BERPIKIR KREATIF DALAM PENGAJUAN MASALAH MATEMATIKA
Marhayati dan Cholis Sa’dijah Dosen STAI Ma’arif Metro, Dosen Universitas Negeri Malang Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK: Berpikir kreatif perlu dikembangkan selama proses pembelajaran. Dalam pengajuan masalah matematika diperlukan untuk berpikir kreatif. Berpikir kreatif melibatkan berpikir konvergen dan divergen. Berpikir konvergen adalah cara berpikir yang berorientasi untuk mendapatkan respon tunggal dari informasi yang diberikan. Sedangkan berpikir divergen adalah cara berpikir yang berorientasi untuk mendapatkan respon yang berbeda-beda dari situasi yang diberikan. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana pemikiran kreatif diperlukan dalam pengajuan masalah matematika. Proses kreatif meliputi empat tahap yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Kata kunci: pengajuan masalah matematika, berpikir kreatif, berpikir konvergen, berpikir divergen.
Kreativitas merupakan produk dari berpikir kreatif dan sering dihubungkan dengan siswa berbakat (gifted). Pada Standar Isi dalam kerangka dasar kurikulum dinyatakan bahwa kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB sampai SMA/MA/ SMALB perlu untuk membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif, dan mandiri. Oleh sebab itu berpikir kreatif harus dapat dikembangkan selama proses pembelajaran. Pembelajaran yang melibatkan pengajuan masalah dapat mengembangkan berpikir kreatif siswa sebab dalam pengajuan masalah siswa akan berpikir diluar kebiasaan siswa. Siswa akan berpikir untuk mengajukan masalah-masalah berdasarkan situasi atau informasi yan disediakan. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana berpikir kreatif diperlukan dalam pengajuan masalah.
KAJIAN PUSTAKA 1. Berpikir Kreatif Berpikir merupakan aktivitas yang terjadi didalam otak atau pikiran. Solso dkk (2008 : 402) menyatakan bahwa “berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribut mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan”. Menurut Solso dkk (2008 : 402) terdapat tiga ide dasar tentang berpikir yaitu: 1. “Berpikir adalah kognitif-terjadi secara “internal”, dalam pemikiran-namun keputusan diambil lewat perilaku. Pemain catur dikatakan berpikir dalam menentukan pergerakannya.
234
235, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
2. Berpikir adalah proses yang melibatkan beberapa mani-pulasi pengetahuan dalam sistim kognitif. Ketika pe-main catur sedang mere-nungkan gerakan, memori masa lalu berkombinasi dengan informasi masa sekarang untuk mengubah pengetahuannya akan situasi. 3. Berpikir bersifat langsung dan menghasilkan perilaku yang “memecahkan” masalah atau langsung menuju solusi. Pergerakan catur selanjutnya dalam pemikiran pemainnya, langsung menuju kepada me-menangkan pertandingan”. Jadi berpikir terjadi didalam otak atau pikiran yang melibatkan manipulasi pengetahuan dan sistim kognitif yang dapat diamati dari hasil pekerjaan dan dari kata-kata yang diucapkan. Proses berpikir ber-langsung secara terus menerus. Krulik, Rudnick, dan Milou (2003:89) membagi proses berpikir kedalam empat kategori yaitu Recall, basic, critical, dan creative seperti yang terlihat dalam gambar1.
Higher-order Creative Critical
Reasoninggg
Basic Recall Gambar 1. Hirarki Berpikir
Basic thinking, critical thinking, dan creative thinking termasuk kedalam berpikir pena-laran, sementara critical thinking, dan creative thinking mengacu kedalam kemampuan berpikir tingkat tinggi. Recall thinking berada pada level dasar,
berpikir recal tidak benar-benar memerlukan pemikiran sadar. Misalkan orang dewasa ketika ditanya mengenai berapa jumlah dari , mereka tidak benarbenar berpikir tetapi secara otomatis menjawab “4”. Recall thinking berdasarkan pada ingatan. Contoh lain recall thinking misalkan mengingat nama seseorang, nomor telepon dan lain-lain. Level berikutnya ialah basic thinking, berpikir ini merupakan bentuk dasar berpikir. Pembuatan keputusan dilakukan dalam basic thinking. Misalkan jika seseorang berkeinginan untuk membeli 4 pensil, harga satu pensil Rp.2000,00, apakah orang tersebut akan me-lakukan perkalian atau pembagian? Jawaban untuk pertanyaan ini me-rupakan contoh dari basic thinking. Level berikutnya setelah basic thinking adalah critical thinking. Critical thinking meru-pakan kemampuan untuk menga-nalisis masalah, menentukan apakah cukup data untuk menyelesaikannya, memutuskan apakah terdapat informasi lebih dalam masalah, dan menganalisa situasi. Berpikir kritis termasuk mengenali data konsisten dan tidak konsisten, menentukan apakah keputusan valid atau tidak. Level tertinggi adalah berpikir kreatif (creative thinking). Terdapat multi level dalam berpikir kreatif. Siswa dikatakan berpikir kreatif ketika siswa tersebut dapat menyelesaikan suatu masalah dengan cara nonalgoritmik. Level lain berpikir kreatif misalkan siswa yang menghasilkan solusi masalah yang tidak biasa, unik, atau berbeda. Hasil dari berpikir kreatif seringkali sangat berbeda dari yang diharapkan. Berpikir kreatif melibatkan berpikir konvergen dan berpikir divergen. Guilford (Solso dkk, 2008:449) membedakan tipe berpikir menjadi 2 macam yaitu berpikir konvergen/terpusat (convergent thinking) dan berpikir divergen/ me-
Marhayati dan Sa’dijah, Berpikir Kreatif, 236
nyebar (divergent thinking) . Cara berpikir konvergen mengarah pada satu kesimpulan khusus. Pada umumnya pembelajaran lebih menekankan kepada pemikiran konvergen, dimana siswa diminta untuk mencari solusi tunggal dari suatu soal atau masalah matematika. Misalkan , pada contoh tersebut siswa berpikir untuk mencari solusi tunggal. Sedangkan cara berpikir divergen lebih menekankan pada variasi jawaban yang berbeda dari suatu pertanyaan, sehingga kebenaran jawaban yang dihasilkan bersifat subyektif. Misalkan siswa diberikan masalah open-ended sehingga siswa dalam menghasilkan solusi yang beragam. Kreativitas merupakan hasil dari berpikir kreatif yang dapat ditunjukkan dengan munculnya ide-ide baru atau konsep-konsep baru. Solso dkk (2008 : 526) menyatakan “Creativity (kreativitas) merupakan proses yang melibatkan aktivitas kognitif yang menghasilkan munculnya ide-ide atau konsep-konsep baru”. Solso dkk (2008 : 444) mendefinisikan Kreativitas sebagai “ suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunannya)”. Proses berpikir kreatif mengikuti proses kreatif yang digunakan matematikawan yaitu empat tahap model Gestalt yang dikemukakan Wallas (Sriraman, 2009) yang meliputi preparationincubation-illumination-verivication. Tahap pertama persiapan (preparation) adalah upaya untuk mendapatkan wawasan kedalam masalah yang dihadapi. Tahap kedua inkubasi (incubation) adalah ketika masalah ini memberikan jangka waktu untuk berpikir dan sibuk dengan masalah lain. Tahap ketiga iluminasi (illumination) adalah dimana solusi tiba-tiba muncul sementara mungkin terlibat dalam kegiatan yang tidak terkait lainnya. Tahap keempat
ferifikasi (verivication) adalah mengekspresikan hasil dengan bahasa atau tulisan. Pada tahap ini juga dilakukan memverifikasi hasilnya, membuatnya tepat, dan mencari ekstensi mungkin melalui pemanfaatan hasilnya. 2. Pengajuan Masalah Matematika Silver dkk (1996) mendefinisikan pengajuan masalah sebagai perumusan masalah atau reformulasi, terjadi dalam proses pemecahan masalah yang kompleks ketika siswa menyatakan kembali atau membuat ulang suatu masalah dalam beberapa cara untuk membuatnya lebih mudah untuk mencari solusi. Sedangkan Bonotto (2010) mendefinisikan pengajuan masalah matematika sebagai proses dimana siswa membangun interpretasi pribadi dari situasi kon-kret dan merumuskannya sebagai masalah matematika yang bermakna. Tugas pengajuan masalah dapat diberikan kepada siswa dengan berbagai tujuan, misalkan apakah untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa, membantu siswa dalam memecahkan masalah, ataukah untuk mengembangkan berpikir kreatif dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut siswa harus diberikan situasi atau kondisi yang berbeda-beda. Stoyanova dan Ellerton (1996) mengklasifikasikan situasi pengajuan masalah menjadi 3 situasi yaitu free problem posing situation (situasi pengajuan masalah bebas) , semi-structured problem posing situation (situasi pengajuan masalah semi-terstruktur), structured problem posing situation (situasi pengajuan masalah terstruktur). Berikut uraian masing-masing tipe: 1. Situasi pengajuan masalah bebas (free problem posing situation) Pada situasi pengajuan masalah bebas, masalah dibuat berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari. Tugas yang diberikan dapat berbentuk: “buatlah
237, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
2.
soal yang sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai. Pada situasi ini lebih efektif dalam mengembangkan berpikir matematis siswa. Situasi pengajuan masalah bisa berupa: situasi kehidupan sehari-hari, pengajuan masalah bebas, masalah yang disukai siswa, masalah untuk kompetisi matematis, masalah ditulis untuk siswa dan masalah yang dibangun untuk hiburan (fun). Contohnya, Ellerton (Stoyanova dan Ellerton (1996)) memperkenalkan penulisan kreatif dalam matematika dengan meminta siswa membuat masalah matematika. Ia meminta siswa untuk mengajukan masa-lah yang sulit untuk diselesaikan oleh temannya, meminta siswa untuk menulis surat untuk seorang teman. Menurut Ellerton (Stoyanova dan Ellerton (1996)) ekspresi ide matematis siswa melalui kreasi masalah matematika mereka sendiri menunjukkan tidak hanya pemahaman dan level perkembangan konsep mereka, tetapi juga merefleksikan persepsi mereka mengenai the nature of mathematics. Situasi pengajuan masalah semiterstruktur (semi-structured problem posing situation). Pada situasi ini siswa diberikan suatu situasi open-ended dan diminta untuk mengekplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, konsep dan hubungan dari pengalaman matematis sebelumnya. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal terbuka (Open-ended problem) yang melibatkan akti-vitas investigasi matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu,
membuat soal berdasarkan gambar yang diberikan, dan soal cerita. 3. Situasi pengajuan masalah terstruktur (structured problem posing situation). Pada situasi ini siswa diminta untuk membuat soal berdasarkan soal yang diketahui dengan mengubah data atau informasi yang diketahui. Aktivitas pembelajaran perumusan masalah berdasarkan soal-soal yang telah diselesaikan dengan memvariasikan kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan. Kegiatan pengajuan masalah dapat dilakukan sebelum penyelesian masalah, pada saat penyelesaian masalah, dan sesudah penyelesaian masalah disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Silver (Silver dan Cai (1996)) pengajuan masalah umumnya diterapkan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang sangat berbeda yaitu: a. Presolution posing (sebelum penyelesaian masalah), yaitu menghasilkan masalah asli berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. Contoh 1 Buatlah soal berdasarkan informasi berikut ini. Zaki memiliki 160 kelereng sedangkan Dika memiliki 28 kelereng lebih banyak dari Zaki. Soal–soal yang mungkin dapat diajukan siswa adalah sebagai berikut. 1. Berapa jumlah kelereng Zaki dan dika? 2. Berapa sisa kelereng Dika jika 10 kelereng Dika diberikan kepada Zaki? b. Within-solution posing (saat penyelesian masalah), yaitu pengajuan atau formulasi masalah yang sedang diselesaikan. Pengajuan masalah dalam within-solution posing dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari
Marhayati dan Sa’dijah, Berpikir Kreatif, 238
c.
masalah yang sedang diselesaikan sehingga akan mempermudah penyelesaian masalah. Contoh 2. Pada hari senin Zaki menabung di Bank BRI sebanyak 12 lembar uang kertas Rp100.000,00. Pada hari se-lasa Zaki menabung lagi sebesar Rp350.000,00. Tentukan berapa rupiah uang tabungan Zaki di Bank sekarang? Masalah yang mungkin bisa diajukan guna mendukung penyelesaian masalah tersebut adalah sebagai berikut. 1. Berapa jumlah tabungan Zaki pada hari senin? 2. Berapa rupiah tabungan Zaki pada hari selasa? 3. Berapa total tabungan Zaki pada hari senin dan selasa? Postsolusing posing (sesudah penyelesian masalah), yaitu memodifiksi atau merevisi tujuan atau kondisi dari suatu masalah yang sudah diselesaikan untuk menghasilkan masalah baru. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengajukan masalah sebagai berikut: mengubah informasi atau data pada soal semula, mengubah nilai yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi semula, mengubah situasi atau kondisi semula tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula. Contoh 3. Sebuah persegi panjang dengan lebar 5m dan panjang 10m mempunyai luas 50m2 Masalah yang dapat diajukan sebagai berikut. 1. Bagaimana jika lebarnya bukan 5m tetapi 6m ? Berapa luasnya?
2.
3.
4.
Apa yang terjadi jika mengubah panjang dan lebarnya masing-masing menjadi tiga kali lipat? Apakah luasnya akan menjadi tiga kali luas semula? Bagaimana jika panjangnya diubah menjadi dua kali panjang semula dan mengurangi lebarnya menjadi setengah kali lebar semula? Apakah luasnya akan tetap? Tentukan panjang dan lebar suatu persegi panjang yang luasnya sama dengan dua kali luas persegi panjang semula?
HASIL DAN PEMBAHASAN Berpikir kreatif merupakan gabungan dari berpikir konvergen dan divergen. Berpikir konvergen adalah cara berpikir yang berorientasi untuk mendapatkan respon tunggal dari informasi yang diberikan. Sedangkan berpikir divergen adalah cara berpikir yang berorientasi untuk mendapatkan respon yang berbeda-beda dari situasi yang dberikan. Kegiatan pengajuan masalah melibatkan berpikir konvergen dan divergen. Dalam pengajuan masalah berpikir konvergen banyak digunakan pada saat memahami situasi dan mencoba untuk mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan situasi yang diberikan. Misalkan dari contoh1 sebelumnya Buatlah masalah berdasarkan informasi berikut ini. Zaki memiliki 160 kelereng sedangkan Dika memiliki 28 kelereng lebih banyak dari Zaki Pada saat siswa diminta untuk mengajukan masalah/pertanyaan dari situasi di atas siswa akan membaca situasi dengan teliti, memperhatikan infomasi kuantitatif yang terdapat pada situasi yang
239, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
diberikan, selanjutnya mencoba untuk mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan situasi. Berikut diagram berpikir konvergen dalam pengajuan masalah pada contoh1
Banyaknya kelereng Zaki
Banyaknya kelereng Dika
Masalah/pertanya an yang diajukan
Gambar 2. Diagram berpikir konvergen
Pada saat siswa mengajukan masalah , misalkan “Berapa jumlah kelereng Zaki dan dika?”, siswa berhasil untuk mendapatkan respon tunggal dari situasi yang diberikan. Pada saat siswa berusaha untuk mencari alternatif-alternatif masalah lain yang diajukan maka yang berperan adalah berpikir divergen. Misalkan “Berapa sisa kelereng Dika jika 10 kelereng Dika diberikan ke-pada Zaki?”. Jika digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut.
Masalah/pertanyaan yang diajukan ke-1 Situasi/i nformasi yang diberikan
Masalah/pertanyaan yang diajukan ke-2
Masalah/pertanyaan yang diajukan ke-i Gambar 2. Diagram berpikir divergen
Berpikir divergen sangat diperlukan dalam pengajuan masalah sebab dengan berpikir divergen akan dapat memunculkan ide-ide untuk mengajukan masalah/pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan tidak hanya menggunakan situasi yang diberikan saja tetapi juga mengaitkan dengan pengalaman pribadi siswa atau pembelajaran yang telah dilalui siswa. Jadi dapat dikatakan bahwa pembelajaran yang melibatkan pengajuan masalah dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa. Berpikir kreatif untuk mendapat ide kemudian mengajukan masalah bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan siswa. Siswa mungkin saja memerlukan waktu untuk berpikir dalam rangka memunculkan ide. Proses siswa dari memahami situasi yang diberikan sampai muncul ide dan menuliskan ide merupakan proses berpikir kreatif. Proses berpikir kreatif dalam pengajuan masalah juga mengikuti empat tahap proses kreatif yang
Marhayati dan Sa’dijah, Berpikir Kreatif, 240
dikemukakan oleh Wallas (Sriraman, 2009) yang meliputi preparationincubation-illumination-verivication. Tahap pertama persiapan (preparation) adalah upaya untuk mendapatkan wawasan kedalam masalah yang dihadapi. Pada tahap persiapan yang dapat di-lakukan misalkan: membaca situasi/informasi dengan terliti, memahami keterkaitan antar informasi kuantitatif, mengaitkan situasi dengan pembelajaran sebelumnya, mengaitkan situasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki Tahap kedua inkubasi (incubation) adalah meninggalkan sejenak masalah yang dihadapi untuk mencari ide dan mengerjakan kegiatan lain, misalkan dengan cara: membaca soal selanjutnya, membaca buku, berjalan, makan dan lain-lain. Tahap ketiga iluminasi (illumination) adalah ketika ide tiba-tiba muncul mungkin pada saat sedang terlibat dalam kegiatan yang tidak terkait lainnya. Tahap keempat ferifikasi (verivication) adalah menuliskan ide, mengajukan masalah/ pertanyaan, memeriksa hasil masalah/pertanyaan yang diajukan
Pada tahap persiapan dan tahap verifikasi merupakan kegiatan yang secara sadar dilakukan, namun pada tahap inkubasi dan iluminasi merupakan kegiatan yang secara tidak sadar dilakukan. PENUTUP Kesimpulan dan saran Berpikir kreatif melibatkan berpikir konvergen dan divergen. Pengajuan masalah membutuhkan pemikiran kreatif sebab dalam mengajukan masalah juga melibatkan berpikir konvergen dan divergen. Berpikir konvergen dan divergen sangat berperan dalam pengajuan masalah guna memunculkan ide-ide untuk mengajukan masalah. Ide untuk mengajukan masalah mungkin saja tidak dapat langsung dapat muncul, namum memerlukan waktu beberapa saat. Proses dari memahami masalah sampai muncul ide untuk mengajukan masalah dinamakan proses kreatif. Proses kreatif dalam pengajuan masalah meliputi empat tahap yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Jadi penggunaan pengajuan masalah dalam pembelajaran perlu untuk dilakukan sebab dapat meningkatkan kreativitas siswa.
DAFTAR RUJUKAN Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 41 tahun 2007 tentang Stan-dar Proses untuk satuan pen-didikan dasar dan menengah. BSNP. Jakarta. Bonotto. C. 2010. Engaging Students in Mathematical Modeling and Problem Posing Activities. Journal of Mathematical Modelling and Application, Vol. 1, No 3, 18-32.
Krulik, S., Rudnick, J., and Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle School: A Practical Guide. Pearson Education. USA. Silver. E.A and Cai, Jinfa. 1996. An Analysis of Arithmetic Problem Posing By Middle School Students. Journal of Reseach Mathematics Education. Vol. 27, No. 5, 521-59.
241, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Solso, R., Maclin, O., and Maclin, M. K. (penterjemah Mikael Rahardanto dan Kristianto Batuadji). 2008. Psikologi Kognitif. Edisi Delapan. Penerbit Erlangga. Sriraman, B. 2009. The characteristics of mathematical creativity. ZDM. Vol. 41, Issue 1-2, pp 13-27. Stoyanova, E and Ellerton N. F. 1996. A Framework for Research Into Stu-
dents’ Problem Posing In School Mathrmatics. Technology in Mathematics Education: Proceeding of the 19th Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australia (MERGA). At the University of Melbourne.