merdeka bersekolah
Belajar. Harus!
Tak ada yang berbeda hingga menjelang siang datang. Para pengajar masih seru berceloteh di ruang guru walau sepotong besi tua di pukul keras oleh kepala sekolah tanda jam istirahat berakhir. Di sinilah sekolah dengan pemandangan tak biasa. Sekolah ini bukan di kota. Sekolah ini bersanding lekat dengan beberapa bukit dan gunung tertinggi di Pulau Lombok, Rinjani. Sekolah yang membuat semua guru pasti betah mengajar dengan ala kadar. Ala kadar? Ya. Semua sebatas rutinitas. Di lembar awal inilah kalian akan mengetahui semua tradisi kependidikan di luar profesionalitas para oknum guru yang semakin memperburuk rel pendidikan negeri ini. “Belajar Bahasa Indonesia, Pak, sekarang!” kata Muliana pada saya terlihat bersemangat mengeluarkan seperangkat alat tulis dan buku paket bahasa yang telah dibagikan ke semua murid.
merdeka bersekolah
Muliana, murid kelas lima, bercita-cita menjadi guru. Mungkin seperti saya, atau seperti guru kebanyakan, pikir saya setelah menugasi mereka membuat sebuah cerita mini tentang cita-citanya di awal semester ini. Semangat banyak murid selama ini masih saja tidak diimbangi dengan profesionalitas kerja kependidikan yang memadai dari beberapa oknum guru selama ini. “Lihat saja, sebatas di atas kertas, guru hanya terbiasa mengajar sekenanya di depan murid yang duduk manis rapi melipat tangannya di atas meja; guru harus kuat berceramah, menerangkan pelajaran tanpa koma, tanpa titik.” Ujar salah seorang orang tua murid saat membahas hasil belajar anaknya yang menurun di pertemuan komite sekolah waktu itu. Itulah guru yang mengajar sebatas rutinitas saja, mengajar bukan pekerjaan yang dimulai dari hati untuk hati. Mungkin, seperti itu. “Mungkinkah muliana akan menjadi guru seperti itu?” saya membatin. Ternyata dugaan saya salah setelah membaca hasil karangannya. Adalah Muliana, murid di kelas lima, itu ternyata ingin menjadi pendidik yang berkualitas, melebihi profesi guru kebanyakan saat ini. “Selain mengajar adik dan saya ingin mengajar banyak teman yang tidak bisa bersekolah di desa saya, di Burne.” Begitu tulisnya saat pelajaran bahasa mengarang cerita kecil. Dia terlihat bersungguh-sungguh dengan impiannya itu. Buktinya? “Tak hanya di sekolah, di malam hari dia selalu belajar,” begitu kesaksian teman sebangkunya, Yuliana. Terperanjak mendengarnya. Ini tak biasa untuk sebuah generasi. Semoga saja semangatnya kekal. Menginspirasi teman-temannya dan khususnya guru lain di negeri ini. Walau terjadi ketimpangan. Sebagai guru saya pun harus mengapresiasinya dengan sepunuh hati.
merdeka bersekolah
Mengapresiasi agar semangat itu tak menguap begitu saja. Karena kebodohan, semangat yang menguap karena tingkah polah oknum tentu akan semakin memperparah keadaan negeri ini. Itu sebabnya, semangatnya mengingatkan saya kepada semangat dan kegeraman istri saya ketika mengetahui banyak tetangganya tak bisa membaca, “Kebodohan sepertinya sudah menjadi akar masalah negara ini. Bodoh karena terperdaya oleh kemolekan harta,” begitu katanya. Akibatnya kemiskinan melanda; miskin harkat, miskin matabat, miskin materi pula. Agar terbebas dari segala bentuk kebodohan, minimal, buat saya dan istri : Harus Belajar. “Bayangkan! Terlalu murah kompensasi kebodohan dinilai dengan uang.” katanya serius sambil menyeruput teh dingin. Karena kalau penipuan atas nama rakyat sering diteriakkan politisi adalah sebuah kebodohan, itu disebabkan kebodohan yang akut dan diamini oleh banyak akal para rakyat selama ini. Dan pemerintah daerah di sini harus mengikuti semangat pemberantasan kebodohan Kabupaten Jembaran, Bali. Saya pernah tahu, kalau kabupaten itu, salah satu kabupaten di pulau Dewata Bali yang mampu menggratiskan sekolah, lalu kenapa kabupaten tempat saya tinggal di negari ini tak mau berbuat yang sama? Bukankah Jembrana tidak lebih kaya dari yang lainnya! Kalau rakyatnya semangat belajar dan pemerintah daerah sejatinya mampu memfasilitasi, mengapa di sini belum bisa? Pertanyaan akan selalu banyak bermunculan melihat realitas masyarakat yang tak bisa bersekolah. Itu menunjukkan masih kurang perhatian pemerintah pada bidang pendidikan. Kondisi tersebut menyebabkan masih besarnya angka drop-out yang dianggap biasa-
merdeka bersekolah
biasa saja. Belum lagi kurangnya fasilitas sekolah negeri, hal tesebut berbanding lurus dengan rendahnya kualitas guru dan rendahnya kesejahteraan guru adalah imbas dari perhatian yang minim oleh pemerintah. Jadi sangat jelas, beberapa faktor tersebut telah menjadi bagian penghambat semangat murid belajar. Jadi wajar lagu Oemar Bakrie-nya Iwan Fals yang mengalun saat menulis bagian dari buku ini, dan sejatinya menjadi cambuk buat pengambil keputusan di kabupaten ini. Semangat belajar memang dapat di'pancing' dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan tersedianya media belajar yang tepat dan menarik. Walau guru diharapkan dapat kreatif menyediakan fasilitas dan media pembelajaran secara mandiri, namun mpemerintah tetap tidak bisa melepas tangan untuk menyediakan sarana dan prasaran pendidikan tersebut secara merata di sekolah-sekolah. Bila kita merujuk kepada konsep keberbakatan yang menggunakan perspektif yang lebih inklusif dan bersifat majemuk serta karakteritik umum yang dapat diidentifikasi maka kebutuhan belajar murid berbakat secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu kebutuhan dalam mengembangankan kemampuan intelektual dan kreatifitas; dan kebutuhan dalam mengembangkan aspek sosial-emosional dan motivasi. Nah anehnya, persepakbolaan negeri ini yang semakin tak jelas arahnya diberi perhatian serius. Sehingga di tipi pengamat pendidikan yang melihat arah pekembangan persepakbolaan itu telah melihat semakin kental oleh kepentingan pribadi. “Dari pada mensubsidi ajang sepak bola, kenapa tidak membangun perpustakaan dan internet keliling atau fasilitas lain yang berkaitan dengan pendidikan.” Ironis memang. Nah, ketika suasana belajar yang mendukung tersebut telah tercipta pastilah anak akan belajar dengan semangat. Dan semua hasil keberhasilan
merdeka bersekolah
pendidikan selalu kembali pada pemerintah, ke penguasa di atas rakyat yang dipimpinnya. Dan sudah bisa kita pastikan jika masyarakat pintar secara intelegensi dan emosi maka pembangunan akan dapat dilakukan dengan baik. Sebaliknya, jika masyarakat bodoh –banyak tak memahami yang seharusnya dipahami- karena tidak mendapatkan pendidikan yang cukup, maka kita akan menjadi masyarakat yang gampang ditipu termasuk juga oleh pemimpin kita sendiri. Artinya, hanya satu kata untuk sebuah harga diri : Belajar. Belajar dan belajar lagi. Belajar yang beriringan dengan upaya memurnikan rasionalitas belajar itu sendiri. Dan sudah sepantasnya saya bersama istri terus belajar, dan tentu buat bangsa ini jika ada kemauan dan kemampuan untuk menuntut ilmu dengan baik pastilah ada perbaikan generasi berikutnya menjadi lebih baik. Semoga.
merdeka bersekolah
Rasionalitas Pendidikan
Adit (12), kelas 5 SDN 3 Kelayu Selatan, memang tidak bernasib sama seperti pelajar di kota besar, Jakarta, harus berangkat tiga puluh menit lebih awal dari biasanya. Tapi Dia harus tetap sibuk belajar selepas pulang sekolah, pelajaran di Diniyyah-nya telah menunggu, Dia pun belajar sejak jam dua siang hingga menjelang Magrib. Rutinitas seperti itu harus dilakoni sepekan penuh. Lelah tak terelakkan lagi. Pekerjaan Rumah (PR) dari guru matematikanya malam itu tak kunjung dikerjakan. Matanya selalu terpejam lebih cepat. Adit terpaksa harus mengistirahatkan tubuhnya yang semakin lunglai selepas sholat Magrib. Itu contoh pelajar kebanyakan di sini, laksana buruh, pelajar telah berada pada pemaksaan rasionalitas oleh sistem pendidikan yang pakem, pendidikan yang diselenggarakan oleh kekuatan politik dibelakangnya. Ini menjadi bagian, seperti ungkapan Louis Althusser, aparatus negara ideologi.
merdeka bersekolah
MEREKA, para guru dan murid, harus mengejar segala target kurikulum yang harus diselesaikan tepat pada waktunya. Layaknya buruh, tugas pelajar adalah belajar secara mekanis. Belajar dengan segala tekanan rasionalitas kekuatan politik dibelakangnya. Karena tidak belajar bererti kecil kemungkinan untuk mereka lulus, tidak lulus bererti tidak berhak memegang ijazah untuk dapat melanjutkan studi yang lebih tinggi, bahkan untuk bekerja, pada tataran praktis. Mereka berada pada titik nadir keterpaksaan untuk sebuah harapan. Harapan atas nama modernitas. Itu sebabnya, Herbert Marcuse menganggap bahwa rasionalitas masyarakat modern merupakan biang keladi segala bentuk penindasan dan perbudakan manusia atas manusia, eksploitasi manusia atas manusia. Bagi Marcuse, rasionalitas tersebut bagi masyarakat industri telah menjadi ideologi dan hanya akan melestarikan sistem yang dimapankan. Rasionalitas sebagai kemampuan kognitif untuk memilih antara yang benar dan yang salah sepanjang kebenaran dan kesalahan itu merupakan suatu keadaan dari Yang Ada (Being) dan Kenyataan (Reality), dan rasionalitas tersebut digeser pemaknaan dan artinya sehingga pada masa modern rasio telah terjebak
merdeka bersekolah
semata-mata sebagai sarana dalam mencapai suatu tujuan praktis, pragmatis, dan sesaat. Rasionalitas pendidikan pun terjebak pada sifatnya yang instrumentalistik, rasio yang semula kritis terhadap mitos dan segala otonomi kekuasaan, akhirnya telah mengabdi pada kekuasaan. Itulah yang terjadi pada proses pembelajaran melalui rutinitas belajar atas nama kurikulum. Ini terlihat kasat mata dengan penerapan yang seumur jagung. Beragam kurikulum pendidikan berubah seiring dengan berubahnya masa kekuasaan yang menghegemoni arah pendidikan anak negeri. Terakhir dengan berlakunya kurikulum dengan satuan pendidikan setelah kurang dari satu semester kurikulum berbasis kompetensi dijalankan. Pemaksaan di luar batas sewajarnya, melihat mereka tidak sebagai subyek pembelajar, tapi sebagai obyek pendidikan. Nalar kritis atas daya si pembelajar pun diabai. Karenanya, Marcuse menganalisis masyarakat industri maju mencurigai rasionalitas sebagai biang keladi bentuk alienasi, penindasan, dan ketidakkritisan. Rasionalisasi pendidikan sebagai sistem yang konservatif hanyalah kedok ideologis dari kekuasaan tertentu atas nama rasionalitas.
merdeka bersekolah
Untuk itu, menurut Marcuse, perlu gerakan The Great Refusal atau penolakan secara besar-besaran terhadap sistem yang menindas. Keberanian mengatakan ‘Tidak’ harus terus dihidupkan. Utamanya terhadap sistem pendidikan yang hanya bersifat ritual, pemaksaan berlebih dan tidak memanusiakan manusia. Bila tak secara sistematis terlaksana dalam kekuatan birokrasi dan politik, teriakan Adit tak terdengar oleh guru-guru yang ‘menulikan’ dirinya sendiri, maka sejatinya guru-guru berjiwa membebaskan harus memulainya dari kelas mereka bila secara sistematis tak dapat diperjuangkan. Hmmm...
merdeka bersekolah
Reot Sekolah Rakyat Pinggiran
Pagi hanya ditemani kicau kecial kuning yang berlompat-lompatan di rantingranting pohon sepanjang menuju sekolah. Burung yang tampak berkacamata it uterus mengiri langkah-langkah kecil anak sekolah di desa Jurang Koak, Lombok Timur. Hanya menjinjing buku tulis lusuh mereka terlihat bahagia. Tapi, sejak hari pertama mengajar di sini, aku tahu banyak dari mereka tak siap belajar di kelas. Tak menyiapkan diri dengan perut terisi penuh dengan makanan bergizi lagi sehat untuk mereka yang bertubuh kecil. Tak ada nasi yang dipakai sarapan sebelum berangkat sekolah, kata seorang murid kepadaku suatu waktu. Keadaan itu kadang menjadi penyemangat buat mereka. Walau kantong mereka tak berisi uang lebih dari seribu rupiah. Tapi keadaan itu harus mampu memacu murid kelas lima lebih
merdeka bersekolah GIAT belajar. Adalah keadaan serba kecukupan dan sesekali harus merasa kekurangan harus murid saya rasakan setiap hari. MELIHAT keadaan murid di kelas lima mengingatkanku waktu kecil dulu. Syukur-syukur dikasih uang belanja seratus rupiah. Karena dengan uang segitu cukup bisa mengenyangkan perut lapar di siang hari. ”Uwah Pe nyampah ke?” tanyaku kepada mereka setelah semenit berlalu menyambut pagi dengan doa bersama di dalam kelas. Walau saya tahu jawabannya, tapi ini harus saya tanyakan sebagai bentuk empati pada murid, “Belum,” jawab mereka serempak. Lain mereka, lain pula kisah tuan tanah di Lombok Timur ini. Seorang anak yang pernah menamatkan sekolahnya di Sholatiyah Makkah pada tahun seribu sembilan ratus tiga puluh tiga. Anak tuan tanah yang mampu sekolah ditempat bergengsi dengan biaya hidup melebihi kebutuhannya. Ia dikirimi biaya hidup tiga ratus lima puluh hingga empat ratus lima puluh ringgit. Bayangkan, pada waktu itu saja sapi jantan yang besar tidak lebih dari dua ringgit. Dan bila sekarang harga dua ringgit sapi tersebut setara dengan lima juta, berarti per tahunnya ia dikirimi uang lebih dari cukup, lebih dari kebutuhan sehari-harinya. Itu anak tuan tanah. Bagaimana dengan rakyat jelata – muridku di kelas lima – hanya sebagai anak buruh tani? Perbandingan ini kutulis bukan untuk menolak takdir dan berteriak menyumpahi hidup. Ini hanya sebuah perbandingan si kaya dan si miskin yang tak banyak dilihat oleh pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Apalagi ini di dunia pendidikan. Pasti mereka tak mampu menikmati fasilitas mewah. Kalau miskin, jangan harap bisa sekolah di sekolah favorit dengan fasilitas mewah. Ya harap sabar, cuman bisa belajar di sekolah dengan bangku yang reot, hardik temannya yang juga tetangganya yang ayahnya menjadi tuan tanah di kampungnya.
merdeka bersekolah Itulah gambaran dan sedikit realita sekolah di Lombok Timur. Tentang keadaan anak bangsa yang ingin tetap bersekolah, keadaan mereka yang memang tak bisa dinafikkan. Begitulah fasilitas untuk rakyat miskin. Lalu berhasilkah Gerakan Peningkatan IPM yang diterbitkan Bupati Lombok Timur M. Sukiman Azmy beberapa waktu yang lalu di pendoponya? Gerakan Peningkatan IPM dengan mewujudkan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat : mempercepat pengentasan buta aksara, mempercepat peningkatan rata-rata lama sekolah, penurunan angka sekolah. Pertanyaan tersebut membutuhkan nalar panjang dan kejujuran untuk menjawabnya. Karena realisasi anggaran operasional sekolah dengan sasaran murid-muridlah kuncinya. Namun, seperti di sekolah saya, itupun tak banyak membantu perubahan pendidikan. Bukan rahasia lagi, kehidupan masyarakat kabupaten Lombok Timur masih jauh dari sejahtera dan masih tertinggal dari daerah – daerah lain di Nusa Tenggara Barat, hal ini terlihat dari IPM Kabupaten Lombok Timur tahun lalu berada pada peringkat ke 7 dari 9 kabupaten/Kota se-NTB belum termasuk Kabupaten Lombok Utara. Pantas saja Ivan Illich menyatakan, “Sekolah itu lebih berbahaya daripada nuklir! Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah!” Lalu mana katanya program-program pro rakyat. Ayolah penguasa, pejabat yang berwenang. Buatlah rakyat Anda mudah bersekolah. Hari ini hidup semakin sulit. Sekolah tak semurah dulu. Apa tidak cukup buat membuktikan selalu ada anak putus sekolah tiap tahun? “Siang masih terlalu terik. Malam masih terlalu lama untuk dinanti, mimpi tak mungkin akan hadir di siang ini, “aku bergumam sendiri.