Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas
SUNAT PEREMPUAN: CERMIN BANGUNAN SOSIAL SEKSUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA DAN MADURA1 Basilica Dyah Putranti
The objective of the study is to comprehend how the practice of Female Genital Cutting (FGC), or sunat perempuan in local term, reflects a social contruction of sexuality in Indonesia society, and how it relates to sexual and reproductive health. The study was conducted during 2002 in Yogyakarta and Madura, considering that both areas have distinct sociocultural contexts. The study reveals that FGC, as MGC, is socially meant to Islamize member of society. The male religious leaders dominance and rigid interpretations of Islamic holy books may be conducive for male-biased sexual behaviors and harmful procedures of FGC among Madurese. Among Javanese, by contrast, FGC is known as a part of court tradition, to be connected with a puberty rite which articulates symbolic actions. As opened social discourse is more accepted among Javanese, FGC is easily forgotten. Nonetheless, the meaning of FGC as a puberty rite has served as a basis for gender divisions among Javanese todays. Key words: female genital cutting, Islamize, sexuality, gender
Latar Belakang Sebenarnya perdebatan mengenai sunat perempuan sudah dimulai di tingkat internasional sejak tahun 1960-an oleh aktivis dan tenaga medis di Afrika yang menyuarakan konsekuensi kesehatan dari praktik sunat perempuan ini kepada PBB dan WHO. Namun suara tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius dengan menghasilkan suatu peraturan formal. 1
Paper ini ditulis berdasarkan penelitian tentang Sunat Laki-Laki dan Perempuan di Yogyakarta dan Madura yang dilakukan oleh penulis bersama dengan Muhadjir Darwin, Faturochman, Sri Purwatiningsih, dan Issac Tri Oktaviantie. Paper serupa juga tengah dipersiapkan bersama Muhadjir Darwin untuk penerbitan buku Crafting Sexual Pleasure in Southeast Asia: Explorations of Gender Relations and Sexual Health bekerja sama dengan Australian National University dan The Ford Foundation.
Populasi, 16(1), 2005
ISSN: 0853 - 0262 81
Basilica Dyah Putranti Baru dalam dua dekade berikutnya, sunat perempuan mulai sering dibahas dalam berbagai konferensi internasional. Akhirnya, masalah sunat perempuan ini ditegaskan dalam Konferensi Perempuan ke-4 di Beijing tahun 1995 sebagai isu kekerasan terhadap perempuan yang dapat menjadi ancaman bagi kesehatan reproduksi (Althaus, 1997). Di Indonesia, sunat perempuan baru mulai dipersoalkan setelah gencarnya perbincangan mengenai gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi yang disuarakan aktivis kira-kira sejak lima tahun terakhir ini. Sebelumnya hal ini kurang mendapat perhatian karena prevalensinya tidak diketahui secara pasti dan prosedur pelaksanaannya dipandang tidak cukup membahayakan kesehatan. Satu-satunya informasi mengenai sunat perempuan di Indonesia yang cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921. Studi ini mengindikasikan dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah Jawa, beberapa daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin), Sumatra (Lampung, Riau, Padang, Aceh), Pulau Kei di Ambon, Pulau Alor, dan Suku Sasak di Lombok. Dalam studi tersebut juga dilaporkan bahwa sunat perempuan pada umumnya dilakukan secara rahasia dan pada perempuan yang berusia sangat muda, dengan menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris (Feillard & Marcoes, 1998). Di kalangan ilmuwan/wati di Indonesia, perbincangan mengenai sunat itu sendiri sering kali mempersoalkan kapan praktik ini dilakukan di Indonesia; apakah bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-16, atau sudah ada jauh sebelumnya sebagai bagian tradisi masyarakat asli. Dalam perbincangan gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi, persoalan berkembang seputar bagaimana sunat perempuan berfungsi untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam rangka memperkuat sistem masyarakat yang patriarkis. Tulisan ini mencoba mengaitkan kedua persoalan di atas dalam rangka menggambarkan sebuah bangunan sosial seksualitas masyarakat Yogyakarta dan Madura, seperti tercermin melalui fenomena sunat perempuan. Perbedaan karakteristik kedua daerah penelitian Yogyakarta sebagai pusat tradisi Jawa dan Madura sebagai daerah mayoritas Muslim menjadi pertimbangan penting untuk melihat apakah terjadi proses sosial
82
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas historis yang berbeda dan bagaimana hal tersebut melatarbelakangi fenomena sunat perempuan. Bagian pertama tulisan ini mengulas konteks sosial-historis yang melatarbelakangi praktik sunat di daerah penelitian. Bagian kedua mengupas makna ritual sunat perempuan dalam kaitannya dengan sunat laki-laki. Bagian ketiga menjelaskan pola pelaksanaan sunat perempuan di kalangan masyarakat setempat. Bagian keempat menganalisis implikasi sunat perempuan terhadap persoalan gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Pada bagian terakhir, disimpulkan bagaimana bangunan sosial seksualitas yang ada terbentuk melalui fenomena sunat perempuan serta menggarisbawahi implikasi kebijakan persoalan sunat perempuan di daerah penelitian.
Konteks Sosial-Historis Bagi masyarakat Indonesia saat ini, praktik sunat dinilai sebagai peninggalan tradisi kebudayaan masa lampau. Sayangnya, tidak ada pendokumentasian bagaimana praktik ini dilakukan pada masa lampau sehingga asal-usulnya sangat sulit untuk diketahui. Meski demikian, seorang informan di Yogyakarta mengatakan bahwa praktik sunat sudah dilakukan jauh sebelum masjid, gereja, dan kerajaan Jawa itu ada. Ini mengisyaratkan bahwa kemungkinan sunat berasal dari praktik animismedinamisme di kalangan masyarakat setempat. Indikasi mengenai hal ini dapat dicermati dalam cerita mitologi Jawa yang menggambarkan sunat sebagai ritual yang menyimbolkan pembebasan diri dari Betara Kala, dewa pemangsa manusia (Soebalidinata, 1985). Dalam tradisi kerajaankerajaan di Jawa, unsur kepercayaan animisme-dinamisme juga tampak dan sunat dikaitkan dengan ritual inisiasi. Pendokumentasian praktik sunat di Indonesia yang lebih lengkap adalah setelah masuknya Islam ke Indonesia. Mulai periode ini, sunat cenderung diberi konotasi ngeslamke atau mengislamkan. Munculnya konotasi ini berkaitan dengan strategi penyiaran agama Islam yang berpusat di tanah Jawa oleh Walisongo (sembilan wali). Agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat, mereka menggunakan cara memberi kemasan baru pada praktik sunat yang berakar pada kepercayaan asli masyarakat, yaitu animisme-dinamisme. Karena Islam hanya merupakan kemasan, 83
Basilica Dyah Putranti maka sense yang terkandung dalam istilah ngeslamke lebih menunjuk pada makna sosial menjadi bagian dari komunitas Islam semata daripada makna religius yang lebih mendalam menjadi muslim sejati. Latar belakang ini pula yang menyebabkan praktik sunat yang berkembang di Jawa tidak sepenuhnya tercabut dari akar kepercayaan animismedinamisme. Terbukti di kalangan kaum abangan, sunat tetap dilihat sebagai salah satu siklus selamatan, sebuah ritual inti masyarakat Jawa berupa upacara makan bersama, pembakaran kemenyan (unsur animismedinamisme), dan pembacaan doa shalawat (unsur Islam), yang bertujuan untuk menjaga keteraturan dan keselamatan hidup bersama. Perpaduan unsur-unsur kepercayaan yang muncul dalam ritual selamatan ini sekaligus mencerminkan pandangan dunia orang Jawa yang berakar pada kepercayaan mistik Jawa, yaitu sebuah bentuk sinkretisme kepercayaan yang mencakup animisme-dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konotasi ngeslamke pada praktik sunat di Yogyakarta dan Madura tidak bisa dilepaskan dari kerangka budaya Jawa yang bersifat sinkretis ini. Pada saat ini, terdapat perbedaan konteks yang melatarbelakangi praktik sunat di Yogyakarta dan Madura yang disebabkan oleh adanya perkembangan budaya Jawa sinkretis yang berbeda di kedua daerah tersebut. Di satu sisi, praktik sunat di Yogyakarta lebih mengakar pada budaya Jawa sinkretis sebagaimana didukung oleh kerajaan Yogyakarta yang hingga saat ini masih bertahan sebagai penjaga budaya. Di sisi lain, praktik sunat di Madura lebih didominasi oleh nuansa Islam murni, yaitu Islam yang berkiblat pada tradisi Arab. Hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya Jawa sinkretis yang dibawa oleh kebudayaan Mataram yang berpusat di Jawa pada masa lampau hanya bisa mencapai kalangan bangsawan Madura di pedalaman. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat Madura secara umum lebih didominasi pengaruh unsur kepercayaan Islam murni yang dibawa oleh pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat melalui daerah pesisir (Abdulrachman, 1988). Perbedaan konteks yang melatarbelakangi praktik sunat di Yogyakarta dan Madura di atas secara khusus juga ikut mempengaruhi kecenderungan praktik sunat perempuan. Di kalangan masyarakat Yogyakarta, sunat
84
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas perempuan cenderung mengakar pada budaya Jawa sinkretis seperti tercermin melalui istilah lokal tetesan yang dikenal sebagai salah satu dari serangkaian ritual inisiasi di lingkungan kerajaan Yogyakarta. Sementara itu, rangkaian ritual inisiasi lainnya meliputi upacara kelahiran (brokohan), pemberian nama (selapanan), pertama kali menginjak tanah (tedhak siten), menjelang akil balik (tetesan untuk perempuan, supitan/ tetakan untuk laki-laki), haid pertama (tarapan untuk perempuan), perkawinan, dan kematian. Selain dipraktikkan di lingkungan kerajaan, rangkaian upacara adat ini juga dipraktikkan di daerah perdesaan dengan pelaksanaan yang lebih sederhana disertai dengan ritual selamatan. Bagi sebagian masyarakat Yogyakarta pemeluk agama Islam, sunat perempuan lebih dilihat sebagai bentuk ibadah agama Islam, tanpa perlu sungguh-sungguh mempraktikkannya. Artinya, budaya Jawa sinkretis hingga dewasa ini masih cukup memengaruhi sikap pragmatis pemeluk agama Islam di Yogyakarta terhadap praktik sunat perempuan. Di kalangan Islam modern (Muhammadiyah), Islam tradisional (Nahdlatul Ulama), dan Islam fundamental di Yogyakarta misalnya, terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum khitan perempuan, antara wajib dan sunnah. Meski demikian, data penelitian menunjukkan tidak satu pun dari kelompokkelompok tersebut yang benar-benar memberikan sanksi bagi perempuan Muslim yang tidak melaksanakannya. Di kalangan masyarakat Madura, sunat perempuan seperti halnya sunat laki-laki dikenal melalui istilah lokal sonat (Madura) atau khitan (Arab). Dalam penelitian ini, tidak diperoleh petunjuk yang secara historis dapat menjelaskan keberadaan praktik sunat perempuan di Madura sebagai tradisi budaya Jawa sinkretis seperti halnya di Yogyakarta sungguh pun keberadaan priayi Madura di lingkungan kerajaan Sumenep masih diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat setempat hingga saat ini. Hasil penelitian hanya mengindikasikan bahwa sunat sebagai ritual inisiasi di lingkungan kerajaan Sumenep hanya untuk anak laki-laki, yang sekaligus berlaku sebagai ritual ngeslamke. Biasanya ritual ini dilakukan dengan mengarak anak laki-laki yang baru saja disunat di atas kuda. Tidak dikenalnya lagi praktik sunat perempuan yang mengakar pada tradisi budaya Jawa sinkretis di Madura ini kemungkinan disebabkan oleh tradisi
85
Basilica Dyah Putranti tetesan yang dibawa oleh kerajaan Jawa ke Madura pada masa lampau tidak cukup terjaga oleh kerajaan Sumenep sebagai pusat budaya Jawa sinkretis di Madura. Dengan demikian, sunat perempuan di Madura dalam perkembangannya lebih dikaitkan dengan tradisi khitan sebagai unsur kepercayaan Islam murni yang tampaknya lebih kuat memengaruhi masyarakat setempat. Konteks sosial-historis lain yang tidak kalah penting melatarbelakangi fenomena sunat perempuan di Yogyakarta dan Madura adalah praktiknya di kalangan non-Muslim. Dalam kepercayaan Nasrani, tradisi sunat berasal dari Yahudi yang tertulis dalam kitab Perjanjian Lama sebagai tanda penyelamatan Allah. Namun dalam kitab Perjanjian Baru, tanda penyelamatan Allah melalui sunat (dalam arti fisik) tersebut telah digantikan maknanya dengan sunat hati pemurnian hati sekaligus tanda penyelamatan Kristus yang ditandai melalui ritual baptis. Itu sebabnya sunat tidak dianjurkan di kalangan Nasrani. Di Indonesia sendiri, sunat pada mulanya terlarang bagi kaum Nasrani karena dianggap ngeslamke sehingga akan mengaburkan makna penyelamatan Kristus. Secara historis, pelarangan ini terkait dengan upaya kristenisasi oleh misionaris berhadapan dengan islamisasi oleh pedagang Islam pada masa kolonial Belanda. Oleh karena itu, kelompok Protestan di Yogyakarta dan Madura tidak mempraktikkan sunat hingga dewasa ini. Sementara itu, pada kelompok Katolik, sunat semata-mata merupakan bentuk adaptasi dengan budaya Jawa, yaitu dengan mempraktikkannya tanpa disertai upacara selamatan. Tampaknya unsur kejawaan di sini ikut menentukan dipraktikkan tidaknya sunat, seperti halnya terjadi di kalangan Hindu dan Budha. Data survei menunjukkan bahwa kelompok Hindu Jawa dan Budha Jawa mempraktikkan sunat, namun tidak bagi kelompok Hindu Bali.
Ritual dan Makna Survei yang dilakukan di Yogyakarta dan Madura mengindikasikan agama dan tradisi sebagai dua alasan dominan yang mendorong berlangsungnya praktik sunat perempuan. Di Madura misalnya, sekitar 79,3 persen dari total responden menyatakan agama sebagai alasan mereka mengalami sunat. Di Yogyakarta, alasan mengalami sunat perempuan 86
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas lebih bervariasi: 31 persen dari total responden mengatakan untuk alasan agama, 26,2 persen untuk alasan tradisi, dan 26,2 persen lainnya sekadar mengikuti kemauan orang tua. Yang terakhir ini mengindikasikan masih berlanjutnya upaya untuk melanggengkan praktik sunat perempuan dari generasi ke generasi, baik untuk alasan agama maupun tradisi. Praktik sunat yang didorong oleh alasan agama atau tradisi di atas sebenarnya memiliki keterlibatan yang lebih mendalam sehubungan dengan makna sunat itu sendiri bagi masyarakat Yogyakarta dan Madura. Alasan tradisi melibatkan makna mistis sunat yang terkait dengan ritual pemurnian bagi penganut kejawen atau kepercayaan mistik Jawa dalam kaitannya dengan siklus kehidupan. Pemaknaan seperti ini berakar pada pandangan kosmologi Jawa yang melihat dunia ini sebagai sebuah keteraturan dan keteraturan ini setiap saat dapat terancam atau terganggu oleh adanya kekuatan jahat dari luar. Ancaman atau gangguan ini tercermin melalui konsep sukerto, yaitu kesialan atau kekotoran yang secara kodrati dibawa oleh individu sejak ia dilahirkan. Untuk membebaskan individu dari segala kekuatan jahat, sukerto harus dihambat melalui ritual pemurnian diri. Ritual pemurnian ini biasanya dilaksanakan pada saat-saat krisis kehidupan individu, misalnya kelahiran, peralihan masa kanak-kanak menuju kedewasaan, perkawinan, dan kematian. Sunat, dalam hal ini, merupakan sebuah ritual yang menyimbolkan pemurnian individu ketika memasuki saat krisis dari kanak-kanak menuju kedewasaan. Di kalangan masyarakat Yogyakarta pada umumnya, ritual sunat perempuan lebih dikenal dengan upacara tetesan yang melibatkan praktik pemotongan kunyit pada klitoris, dan kunyit menyimbolkan dewa atau malaikat berwujud kuning (bernama Sang Hyang Manikmaya) yang bertugas untuk menghilangkan sukerto. Di lingkungan kerajaan Yogyakarta, ritual ini mengalami perumitan karena upacara tetesan dikemas dalam tata cara kerajaan yang kompleks dan diberi makna bukan sematamata menandai masa kedewasaan seseorang, namun juga menandai bahwa sudah saatnya untuk menerapkan batasan-batasan yang jelas serta tata cara yang rumit dan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini berkaitan dengan sikap, perilaku, tindak-tanduk, pergaulan, dan penampilan mereka.
87
Basilica Dyah Putranti Di sisi lain, alasan agama melibatkan makna sunat yang terkait dengan ritual pemurnian bagi pemeluk agama Islam dalam rangka memenuhi ibadah salat yang sah. Pemaknaan ini bertitik tolak pada pemahaman bahwa syarat mutlak untuk menjadi muslim yang sejati adalah menunaikan lima rukun Islam, salah satunya adalah menjalankan ibadah salat. Ibadah salat yang sah mensyaratkan kesucian atau kebebasan dari najis, baik secara lahir maupun batin. Kencing merupakan bagian dari najis yang melekat pada tubuh manusia (kulup pada alat kelamin laki-laki, atau daerah sekitar labia dan klitoris pada alat kelamin perempuan) yang dapat membatalkan ibadah salat. Itu sebabnya sunat atau khitan dipercayai mampu menghilangkan najis dalam tubuh manusia sehingga ibadah salat menjadi sah. Meskipun makna sunat atau khitan menurut ajaran Islam cukup jelas, terdapat pertentangan pendapat sehubungan dengan hukum pelaksanaannya yang disebabkan oleh sumber hukum yang tidak jelas. Dalam Alquran tidak disebutkan sama sekali perihal khitan, sedangkan dalam Hadis disebutkan, namun dengan penafsiran yang berbeda-beda. Sementara itu, mengenai sunat atau khitan perempuan itu sendiri, hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan sunat atau khitan laki-laki (khilafiyah). Di Madura misalnya, paling tidak muncul tiga macam penafsiran mengenai hukum sunat atau khitan perempuan, antara wajib, sunnah, dan makrumah (kebaikan/kemuliaan). Sebagian kyai mengatakan bahwa sunat atau khitan perempuan itu wajib hukumnya sehingga sering kali melibatkan tekanan di kalangan pengikutnya untuk melaksanakan sunat atau khitan perempuan karena apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan akan menimbulkan sanksi dosa. Contoh kontroversial mengenai penerapan hukum wajib bagi sunat atau khitan perempuan yang sifatnya menekan dapat ditemukan di Desa Bringin, Sampang, Madura saat seorang kyai menyelenggarakan sunatan massal bagi semua perempuan yang ada di desa tersebut. Meskipun demikian, sebagian kyai lainnya beranggapan bahwa sunat atau khitan perempuan itu sunnah hukumnya, yang artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dan tidak ada sanksi hukum bagi keduanya. Dalam praktik, hukum sunnah bagi sunat atau khitan perempuan diterapkan secara kasus per kasus karena kondisi alat kelamin antara laki-laki dan perempuan atau antara
88
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas perempuan yang satu dengan lainnya dianggap berbeda-beda sehingga pada beberapa kasus, kecil kemungkinan alat kelamin perempuan menyimpan najis. Penerapan pelaksanaan sunat atau khitan perempuan secara kasus per kasus ini juga dianut oleh sebagian kyai yang menganggap bahwa sunat atau khitan perempuan itu hukumnya adalah makrumah. Seperti halnya di Madura, pertentangan pendapat mengenai hukum sunat atau khitan perempuan juga terjadi di kalangan ulama di Yogyakarta. Hasil wawancara dengan para ulama di Yogyakarta menunjukkan bahwa di kalangan Islam fundamentalis, sunat atau khitan perempuan dianggap wajib hukumnya. Di kalangan Islam tradisionalis (NU), sebagian ulama mengatakan wajib dan sebagian lainnya mengatakan bahwa perihal sunat atau khitan perempuan tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Alquran dan memiliki dalil-dalil yang lemah dalam Kitab Kuning. Sama halnya di kalangan Islam modernis (Muhammadiyah) yang cenderung mengatakan bahwa sunat atau khitan perempuan tidak mempunyai landasan hukum agama yang kuat. Meskipun terjadi pertentangan pendapat, tekanan dari lembaga keagamaan untuk menerapkan praktik sunat perempuan di Yogyakarta tidak cukup kuat dibandingkan dengan di Madura. Artinya, pada semua kelompok aliran yang ada, praktik sunat perempuan dianggap dapat ditunda atau diabaikan pelaksanaannya. Kalangan Islam modernis di Yogyakarta, bahkan mengatakan bahwa praktik sunat perempuan hanya boleh dilakukan apabila didasarkan pada alasan kesehatan yang cukup kuat. Pengabaian pelaksanaan sunat perempuan di kalangan masyarakat Yogyakarta sebenarnya merupakan sebuah indikasi bahwa praktik ini tidak lagi dimaknai sebagai tradisi yang benar-benar mampu memberikan dorongan sosial bagi seseorang untuk melakukannya. Hilangnya dorongan tersebut disebabkan oleh pemaknaan sunat perempuan menurut kepercayaan kejawen atau mistik Jawa yang semakin luntur di kalangan masyarakat setempat dan digantikan dengan pemaknaan Islam yang cenderung dipahami secara mekanis. Gejala menghilangnya praktik sunat perempuan sebagai tradisi yang berakar pada kepercayaan mistik Jawa ini juga terjadi di Madura, namun tidak serta-merta menimbulkan pengabaian dalam hal penerapannya karena sebagai gantinya, pemaknaan
89
Basilica Dyah Putranti Islam secara fanatik di sana mampu menjadi kekuatan penekan bagi perempuan untuk melaksanakan sunat.
Pola Pelaksanaan Dalam penelitian ini terungkap angka prevalensi sunat perempuan di Yogyakarta dan Madura. Di Madura, data penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan dilakukan oleh 94,7 persen dari total responden, sedangkan angka prevalensi di Yogyakarta jauh lebih rendah, yaitu sekitar 43,5 persen. Perbedaan angka prevalensi yang jauh ini merupakan informasi yang penting untuk menggali apakah hal tersebut melibatkan pula pola pelaksanaan sunat yang berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Perbedaan pola pelaksanaan sunat perempuan di Yogyakarta dan Madura dapat dilihat berdasarkan waktu, tempat, prosedur pelaksanaan, dan praktisinya. Waktu pelaksanaan sunat perempuan tergantung makna yang dilekatkan pada ritual sunat itu sendiri. Di Yogyakarta, apabila makna sunat dikaitkan dengan ritual pubertas, biasanya sunat perempuan dilaksanakan pada usia 8 tahun. Pada usia ini, seorang anak perempuan dipandang sedang mengalami masa krisis hampir meninggalkan masa kanak-kanak, namun belum mengalami haid pertama atau memasuki masa kedewasaan. Sementara itu, di kalangan pemeluk agama Islam yang taat, baik di Yogyakarta maupun Madura, sunat perempuan seperti halnya sunat laki-laki biasanya dilaksanakan pada saat seseorang masih bayi. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh adanya intepretasi Hadis yang berkembang di kalangan masyarakat setempat, yang mengatakan bahwa waktu terbaik pelaksanaan sunat adalah pada usia 7 hari, yaitu pada saat anak belum bisa merasakan sakit dan malu. Meski berpatokan pada hukum Islam, tidak jarang masyarakat setempat melaksanakan sunat perempuan bersamaan dengan ritual selapanan (peringatan 35 hari setelah kelahiran bayi), atau ritual lepasnya tali pusar pada perut bayi (Madura: cuplak puser, Jawa: puput puser). Tidak seperti sunat laki-laki yang dirayakan dengan upacara besar, sunat perempuan di Yogyakarta maupun di Madura dilaksanakan secara
90
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas rahasia, bertempat di dalam rumah dan tanpa pemberitahuan kepada siapa pun, kecuali dihadiri ibu dari anak perempuan yang disunat dan dukun. Selama pelaksanaan sunat berlangsung biasanya pihak ibu hanya menyediakan sesaji berisi beras, nasi tumpeng, rempah-rempah, sesisir pisang, air bunga setaman (Jawa: mawar, melati, sedap malam), dan seekor ayam hidup (Jawa: pangurip-urip) untuk diberikan kepada dukun. Atau dalam beberapa kasus, pihak ibu menyediakan nasi gudangan (Jawa: berisi macam-macam sayur) untuk dibagikan kepada anak-anak. Sementara itu, di daerah perkotaan, biasanya sunat perempuan dilaksanakan oleh bidan, bertempat di rumah sakit atau klinik, hanya dihadiri oleh pihak ibu dan bidan atau kadang hanya bidan sendirian, tanpa disertai upacara apa pun, kecuali mengucapkan doa pendek menurut keyakinan masingmasing sebelum dilakukan sunat. Sejak dulu sunat perempuan di Yogyakarta dan Madura dilaksanakan oleh dukun bayi. Dukun, dalam kepercayaan mistik Jawa, dipahami sebagai orang yang memiliki kekuatan supranatural yang dapat mengusir roh-roh jahat. Namun bagi masyarakat setempat dewasa ini, dukun lebih dipahami sebagai sebuah profesi dan orang yang menyandang profesi tersebut dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian nonmedis yang diperolehnya secara turun-temurun untuk dapat menyembuhkan seseorang dari penyakit. Profesi ini dilawankan dengan dokter, mantri atau bidan yang memiliki pengetahuan dan keahlian medis. Praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh dukun bayi sebenarnya merupakan bagian dari praktik persalinan dan perawatan bayi, dalam tradisi Jawa kegiatan-kegiatan ini dikaitkan dengan ritual inisiasi. Pada umumnya sunat perempuan dilaksanakan oleh dukun bayi panggilan dalam sebuah paket pelayanan, mulai dari menolong persalinan, memandikan dan memijat bayi, perawatan lepasnya tali pusar, dan sunat. Namun seiring dengan proses medikalisasi, pelaksanaan sunat perempuan diambil alih oleh bidan. Gejala ini muncul tidak hanya di daerah perkotaan, namun juga di perdesaan. Demikian halnya di Kerajaan Yogyakarta, yang pada pelaksanaan ritual tetesan saat ini tidak lagi dilaksanakan oleh dukun, melainkan bidan dengan bantuan peralatan medis. Pengambilalihan ini merupakan konsekuensi pengetahuan masyarakat setempat mengenai penyakit dan penyembuhan yang mulai bergeser, semula berorientasi pada kekuatan supranatural ke
91
Basilica Dyah Putranti arah rasional medis. Meski demikian, pengetahuan mengenai praktik sunat perempuan itu sendiri tidak pernah diajarkan kepada bidan selama mereka mengikuti pendidikan medis. Oleh sebab itu, dalam banyak kasus, bidan yang menolong persalinan juga melakukan praktik sunat perempuan semata-mata karena permintaan orang tua si bayi. Kadang praktik ini dilakukan oleh bidan secara sambil lalu bersamaan dengan imunisasi. Bidan lainnya sengaja memasukkan praktik sunat sebagai salah satu dari paket pelayanan khusus sunat dan tindik telinga. Prosedur pelaksanaan sunat perempuan agak sulit untuk diungkapkan karena tidak seperti halnya sunat laki-laki, pelaksanaan sunat perempuan di Yogyakarta dan di Madura cenderung dirahasiakan. Namun secara garis besar, prosedur pelaksanaan sunat perempuan yang ditemukan selama penelitian lapangan dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu pemotongan atau penggoresan dilakukan oleh dukun; semata-mata gerakan simbolis oleh dukun di Yogyakarta; serta pembersihan alat kelamin oleh bidan. Pemotongan atau penggoresan pada alat kelamin perempuan adalah prosedur yang paling banyak ditemukan di Madura. Data survei menunjukkan bahwa 35,9 persen dari pelaksanaan sunat perempuan di Madura dilakukan dengan cara memotong ujung klitoris dan 27 persen dengan cara menggores klitoris atau labia tanpa ataupun disertai pendarahan. Prosedur ini biasanya dilakukan oleh dukun dengan cara meletakkan kunyit di bawah klitoris atau di antara labia dan klitoris, yang berfungsi sebagai landasan sekaligus antibiotika. Kemudian pemotongan atau penggoresan dilakukan menggunakan peralatan, seperti silet, pemes, gunting, atau welat (Jawa: bambu tajam). Dalam beberapa kasus di Madura, prosedur pemotongan atau penggoresan juga dilakukan oleh bidan dengan menggunakan peralatan medis yang lebih higienis, seperti koker (gunting tumpul), pinset, kapas, cairan kloretil, serta betadine atau mercurochrom. Di Yogyakarta, prosedur pemotongan atau penggoresan oleh dukun juga dilakukan meski tidak begitu tinggi prevalensinya: 8,8 persen dengan cara menggores klitoris atau labia tanpa ataupun disertai pendarahan dan 11,2 persen dengan cara memotong ujung klitoris. Namun prosedur semacam ini sudah semakin sulit ditemukan di kalangan generasi mudanya.
92
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas Di sisi lain, prosedur yang hanya melibatkan gerakan simbolis paling banyak ditemukan di Yogyakarta (16,7 persen). Gerakan simbolis yang dimaksud adalah prosedur yang dilakukan oleh dukun dengan cara menempelkan kunyit yang telah dikupas pada ujung klitoris, kemudian kunyit itulah yang dipotong, bukan ujung klitorisnya. Pada survei ini, sekitar 63,9 persen dari total responden mengaku tidak mampu mengingat prosedur yang diterapkan karena peristiwa sunat tersebut mereka alami ketika masih bayi. Namun hasil wawancara mendalam dengan dukun mengindikasikan bahwa praktik sunat perempuan dengan gerakan simbolis semacam ini sangat populer di Yogyakarta dalam beberapa dekade yang lalu. Oleh sebab itu, kemungkinan sebagian besar dari mereka yang tidak ingat juga mengalami sunat dengan prosedur ini. Prosedur lainnya yang semakin sering ditemukan akhir-akhir ini, baik di Yogyakarta maupun di Madura, adalah membersihkan alat kelamin. Biasanya prosedur ini dilakukan oleh bidan dalam rangka menyiasati tekanan sosial untuk melakukan praktik sunat dengan prosedur yang berbahaya. Di Madura misalnya, peran dominan kiai untuk menentukan prosedur pemotongan sebagai syarat sahnya sunat perempuan menurut Islam mampu menekan pihak orang tua untuk kembali menekan bidan agar mau melakukan prosedur tersebut pada anak perempuannya. Namun karena praktik sunat tidak pernah diajarkan dalam pendidikan kebidanan, bidan biasanya tidak bersedia melakukannya. Sebagai gantinya, mereka hanya melakukan pembersihan pada alat kelamin si bayi tanpa sepengetahuan pihak orang tua. Pembersihan alat kelamin juga dilakukan oleh bidan di Yogyakarta dengan bantuan peralatan medis sederhana, seperti kapas, cairan kloretil, dan betadine. Menurut salah seorang bidan di Yogyakarta, pembersihan alat kelamin pada bayi perempuan sebenarnya merupakan prosedur umum yang dilakukan segera setelah persalinan karena pada saat itu daerah sekitar alat kelamin perempuan memang mengandung banyak kotoran lemak (Jawa: gadul). Dalam beberapa kasus lainnya, bidan menggabungkan prosedur pembersihan alat kelamin dengan gerakan simbolis. Setelah daerah sekitar alat kelamin dibersihkan, kemudian bidan berpura-pura melakukan gerakan pemotongan, yang sesungguhnya hanya menempelkan gunting
93
Basilica Dyah Putranti pada klitoris atau menjepit klitoris dengan pinset. Gerakan ini sematamata merupakan kreativitas si bidan itu sendiri untuk menghindari prosedur sunat perempuan tradisional yang dianggap membahayakan.
Gender, Seksualitas, dan Kesehatan Reproduksi Hasil penelitian lapangan di Yogyakarta dan Madura menunjukkan bahwa keterlibatan persoalan gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi dalam praktik sunat perempuan cenderung tidak terartikulasikan. Kecenderungan ini terlihat dalam survei yang dilakukan di kedua daerah penelitian, kebanyakan responden mengindikasikan bahwa praktik sunat perempuan tidak berdampak apa pun terhadap seksualitas: 84,4 persen mengatakan sunat perempuan tidak berdampak positif terhadap seksualitas dan 99,2 persen mengatakan tidak berdampak negatif. Kecenderungan serupa juga terlihat dalam survei, sekitar 80-90 persen dari total responden di Yogyakarta dan Madura mengindikasikan bahwa praktik sunat perempuan tidak menimbulkan gangguan yang serius terhadap kesehatan reproduksi, baik itu gangguan jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak terartikulasikannya persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan sulitnya mencermati pola hubungan gender yang tercermin dalam fenomena sunat perempuan. Meskipun demikian, bagian ini menyarankan bahwa pola hubungan gender dapat dicermati dengan melihat konteks sosial historis, makna ritual, dan pola pelaksanaan yang ada di balik fenomena sunat perempuan itu sendiri. Gender Untuk menjelaskan bagaimana fenomena sunat melandasi pola hubungan gender dalam suatu masyarakat tidaklah mudah. Studi feminis coba menjelaskan hal ini dengan bertitik tolak pada pertanyaan apakah praktik ini merupakan penemuan masyarakat patriarkat atau matriarkat. Berkaitan dengan itu, darah merupakan kata kunci yang sering kali digunakan untuk menjelaskan asal-usul sunat. Sebuah penjelasan misalnya, menyebutkan bahwa sunat terkait dengan siklus menstruasi perempuan
94
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas yang merupakan simbol keteraturan dunia kosmos yang berpusat pada tubuh perempuan. Oleh karena itu, sunat adalah penemuan masyarakat matriarkat dan hanya dilakukan pada laki-laki karena darah yang keluar dari alat kelamin laki-laki yang dipotong pada dasarnya merupakan identifikasi simbolis darah yang keluar dari alat kelamin perempuan yang mengalami menstruasi. Dengan kata lain, sebenarnya laki-laki secara metaforis tengah meniru atau berusaha menyamai kekuatan kosmologis perempuan. Namun seiring dengan munculnya masyarakat patriarkat, darah pada praktik sunat laki-laki tidak lagi dimaknai sebagai upaya peniruan siklus mentruasi perempuan, melainkan sebagai simbol kejantanan dan superioritas laki-laki atas perempuan (Voskuil, 1994). Pada masyarakat Yogyakarta dan Madura, tidak begitu jelas apakah sunat pada awalnya merupakan penemuan patriarkat atau matriarkat. Namun mempertimbangkan prosedur yang dilakukan di kalangan masyarakat setempat pada saat ini, sunat cenderung mengindikasikan praktik patriarkat. Salah satu indikasi tercermin melalui hukum Islam yang mengatur sunat laki-laki dan perempuan, yaitu dengan menerapkan prosedur pemotongan kulit pada alat kelamin karena bagian tersebut dianggap dapat menyimpan kotoran atau najis. Prosedur ini sesuai bagi laki-laki, namun terkesan dipaksakan bagi perempuan yang memiliki struktur alat kelamin yang berbeda dari laki-laki. Indikasi lain adalah keluarnya darah yang dipercayai terutama oleh masyarakat Madura sebagai syarat sahnya sunat menurut Islam, baik pada laki-laki maupun perempuan. Tidak cukup meyakinkan apakah darah di sini menyimbolkan superioritas laki-laki, namun berkembangnya kepercayaan ini cukup mengindikasikan berlakunya praktik sunat perempuan bernuansa Islam patriarkat di kalangan masyarakat setempat. Di kalangan masyarakat Yogyakarta, terdapat sumber lain yang mengindikasikan bahwa sunat mungkin bukan pengaruh Islam yang bernuansa patriarkat, melainkan tradisi Jawa asli atau paling tidak bentuk resistensi nilai budaya Jawa asli terhadap pengaruh Islam. Ini tercermin melalui prosedur sunat perempuan sebagai ritual pubertas di kalangan masyarakat setempat yang hanya melibatkan gerakan simbolis, pemotongan klitoris digantikan dengan pemotongan kunyit. Kunyit itu
95
Basilica Dyah Putranti sendiri, dalam pemahaman mistik Jawa, dipercayai sebagai simbol pembebasan seseorang dari kesialan atau kemalangan hidup. Menarik bahwa ternyata kunyit sebagai simbol pembebasan ini hanya dihubungkan dengan sunat perempuan, sedangkan pada sunat laki-laki, simbol pembebasan tersebut berupa potongan kulit penis. Namun tidak begitu jelas bagaimana masyarakat setempat memaknai darah yang keluar dari kulit penis yang dipotong. Sementara itu, seorang penganut Kejawen membantah keras bahwa keluarnya darah merupakan syarat yang harus dipenuhi pada praktik sunat perempuan (di Yogyakarta) seperti halnya yang terjadi pada praktik sunat perempuan yang dilatarbelakangi pengaruh Islam patriarkat. Bagaimanapun juga, informasi yang terbatas di atas tidak cukup kuat untuk memastikan apakah prosedur gerakan simbolis pada sunat perempuan di Yogyakarta ini berakar pada pandangan kosmologi Jawa yang bernuansa matriarkat. Lepas dari perdebatan apakah sunat perempuan merupakan praktik matriarkat atau patriarkat, pola hubungan gender dalam masyarakat Yogyakarta dan Madura dapat diamati melalui praktik sunat sebagai ritual pubertas yang pada dasarnya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas gender. Sebagaimana tercermin dalam tradisi kerajaan Yogyakarta, ritual sunat tidak semata-mata berfungsi untuk menandai bahwa seorang anak telah memasuki masa kedewasaan, namun sekaligus melekatkan citra maskulin pada laki-laki dan feminin pada perempuan. Bagi anak laki-laki, sunat berarti bahwa ia harus mulai memikul tanggung jawab sebagai laki-laki dewasa, menjadi pemimpin dalam keluarga, dan mewakili keluarga dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, bagi anak perempuan, sunat tidak saja berarti perubahan fisik menjadi perempuan dewasa: bisa mentruasi, hamil, dan melahirkan anak, namun juga berarti perubahan dari dalam untuk menjadi perempuan sejati: harus mulai memperhatikan penampilan, menjaga tingkah laku, dan membatasi pergaulan. Seiring dengan pelekatan citra maskulin bagi laki-laki dan feminin bagi perempuan melalui ritual sunat ini, dunia laki-laki dan perempuan pun mulai dipisahkan antara publik dan privat. Pemisahan ini, antara lain, tercermin melalui perayaan sunat laki-laki di arena publik dengan menyelenggarakan upacara formal, sebaliknya sunat perempuan dilaksanakan di arena privat secara rahasia tanpa perayaan apa pun.
96
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas Seksualitas Meskipun praktik sunat hanya berurusan dengan organ seks pada tingkat individual, pada tingkat sosial praktik sunat ikut menentukan ekspresi seksualitas yang diharapkan muncul sesuai pola hubungan gender yang terbentuk dalam konteks masyarakat setempat. Di Yogyakarta dan Madura pengaruh Islam patriarkat ikut menentukan pola hubungan gender yang ada, sunat menjadi sebuah simbol kebudayaan yang berfungsi untuk menyebarluaskan berbagai mitos-mitos seksual yang bersifat patriarkat, yang kemudian berlaku sebagai alat untuk mengontrol perilaku seksual individu. Hasil wawancara mendalam menunjukkan bagaimana mitos-mitos seksual seputar sunat yang bersifat patriarkat menyebar luas di kalangan masyarakat setempat didukung oleh peran dominan laki-laki sebagai pemimpin keagamaan, sekalipun hubungan antara sunat dan seksualitas itu sendiri secara eksplisit tidak cukup memperoleh legitimasi secara tertulis pada kitab-kitab suci agama. Di Yogyakarta dan Madura, mitos-mitos seksual seputar sunat yang paling sering ditemukan, antara lain, mengatakan bahwa sunat dapat menambah gairah dan kenikmatan seksual, atau dalam ungkapan yang lebih bersifat ideologis menambah keharmonisan hubungan suami istri. Meskipun di permukaan mitos ini terkesan netral, yaitu mengidealkan hubungan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan; pada kenyataannya mitos ini dibangun dalam kondisi objektif, laki-laki memiliki hak istimewa dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Seperti halnya terjadi di Madura, peran dominan kyai sebagai sosok pemimpin agama menyebabkan wacana seksualitas yang berkembang pun cenderung bias laki-laki. Itu sebabnya seorang informan perempuan di Madura mungkin saja mengungkapkan bahwa sunat dapat menambah gairah dan kenikmatan seksual, namun sebenarnya ungkapan ini merupakan definisi laki-laki atas seksualitas masyarakat secara umum yang di baliknya terselubung motif pembenaran atas perilaku seksual yang bersifat patriarkat. Dalam perkembangannya, mitos-mitos seksual seputar sunat di kalangan masyarakat Yogyakarta dan Madura tidak hanya dibangun di atas pengaruh Islam patriarkat, namun juga diperkuat oleh pengaruh
97
Basilica Dyah Putranti kepercayaan medis Barat mengenai fungsi seksual dan kejantanan lakilaki serta histeria seksual perempuan yang terakomodasi dalam kepercayaan Islam itu sendiri. Di Madura misalnya, berkembang mitos seksual yang sangat populer: makan pisang akan lebih enak jika kulitnya dibuka. Mitos ini menunjuk pada aktivitas seksual mengulum organ kelamin laki-laki tidak akan terasa nikmat apabila tidak disunat. Selain itu, mengalami sunat juga dipercayai oleh masyarakat setempat akan menambah kejantanan seorang laki-laki sekaligus memperlama ejakulasi dini. Apabila pada laki-laki sunat dihubungkan dengan mitos kejantanan dan upaya menambah daya seksual, sebaliknya pada perempuan sunat dihubungkan dengan upaya mengurangi daya seksual dalam rangka membentuk citra feminin dan ketidakberdayaan. Secara jelas, ini tercermin pada sebuah mitos seksual di kalangan Islam, baik di Yogyakarta maupun di Madura, yang mengatakan bahwa anak perempuan yang tidak disunat akan tumbuh menjadi perempuan binal. Pada mitos yang lain, dikatakan bahwa sunat dapat menyeimbangkan nafsu seksual perempuan agar tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Sebagai sebuah praktik patriarkat, mitos-mitos ini pada dasarnya merupakan bagian politik seksual laki-laki yang mendefinisikan seksualitas perempuan secara alami bersifat histeris dan berbahaya sehingga perlu disunat untuk meredakannya. Kesehatan Reproduksi Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penerapan prosedur sunat perempuan mau tidak mau menjadi wacana yang penting. Tidak saja karena adanya dua kepentingan yang saling berhadapan, yaitu antara pengajaran Islam dan medikalisasi Barat; namun juga karena adanya kepentingan lembaga patriarkat di dalamnya. Pengaruh pemikiran medis Barat yang rasional di satu sisi menyarankan bahwa sunat perempuan tidak seharusnya dilaksanakan karena dapat membahayakan kesehatan reproduksi. Namun di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa sunat merupakan ekspresi keagamaan yang penting maknanya bagi kehidupan beragama itu sendiri dan karenanya, merupakan keharusan untuk melaksanakannya. Meskipun pemikiran medis Barat cukup memberi ruang bagi perempuan, pada kenyataannya kepentingan Islam yang patriarkat lebih mendominasi wacana sunat di kalangan masyarakat setempat. Akibatnya bagi
98
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas perempuan, keharusan sunat tidak semata-mata merupakan ekspresi keagamaan, melainkan telah mewujud sebagai bentuk penguasaan lakilaki atas alat reproduksi perempuan. Di daerah penelitian, wacana sunat perempuan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tersebut di atas menimbulkan ketegangan sosial dan dampak terhadap kesehatan reproduksi dalam tingkat berbedabeda. Di Madura, peran dominan kiai di dalam menginterpretasikan Hadis sangat mempengaruhi cara bidan atau dukun perempuan mempraktikkan sunat perempuan. Sebagaimana tercermin pada kasus kontroversial sunatan masal perempuan di Desa Bringin, Sampang, seorang bidan terpaksa melakukan prosedur pemotongan klitoris yang bisa membahayakan kesehatan reproduksi perempuan. Hal itu semata-mata dilakukannya karena ketidakberdayaannya berhadapan dengan kekuasaan kiai di kalangan masyarakat setempat. Pada berbagai kasus lain di Madura, prosedur sunat perempuan membahayakan yang dilakukan oleh dukun atau bidan tidak jarang pula terjadi, secara bervariasi melibatkan pemotongan atau penggoresan, pada klitoris atau labia, tergantung interpretasi masing-masing kyai yang kemudian berkembang di kalangan masyarakat setempat. Berbeda halnya dengan sunat perempuan di Madura yang berkembang melalui wacana dominan kiai, tradisi kejawen yang masih mengakar kuat di kalangan masyarakat Yogyakarta, sekaligus sangat terbukanya terhadap proses medikalisasi, tampaknya lebih mempengaruhi prosedur sunat perempuan yang dilakukan oleh bidan atau dukun setempat. Dalam hal ini, prosedur sunat perempuan sesuai kepercayaan mistik Jawa yang hanya melibatkan gerakan simbolis pemotongan kunyit di satu sisi, serta pembersihan alat kelamin oleh bidan di sisi lain, pada kenyataannya tidak menimbulkan risiko apa pun terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Sunat perempuan pada dasarnya merupakan cermin bangunan sosial seksualitas suatu masyarakat. Pada konteks masyarakat Indonesia,
99
Basilica Dyah Putranti bangunan ini terbentuk atas dasar pertemuan yang dinamis antarberbagai kepentingan, antara lain, penyiaran agama, proses medikalisasi, dan upaya pelestarian tradisi masyarakat setempat. Sebagaimana tercermin di kedua daerah penelitian, tarik-menarik antara berbagai kepentingan tersebut telah menghasilkan penerapan praktik sunat perempuan yang berlainan sesuai konteks perkembangan masyarakat setempat. Peran dominan kyai di Madura memberikan sumbangan bagi berkembangnya praktik sunat perempuan yang bernuansa Islami, cenderung fanatis, dan bias laki-laki. Sebaliknya di Yogyakarta, tradisi kejawen yang terbuka terhadap proses medikalisasi Barat justru mengindikasikan praktik sunat perempuan yang semakin punah. Meski demikian, makna ritual sunat perempuan masih terus melekat di kalangan masyarakat Yogyakarta dan memberikan dasar yang kuat bagi pola hubungan gender dan pengaturan seksualitas yang bersifat patriarkat. Seiring dengan proses medikalisasi, sunat perempuan di Yogyakarta dan Madura dewasa ini telah mengalami pergeseran dalam hal prosedur dari pemotongan yang sesungguhnya oleh dukun ke arah sekadar pembersihan oleh bidan. Pergeseran ini didukung oleh data survei yang mengatakan bahwa dari berbagai prosedur sunat yang dilakukan, sangat jarang di antaranya yang menimbulkan dampak komplikasi serius bagi perempuan. Kenyataan ini juga menyebabkan sunat perempuan di daerah penelitian tidak pernah diperhitungkan sebagai sebuah isu kebijakan. Jika demikian, lantas apa relevansinya bagi persoalan kesehatan reproduksi perempuan? Hasil penelitian ini justru menyarankan agar pengalaman Indonesia dapat menjadi model bagi negara-negara lain yang masih melakukan praktik sunat perempuan yang berbahaya. Dalam hal ini, terciptanya iklim budaya yang lebih terbuka sebagaimana tercermin di Yogyakarta, serta prosedur pembersihan alat kelamin yang diperkenalkan oleh bidan di kedua daerah penelitian dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi berbagai upaya pengurangan praktik sunat perempuan yang dapat membahayakan kesehatan reproduksi.
100
Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas
Referensi Abdulrachman. 1988. Kepemimpinan dalam Administrasi Pembangunan di Jawa Timur: Perbandingan Kerjasama Pimpinan Formil dan Pimpinan Informil di Jawa Timur, dalam Madura II. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Al Marshafi, Saad. 1996. Khitan. Jakarta: Gema Insani Pres. Althaus, Frances A. 1997. Female circumcision: rite of passage or violation of rights? International Family Planning Perspective 23(3): 130-3. Feillard, Endre & Lies Marcoes. 1998. Female Circumcision in Indonesia: To Islamize in Ceremony or Secrecy. Archipel 56, paris: 337-367. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe: Free Press. Koentjaraningrat. 1985. Javanese Culture. Singapore: Oxford University Press. Putranti, Basilica D. (et. al.). 2003. Sunat Laki-Laki dan Perempuan pada Masyarakat Jawa dan Madura. Yogyakarta: PSKK-UGM. Soebalidinata. 1985. Cerita Murwakala dan Ruwatan di Jawa. Yogyakarta: Javanologi. Voskuil. 1994. From Genetic Cosmology to Genital Cosmetics: Origin Theoris of the Righting Rites of Male Circumcision. http://www.nocirc.org/ symposia/third/voskuil. html.
101