BENTUK DAN MAKNA ONOMATOPE DALAM ANTOLOGI NOVEL REMBULAN NDADARI KARYA BAMBANG SULANJARI DAN H.R. UTAMI
Skripsi Disajikan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa
oleh Nama : Riyan Voni Filiani NIM : 2601410003 Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2015
PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi Bentuk dan Makna Onomatope dalam Antologi Novel Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada hari : Kamis tanggal
: 30 April 2015
Panitia Ujian Skripsi Ketua Dr.Abdurrachman Faridi, M.Pd. NIP 195301121990021001
_______________________
Sekretaris Dra. Endang Kurniati, M.Pd. NIP 196111261990022001
_______________________
Penguji I Drs. Widodo, M.Pd. NIP 196411091994021001
_______________________
Penguji II Ermi Dyah Kurnia, S.S., M.Hum. NIP 197805022008012025
_______________________
Penguji III Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum. NIP 197909252008122001
_______________________
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. NIP 196008031989011001
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi yang berjudul Bentuk dan Makna Onomatope dalam Antologi Novel Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi.
Pembimbing,
Prembayun Miji Lestari, S.S, M.Hum. NIP 197909252008122001
PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Bentuk, Makna dan Fungsi Onomatope dalam Antologi Novel Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami ini benar-benar karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, April 2015
Riyan Voni Filiani 2601410003
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto ”Kabeh darbe ana ukurane” (Penilis)
Q.S Hud:6 “Dan tidak ada satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
Persembahan Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibu, keluarga di Batang tercinta, dan almamater.
v
PRAKATA Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala limpahan nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi. Skripsi ini disusun sebagai suatu proses kegiatan akademik untuk memberikan kontribusi terhadap penelitian bidang linguistik, khususnya linguistik bahasa Jawa. Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Prembayun Miji Lestari, S.S, M.Hum. sebagai pembimbing yang telah membimbing, memotivasi, dan mendorong peneliti belajar dan menambah pengetahuan berkaitan dengan topik penelitian ini sehingga proses penyusunan skripsi ini berjalan lancar.
2.
Drs.Widodo, M.Pd. sebagai penguji I yang telah memberikan masukan dan saran dalam penelitian ini.
3.
Ermi Dyah Kurnia, S.S., M.Hum. sebagai penelaah dan penguji II yang memberikan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
4.
Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melaksanakan kegiatan akademik dan nonakademik di Universitas Negeri Semarang.
vi
5.
Semua pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Demikian prakata yang dapat peneliti sampaikan. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi proses perjalanan akademik dan penelitian yang akan datang.
Semarang, April 2015
Riyan Voni Filiani
vii
ABSTRAK Filiani, Riyan Voni. 2015. Bentuk Makna dan Fungsi Onomatope dalam Antologi Novel Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing: Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum. Kata Kunci: Bentuk, Makna, Fungsi, Onomatope, Bahasa Jawa Bahasa Jawa memiliki perbendaharaan onomatope yang cukup banyak. Sejalan dengan perkembangan bahasa, onomatope dalam bahasa Jawa semakin beragam. Melalui pengamatan sekilas pada antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami ditemukan banyak jenis onomatope yang aplikatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna onomatope dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik catat. Teknik analisis data menggunakan metode analisis padan untuk menentukan bentuk onomatope dan metode agih untuk menentukan makna onomatope. Setelah melakukan penelitian melalui analisis pada data ditemukan 77 bentuk onomatope, yaitu kata dasar, kata bentukan, kata ulang, dan dua kata atau lebih. Selain itu ditemukan fungsi dan makna onomatope yang digolongkan menjadi (1) onomatope sebagai pembentuk nama benda yang menghasilkan tiruan bunyi yang bersangkutan dan suara khas benda, (2) onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan, (3) onomatope sebagai penunjuk keadaan, (4) onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh, dan (5) onomatope sebagai pemberi efek tertentu bagi pembaca. Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan dalam penelitiaan ini, peneliti menyampaikan beberapa saran bagi para peneliti bahasa sebaiknya melakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan onomatope bahasa Jawa guna menambah khazanah ilmu bahasa.
viii
SARI
Filiani, Riyan Voni. 2015. Bentuk Makna dan Fungsi Onomatope dalam Antologi Novel Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing: Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum. Kata Kunci: Bentuk, Makna, Fungsi, Onomatope, Bahasa Jawa Basa Jawa nduweni perbendaharaan onomatope sing akeh. Manut perkembangan basa, onomatope basa Jawa uga sansaya akeh jinise. Adedhasar pengamatan sekilas ing antologi novel Rembulan Ndadari anggitane Bambang Sulanjari lan H.R.Utami ditemokake werna-werna jinising onomatope sing aplikatif. Panaliten iki nduweni ancas ndheskripsikake bentuk, fungsi lan makna onomatope sing ana ing antologi novel Rembulan Ndadari anggitane Bambang Sulanjari lan H.R.Utami. Panaliten iki migunakake metode deskriptif analisis kualitatif. Teknik pengumpulan data ing panaliten iki nganggo teknik catat. Teknik analisis data nggunakake metode analisis padan kanggo nentokake bentuk onomatope lan metode agih kanggo nentokake makna onomatope. Sawise nganakake panaliten ditemokake 78 bentuk onomatope, yaiku tembung lingga, tembung andhahan, tembung rangkep lan onomatope rong tembung utawa luwih. Kejaba iku, ditemokake fungsi lan makna onomatope sing digolongake dadi (1) onomatope sebagai pembentuk nama benda dan suara khas benda, (2) onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan, (3) onomatope sebagai penunjuk keadaan, (4) onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh, dan (5) onomatope sebagai pemberi efek tertentu bagi pembaca. Adhedhasar asil lan dudutan panaliten iki, peneliti ngaturi panyaru supaya para peneliti basa nganakake panaliten lanjutan ngenani bab onomatope basa Jawa kanggo nambah khazanah ilmu basa.
ix
DAFTAR ISI Halaman JUDUL .......................................................................................................... i PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii PERNYATAAN ............................................................................................ iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v PRAKATA .................................................................................................... vi ABSTRAK..................................................................................................... viii SARI .......................................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................. x DAFTAR LAMBANG .................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2Rumusan Masalah ...................................................................................... 4 1.3Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5 1.4Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS ................... 6 Kajian Pustaka ................................................................................................ 6 Landasan Teoretis ........................................................................................... 9 2.2.1 Onomatope .......................................................................................... 10 2.2.2 Onomatope Bahasa Jawa ..................................................................... 10 2.2.3 Bentuk Onomatope .............................................................................. 11 2.2.4 Makna Onomatope ................................................................................ 14 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 21 3.1 Pendekatan Penelitian .............................................................................. 22 3.2 Data dan Sumber Data Subjek .................................................................. 23 3.3 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 23 3.4 Teknik Analisis Data ................................................................................. 24 3.5 Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data ..................................................... 24
x
BAB IV BENTUK FUNGSI DAN MAKNA ONOMATOPE BAHASA JAWA DALAM NOVEL REMBULAN NDADARI KARYA BAMBANG SULANJARI DAN H.R. UTAMI............................... ..... 26 4.1 Bentuk Onomatope Bahasa Jawa dalam Novel Rembulan Ndadari ............ 26 4.1.1 Kata Dasar / Tembung lingga ................................................................ 27 4.1.1.1 Onomatope Monosilabel...................................................................... 27 4.1.1.2 Onomatope Bisilabel .......................................................................... 29 4.1.1.3 Onomatope Multisilabel ...................................................................... 36 4.1.2 Kata Bentukan / Tembung Andhahan .................................................... 36 4.1.2.1 Awalan / Ater-ater .............................................................................. 36 4.1.2.2 Sisipan / Seselan ................................................................................. 39 4.1.2.3 Akhiran / Panambang ......................................................................... 41 4.1.2.4 Konfiks .............................................................................................. 43 4.1.2.5 Penambahan Partikel .......................................................................... 44 4.1.3 Bentuk Ulang / Rangkep ....................................................................... 47 4.1.3.1 Bentuk Ulang Penuh/ Dwilingga ........................................................ 47 4.1.3.2 Bentuk Ulang Penuh dengan Perubahan Bunyi/Dwilingga Salin Swara............................................................................................. 59 4.1.4 Bentuk Dua Kata atau Lebih Dari Dua Kata ........................................... 55 4.2 Fungsi Onomatope ................................................................................... 57 BAB V SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 82 5.1 Simpulan .................................................................................................. 82 5.2 Saran ....................................................................................................... 82 DFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84 LAMPIRAN ................................................................................................. 86
xi
DAFTAR SIMBOL
K
: Konsonan
K1
: Konsonan pertama sebuah morfem
K2
: Konsonan kedua sebuah morfem
N
: Nasal
V
: Vokal
V1
: Vokal pertama sebuah morfem
V2
: Vokal kedua sebuah morfem
/.../
: Mengapit unsur fonologis
[...]
: Mengapit unsur fonetis
„...‟
: Mengapit makna dari suatu unsur leksikal
-
: Menandai unsur
+
: Kotinuen di belakang harus ada
LAMBANG FONETIS [a]
: [aku] --- aku
[i]
: [idu] --- idu
[I]
: [serIt] --- serit
[u]
: [ulɔ] --- ula
[U]
: [karUŋ] --- karung
[e]
: [edan] --- edan
[ɛ]
: [ɛsem] --- esem
[ə]
: [ənɖas] --- endas
[o]
: [soto] --- soto
[ɔ]
: [ɔpɔ] --- apa
[ñ]
: [ñilih] --- nyilih
[ŋ]
: [ŋinaŋ] --- nginang
[m]
: [mabUr] --- mabur
xii
[n]
: [nakal] --- nakal
[b]
: [bali] --- bali
[c]
: [cakar] --- cakar
[d]
: [dadi] --- dadi
[ɖ]
: [ɖeɖe] --- dhedhe
[h]
: [hardi] --- hardi
[t]
: [tali] --- tali
[ṭ]
: [ṭiwUl] --- thiwul
[r]
: [risi] --- risi
[?]
: [bapa?] --- bapak
[k]
: [kali] --- kali
[g]
: [gagal] --- gagal
[j]
: [jalu] --- jalu
[l]
: [lali] --- lali
[p]
: [pipi] --- pipi
[s]
: [sulap] --- sulap
[y]
: [yakin] --- yakin
[f]
: [filsaat] --- filsafat
[v]
: [video] --- vidio
[z]
: [zakat] --- zakat
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Onomatope atau tiruan bunyi adalah kata-kata yang mencerminkan aspekaspek kenyataan tertentu (Sudaryanto 1989:113). Maksudnya adalah sebuah benda atau keadaan tertentu dinamai sesuai dengan bunyi atau kesan yang ditimbulkan. Contoh penggunaanya yaitu seperti dalam komik, yang menggunakan efek bunyi seperti suara ledakan „Boom‟ atau „Door‟. Itu merupakan salah satu contoh bentuk onomatope yang paling umum dijumpai. Contoh lain adalah penamaan benda sesuai dengan bunyi yang dihasilkannya seperti genderang dan cicak. Dua benda tersebut diberi nama sesuai dengan bunyi yang dihasilkan. Bentuk dan jenis onomatope sangat beragam. Onomatope dapat ditemukan pada tuturan lisan dan dalam bahasa tulis. Onomatope yang digunakan dalam bahasa tulis memiliki fungsi untuk memberikan nuansa dan gambaran situasi agar nampak lebih hidup. Penggunaan onomatope juga bertujuan agar bahasa yang digunakan tidak terlalu kaku sehingga dapat dinikmati oleh pembaca dengan nyaman. Onomatope dimiliki oleh hampir seluruh bahasa yang ada di dunia, begitu pula dengan bahasa Jawa. Onomatope bahasa Jawa memiliki ciri tersendiri dalam penggunaannya. Contohnya adalah penggunaan bunyi [i] atau [I] dalam penyebutan benda dan keadaan yang menggambarkan efek kecil (Sudaryanto 1989:121). Selain itu masih ada bentuk-bentuk onomatope lain yang digunakan untuk menyebutkan
1
sebuah keadaan yang seolah-olah mengeluarkan bunyi. Contohnya, seperti bunyi cles untuk menyebutkan suasana hati yang kaget atau mencelos dan bunyi byar yang digunakan untuk menyebutkan keadaan terang dengan tiba-tiba. Biasanya onomatope banyak ditemukan dalam karya berbentuk komik, seperti komik berbahasa Jepang, komik berbahasa Inggris dan komik berbahasa Indonesia. Berbeda dengan bahasa lain, onomatope dalam bahasa Jawa tidak ditemukan pada komik. Onomatope justru banyak terdapat dalam karya sastra berbentuk prosa seperti cerkak dan novel. Salah satu novel berbahasa Jawa yang diduga mengandung banyak jenis onomatope adalah antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami. Antologi novel Rembulan Ndadari berisi cerita-cerita sastra berbentuk prosa yang cukup populer seperti Serat Rijanta, Jago Kluruk, Jaman Kawuri, Ratu Mahadanta dan Rembulan Ndadari. Cerita tersebut ditulis kembali oleh penulis dengan bahasa yang berbeda disesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini. Penggunaan onomatope dalam novel tersebut membuat penggambaran situasi yang lebih nyata bagi pembaca. Hal tersebut membuat pembaca turut merasakan situasi didalamnya sehingga cerita dapat dipahami dengan lebih baik. Dalam novel Rembulan Ndadari ditemukan beberapa onomatope baru dengan ciri yang berbeda dari pola yang sudah ada. Keunikan onomatope dalam novel tersebut dapat dilihat dengan melakukan analisis pada bunyi dan maknanya. Hal ini tentu memerlukan tindak lanjut dengan melakukan penelitian mengenai penggunaan onomatope dalam cerkak dan novel
3
tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang bentuk dan makna onomatope bahasa Jawa dalam antologi novel berbahasa Jawa berjudul Wulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat ditemukan bahwa pokok masalah dari penelitian ini adalah penggunaan kata yang bernilai onomatope dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. Berdasarkan pokok masalah itu dapat diidentifikasikan beberapa rumusan masalah berikut ini. 1) Bagaimana bentuk onomatope yang terdapat dalam kumpulan cerita Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami? 2) Apa makna onomatope yang terdapat dalam kumpulan cerita Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami?
4
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1) Mendeskripsi bentuk onomatope yang terdapat dalam kumpulan cerita Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. 2) Mendeskripsi makna onomatope yang terdapat dalam kumpulan cerita Rembulan Ndadari Karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis maupun pembaca, baik secara praktis maupun teoritis. 1) Secara teoretis, diharapkan hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi perkembangan kajian linguistik pada umumnya, dan khususnya bagi kajian mengenai leksikon bahasa Jawa. Terutama pada kajian onomatope dalam bahasa Jawa. 2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pengembangan bahasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi penyusun buku dan sejenisnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka terhadap penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya digunakan untuk membandingkan keaslian penelitian yang akan dilakukan. Penelitian mengenai fenomena penggunaan onomatope bukanlah yang pertama kali dilakukan. Sebelumnya sudah ada penelitian mengenai onomatope dalam berbagai bahasa. Penelitian-penelitian tersebut akan dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Beberapa peneliti yang pernah mengkaji mengenai onomatope antara lain adalah Winarto (1994), Heni Purwaningrum (2008), dan Isna Siti Mulyani (2014). Penelitian lain mengenai onomatope atau bunyi ikonik dari jurnal internasional antara lain penelitian oleh Richard R. Klink (2013). Winarto (1994) melakukan peneltian mengenai onomatope berbahasa Jawa dalam skripsinya yang berjudul Onomatope dalam Bahasa Jawa Sebuah Analisis Fonematis.
Penelitian
tersebut
menghasilkan
pengklasifikasian
onomatope
berdasarkan proses pembentukan onomatope dan jenis onomatopenya. Proses tersebut adalah sebagai berikut (1) prefiksasi pada bentuk nasal, (2) infiksasi, (3) reduplikasi, dan (4) komposisi. Bahan kajian yang dijadikan sumber data adalah Baoesastra Jawa oleh W.J.S. Poerwadarminta (1939) dan Pepak Basa Jawa oleh Abi Kusno (1981). Penelitian Winarto ini memiliki kajian yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai onomatope dalam bahasa Jawa. Perbedaan
5
6
penelitian oleh Winarto dengan
penelitian ini adalah penelitian Winarto lebih
menitikberatkan penelitian pada kajian fonematis onomatope. Sementara penelitian yang akan dilakukan ini menitikberatkan pada kajian bentuk, dan makna onomatope. Kelebihan penelitian oleh Winarto ini adalah data yang digunakan cukup lengkap karena diambil dari kamus Bausastra dan Pepak Bahasa Jawa, tetapi data tersebut dirasa kurang aplikatif dan kontekstual pada masyarakat sekarang ini. Penelitian lain mengenai onomatope adalah penelitian yang berjudul Wujud Onomatope dalam Komik Serial Donal Bebek Edisi 620-630 Tahun 1995 oleh Heni Purwaningrum. Penelitian tersebut menemukan 126 kata yang mengandung onomatope bahasa Indonesia dalam komik serial Donal Bebek edisi 620-630 tahu 1995. Wujud onomatope tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenisnya yaitu (1) bentuk onomatope yang berupa kata dasar berdasarkan jumlah silabelnya yaitu monosilabel, bentuk bisilabel dan bentuk multisilabel, (2) onomatope yang berupa kata bentukan, meliputi bentuk kata ulang utuh dan kata yang diulang secara utuh dan berubah bunyi. Penelitian Heni Purwaningrum tersebut memiliki persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada aspek kajian bentuk onomatope. Penelitian yang akan dilakukan ini akan melengkapi dengan menambahkan analisis makna pada onomatope. Isna Siti Mulyani (2014) juga melakukan penelitian mengenai onomatope pada novel Emas Sumawur ing Baluwarti karya Partini B. Penelitian tersebut membahas mengenai jenis, betuk dan fungsi onomatope dalam novel. Hasil penelitian
7
Mulyani adalah terdapat empat jenis onomatope yang digunakan dalam novel tersebut, yaitu a) tiruan bunyi benda, b) tiruan bunyi hewan, c) tiruan bunyi alam, dan d) tiruan bunyi manusia. Frasa yang terbentuk adalah dengan menggabungkan kata mak dan pating dengan kata-kata lain sehingga bernilai onomatope. Sementara fungsi onomatope di sini adalah penggambaran suasana hati, yaitu: cinta, terkejut, manja, malu, bahagia, dan berani, memberikan kesan pada benda yang dilihat, didengar atau dirasakan, mendeskripsikan tentang keadaan, dan meniru perbuatan atau benda yang menghasilkan bunyi. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan penulis ini adalah sama-sama mengkaji onomatope dalam novel berbahasa Jawa. Sementara perbedaannya
adalah
analisis
yang
dilakukan
dalam
penelitian
tersebut
menitikberatkan pada analisis jenis, bentuk dan fungsi belum menyentuh ranah makna onomatope. Dibandingkan dengan penelitian yang lain, penelitian mengenai onomatope oleh Isna Siti Mulyawati ini memiliki bidang kajian yang paling mendekati dengan penelitian yang akan dilakukan. Oleh karena itu , peneliti akan menggunakan kajian pustaka tersebut sebagai pembanding dalam penelitian ini. Richard R. Klink (2000) juga pernah melakukan penelitian menganai bunyi simbolis dengan judul Creating Brands Name With Meaning: The Use of Sound Symbolism atau Membuat Nama Jual dengan Makna: Menggunakan Bunyi Simbolis. Penelitian tersebut memiliki bidang kajian yang sama dengan penelitian yaitu mengenai bunyi simbolis atau onomatope. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian
yang
akan
dilakukan
adalah
pada
bidang
kajiannya.
8
Penelitian tersebut mengkaji bagaimana pembentukan bunyi simbolis untuk nama jual suatu produk. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dalam pembentukan sebuah nama jual bunyi simbolis digunakan untuk mengikonkan sifat produk, misalnya ukuran, kecepatan, kekuatan dan kelebihan produk. 2.2 Landasan Teoretis Landasan teoretis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu semantik dan konsep-konsep onomatope. 2.2.1 Onomatope Perkembangan bahasa terutama mengenai asal-usul terbentuknya bahasa telah menjadi perdebatan sejak lama. Banyak teori berkaitan dengan asal-usul terbentuknya bahasa ini. Diawali dengan teori yang bersifat takhayul dan ketuhanan hingga sampai pada teori yang bersifat keilmuan. Salah satu teori yang cukup populer adalah teori pembentukan bahasa melalui bunyi ikonik atau onomatope. Para filsuf bahasa yang disebut dengan kaum Stoik menilai bahwa hubungan antara kata dan makna memiliki hubungan alami berdasarkan adat dan kesepakatan (Robins 1989:27) Menurut mereka nama-nama dibentuk secara alami dengan meniru objek-objek yang dilambangkan oleh nama-nama itu. Seiring dengan berkembangnya ilmu mengenai bahasa banyak teori lain yang bermunculan. Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa memiliki pandangan berbeda, karena menurut teorinya bahasa memiliki unsur Langage yaitu bahasa
9
memiliki perbedaan pada masing-masing daerah dan masing-masing bahasa, sehingga pemerolehan kata melalui tiruan bunyi tidak memungkinkan (Robins 1989:27). Spekulasi mengenai onomatope sebagai awal terbentuknya bahasa memang tidak sepenuhnya bisa diterima oleh beberapa pihak, namun tidak dapat dipungkiri bentuk-bentuk onomatope masih umum digunakan dalam berbahasa. Terlepas dari itu semua Ullman memiliki teori sendiri mengenai onomatope yang menyatakan bahwa kata dibedakan menjadi kata transparan dan nontransparan. Kata transparan atau lejas adalah kata yang masih mencerminkan asal-usulnya sedangkan kata nontransparan atau legap adalah kata yang tidak lagi mencerminkan asal-uslnya. Onomatope sendiri termasuk dalam kata lejas. (Ullman 2011:104). Menurut tata bahasa baku bahasa Jawa, bentuk ikonik atau onomatope sering diterapkan pada satuan lingual yang mencerminkan apa yang diungkapkan. Contohnya adalah ketika ada binatang dengan suara tekek-tekek [təkɛ? təkɛ?] maka binatang tersebut diberi nama sesuai dengan bunyinya yaitu tekek [təkɛ?]. Sejalan dengan hal tersebut, (Chaer 2002:44) mengungkapkan bahwa nomatope adalah tiruan bunyi yang merujuk pada kesan atau bunyi dari suatu benda, suatu keadaan dan tindakan. Maksudnya, nama-nama benda atau suatu hal dibentuk berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau kesan suara yang ditimbulkan oleh benda tersebut. Meskipun benda yang dimaksud sama, namun dalam penyebutan onomatope dapat diucapkan berbeda oleh masing-masing bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris menyebutkan
10
suara anjing mengonggong dengan bunyi woof-woof atau bark-bark sementara dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa menyebutnya dengan bunyi guk-guk. Menurut Ullman (2011:104) Sebuah kata tidak serta merta menjadi ekspresif dengan sendirinya, tetapi kata tersebut dihidupkan dengan kontak makna yang pas. Artinya kata tertentu tidak bernilai onomatope jika antara kata dan maknanya tidak ada kecocokan. Sejalan dengan pendapat tersebut Koriat (1975) dalam jurnalnya yang berjudul Phonetic symbolism and feeling of knowing menyetakan bahwa dalam konteks fonetik simbol atau onomatope, pemahaman objektif dan subjektif memiliki hubungan. Artinya, dalam memahami simbol fonetik makna kata dan makna menurut pengalaman penggunanya memiliki relasi.
2.2.2 Onomatope Bahasa Jawa Sudaryanto (1989:114) menyebutkan bahwa dalam bahasa Jawa terdapat peristiwa keikonikan yang bersifat lingual pada satuan-satuan lingual yang bentuk foniknya dimanfaatkan secara khas oleh para pemakainya untuk mencerminkan aspek kenyataan tertentu. Peristiwa keikonikan itu disebut dengan istilah bentuk ikonik oleh Sudaryanto. Bentuk ikonik tersebut juga biasa disebut dengan istilah iconism (linguistic iconism), onomatopoeia, symbolism (sound symbolism, phonetic symbolism, dan linguistic symbolism). Menurut Sudaryanto bentuk-bentuk ikonik bahasa Jawa dibagi menjadi 20 jenis. Pembagian tersebut didasarkan pada sesuatu yang diikon-lingualkan oleh sebuah kata. Berdasarkan pengamatan tersebut, Sudaryanto (1990 : 113) berpendapat
11
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi makna dengan fonik sebagai ikonnya, yaitu (1) kadar bunyi atau nilai fonem tertentu, (2) wujud suku kata tertentu, (3) nilai ubahan bunyi yang beruntun, (4) peniruan bunyi, (5) letak unsur morfemik, dan (6) satuan lingual kata, frasa, kalimat tunggal, kalimat majemuk, dan kalimat beruas yang berdimensi wacana. Bahasa Jawa memiliki perbendaharaan onomatope yang cukup banyak dan terus bertambah sesuai dengan perkembangan bahasa. Hamano (2000) dalam jurnal Journal of East Asian Linguistics menjelaskan bahwa bahasa Jepang juga mengenal onomatope dengan sebutan giongo, dan gitaigo yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakatnya dan terus mengalami perkembangan bentuk. Hal tersebut membuktikan
bahwa
sebagian
besar
onomatope
cenderung
mengalami
perkembangan. Perkembangan tersebut menimbulkan onomatope-onomatope yang baru
dengan
keunikan
dan
tujuan
yang
berbeda.
12
2.2.3 Bentuk Onomatope Onomatope memiliki banyak jenis didasarkan pada beberapa hal. Jenis-jenis onomatope berdasarkan bentuknya dibagi menjadi 6 jenis (Sudaryanto 1989 : 117136). Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut. 1) Kata Jenis onomatope berbentuk kata adalah jenis yang paling sering ditemukan. Kata yang dimaksud dengan kata adalah kata dasar. 2) Kata bersuku kata dua atau lebih Kata bersuku kata dua atau lebih termasuk dalam bentuk kata dasar, tetapi lebih dikhususkan lagi yang memiliki suku kata lebih dari satu. 3) Kata ulang Bentuk kata ulang yang dimaksud di sini dapat berupa kata ulang penuh, kata ulang sebagian, dan kata ulang dengan perubahan bunyi. 4) Frasa dengan partikel pating Frasa dengan partikel pating adalah bentuk yang menjadi salah satu ciri dari bentuk ikonik bahasa Jawa. 5) Dua kata Bentuk ikonik dua kata ini biasanya kata dengan bunyi yang hampir sama. 6) Beberapa kata Bentuk ikonik beberapa kata berbentuk gabungan beberapa kata dengan bunyi yang hampir sama.
13
Berdasarkan pendapat tersebut peneliti mengembangkan sendiri bentukbentuk onomatope bahasa Jawa karena dalam proses analisis yang dilakukan ditemukan bentuk-bentuk onomatope lain.
2.2.4 Makna Onomatope Kajian mengenai onomatope tak bisa lepas dari kajian mengenai makna. Kajian makna dalam satuan lingual yang bebas konteks dan mengkaji makna linguistiknya termasuk dalam kajian semantik (Wijana, 2009:5). Bidang yang ditelaah dalam kajian semantik adalah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna. Pateda (2001:27) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara nama dan pengertian suatu benda bila dibayangkan maka akan segera mengatakan benda tersebut. Inilah hubungan timbal-balik antara bunyi dan pengertian, inilah makna dari kata tersebut. Makna menjadi penting karena memiliki peranan dominan dalam berbahasa. Oleh karena itu, makna berkembang menjadi beberapa jenis. Menurut Pateda (2001:97) jenis makna dibedakan menjadi menjadi 29 jenis. Sementara menurut Abdul Chaer (1990:61) Jenis makna dibedakan menjadi (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna kontekstual, (4) makna referensial dan makna non referensial, (5) makna denotatif, (6) makna konotatif, (7) makna konseptual, (8) makna asosiatif, (9) makna kata, (10) makna istilah, (11) idiom, (12) serta makna peribahasa.
14
Beberapa dari jenis-jenis makna tersebut yang berhubungan dengan makna onomatope adalah sebagai berikut. 1) Makna Gramatikal Makna gramatikal adalah makna yang timbul sebagai akibat dari berfungsinya kata dalam kalimat. Makna gramatikal terjadi apabila ada proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi Abdul Chaer (1990:61). 2) Makna Referensial Makna referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang diamanatkan oleh leksem. Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yang berlangsung mengacu kepada sesuatu, apakah benda, gejala, peristiwa, proses, ciri, sifat, dll (Pateda, 1990 : 67). Jadi, saat mengatakan nesu „marah‟ maka yang diacu adalah gejala, misalnya ekspresi wajah cemberut atau berbicara dengan suara tinggi. (3) Makna Leksikal Makna leksikal atau semantik leksikal adalah kajian makna yang menitikberatkan makna pada tingkat kata, atau disebut dengan leksikon atau leksem. Leksem yang berdiri sendiri karena makna sebuah leksem dapat berubah apabila leksem tersebut berada di dalam kalimat (Pateda, 2001 : 119). (4) Makna Kognitif Menurut Pateda (2001:109) makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis
15
komponennya. Maksudnya adalah makna sebuah kata bisa diasosiasikan melalui karakteristik atau komponen-komponen benda yang diacu. Makna kognitif lebih banyak berhubungan dengan otak atau pemikiran terhadap sesuatu. (5) Makna Emotif Makna emotif (emotif meaning) adalah makna yang terdapat dalam kata yang menimbulkan emosi (Pateda 2001: 102). Sebuah kata memiliki rasa dan dan efek emosi tertentu bagi orang yang terkena perlakuan tersebut. Makna emotif ini memiliki hubungan dengan makna kognitif karena dua kata dapat mengandung makna kognitif yang sama tetapi memiliki makna emotif yang berbeda. Contohnya adalah kata meninggal, mati, tewas dan mampus. Kata-kata tersebut memiliki makna kognitif yang sama yaitu seseorang yang kehilangan nyawa, tetapi kata tersebut memiliki makna emotif yang berbeda karena memiliki nilai rasa yang berbeda. Menurut Pateda (2001:102) hubungan makna emotif dan makna kognitif dapat dibedakan atas: (1) hubugan antara kata dan acuannya. (2) Hubungan antara kata dengan karakteristik tertentu. Sementara itu, makna onomatope menurut Ullman (2011:102) onomatope harus dibedakan menjadi onomatope pertama dan onomatope kedua. (1) bentuk onomatope pertama adalah tiruan bunyi atas bunyi berdasarkan suatu pengalaman akustik yang sedikit banyak sangat dekat dengan struktur-fonetik kata, (2) bentuk onomatope kedua yaitu bunyi-bunyi dinilai tidak membangkitkan pengalaman akustik, melainkan suatu gerakan movement seperti gemetar, geletu, geretak. Atau membengkitkan suatu kualitas fisik atau moral.
16
Sudaryanto (1989:117-136) mengungkapkan bahwa makna onomatope dibagi sesuai dengan sesuatu yang diikonlingualkan, makna-makna tersebut adalah sebagai berikut. 1) Suara atau bunyi Biasanya dicirikan dengan deretan fonem pembentuk kata sebagai peniru suara yang diikonlingualkan. Pengikonikannya dominan pada suku kata kedua pada kata yang bersuku dua atau tiga. Keikonikannya akan terlihat hanya dalam pemakaian yang konkret dalam pertuturan. 2) Rasa atau keadaan Ditandai dengan konsonan tertentu penutup suku akhir dan konsonan getar dan sibian (geser) yang berurutan. Bentuk ikonik ini muncul akibat adanya upaya penghayatan terhadap indra perasa dari penutur dan baru dapat dinikmati apabila kata yang bersangkutan diucapkan. Jenis keikonikan ini bersifat lebih introspektif dan personal. 3) Kecil atau kekecilan Ciri formal keikonikannya adalah penggunaan vokal [i] atau [I] (yang lebih rendah dari [i]). Hal tersebut disebabkan cara pangucapan bunyi [i] dan [I] yang membentuk ruang sempit antara bibir, maka bunyi tersebut dimanfaatkan untuk menunjukkan bentuk kekecilan.
17
4) Besar atau kebesaran kadang-kadang menakutkan atau berwibawa Bunyi yang dihasilkan oleh bunyi [g] ini dimanfaatkan untuk menunjukan sesuatu yang besar, menakutkan atau berwibawa. Hal tersebut disebabkan oleh besarnya tenaga dan beratnya pembentukan suara dari bunyi [g] tersebut. 5) Lebar atau kelebaran, pengembangan melebar atau meluas Secara umum biasanya digambarkan dengan bagian suku akhir [ar] dan [er]. Bunyi-bunyi yang menggambarkan lebar atau kelebaran, pengembangan melebar atau meluas tersebut adalah bunyi [a] , [e] dan [r]. Vokal akhir [a] merupakan bentuk bunyi lebar karena saat mengucapkan bunyi [a] keadaan mulut terbuka lebar. Selain itu juga bunyi vokal [e] yang saat diucapkan keadaan ujung bibir saling menjauh. Sementara penggunaan bunyi [r] digunakan untuk penggambaran proses melebar tersebut. 6) Panjang atau kepanjangan, pengembangan memanjang Ciri yang sering ditemukan adalah dengan bagian suku akhir [ur]. Keikonikan panjang didapatkan dari cara pengucapan bunyi [u] dan [r]. Bunyi [u] dihasilkan dengan bentuk bibir yang memanjang ke depan. Sementara buyni [r] sendiri dilakukan dengan menggerakan ujung lidah berkali-kali sehingga menggambarkan proses panjang atau memanjang dan pengembangan memanjang. 7) Bulat , membesar atau memakan tempat luas Dicirikan dengan bagian suku akir [or]. Pengikon-lingualan dengan bunyi [o] yang berbentuk bulat dan luas. Kata verba memiliki bentuk yang khusus karena juga memiliki komponen makna yang melemah.
18
8) Tonjolan atau sembulan Ditandai dengan menggunakan bagian suku akhir [ul]. 9) Perubahan Biasanya bersuku kata dua atau lebih dan ditandai dengan perbedaan vokal pada suku katanya. Perubahan bunyi vokal yang berbeda dalam suku kata yang berurutan digunakan untuk menggambarkan adanya perubahan. 10) Keadaan tetap Pada umumnya berbentuk kata dengan suku kata dua dan memiliki kesamaan vokal pada setiap suku katanya. 11) Tidak teraturnya tindakan atau kejadian Biasanya berentuk kata ulang dan memiliki perubahan vokal (atau konsonan) pada dua bentuk ulang. 12) Keberanekaan Makna
onomatope
yang
menggambarkan
keberanakaan
biasanya
menggunakan unsur pating dalam pembentukannya. Bentuk ini banyak ditemukan dalam onomatope bahasa Jawa. 13) Terus menerus, keberulang-ulangan Penandanya adalah bentuk ulang dengan ulangan penuh progresif tanpa perubahan bunyi 14) Ketimbalbalikan Biasanya berbentuk ulangan progresif. Jenis keikonikan ini jarang ditemukan dalam bahasa Jawa.
19
15) Kesangatan atau keterlampauan Bentuk ini dicirikan dengan peninggian vokal atau diftongisasi. 16) Kontras jauh dekat Pada umumnya jenis ini berbentuk dua kata atau lebih dengan perbedaan vokal dan dengan kesamaan konsonan. Jenis keikonikan ini merupakan jenis keikonikan yang dipengaruhi posisi bibir. Pada contoh diatas posisi bibir adalah berdekatan, kemudian dimuncungkan dan bibir saling menjauh. 17) Kontras lebar atau melebar dengan panjang atau memanjang. Cirinya adalah bentuk dua kata atau lebih dengan perbedaan vokal dan dengan kesamaan atau kemiripan konsonan. 18) Perbedaan derajat wujud atau keadaan Jenis ini perbedaan vokal dengan kesamaan konsonan 19) Kontras pria wanita Dicirikan dengan perbedaan vokal suku akhir digambarkan dengan bunyi vokal sempit [i] yang menggambarkan wanita dan vokal [o] atau [a] yang menggambarkan pria. 20) Kontras makna Biasanya menggunakan perbedaan konsonan dan vokal perbedaan suku akhir. Jenis keikonkan tidak hanya dicirikan berdasarkan perbedaan vokal dan konsonannya saja, tetapi juga berdasarkan suku akhir yang terbuka atau tertutup dan juga berdasarkan urutan vokal dalam suku kata.
20
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penelitian ini akan menggunakan teori bunyi ikonik Sudaryanto mengenai makna onomatope dan dilengkapi dengan teori Ullman. Karena kedua teori tersebut saling melengkapi satu sama lain. Makna onomatope yang sudah dijelaskan diatas dipilah dan dikelompokan menjadi lima jenis makna yaitu. 1. Onomatope sebagai pembentuk nama benda dan tiruan bunyi. Onomatope memiliki makna yang didasarkan pada peniruan bunyi atau suara benda yang menjadi referensinya. Nama sebuah benda atau suara khas benda adalah suara yang secara langsung atau tidak langsung mengesankan sebuah bunyi tertentu. 2. Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan. Nama perbuatan dalam tulisan juga sering digambarkan dengan menggunakan onomatope. Penggunaannya didasarkan pada kesan suara atau bunyi saat sedang melakukan kegiatan tertentu. 3. Onomatope sebagai penunjuk keadaan. Onomatope memiliki mekna sebagai penunjuk keadaan. Keadaan yang dimaksud di sini adalah 1) sifat benda yaitu kecil, besar, menakutkan, panjang, bulat, dll, 2) kontras, dan 3) keteraturan sebuah benda atau tindakan. 4. Onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh. Onomatope memiliki makna yang menggambarkan emosi tokoh. Onomatope yang memiliki makna tersebut biasanya ditemukan dalam karya sastra seperti komik, novel atau cerita.
21
5. Onomatope sebagai pemberi efek tertentu bagi pembaca. Salah satu tujuan digunakannya onomatope dalam tulisan adalah agar pembaca dapat menggambarkan dengan jelas situasi dalam cerita dan seolah-olah turut merasakan kejadian dalam cerita tersebut. Makna onomatope yang memberikan efek tertentu pada pembaca sering digunakan dalam tulisan berbentuk prosa dan komik.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif karena penelitian ini memfokuskan pada penggambaran mengenai bentuk dan makna onomatope dalam novel. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini tidak berupa angka, tetapi data berupa wacana (teks) yang dianalisis sehingga menghasilkan data deskriptif dan mengutamakan hasil. Hal ini sejalan dengan pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Meleong 1999:3) yang menyatakan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian analisis bentuk dan makna onomatope dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan HR. Utami ini menggunakan pendekatan kualitatif karena data dan hasil penelitian nantinya berupa penjelasan dalam bentuk tertulis.
3.2 Data dan Sumber Data Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kata-kata yang mengandung onomatope. Sementara sumber data yang digunakan untuk bahan analisis adalah antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Panji Pustaka pada tahun 2010. Jumlah
22
23
halaman buku ini adalah 264 halaman. Antologi ini berisi cuplikan cerita-cerita novel berbahasa Jawa yang digubah dengan bahasa yang lebih komunikatif. Cerita yang terdapat dalam antologi ini ada lima cerita yaitu (1) Serat Riyanta karya R.B. Sulardi, (2) Jago Kluruk oleh Hilda Hananti, (3) Jaman Kawuri karya Dyah Sulistyorini, (4) Ratu Mahadanta ciptaan Ahmad Syukur, dan (5) Rembulan Ndadari karya Yuliani. Sebagian besar berisi cuplikan dari cerita terkenal. Bagian cerita yang dicuplik adalah bagian yang mengandung banyak nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa. Judul pertama adalah cuplikan dari cerita karangan R.B. Sulardi yaitu Serat Riyanta. Diceritakan mengenai kunjungan Dipati Pramayoga ke kediaman Natasewaya setelah kepergian Raden Mas Riyanta. Kemudian cerita berlanjut pada kunjungan Raden Kartaubaya ke kediaman Raden HarJawasita dengan maksud meminta Raden Rara Subiyah untuk pulang. Sedikit cuplikan cerita itu menggambarkan tata cara bertamu dan berkomunikasi masyarakat Jawa. Cerita kedua adalah Jago Kluruk karya Hilda Hananti. Cuplikan cerita ini mengenai adanya perayaan Nyadran bersih desa dengan mengadakan pertunjukan wayang kulit. Cerita ini menggabarkan hiruk-pikuk perayaan nyadran menurut masyarakat Jawa. Kemudian cerita Jaman kawuri, Ratu Mahadenta, dan cerita Rembulan Ndadari.
3.3 Metode Pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka catat. Penelitian ini mengamati penggunaan kata-kata yang bernilai onomatope dalam buku antologi
24
novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. Metode ini digunakan untuk memilah bentuk dan makna onomatope sebelum dimasukkan ke dalam kartu data. Data dikumpulkan dengan teknik catat. Teknik yang digunakan dalam mencatat yaitu dengan mencatat kata yang mengandung onomatope. Analisis juga dilakukan dengan melakukan proses pemeriksaan untuk menentukan bentuk dan makna onomatope. Tahap selanjutnya dilakukan dengan mencatat data dalam kartu data. Manfaaat kartu data tersebut adalah untuk memudahkan dalam mengidentifikasi bentuk-bentuk dan makna onomatope. Langkah-langkah pengumpulan data dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Membaca sumber data untuk mengetahui isi bacaan. 2. Mencari onomatope dalam sumber data tersebut. 3. Memberi tanda pada onomatope. 4. Mencatat onomatope beserta konteksnya dalam kartu data. 5. Mengidentifikasi masing-masing bentuk dan makna onomatope. Bentuk kartu data yang akan digunakan adalah seperti tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Nomor : Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Koteks
25
3.4 Teknik Analisis Data Analisis data merupakan tahap setelah data terkumpul. Teknik analisis data yang akan digunakan adalah metode padan dan metode agih. Metode Padan adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya berada diluar bahasa, da tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan, sedangkan metode agih adalah metode analisis bahasa dengan alat penentu yang berasal dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993:13). Metode Padan akan digunakan untuk menganalisis makna onomatope pada data, sedangkan metode agih digunakan untuk mengetahui bentuk onomatope pada data. Proses analisis data ini menggunakan dua prosedur yaitu prosedur pengumpulan data dan prosedur analisis data berdasarkan data yang telah terkumpul. Prosedur analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1) Mengidentifikasi jenis onomatope berdasarkan teori keikonikan. 2) Menganalisis bentuk onomatope. 3) Menemukan makna dari masing-masing onomatope. 4) Mengelompokkan hasil analisis berdasarkan jenisnya. 5) Penyimpulan tentang pemakaian onomatope dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami.
3.5 Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data Langkah selanjutnya yang ditempuh peneliti setelah melakukan analisis data adalah menyajikan hasil analisis tersebut dengan memaparkan penemuan dalam
26
penelitian. Penyajian hasil analisis data ini berisi deskripsi mengenai penggunaan onomatope dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami. Pemaparan hasil analisis data dilakukan dengan deskripsi sehingga dapat menyampaikan hasil analisis secara rinci.
BAB IV BENTUK DAN MAKNA ONOMATOPE BAHASA JAWA DALAM NOVEL REMBULAN NDADARI KARYA BAMBANG SULANJARI DAN H.R. UTAMI Hasil penelitian kajian onomatope bahasa Jawa dalam novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami berupa bentuk onomatope, makna onomatope dan fungsi onomatope akan dipaparkan dalam bab ini. 4.1 Bentuk Onomatope Bahasa Jawa dalam Novel Rembulan Ndadari Analisis mengenai wujud onomatope yang terdapat dalam novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami ini terdapat 77 kata yang mengandung onomatope. Variasi bentuk onomatope yang dapat ditemukan dalam novel tersebut adalah variasi onomatope berupa kata dasar, kata bentukan dan bentuk kata ulang yang mengandung onomatope. 4.1.1 Kata Dasar / Tembung lingga Onomatope berupa kata dasar yang ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah silabelnya. Silabel sendiri adalah jumlah suku kata pada sebuah kata. Pembagian bentuk kata dasar tersebut dibedakan menjadi bentuk monosilabel, bisilabel dan multisilabel.
27
28
4.1.1.1 Monosilabel Onomatope berbentuk monosilabel merupakan onomatope dengan jumlah suku kata satu. Bentuk satu vokal yang ideal adalah yang memiliki pola K-V-K yaitu konsonan vokal kemudian konsonan. Berikut ini adalah onomatope monosilabel yang ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari. 1) Onomatope : Byar [byar] (hal.12) Konteks : Kyai Pramayoga berkata kepada istrinya tentang kanjeng Pangeran yang suka bermain gamelan dengannya. Data : “Aku sing suluk, gubyes nganti ketug wengi, terkadhang nganti teka byar esuk,...” „Aku yang suluk, sampai malam, terkadang sampai tiba fajar pagi,...‟ Bentuk (1) Byar [byar] merupakan bentuk monosilabel yang menunjuk pada kesan sesuatu yang menyala terang. Kata byar dalam Data kalimat di atas menunjukkan keadaan terang yang kontras dari malam kemudian pagi. Keadaan terang tersebut terkesan menyebar luas, yang diikonkan dengan penggunaan suku akhir [ar]. Bentuk tersebut memiliki pola K-K-V-K yang berbeda dengan bentuk ideal monosilabel. 2) Onomatope : Pet [pət] (hal.12) Konteks : Kyai Pramayoga berkata kepada istrinya tentang kegemarannya bermain gamelan yang sudah tidak dilakukannya lagi. Data : “...,mula bareng swargi ngoncati, pet, seprene mari tukku dhemen gendhang-gendhingan.” „..., oleh karena itu setelah almarhum pergi, sama sekali, sampai sekarang sembuh kegemaranku bermain gending.‟ Onomatope (2) Pet [pət] memiliki pola normal yaitu K-V-K. Onomatope tersebut menunjuk sesuatu yang tiba-tiba gelap atau kontinuitas yang tiba-tiba
29
terhenti. Bentuk tersebut termasuk dalam bentuk monosilabel, karena memiliki satu silabel suku kata. Data dalam kalimat tersebut menunjukkan suatu kebiasaan yang sudah berhenti dilakukan sama sekali. Tokoh Kyai Pramayoga dalam cerita tersebut mengaku sangat suka bermain gendhing kemudian tiba-tiba berhenti melakukan kegemarannya tersebut. 3) Onomatope : Greg [grəg] (hal.169) Konteks : Dalijan kaget karena jendelanya tiba-tiba terbuka. Data : Greg, Dalijan njubmbul, sebute Gandri Wut jendhelane menga. „Greg, Dalijan melompat, sambil berseru kunci jendelanya terbuka.‟ Onomatope Greg pada kalimat diatas menggambarkan efek saat seseorang tibatiba terlonjak kaget. Sesuatu dengan keadaan yang diam secara kontinyu kemudian bergerak dengan tiba-tiba. Pola fonologis onomatope ini adalah K-K-V-K. 4) Onomatope : Greg [grəg] (hal.17) Konteks : Ada tamu yang datang dengan mengendarai delman. Data : Sareng dumugi sangajenging griya, dhokar lajeng mandheg greg. „Setelah sampai di depan rumah, delman kemudian berhenti.‟ Contoh (4) greg [grəg] juga mengacu pada suatu gerakan yang berhenti secara mendadak. Pada kalimat tersebut keadaan dhokar yang berhenti mendadak digambarkan dengan onomatope greg. 5) Onomatope : Nyat [ñat] (hal.55) Konteks : Pak Modin sedang duduk dan berbincang dengan istrinya kemudian berdiri untuk mengambil sesuatu. Data : Pak Modin mari ngantuk, gagasane nglambrang mrana-mrana, ora suwe nuli ngadeg nyat. „Pak Modin sudah tidak mengantuk, pemikirannya melayang kesana kemari, tak lama kemudian langsung berdiri.‟
30
Begitu juga dengan bentuk (4) nyat pada kalimat tersebut yang merujuk pada sebuah tindakan berdiri dengan tiba-tiba dengan pola K-K-V-K. Bentuk (2) pet [pət], (3) greg [grəg], (4) greg [grəg] dan (5) Nyat [ñat] termasuk jenis onomatope yang menggambarkan kesaatan dan keadaan yang kontinyu dan tiba-tiba berhenti sama sekali. Bentuk-bentuk tersebut diakhiri dengan bentuk konsonan hambat untuk menggambarkan keadaan yang tiba-tiba. 6) Onomatope : Thil [ʈil] (hal.34) Konteks : Ibunya Martini bercerita mengenai anaknya. Data : Kajeng kula mboten, anak kula namung satunggal thil. „Harapan saya tidak begitu, anak saya cuma satu-satunya. Bentuk onomatope monosilabel yang selanjutnya adalah onomatope (6) Thil yang memberikan efek menyangatkan kata sebelumnya yaitu menunjukkan satu atau hanya sedikit. Bunyi [i] dimaksudkan untuk menggambarkan sesuatu yang kecil atau sedikit. Onomatope tersebut juga memiliki pola K-K-V-K. 7) Onomatope : Cless [cləs] (hal.61) Konteks : Pak Modin mendapat kabar bahagia dari Ngadiman bahwa dirinya ditujuk menjadi pengulu naib di Imarata. Data : Cless atine Pak Modin, bebasan kaya kesiram ing banyu sawindu. „Cless hati Pak Modin, ibarat seperti tersiram air sawindu.‟ Bentuk (6) cless [cləs] dalam kalimat di atas juga merupakan bentuk monosilabel karena hanya memiliki satu suku kata. Onomatope ini digunakan untuk menggambarkan suasana hati Pak Modin yang kaget karena senang ditunjuk menjadi wakil pengulu di kapenewon Imarata. Pola bentuk ini berbeda dengan sebelumnya, yaitu K-K-V-K-K.
31
8) Onomatope : Gong [gɔŋ] (hal.66) Konteks : Keadaan alat musik gamelan sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai. Data : Kethuk, kenong, kempul, gong katon mengkilap. „Kethuk, kenong, kempul, gong terlihat mengkilap. Onomatope Gong [gɔŋ] ini merupakan salah satu jenis onomatope monosilabel kerena jumlah suku katanya hanya satu dengan pola K-V-K-K. Bentuk onomatope ini digunakan untuk menamai salah satu alat musik dalam gamelan yang memiliki berbunyi „gong‟ sama saat dimainkan. 4.1.1.2 Bisilabel Onomatope jenis bisilabel adalah jenis onomatope yang didasarkan pada jumlah silabelnya atau jumlah suku katanya yang berjumlah dua suku kata. Onomatope bisilabel yang ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari ini berjumlah 16 buah. (9) Onomatope : Gigrig [gigrIg] (hal.23) Konteks : Raden Rara Subiyah menolak rayuan Raden Kartaubaya yang mengajaknya untuk kembali hidup bersama. Data : Nanging Raden Rara Subiyah manahipun mboten gigrig, boten luntur mireng pamiluta makaten wau. „Tetapi Raden Rara Subuyah hatinya tidak gentar, tidak luntur mendengar rayuan seperti itu.‟ Onomatope gigrig [gigrIg] merupakan salah satu bentuk onomatope bisilabel dengan pola K-V-K-K-V-K. Penggunaan konsonan [g] menggambarkan ketetapan sementara konsonan [r] digunakan menggambarkan sebuah proses. Dalam hal ini proses keteguhan hati yang melemah sedikit demi sedikit dengan vokal [i] dan [I]. Biasanya digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang berguguran secara sedikit dan perlahan,
namun
dalam
kalimat
tersebut
kata
gigrig
digunakan
untuk
32
menggambarkan ketakutan dalam hati. Raden Rara Subiyah tidak gentar atas ucapan suaminya. (11) Onomatope : Gerit [gərIt] (hal.53) Konteks : Pak Modin menemui Sadhiyem yang datang ke rumah. Data : Gerit... suwarane lawang diwengakake. Pak Modin metu. „Gerit... suara pintu dibuka. Pak Modin keluar.‟ Bunyi pintu atau sesuatu yang berderit biasanya digambarkan dengan onomatope bentuk bisilabel ini, karena disesuaikan dengan bunyi yang dihasilkan saat melakukan aktifitas tersebut. Begitu pula dalam kalimat di atas, penggunaan kata gerit digunakan untuk melambangkan suara pintu yang terbuka. (12) Onomatope : Gentha [gənʈɔ] (hal.66) Konteks : Suasana ramai dalam pertunjukan wayang kulit. Data : Klonthong-klonthong, swarane gentha ngumandhang ngebaki awang-awang „Klonthong-klonthong suaranya gentha bergema memenuhi angan-angan‟ (13) Onomatope : Demung [dəmUŋ] (hal.66) Konteks : Suasana Pertunjukan wayang kulit. Data : Gamelane pepak, laras slendro lan laras pelog. Peking, saron, demung lan slenthem dadi sagolongan kang disebut balungan. „Gamelan lengkap, laras slendro dan laras pelog. Peking, saron, demung dan slenthem menjadi satu jenis yang disebut dengan balungan.‟ Demung [dəmUŋ] merupakan salah satu jenis instrumen dalam gamelan. Wujudnya berupa lempengan kuningan dan cara memainkannya dengan cara dipukul. Saat dipukul inilah demung mengeluarkan suara yang khas. Suaranya yang paling besar diantara balungan yang lain membuat alat musik tersebut dinamai dengan nama
33
demung. Konsonan berat seperti [d] dan [g] biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang besar.
(15) Onomatope: Kethuk [kəʈU?] (hal.66) Konteks : Keadaan alat-alat musik gamelan yang akan digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Data : Kethuk, kenong, kempul, gong katon mengkilap. „Kethuk, kenong, kempul, gong terlihat mengkilap. Alat musik kethuk [kəʈU?] juga merupakan salah satu instrumen dalam musik gamelan. Fungsi kethuk adalah untuk mengatur tempo ketukan pada bonang. Cara memainkannya adalah dengan dipukul. Saat dipukul itulah kethuk mengeluarkan bunyi „thuk-thuk‟ sehingga dinamakan dengan kethuk. (17) Onomatope : Kendhang [kənɖaŋ] (hal.66) Koneks : Keadaan alat-alat musik gamelan yang akan digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Data : Kendhang, ketipung batangan ben karumpaka pantes. „Kendhang, ketipung mengesankan agar kidung terdengar semakin indah.
Bentuk-bentuk onomatope (12) gentha [gənʈɔ], (13) demung [dəmUŋ], (14) kethuk [kəʈU?], dan (15) kendhang [kənɖaŋ], adalah bentuk onomatope bisilabel yang merupakan nama-nama alat musik yang merujuk pada bunyi yang dihasilkannya saat dimainkan. Pola yang digunakan adalah K-V-K-K-K-V, K-V-K-K-V-K, dan K-V-KK-K-V-K-K dengan masing-masing menggunakan Vi berupa [ə] dan V2 dengan [ɔ], [U], [ə] dan [a]. (18) Onomatope : Slompret [slɔmprɛt] (hal.68) Konteks : Suasana ramai saat sedhekah bumi dhusun Grogol.
34
Data
: Bakul dolanan kayata plembungan utawa balon, slompret, wayang kerdus, kitiran lan yoyo. „ Penjual mainan seperti balon, terompet, wayang kertas, kincir lan yoyo.‟
Onomatope slompret didasarkan pada bunyi mainan tersebut saat dimainkan. Slompret „terompet‟ merupakan salah satu jenis mainan yang akan mengeluarkan bunyi dengan cara meniupnya. Kesan bunyi yang dihasilkan adalah „pret-pret‟ sehingga dinamakan slompret. (20) Onomatope : Keplok [kəplɔ?] (hal.150) Konteks : Suasana ramai dalam acara pernikahan. Data : ..sedaya tamu sami ngadeg ngepang ingkang beksa, urun keplok saweneh nggerong,.... „...semua tamu berdiri menikmati tarian, menyumbang tepuk tangan ada yang bersorak,...‟ Bentuk onomatope keplok merupakan kata kerja yang terbentuk melalui tiruan bunyi pada kegiatan bertepuk. Bunyi ditimbulkan saat kedua telapak tangan saling beradu dan menghasilkan kesan bunyi „plok‟ sehingga kegiatan tersebut dinamakan keplok. (21) Onomatope : Keplok [kəplɔ?] (hal.78) Konteks : Suasana pertunjukan wayang kulit pada upacara nyadran desa. Data : Hambok menawi ulah kajiwan ing pakelaran mau keplok karo penggalihe para sesepuh. „Mungkin saja olah jiwa dalam pertunjukan sejalan dengan pemikiran para tetua.‟ Bentuk onomatope keplok merupakan onomatope bisilabel kerana terdiri atas dua suku kata. Onomatope tersebut terbentuk dengan peniruan terhadap bunyi saat
35
orang bertepuk tangan yang terkesan berbunyi „plok‟. Namun dalam konteks kalimat tersebut, kata keplok memiliki makna sejalan/searah. (22) Onomatope : kluruk [klurU?] (hal.100) Konteks : Sang aprabu akan berangkat ke klaten di pagi hari. Data : Kacarios sareng wanci sawung kluruk sang aprabu angagem anglugas raga. „diceritakan saat ayam berkokok sang Prabu memakai pakaian.‟ Bentuk onomatope kluruk merupakan tiruan dari bunyi saat ayam berkokok. Bunyi kokok ayam diikonkan dengan onomatope kluruk. (23) Onomatope : Jangkrik [jangkI?] (hal.160) Konteks : Penjelasan mengenai hama tanaman tembakau. Data : Karo maneh gangsir lan jangkrik gaweyane iya mangani tanduran mbako sing isih cilik-cilik.. „Dan ada lagi gangsir dan jangkrik yang kerjaannya memakan tanaman tembakau yang masih kecil-kecil.‟ Jangkrik merupakan nama serangga yang mengeluarkan suara krik-krik sehingga dinamakan sesuai dengan bunyi binatang tersebut. (24) Onomatope : Gangsir [gaŋsIr] (hal.160) Konteks : Penjelasan mengenai hama tanaman tembakau. Data : Karo maneh gangsir lan jangkrik gaweyane iya mangani tanduran mbako sing isih cilik-cilik.. „Dan ada lagi gangsir dan jangkrik yang kerjaannya memakan tanaman tembakau yang masih kecil-kecil.‟ Sama seperti bentuk (23) jangkrik, bentuk (24) gangsir juga merupakan nama serangga yang dinamakan sesuai dengan bunyinya. Keduanya memiliki pola K-V-KK-K-K-V-K dan K-V-K-K-K-V-K. V1 dan V2 yang digunakan kedua bentuk tersebut memiliki kesamaan yaitu [a] dan [i].
36
(25) Onomatope : Hua.... [hua] (hal.79) Konteks : Mas Mintaraga mulai mengantuk karena menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Data : Hua.... Lesane Mas Mintaraga wiwit angop maneh. „Hua.... Mas Mintaraga mulai menguap lagi.‟ Bentuk onomatope (25) hua... [hua] merupakan bentuk onomatope bisilabel yang berbentuk seruan untuk menggambarkan perasaan tokoh pada cerita. Bentuk tersebut memiliki pola K-V-V. Perasaan yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah rasa mengantuk yang digambarkan dengan kegiatan meguap. 4.1.1.3 Multisilabel Bentuk-bentuk onomatope multisilabel adalah bentuk onomatope yang memiliki suku kata lebih dari dua. Analisis pada novel Remulan Ndadari ini tidak menemukan adanya jenis onomatope berbentuk miltisilabel. 4.1.2 Kata Bentukan / Tembung Andhahan Kata bentukan sering digunakan untuk membentuk onomatope.
Hal ini
dikarenakan beberapa onomatope tidak dapat membentuk makna jika berdiri sendiri, jadi afiksasi sangat dibutuhkan untuk membentuk onomatope. Afiksasi yang digunakan dalam pembentukan onomatope adalah awalan (ater-ater), sisipan (seselan), akhiran (panambang), konfiks dan penambahan partikel. 4.1.2.1 Awalan / Ater-ater Awalan atau dalam bahasa Jawa disebut dengan ater-ater adalah salah satu yang digunakan dalam membentuk onomatope. Dalam antologi novel Rembulan
37
Ndadari ini ditemukan 10 bentuk onomatope dengan ater-ater yang sebagian besar berbentuk nasal yaitu sebanyak 8 buah. (27) Onomatope : Njeblos [njəblɔs] (hal.13) Konteks : Raden Ayu Pramayoga bercerita mengenai suasana saat terjadi kebakaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Data : Gusti, sareng dilah njeblos, latu nglad-alad, wah polahing tetiyang punika rak ngantos palang tunjang boten kanten-kantenan. „Gusti, bersamaan dilah meledak, asap membumbung tinggi, wah tingkah orang-orang sampai kalang kabut tidak terkira.‟ Njeblos [njəblɔs] biasanya digunakan untuk menggamarkan sesuatu yang meledak. Bentuk onomatope tersebut didasarkan pada kesan bunyi saat sesuatu meledak. Bentuk dasar jeblos [jəblɔs] tidak dapat hadir sebagai kata tanpa bantuan afiksasi bentuk N- menjadi njeblos [njəblɔs] yang artinya meledak dengan tidak sengaja. Konsonan [b] dalam onomatope tersebut digunakan untuk menggambarkan kejadian yang menakutkan atau mengagetkan. (28) Onomatope : Ngalad-alad [ŋalad alad] (hal.13) Konteks : Raden Ayu Pramayoga bercerita mengenai suasana saat terjadi kebakaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Data : Gusti, sareng dilah njeblos, latu ngalad-alad, wah polahing tetiyang punika rak ngantos palang tunjang boten kanten-kantenan. „Gusti, setelah meledak, asap membumbung tinggi, wah tingkah orang-orang sampai kalang kabut tidak terkira.‟ Awalan N- pada bentuk ngalad-alad [ŋalad alad] memberikan arti menyala dengan besar dan tidak disengaja. Bentuk dasar alad-alad [alad alad] tidak dapat hadir sendiri dalam kalimat sehingga dibutukan awalan nasal agar bentuk tersebut bisa bermakna. Penggunaan konsonan [d] pada onomatope tersebut mengikonkan kejadian yang menakutkan.
38
(29) Onomatope : Ngagru-agru [ŋagru agru] (hal.54) Konteks : Pak Modin bercerita pada istrinya tentang kejahilan yang dilakukannya tadi. Data : Dhek mau aku ngagru-agru bocah dolanan nganti padha bubar kabeh. „Tadi aku mengganggu anak-anak yang bermain sampai mereka bubar semua.‟ Bentuk dasar agru-agru [agru agru] juga tidak dapat berdiri sendiri sehingga membutuhkan bentuk nasal N- agar dapat berdiri dalam kalimat. Bentuk Ngagru-agru [ŋagru agru] memiliki arti „mengganggu dengan sengaja‟. (30) Onomatope : Ngethupruk [ŋəʈupruk] (hal.59) Konteks : Pak Modin dan Mbok Gani berbincang dengan perasaan senang. Data :Wong loro lanang wadon padha bungah, nggone rembugan ngethupruk ora meneng-meneng. „Mereka berdua suami dan istri sangat senang, mereka berbincang tiada henti.‟ Awalan N- pada bentuk ngethupruk [ŋəʈupruk] digunakan agar betuk dasar thupruk [ʈuprUk] dapat berdiri dalam kalimat. Bentuk ngethupruk [ŋəʈupruk] sendiri memiliki arti „banyak berbicara‟. Pada cerita tersebut digambarkan suami dan istri itu sangat senang hingga tidak terasa sudah berbincang lama. (31) Onomatope : Nggeblog [ŋgəblɔg] (hal.60) Konteks : Pak Modin menyambut Ngadiman yang datang berkunjung ke rumahnya. Data : Pak Modin nggeblog Ngadiman karo celathu ‘diutus apa, Cah Bagus?‟ „Pak Modin menepuk Ngadiman sambil bertanya „disuruh apa, Cah Bagus?‟ Bentuk (31) nggeblog [ŋgəblɔg] memiliki arti „menepuk‟. Sama dengan awalan N- yang lain bentuk dasarnya tidak dapat muncul tanpa adanya afiksasi, dalam hal ini adalah bentuk nasal. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Pak Modin menepuk Ngadiman dengan halus sambil bertanya.
39
(32) Onomatope : Ninthing [ninʈiŋ] (hal.67) Konteks : Anak-anak yang senang bermain menyambut pertunjukan wayang kulit. Data : Bocah cilik padha seneng-seneng dolanan. Ana sing playon, ana sing ngematke wayang ana sing ninthingi gamelan, ana sing nggebuki tangane wayang simpingan. „Anak-anak bersenang senang bermain. Ada yang berlarian, ada yang melihat-lihat wayang, ada yang memukuli gamelan, ada yang memukuli tangan wayang simpingan.‟ Awalan N- juga digunakan dalam bentuk (32) ninthing [ninʈiŋ] yang memiliki arti „membunyikan secara berulang-ulang / memukul hingga berbunyi‟. Onomatope tersebut terbentuk dari bunyi thing-thing saat gemelan yang terbuat dari kuningan dipukul dengan sesuatu yang keras. (33) Onomatope : Nyruput [ñrupUt] (hal.68) Konteks : Pengunjung menikmati hidangan dalam acara sedhekah bumi desa Grogol. Data : Yen rampung mangan banjur nyruput kopi. „Jika selesai makan kemudian langsung menyeruput kopi.‟ Bentuk (33) nyruput [ñrupUt] menggambarkan cara meminum sesuatu dengan sedikit menggunakan bibir sehingga mengeluarkan suara. Bentuk dasarnya adalah sruput [srupUt]. Penggunaan vokal [u] mengikonikkan bentuk bibir saat melakukan aktifitas menyeruput tersebut. (34) Onomatope : Didodhog [didɔɖɔg] (hal.73) Konteks : Jalanya pertunjukan wayang kulit. Data : Kathah didhodhog kaping lima weh sarmita pagelaran diwiwiti. „Kathah dipukul lima kali memberikan pertanda bahwa pagelaran akan dimulai.‟
40
Awalan di- pada kata didodhog [didɔɖɔg] berfungsi memberikan arti „dikenai‟ sehingga kata tersebut memiliki arti „diketuk‟. Onomatope didodhog dibentuk berdasarkan suara yang dihasilkan saat benda yang terbuat dari kayu dipukul menggunakan benda yang keras kemudian menghasilkan bunyi khas. Bunyi tersebut akhirnya menjadi penamaan aktifitas tersebut. Pada cerita, yang dpukul adalah kathah yang terbuat dari kayu. Biasanya dibunyikan oleh Dalang saat mengawali pertunjukan wayang dan saat pertunjukan berlangsung. (36) Onomatope : Nggebuk [ŋgəbuk] (hal.67) Konteks : Anak-anak yang senang bermain menyambut pertunjukan wayang kulit. Data : Bocah cilik padha seneng-seneng dolanan. Ana sing playon, ana sing ngematke wayang ana sing ninthingi gamelan, ana sing nggebuk tangane wayang simpingan. „Anak-anak bersenang senang bermain. Ada yang berlarian, ada yang melihat-lihat wayang, ada yang memukuli gamelan, ada yang memukuli tangan wayang simpingan.‟ Bentuk dasar gebuk [gəbuk] „pukul‟ mendapat imbuhan N- sehingga memiliki arti „memukul dengan sengaja‟. Memukul dalam kalimat tersebut dilakukan dengan menggunakan tangan dan benda yang dipukul tidak menghasilkan bunyi khas tertentu yang mencolok saat dipukul. Penggunaan konsonan [g], [b] dan [k] digunakan untuk mengikonkan gerakan yang tiba-tiba saat memukul dan aktifitas memukul yang seolah-olah terkesan berbunyi „buk‟. Bentuk awalan / ater-ater yang ditemukan adalah awalan di-, dan bentukbentuk nasal yang digunakan adalah menggunakan [ŋ], [n], dan [ñ].
41
4.1.2.2 Sisipan / Seselan Onomatope juga memiliki bentuk yang mengadung sisipan atau dalam bahasa Jawa disebut dengan seselan. Berdasarkan analisis pada data ditemukan 2 buah onomatope dengan sisipan/seselan. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut. (37) Onomatope : Kumepyur [kuməpyUr] (hal.50) Konteks : Raden Ngabehi Kartamardika mendengar cerita Sindhu mengenai Endra yang menipunya. Data : Bapake Martini bareng krungu katrangan Endra kaya mangkono, atine kumepyur banget, awit dhuwit nem ewu iku dudu guyon, lan maneh dhuwit mau dudu saka celengan nanging saka olehe adol barang lan nggadhekake bale pomahane. „Ayahnya Martini setelah mendengar keterangan Endra seperti itu, hatinya terasa sangat khawatir, karena uang enam ribu itu bukan main-main, dan apa lagi uang tersebut bukan dari tabungan malainkan dari hasil menjual barang dan menggadaikan rumah. Onomatope berbentuk multisilabel kumepyur [kuməpyUr] ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang kecil jatuh secara bersamaan, menyebar dan berulang-ulang. Penggunaan suku akhir [ur] dimaksudkan untuk mengikonkan keadaan tersebut. Kata kumepyur pada kalimat di atas menggambarkan perasaan khawatir yang sangat dalam sehingga terasa cemas. (38) Onomatope : Kumriyuk [kumriyU?] (hal.68) Konteks : Keadaan warung Mbah War yang ramai saat acara nyadran. Data : Opak sing digoreng nganggo wedi iku tambah kumriyuk ngangeni. „Opak yang digoreng dengan menggunakan pasir itu lebih renyah.‟ Kedua onomatope (37) kumepyur [kuməpyUr] dan (38) kumriyUk [kumriyU?] merupakan onomatope dengan sisipan / seselan –um- yang mengandung arti „banyak‟
42
atau „terasa‟. Bentuk dasarnya adalah Kepyur dan Kriyuk sebenarnya tanpa menggunakan sisipan –um- kata tersebut sudah dapat berdiri menjadi sebuah kata yang memiliki makna, tetapi sisipan tersebut digunakan untuk mendukung makna onomatope. 4.1.2.3 Akhiran / Panambang Akhiran juga merupakan salah satu afiks yang digunakan untuk membentuk onomatope. Dalam antologi novel Rembulan Ndadari ditemukan bentuk ini sejumlah 5 buah. (39) Onomatope : Ger-geran [gər gəran] (hal.15) Konteks : Raden Ayu Natasewaya dan para tamunya saling berbincang dan menggoda Raden Ajeng Srini. Data : Sedaya sami ger-geran gujengipun, awit kajawi seneng anggenipun nggegarapi Raden Ayu ugi seneng ngraosaken lalampahanipun Raden Ajeng Srini. „Semuanya tertawa, karena selain senang menggoda Raden Ayu juga senang memperhatikan kepribadian Raden Ajeng Srini.‟ Ger-geran [gər gəran] dibentuk dari kata dasar ger [gər] kemudian mengalami pengulangan dan mendapat imbuhan –an sehingga memiliki arti „tertawa lama dan puas‟. (40) Onomatope : Ger-geran [gər gəran] (hal.78) Konteks : Anak-anak menikmati pertunjukan wayang dengan senang. Data : Bocah cilik mau senengane adegan sing sigrak,rame, seru, banter lan ger-geran. „Anak kecil tadi sukanya adegan yang semangat, ramai, seru, cepat dan bersemangat.‟
43
Onomatope tersebut terbentuk melalui proses pengulangan dan penambahan akhiran –an. Sama seperti bentuk (39) ger-geran onomatope (40) ger-geran menggambarkan sesuatu yang ramai dan heboh, namun bentuk ini lebih menggambarkan aksi yang semarak. Penggunaan konsonan [g] digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menghentak. (41) Onomatope : Embyang-embyangan [əmbyaŋ əmbyaŋan] (hal.16) Konteks : Raden Ayu Pramayoga berbicara kepada suaminya agar mau menikahkan anaknya. Data : Anakmu kuwi wis umur selikur mlaku iki, ta, Kakang, mula saka kerepku dakpurih omah-omah supaya aja duwekarep embyang embyangan. „Anakmu itu sudah berumur dua puluh satu tahun lebih, kan, Kakang. Maka aku berkeinginan menyuruhnya menikah agar tidak suka kelayapan lagi.‟ (42) Onomatope : Peng-pengan [pəŋ pəŋan] (hal.72) Konteks : Sindhen-sindhen yang tampil dalam pertunjukan wayang kulit di dhusun Grogol. Data : Akeh-akehe sindhen blajaran mau digawa dening ibu sindhen sing wis peng-pengan. „Kebanyakan sindhen pemula itu dibawa oleh ibu sindhen yang sudah berpengalaman.‟ (43) Onomatope : Peng-pengan [pəŋ pəŋan] (hal.85) Konteks : Deskripsi kraton Daha yang asri dan berpotensi.. Data : Kraton Daha utawa Kraton Kedhiri mbiyen mula pancen peng pengan ing babagan tanduran.. „Keraton Daha atau Keraton Kediri memang sudah dari dulu sudah ahli dalam hal bercocok tanam. Onomatope peng-pengan [pəŋ pəŋan] dalam kedua bentuk tersebut memiliki arti yang sama sudah berpengalaman atau ahli dalam bidangnya. Kata peng berarti sudah mantap. Pengulangan pada bentuk peng memiliki arti menyangatkan bentuk peng tersebut.
44
Bentuk-bentuk tersebut memiliki pola pembentukan yang sama yaitu dengan proses duplikasi pada bentuk dasar kemudian diberi imbuhan –an. 4.1.2.4 Konfiks Konfiks merupakan afiksasi yang membentuk sebuah kata dengan memberikan awalan dan akhiran secara bersamaan. Artinya, awalan dan akhiran yang dimaksud harus hadir bersamaan. (44) Onomatope : Ngagor-agori [ŋagɔragɔri] (hal. 57) Konteks : Pak Modin berbicara kepada Dulkaji tentang anak-anak yang gaduh. Data : Yen wong pinter mesthi ora bisa kapusan. Ya pintera njara langit, mesthi ana bedane. Apa maneh nirokake suwaramu kang lagi ngagor-agori iku. „ika orang pandai sudah pasti tidak bisa dibohongi. Ya sepandai-pandainya mebuka langit, pasti ada bedanya. Apa lagi menirukan suaramu yang sedang berteriak teriak seperti itu. Bentuk (44) ngagor-agori [ŋagɔragɔri] terbentuk dari kata dasar agor „keras dan serak‟ dan konfiks N-/-i sehingga kata tersebut memiliki arti „bersuara dengan keras berulang-ulang„. (45) Onomatope : Dibrebegi [dibrəbəgi] (hal.53) Konteks : Pak Modin baru terbangun dari tidur untuk menemui Sadhiyem yang datang ke rumahnya memberi tahu untuk menghadiri acara kendhuren. Data : Ajaa cah dolanan dho bubar, iya durung bisa turu, wong jer dibrebegi cah dolanan wae. „Jika anak-anak yang bermain tidak bubar, ya belum bisa tidur, karena diganggu oleh anak-anak yang bermain.‟
45
Konfiks di-/-i dalam bentuk-bentuk onomatope dibrebegi [dibrəbəgi] memiliki maksud „menerima perlakuan‟. Kata tersebut dalam kalimat memiliki arti „diganggu dengan suara gaduh‟. 4.1.2.5 Penambahan Partikel Bahasa Jawa memiliki ciri khas penggunaan partikel yang lazim untuk menyertai beberapa onomatope. Berdasarkan analisis pada antologi novel Rembulan Ndadari ditemukan 7 buah onomatope yag mengandung partikel dengan dua bentuk partikel yaitu partikel pating dan partikel mak. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut. (46) Onomatope : Pating glembyor [patIŋ glembyɔr] (hal.179) Konteks : Jarot bertemu dengan seseorang keturunan Cina yang menarik. Data : Sasampunipun adus terus dandos, lajeng ngisis wonten ing latar, boten dangu kedhatengan Cina panganggenipun pating glembyor nanging pethak.. „Seteleh mandi kemudian berdandan, lalu merokok di halaman, tak lama keudian ada seorang Cina yang datang berpakaian gemerlapan tapi berwarna putih. Onomatope pating glembyor menggambarkan sesuatu yang berkesan bergemerlapan. Pada cerita tersebut yang bergemerlapan adalah pakaian yang dipakai orang Cina. Bentuk partikel pating dalam kalimat tersebut diikuti oleh kata dengan klasterisasi/gugus konsonan [g]-[l]. (47) Onomatope : Pating gedhebug [patIŋ gəɖəbug] (hal.55) Konteks : Pak Modin sedang berbincang dengan istrinya ketika terdengar suara ramai di luar rumah. Data : Lagi wae mbukak kitabe, ing njaba krungu suwara pating gedebug, bocah pirang-pirang padha playon karo surak-surak rame banget. „Baru saja membuka kitabnya, di luar terdengar suara gaduh, banyak anak berlarian sambil berteriak-teriak ramai.
46
Bentuk partikel pating ini adalah salah satu partikel paling banyak ditemukan dalam onomatope bahasa Jawa. Partikel pating dalam bentuk (47) pating gedhebug memiliki arti „ketidakteraturan sebuah peristiwa‟ dalam hal ini artinya „jatuh secara tidak teratur‟. Sementara pada kalimat di atas menggambarkan keadaan gaduh karena suara langkah kaki anak-anak yang berlarian. (48) Onomatope : Pating Kedogreg [patIŋ kədɔgrɛg] (hal.93) Konteks : Suasana di atas kapal. Data : Samargi-margi kula mireng swanten pating kedogreg inggih punika suwantening kerekan ing kapal.. „Sepenjang jalan saya mendengar suara berisik yaitu suara dari tuas di kapal.‟ Onomatope pating kedogreg mengikonkan bunyi berisik peralatan dalam kapal yang seolah-olah terdengar seperti itu. Penggunaan partikel pating menggambarkan bahwa bunyi tersebut tidak teratur dan terjadi secara berulang-ulang. Bentuk pating ini juga diikuti oleh kata dengan klasterisasi [g] dan [r]. (49) Onomatope : Pating cromplong [patIŋ crɔmplɔŋ] (hal.160) Konteks : Penjelasan mengenai tumbuhan tembakau dan hama yang mengganggu pertumbuhan tembakau. Data : Kang rupa walang mangani godhong mbako nganti pating clomprong. „Yang belalang memakan daun tembakau sampai berlubang-lubang. (Hal.160) Partikel pating juga digunakan dalam bentuk pating cromplong [patIŋ crɔmplɔŋ] yang memiliki arti „berlubang-lubang dan tidak teratur‟. Pola pembentukan yang sama juga ditemukan pada bentuk ini yang menggunakan klasterisasi [c]-[l] dan [p]-[r].
47
(50) Onomatope : Mak cekekal [ma? cəkɛkal] (hal.78) Konteks : Anak-anak menikmati adegan budhalan wadya bala yang bersemangat dalam pertunjukan wayang kulit. Data : Mripat sing isih kriyip-kriyip ngantuk, mak cekekal dadi amba. „Mata yang masih terkedip-kedip mengantuk, tiba-tiba jadi terbuka.‟ Onomatope tersebut memiliki arti terbuka dengan tiba-tiba, mak cekekal menggambarkan seseorang yang terkaget, dalam kalimat di atas menggambarkan anak-anak yang sudah mengantuk terkaget dengan adegan yang bersemangat, kemudian tidak jadi mengantuk. (51) Onomatope : Mak jenggerat [ma?jəŋgɛrat] (hal.78) Konteks : Adegan gara-gara dalam pertunjukan wayang yang menarik bagi penonton. Data : Sing nggumunake, pas adegan gara-gara nuli mak jenggerat tangi maneh. „Yang membuat heran, saat adegan gara-gara kemudian mak jenggerat bangun lagi.‟ Onomatope dengan partikel mak- seperti bentuk mak jenggerat merupakan jenis onomatope dengan arti „terasa tiba-tiba‟dalam hal ini berarti „tiba-tiba terbangun‟. (52) Onomatope Konteks Data
: Mak byar [ma?byar] (hal.67) : Suasana panggung yang terang saat pertunjukan wayang dimulai. : Blencong banjur disumet. Mekar mak byar. „Blencong kemudian dinyalakan. Menyala terang.‟
Onomatope dengan partikel mak- seperti bentuk (52) mak byar merupakan jenis onomatope dengan arti „terasa tiba-tiba‟dalam hal ini berarti „terasa terang dengan tiba-tiba‟. Jenis ini juga sering ditemukan baik dalam tuturan lisan atau dalam bentuk tulisan.
48
Analisis mengenai bentuk-bentuk onomatope dengan partikel pating dan mak tersebut dapat dijelaskan bahwa bentuk pating selalu diikuti dengan proses klasterisasi atau penggugusan konsonan yaitu [l] dan [r]. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa proses pembentukan onomatope dengan partikel pating adalah pating + klasterisasi [l] dan [r]. Sementara bentuk partikel mak- dapat diikuti oleh onomatope yang menggambarkan kesan atau bunyi aslinya. 4.1.3 Bentuk Ulang / Rangkep Kata berulang atau reduplikasi dalam bahasa Jawa disebut tembung rangkep merupakan kata jadian yang dibentuk dengan proses pengulangan. Bentuk onomatope banyak yang menggunakan proses ini dalam pembentukannya. Jenisnya dibagi menjadi (1) bentuk ulang penuh/dwilingga, (2) bentuk ulang penuh dengan perubahan bunyi / dwilingga salin swara, dan (3) bentuk ulang sebagian atau dwipurwa dan dwiwasana. 4.1.3.1 Bentuk Ulang Penuh / Dwilingga Bentuk ulang penuh atau dwilingga adalah morfem ulang dengan proses mengulangi bentuk kata dasarnya secara utuh. Bentuk dwilingga ini mengandung arti „terus-menerus‟. Berikut ini adalah 16 buah bentuk onomatope dengan kata ulang penuh yang ditemukan dalan antologi novel Rembulan Ndadari. (54) Onomatope : Kratak-kratak [krata? krata?] (hal.17) Konteks : Raden Kartaubaya mengendarai delman ke rumah Raden Harjawasita.
49
Data
:...kepireng swaraning dhokar kratak-kratak nuju mriku. „...terdengar suara delman menuju ke situ‟.
Pengulangan utuh yang terjadi pada bentuk kratak-kratak [krata? krata?] memiliki arti „terus-menerus‟ atau „banyak‟. Dalam data ini, kratak-kratak [krata? krata?] menggambarkan suara roda delman pada jalanan berbatu. (55) Onomatope : Celuk-celuk [cəlU? cəlU?] (hal.25) Konteks : Raden Kartamardika memanggil anak perempuannya yaitu Martini. Data : Ing wasana celuk-celuk Ndhuk, Mar, Ndhuk, coba mrenea! „Pada akhirnya memanggil-manggil “Nak, Mar. Nak, coba kemari!‟ Celuk-celuk [cəlU? cəlU?] dalam kalimat di atas memiliki arti „memanggil secara berulang-ulang‟ mengalami proses pengulangan utuh pada bentuk dasarnya yaitu celuk [cəlU?] „memanggil‟. (56) Onomatope : Lenggut-lenggut [lənŋgUt ləŋgUt] (hal.32) Konteks : Ibunya Martini memberikan argumen kepada suaminya mengenai peran wanita dalam keluarga. Data : Ingkang radi rekaos, remenipun namung menyanyi, dados lajeng maos koran ngantos lenggut-lenggut, enjing soten namung wedhak pupur. „Yang membuat agak repot, sukanya hanya bermalas malasan, kemudian membaca koran sampai mengantuk, pagi dan sore hanya berdandan.‟ Onomatope (56) lenggut-lenggut [lənŋgUt ləŋgUt] mengalami proses pengulangan penuh dalam pembentukkannya. Kata tersebut
memiliki arti
„menggerakan kepala dengan tidak sadar karena mengantuk‟. (57) Onomatope : Dhangah-dhangah [ɖaŋah ɖhaŋah] (hal.46) Konteks : Suasana saat para tamu selesai bermain kartu. Data : Bareng wis jam enem esuk, dhayohe padha bubaran, kang menang lakune dhangah-dhangah kaya satriya ing Banakeling Raden Jayadyatra mentas menang perang. „Setelah jam enam pagi, para
50
tamu pulang, yang menang berjalan dengan gagah seperti kesatria Banakeling Raden Jeyadyatra setelah menang berperang.‟ Dhangah-dhangah [ɖaŋah ɖhaŋah] memiliki arti „mengangkat kepala dengan gagah‟ namun dalam data kalimat tersebut arti kata dhangah-dhangah memiliki arti „sombong‟. (58) Onomatope : Rencek-rencek [rɛncɛ? rɛncɛ?] (hal.85) Konteks : Penjelasan cara mengolah kayu jati untuk dijadikan bahan bakar batu bata. Data : Saperangan digawe areng, rencek-rencek ditaleni tumuli didol ing desa sing duwe pegaweyan ngobong bat. „Sebagian dibuat arang, diikat kemudian dijual di desa yang memiliki pekerjaan membakar batu bata.‟ Bentuk rencek-rencek merupakan tiruan bunyi dari kegiatan menali yang seolah-olah mengeluarkan kesan suara rencek-rencek. (59) Onomatope : reyap-reyap [rɛyap rɛyap] (hal.53) Konteks : Pak Modin dibangunkan istrinya karena harus menemui tamu. Data : Sawise nata rambute kang reyap-reyap, banjur iket-iketan. „Setelah menata rambutnya yang acak-acakan, kemudian memakai pengikat kepala.‟ Bentuk reyap-reyap [rɛyap rɛyap] dalam kalimat di atas menggambarkan keadaan rambut yang berantakan setelah bangun tidur. (60) Onomatope : Girap-girap [girap girap] (hal.54) Konteks : Pak Modin bercerita tentang perbuatannya mengusili anak-anak yang gaduh. Data : Aku dadi memedhi wedhon, bocah pirang-pirang padha girap girap nunjang palang. „Aku menjadi hantu perempuan, banyak anak yang ketakutan berlarian kalang kabut.‟
51
Proses pengulangan pada bentuk dasar girap [girap] memiliki arti „berteriak dengan ketakutan berkali-kali‟. (61) Onomatope : Klonthong-klonthong [klɔnʈɔŋ klɔnʈɔŋ] (hal.66) Konteks : Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai. Data : Klonthong-klonthong swarane gentha ngumandhang ngebaki awang-awang. „Klonthong-klonthong suara gentha berkumandang memenuhi awang-awang.‟ Bentuk klonthong-klonthong [klɔnʈɔŋ klɔnʈɔŋ] mengalami proses pengulangan penuh pada bentuk dasarnya yaitu klonthong [klɔnʈɔŋ] yang merupakan tiruan bunyi dari suara gentha. Jadi arti kata Klonthong-klonthong [klɔnʈɔŋ klɔnʈɔŋ] itu sendiri memiliki arti „berbunyi berulang-ulang‟. (62) Onomatope : Thing-thing [ʈiŋ ʈiŋ] (hal.67) Konteks : Anak-anak memainkan gamelan yang sudah ditata sebelim pertunjukan wayang kulit dimulai. Data : Thing-thing. Dik Singgih, nabuhe saron aja nggawa watu. „Thing thing. Dik Singgih, memainkan saron jangan menggunakan batu.‟ Onomatope thing-thing [ʈiŋ ʈiŋ] merupakan tiruan dari suara logam dan benda keras yang beradu. Pada kalimat di atas, alat musik balungan dipukul menggunakan batu oleh Singgih sehingga mengeluarkan bunyi thing. Pengulangan yang terjadi pada bentuk tersebut menandakan bunyi tersebut terjadi secara berulang-ulang. (63) Onomatope : Dhor-dhor [ɖɔr ɖɔr] (hal.68) Konteks : Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit berlangsung. Data : Dhor-dhor saperangan balon ana sing mbledhos, mula ya ana sing kaget. „Dhor-dhor beberapa balon ada yang meledak, sehingga ada yang kaget.
52
Onomatope dhor-dhor [ɖɔr ɖɔr] memiliki arti „bersuara dhor [ɖɔr] berkalikali‟. Bentuk tersebut mengalami proses pengulangan penuh pada bentuk dasarnya dhor [ɖɔr] yang merupakan tiruan bunyi dari sesuatu yang meledak. Pada kalimat tersebut benda yang meledak adalah balon. Sementara pengulangan bunyi dhor menggambarkan yang meledak tidak hanya satu. Jadi bunyi ledakannya terdengar beberapa kali. (64) Onomatope : Lakak-lakak [laka? laka?] (hal.70) Konteks : Penonton menikmati jalan cerita wayang kulit. Data : Kiprahe pragota utawa Dursasana mesthi sigrak kairing guyu lakak-lakak. „Ciri pragota atau Dursasana selalu sigrak diiringi suara tawa terbahak-bahak.‟ Bentuk Lakak-lakak [laka? laka?] menggambarkan suara orang tertawa yang memiliki arti „tertawa dengan keras‟. (65) Onomatope : Lamat-lamat [lamat lamat] (hal.72) Konteks : Pertunjukan wayang kulit sedang berlangsung. Data : Gendhing patalon kang dadi ater-atering pagelaran weh reseping ati. Lamat-lamat mrabawani. Tabuhane ora banter ora rikat. „Gending patalon yang menjadi pembuka pergelaran memberikan ketenangan hati. Samar-samar memikat. Permainannya tidak keras tidak cepat.‟ Reduplikasi pada bentuk (65) Lamat-lamat [lamat lamat] memiliki arti „samar-samar‟. Bentuk tersebut menggambarkan perasaan atau kesan suara yang terdengar kecil atau kurang jelas. (66) Onomatope : Kriyip-kriyip [kriyip kriyip] (hal.78) Konteks : Penonton menikmati jalannya pertunjukan wayang terutama saat adegan perang. Data : Mripat sing isih kriyip-kriyip ngantuk, mak cekekal dadi amba.
53
„Mata yang masih sayu mengantuk, tiba-tiba menjadi terbuka lebar.‟ Onomatope kriyip-kriyip [kriyip kriyip] mengalami pengulangan penuh pada bentuk dasarnya yaitu kriyip yang memiliki arti „kedip‟. Setelah mengalami proses reduplikasi penuh bentuk kriyip-kriyip memiliki arti „mata yang berkedip berulangulang karena mengantuk‟. (67) Onomatope : Gereng-gereng [gərəŋ gərəŋ] (hal.125) Konteks : Jayadi bercerita kepada orang-orang mengenai pembunuhan Mbok Karta. Data : Kula ingkang sumerep rumiyin piyambak, Mbok Karta gereng gereng saweg dipunrerejeg Ni Wungkuk. „Saya yang melihat sendiri, Mbok Karta meronta-ronta sedang dianiaya Ni Wungkuk.‟ Bentuk (67) gereng-gereng [gərəŋ gərəŋ] memiliki arti „menagis merontaronta karena kesakitan‟. Onomatope ini terbentuk berdasarkan kesan bunyi saat orang menangis dengan keras karena kesakitan. (68) Onomatope: Senggruk-senggruk [səŋgrU? səŋgrU?] (hal.133) Konteks : Nyai Sudagar bersedih karena suaminya, Kyai Gunawicara memberitahu bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan. Data : Nyai Sudagar bareng dituturi sing lanang mengkono banget kagete, banjur nangis senggruk-senggruk. „Nyai Sudagar setelah diberitahu suaminya seperti itu sangat kaget, kemudian menangis tersedu-sedu.‟ Bentuk senggruk-senggruk [səŋgrU? səŋgrU?] juga memiliki arti „tersedusedu‟ bentuk tersebut digunakan untuk menggambarkan orang yang menangis, tetapi intensitas menangis untuk bentuk ini lebih ringan.
54
4.1.3.2 Bentuk Ulang Penuh dengan Perubahan Bunyi / Dwilingga Salin Swara Bentuk reduplikasi dengan variasi bunyi dalam bahasa Jawa disebut dwilingga salin swara merupakan bentuk onomatope dengan proses mengulang wujud fonemisnya yang mirip dengan fonemis bentuk dasarnya. Ditemukan 6 buah onomatope dengan bentuk dwilingga salin swara. Bentuk-bentuk tersebut antara lain adalah sebagi berikut. (69) Onomatope : Gowak-gowek [gowa? gowɛ?] (hal.10) Konteks : Raden Ayu Pramayoga berbincang dengan suaminya yang sedang sakit batuk. Data : Ingkang rayu noleh lajeng ngendika, Hara, Pake ki ngko rak pijer gowak-gowek wae. „Istrinya menoleh kemudian berbicara, Bapak nanti terbatuk terus.‟ Bentuk ulang dengan perubahan bunyi memiliki arti sesuatu yang terjadi berulang atau tidak teratur. Begitu juga dengan bentuk (69) gowak-gowek [gowa? gowɛ?] ini, memiliki arti „terbatuk dengan berulang-ulang‟. (70) Onomatope : Grenang-greneng [grənaŋ grənəŋ] (hal.53) Konteks : Mbok Gani mengingatkan suaminya agar cepat berangkat. Data : Lah enggih, endang mangkat ngrika. Selak dienteni kok grenang greneng wae. „Lah iya, ayo cepat berangkat ke sana. Sudah ditunggu kok masih mengeluh saja.‟ Kata grenang-greneng [grənaŋ grənəŋ] juga mengalami proses yang sama yaitu pengulangan bentuk dengan perubahan vokal pada suku kata kedua. Kata tersebut memiliki arti „banyak mengeluh‟. (71) Onomatope: That-thet [Tat Tɛt] (hal.68) Konteks : Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit.
55
Data
: That-thet, thot-thet unine balon pencet ambal-ambalan. „that-thet, thot-thet suara balon pencet bersaut-sautan.‟
Pengulangan penuh pada bentuk dasar dengan perubahan vokal memiliki arti sesuatu yang terjadi secara terus menerus atau tidak beraturan. Dalam bentuk thatthet [Tat Tɛt] ini proses tersebut juga membuat arti yang sama, yaitu bunyi thet [Tɛt] secara berulang-ulang dan terus menerus. (73) Onomatope : Ngak-ngik [ŋak ŋik] (hal.84) Konteks : Suasana asri desa Mojodhuwur. Data : Wit tengah gesek lan kancene, swarane ngak-ngik. „Pohon saling bergesekan dengan pohon yang lain, suaranya ngak-ngik.‟ Reduplikasi dengan perubahan bunyi pada bentuk ngak-ngik [ŋak ŋik] menggambarkan bunyi dari gesekan pohon yang terjadi berulang-ulang. (74) Onomatope : Kras-kres [kras krəs] (hal.161) Konteks : Penjelasan cara mengolah daun tembakau. Data : Lintingane mbako banjur diajokake maneh sithithik, nuli ditibani gobang meneh, mengkono banjur wae, kras-kres. Rajangane ditadhahi tampah utawa tambir. „Gulungan tembakau kemudian dimajukan lagi sedikit, kemudian dijatuhi dengan gobang lagi, seperti itu kamudian baru, kras-kres. Potongannya ditempatkan pada tampah atau tambir.‟ Reduplikasi penuh dengan perubahan bunyi vokal juga terjadi pada bentuk (74) kras-kres [kras krəs] yang memiliki arti „memotong sesuatu yang banyak‟. Onomatope tersebut dibentuk berdasarkan kesan bunyi saat orang sedang memotong sesuatu. (75) Onomatope : Kepingkel-pingkel [kəpiŋkəl piŋkəl] (hal.57) Konteks : Dulkaji menertawakan tingkah Pak Modin.
56
Data
: Dulkaji gumuyu kepingkel-pingkel, pitakone Samang kok boten samar yen kapusan malih, Kang? „Dulkaji tertawa terbahak-bahak, bertanya Anda kok tidak ragu jika dibohongi lagi, Kang?‟
Onomatope (35) kepingkel-pingkel dibentuk dari awakan ke- dan pingkelpingkel , karena bentuk pingkel tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah kata. Awalan tersebut memiliki arti „melakukan dengan tidak sengaja‟ Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Dulkaji tertawa dengan terbahak-bahak karena tingkah Pak Modin yang dipanggilnya dengan sebutan Kang. 4.1.4 Bentuk Dua Kata atau Lebih (76) Onomatope : Uh, uh, o, hem [uh Uh o hɛm] (hal.10) Konteks : Kyai Pramayoga berbicara kepada istrinya dengan keadaan sedang sakit batuk. Data : Kyai Pramayoga menika kagungan sakit napas, yen ngendika nggumujengaken, lajeng sumambung kaliyan watuk-watuk, tanganipun ingkang kiwa seduwa, ingkang tengen nyandhak kecohan, uh, uh, uh, o, hem, Gusti, dalem punika wau, rak pancen dereng saged sowan. „Kyai Pramayoga ini memiliki sakit nafas, ketika berbicara membuat tertawa kemudian disambung dengan batuk-batuk, tangannya yang kiri dilipat yang kanan menutupi batuknya. Uh, uh, uh, o, Gusti, aku ini tadi, memang belum sempat berkunjung.‟ Bentuk (76) uh, uh, o, hem [uh Uh o həm] terbentuk atas beberapa kata monosilabel yaitu uh [uh], uh [Uh], o [o], hem [həm]. Masing-masing kata tersebut merupakan kata yang menggambarkan suara seruan, tetapi dalam bentuk Uh, uh, o, hem [uh Uh o həm] memiliki arti suara orang yang terbatuk. Hal tersebut tergambar dalam Data kalimat yang menggambarkan bahwa Kyai Pramayoga memiliki sakit nafas dan terbatuk.
57
(77) Onomatope : Ditapuk, puk [ditapU? pU?] (hal.44) Konteks : Martini memukul Endra dan berbincang dengan akrab. Data : Pantes ditapuk, puk! Kapok ora? Sinambi tangane sing kuning tumempel ini lambene Endra. „Pantas ditabok, bok! Kapok atau tidak? Dengan tangannya yang kuning menempel pada bibir Endra‟. Bentuk ditapuk, puk [ditapU? pU?] dibentuk dari dua kata yaitu kata Ditapuk [ditapU?] dan bentuk puk [pU?]. Kata pertama merupakan bentuk kata kerja yang artinya „ditabok‟ sementara kata kedua adalah objek yang menjelaskan dan menyangatkan kata pertama. Bentuk ditapuk, puk [ditapU? pU?] menggambarkan bunyi seseorang yang dipukul dengan pelan. Situasi pada kalimat tersebut menggambarkan Martini yang memukul pelan Endra. Bentuk-bentuk onomatope di atas terdiri atas beberapa pola yang secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut 1) Pola-pola dasar yang ditemukan dalam onomatope bahasa Jawa adalah K-V-K, K-K-V-K, K-V-K-V, V-K-V-K, K-VK-V-K, K-K-V-K-K, dan K-K-V-K-V-K, 2) sebagian besar onomatope bahasa Jawa merupakan bentuk suku kata tertutup yang ditempati oleh konsonan [g, ?, p, t, m, n, g, l, r, s], 3) bentuk pating biasanya diikuti dengan klasterisasi [l] dan [r], 4) Bentuk pengulangan yang ditemukan adalah pengulangan utuh, pengulangan suku kata akhir, pengulangan suku kata pertama dan pengulangan utuh dengan perubahan bunyi. 4.2 Makna Onomatope Onomatope digunakan dengan alasan untuk menggambarkan situasi dalam tulisan yang dapat diterima indera oleh lain dengan kata-kata. Kata-kata tersebut tentu
58
memiliki makna agar dapat menggambarkan situasi yang dimaksudkan. Makna onomatope dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan HR. Utami digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu (1) onomatope sebagai pembentuk nama benda yang menghasilkan tiruan bunyi yang bersangkutan dan suara khas benda, (2) onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan, (3) onomatope sebagai penunjuk keadaan, (4) onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh, dan (5) onomatope sebagai pemberi efek tertentu bagi pembaca. 4.2.1 Onomatope Sebagai Pembentuk Nama Benda dan Suara Khas Benda Onomatope memiliki makna nama sebuah benda yang didasarkan pada bunyi yang dihasilkan benda tersebut. Onomatope yang memiliki makna nama binatang dan nama benda yang ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari adalah sebagai berikut. 4.2.1.1 Nama benda Penamaan benda sesuai dengan bunyi yang dihasilkannya ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari adalah nama alat-alat musik dan nama binatang. Nama-nama alat musik yang dimaksud adalah (1) gentha [gɛnʈɔ], (2) demung [dəmUŋ], (3) kethuk [kəʈU?], (4) gong [gɔŋ], dan (5) kendhang [kənɖaŋ]. Benda-benda tersebut dinamai sesuai dengan pengalaman akustik pendengar dan mengasosiasikan suara tersebut dengan penyebutan nama bendanya.
Sama
dengan salah satu mainan yang dinamai berdasarkan bunyinya saat dimainkan yaitu (6) slompret [slomprɛt].
59
Selain benda-benda tersebut, ada pula jenis-jenis binatang yang dinamakan sesuai dengan bunyinya, yaitu (7) gangsir [gaŋsIr] dan (8) jangkrik [jaŋkrI?]. Kedua serangga tersebut memiliki bunyi khas masing-masing, contoh (8) jangkrik mengeluarkan bunyi „krik-krik‟ sementara contoh (7) gangsir adalah jenis serangga seperti jangkrik tapi mengeluarkan bunyi khas yang lebih besar dan nyaring. 4.2.1.2 Suara khas benda Beberapa benda memiliki suara khas yang berbeda. Bunyi khas tersebut dimanfaatkan dalam penulisan sebagai onomatope. Suara khas benda yang ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari adalah sebagai berikut. 13)
Onomatope Konteks Data
: Gerit [gərIt] (hal.53) : Pak Modin menemui membukakan pintu untuk tamunya. : Gerit... suwarane lawang diwengakake. Pak Modin metu. „Gerit... suara pintu dibuka. Pak Modin keluar.‟
Kalimat di atas menggunakan onomatope gerit untuk melambangkan suara pintu yang terbuka. Bunyi pintu atau sesuatu yang berderit biasanya digambarkan dengan onomatope tersebut karena disesuaikan dengan bunyi yang dihasilkan saat melakukan aktifitas tersebut. Onomatope gerit pada kalimat tersebut digunakan untuk menerangkan aktifitas membuka pintu. 14)
Onomatope Konteks Data
: Kratak-kratak [krata? krata?] : Ada tamu yang datang mengendarai delman. : ...kepireng swaraning dhokar kratak-kratak nuju mriku. „...terdengar suara delman kratak-kratak menuju ke situ‟.
60
Kratak-kratak [krata? krata?] merupakan suara khas benda yang bergerak di atas jalanan berbatu. Pada kalimat di atas yang diikonkan dengan suara kratak-kratak adalah suara roda dhokar „delman‟. 15)
Onomatope Konteks Data
: Kolonthong-kolonthong [klɔnʈɔŋ klɔnʈɔŋ] (hal.66) : Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai. : Klonthong-klonthong swarane gentha ngumandhang ngebaki awang-awang. „Klonthong-klonthong suara gentha berkumandang memenuhi awang-awang.‟
Kata klonthong-klonthong [klɔnʈɔŋ klɔnʈɔŋ] merupakan suara khas gentha. 16)
Onomatope Konteks Data
: Thing-thing [ʈiŋ ʈIŋ] (hal.67) : Anak-anak memainkan gamelan yang sudah ditata sebelim pertunjukan wayang kulit dimulai. : Thing-thing. Dik Singgih, nabuhe saron aja nggawa watu. „Thing-thing. Dik Singgih, memainkan saron jangan menggunakan batu.‟
Kata Thing-thing [ʈiŋ ʈIŋ] merupakan tiruan dari suara logam dan benda keras yang beradu. Pada kalimat di atas, alat musik balungan dipukul menggunakan batu oleh Singgih sehingga mengeluarkan bunyi thing. 17)
Onomatope Konteks Data
: Dhor-dhor [ɖɔr ɖɔr] (hal.68) : Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit berlangsung. : Dhor-dhor saperangan balon ana sing mbledhos, mula ya ana sing kaget. „Dhor-dhor beberapa balon ada yang meledak, sehingga ada yang kaget.
Onomatope dhor-dhor [ɖɔr ɖɔr] merupakan tiruan bunyi dari sesuatu yang meledak. Pada kalimat tersebut benda yang meledak adalah balon. 18)
Onomatope Konteks Data
: That-Thet [ʈat ʈɛt] (hal.68) : Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit. : That-thet, thot-thet unine balon pencet ambal-ambalan. „that thet, thot-thet suara balon pencet bersaut-sautan.‟
61
Bentuk that-thet [ʈat ʈɛt] merupakan suara khas yang dihasilkan oleh balon pencet yang dimainkan oleh anak-anak. 19)
Onomatope Konteks Data
: Ngak-ngik [ŋak ŋik] (hal.84) : Suasana asri desa Mojodhuwur. : Wit tengah gesek lan kancene, swarane ngak-ngik. „Pohon saling bergesekan dengan pohon yang lain, suaranya ngak ngik.‟
Bentuk ngak-ngik [ŋak ŋik] menggambarkan bunyi dari gesekan pohon yang terjadi berulang-ulang. 20)
Onomatope Konteks Data
: kluruk [klurU?] (hal.100) : Sang aprabu akan berangkat ke klaten di pagi hari. : Kacarios sareng wanci sawung kluruk sang aprabu angagem anglugas raga. „diceritakan saat ayam berkokok sang prabu memakai pakaian.‟
Bentuk onomatope kluruk merupakan tiruan dari bunyi saat ayam berkokok. Saat berkokok ayam mengeluarkan bunyi khas, bunyi tersebut kemudian dijadikan onomatope bunyi ayam. 21)
Onomatope Konteks Data
: Kras-kres [kras krəs] (hal.161) : Penjelasan cara mengolah daun tembakau. : Lintingane mbako banjur diajokake maneh sithithik, nuli ditibani gobang meneh, mengkono banjur wae, kras-kres. Rajangane ditadhahi tampah utawa tambir. „Gulungan tembakau kemudian dimajukan lagi sedikit, kemudian dijatuhi dengan gobang lagi, seperti itu kamudian baru, kras kres. Potongannya ditempatkan pada tampah atau tambir.‟
Onomatope tersebut dibentuk berdasarkan kesan bunyi saat orang sedang memotong sesuatu.
4.2.2 Onomatope Sebagai Pembentuk Nama Perbuatan
62
Nama perbuatan yang dilakukan oleh manusia maupun benda sebagian besar juga dapat dibentuk berdasarkan bunyi atau kesan bunyi yang ditimbulkan. Dalam proses analisis data ditemukan beberapa onomatope pembentuk nama perbuatan antara lain sebagai berikut. 22) Onomatope : Dibrebegi [dibrəbəgi] (hal.53) Konteks : Pak Modin baru terbangun dari tidur untuk menemui Sadhiyem yang datang ke rumahnya memberi tahu untuk menghadiri acara kendhuren. Data : Ajaa cah dolanan dho bubar, iya durung bisa turu, wong jer dibrebegi cah dolanan wae. „Jika anak-anak yang bermain tidak bubar, ya belum bisa tidur, karena diganggu oleh anak-anak yang bermain.‟ Kata dibrebegi dalam kalimat tersebut memiliki arti „diganggu dengan suara gaduh‟. 23) Onomatope : Ngethupruk [ŋəʈupruk] (hal.59) Konteks : Pak Modin dan Mbok Gani berbincang dengan perasaan senang. Data : Wong loro lanang wadon padha bungah, nggone rembugan ngethupruk ora meneng-meneng. „Mereka berdua suami dan istri sangat senang, mereka berbincang tiada henti.‟ Bentuk ngethupruk [ŋəʈuprUk] sendiri memiliki arti „banyak berbicara‟. Pada cerita tersebut digambarkan suami dan istri itu sangat senang hingga tidak terasa sudah berbincang lama. 24) Onomatope : Nggeblog [ŋgəblɔg] (hal.60) Konteks : Pak Modin menyambut Ngadiman yang datang berkunjung ke rumahnya. Data : Pak Modin nggeblog Ngadiman karo celathu ‘diutus apa, Cah Bagus?‟ „Pak Modin menepuk Ngadiman sambil bertanya „disuruh apa, Cah Bagus?‟
63
Bentuk (26) nggeblog [ŋgəblɔg] memiliki arti „menepuk‟. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Pak Modin menepuk Ngadiman dengan halus sambil bertanya. 25) Onomatope : Ninthing [ninʈiŋ] (hal.67) Konteks : Anak-anak yang senang bermain menyambut pertunjukan wayang kulit. Data : Bocah cilik padha seneng-seneng dolanan. Ana sing playon, ana sing ngematke wayang ana sing ninthing gamelan, ana sing nggebuki tangane wayang simpingan. „Anak-anak bersenang senang bermain. Ada yang berlarian, ada yang melihat-lihat wayang, ada yang memukuli gamelan, ada yang memukuli tangan wayang simpingan.‟ Onomatope tersebut terbentuk dari bunyi „thing-thing‟ saat gemelan yang terbuat dari kuningan dipukul dengan sesuatu yang keras. 26) Onomatope : Nggebuk [ŋgəbug] (hal.67) Konteks : Anak-anak yang senang bermain menyambut pertunjukan wayang kulit. Data : Bocah cilik padha seneng-seneng dolanan. Ana sing playon, ana sing ngematke wayang ana sing ninthing gamelan, ana sing nggebuk tangane wayang simpingan. „Anak-anak bersenang senang bermain. Ada yang berlarian, ada yang melihat-lihat wayang, ada yang memukuli gamelan, ada yang memukuli tangan wayang simpingan. Bentuk dasar ngebuk [ŋgəbuk] „memukul dengan sengaja‟ dalam kalimat tersebut dilakukan dengan menggunakan tangan dan benda yang dipukul tidak menghasilkan bunyi khas tertentu yang mencolok saat dipukul. Penggunaan konsonan [g], [b] dan [k] digunakan untuk mengikonkan gerakan yang tiba-tiba saat memukul dan aktifitas memukul yang seolah-olah terkesan berbunyi „buk‟. 27) Onomatope : Nyruput [ñrupUt] (hal.68) Konteks : Pengunjung menikmati hidangan dalam acara sedhekah bumi desa Grogol.
64
Data
: Yen rampung mangan banjur nyruput kopi. „Ketika selesai makan kemudian langsung menyeruput kopi.‟
Bentuk (29) nyruput [ñrupUt] menggambarkan cara meminum sesuatu dengan sedikit menggunakan bibir sehingga mengeluarkan suara. Bentuk dasarnya adalah sruput [srupUt]. Penggunaan vokal [u] mengikonikkan bentuk bibir saat melakukan aktifitas menyeruput tersebut. 28) Onomatope: Keplok [kəplɔ?] (hal.150) Konteks : Suasana ramai dalam acara pernikahan. Data : ..sedaya tamu sami ngadeg ngepang ingkang beksa, urun keplok saweneh nggerong,.... „...semua tamu berdiri menikmati tarian, menyumbang tepuk tangan ada yang bersorak,...‟ Bentuk onomatope keplok merupakan kata kerja yang terbentuk melalui tiruan bunyi pada kegiatan bertepuk. Bunyi ditimbulkan saat kedua telapak tangan saling beradu dan menghasilkan kesan bunyi „plok‟ sehingga kegiatan tersebut dinamakan keplok. 29) Onomatope: Keplok [kəplɔ?] (hal.150) Konteks : Suasana pertunjukan wayang kulit pada upacara nyadran desa. Data : Hambok menawi ulah kajiwan ing pakelaran mau keplok karo penggalihe para sesepuh. „Mungkin saja olah jiwa dalam pertunjukan sejalan dengan pemukiran para tetua. Onomatope keplok terbentuk dengan peniruan terhadap bunyi saat orang bertepuk tangan yang terkesan berbunyi „plok‟. Namun dalam konteks kalimat tersebut, kata keplok memiliki makna sejalan/searah. 30) Onomatope: Embyang-embyangan [əmbyaŋ əmbyaŋan] (hal.16) Konteks : Raden Ayu Pramayoga berbicara kepada suaminya agar mau menikahkan anaknya
65
Data
: Anakmu kuwi wis umur selikur mlaku iki, ta, Kakang, mula saka kerepku dakpurih omah-omah supaya aja duwekarep embyang embyangan. „Anakmu itu sudah berumur dua puluh satu tahun lebih, kan, Kakang. Maka aku berkeinginan menyuruhnya menikah agar tidak suka kelayapan lagi.‟
31) Onomatope : Ger-geran [gər gəran] (hal.15) Konteks : Raden Ayu Natasewaya dan para tamunya saling berbincang dan menggoda Raden Ajeng Srini. Data : Sedaya sami ger-geran gujengipun, awit kajawi seneng anggenipun nggegarapi Raden Ayu ugi seneng ngraosaken lalampahanipun Raden Ajeng Srini. „Semuanya tertawa, karena selain senang menggoda Raden Ayu juga senang memperhatikan kepribadian Raden Ajeng Srini.‟ Ger-geran [gərgəran] dibentuk dari kata dasar ger [gər] kemudian mengalami pengulangan dan mendapat imbuhan –an sehingga memiliki arti „tertawa lama dan puas‟. 32) Onomatope: Ger-geran [gər gəran] (hal.78) Konteks : Anak-anak menikmati pertunjukan wayang dengan senang. Data : Bocah cilik mau senengane adegan sing sigrak,rame, seru, banter lan ger-geran. „Anak kecil tadi sukanya adegan yang semangat, ramai, seru, cepat dan bersemangat.‟ Onomatope tersebut terbentuk melalui proses pengulangan dan penambahan akhiran –an. Sama seperti bentuk (36) ger-geran onomatope (37) ger-geran menggambarkan sesuatu yang ramai dan heboh, namun bentuk ini lebih menggambarkan aksi yang semarak. Penggunaan konsonan [g] digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menghentak. 33) Onomatope: Ngagru-agru [ŋagru agru] (hal.54) Konteks : Pak Modin bercerita pada istrinya tentang kejahilan yang dilakukannya tadi . Data : Dhek mau aku ngagru-agru bocah dolanan nganti padha bubar
66
kabeh. „Tadi aku mengganggu anak-anak yang bermain sampai mereka bubar semua.‟ Bentuk ngagru-agru [ŋagru agru] memiliki arti „mengganggu dengan sengaja. Ngagru-agru menempati fungsi verba dalam kalimat tersebut. Pemakaian konsonan berat [g] dan [r] digunakan untuk mengikonkan kegiatan yang membuat takut. 34) Onomatope: Greg [grəg] (hal.169) Konteks : Dalijan kaget karena jendelanya tiba-tiba terbuka. Data : Greg, Dalijan njubmbul, sebute Gandri Wut jendhelane menga. „Greg, Dalijan melompat, sambil berseru Gandri wut jendelanya terbuka.‟ Onomatope greg pada kalimat tersebut menggambarkan efek saat seseorang tiba-tiba terlonjak kaget. Sesuatu dengan keadaan yang diam secara kontinyu kemudian bergerak dengan tiba-tiba. 35) Onomatope: Greg [grəg] (hal.17) Konteks : Ada delman yang menuju ke rumah Raden Rara Subiyah dan berhenti di halaman depan rumah. Data : Sareng dumugi sangajenging griya, dhokar lajeng mandheg greg. „Setelah sampai di depan rumah, delman kemudian berhenti sama sekali.‟ Onomatope greg [grəg] juga mengacu pada suatu gerakan yang berhenti secara mendadak. Pada kalimat tersebut keadaan dokar yang berhenti mendadak digambarkan dengan onomatope greg. 36) Onomatope : Didodhog [didɔɖɔg] (hal.73) Konteks : Jalanya pertunjukan wayang kulit. Data : Kathah didhodhog kaping lima weh sarmita pagelaran diwiwiti. „Kathah dipukul lima kali memberikan pertanda bahwa pagelaran akan dimulai.‟
67
Onomatope didodhog dibentuk berdasarkan suara yang dihasilkan saat benda yang terbuat dari kayu dipukul menggunakan benda yang keras kemudian menghasilkan bunyi khas. Bunyi tersebut akhirnya menjadi penamaan aktifitas tersebut. Pada cerita, yang dpukul adalah kathah yang erbuat dari kayu. Biasanya dibunyikan oleh Dalang saat mengawali pertunjukan wayang dan saat pertunjukan berlangsung. 4.2.3 Onomatope Sebagai Pembentuk Emosi Tokoh Onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh maksudnya adalah tokoh dalam cerita bisa berekspresi dan digambarkan emosinya melalui tiruan bunyi. 37) Onomatope : “Uh, uh, uh, oh, hem” [uh uh Uh oh həm] (hal.10) Konteks : Kyai Pramayoga berbicara kepada istrinya dengan keadaan sedang sakit batuk. Data : Kyai Pramayoga menika kagungan sakit napas, yen ngendika nggumujengaken, lajeng sumambung kaliyan watuk-watuk, tanganipun ingkang kiwa seduwa, ingkang tengen nyandhak kecohan, uh, uh, uh, o, hem, Gusti, dalem punika wau, rak pancen dereng saged sowan. „Kyai Pramayoga ini memiliki sakit nafas, ketika berbicara membuat tertawa kemudian disambung dengan batuk-batuk, tangannya yang kiri dilipat yang kanan menutupi batuknya. Uh, uh, uh, o, Gusti, aku ini tadi, memang belum sempat berkunjung.‟ Bentuk (39) “uh, uh, uh, oh, hem” [uh uh Uh oh həm] merupakan tiruan bunyi suara orang terbatuk menggambarkan emosi tokoh yang merasa sakit dan mengundang perhatian. 38) Onomatope : “Hua...” [hua] (hal.79) Konteks : Mas Mintaraga mulai mengantuk karena menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Data : Hua.... Lesane Mas Mintaraga wiwit angop maneh. „Hua.... Mas Mintaraga mulai menguap lagi.‟ Onomatope hua menggambarkan ekspresi mengantuk dari tokoh tersebut.
68
4.2.4 Onomatope Sebagai Penunjuk Keadaan Keadaan dan sifat suatu benda digambarkan dengan onomatope agar kesan benda dan kejadian lebih jelas. Onomatope yang menunjukkan keadaan dan sifat benda adalah sebagai berikut.
(42)
Onomatope Konteks Data
: Gigrig [gigrIg] (hal.23) : Raden Rara Subiyah menolak rayuan Raden Kartaubaya yang mengajaknya untuk kembali hidup bersama. : Nanging Raden Rara Subiyah manahipun mboten gigrig, boten luntur mireng pamiluta makaten wau. „Tetapi Raden Rara Subiyah hatinya tidak takut, tidak luntur mendengar rayuan seperti itu.‟
Dalam kalimat tersebut kata gigrig digunakan untuk menggambarkan ketakutan dalam hati. Raden Rara Subiyah tidak gentar atas ucapan suaminya. (43)
Onomatope Konteks Data
: Thil [ʈil] (hal.34) : Ibu berbicara mengenai anak satu-satunya. : Kajeng kula mboten, anak kula namung satunggal thil. „Harapan saya tidak begitu, anak saya cuma satu-satunya. Onomatope (43) thil yang memberikan efek menyangatkan kata sebelumnya
yaitu menunjukkan satu atau hanya sedikit. Bunyi [i] dimaksudkan untuk menggambarkan sesuatu yang kecil atau sedikit. (44)
Onomatope : Nyat [ñat] (hal.55) Konteks : Pak Modin sedang duduk danberbincang dengan istrinya kemudian berdiri untuk mengambil sesuatu. Data : Pak Modin mari ngantuk, gagasane nglambrang mrana-mrana, ora suwe nuli ngadeg nyat. „Pak Modin sudah tidak mengantuk, pemikirannya melayang kesanakemari, tak lama kemudian langsung berdiri.‟
69
Bentuk nyat [ñat] menggambarkan keadaan yang kontinyu dan tiba-tiba berhenti sama sekali. Bentuk tersebut diakhiri dengan konsonan hambat [t] untuk menggambarkan keadaan yang tiba-tiba. Dalam kalimat tersebut, Pak Modin berdiri tiba-tiba. (45)
Onomatope Konteks Data
: Ngalad-alad [ŋalad alad] (hal.13) : Raden Ayu Pramayoga bercerita mengenai suasana saat terjadi kebakaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu. : Gusti, sareng dilah njeblos, latu nglad-alad, wah polahing tetiyang punika rak ngantos palang tunjang boten kanten kantenan. „Gusti, bersamaan dilah meledak, asap membumbung tinggi, wah tingkah orang-orang sampai kalang kabut tidak terkira.‟
Penggunaan konsonan [d] pada onomatope tersebut mengikonkan kejadian yang menakutkan yaitu api yang menyala-nyala. (46)
Onomatope Konteks Data
: Kepingkel-pingkel [kəpiŋkəl piŋkəl] (hal.57) : Dulkaji menertawakan tingkah Pak Modin. : Dulkaji gumuyu kepingkel-pingkel, pitakone Samang kok boten samar yen kapusan malih, Kang? „Dulkaji tertawa terbahak bahak, bertanya Anda kok tidak ragu jika dibohongi lagi, Kang?‟
Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Dulkaji tertawa dengan terbahakbahak karena tingkah Pak Modin yang dipanggilnya dengan sebutan Kang. (47)
Onomatope Konteks Data
: Kumepyur [kuməpyUr] (hal.50) : Raden Ngabehi Kartamardika mendengar cerita Sindhu mengenai Endra yang menipunya. : Bapake Martini bareng krungu katrangan Endra kaya mangkono, atine kumepyur banget, awit dhuwit nem ewu iku dudu guyon, lan maneh dhuwit mau dudu saka celengan nanging saka olehe adol barang lan nggadhekake bale
70
pomahane. „Ayahnya Martini setelah mendengar keterangan Endra seperti itu, hatinya terasa sangatkhawatir, karena uang enam ribu itu bukan main-main, dan apa lagi uang tersebut bukan dari tabungan maleinkan dari hasil menjual barang dan menggadaikan rumah. Onomatope berbentuk multisilabel kumepyur [kuməpyUr] ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang kecil jatuh secara bersamaan, menyebar dan berulang-ulang. Penggnaan suku akhir [ur] dimaksudkan untuk mengikonkan keadaan tersebut. Kata kumepyur pada kalimat di atas menggambarkan perasaan khawatir yang sangat dalam sehingga terasa cemas. (48)
Onomatope Konteks Data
: Kumriyuk [kumriyU?] (hal.68) : Keadaan warung Mbah War yang ramai saat acara nyadran. : Opak sing digoreng nganggo wedhi iku tambah kumriyuk ngangeni. „Opak yang dogoreng dengan menggunakan pasir itu lebih renyah.‟
Onomatope kumriyuk diguakan untuk mengikonkan sesuatu yang renyah. Penggunaan konsonan [r] dan [k] menggambarkan kerenyahan dan suara saat sesuatu retak atau patah. Kalimat di atas menggambarkan kerenyahan opak yang digoreng dengan menggunakan wedhi „pasir‟. (49)
Onomatope Konteks Data
: Peng-pengan [pəŋ pəŋan] (hal.72) : Sindhen-sindhen yang tampil dalam pertunjukan wayang kulit di dhusun Grogol. : Akeh-akehe sindhen blajaran mau digawa dening ibu sindhen sing wis peng-pengan. „Kebanyakan sindhen pemula itu dibawa oleh ibu sindhen yang sudah berpengalaman.‟
71
Onomatope peng-pengan [pəŋ pəŋan] merupakan ikon-lingual dari sesuatu yang sudah mantap. Kata peng merupakan kependekan dari kata mempeng yang memiliki arti mentap. Kalimat tersebut menggambarkan sindhen yang lebih senior dengan onomatope peng-pengan. (50)
Onomatope Konteks Data
: Peng-pengan [pəŋ pəŋan] (hal.85) : Deskripsi kraton Daha yang asri dan berpotensi. : Kraton Daha utawa Kraton Kedhiri mbiyen mula pancen peng-pengan ing babagan tanduran. „Keraton Daha atau Keraton Kediri memang sudah dari dulu sudah ahli dalam hal bercocok tanam.
Onomatope peng-pengan [pəŋ pəŋan] dalam kedua bentuk tersebut merupakan pengulangan dari kata peng yang berarti sudah mantap. Keduanya memiliki arti yang sama yaitu sudah berpengalaman atau ahli dalam bidangnya. (51)
Onomatope Konteks Data
: Ngagor-agori [ŋagɔragɔri] (hal.57) : Pak Modin berbicara kepada Dulkaji tentang anak-anak yang gaduh. : Yen wong pinter mesthi ora bisa kapusan. Ya pintera njara langit, mesthi ana bedane. Apa maneh nirokake suwaramu kang lagi ngagor-agori iku. „ika orang pandia sudah pasti tidak bisa dibohongi. Ya sepandai-pandainya mebuka langit, pasti ada bedanya. Apa lagi menirukan suaramu yang sedang berteriak-teriak seperti itu.
Ngagor-agori memiliki arti berbicara dengan keras dan berulang-ulang. (52)
Onomatope Konteks Data
: Pating glembyor [patIŋ gləmbyɔr] (hal.179) : Jarot bertemu dengan seseorang keturunan Cina yang menarik. : Sasampunipun adus terus dandos, lajeng ngisis wonten ing latar, boten dangu kedhatengan Cina panganggenipun pating glembyor nanging pethak.. „Seteleh mandi kemudian
72
berdandan, lalu merokok di halaman, tak lama keudian ada seorang Cina yang datang berpakaian gemerlapan tapi berwarna putih. Onomatope pating glembyor menggambarkan sesuatu yang berkesan bergemerlapan. Pada cerita tersebut yang bergemerlapan adalah pakaian yang dipakai orang Cina. (53)
Onomatope Konteks Data
: Pating gedhebug [patIŋ gəɖəbug] (hal.55) : Pak Modin sedang berbincang dengan istrinya ketika terdengar suara ramai di luar rumah. : Lagi wae mbukak kitabe, ing njaba krungu suwara pating gedebug, bocah pirang-pirang padha playon karo surak surak rame banget. „Baru saja membuka kitabnya, di luar terdengar suara gaduh, banyak anak berlarian sambil berteriak-teriak ramai.
Partikel pating dalam bentuk (53) pating gedhebug memiliki arti „ketidakteraturan sebuah peristiwa‟ dalam hal ini artinya „jatuh secara tidak teratur‟. Sementara pada kalimat di atas menggambarkan kedaan gaduh karena suara langkah kaki anak-anak yang berlarian. (54)
Onomatope Konteks Data
: Pating Kedogreg [patIŋ kədɔgrɛg] (hal.93) : Suasana di atas kapal. : Samargi-margi kula mireng swanten pating kedogreg inggih punika suwantening kerekan ing kapal.. „Sepenjang jalan saya mendengar suara berisik yaitu suara dari tuas di kapal.‟
Onomatope pating kedogreg mengikonkan bunyi berisik peralatan dalam kapal yang
seolah-olah terdengar
seperti itu.
Pangguaan partikel pating
menggambarkan bahwa bunyi tersebut tidak teratur dan terjadi secara berulang-ula
73
(55)
Onomatope Konteks Data
: Pating clomprong [patIŋ crɔmplɔŋ] (hal.160) : Penjelasan mengenai tumbuhan tembakau dan hama yang mengganggu pertumbuhan tembakau. : Kang rupa walang mangani godhong mbako nganti pating clomprong. „Yang belalang memakan daun tembakau sampai berlubang-lubang.
Pating cromplong [patIŋ crɔmplɔŋ] yang memiliki arti „berlubang-lubang dan tidak teratur‟. Penggunaan vokal [o] pada onomatope tersebut mengikonkan bentuk lubang-lubang yang tidak teratur. Semantara bunyi suku akhir long [lɔŋ] sama dengan bunyi bolong [bɔlɔŋ] „berlubang‟. (56)
Onomatope Konteks Data
: Reyap-reyap [rɛyap rɛyap] (hal.53) : Pak Modin dibangunkan istrinya karena harus menemui tamu. : Sawise nata rambute kang reyap-reyap, banjur iket-iketan. „Setelah menata rambutnya yang acak-acakan, kemudian memakai ikat kepala.‟
Bentuk reyap-reyap [rɛyap rɛyap] dalam kalimat di atas menggambarkan keadaan rambut yang berantakan setelah bangun tidur. (57)
Onomatope Konteks Data
: Lamat-lamat [lamat lamat] (hal.72) : Pertunjukan wayang kulit sedang berlangsung. : Gendhing patalon kang dadi ater-atering pagelaran weh reseping ati. Lamat-lamat mrabawani. Tabuhane ora banter ora rikat. „Gending patalon yang menjadi pembuka pergelaran memberikan ketenangan hati. Samar-samar memikat. Permainannya tidak keras tidak pelan.‟
Bentuk (57) lamat-lamat [lamat lamat] memiliki arti „samar-samar‟. Bentuk tersebut menggambarkan perasaan atau kesan suara yang terdengar kecil atau kurang jelas.
74
4.2.5 Onomatope Sebagai Pemberi Efek Tertentu Bagi Pembaca Onomatope dalam karya sastra terutama dalam novel digunakan utuk mendukug situasi cerita sehingga pembaca merasa nyaman dan mengikuti alur ceritanya. Tidak jarang pengarang menggunakan onomatope agar pembaca juga turut merasakan situasi dalam cerita. Antologi novel Rembulan Ndadari ini menggunakan beberapa onomatope yang berfungsi sebagai pemberi efek bagi pembaca. Onomatope tersebut antara lain adalah sebagai berikut. (58)
Onomatope Konteks Data
: Byar [byar] (hal.12) : Kyai Pramayoga berkata kepada istrinya tentang kanjeng Pangeran yang suka bermain gamelan dengannya. : “Aku sing suluk, gubyes nganti ketug wengi, terkadhang nganti teka byar esuk,...” „Aku yang suluk, sampai malam, terkadang sampai tiba fajar pagi,...‟
Kata byar dalam Data kalimat di atas menunjukkan keadaan terang yang kontras dari malam kemudian pagi. Keadaan terang tersebut terkesan menyebar luas, yang tergambar dengan penggunaan suku akhir [ar]. (59)
Onomatope Konteks
Data
: Pet [pət] (hal.12) : Kyai Pramayoga berkata kepada istrinya tentang kegemarannya bermain gamelan yang sudah tidak dilakukannya lagi. : “...,mula bareng swargi ngoncati, pet, seprene mari tukku dhemen gendhang-gendhingan.” „..., oleh karena itu setelah almarhum pergi, pet, sampai sekarang sembuh kegemaranku bermain gendhing.‟
Onomatope pet [pət] menunjuk sesuatu yang tiba-tiba gelap atau kontinuitas yang tiba-tiba terhenti. Bentuk tersebut termasuk dalam bentuk monosilabel, karena
75
memiliki satu silabel/ suku kata. Konteksnya dalam kalimat tersebut menunjukkan suatu kebiasaan yang sudah berhenti dilakukan sama sekali. Tokoh Kyai Pramayoga dalam cerita tersebut mengaku sangat suka bermain gendhing kemudian tiba-tiba berhenti melakukan kegemarannya tersebut. (60)
Onomatope Konteks Data
: Mak cekekal [ma? cəkɛkal] (hal.78) : Anak-anak menikmati adegan budhalan wadya bala yang bersemangat dalam pertunjukan wayang kulit. : Mripat sing isih kriyip-kriyip ngantuk, mak cekekal dadi amba. „Mata yang masih terkedip-kedip mengantuk, tiba-tiba jadi terbuka.‟
Onomatope tersebut memiliki arti terbuka dengan tiba-tiba, mak cekekal menggambarkan seseorang yang terkaget, dalam kalimat di atas menggambarkan anak-anak yang sudah mengantuk terkaget dengan adegan yang bersemangat, kemudian tidak jadi mengantuk. (61)
Onomatope Konteks
: Mak jenggerat [ma?jəŋgɛrat] (hal.78) : Adegan gara-gara dalam pertunjukan wayang yang menarik bagi penonton. Data : Sing nggumunake, pas adegan gara-gara nuli mak jenggerat tangi maneh. „Yang membuat heran, saat adegan gara-gara kemudian mak jenggerat bangun lagi.‟ Onomatope dengan partikel mak- seperti bentuk mak jenggerat merupakan
jenis onomatope dengan arti „terasa tiba-tiba‟dalam hal ini berarti „tiba-tiba terbangun. (62)
Onomatope Konteks Data
: Cless [cləs] (hal.61) : Pak Modin mendapat kabar bahagia dari Ngadiman bahwa dirinya ditujuk menjadi pengulu naib di Imarata. : Cless atine Pak Modin, bebasan kaya kesiram ing banyu sawindu. „Cless hati Pak Modin, ibarat seperti tersiram air sawindu.‟
76
Bentuk (62) Cless [cləs] merupakan pengikonan pada kesan perasaan berdesir. Penggunaan [l] dan [s] digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bergerak /bergeser secara cepat. Hal tersebut digunakan dalam kalimat di atas untuk penggambaran perasaan terenyuh Pak Modin. Berdasarkan penjelasan mengenai makna onomatope diatas, didapatkan kesimpulan bahwa dalam antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R. Utami memiliki onomatope yang bermakna tertentu dengan pola pembentukan sebagai berikut. 1) Onomatope yang memiliki makna kecil, sempit aatau sedikit diikonkan dengan vokal [i] dan [I]. Sementara bentuk yang menakutkan atau besar biasanya diikonkan dengan konsonan [g], [b], [k] atau konsonan hambat bersuara atau konsonan tegang (fortis, tense) lainnya. 2) Makna onomatope yang menggambarkan sebuah proses memanjang, membesar atau meluas dibentuk dengan bagian suku akhir [ar] dan [er]. 3) Kegiatan yang berulang dibentuk dengan proses pengulangan penuh sementara kegiatan yang tidak beraturan dibentuk dengan pengulangan dengan perubahan bunyi vokalnya. 4) Makna yang menunjukan keberanekaan dibentuk dengan unsur pating. Bentuk ini selalu diikuti dengan penggugusan konsonan/klasterisasi [l] atau [r]. 5) Onomatope yang menggambarkan kesaatan atau seketika biasanya berbentuk monosilabel dengan suku kata akhir menggunakan konsonan hambat atau menggunakan partikel mak.
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis pada antologi novel Rembulan Ndadari karya Bambang Sulanjari dan H.R.Utami didapatkan onomatope sebanyak 75 buah. Bentuk-bentuk onomatope tersebut dibagi menjadi kata dasar, kata bentukan, kata ulang, dan dua kata atau lebih. Bentuk kata dasar dibagi menjadi tiga jenis yaitu (1) onomatope monosilabel, (2) onomatope bisilabel, dan (3) onomatope multisilabel. Kata bentukan onomatope dibagi menjadi (1) awalan (ater-ater), (2) sisipan (seselan), (3) akhiran (panambang), (4) konfiks dan (5) penambahan partikel. Onomatope juga dibentuk dengan proses pengulangan atau duplikasi, yang jenisnya dibagi menjadi (1) bentuk ulang penuh/dwilingga, (2) bentuk ulang penuh dengan perubahan bunyi / dwilingga salin swara, dan (3) bentuk ulang sebagian atau dwipurwa dan dwiwasana. Ditemukan juga satu lagi jenis onomatope yaitu onomatope dua kata atau lebih. Bentuk-bentuk onomatope dalam bahasa Jawa didominasi oleh beberapa jenis onomatope yaitu bentuk kata ulang, penambahan partikel pating- dan partikel makdan bentuk dengan sisipan –um– atau –er–. Jenis onomatope dengan partikel pating biasanya diikuti dengan kata yang mengandung klasterisasi [l] atau [r]. Sementara bentuk mak menggambarkan kesan sesuatu yang seketika. Makna onomatope yang ditemukan dalam antologi novel Rembulan Ndadari yaitu, (1) onomatope sebagai pembentuk nama benda dan suara khas benda, (2)
77
78
onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan, (3) onomatope sebagai penunjuk keadaan, (4) onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh, dan (5) onomatope sebagai pemberi efek tertentu bagi pembaca. Penelitian ini juga menemukan ciri onomatope baru yaitu onomatope yang menyatakan keadaan sekilas atau seketika. Onomatope ini diikonkan dengan bentuk monosilabel yang memiliki suku kata akhir dengan konsonan hambat atau menggunakan partikel mak. 5.2 Saran Hasil penelitian ini hendaknya dapat dimanfaatkan bagi pembaca dan pemerhati bahasa untuk menambah dan memperluas pengetahuan bahasa khususnya mengenai onomatope bahasa Jawa. Bagi para peneliti bahasa sebaiknya melakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan onomatope dalam Antologi novel Rembulan Ndadari ini ke ranah penelitian lanjutan misalnya kajian stilistika mengenai diksi yang bernilai onomatope.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semanik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. ----- 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta. Hamano, Shoko. 2000. “Voicing of Obstruents in Old Japanese: Evidence from The Sound-Symbolic Stratum”. Journal of East Asian Linguistics 9. Hlm. 207–225. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. http://link.springer.com/article/10.1023%2FA%3A1008367619295 Keraf, Gorys. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koriat, Asher. 1975. “Phonetic symbolism and feeling of knowing”. Memory& Cognition Vol. 3. Nomor 5. Hlm. 545-548. Jerusalem: Hebrew University. http://link.springer.com/article/10.3758%2FBF03197529 Moleong, Lexy.J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Parera, J.D. 1990. Teori Semantik. Yogyakarta : Erlangga. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta. -----1990. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta. Purwaningrum, Heni. 2008. Wujud Onomatope dalam Komik Serial Donal Bebek Edisi 620-630 Tahun 1995. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. R. Klink Richard. 2013. “Creating Brands Name With Meaning: The Use of Sound Symbolism”. Marketting Letters 11. Nomor 1. Hlm. 5-20. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. http://link.springer.com/article/101023%2FA%3A1008184423824#page-1 Robins, R.H. 1990. Sejarah Singkat Linguistik. Bandung :ITB Bandung.
Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan potensi bahasa; Kumpulan karangan sekitar dan tentang satuan lingual bahasa Jawa yang berdaya sentuh indrawi. Yogyakarta : Kanisius. ----- 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian Wahana
79
80
Budaya Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sulanjari, Bambang dan H.R. Utami. 2010. Rembulan Ndadari. Yogyakarta: Panji Utama. Sasangka, Sry Satriya T.W. 2011. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa. Jakata: Yayasan Paramalingua. Ullmann, Stephen. 2011. Pengantar Semantik. Edisi ke-3. Adaptasi Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi Muhammad. 2009. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Winarto. 1992. Onomatope dalam Bahasa Jawa Sebuah Analisis Fonematis. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
LAMPIRAN 1. 1. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
1 Uh, uh, O, hem [uh Uh o hɛm] (hal.10) Lebih dari dua kata Pembentuk emosi tokoh Suara orang terbatuk Kyai Pramayoga berbicara kepada istrinya dengan keadaan sedang sakit batuk.
2. 1. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
2 Gowak-gowek [gowa? gowɛ?] (hal.10) Bentuk ulang berubah bunyi Pembentuk emosi tokoh Suara orang terbatuk Raden Ayu Pramayoga berbincang suaminya yang sedang sakit batuk
dengan
3. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
3 Byar [byar] (hal.12) Monosilabel Pemberi efek tertentu bagi pembaca Kesan bunyi sesuatu yang tiba-tiba bersinar. Kyai Pramayoga berkata kepada istrinya tentang kanjeng Pangeran yang suka bermain gamelan dengannya.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope
4 Pet [pət] (hal.12) Monosilabel Pemberi efek tertentu bagi pembaca Kesan bunyi sesuatu yang tiba-tiba berhenti sama sekali. Kyai Pramayoga berkata kepada istrinya tentang kegemarannya bermain gamelan yang sudah tidak dilakukannya lagi.
4.
Konteks
5. Nomor Data Onomatope
5 Njeblos [njəblɔs] (hal.13)
81
82
Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
Bisilabel Onomatope sebagai penunjuk keadaan Tiruan bunyi sesuatu yang meledak Raden Ayu Pramayoga bercerita mengenai suasana saat terjadi kebakaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
6 Ngalad-alad [ŋalad alad] (hal.13) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Kesan bunyi benda yang terbakar Raden Ayu Pramayoga bercerita mengenai suasana saat terjadi kebakaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
7 Ger-geran [gər gəran] (hal.15) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Penggambaran suara tertawa Raden Ayu Natasewaya dan para tamunya saling berbincang dan menggoda Raden Ajeng Srini.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
8 Ger-geran [gər gəran] (hal.78) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Kesan bunyi saat tertawa lepas Anak-anak menikmati pertunjukan wayang dengan senang.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
9 Kratak-kratak [krata? krata?] (hal.17) Kata ulang Sebagai tiruan suara khas benda Suara roda delman Raden Kartaubaya mengendarai delman ke rumah Raden Harjawasita.
Nomor Data
10
6.
7.
8.
9.
10.
83
Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
Ggreg [grəg] (hal.17) Monosilabel Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Kesan suara sesuatu yang berhenti Ada delman yang menuju ke rumah Raden Rara Subiyah dan berhenti di halaman depan rumah.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
11 Gigrig [gigrIg] (hal.23) Bisilabel Onomatope sebagai penunjuka keadaan Gentar (takut) Raden Rara Subiyah menolak rayuan Raden Kartaubaya yang mengajaknya untuk kembali hidup bersama.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
12 Celuk-celuk [cəlU? cəlU?] (hal.25) Kata ulang Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Memanggil-manggil Raden Kartamardika memanggil anak perempuannya yaitu Martini.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
13 Lenggut-lenggut [lənŋgUt ləŋgUt] (hal.32) Kata ulang Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Terkantuk-kantuk Ibunya Martini memberikan argumen kepada suaminya mengenai peran wanita dalam keluarga.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
14 Thil [ʈil] (hal.34) Monosilabel Onomatope sebagai penunjuk keadaan Satu-satunya Bapak dan Ibunya Martini berbincang mengenai anaknya yang mau dinikahkan.
11.
12.
13.
14.
84
15. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
15 Ditapuk, puk [ditapU? pU?] (hal.44) Dua kata Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Suara saat memukul Martini memukul Endra dan berbincang dengan akrab.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
16 Dhangah-dhangah [ɖaŋah ɖhaŋah] (hal.46) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Berjalan dengan sombong Suasana saat para tamu selesai bermain kartu.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
17 Kumepyur [kuməpyUr] (hal.50) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Merasa khawatir Raden Ngabehi Kartamardika mendengar cerita Sindhu mengenai Endra yang menipunya.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
18 Dibrebegi [dibrəbəgi] (hal.53) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Dingganggu dengan suara berisik Pak Modin baru terbangun dari tidur untuk menemui Sadhiyem yang datang ke rumahnya memberi tahu untuk menghadiri acara kendhuren.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
19 Gerit [gərIt] (hal.53) Bisilabel Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara pintu dibuka Pak Modin menemui Sadhiyem yang datang ke rumah.
16.
17.
18.
19.
20.
85
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
20 reyap-reyap [rɛyap rɛyap] (hal.53) Kata ulang Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Rambut yang berantakan Pak Modin dibangunkan istrinya karena harus menemui tamu.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
21 Grenang-greneng [grənaŋ grənəŋ] (hal.53) Kata ulang penuh berubah bunyi Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Mengeluh Mbok Gani mengingatkan suaminya agar cepat berangkat
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
22 Ngagru-agru [ŋagru agru] (hal.54) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Mengganggu Pak Modin bercerita pada istrinya tentang kejahilan yang dilakukannya tadi.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
23 Girap-girap [girap girap] (hal.54) Kata ulang penuh Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Panik karena ketakutan Pak Modin bercerita tentang perbuatannya mengusili anak-anak yang gaduh.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
24 Nyat [ñat] (hal.55) Monosilabel Onomatope sebagai penunjuk keadaan Berdiri dengan tiba-tiba Pak Modin sedang duduk danberbincang dengan istrinya kemudian berdiri untuk mengambil sesuatu.
Nomor Data
25
21.
22.
23.
24.
25.
86
Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
Pating gedhebug [patIŋ gəɖəbug] (hal.55) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Berjatuhan Pak Modin sedang berbincang dengan istrinya ketika terdengar suara ramai di luar rumah.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
26 Kepingkel-pingkel [kəpiŋkəl piŋkəl] (hal.57) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Tertawa terbahak-bahak Dulkaji menertawakan tingkah Pak Modin.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
27 Ngagor-agori [ŋagɔragɔri] (hal. 57) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Bersuara keras Pak Modin berbicara kepada Dulkaji tentang anakanak yang gaduh.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
28 Ngethupruk [ŋəʈuprUk] (hal.59) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Berbincang Pak Modin dan Mbok Gani berbincang dengan perasaan senang.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
29 Nggeblog [ŋgəblɔg] (hal.60) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Memukul Pak Modin menyambut Ngadiman yang datang berkunjung ke rumahnya.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope
30 Cless [cləs] (hal.61) Monosilabel
26.
27.
28.
29.
30.
87
Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
Onomatope sebagai pemberi efek pada pembaca Kesan suasana hati yang trenyuh Pak Modin mendapat kabar bahagia dari Ngadiman bahwa dirinya ditujuk menjadi pengulu naib di Imarata
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
31 Klonthong-klonthong [klɔnʈɔŋ klɔnʈɔŋ] (hal.66) Kata ulang penuh Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara alat musik gentha Suasana ramai dan permainan alat musik sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
32 Gentha [gənʈɔ] (hal.66) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama alat musik Suasana ramai dan permainan alat musik sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
33 Demung [dəmUŋ] (hal.66) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama alat musik Suasana Pertunjukan wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
34 Slenthem [slənʈəm] (hal.66) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama alat musik Keadaan panggung pertujukan wayang sebelum pertunjukan dimulai.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope
35 Kethuk [kəʈU?] (hal.66) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda
31.
32.
33.
34.
35.
kulit
88
Makna Onomatope Konteks
Nama alat musik Keadaan alat-alat musik gamelan yang akan digunakan dalam pertunjukan wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
36 Kenong [kənɔŋ] (hal.66) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama alat musik Keadaan alat-alat musik gamelan yang akan digunakan dalam pertunjukan wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
37 Kendhang [kənɖaŋ] (hal.66) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama alat musik Keadaan alat-alat musik gamelan yang akan digunakan dalam pertunjukan wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope
38 Mak byar [ma?byar] (hal.67) Kata bentukan Onomatope sebagai pemberi efek tertentu pada pembaca Kesan tiba-tiba terang Suasana panggung saat pertunjukan wayang dimulai.
36.
37.
38.
Makna Onomatope Konteks 39. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
39 Thing-thing [ʈiŋ ʈIŋ] (hal.67) Kata ulang penuh Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara alat musik balungan Anak-anak memainkan gamelan yang sudah ditata sebelim pertunjukan wayang kulit dimulai.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope
40 Ninthing [ninʈiŋ] (hal.67) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan
40.
89
Makna Onomatope Konteks
Memukul Anak-anak yang senang bermain menyambut pertunjukan wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
41 Nggebuk [ŋgəbuk] (hal.67) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Memukul Anak-anak yang senang bermain menyambut pertunjukan wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
42 Slompret [slɔmprɛt] (hal.68) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Suasana ramai saat sedhekah bumi dhusun Grogol. Suasana ramai saat sedhekah bumi dhusun Grogol.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
43 That-thet [Tat Tɛt] (hal.68) Kata ulang penuh berubah bunyi Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara terompet Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
44 Thot-thet [Tɔt Tɛt] (hal.68) Kata ulang penuh berubah bunyi Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara terompet Hiruk-pikuk menjelang pergelaran wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
45 Dhor-dhor [ɖɔr ɖɔr] (hal.68) Kata ulang penuh Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara kembang api Suasana ramai sebelum pertunjukan wayang kulit berlangsung.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
90
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
47 Keplok [kəplɔ?] (hal.78) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Sejalan atau sependapat Suasana pertunjukan wayang kulit pada upacara nyadran desa.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
48 Keplok [kəplɔ?] (hal.150) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Bertepuk tangan Suasana ramai dalam acara pernikahan.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
49 Ngethupruk [ŋəʈuprUk] (hal.59) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Mengobrol Pak Modin dan Mbok Gani berbincang dengan perasaan senang.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
50 Kumriyuk [kumriyU?] (hal.68) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama benda Renyah Keadaan warung Mbah War yang ramai saat acara nyadran.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
51 Lakak-lakak [laka? laka?] (hal.70) Kata ulang penuh Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Tertawa terbahak-bahak Penonton menikmati jalan cerita wayang kulit.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope
52 Mbethet, thet [mbɛʈɛt ʈɛt] (hal.71) Dua kata
48.
49.
50.
51.
52.
91
Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
Onomatope sebagai penunjuk keadaan Semalam suntuk Penonton menikmati pertunjukan wayang kulit yang sangat bagus.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
53 Peng-pengan [pəŋ pəŋan] (hal.72) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Sudah ahli Sindhen-sindhen yang tampil dalam pertunjukan wayang kulit di dhusun Grogol.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
54 Peng-pengan [pəŋ pəŋan] (hal.85) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Sudah ahli Sindhen-sindhen yang tampil dalam pertunjukan wayang kulit di dhusun Grogol.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
55 Lamat-lamat [lamat lamat] (hal.72) Kata ulang penuh Onomatope sebagai penunjuk keadaan Kesan samar-samar Pertunjukan wayang kulit sedang berlangsung
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
56 Didodhog [didɔɖɔg] (hal.73) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Dipukul Jalanya pertunjukan wayang kulit
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
57 Hua.... [hua] (hal.79) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh Suara orang menguap Mas Mintaraga mulai mengantuk karena
53.
54.
55.
56.
57.
92
menyaksikan pertunjukan wayang kulit. 58. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
58 Kriyip-kriyip [kriyIp kriyIp] (hal.78) Kata ulang penuh Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Mata mengantuk Penonton menikmati jalannya pertunjukan wayang terutama saat adegan perang.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
59 Ngak-ngik [ŋak ŋik] (hal.84) Kata ulang penuh berubah bunyi Onomatope sebagai tiruan bunyi khas benda Suara pohon bergesekan Suasana asri desa Mojodhuwur
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
60 E.... [ɛ] (hal.112) Monosilabel Onomatope sebagai pembentuk emosi tokoh Seruan untuk memanggil seseorang Kanjeng Sunan melarang Wirareja yang hendak memberontak pada Belanda.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
61 Gereng-gereng [gərəŋ gərəŋ] (hal.125) Kata ulang Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Meronta-ronta Jayadi bercerita kepada orang-orang mengenai pembunuhan Mbok Karta.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
62 Senggruk-senggruk [səŋgrU? səŋgrU?] (hal.133) Kata ulang penuh Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Menangis tersedu-sedu Nyai Sudagar bersedih karena suaminya, Kyai Gunawicara memberitahu bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan.
59.
60.
61.
62.
93
63. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
63 Greg [grəg] (hal.169) Monosilabel Onomatope sebagai penunjuk keadaan Kesan suara kaget Dalijan kaget karena jendelanya tiba-tiba terbuka.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
64 Gong [gɔŋ] (hal.66) Monosilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama alatmusik Keadaan alat musik gamelan sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
65 kluruk [klurU?] (hal.100) Bisilabel Onomatope sebagai tiruan suara khas benda Suara ayam Sang aprabu akan berangkat ke klaten di pagi hari.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
66 Jangkrik [jangkI?] (hal.160) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama serangga Penjelasan mengenai hama tanaman tembakau.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
67 Gangsir [gaŋsIr] (hal.160) Bisilabel Onomatope sebagai pembentuk nama benda Nama serangga Penjelasan mengenai hama tanaman tembakau.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope
69 Nyruput [ñrupUt] (hal.68) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan
64.
65.
66.
67.
68.
94
Makna Onomatope Konteks
Meminum dengan menyeruput Pengunjung menikmati hidangan dalam acara sedhekah bumi desa Grogol.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
70 Embyang-embyangan [əmbyaŋ əmbyaŋan] (hal.16) Kata bentukan Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Kelayapan/keluyuran Raden Ayu Pramayoga berbicara kepada suaminya agar mau menikahkan anaknya.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
71 Pating glembyor [patIŋ gləmbyɔr] (hal.179) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Gemerlapan Jarot bertemu dengan seseorang keturunan Cina yang menarik.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
72 Pating Kedogreg [patIŋ kədɔgrɛg] (hal.93) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Suara berisik Suasana di atas kapal.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
73 Pating cromplong [patIŋ crɔmplɔŋ] (hal.160) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Berluang-lubang Penjelasan mengenai tumbuhan tembakau dan hama yang mengganggu pertumbuhan tembakau.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
74 Mak cekekal [ma? cəkɛkal] (hal.78) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Terkejut Anak-anak menikmati adegan budhalan wadya bala
70.
71.
72.
73.
74.
95
yang bersemangat dalam pertunjukan wayang kulit. 75. Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
75 Mak jenggerat [ma?jəŋgɛrat] (hal.78) Kata bentukan Onomatope sebagai penunjuk keadaan Terkejut Adegan gara-gara dalam pertunjukan wayang yang menarik bagi penonton.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
76 Watuk-watuk [watU? watU?] (hal.10) Kata ulang Onomatope sebagai pembentuk nama perbuatan Terbatuk-batuk Kyai Pramayoga berbincang dengan istrinya sambil terbatuk
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
77 Rencek-rencek [rɛncɛ? rɛncɛ?] (hal.85) Kata ulang Onomatope sebagai penunjuk keadaan Kesan suara saat mengikat benda Penjelasan cara mengolah kayu jati untuk dijadikan bahan bakar batu bata.
Nomor Data Onomatope Jenis Onomatope Fungsi Onomatope Makna Onomatope Konteks
78 Kras-kres [kras krəs] (hal.161) Kata ulang penuh berubah bunyi Onomatope sebagai penunjuk keadaan Kesan suara saat memotong benda Penjelasan cara mengolah daun tembakau.
76.
77.
78.