalahan air dan listrik, yang terkadang dilakukan swadana untuk mendapatkan sumber air. 27. Permasalahan kesehatan kerap terjadi terutama di Lapas Narkoba. Bahwa jenis perkara yang lebih banyak adalah jenis tindak pidana narkoba. Dan permasalahan yang terjadi adalah kekurangan petugas keamanan. 28. Bahwa selama ini banyak pemberitaan di media dapat memberikan efek yang negatif dan dapat menimbulkan permasalahan keamanan di Lapas. 29. Meminta untuk segera diselesaikan permasalahan over kapasitas, sanitasi, dan pengurangan intervensi dari lembaga-lembaga di luar. 30. Bahwa permasalahan over kapasitas yang sangat besar di lembaga pemasyarakatan terkadang memakan korban jiwa. 31. Permasalahan pembangunan yang tertunda, rutan yang dipinjam dan belum dikembalikan pada Kementerian Hukum dan HAM, apabila hal terebut diselesaikan, tentunya akan membantu mengurangi permasalahan over kapasitas. 32. Perlunya solusi terhadap kendala yang dihadapi Lapas seluruh Indonesia, dimana pada dasarnya staf Kalapas merupakan korban terhadap kebijakan dari pusat dan dewan. Dan persoalan yang ada merupakan persoalan yang muncul dari tahun ke tahun. 33. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rapat gabungan dengan Menkopolhukam dan Menkeu untuk meningkatkan anggaran penegak hukum. 34. Bahwa dengan adanya PP No.99 Tahun 2012, Hal ini mengakibatkan setiap Lapas mendapat bantuan keamanan dari TNI dan Polri yang berdampak pada peningkatan biaya makan. 35. Untuk mengurangi berkembangnya jaringan teroris di Lapas, diusulkan untuk mendirikan Lapas tersendiri bagi para teroris dan untuk mengurangi beredarnya penggunaan Handphone dalam Lapas maka diusulkan setiap Lapas disediakan jammer. 36. Kerusuhan diduga akibat akumulasi kekecewaan yang ditimbulkan dari ketidaknyamanan lapas (akibat over capacity), perlakuan yang tidak adil dari proses penyidikan, penuntutan hingga putusan ditambah dengan berlakunya PP No. 99 Tahun 2012. 37. Over kapasitas penghuni Lapas mengakibatkan belum optimalnya proses pembinaan narapidana, sulit terpenuhinya sasaran kerja pegawai, rentan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban, dan belum optimalnya pelayanan kesehatan bagi narapidana. 38. Kurang diperhatikannya kesejahteraan petugas seperti tidak adanya tunjangan yang spesifik bagi petugas Lapas dalam pelaksanaan tugas dengan resiko yang sangat tinggi, masih minimnya perumahan dinas bagi petugas, dan minimnya jatah kelengkapan atribut pakaian dinas petugas. 39. Kurangnya Sumber Daya Manusia seperti jumlah petugas Lapas masih minim baik dari kuantitas (jumlah) maupun kualitas (skill / pengetahuan) khususnya yaitu minimnya jumlah petugas yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan teknis pemasyarakatan, minimnya petugas yang memiliki keterampilan untuk melakukan pembinaan kemandirian narapidana, tidak adanya petugas untuk menangani kejiwaan (psikiater).
7
Beberapa hal lainnya yang menjadi pokok-pokok pembahasan, diantaranya sebagai berikut: 1. Bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pengelolaan Lapas/Rutan di Indonesia, yaitu terkait dengan over capacity, terbatasnya sarana dan prasarana di dalam Lapas/Rutan, rendahnya kualitas recruitment petugas Lapas/Rutan, kurangnya pendidikan lanjutan bagi petugas Lapas/Rutan yang ada saat ini, minimnya tunjangan hidup dan kesehatan Petugas Lapas, dan lain-lain; 2. Dapat dilihat adanya kelemahan pengelolaan anggaran untuk Lapas/Rutan, oleh karenanya agar Komisi III DPR RI untuk membahas kebijakan anggaran dalam Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 ini, khususnya untuk peningkatan pengelolaan Lapas/Rutan menjadi lebih baik; 3. Bahwa perlu diantisipasi dan disikapi secara serius adanya masukan/informasi terkait dengan adanya pesan pendek melalui SMS, akan adanya kerusuhan massal di Lapas/Rutan di seluruh Indonesia menjelang peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 16, 17 dan 18 Agustus 2013; 4. Kalapas/Rutan menilai adanya PP 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai potensi kerawanan kerusuhan, dimana Kalapas/Rutan tidak mudah untuk mendapatkan Rekomendasi dari instansi terkait bagi Narapidana terorisme, narkotika dan tindak pidana korupsi yang akan mendapat Remisi. 5. Berkenaan dengan semua yang disampaikan oleh Plh Dirjen PAS, Direktur AKIP dan KaLapas seluruh Indonesia, Komisi III DPR RI agar segera mengadakan Rapat Gabungan dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mencari solusi terbaik dari pengelolaan Lapas/Rutan saat ini, termasuk alokasi anggarannya. 6. Kepada KaLapas dan KaRutan yang belum menyampaikan data-data secara tertulis, diharapkan untuk segera menyampaikan data-data tersebut sebagai bahan rapat kerja gabungan Komisi III DPR RI dengan Menkopolhukkam, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. III. PENUTUP Rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan PLH Dirjen Pemasyarakatan, Direktur AKIP dan seluruh Kalapas di Indonesia tidak mengambil kesimpulan, namun semua hal yang menjadi pokok-pokok pembicaraan akan segera ditindaklanjuti dengan melakukan Rapat Gabungan dengan Menkopolhukkam, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas terkait dengan kebijakan Politik Anggaran dan Manajemen Pengelolaan Lapas dan Rutan. Rapat ditutup pada pukul 16.40 WIB. PIMPINAN KOMISI III DPR RI, WAKIL KETUA
Drs. Al Muzzammil Yusuf, M.Si
8