BEBERAPA FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH PUSKESMAS BANDARHARJO SEMARANG TAHUN 2013
SKRIPSI Disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Epidemiologi
DEVIANA MAHARANI D11.2009. 00962
PROGRAM STUDI SI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG 2013
SOME RISK FACTORS RELATED TO THE INCIDENT LEPTOSPIROSIS IN THE REGION HEALTH CENTER BANDARHARJO SEMARARANG YEAR 2013 Deviana Maharani*), dr. Zaenal Sugiyanto, M. Kes **), dr. Lily Kresnowati, M.Kes**) *) Alumni Health Faculty University Dian Nuswantoro **) The Teaching Staff of the University Health Faculty Dian Nuswantoro Jl. Nakula I No 5 – 11 Semarang E-mail :
[email protected] ABSTRACT Background: Leptospirosis is an infectious disease in humans and animals caused by spirochaete bacterium called Leptospira spp. Leptospira can be found on pets such as dogs, cows, pigs, buffalos, and wild animals such as rats, raccoons, squirrels, etc. Humans become infected through contact with water or soil that contaminated by urine or other body fluids of infected animals. Leptospira enter through skin wounds or mucous membranes. In 2011, the death rate or Case Fatality Rate (CFR) in Indonesia was 9.57%. This study aims to determine factors related to leptospirosis incidents in the working area of Bandarharjo Public Health Center Semarang. Method: This research used survey method and case-control approach. Total sample were 30 respondents, divided into 15 cases and 15 controls in Bandarharjo Bandarharjo Public Health Center Semarang 2011-2013 in the period. Observation guidance and questionnaire were used for collecting data. Chi Square test was used for data analysis. Result: Results showed 43% respondents had risky occupations, 60% had trash bins in poor condition, 63.3% had sewer in poor condition. Respondents who did not use personal protective equipment/PPE (boots and gloves) are 70%. Rats were found in 46.7% of respondents houses. Statistical test results showed that there was no relationship between the type respondent occupation and leptospirosis incidence (p-value=0.713 and OR=1.3), there was relationship between condition of trash can and leptospirosis incidence (p-value=0.003 and OR=13), there was relationship between the condition of the sewer and leptospirosis incidence (p-value=0.008 and OR=9.75), there was relationship between PPE using (boots, gloves) and leptospirosis incidence (p-value=0.02 and OR=7.429) and there was relationship between presence of rats and leptospirosis incidence (p-value=0.028 and OR = 5.5). Conclusion: Recommendations for leptospirosis prevention: cover trash can, keep the house and environment clean, do not litter. Sewer have to be cleaned regularly in order to make it flow well and prevent overflow, use PPE when contact with dirty water, and eradicate rats by physical, chemical, or biological way (mouse trap, rat glue, cats to eradicate rats) Key Words : Leptospirosis, conditions trash, conditions gutter, personal equipment, the presence of rate Reference : 22 pieces, 2002 – 2012
protective
BEBERAPA FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH PUSKESMAS BANDARHARJO SEMARANG TAHUN 2013 Deviana Maharani*), dr. Zaenal Sugiyanto, M. Kes **), dr. Lily Kresnowati, M.Kes**) *) Alumni Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro **) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Jl. Nakula I No 5 – 11 Semarang E-mail :
[email protected] Latar belakang: Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang disebabkan oleh bakteri leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, sapi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, dan sebagainya. Manusia terinfeksi bakteri leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. Leptospira masuk lewat kulit yang luka atau membran mukosa. Pada tahun 2011 angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) di Indonesia mencapai 9,57%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di wilayah Puskesmas Bandarharjo Semarang. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan metode survey dan pendekatan case control. Jumlah sampel 30 responden dengan 15 sebagai kasus dan 15 sebagai kontrol di wilayah Puskesmas Bandarharjo Semarang periode 2012-2013. Instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi dan pertanyaan. Metode pengolahan data menggunakan uji Chi Square. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan jenis pekerjaan responden berisiko (43%), kondisi tempat sampah responden buruk (60%), kondisi selokan responden buruk (63,3%), tidak memakai APD (sepatu boot, sarung tangan) (70%), adanya keberadaan tikus (46,7%). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian leptospirosis (p = 0,713 dan OR= 1,3), ada hubungan antara kondisi tempat sampah dengan kejadian leptospirosis (p = 0,003 dan OR= 13), ada hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis (p = 0,008 dan OR= 9,75), ada hubungan antara pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dengan kejadian leptospirosis (p = 0,02 dan OR = 7,429) dan ada hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis (p = 0,028 dan OR = 5,5). Saran: Saran kepada masyarakat agar menutup tempat sampah, menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sampah jangan sampai dibiarkan berserakan, membersihkan selokan rutin sehingga air selokan tidak menggenang mengalir lancar dan tidak meluap, menggunakan APD pada saat kontak dengan air kotor atau air yang berisiko pada saat bekerja ataupun pada saat kegiatan bersih - bersih ,dan memberantas tikus dengan cara fisika, kimia dan biologi (memasang jebakan tikus, lem tikus, memelihara kucing untuk membasmi tikus). Kata Kunci Kepustakaan
: Leptospirosis, kondisi tempat sampah, kondisi selokan, APD, keberadaan tikus : 36, 1982 – 2012
PENDAHULUAN Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang disebabkan oleh bakteri leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif. Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia.1 Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's Disease". Pada tahun 1915,
Inada
berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh
bakteri Leptospiraicterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan.2 Sistem
klasifikasi
L.Interrogans
(patogen)
menurut patogenitas, dan L.biflexa
(non
bakteri patogen).
Leptospira
terbagi dua
Spesies Leptospira
yaitu
interrogans
sendiri terdiri dari 25 serogroups dan lebih dari 200 serotypes (serovar). Yang paling sering menimbulkan
penyakit
berat
dan fatal
adalah
serotype
Leptospira
icterohemorrhagiae. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh hewan-hewan ini
leptospira hidup di ginjal dan air kemih. Manusia terinfeksi bakteri
leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri leptospira.2,3 Di Indonesia pada tahun 2009 ditemukan 335 kasus leptospirosis dengan jumlah kematian 23 orang (CFR: 6,87%), tahun 2010 terdapat 398 kasus dengan jumlah kematian 43 orang (CFR: 10,8%) dan pada tahun 2011 terjadi peningkatan kasus yang sangat tinggi yaitu sebanyak 857 kasus dengan jumlah kematian 82 orang (CFR: 9,57%). 4 Di Jawa Tengah berdasarkan laporan dari Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, leptospirosis terutama terjadi di enam daerah, yakni Kota Semarang, Kabupaten Demak, Klaten, Purworejo, Pati, dan Kabupaten Semarang. Jumlah kasus leptospirosis sejak 2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 terdapat 230 kasus dengan 15 orang meninggal (CFR: 6,5%), tahun 2009 ditemukan 269 kasus dengan 14 orang meninggal (CFR: 5,2%), tahun 2010 terdapat 133 kasus dengan 14 orang meninggal (CFR: 10,5%) dan pada tahun 2011 ditemukan 181 kasus dengan 33 orang meninggal (CFR: 17,9%). Kasus Leptospirosis di kota Semarang pada tahun 2009 terdapat 235 kasus dengan 9 orang meninggal (CFR: 4%), tahun 2010 terdapat 71 kasus dengan 6 orang meninggal (CFR: 8%) dan pada tahun 2011 terdapat 70 kasus dengan jumlah
kematian 25 orang (CFR:
35,7%).
Berdasarkan hasil berbagai penelitian jumlah kasus
leptospirosis di Jawa Tengah semakin meningkat terutama di wilayah Kabupaten Demak dan Kota Semarang.4 Berdasarkan rekapitulasi data kasus leptospirosis
Dinas Kesehatan Kota
Semarang pada bulan September 2012 terdapat 71 kasus dengan CFR 19,72%. Kasus tertinggi ada di Kecamatan Tembalang dan Semarang Utara. Di wilayah Semarang Utara khususnya wilayah Puskesmas Bandarharjo mempunyai kasus leptospirosis tinggi dibanding wilayah Puskesmas yang lain. Pada tahun 2012 terdapat kasus leptospirosis sebanyak 11 kasus dan pada tahun 2013 ada 4 kasus. Dari uraian dan fakta fakta di atas pada latar belakang, maka akan dilakukan studi penelitian tentang beberapa faktor yang berhubungan denga kejadian leptospirosis di wilayah Puskesmas Bandarharjo Semarang. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, sedangkan metode penelitian adalah survei yakni peneliti melakukan pengambilan sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai pengumpulan data. Pendekatan dalam penelitian ini adalah case control. Jumlah sampel yaitu 30 responden dengan 15 sebagai kasus dan 15 sebagai kontrol. Metode yang digunakan untuk analisis data menggunakan uji Chi Square.
HASIL PENELITIAN A. Karakteristik responden 1. Jenis Kelamin Tabel 1 Distribusi frekuensi jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin
Kasus Kasus F % F % Laki – laki 9 60 6 60 Perempuan 6 40 9 40 Jumlah 15 100 15 100 Dari tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden
adalah berjenis kelamin laki-laki pada kelompok kasus dan kontrol 60% dan untuk jenis kelamin perempuan sebesar 40% untuk kelompok kasus maupun kontrol
2. Umur Responden Tabel 2 Disribusi Frekuensi Responden Menurut Umur Jenis Kelamin Kasus Kontrol F % F % Di bawah 15 tahun 1 6,6 1 6,6 8 53,4 9 60,0 15 - 50 tahun Diatas 50 tahun 6 40,0 5 33,4 Jumlah 15 100,0 15 100,0 Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden dengan ratarata berumur 15 sampai 25 tahun, yaitu kelompok kasus sebesar 53,4% dan untuk kelompok kontrol sebesar 60,0%. 3. Pendidikan Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden Jenis Kelamin Kasus Kontrol F % F % Tidak Sekolah 2 13,4 2 13,4 4 26,6 3 20,0 SD SMP 7 46,6 5 33,3 SMA 2 13,4 5 33,3
Total
15
100,0
15
100,0
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok kasus sebagian besar pendidikan terakhir adalah SMP
(46,6%) dan untuk kelompok kontrol sebagian
besar adalah SMP dan SMA, yaitu masing – masing 33,3%. B. Kejadian Leptospirosis Tabel 4 Kejadian Leptospirosis Kategori Responden Kasus Kontrol Total
F 15 15 30
% 50,0 50,0 100,0
Dalam penelitian ini diambil sampel dari kempok kasus sebanyak 15 penderita leptospirosis, sedangkan untuk kelompok kontrol adalah 15 responden yang merupakan tetangga penderita leptospirosis. responden.
Total keseluruhan responden kasus-kontrol adalah 30
C. Jenis Pekerjaan Tabel 5 Frekuensi Jenis Pekerjaan Responden Jenis Pekerjaan Berisiko Tidak berisiko Total
F
%
13 17 30
43,3 56,7 100,0
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa untuk jenis pekerjaan, kategori berisiko sebesar 43,3 % . Pekerjaan yang berisiko yang dimiliki oleh para responden bermacammacam yaitu diantaranya penjual ketela di pasar, servis pompa air, tukang sampah, tukang kebersihan. D. Kondisi Tempat Sampah Tabel 6 Frekuensi Kondisi Tempat Sampah Responden F
Kondisi Tempat Sampah Buruk Baik Total Dari tabel di
%
18 12 30
atas menunjukkan bahwa
60,0 40,0 100,0 persentase kejadian leptospirosis untuk
kondisi tempat sampah kategori buruk (60%) lebih besar daripada kategori baik (40%). E. Kondisi Selokan Tabel 7 Frekuensi Kondisi Selokan di Sekitar Rumah Responden Kondisi Selokan Buruk Baik Total Dari tabel di
F
%
19 11 30
63,3 36,7 100
atas menunjukkan bahwa persentase kejadian leptospirosis untuk
kondisi selokan kategori buruk (63,3%) lebih besar daripada kategori baik (36,7%). F. Pemakaian APD Tabel 8 Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri Pemakaian APD Tidak memakai Memakai
F
%
21 9
70,0 30,0
30
Total
100,0
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa
persentase kejadian leptospirosis untuk
kebiasaan pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) kategori tidak memakai (70%) lebih besar daripada kategori memakai (30%). G. Keberadaan Tikus Tabel 9 Frekuensi Keberadaan Tikus di Sekitar Rumah Responden Keberadaan Tikus Ada Tidak ada Total
F
%
14 16 30
46,7 53,3 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa persentase kejadian leptospirosis untuk keberadaan tikus di sekitar rumah dengan kategori ada (terdapat tikus di dalam dan sekitar rumah) (46,7%) lebih kecil daripada kategori tidak ada (tidak terdapat tikus di dalam dan sekitar rumah) (53,3%). H. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Leptospirosis Tabel 10 Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Leptospirosis
Kategori Jenis Pekerjaan F 7 8
Berisiko Tidak Berisiko
Kejadian Leptospirosis Kasus Kontrol % F % 46,6 6 40,0 53,4 9 60,0
Jumlah 15 100,0 15 100,0 Dari tabel persentase jenis pekerjaan berisiko kelompok kasus (46,6%) lebih besar dari pada kelompok kontrol (40%). I.
Hubungan Antara Kondisi Tempat Sampah dengan Kejadian Leptospirosis Tabel 4.15 Hubungan Antara Kondisi Tempat Sampah dengan Kejadian Leptospirosis Kategori Kondisi Tempat Sampah
Kejadian Leptospirosis Kasus Kontrol % F % 86,6 5 33,4
Buruk
F 13
Baik
2
13,4
10
66,6
Jumlah
15
100,0
15
100,0
Dari tabel menunjukkan proporsi responden dengan kondisi tempat sampah yang buruk pada kelompok kasus (86,6%) lebih besar daripada kelompok kontrol (33,4%). J. Hubungan Antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis Tabel 4.16 Hubungan Antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis Kategori Kondisi Selokan
Kejadian Leptospirosis Kasus Kontrol F % F % 13 86,6 6 40,0 2 13,4 9 60,0
Buruk Baik
Jumlah 15 100,0 15 100,0 Dari tabel menunjukkan proporsi responden dengan kondisi selokan yang buruk pada kelompok kasus (86,6%) lebih besar dari pada kelompok kontrol (40,0%). K. Hubungan Antara Pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dengan kejadian Leptospirosis Tabel 4.17 Hubungan Antara Pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dengan Kejadian Leptospirosis
Pemakaian APD F 13 2
Tidak memakai Memakai
Kejadian Leptospirosis Kasus Kontrol % F % 86,6 7 46,6 13,4 8 53,4
Jumlah 15 100,0 15 100,0 Dari tabel menunjukkan proporsi responden dengan pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dengan kategori tidak memakai pada kelompok kasus (86,6%) lebih besar daripada kelompok kontrol (46,6%). L. Hubunagan Antara Keberadaan Tikus di Dalam Rumah dan di Sekitar Rumah dengan Kejadian Leptospirosis Tabel 4.18 Hubungan Antara Keberadaan Tikus di dalam dan di Sekitar Rumah dengan Kejadian Leptospirosis
Keberadaan Tikus Ada Tidak ada
F 10 5
Jumlah
15
Kejadian Leptospirosis Kasus Kontrol % F % 66,6 4 26,6 33,4 11 73,4 100,0
15
100,0
Dari menunjukkan proporsi responden dengan keberadaan tikus dengan kategori ada pada kelompok kasus (66,6%) lebih besar daripada kelompok kontrol (26,6%).
M. Rekapitulasi Hasil Analisis Statistik Tabel 10 Ringkasan Uji antara Variabel Bebas dan Variabel Terikat Nilai p
Variabel Bebas
Variabel Terikat
OR
95%Cl
Kesimpulan
Jenis
Kejadian
1,31
0,309-5,583
Pekerjaan
Leptospirosis
Kondisi Tempat
Kejadian
Sampah
Leptospirosis
Kondisi Selokan
Kejadian Leptospirosis
9,75
1,592-59,695
0,008 Ada hubungan
Pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan Keberadaan Tikus
Kejadian Leptospirosis Kejadian Leptospirosis
7,429
1,226-45,005
5,5 5,5
1,145-26,412 1,145-26,412
0,02 Ada hubungan 0,028 Ada 0,028 hubungan
0,713 Tidak ada hubungan
13
2,074-81,479
0,003 Ada hubungan
PEMBAHASAN A. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Leptospirosis Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara lain yaitu petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja pembersih selokan, buruh tambang, tentara dan pekerjaaan yang selalu kontak dengan binatang.5 Karena beberapa pekerjaan tersebut kontak langsung dengan air kotor, tempat kotor, sampah, dan binatang yang apabila tidak menggunakan APD dan misalnya terdapat luka, kemungkinan bakteri leptospira dapat masuk melalui luka dan manusia dapat terkena leptospirosis. Pekerjaan dikategorikan pekerjaan yang berisiko terkena leptospirosis dan pekerjaan yang tidak berisiko. Dari uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian leptospirosis (ρ value = 0,173 lebih dari 0,05. Hal ini disebabkan hampir 50% dari prosentase
pada kasus dan kontrol yang merupakan pekerjaan berisiko
terkena leptospirosis seperti tukang sampah, servis pompa air, dll. B. Hubungan Antara Kondisi Tempat Sampah dengan Kejadian Leptospirosis Hasil uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan antara kondisi tempat sampah dengan kejadian leptospirosis (ρ value = 0,003). Kondisi tempat sampah yang buruk mempunyai
risiko 13 kali lebih besar untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan dengan kondisi selokan yang baik. Hal ini dikarenakan tempat sampah responden buruk yaitu adanya tempat sampah di dalam rumah, tempat sampah dalam keadaan terbuka dan sampah berserakan yang mengundang tikus untuk mendatanginya dan mencari sisa – sisa makanan. Dari hal tersebut kemungkinan tikus bisa membuang tinja atau urinnya di tempat sampah dan sekitar tempat sampah yang dapat menyebabkan penyebaran bibit penyakit. Ketika manusia terdapat luka di anggota tubuhnya dan tanpa sengaja kontak langsung dengan tinja atau urin tersebut maka bakteri leptospira yang dibawa tikus akan bisa masuk ke tubuh manusia tersebut. Kondisi tempat sampah yang baik adalah yang tertutup dan sampah tidak berserakan yang bisa mengundang tikus untuk mendatanginya. Tempat sampah yang tidak tertutup rapat dapat mengundang vektor
(lalat) dan binatang yang dapat menyebarkan
bibit
penyakit, salah satunya adalah tikus. Tikus merupakan hewan yang menularkan penyakit leptospirosis. Keberadaan sampah di dalam rumah sangat disenangi oleh tikus. Keberadaan sampah terutama sisa-sisa makanan yang diletakkan di tempat sampah yang tidak tertutup rapat akan mengundang kehadiran tikus.6 C. Hubungan Antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leotospirosis Hasil uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis (ρ value = 0,009). Kondisi selokan yang buruk mempunyai risiko 9,7 kali lebih besar untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan dengan kondisi selokan yang baik. Selokan merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus ataupun merupakan jalur tikus masuk ke dalam rumah. Hal ini dikarenakan kondisi buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan parit/selokan di lingkungan rumah. Proses penularan leptospirosis melalui jalur selokan, intinya adalah pada saat air selokan yang diduga telah terkontaminasi urin tikus atau hewan piraan lain yang terinfeksi bakteri leptospira meluap ke lingkungan sekitar rumah dan terjadi kontak dengan manusia yang ada di sekitarnya. Dari hasil observasi di lapangan, sebagian besar kondisi selokan responden dalam keadaan menggenang dan meluap (pada kasus). D. Hubungan Antara Pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dengan Kejadian Leptospirosis. Hasil uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan antara pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dengan kejadian leptospirosis (ρ value = 0,022). Kebiasaan responden tidak
memakai APD (sepatu boot, sarung tangan) mempunyai risiko 7,4 kali untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan responden yang memakai APD (sepatu boot, sarung tangan). Penggunaan alat pelindung saat melakukan pekerjaan atau aktivitas yang berisiko terkena bakteri leptospira sangat penting. Karena bakteri leptospira dapat masuk dalam tubuh manusia melalui luka atau pori- pori kaki yang terendam.6 Misalnya pada saat melakukan kerja bakti, karena saat
kerja bakti kemungkinan terpapar bakteri leptospira
sangat besar. Alat pelindung diri yang digunakan saat kerja bakti yaitu berupa sepatu bot dan sarung tangan. Terdapat responden yang sebelum sakit pernah melakukan aktivitas membersihkan kebun
dan menginjak genangan air di sekitar rumahnya. Responden
tersebut hanya menggunakan sandal. E. Hubungan Antara Keberadaan Tikus di Dalam Rumah dan di Sekitar Rumah dengan Kejadian Leptospirosis. Hasil uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan antara keberadaan tikus di dalam dan di sekitar rumah dengan kejadian leptospirosis
(ρ value = 0,028). Keberadaan tikus
mempunyai risiko 5,5 kali untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak adanya keberadaaan tikus di dalam dan di sekitar rumah responden. SIMPULAN 1. Sebagian kecil jenis pekerjaan responden dikategorikan berisiko yaitu 43%. 2. Sebagian besar kondisi tempat sampah responden dikategorikan buruk yaitu 60%. 3. Sebagian besar kondisi selokan responden dikategorikan buruk yaitu 63,3%. 4. Sebagian besar pemakaian APD (sepatu boot, sarung tangan) dikategorikan tidak memakai yaitu 70%. 5. Sebagian kecil keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah dikategorikan ada sebesar 46,7%. 6. Tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian leptospirosis dengan nilai p = 0,713 7. Ada hubungan antara kondisi tempat sampah dengan kejadian leptospirosis dengan nilai p = 0,003 dan kondisi tempat sampah yang buruk 13 kali lebih besar untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan dengan kondisi tempat sampah yang baik, OR = 13 ; 95%Cl = 2,074-81,479. 8. Ada hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptopsirosis denan nilai p = 0,008 dan kondisi selokan yang buruk mempunyai resiko 9,75 kali lebih besar untuk menyebabkan
terjadinya leptospirosis dibandingkan dengan kondisi selokan yang baik, OR = 9,75 ; 95%Cl = 1,592-59,695. 9. Ada hubungan antara pemakaian APD ( sepatu boot, sarung tangan) dengan kejadian leptospirosis dengan nilai p = 0,02 dan kebiasaan responden tidak memakai APD (sepatu boot, sarung tangan) mempunyai risiko 7,429 kali untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan responden yang memakai APD (sepatu boot, sarung tangan)OR = 7,429 ; 95%Cl = 1,226-45,005. 10.
Ada hubungan antara keberadaan tikus di dalam dan di sekitar rumah dengan kejadian
leptospirosis dengan nilai p = 0,028 dan keberadaan tikus mempunyai risiko 5,5 kali untuk menyebabkan terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak adanya keberadaaan tikus di dalam dan di sekitar rumah responden, OR = 5,5 ; 95%Cl = 1,145-26,412 SARAN 1. Bagi masyarakat a. Menutup tempat sampah agar tidak bisa dijangkau oleh tikus. b. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sampah – sampah jangan sampai dibiarkan berserakan. c. Membersihkan selokan dengan rutin sehingga air selokan tidak menggenang dan bisa mengalir lancar serta meluap. d. Menggunakan APD saat kontak dengan air kotor atau air yang berisiko pada saat bekerja ataupun pada saat kegiatan bersih – bersih. e. Memberantas tikus dengan cara fisika, kimia, biologi (memasang jebakan tikus, lem tikus dan memelihara kucing untuk memberantas tikus agar tikus tidak semakin berkembang biak. 2. Bagi Puskesmas a. Melakukan penegendalian faktor yang berisiko
terhadap leptospirosis dengan
bekerjasama dengan dinas kesehatan terkait B2P2VRP Salatiga. b. Mengingatkan
masyarakat
mengenai
bahaya
leptospirosis
dengan
memberikan
penyuluhan. 3. Bagi Dinas Kesehatan a. Lebih aktif melakukan pengendalian terhadap semua penyakit terutama penyakit leptospirosis di daerah yang rawan. 4. Bagi peneliti lain
Disarankan agar melakukan penelitian lanjutan tentang faktor lain yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA 1. P.E.C Manson-Bahr, Manson’s Tropical Disease, Eighteenth Edition , The English Language Book Society and Bailliere Tindall –London 1982, pp : 425-426. 2. Levett. Leptospirosis. Clinical microbiology reviews; 2001. p.296-326. 3. Soedin K, Syukran O.L.A. Leptospirosis. In: Soeparman, Waspaji S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. p.477-482. 4. Kepala Pusat Data dan Informasi. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. 5. Sarkar Urmimala et al., Population-Based Case-Control Invertigation of Risk Factors for Leptospirosis
during an Urban Epidemic,
American Journal Tropical Medicine and
Hygiene, 2002, pp: 605-610. 6. Handoko riwidikdo, S,Kp. Statistik Kesehatan, Mitra Cendekia Press. Yogyakarta. 2008.