Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Mukhtar Sarman
Banalitas Kontestasi Politik Lokal Refleksi Pemilu Legislatif 2014 di Kalimantan Selatan
2014 i
Mukhtar Sarman
ii
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
iii
Mukhtar Sarman
© Mukhtar Sarman Banalitas Kontestasi Politik Lokal: Refleksi Pemilu Legislatif 2014 di Kalimantan Selatan xviii + 144 hal, 14.5 x 21 cm ISBN: 602-71307-2-5 ISBN 13 : 978-602-71307-2-2 Edisi Khusus: Oktober 2014 Layout: Affandie Foto Cover: Muthahhari Diterbitkan atas kerjasama: KPU Provinsi Kalimantan Selatan dan Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat. Hak penerbitan pertama kali berada pada Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) Website: www.msap-unlam.ac.id. E-mail:
[email protected] Dicetak oleh : PT. LKiS Printing Cemerlang Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul Jl. Parangritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp. (0274) 387194 E-mail:
[email protected]
iv
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Politics is that specific activity which only exists, because there is no science of politics. (Jacques Ranciére) Semua bisa dibeli dari orang lain, kecuali respek pada diri sendiri (Anonimous)
v
Mukhtar Sarman
vi
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
PENGANTAR Dr. Samahuddin Muharram, S.IP, M.Si (Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan) ebelum mengomentari isi dari buku ini, terlebih dahulu ingin saya sitir apa yang pernah diungkapkan oleh peneliti Coleman dan Hammen (semoga kalian mendapatkan surga), bahwa ada tiga faktor yang secara umum dapat ikut menunjang cara berpikir kreatif, yaitu: pertama, kemampuan kognitif. Seseorang harus mempunyai kecerdasann tinggi. Ia harus secara terus menerus mengembangkan intelektualitasnya. Kedua, sikap terbuka. Cara berpikir kreatif akan tumbuh apabila seseorang bersikap terbuka pada stimulus internal dan eksternal. Sikap terbuka dapat dikembangkan dengan memperluas minat dan wawasan. Ketiga, sikap bebas, dan percaya diri. Berpikir secara kreatif membutuhkan kebebasan dalam berpikir dan berekspresi. Juga memerlukan kemandirian berpikir, tidak terikat pada otoritas dan konvensi sosial yang ada. Jadi yang terpenting, ia percaya pada kemampuan dirinya.
S
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, saya menilai bahwa sosok penulis buku ini, mempunyai tingkat kreatifitas tinggi, mampu menghasilkan pemikiran, teori atau gagasan yang luar biasa, aneh dan terkadang mungkin dianggap tidak rasional. Bahkan karena keluar biasaannya, bisa saja ada sebagian orang menganggap “gila”. Menurut Jalaluddin Rachmat, ada kesamaan antara orang kreatif dengan orang gila, karena cara berpikirnya yang tidak konvensional. Bedanya, orang kreatif mampu melakukan loncatan
vii
Mukhtar Sarman
pemikiran yang menimbulkan pencerahan atau pemecahan masalah. Sementara orang gila tidak mampu melakukannya. Buku ini, berusaha untuk memperkenalkan banyak teori demokrasi yang dipopulerkan oleh banyak ahli Ilmu Politik dengan melakukan berbagai macam pendekatan dan analisis yang dibangun dalam kehidupan bermasyarakat. Judul buku ini adalah “Banalitas Konstestasi Politik: Refleksi Pemilu Legislatif 2014 di Kalimantan Selatan”. Sebuah tema yang merefleksikan fenomena demokrasi dalam pelaksanaan Pemilu di Kalimantan Selatan. Buku ini sangat menarik, karena penulis mencoba mengkaji dan mengukur tingkat pemahaman bukan saja masyarakat tetapi juga oleh peserta Pemilu bahkan penyelenggara dan munculnya pengamat politik dadakan mengenai arti dan makna demokrasi melalui Pemilu. Istilah “Banalitas” yang dipergunakan penulis semakin menarik buku ini untuk dibaca. Sehingga untuk memahami istilah “Banalitas” dalam kontestasi politik di Kalimantan Selatan, maka buku ini penting untuk dibaca, dipahami dan didalami maknanya oleh penggiat dan pelaku demokrasi di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan Selatan pada khususnya. Perdebatan mengenai pemilihan kepala daerah apakah dipilih langsung oleh rakyat ataukah dipilih oleh DPRD juga dimunculkan dalam buku ini. Persoalan ini tentunya menarik dalam konteks kita memahami hakekat pelaksanan Pemilu itu sendiri, baik Pemilukada maupun Pemilu presiden. Khususnya ketika mempertanyakan apakah rakyat memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpin formalnya di ranah publik ataukah hanya melalui sistem perwakilan di DPRD. Walaupun dalam hal ini, penulis tidak menyatakan memilih salah satu diantara dua pilihan itu. Namun menariknya, penulis memberikan sebuah proses berpikir dan penting untuk kita renungkan bersama yakni “apakah rakyat memang merasa berkepentingan untuk berpartisipasi dalam perhelatan politik yang disebut pemilihan umum ataukah
viii
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
memaksakan keterlibatan masyarakat untuk memilih dengan cara yang tidak logis karena kurangnya pengetahuan tentang politik dan kemampuan untuk memilah (selection) sebelum melakukan pilihan (election).” Semua itu terjawab dalam buku ini. Bagaimanapun buku ini, menjadi kritik akan praktik politik oleh pelaku politik pada Pemilu 2014 lalu. Pertama, aktor politik (Caleg), baik pendatang baru maupun incumbent dengan sistem proporsional terbuka menjadi ajang persaingan para Caleg bukan hanya antar partai tetapi juga Caleg internal partai. Dengan sistem suara terbanyak menjadi persaingan terbuka dengan cara yang terbuka pula. Dalam buku ini mengkritisi fenomena itu, karena pada hakekatnya dengan sistem proporsional terbuka diharapkan untuk mengurangi aspek negatif oligarkhi partai politik, karena dalam sistem proporsional tertutup itu jelas sekali peran hegemonik elit parpol dalam mengatur kelangsungan kepentingannya. Elit partai politik dianggap cenderung terus menerus ingin berkuasa dan mengangkangi kekuasaaan itu untuk dirinya atau kelompok dan keluarganya saja. Memang harus diakui, bahwa aktor atau elit partai politik adalah oknum yang mewarnai dunia politik Indonesia. Hanya saja sejak, Pemilu tahun 1999 sampai 2014, kinerja partai-partai politik belum maksimal, bahkan cenderung mengalami krisis ketidakpercayaan oleh masyarakat. Kedua, masyarakat cenderung pasif dan tak peduli tentang kualitas dan rekam jejak para Caleg. Sehingga dianggap sekedar model demokrasi kepura-puraan (pseudo-democracy). Ini menunjukkan suatu persoalan bangsa ini. Artinya Indonesia jangan sampai terjebak dalam transisi permanen, sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara yang mengalami negara gagal (failed state). Seperti dikatakan oleh Anwar Ibrahim, bahwa Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim; transisinya yang sukses adalah salah satu perkembangan terpenting dalam sejarah demokrasi. Kalau dilihat dalam perspektif ini, kegagalan
ix
Mukhtar Sarman
demokrasi di Indonesia, juga berarti kegagalam dalam mengawinkan kebudayaan dan peradaban Islam dalam sistem demokrasi kontemporer. Ketiga, penyelenggara Pemilu. Pemilu yang harus terbangun seyogyanya adalah bagaimana menciptakan demokrasi yang substansial bukan pada demokrasi prosedural. Memang harus diakui bahwa penyelenggara Pemilu dalam melaksanakan tugasnya senantiasa berdasarkan pada UU, Peraturan perundang-undangan, sehingga cenderung prosedural. Jadi untuk membangun demokrasi yang substansial tentunya dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk mensukseskan Pemilu melalui pengawasan partisipasi aktif oleh semua elemen dalam masyarakat. Keempat, media massa. Media sebagai salah satu pilar demokrasi sebagian sudah mulai kehilangan jatidirinya sebagai sebuah institusi yang seharusnya tetap menjaga integritas dan independensi di tengah-tengah hiruk pikuknya pesta demokrasi yang namanya Pemilu. Oleh penulis, juga mengkritik hal ini. Banyak media yang dalam pemberitaannya cenderung berpihak dan menjadi mesin politik para Caleg. Kelima, pengamat dan pakar politik. Ini menarik dalam buku ini, menarik karena penulis dengan kritik dan analisis yang tajam mempersoalkan keterlibatan pengamat dan pakar politik dalam tim sukses para Caleg. Penulis mengkritik keberadaan pengamat dalam membangun argumentasi dan analisis, sementara mereka terlibat sebagai tim sukses. Kehadiran buku “Banalitas Kontestasi Politik” ini merupakan terobosan menarik dan sangat tepat waktu. Buku ini menghadirkan dinamika politik di Kalimantan Selatan secara analitik. Tulisan-tulisan dalam buku ini mengkaji fenomena yang spesifik dengan kritik yang tajam. Dimulai dari fenomena politik
x
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
uang, Pemilu yang tidak jujur, politik pencitraan, sampai pada isue kedaerahan “asli orang banua”. Buku ini mengantarkan pembaca untuk memotret fenomena politik di Kalimantan Selatan sebagai akumulasi dinamika politik tradisional dan lokal yang sangat kaya. Buku ini sangat layak digunakan sebagai referensi oleh berbagai kalangan, tidak hanya kalangan mahasiswa, melainkan juga akademisi, penyelenggara Pemilu bahkan lebih khusus kepada politisi sampai pada masyarakat umum. Apa yang dituliskan oleh penulis buku ini menunjukkan suatu bentuk kegelisahan seorang akademisi sekaligus anak bangsa akibat pelaku-pelaku politik yang tidak otentik dan gandrung akan kehendak untuk berkuasa dan menumpuk kekayaan dan ketenaran belaka. Semoga buku ini menjadi benchmark penting bagi kajian politik lokal di Indonesia dan khususnya di Kalimantan Selatan.
Banjarmasin, Akhir September 2014
xi
Mukhtar Sarman
xii
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
PRAKATA
uku kecil yang ada di tangan pembaca ini lahir dari kerisauan saya sebagai akademisi yang menekuni ilmu politik, sekaligus (kadangkala) berperan sebagai pengamat politik lokal. Pokok kerisauan saya adalah, Pemilu yang seyogyanya berlangsung meriah, tapi sakral, ternyata dirusak oleh tingkah beberapa politisi yang pandir. Mereka tanpa rasa malu memproklamirkan diri sebagai penyambung lidah rakyat alias pejuang aspirasi kelompok yang tertindas dan terpinggirkan. Namun kenyataannya, selama lima tahun dipercaya menjadi wakil rakyat di Parlemen (dan DPRD), apa yang telah mereka perbuat untuk rakyat yang diwakilinya? Nyaris tidak ada yang bermanfaat, selain menghabiskan uang negara dengan cara melakukan studi banding kemana-mana.
B
Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa kelompok konstituenlah yang patut dipersalahkan atas segala kerusakan sistem Pemilu, termasuk dalam hal itu praktik politik uang. Rakyat sebagai kelompok konstituen tidak pernah “menjual” suaranya dalam praktik “vote buying”. Semua itu hanya ulah para broker yang memfasilitasi kepentingan politisi yang tidak mau bertarung dalam kontestasi secara jujur. Kalau politisi tidak memberikan uang kepada kelompok konstituen niscaya tidak akan terjadi praktik politik uang, dan kelompok konstituen tidak lantas memboikot Pemilu kalau tidak diberi uang. Tapi lantaran politisi tidak percaya diri, dan takut pesaing lain mempraktikkan politik
xiii
Mukhtar Sarman
uang, yang terjadi kemudian mereka itupun ikut berjamaah melakukannya. Menurut pendapat saya, solusi atas masalah itu amat sederhana, tangkap pelakunya (untuk mudahnya, tangkap lebih dahulu para broker-nya) dan diskualifikasi politisinya. Karena menyidik praktik uang itu sama mudahnya dengan melihat benang hitam di siang hari saat matahari bersinar terang benderang. Atas terselesaikannya buku refleksi ini, saya menghaturkan terima kasih kepada kolega di KPU Provinsi Kalimantan Selatan, terutama kepada Bambang Setiawan SH, MH dan Drs Basuki MH yang memberikan kemudahan dalam pengumpulan data pendukung. Namun secara khusus, ucapan terima kasih perlu saya sampaikan kepada Saudara Muhammad Husni, yang merupakan juru kunci data Pemilu yang dengan tulus mengusahakan semua data yang saya butuhkan untuk penulisan buku ini. Akhirnya, semoga buku kecil ini ada manfaatnya untuk orang yang masih memimpikan demokratisasi di Indonesia menjadi lebih baik.
Pinggiran Hutan Pinus Banjarbaru, Akhir September 2014
Mukhtar Sarman
xiv
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
DAFTAR ISI
Pengantar Dr. Samahuddin Muharram, SIP, MSi (Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan) ~ [vii] Prakata ~ [xiii] Daftar Isi ~ [xv] Pendahuluan 1 . Demokrasi dalam Perspektif ~ [1] 2. Demokratisasi Politik dan Pemilu
~ [6]
3. Pemilu yang Berkualitas ~ [11] 4. Pemilu 2014: Sebuah Asumsi ~ [17] Bagian Pertama: Hiruk Pikuk Pemilu 2014 1 . Politisi Inkumban dan Pendatang Baru ~ [19] 2. Pemilu, Ujian Kejujuran Para Kandidat Inkumban ~ [25] 3. Modus Gaya Lebay ~ [28] 4. Mantra “Urang Banua” ~ [35] 5 . “Pengamat” yang Mengundang Waham ~ [39]
xv
Mukhtar Sarman
Bagian Kedua: Kontestasi Antar Caleg 1 . Persoalan Sudut Pandang ~ [43] 2. Fatwa Bourdieu ~ [47] 3. Fenomena “Habib” yang Tak Terjelaskan ~ [50] 4. Ironi Demokrasi di Ranah Politik ~ [54] 5 . Yang Menggelepar dan Terkapar ~ [62] Bagian Ketiga: Realitas Politik Pemilu 2014 1 . Fenomena Politik Uang dalam Kontestasi Pemilu ~ [70] 2. Berbagai Modus Politik Uang dalam Pemilu ~ [74] 3. Imbas Politik Klientelisme ~ [79] 4. Profil Caleg yang Terpilih ~ [86] 5 . Langkah Kuda Caleg Terpilih ~ [90] Bagian Keempat: Refleksi dari Lapangan 1 . Banalitas Politik ~ [97] 2. Mengapa Banalitas Politik Terjadi? ~ [101] 3. Banalitas Politik Dalam Konteks “Kerusakan” Sistem ~ [111] 4. Banalitas Politik dan Pemilu Rumpang ~ [117] 5 . Siapa yang Mestinya Bertanggung Jawab? ~ [120] Epilog ~ [125] Daftar Rujukan ~ [131]
xvi
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Daftar Lampiran: a. Daftar Caleg DPR-RI Terpilih dari Kalimantan Selatan b. Rekapitulasi Perolehan Suara Caleg DPD-RI dari Kalimantan Selatan c . Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Parpol dan Pembagian Kursi Parpol di DPRD Kalimantan Selatan d. Rekapitulasi Perolehan Suara Pemilu 2014 DPRD Kalimantan Selatan
xvii
Mukhtar Sarman
xviii
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
PENDAHULUAN
emokratisasi adalah proses perubahan struktur menuju demokrasi yang diidamkan. Demokratisasi politik berarti proses perubahan struktur politik agar sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Karena itu, isu umum demokratisasi politik adalah bagaimana praksis politik demokratis dipertunjukkan oleh para elit dan massa pendukung di ranah publik, apakah ia telah sesuai dengan kaidah-kaidah utama demokrasi. Studi ini didasarkan pemikiran, bahwa untuk menilai proses demokratisasi itu perlu dilihat dari perspektif teori demokrasi dan bagaimana praksisnya.
D
1. Demokrasi dalam Perspektif Secara teoritis, isu demokratisasi politik itu sudah sangat banyak dibahas dalam berbagai literatur ilmu politik, terutama yang membahas relevansi demokrasi sebagai ideologi bermasyarakat, seperti misalnya yang dilakukan oleh Dahl (2001), Garreton (2003), Dryzek dan Holmes (2004), Freedman (2006), dan Renwick (2010). Dalam konteks kasus Indonesia, kajian tentang demokratisasi telah menarik perhatian banyak peneliti asing, yang mengkaji isunya dari berbagai perspektif. Namun kalau dibuat klasifikasi, fokusnya antara lain menyangkut kajian tentang sejarah politik pra-Orde Baru (misalnya oleh Feith, 1962), dinamika politik selama rezim Orde Baru berkuasa (1967-1998) (misalnya oleh Vatikiotis, 1998; dan Schwarz, 2000), atau kala transisi politik
1
Mukhtar Sarman
ketika rezim Orde Baru akan tumbang hingga Pemilu yang lebih demokratis menghasilkan rezim baru (1998-2004) (misalnya oleh O’Rourke, 2001; Robison dan Hadiz, 2004; dan Crouch, 2010), dan masa ketika rezim baru di Indonesia menyandang status sebagai Orde Reformasi (misalnya oleh Hadiz, 2010). Tetapi pokok isu kajian demokratisasi di Indonesia bukan hanya menyangkut soal politik an sich, melainkan juga isu ekonomi yang digambarkan dapat memicu munculnya krisis politik (Pepinsky, 2009), atau posisi militer dalam konteks hadirnya rezim otoritarian (Kingsbury, 2003; Rabasa dan Haseman, 2002), dan bahkan isu kerusuhan sosial berlatar etnis yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik nasional (van Klinkel, 2007). Dengan kata lain, aneka ragam isu bisa saja dikaitkan dengan demokratisasi politik, tergantung sudut pandang yang digunakan untuk membaca gejalanya. Oleh karena itu, saya cenderung sepakat dengan David Apter (2006:777-781), yang mengajak kita untuk memahami diskursus politik sebagai entitas kekuasaan sebagaimana yang dipahami oleh subyek kekuasaan itu, yakni rakyat, yang kebetulan mendapatkan posisi sebagai aktor. Dalam pandangan Apter, pemahaman rakyat itu tergantung pada apa yang mereka saksikan pada hari ini, dan karena itu pemahaman dimaksud tergantung di mana posisinya dalam hubungan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang siklus kehidupannya. Karena itu ketika rakyat disadarkan tentang kehadiran politik sebagai sebuah entitas, lalu menjadi penting bagi para-agen untuk dapat mengubah kesempatan membangun kondisi untuk bisa masuk ke dalam sistem, atau sekurang-kurangnya mengubah suatu keadaan negatif menjadi hasil positif. Itulah sebabnya, sebuah tindakan politik itu pada dasarnya rasional; dan, sesungguhnya agak sulit membayangkan adanya rasionalitas tindakan yang dikaitkan dengan kepentingan kolektif. Pasalnya, masyarakat itu pada dasarnya tidak relevan dikenakan status rasional, karena yang
2
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
rasional adalah orang-orang atau aktor yang melakukan tindakan. Padahal di sisi lain, tidak mungkin tindakan politik dapat dilakukan tanpa melibatkan orang lainnya, termasuk mereka yang sebenarnya hanya berstatus sebagai pembonceng (‘free riders’) ~ yang mendapatkan keuntungan dari adanya tindakan politik orang lain namun yang bersangkutan tidak memberikan kontribusi yang berarti atas kemunculan tindakan tersebut. Dengan merujuk pada pemikiran David Apter itu, saya melihat relevansi membahas isu demokratisasi politik dari perspektif sosiokultural. Perspektif sosiokultural sebagai fokus kajian demokrasi modern diketahui pertama kali dilakukan oleh Tocqueville, dan kemudian dilanjutkan oleh para peneliti politik lainnya (Dahl, et.al, 2003). Merujuk pada kerangka pikir Tocqueville (2005), mengapa suatu negeri itu mengadopsi sistem pemerintahan yang demokratis, sebenarnya karena memang merupakan sebuah kebutuhan, dan bukan karena paksaan. Namun demikian, karena prinsip dasar demokrasi itu bisa dipadankan dengan kecenderungan sosiokultural masyarakat setempat, maka setiap negeri itu memiliki alasan yang berbeda mengapa mengadopsi model demokrasi untuk sistem pemerintahannya. Meminjam pembayangan Tocqueville, kebebasan politik, dari waktu ke waktu, memberikan kesenangan yang tinggi kepada sejumlah warga tertentu. Kesetaraan setiap hari memberikan sejumlah kesenangan kecil kepada setiap orang. Pesona kesetaraan terasa setiap saat dan berada dalam jangkauan semua orang ~ karena orang yang berhati paling mulia dapat merasakannya, dan orang yang paling kasar bangga terhadapnya. Dengan demikian, hasrat yang dimunculkan oleh kesetaraan pastilah kuat sekaligus umum. Orang-orang tidak bisa menikmati kebebasan politik tanpa memberikan pengorbanan, dan mereka tidak pernah mendapatkannya tanpa pengerahan tenaga yang besar. Namun nikmatnya kesetaraan terulur dengan sendirinya ~ karena setiap
3
Mukhtar Sarman
kejadian kecil dalam kehidupan tampaknya mendatangkan kenikmatan itu, dan agar bisa mencecapnya, yang diperlukan cuma hidup (Tocqueville, 2005: 371). Tocqueville tentu saja bukanlah orang satu-satunya yang melihat pentingnya faktor sosiokultural untuk mendukung eksistensi sebuah sistem politik pemerintahan yang demokratis.1 Tetapi, merunut pada sejarah pemikiran tentang demokrasi politik modern, tampaknya memang sejarahwan dan pemikir politik Perancis inilah orang pertama yang memahami hal itu (Wholin, 2003:338; Boym, 2010:90-94). Tocqueville meyakini bahwa benturan kepentingan adalah hakikat politik, tetapi konflik sosial bisa distabilkan dan diredakan oleh jejaring ikatan kelompok yang saling silang. Tocqueville menggunakan kata “manners” (perilaku) untuk menggambarkan apa yang dalam sosiologi modern dimaksudkan sebagai “kultur”, tatkala dia membayangkan pentingnya lembaga-lembaga masyarakat yang mengatur diri secara mandiri untuk menjamin adanya relasi sosial yang mendukung eksistensi “masyarakat sipil” yang merupakan basis dari kehidupan masyarakat yang demokratis. Kultur semacam itulah yang mewarnai kehidupan demokrasi dan diperagakan oleh masyarakat politik (Negara) di Amerika Serikat, hingga saat ini (Wolfe, 2006); sehingga demokrasi politik yang dianggap standar kemudian dirumuskan dalam kaidah-kaidah nilai yang mengutamakan kesetaraan dan kebebasan, dan adanya jaminan keadilan karena setiap orang setara ketika berada di bawah hukum (Morlino, 2002). 1
4
Dalam perkembangan kemudian, dengan mengambil kasus Asia dan Afrika, kajian seminal tentang demokrasi dan kaitannya dengan aspek sosiokultural itu antara lain dilakukan juga oleh Kohli dan kawan-kawan (Lihat Atul Kohli (ed), 2001. The Success of India’s Democracy. [Cambridge University Press, Cambridge, UK)] dan Spiess (lihat Clemens Spiess, 2009. Democracy and Party Systems in Developing Countries: A Comparative Study of India and South Africa. [Routledge, New York).
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Demokrasi politik di Amerika Serikat memang bukan tanpa cela, dan karena itu jelas bukanlah tipikal ideal untuk semua sistem sosio-kultural (Miroff, et.al., 2012; Raaflaub et.al., 2007). Namun, suka atau tidak, standarisasi demokrasi modern yang merujuk pada kasus Amerika Serikat itu sedikit banyak juga mewarnai pemikiran dan praksis demokrasi politik di Indonesia. Demokrasi Amerika Serikat (baca: demokrasi liberal dengan kultur Barat) sudah diperbincangkan oleh para bapak pendiri bangsa seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain. Pokok isu pemikiran mereka adalah, apakah demokrasi Barat itu pantas diadopsi begitu saja untuk dijadikan ideologi bermasyarakat dan berbangsa bagi masyarakat Indonesia; atau harus dimodifikasi dan disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi sosiokultural masyarakat bangsa Indonesia (Latif, 2011). Dalam kaitan itulah Sukarno pernah menafsirkan demokrasi yang paling cocok untuk masyarakat bangsa Indonesia adalah model “Demokrasi Terpimpin”, dan kemudian terbukti gagal memberikan kemaslahatan bagi masyarakat bangsa Indonesia (Bourchier dan Hadiz, 2003). Ketika Suharto berkuasa, menggantikan kekuasaan Orde Lama, muncul tafsir lain tentang demokrasi yang dianggap pantas untuk masyarakat bangsa Indonesia, yakni “Demokrasi Pancasila”. Demokrasi Pancasila yang diperagakan oleh rezim Orde Baru yang dikendalikan Suharto itu dinilai oleh sejumlah pengamat politik bukanlah merupakan model demokrasi yang sebenarnya, karena dalam realitasnya sekadar menjadi alat bagi rezim berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya yang otoriter dengan atas nama demokrasi.2 Dari perspektif sosiokultural, kegagalan mengamalkan 2
Dari perspektif kaidah demokrasi liberal, salah satu penciri pemerintahan Suharto dianggap sebagai rezim otoritarian karena menutup peluang hadirnya kelompok “oposisi” ala Barat. Pasalnya, dalam konsep “Demokrasi Pancasila” segala hal bisa dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat; dan Suharto diketahui menuntut komitmen yang utuh untuk hadirnya loyalitas, termasuk dari mereka yang mencoba berada dalam posisi sebagai “oposan” (Lihat Edward Aspinall, 2005. Opposing
5
Mukhtar Sarman
sistem demokrasi liberal seperti yang dipraktikkan oleh masyarakat berbasis kultur Barat itu diyakini karena memang masyarakat bangsa Indonesia tidak memiliki basis kultur yang sama (Tjondronegoro, 2007), dan karena itulah mencari bentuk demokrasi yang lebih relevan dengan kultur asli masyarakat Indonesia tetap dianggap sebuah kebutuhan yang mendesak. Mencari bentuk demokrasi yang berbasis pada kultur masyarakat bangsa Indonesia tampaknya belum kesampaian, tetapi dinamika politik di Indonesia kemudian terlanjur masuk pada era baru pasca tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Era baru politik yang kadangkala disebut sebagai “Orde Reformasi” itu serta merta menawarkan perubahan kerangka pikir tentang demokrasi yang justru lebih kental unsur liberalnya. Salah satu unsur yang sangat menonjol sebagai preferensi tentang demokratisasi di era pasca Orde Baru itu adalah, rakyat harus dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan, sebagai wujud dari pentingnya partisipasi publik, karena orde demokrasi diasumsikan menghendaki hak kedaulatan rakyat diformulasikan seperti itu (Lihat Gaffar, 1999; Alfian, 1986; Rais, 1986; Sjamsuddin, 1989).
2. Demokratisasi Politik dan Pemilu Formulasi teoritik tentang model demokrasi yang berbasis pada kultur masyarakat penggunanya agak jarang menjadi perhatian ilmuwan politik. Pertama, karena kultur bangsa, apalagi yang berasal dari berbagai jenis dan jumlah kelompok etnisnya, seperti misalnya Indonesia, sungguh perkara sulit untuk memberikan identitas baku yang akurat. Kedua, karena untuk merumuskan model demokrasi yang akseptabel dengan perubahan sosial dan kultur suatu bangsa itu bukan hanya membutuhkan pembayangan yang eksklusif terhadap suatu komunitas bangsa (dan hal itu agak berbau imajinatif serta sulit
6
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
diukur), juga membutuhkan semacam “kesepakatan” di antara para pendiri bangsa itu sendiri. Model demokrasi Amerika Serikat pun dalam sejarahnya seperti itu. Itulah sebabnya yang dilakukan oleh banyak peneliti dan ilmuwan politik kemudian adalah sekadar menjelaskan pelbagai modus demokrasi politik dan bagaimana mungkin proses demokratisasi patut dilakukan untuk mencapai kondisi idealnya. Dengan kerangka pikir semacam itu muncullah model-model teoritik demokrasi dengan segala dalil dan justifikasinya. Merujuk pada Dryzek (2004), sekurang-kurangnya ada 54 kata sifat yang menjelaskan tentang substansi teori politik dalam konteks demokrasi, dan tampaknya bisa terus bertambah, sehingga akan membuang waktu untuk menelaah satu per satu, sebab lingkup bahasannya amat luas. Karena itu, sekadar untuk memudahkan analisis, salah satu jalan keluarnya adalah dengan membaca konsep demokrasi yang relevan dengan praktiknya, dan untuk lebih mempersempit ruang analisis bisa dilakukan pendekatan kembar-berlawanan (binary oppositions) yang jelas hubungannya, misalnya antara demokrasi agregatif dengan demokrasi deliberatif, antara demokrasi partisipatori dengan demokrasi representatif, dan seterusnya (Dryzek, 2004:143). Dan sebenarnya, hal itu pun tidak akan menyelesaikan perdebatan, karena setiap orang (ilmuwan) berkepentingan untuk menjelaskan sesuatu entitas, termasuk politik demokratis, menurut perspektif yang diutamakannya. Meskipun perdebatan tentang substansi politik demokratis itu nyaris tak pernah selesai, tetapi tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa politik yang demokratis seringkali dibayangkan sebagai sebuah ideologi yang mengutamakan kebebasan dan menghajatkan partisipasi masyarakat di dalam proses kontestasi politik menuju kekuasaan. Tetapi berbeda dengan pemahaman “kebebasan anarkis” yang tanpa syarat, demokrasi politik
7
Mukhtar Sarman
menghajatkan kebebasan yang menghargai toleransi, pluralisme, dan penghargaan terhadap perbedaan. Itulah sebabnya, dalam mempraktikkan demokrasi dibutuhkan pula kemauan untuk menghormati kejujuran dan mengikhtiarkan keadilan untuk semua. Dalam praksisnya, karena populasi penduduk yang demikian besar dan mereka tidak mungkin dilibatkan langsung dalam kegiatan pemerintahan, model demokrasi lalu dikaitkan dengan sistem perwakilan (representative democracy); dan untuk itu yang dibutuhkan kemudian adalah sebuah prosedur rekrutmen politik yang disebut pemilihan umum (pemilu). Dari perspektif teori normatif, demokrasi politik itu memang menghendaki adanya pemilihan umum, dan alasannya ada dua. Pertama, pemilu akan menjamin bahwa pemerintahan (yang terpilih) mendapatkan akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak warga negara yang memilihnya. Kedua, pemilu itu akan memenuhi fungsi representatif dalam pengertian bahwa ia dapat menjamin perluasan hak membuat undang-undang yang merefleksikan adanya distribusi pendapat dari kelompok pemilih (Dalton, 2011). Tetapi secara teknis, pemilu adalah rekrutmen politik untuk kelompok elit (Perry, 2005; Bachrach, 2010). Kelompok elit itu dianggap mendapatkan kepercayaan publik apabila memperoleh dukungan mayoritas pemilih yang terlibat dalam sebuah pemilu.3 Pertanyaannya kemudian adalah, apakah di tingkat lokal (dan komunitas tradisional) gagasan demokratisasi politik itu relevan Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. [Stanford University Press, California]). 3
8
Konsep elit sebagai “pemilik kuasa” memang merupakan ironi bagi demokrasi, tetapi hal itulah yang terjadi di banyak negara demokratis, seperti misalnya Amerika Serikat, dan dalam realitasnya pemilu sering sekadar proses sirkulasi dari siapa di antara para elit yang akan mendapatkan kekuasaan di ranah publik (lihat Thomas R. Dye dan Harmon Ziegler, 2009. The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics. Wadsworth Cengage Learning, Boston).
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
dengan kondisi sosiokultural masyarakat yang diandaikan mampu berperan sebagai subyek pelaku tindakan politik? Bertanya kepada kelompok awam sangat mungkin tidak akan menemukan jawaban yang memuaskan atas persoalan apakah rakyat pemilih perlu dilibatkan dalam sebuah pemilu, atau tidak. Secara normatif, persoalan politik adalah persoalan kelompok elit karena orientasinya lebih pada aktivitas pengembangan diri ala Maslow di ruang publik. Kelompok elit tidak lagi memikirkan halhal yang berkaitan dengan ketersediaan kebutuhan dasar (basic needs) seperti sandang, pangan dan papan untuk dirinya, tetapi justru berjuang secara politis agar kebutuhan semacam itu tidak lagi jadi masalah bagi rakyat jelata yang mendukung dirinya. Sejatinya, rakyat jelata boleh jadi cukup sadar atas hak kedaulatan politik yang secara inheren melekat pada dirinya sebagai warga negara merdeka. Namun, apakah mereka dapat memahami wacana politik demokratis adalah hal lain. Wacana politik demokratis itu bukan hanya sekadar sebuah bahan gunjingan, tetapi ia merupakan sebuah hasil dialog rasional dan konstruktif tentang bagaimana seharusnya posisi penting rakyat dalam kapasitasnya sebagai pemilik hak suara. Oleh karena itu bukan mustahil kelompok terbesar rakyat yang merupakan bagian dari masyarakat lapis bawah sangat tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kaidah politik demokratis. Bahkan bagi kelompok elit, pemahaman tentang politik demokratis itu pun boleh jadi berbeda tafsir di kalangan mereka sendiri, karena tergantung pada alasan kepentingannya. Kelompok pertama adalah mereka yang mungkin pro pada sistem politik demokratis dalam konteks demokrasi menurut gagasan liberal, tetapi mereka tidak peduli bagaimana efek samping pemilihan umum yang boleh jadi negatif, seperti misalnya munculnya kekisruhan sosial karena kelompok pemilih tidak siap untuk berbeda pendapat dalam hal pilihan politik. Kelompok kedua adalah mereka yang sebenarnya
9
Mukhtar Sarman
sepaham dengan ide demokrasi, namun karena pertimbangan rasionalitas kepentingan lalu bersikap lebih pragmatis dan cenderung pro pada kondisi statusquo. Sedangkan kelompok lainnya, meskipun tidak peduli dengan substansi demokrasi, tetapi dengan alasan khusus yang sifatnya ideologis, boleh jadi sangat mendukung perhelatan politik yang disebut pemilihan umum itu dalam rangka pergantian sebuah rezim secara legal. Itulah sebabnya, ketika mempertanyakan apakah rakyat memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpin formalnya di ranah publik, pokok persoalannya bukan pada ihwal apakah rakyat bisa terlibat (atau tidak terlibat) dalam sebuah pemilihan umum secara sadar dan bertanggung jawab. Pokok persoalannya adalah, apakah rakyat memang merasa berkepentingan untuk berpartisipasi dalam perhelatan politik yang disebut pemilihan umum karena alasan-alasan rasional mereka. Partisipasi politik adalah kehendak bebas berdasarkan kesadaran sebagai warga negara. Karena itu sungguh keliru apabila keterlibatan rakyat dalam pemilihan umum diskenariokan tanpa syarat-syarat logis seperti pengetahuan yang memadai tentang politik dan kemampuan untuk memilah (selection) sebelum melakukan sebuah pilihan (election). Pemilu sebagai perhelatan politik, sejatinya merupakan sebuah panggung yang mempertunjukkan sebuah dramaturgi (Cohan, 1981). Masalahnya, rakyat sebagai pemilik kedaulatan politik demokratis tidaklah membutuhkan dramaturgi yang memposisikan mereka hanya sekadar sebagai penonton pasif. Pemilu itu harus adil, dan asas keadilan dimaksud bukan hanya dalam kerangka tidak ada pilih kasih dari pihak penyelenggara, tetapi juga harus adil dalam memperlakukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.4 Secara teoritis, guna memahami substansi 4
Saya merujuk pada kerangka konsep John Rawls tentang teori keadilan yang seharusnya menyertai perhelatan politik karena berasumsi bahwa setiap warga negara mestinya mengetahui dan memahami gagasan-gagasan tentang hak-hak
10
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
sebuah dramaturgi politik berbasis keadilan itu barangkali bisa dilakukan melalui kerangka analisis “game theory”, bahwa seseorang individu senantiasa memiliki pertimbanganpertimbangan tertentu yang berkaitan dengan outcomes dari pilihan politiknya, dan apa yang menjadi preferensinya (Ordeshook, 1995: 495). Masalahnya adalah, alasan rasional semacam itu bisa saja berbeda orientasinya antara yang berlaku di kalangan elit politik dengan yang menjadi preferensi di kalangan pemilih yang termasuk dalam kelompok masyarakat awam. Pada akhirnya, pokok pertanyaan akan merujuk pada isu: untuk apa gerangan diselenggarakannya sebuah Pemilu? Apabila Pemilu dikaitkan dengan kaidah demokrasi, pertanyaan lebih lanjutnya adalah: apakah masyarakat Indonesia memang membutuhkan demokrasi, terutama dalam konteks memilih para wakil rakyat yang duduk di parlemen?
3. Pemilu yang Berkualitas Pemilu, sebagai proses legal elit yang berkuasa, pada dasarnya bukan hanya mengutamakan output ~ dalam pengertian dapat digantinya rezim yang sudah ada dengan rezim yang baru ~ tetapi seharusnya juga dapat menjamin bahwa rezim baru akan jauh lebih baik daripada rezim yang digantikannya. Dalam kaitan itulah lalu penting untuk disepakati sebuah kriteria yang disebut kualitas demokrasi. Kalau tidak, maka yang terjadi tidak lebih dari sebuah “demokrasi minimalis”, 5 yang mengindikasikan telah dasar dan kebebasan sebagai warga negara ketika harus mengambil keputusan untuk terlibat dalam kegiatan politik demokratis (Lihat Samuel Freeman, 2007. Justice and the Social Contract: essays on Rawlsian Political Philosophy. (Oxford University Press, New York). Lihat juga John Rawls & Samuel Freeman, 2008. Lectures on the History of Political Philosophy. (Harvard University Press), terutama halaman 5). 5
Istilah ini mengadopsi pemahaman Przeworski yang mendefinisikan demokrasi minimalis sebagai “a system in which parties lose elections”. (Adam Przewoski, 1991. Democracy and the Market. [Cambridge University Press], halaman 10).
11
Mukhtar Sarman
dipenuhinya prosedur politik demokratis namun kualitas demokrasinya tidak dipersoalkan. Przeworski (1991) berargumentasi bahwa penyelenggara pemilu bisa saja membuat kesalahan yang menyebabkan nilai-nilai normatif demokrasi tidak bisa diwujudkan karena pemilu tidak bisa ditunda. Karena itu, argumentasi tentang demokrasi minimalis tentu saja tidak membayangkan sebuah demokrasi yang berkualitas tinggi. Przeworski tidaklah sendirian dalam memahami demokrasi dalam perspektif normatif, karena sebelumnya Schumpeter (1950) juga demikian; dan dari perspektif “masyarakat terbuka” (Open Society), Popper (1963) juga memberikan deskripsi yang kurang lebih sama. Bedanya, karena Schumpeter lebih menekankan penolakannya pada doktrin klasik tentang demokrasi lantas cenderung mengabaikan argumen-argumen normatif yang berkaitan dengan sikap-sikap subyektif dari kelompok pemilih, dan pengamatannya terutama hanya pada hal-hal yang secara empiris bisa terlacak.6 Sedangkan Popper justru menolak konsep kedaulatan rakyat sebagai salah satu alasan warga negara terlibat dalam pemilu. Popper menganjurkan menolak pemahaman yang diwariskan oleh pemikiran masa lalu, yang dia kritisi sebagai ‘antikebebasan’ karena mendukung hak kedaulatan (sovereignty). Pasalnya, dengan mengakui hak kedaulatan itu dimungkinkan adanya tirani kedaulatan, yang sebenanya tidak membutuhkan pemilu. Sedangkan pemilu justru memungkinkan secara administrasi digantinya pemerintahan tanpa harus melalui pertumpahan darah.7 6
Dalam tulisan Schumpeter, “….The principle of democracy then merely means that the reins of government should be handed to those who command more support than do any of the competing individual or team”. (Joseph Schumpeter, 1950. Capitalism, Socialism and Democracy. [Harper & Row, New York], halaman 273).
7
Dalam tulisan Popper, “….. The first type [of government] consist of governments of which we can get rid without bloodshed — for example, by way of general elections; that is to say, the social institutions provide means by which
12
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Dengan kata lain, pemilu itu jelas penting peranannya dalam membangun kehidupan politik yang demokratis. Pertanyaannya, bagaimana caranya membangun kehidupan politik yang demokratis itu tanpa harus terjebak pada tirani kedaulatan? Wacana yang berkembang kemudian memberikan resolusi, bahwa yang dibutuhkan adalah pemilu yang berkualitas. Pemilu yang berkualitas adalah pemilu yang mampu menunjukkan dipergelarkannya demokratisasi politik yang baik (“good democracy”), baik dalam prosedurnya maupun dalam dinamika politiknya. Tabel 1. Kategorisasi untuk Mengukur Kualitas Demokrasi Rule of Law
Accountability Responsiveness Freedom Equality
+ + + + + + -
+ + + + + -
+ + + + -
+ -
+ + -
Results Effective Inefficient Responsible Irresponsible Legitimate Illegitimate Free Reduced Egalitarian Unequal Perfect Imperfect or minimal
(+) high presence (-) the lack Sumber: diadopsi dari Morlino, 2002.
Morlino (2002) menawarkan kategori yang dapat digunakan untuk menilai kualitas demokrasi (Tabel 1). Merujuk pada sejumlah ilmuan politik, antara lain Dahl dan Marshall, Morlino berargumentasi bahwa kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) adalah dua hal pokok dalam demokrasi, dan dua hal itu dianggap sebagai inti definisi normatif dari kualitas demokrasi. the rulers may be dismissed by the ruled”. (Karl Popper, 1963. The Open Society and Its Enemy. [Princeton University Press, Princeton], halaman 124).
13
Mukhtar Sarman
Dua hal tersebut selanjutnya bisa dikelompokkan dalam hak-hak politik, hak-hak sipil, dan hak-hak sosial. Hak-hak politik antara lain hak untuk terlibat dalam pemilu sebagai pemilih, hak untuk terlibat dalam pemilu sebagai kandidat, dan hak untuk dipilih oleh publik. Tetapi dalam sebuah demokrasi yang berkualitas baik, hak politik adalah yang utama dibanding hak-hak lainnya; karena hakhak sipil bisa menyangkut persoalan di luar isu politik, seperti misalnya hak privasi; dan hak sosial termasuk juga hak untuk mendapatkan layanan kesehatan dan mendapatkan pekerjaan. Sedangkan implementasi dari kesetaraan (equality) lebih dimaksudkan sebagai nilai yang berkaitan dengan adanya jaminan keadilan yang diterima karena setiap orang setara ketika berada di bawah hukum. Itulah sebabnya, dalam pandangan Morlino, tiga dimensi lainnya, yakni aturan hukum (rule of law), akuntabilitas (accountability), dan ketanggapan (responsiveness), adalah dimensi prosedural yang menentukan kualitas demokrasi yang intinya ada pada dimensi kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality). Masalahnya adalah, hasil pertautan fungsional seluruh dimensi yang menentukan kualitas demokrasi tersebut tidak begitu jelas mendudukkan posisi peran kelompok pemilih; dan apakah para elit ~ khususnya aktor politik yang berperan sebagai kandidat ~ diberi peran lebih penting untuk menentukan kualitas demokrasi dimaksud. Morlino bersama dengan Diamond kemudian mengembangkan lebih lanjut dimensi-dimensi yang bisa digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi (Tabel 2). Dimensi yang ditawarkan oleh Diamond dan Morlino (2004) itu memang lebih jelas pemilahannya, namun tetap saja tidak mudah untuk diaplikasikan untuk mengukur kualitas demokrasi ketika dikaitkan dengan bagaimana praksisnya di suatu negara yang berbeda-beda kondisi obyektifnya. Pasalnya, merujuk pada Diamond dan Morlino,
14
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
sebenarnya tidak jelas benar siapa yang dapat menjamin suatu pemilu dan outputnya bisa berkualitas, karena pemilu dan demokrasi politik itu sebuah sistem yang melibatkan berbagai macam institusi yang secara fungsional saling terkait namun pada sisi lain cenderung bebas mandiri. Contohnya, kelompok pemilih (massa) bersama aktor (elit) adalah bagian tak terpisahkan dari unsur-unsur yang menentukan sukses atau tidak suksesnya sebuah pemilu; tetapi tidak ada kewajiban bagi kelompok pemilih untuk terlibat dalam sebuah pemilu yang demokratis, karena mereka boleh saja untuk tidak berpartisipasi di dalamnya, dan tidak ada mekanisme yang dapat memaksa mereka; terkecuali apabila pemilu dimaksud adalah pemilu yang tidak demokratis. Oleh karena itu kiranya dibutuhkan kriteria yang terukur untuk menentukan apakah sebuah pemilu itu menggambarkan demokrasi politik yang berkualitas baik atau tidak. Dalam hubungan itu tampaknya Diamond dan Morlino juga belum memberikan indikator-indikator terukur yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut. Namun untuk dapat menganalisis kualitas demokrasi sebuah pemilu, dimensi-dimensi yang ditawarkan oleh Diamond dan Morlino itu mestinya bisa saja dijadikan pintu masuknya. Tabel 2. Dimensi-Dimensi Kualitas Demokrasi Kategori Dimensional Dimensi Prosedural
Dimensi Konsep Rule of law
Participation
Competition
Dimensi Operasional Setiap aktivitas politik harus didasarkan pada aturan hukum yang jelas, berdasarkan asas keadilan bagi semua, tanpa kecuali. Warga negara berhak terlibat dalam proses kontrol kebijakan yang dibuat pemerintah, dan hal itu dimulai dengan keterlibatan mereka dalam sebuah pemilu Dimungkinkannya persaingan terbuka (dan jujur) untuk mendapatkan posisi yang berkaitan dengan legitimasi kekuasaan di ranah publik, antara lain melalui prosedur pemilu
15
Mukhtar Sarman
Vertical Accountability
Horizontal Accountability Dimensi Substantif
Freedom Equality
Dimensi Proses Politik
Responsiveness
p p Adanya kewajiban pemimpin politik yang terpilih melalui pemilu untuk mempertanggungjawabkan setiap kebijakan politiknya ketika ditanyakan oleh warga pemilih atau lembaga-lembaga konstitusional yang ada. Adanya hak warga negara untuk mengevaluasi kinerja pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Adanya kebebasan bagi setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Adanya kesetaraan bagi setiap warga negara untuk terlibat dalam proses pemilu, baik sebagai konstituen atau sebagai aktor yang akan bertarung dalam rangka mendapatkan posisi kekuasaan di ranah publik. Adanya transparansi dan tanggung jawab yang berkaitan dengan penggunaan sumberdayasumberdaya untuk menjalankan pemerintahan yang akuntabel.
Sumber: Morlino dan Diamond, 2002
Dalam praksis demokrasi politik di Indonesia, khususnya dalam konteks Pemilu, ada sejumlah paradoks demokrasi,8 yang menyebabkan praksis politik demokratis cenderung seperti purapura (pseudo democracy);9 atau menjadi sekadar demokrasi formal namun sesungguhnya penuh ketidakjujuran. Dalam kasus Pemilu, para aktor yang akan jadi kandidat sangat tergantung pada kebaikan hati pengurus parpol yang berhak mengusung kandidat. Padahal karena ingin mendapatkan peluang lebih besar memenangkan kontestasi politik, elit pemangku parpol bisa saja 8
Istilah paradoks demokrasi lebih dimaksudkan sebagai tidak sesuainya gagasan tentang demokrasi dengan realitas politik yang ada dan ia tidak bisa didamaikan (Lihat Alan Keenan, 2003. Democracy in Question: democratic opennes in a time of political clossure. (Standford University Press), halaman 202.
9
Salah satu sisi negatif ‘pseudo democracy’ adalah munculnya sistem politik yang memungkinkan penyelenggaraan pemilu sebatas dalam kadar nominal, dan dengan demikian niscaya gagal untuk menyelenggarakan pemilu yang berkualitas, karena peserta pemilu dapat melakukan kecurangan-kecurangan dan penyuapan atau bahkan intimidasi (lihat David Sciulli, 2010. “Democracy, Professions and Societal Constitutionalism”, dalam Kevin T. Leicht & J.C. Jenkins (eds), Handbook of Politics; State and Society in Global Perspective. [Springer. New York], terutama halaman 93-95).
16
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
dengan mudah mendukung kandidat yang banyak menguasai modal finansial tetapi miskin gagasan dan tidak jelas visinya. Hal itu bisa dialaskan pada argumentasi bahwa pengurus parpol harus mempertimbangkan kredibilitas parpol mereka atas hasil akhir Pemilu. Dengan demikian, rasionalitas politik para pemain utama dalam Pemilu lalu memberikan kesan kuat, perilaku politik mereka pada akhirnya menghasilkan paradoks demokrasi.
4. Pemilu 2014: Sebuah Asumsi Ada asumsi, bahwa demokratisasi adalah proses pematangan demokrasi menjadi lebih baik, dan salah satu cara untuk mencapai kondisi tersebut adalah dapat diselenggarakannya sebuah Pemilu yang berkualitas baik. Pemilu 2014, dalam rangka memilih para elit untuk menduduki kursi parlemen (dan DPRD), diharapkan bukanlah perkecualian dari hal itu. Namun saya ingin berargumen, bahwa Pemilu 2014 sebenarnya terkendala pada empat faktor untuk dapat menampilkan kontestasi demokratis yang berkualitas. Pertama, lembaga penyelenggara Pemilu 2014 belum bisa melepaskan diri dari habitus politik Orde Baru, yang lebih mengutamakan aspek prosedural dalam penyelenggaraan Pemilu. Kedua, elit yang tampil sebagai kandidat, belum mampu menunjukkan kemandiriannya sebagai aktor politik yang mumpuni sebagai politisi, dalam pengertian menjadikan politik sebagai “jalan hidup” untuk mengabdi. Ketiga, partai politik, belum mampu menunjukkan peran idealnya sebagai pengampu pendidikan politik bagi masyarakat pemilih, agar konstituen yang terlibat dalam Pemilu dapat memilih secara cerdas dan kritis. Keempat, karena hal-hal tersebut, maka masyarakat sebagai kelompok pemilih tak lebih dari obyek kepentingan para elit yang membutuhkan dukungan publik untuk berkuasa.
17
Mukhtar Sarman
Semua kendala itu pada akhirnya bermuara pada perilaku politik yang dangkal (banal). Kedangkalan (banalitas) itu menjadi niscaya, ketika kelompok elit yang mestinya menjadi agen perubahan, justru terjebak dalam kedangkalan pola pikirnya sendiri dalam memahami dan memaknai kekuasaan yang akan diperolehnya melalui Pemilu. Bahwa menang kontestasi politik adalah jalan lempang menuju kekuasaan. Tapi tidak dianggap penting untuk mempertanyakan, untuk apa kekuasaan itu digunakan, dan bagaimana cara mendapatkannya.
18
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Pertama Hiruk Pikuk Pemilu 2014 emilu 2014 dalam rangka mendapatkan para wakil rakyat yang akan duduk di kursi parlemen (dan DPRD) dilaksanakan tanggal 9 April 2014. Namun masa persiapannya sebenarnya dimulai sejak tanggal 6 April 2013, yaitu masa pendaftaran Calon Anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ditutup tanggal 15 April 2013. Setelah itu berturut-turut jadwalnya meliputi verifikasi pencalonan (16 April – 30 Juni 2013), Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR-RI (27 Juli 2013), Pengumuman DCT Anggota DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota (4 Agustus 2013).
P
Pada tahun 2014, jadwalnya meliputi masa pelaksanaan kampanye (11 Januari – 8 April), Masa Tenang (6 April – 8 April), Pemungutan Suara (9 April). Dan kalau di tarik kebelakang, hiruk pikuk Pemilu 2014 sebenarnya mulai terjadi sejak tiga bulan sebelum tanggal 9 April 2014 tersebut.
1. Politisi Inkumban dan Pendatang Baru Tidak dapat disangkal bahwa Pemilu 2014 adalah ajang kontestasi antara dua kelompok politisi, yakni politisi baru yang berharap akan mendapatkan kesempatan untuk mencicipi status sebagai “wakil rakyat”, dan mereka yang sudah berpengalaman dengan status tersebut sehingga dikategorikan sebagai inkumban (incumbent). Politisi baru jelas amat berambisi untuk mendongkel politisi inkumban, apapun alasannya. Tetapi rupanya politisi
19
Mukhtar Sarman
inkumban bersikukuh untuk mencoba bertahan, dengan segala alasan dan alibi politiknya. Sebatas data yang dapat dikulik dari KPU Provinsi Kalsel, dari 130 orang Caleg yang bertarung dalam Pemilu 2014 untuk DPRRI, seluruh politisi inkumban maju kembali dalam kontestasi politik, untuk memperebutkan 11 kursi DPR RI jatah Provinsi Kalimantan Selatan. Tetapi kandidat yang berstatus sebagai politisi baru berjejal ingin menggantikannya. Melihat fenomena tersebut, saya sempat terpikir, mengapa tidak dibatasi saja masa jabatan para wakil rakyat itu hanya satu periode jabatan. Alasannya, seperti saya kemukakan dalam bagian Pendahuluan, bahwa hakikat Pemilu itu adalah proses legal mengganti rezim. Kalau politisi inkumban diijinkan bertarung kembali, buat apa ada Pemilu? Apalagi politisi inkumban itu kinerjanya dilaporkan tidak bagusbagus amat, sehingga layak untuk dipertahankan. Hal serupa terjadi dalam perahu calon anggota DPD-RI. Seluruh politisi inkumban juga terdaftar sebagai kandidat yang bertarung dalam Pemilu 2014 untuk posisi senator di DPD-RI. Masalahnya, seperti halnya anggota DPR RI inkumban, mereka tidak bisa menunjukkan hasil kerja yang nyata kepada kelompok konstituen, apa saja yang dilakukannya sebagai senator yang mewakili daerah Kalimantan Selatan. Lalu apa tanggung jawabnya selama 5 tahun mewakili rakyat Kalimantan Selatan? Itulah sebabnya, para kandidat anggota DPD-RI yang merupakan pendatang baru seakan-akan bersuara sama, kandidat inkumban itu harus diganti (dengan dirinya, tentu saja) karena tidak cukup amanah dengan tugas jabatan sebagai senator. Dan saya yang mengamati fenomena itu sempat terpikir, apakah politisi inkumban itu tidak bosan jadi politisi yang kurang diketahui publik apa hasil kerjanya. Kalau pun misalnya dia tidak bosan, janganjangan kelompok pemilihnya sudah “muyak” melihat tampangnya?
20
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Mencoba mencari justifikasi mengapa politisi inkumban bernafsu sekali untuk tetap mencoba mempertahan jabatan politiknya sebagai anggota Parlemen (dan DPRD) itu, ada dua jawaban standar yang mereka kemukakan sebagai alasan rasionalnya. Pertama, bahwasanya dia sebagai “wakil rakyat” merasa belum selesai mewujudkan cita-citanya membela rakyat pemilihnya. Dia mengaku telah berjuang di Parlemen (atau DPRD), tapi karena menghadapi arus besar yang berbeda (entah apa maksudnya, kurang jelas), hasilnya relatif belum maksimal. Dengan kata lain, mereka sesungguhnya hanya minta pertambahan waktu untuk menyelesaikan tugas mulia itu. Kedua, arus bawah (entah siapa orangnya, hanya dia sendiri yang tahu) menghendaki agar dia terus memperjuangkan aspirasi rakyat. Rakyat masih mempercayakan aspirasi mereka agar diperjuangkan olehnya. Karena itu, tidak mungkin dia tega untuk mengecewakan pendukungnya itu. Jawaban standar yang sangat politis itu tentu saja terserah kita untuk mempercayainya atau tidak, karena yang namanya “orang politik” ada saja alasan rasionalnya untuk melakukan tindakan politik yang paling absurd sekalipun. Seorang politisi senior, dan tentu saja politisi inkumban, dengan terbuka mengakui bahwa dia telah mencoba berbuat sesuatu dalam kapasitas sebagai anggota legislator. Tetapi secara organisasi dia tidak mungkin bekerja secara individual. Secara individu tidak mungkin dia membuat revolusi. Apalagi dia bukan pemimpin suatu revolusi. Dalam mekanisme kerja di Parlemen itu terkandung prinsip kolektif-kolegial. Semua orang harus dapat bekerjasama, dan harus rela berbagi tugas kelompok, untuk menghasilkan suatu kebijakan atas nama lembaga Parlemen. Dengan kata lain, seseorang harus melebur dalam arus besar aspirasi politik yang berkembang. “Tapi sampeyan itu dituduh tidak bekerja dan tidak punya kerjaan oleh konstituen yang kritis lho,” kata saya.
21
Mukhtar Sarman
“Ya, terserah. Paling tidak, secara pribadi saya telah melaksanakan amanah rakyat. Saya telah bekerja maksimal sesuai dengan kapasitas yang diberikan undang-undang,” jawabnya, membela diri. Lapangan politik itu adalah ranah yang merupakan pilihan bebas bagi siapa pun untuk menekuninya. Karena itu saya cukup menaruh respek pada salah seorang anggota DPD-RI tahun 20092014, yaitu Adhariani, yang mencoba peruntungan baru di jalur DPR-RI melalui perahu politik Nasional Demokrat.10 Adhariani memang gagal ke Senayan, karena perolehan suaranya kalah bersaing dengan politisi partai lain. Namun kalau boleh menilai, kegagalannya itu bukan semata-mata karena faktor personal, tetapi boleh jadi karena dia keliru menggunakan perahu politik. Partai NasDem harus diakui belum begitu mengakar di bumi Antasari. Paling tidak sebagai partai baru, Partai NasDem sulit bersaing dengan partai yang sudah mapan dan punya konstituen fanatik di daerah ini. Selain faktor itu, perubahan sistem Pemilu legislatif yang berorientasi pada jumlah suara terbanyak memberikan risiko tersendiri bagi kandidat yang tidak memiliki jaringan politik yang kuat dan luas. Perubahan sistem Pemilu Legislatif menjadi pola proporsional terbuka konon adalah karena desakan arus bawah yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok reformis, yang sudah gerah dengan pola proporsional tertutup yang diwarisi dari rezim Orde Baru.11 Dengan sistem proporsional terbuka, kandidat yang 10
Menurut kabar angin, sebagai anggota DPD RI Adhariani merasa tidak maksimal peran legislatifnya. Undang-Undang memang memberikan kekuasaan yang terbatas kapada anggota DPD RI, dibanding dengan kekuasaan diberikan kepada anggota DPR RI. Upaya agar diberi perlakuan yang sama, selalu gagal diperjuangkan oleh anggota DPD RI, dan hal itu mungkin membuat Adhariani ingin berpindah alamat dalam mengusung perjuangan rakyat.
11
Perubahan sistem proporsional terbuka itu didasarkan pada revisi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif menjadi UU Nomor 8 Tahun 2012, yang
22
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
terpilih dalam Pemilu adalah Caleg yang paling banyak mengumpulkan suara pemilih. Hal itu diasumsikan lebih demokratis dan adil. Sebelumnya, kandidat yang berhak menduduki kursi parlemen ditentukan berdasarkan nomor urut pencalonan. Nomor urut itu sendiri dalam realitasnya lebih banyak didasarkan senioritas dan hubungan kekerabatan dengan pimpinan partai. Sangat populer kala itu istilah nomor kopiah dan nomor sepatu. Maksudnya, jangan harap kandidat yang berada di nomor sepatu akan berkesempatan mencicipi kursi parlemen, kecuali pemilik nomor kopiah mengundurkan diri atau mempersilakan nomor di bawahnya untuk mengambil posisinya. Akibatnya kemudian, nomor urut kopiah itu lalu ada harganya. Dengan sistem proporsional terbuka tidak ada lagi hambatan bagi politisi pendatang baru untuk meraih jabatan sebagai “wakil rakyat”, selama perolehan suara dukungan rakyat mencukupi. Dengan sistem proporsional terbuka itu pula menjadikan kandidat inkumban tidak ada jaminan niscaya akan menduduki jabatan empuk sebagai “wakil rakyat” kembali, karena boleh jadi perolehan suaranya kalah bersaing dibanding politisi pendatang baru. Hal itu diam-diam menjadi bibit konflik di internal partai politik. Sebab, politisi inkumban acapkali tidak ikhlas dengan kekalahannya. Logika politiknya (yang dipakai sebagai asumsi politisi inkumban) adalah, siapa lagi yang membesarkan partai, kalau bukan mereka? Siapa yang mau berdarah-darah dalam perjuangan partai, kalau bukan jasa dan darah para inkumban? Apalagi jika politisi pendatang baru yang memenangkan kontestasi itu pinda musti (baca: sombong) dan bagai kacang lupa dengan kulitnya. Salah-salah, yang bersangkutan bisa kena santet, sebagai resolusi konflik yang terjadi. dikuatkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang perolehan suara terbanyak.
23
Mukhtar Sarman
Akan tetapi, itulah hakikat politik demokratis. Terserah rakyat, mau mendukung siapa, maka dialah sang pemenang dan berhak mendapatkan status sebagai”sang wakil rakyat”. Memang ada untung rugi dalam penerapan pola proporsional terbuka yang mengacu pada perolehan jumlah suara terbanyak. Kendati menurut penglihatan “pengamat” misalnya si fulan tidak bermutu dan tidak layak jadi anggota legislatif, kalau hasil Pemilu justru memenangkan oknum tersebut dengan bukti dukungan suara pendukung yang signifikan, maka Caleg yang “tidak bermutu” itulah yang mewakili rakyat di daerah pemilihan tertentu. Itulah risiko pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka yang mengandaikan tiap pemilih sama cerdas dan obyektifnya dalam memilih kandidat. Padahal salah satu alasan mengapa sistem proporsional terbuka lebih dibutuhkan adalah untuk mengurangi pengaruh negatif oligarkhi partai politik,12 karena dalam sistem proporsional tertutup itu jelas sekali peran hegemonik elit parpol dalam mengatur kelangsungan kepentingannya. Elit parpol cenderung terus menerus ingin berkuasa dan mengangkangi kekuasaan itu untuk dirinya atau keluarganya saja. Dengan kata lain, adanya reformasi politik di Indonesia pasca Orde Baru diasumsikan memungkinkan pengkaderan parpol bisa terjadi secara alamiah dan dinamis. Memang hal itu memberikan dampak ikutan berupa terjadinya persaingan yang terbuka antara politisi inkumban dengan politisi pendatang baru. Dampak ini 12
Secara generik, oligarkhi merupakan pemerintahan negara yang dijalankan oleh sekelompok kepentingan. Bentuk pemerintahan negara dilaksanakan oleh segmen masyarakat (kelompok kepentingan), dengan berdasarkan kekayaan, kekerabatan, kekuatan militer, atau pengaruh politik. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, “oligo” (sedikit) dan “arkhos” (untuk memimpin). Bagi pengamat demokrasi, gejala oligarkhi dalam politik dianggap menghambat proses demokratisasi. Oligarkhi politik menyebabkan segala kebijakan rezim hanya ditentukan oleh segelintir orang (biasanya orang kaya), sehingga boleh jadi kebijakan pemerintah selanjutnya secara eksklusif hanya berpihak kepada kelompok kepentingan tersebut (Winters, 2011:xiii).
24
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
dirasakan sekali oleh mereka yang sebelumnya diuntungkan dengan sistem proporsional tertutup. Termasuk mereka yang selama ini dapat membuat jaringan politik dinasti. Tetapi sekali lagi, begitulah seharusnya demokrasi politik yang normal dan sehat. Dalam demokrasi politik yang dinamis, sirkulasi kekuasaan berlangsung akan lebih hidup, dan mestinya jadi lebih menarik (untuk diamati).
2. Pemilu, Ujian Kejujuran Para Kandidat Inkumban Persaingan antar kandidat untuk memenangkan kontestasi politik yang cenderung terbuka memang di satu sisi lebih menarik (untuk dicermati), tetapi di sisi lain boleh jadi akan bikin ciut nyali bagi yang kurang siap menghadapi pertarungan. Memang fakta politik cenderung memberikan ranah pertarungan kontestasi yang menguntungkan bagi politisi inkumban. Ada beberapa keuntungan politisi inkumban dengan statusnya itu dibanding politisi pendatang baru. Politisi inkumban, karena sudah berpengalaman bertarung dan makan asam garam pertarungan politik yang penuh intrik, biasanya lebih menguasai medan pertempuran. Hal itu terkondisikan karena dia sudah mengenal dan dikenal oleh lingkungan sosial dimana konstituennya berada. Tetapi juga fakta yang sulit dibantah, bahwa politisi inkumban tidak selalu berada dalam posisi yang menguntungkan karena statusnya sebagai inkumban. Status inkumban itu sesungguhnya harus didukung oleh rekam jejak (track record) yang baik. Kalau sepanjang lima tahun menjadi “wakil rakyat” catatan yang dibuat oleh politisi inkumban itu lebih banyak aspek negatifnya, dan konstituen mengetahui hal itu, maka boleh jadi peluangnya untuk tetap bertahan sebagai “wakil rakyat” akan berat sekali. Namun perlu digarisbawahi di sini bahwa konstituen harus mengetahui jejak rekam sang kandidat. Karena bisa saja terjadi, dan bukan hal yang mustahil dalam jagat politik Indonesia, bahwa konstituen
25
Mukhtar Sarman
sama sekali buta kakap (tidak punya informasi apa-apa) atas jejak rekam politisi inkumban. Sebab, sang politisi lawas itu mungkin saja tidak terberitakan di media massa nasional dan lokal. Hal itu dimungkinkan terjadi karena oknum itu memang tidak berbuat sesuatu yang layak diberitakan, sehingga tidak menarik perhatian publik dan wartawan berita. Boleh jadi juga oknum tersebut memang telah melakukan sesuatu hal, namun tidak terpuji, tapi dia berhasil menyumbat arus informasi ke publik, sehingga berita buruk tentang dirinya itu tidak sampai terberitakan secara luas dalam masyarakat. Itulah yang sesungguhnya terjadi pada politisi inkumban yang “nongol” ke ruang publik lima tahun sekali, yakni saat menjelang Pemilu. Saya sebagai pengamat, acapkali sampai terkesima heran melihat foto baliho seseorang yang ternyata adalah politisi inkumban dan mencalonkan dirinya kembali. Lho, ternyata beliau itu anggota DPR-RI tho? Karena dengan wajah lugu (innocent) dan cenderung tanpa rasa malu beliau itu minta didukung kembali, padahal kinerjanya apa, wallahualam. Ibarat seorang pekerja yang mestinya melaporkan hasil pekerjannya kepada pihak majikan, seorang politisi inkumban pun seharusnya punya laporan tahunan kepada majikannya, yakni konstituen yang memilihnya. Sepengetahuan saya, belum pernah terjadi seorang politisi inkumban di Indonesia yang berani melaporkan hasil pekerjaannya selama lima tahun sebagai “wakil rakyat”. Hal itu bukan berarti sang politisi inkumban itu tidak ada pekerjaan. Sebab, dengan ikut sidang pun sudah berarti melaksanakan tugas sebagai anggota Dewan. Tetapi entah karena tidak pandai bikin laporan kerja, atau disebabkan hal lainnya, tanggung jawab moral itu tidak pernah dilakukan secara suka rela sebagai bukti akuntabilitas dari amanah yang diberikan kepadanya oleh rakyat. Masalahnya, kendati tidak pernah menunjukkan bukti kinerjanya selama lima tahun sebelumnya, politisi inkumban itu tidak malu-malu untuk meminta didukung dan dipilih kembali
26
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
mewakili rakyat. Dalam kaitan itu saya lalu tak habis pikir, logika politik apa yang dipergunakan mereka untuk menjustifikasi ambisi politiknya yang tak pernah padam itu. Karena persoalan etika, saya tak mungkin mengecam bahwa mereka itu sungguh tak tahu malu dan tidak bertanggung jawab sebagai politisi. Namun, adakah cara lain untuk menjelaskan hal itu? Barangkali tiga entitas yang merupakan pilar penting demokrasi harus dikritisi perannya. Pertama, partai politik. Perlu dipertanyakan apa tanggung jawab partai politik sehingga mengusung orang yang tak jelas kinerjanya. Kedua, media massa. Perlu dipertanyakan mengapa media massa, terutama koran lokal, tidak memuat dan memberitakan kinerja buruk politisi inkumban. Ketiga, masyarakat sipil (civil society), terutama ormas dan perguruan tinggi di daerah. Perlu dipertanyaan, mana keberanian kalangan masyarakat sipil itu untuk mengkritisi kinerja politisi inkumban yang tidak bertanggung jawab. Saya pikir akademisi di perguruan-perguruan tinggi mestinya dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat, siapa yang layak didukung dalam Pemilu dan siapa saja yang layak diabaikan. Jangan lantaran ewuh pakewuh, atau dengan alibi tidak ingin menciptakan fitnah yang didasarkan pada suudzon (buruk sangka), para akademisi tidak berbuat apa-apa sehingga rakyat dipaksa terperangkap dalam tipu daya para poitisi inkumban yang pura-pura berperan bak pahlawan pembela rakyat, padahal sejatinya penipu belaka. Arkian, kelompok pemilih sebenarnya tidak bisa dipersalahkan. Kalaulah kita sepakat kelompok pemilih adalah penentu suatu kontestasi politik, fakta menunjukkan bahwa mereka cenderung masih berstatus sebagai obyek demokrasi. Sebagai obyek, berarti posisinya lebih sekadar pelengkap penderita. Kedaulatan rakyat hanya omong kosong dalam konstelasi politik demokratis yang tidak sehat seperti itu. Dalam bahasa lain, kalau para aktor yang bermain di panggung politik menyajikan drama
27
Mukhtar Sarman
komedi, maka penonton yang berada di bawah panggung, yakni para konstituen, niscaya hanya siap-siap untuk mendukung tertawa agar suasananya sesuai dengan skenario. Mengapa penonton harus sedih, sedangkan para aktor yang memegang peran utama tidak menghajatkan itu. Syahdan, sebagai contoh tampillah seorang politisi baru, seorang wanita pengusaha. Karena pada dasarnya dia bukan politisi sungguhan, ketika menghadapi ibu-ibu pengajian pun kelihatan sikap groginya. Wanita pengusaha yang berniat mau pindah alamat ke dunia politik itu terlihat gugup menyampaikan visi dan misi partai dan perjuangan pribadinya. Tapi barangkali ibu-ibu pengajian itu merupakan kumpulan orang-orang beriman, tidak ada niat mereka untuk mentertawakan kaumnya yang sedang kelimpungan menata emosinya itu. Mereka nampak antusias mendengarkan paparan sang Caleg, yang sesekali menyeka keringat di dahinya. Mereka juga nampak manggut-manggut, entah karena memahami visi dan misi Caleg itu, atau sekadar karena iba. Ujung cerita, sang Caleg lalu memberikan sekadar “bingkisan” berupa kain kerudung untuk para ibu pengajian itu sambil wantiwanti berucap, “Tolong doakan perjuangan saya, ya bu?” Dan ibuibu pengajian itu pun serempak menyahut, “Amiiin….”
3. Modus Gaya Lebay Dari pengamatan di lapangan, para kandidat berupaya tampil prima dengan modus sebagai berikut. Modus pertama, bikin slogan yang (menurut mereka) menarik. Misalnya, seorang Caleg di Banjarbaru membuat slogan, “Insya Allah Amanah, Berkah Dunia Akhirat”. Saya pikir, slogan itu bukan untuk Caleg, tapi lebih cocok untuk kotak amal masjid. Atau, mengutip slogan yang ditayangkan dalam baliho salah seorang kandidat DPD RI, “Amanah, Cangkal wan Pawanian” (Dapat dipercaya, Ulet dan Pemberani). Saya percaya seratus persen bahwa Caleg yang bersangkutan memang
28
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
amanah dan cangkal. Terutama “cangkal”, karena kalau tidak, bagaimana mungkin dua periode jabatan dia tetap bertahan jadi senator untuk daerah pemilihan Kalimantan Selatan. Tapi “pawanian”? Saya pikir jadi senator itu bukan perkara adu nyali, tapi adu pintar. Buat apa “pawanian”, memangnya mau berkelahi? Bahkan ada pula Caleg DPR RI yang bikin slogan bagai untuk Pemilukada, “Menuju Masyarakat Kalimantan Selatan Yang Sehat & Sejahtera! Dahsyat!” Saya tidak tahu, apa relevansi kata “dahsyat!” dalam tagline itu. Karena kecuali senyum kandidat yang terlihat “langkang” (tersenyum lebar), sama sekali tidak ada sesuatu yang layak dikategorikan dahsyat pada diri sang kandidat. Pokoknya macam-macam slogan yang merupakan unjuk kreativitas pembuatnya. Masalahnya, slogan yang dibuat itu kadangkala memang unik, tapi sekaligus konyol. Dan kekonyolan itu muncul, menurut saya, karena yang membuat slogan itu tidak mengerti substansi pertarungan Caleg berada di ranah mana. Seperti yang slogan diperagakan oleh seorang Caleg DPR RI, “Terus Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat” (Menurut saya, bukanlah tugas fungsi anggota DPR untuk mensejahterakan rakyat. Tapi memperjuangkan agar anggaran pemerintah ditujukan untuk itu). Atau slogan yang dibuat oleh Caleg pemula yang ingin bertarung di tingkat nasional, “Saatnya yang Muda untuk Perubahan” (Saya kritik kandidat ini, karena seolah-olah hanya yang muda yang siap melakukan perubahan. Sedangkan “perubahan” dimaksudkannya tidak jelas, di bidang apa?). Juga slogan yang dibuat oleh seorang Caleg untuk DPRD Kota Banjarbaru, “Ini yang Terbaik BagiKU” (Saya perlu koreksi, apa maksud “KU” yang ditulis dalam huruf kapital itu. Apakah untuk menunjukkan ideantitas diri Caleg yang bersangkutan, atau untuk menyebut Tuhan? Kalaupun betul maksudnya demikian, apa relevansinya dengan kepentingan rakyat pemilih?). Demikian pula dengan slogan seperti ini, “Saatnya Wanita Maju &
29
Mukhtar Sarman
Berkarya Bersama Kami No. 5” (Saya cuma ingin tanya, wanita mana yang dimaksudkannya itu. Dalam konteks Caleg, karya apa yang penting untuk kaum wanita?). Atau slogan yang diusung oleh Caleg DPR RI dari parpol baru yang berbunyi, “Wujudkan Perubahan, Tidak Mengambil yang Bukan HAK”. (Komentar saya, ya iyalah. Kalau anggota legislatif mengambil “hak” orang lain, itu namanya mencuri. Siapa sudi memilih pencuri?). Tapi ada sebuah slogan yang terus terang sulit saya pahami, “Pilihan Hati Sanubari Terjalin Keutuhan Silaturahmi”. (Saya tanya teman saya yang Doktor Bahasa Indonesia, apa maksud slogan itu, dan teman saya itu pun hanya garuk-garuk kepala sembari tersenyum bingung). Dan slogan yang tak kalah membingungkan adalah sebuah narasi provokatif yang dituliskan oleh salah seorang Caleg di balihonya, “Money politik….? Ambil Money-nya, Coblos nama lainnya.” Selain slogan yang menurut saya lebay itu, ada pula kandidat yang bagai sedang “baturai pantun” (beradu pantun) untuk menarik hati konstituen. Maksud kandidat itu pasti baik, yakni dengan menggunakan pendekatan budaya barangkali akan lebih menyentuh daripada menggunakan cara-cara kampanye konvesional. Tetapi simaklah pantun mereka itu, “Kepasar Brimob manukar iwak Saluang, Disanga bakaring kita makan basama, Handak manyalurakan aspirasi pian kami bajuang, Kami mamohon coblos nomor 1 dan 5.” Baliho yang memuat pantun itu ada di Banjarbaru. Tak perlu saya komentari isinya, karena saya bukan ahli membuat pantun. Tapi menurut saya, siapa gerangan konstituen yang dapat membaca dengan cara kilat pesan yang ditulis berupa pantun panjang itu, padahal ia dipasang pada dinding sebuah warung minum di pinggir jalan raya. Memang repot kalau harus bikin slogan yang pantas (secara politik) dan dapat menarik hati konstituen. Karena membuat slogan yang menarik itu tidak mudah, sebagian Caleg akhirnya tanpa
30
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
banyak diplomasi lantas “bujur harus” (tanpa tedeng aling-aling) meminta dukungan konstituen. Hal itu misalnya dilakukan oleh seorang Caleg yang menulis di balihonya, “Jangan Kada Ingat Memilih Ulun” (Jangan Lupa Memilih Saya). Atau, “Mohon Do’a dan Dukungannya”. Dan salah seorang Caleg lainnya malah menulis di balihonya, “Dangsanakku, Pilih Ulun untuk DPD RI 2014-2019”. (Pikir saya, kalau Caleg itu punya dangsanak (saudara) banyak tidak jadi masalah. Tapi kalau cuma sedikit?) Modus kedua, menampilkan foto diri di baliho-baliho dalam kondisi ceria, penuh percaya diri, berwibawa, dan seterusnya. Tuhan menciptakan manusia ini bermacam ragam, dan tentu alamiah apabila ada yang cakep dan ada yang jelek, ada yang tampak percaya diri dan ada yang culun atau kelihatan peragu, serta tak terkecuali ada yang tampak berwibawa dan ada yang kelihatan bagai pecundang. Tapi semua sisi negatif manusia itu mestinya tidak ditampilkan ke khalayak umum, apalagi dalam rangka Pemilu. Sebab, apabila yang ditampilkan itu misalnya sisi negatifnya saja, mana mungkin konstituen akan menaruh simpati. Rasanya masuk akal apabila ada pilihan, tentu konstituen tidak memilih Caleg yang “bamuha mambari maras” (wajah yang bikin iba), “pina marista” (agak menderita), “muha pina takutan” (wajah seperti orang ketakutan), dan sebagainya. Mungkin sadar akan hal itu, lalu para Caleg pun berusaha tampil beda. Cuma, menurut saya, yang banyak terjadi kemudian adalah kebablasan. Memang alat peraga kampanye menjelang Pemilu banyak sekali menampilkan wajah-wajah tak berdosa, lebih tampan dan cantik daripada aslinya, lebih cerah, lebih mempesona, dan seterusnya. Semua itu didukung oleh teknologi komputer yang memiliki program photoshop. Dengan teknologi photoshop, tampang kriminal pun bisa direkayasa menjadi berwajah saleh nan santun. Apalagi kalau cuma merekayasa agar kulit yang aslinya seperti sawo terbakar menjadi putih bercahaya. Gampang lah.
31
Mukhtar Sarman
Oleh karena itu saya terkadang sampai geleng-geleng kepala membayangkan bahwa Caleg yang begitu narsis memajang foto dirinya di ruang-ruang publik itu, belum lagi jadi “wakil rakyat” sudah menipu. Betapa tidak, mereka bersaing jual tampang, dengan sengaja, tetapi menampilkan kepalsuan. Wajah yang ditampilkan begitu menarik, kendati sejatinya jelek. Dan hukum karma pun rupanya diam-diam terjadi. Konstituen yang disuguhi wajah-wajah nan rupawan itu tiba-tiba salah pilih nama kandidat, karena dalam sistem Pemilu tahun 2014 yang harus dipilih adalah deretan nama kontestan politik tanpa ada gambar si kandidat. Menyaksikan fenomena itu saya cenderung ingin berasumsi, bahwa dalam Pemilu legislatif itu yang penting adalah nama yang unik dan mudah diingat, bukan tampang yang rupawan. Nama yang “unik” bukanlah nama “pasaran” seperti misalnya Taufik atau Desy, tapi boleh diuji nama “Utuh Latut” atau “Aluh Idut” barangkali lebih menarik perhatian. Karena hal itulah, saya menduga keberhasilan Soraya meraih satu-satunya kursi PAN di DPRD Kalimantan Selatan adalah karena faktor namanya yang mudah diingat, tentu saja selain faktor orangnya secara fisik. Modus ketiga, menempuh cara-cara yang berbau klenik dan takhayul. Sepengetahuan saya memang tindakan tersebut agak jarang dilaksanakan oleh para Caleg di Kalimantan Selatan (entahlah kalau dilakukan secara diam-diam).13 Yang agak lazim dilakukan oleh para Caleg adalah dengan cara “dimandikan” dan membawa-bawa “wafaq”. Mandi dimaksud bukan sembarang mandi, tapi melalui ritual dan bacaan tertentu, yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang tertentu. Secara teknis, dimandikan 13
Tindakan politik yang berbau klenik dan takhayul itu terutama di pulau Jawa. Dikabarkan, bahwa sejumlah politisi biasa mendatangi tempat-tempat persembahan, makam keramat, dan sebagainya, sekadar minta berkah agar dimudahkan perjuangannya dalam kontestasi politik. Dalam hubungan itulah lalu penting sekali peranan dukun, yang menjadi perantara antara alam ghaib dan alam kasar.
32
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
itu sama saja dengan mandi biasa, yakni air diguyur ke seluruh tubuh. Perbedaannya adalah dalam hal maksud dan hakikat mandi tersebut, karena bagi yang percaya, diyakini dapat meningkatkan aura kewibawaan atau rasa suka orang lain yang memandangnya. Sedangkan wafaq adalah semacam azimat yang berisi tulisan atau rajah, biasanya huruf Arab gundul yang mengandung makna rahasia. Bagi yang percaya, dengan membawa-bawa wafaq itu maka seseorang konon akan terlihat lebih berwibawa dan sebagainya. Benarkah semua itu. Wallahualam. Modus keempat, minta bantuan dari langit. Memang bagi setiap orang yang beriman diwajibkan untuk meminta kepada Tuhan, karena disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah SWT niscaya akan mengabulkan setiap permintaan dari hamba-Nya. Tetapi, menurut saya, terjemahan dari firman Tuhan itu barangkali terlalu kreatif. Tentu permintaan dimaksud tidak termasuk jabatan politik yang harus diperoleh melalui ajang kontestasi politik seperti Pemilu. Apa jadinya dengan keadilan Tuhan, kalau Tuhan mengabulkan (hanya) doa si fulan, dan tidak mewujudkan permintaan si fulan lainnya. Karena itu,menurut saya, jangan bawa-bawa Tuhan dalam pertarungan politik. Tuhan terlalu sakral untuk diajak bermain politik yang dalam praktiknya saling menelikung dan mengakomodasi keculasan-keculasan. Tapi apa lacur yang terjadi, beberapa Caleg rupanya melakukan tindakan seperti itu. Misalnya, mereka mengundang sejumlah orang, biasanya yang dianggap sebagai alim ulama, untuk mendoakan dirinya melalui shalat hajat. 14 Mereka juga 14
“Shalat hajat” merupakan shalat sunat yang didirikan untuk memohon hajat atau ketika berada dalam permasalahan dan kesukaran. Ia dilakukan bagi yang mengharapkan pertolongan daripada Allah SWT dan memohon sesuatu perkara atau menolak sesuatu yang tidak diingini agar apa yang dihajati itu dikabulkan. Sebagian ulama melaksanakan shalat hajat ini didasarkan pada Hadist Nabi yang diriwayatkan At-Tarmizi, “Sesiapa yang mempunyai hajat kepada Allah SWT, maka hendaklah ia berwudhu dengan sebaik-baiknya kemudian dia bersolat dua
33
Mukhtar Sarman
mengamalkan puasa senin-kamis, gemar memberikan infaq dan sadaqah, dan sebagainya laku perbuatan baik dan amal saleh. Tetapi, entah benar atau tidak, niat perbuatannya adalah dengan harapan terbukanya pintu langit agar memberi kemudahan baginya untuk bertarung dalam kontestasi politik, dan tentu saja dengan harapan kemenangan berpihak kepadanya. Modus kelima, menggunakan prinsip ekonomi dan hitung dagang. Caleg bersangkutan berpikir pragmatis, dan mencoba memahami kontestasi politik sebagai politik konstraktual. Dalam logika ini, niscaya berlaku hukum kesepakatan antara pihak yang memberi dan pihak yang menerima, antara pihak yang merasa berkepentingan dan pihak yang dibutuhkan bantuannya. Politik kontraktual tidak selalu negatif. Tetapi ketika politik kontraktual diartikan sebagai mekanisme “take and give” yang berorientasi uang receh, maka masalahnya pun jadi runyam. Di Indonesia, tindakan politik semacam itu lalu direduksi menjadi “politik uang”, walaupun secara konseptual barangkali cukup salah kaprah.15 Caleg memberikan sejumlah uang, bisa langsung atau melalui pihak perantara (broker), kepada kelompok konstiten tertentu. Sialnya adalah, uang telah disebarkan, tetapi Caleg yang bersangkutan tidak mendapatkan jumlah suara yang diharapkan. Hal itu terjadi pada Caleg yang bergantung pada pihak broker, dan kebetulan oknum perantara itu culas.
raka’at.” Dalam hadist Nabi itu implisit shalat hajat dilakukan sendirian, sesuai “hajat” yang dibutuhkan yang mestinya hanya pribadi si fulan yang tahu, bukan berjamaah. Jadi ada semacam kesalahkaprahan ketika shalat hajat dilakukan berjamaah, atau mengundang orang lain untuk melaksanakannya bagi seseorang yang punya hajat. 15
Nanti akan dibahas pada Bab Ketiga buku ini, ada kesalahkaprahan penggunaan konsep politik uang. Sebab politik uang bisa dipahami dalam konteks “membeli suara” (vote buying), atau sekadar pelancar komunikasi dalam rangka kampanye politik.
34
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
4. Mantra “Urang Banua” Syahdan, pada Pemilukada Kalimantan Selatan tahun 2010 yang lalu salah satu pasangan kandidat menggagas slogan “Asli Urang Banua” (Sarman, 2010). Ternyata slogan itu begitu populer di masyarakat, dan kemudian banyak yang mengira bahwa garagara slogan itulah pasangan Rudy Ariffin dan Rudy Resnawan berhasil memenangkan Pemilukada tahun 2010. Saya telah melakukan penelitian tentang Pemilukada Kalimantan Selatan tahun 2010 itu untuk penulisan disertasi, dan dapat membuktikan bahwa Rudy Ariffin dipilih oleh konstituennya bukan lantaran karena slogan “Asli Urang Banua”. Konstituen Rudy Ariffin punya pertimbangan sendiri untuk menjatuhkan pilihannya, karena Rudy Ariffin pandai mengambil simpati masyarakat dalam kapasitasnya sebagai Gubernur inkumban. Slogan “Asli Urang Banua” itu hanya berhasil mengingatkan pemilih bahwa jangan pilih yang “Bukan Urang Banua”. Tidak lebih dari itu. Slogan “Asli Urang Banua” itu, menurut saya, agak salah kaprah. Paling tidak, memberikan insinuasi kepada hal-hal yang mengarah pada fanatisme kelompok.16 Betapa tidak, maksud dari istilah “Banua” itu dalam bahasa Pahuluan (daerah Hulu Sungai, dan khususnya Hulu Sungai Tengah, tempat lahir Rudy Ariffin) bisa disamakan dengan “kampung”. Karena itu di Hulu Sungai Tengah biasa disebut “Banua Binjai” (untuk menunjukkan Kampung (yang dikenal banyak buah) Binjai), “Banua Kapayang” 16
Apapun justifikasinya, slogan “Asli Urang Banua” adalah pola politik identitas yang eksklusif dan pengguna slogan semacam itu patut dikategorikan sebagai oknum yang mengabaikan asas-asas demokrasi yang mengutamakan prinsip kesetaraan dan pluralitas. Pola ini sebenarnya sudah ditinggalkan dalam kultur masyarakat politik modern yang lebih menghargai keunggulan faktor-faktor personal, seperti pendidikan; dan mengutamakan pentingnya visi yang mendasari program yang ditawarkan kandidat kepada publik yang diasumsikan kritis (Lihat misalnya Scher, 1997:99-100).
35
Mukhtar Sarman
(Kampung (buah) Kapayang), “Banua Hanyar”, “Banua Sapanggal”, dan lain-lain. Kalau konsisten dengan hal itu, “Asli Urang Banua” tidak lain sama artinya dengan “Asli Urang Kampung”. Benarkah itu? Tentu bukan demikian maksud Tim Sukses kandidat yang mengusung slogan kampanye kala itu. Tetapi apa penjelasannya? Setahu saya, hal itu tidak terjelaskan dengan tuntas. Juga tidak terjelaskan, berapakah kadar keaslian “Urang Banua” pada diri Rudy Ariffin atau Rudy Resnawan, dibandingkan dengan misalnya Muhammad Rosehan dan Saiful Rasyid yang kala itu juga ikut bertarung dalam kontestasi Pemilukada. Tapi entah mengapa, saya perhatikan terjadi kelatahan para Caleg yang bertarung dalam Pemilu Legislatif 2014 untuk menggunakan slogan “Asli Urang Banua” atau mengandaikan istilah “Banua” sebagai “kampung besar orang Banjar”. Alkisah, bertebaranlah mantra politik “Banua” dan “Asli Urang Banua” sebagai pencitraan Caleg, seperti yang dilakukan oleh Caleg DPD RI yang mengaku “Asli Urang Banua Kita”, atau slogan yang diusung oleh Caleg DPR RI yang memberi stempel “Asli Urang Banua” pada dirinya. Bahkan seorang Caleg dari Batola dengan gagah berani menuliskan slogan politiknya, “Asli Putera Daerah”. Apakah mereka yang mengandalkan mantra “Asli Urang Banua” itu terpilih sebagai “wakil rakyat”? Ternyata tidak. Saya malah terpikir, jangan-jangan “urang banua” hanya sedikit yang berpartisipasi dalam Pemilu 2014. Atau, siapa tahu kelompok pemilih itu enggan disebut sebagai “urang banua”, karena berkonotasi sebagai “orang kampung”. Siapa tahu? Saya kira, itulah risiko bikin slogan tanpa didukung survai pendahuluan. Pertanyaannya, gejala apakah ini? Sepintas lalu hal itu hanya merupakan bentuk kelatahan belaka. Caleg yang muncul belakangan mengira tagline yang pernah populer di masa Pemilukada empat tahun lalu itu masih aktual di benak masyarakat. Tetapi kalau boleh berpendapat, saya ingin mengajukan argumen
36
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
bahwa kelatahan itu muncul karena kedangkalan pemahaman aktor akan mekanisme politik yang mengusung demokrasi politik. Caleg sebagai aktor politik, mungkin mengira apabila dia berhasil membikin slogan yang menarik hati, akan langsung dipilih oleh kelompok konstituen. Kelompok konstituen diasumsikan mudah ditipu dengan segala janji dan metafora yang berbunga-bunga, padahal jangan lupa bahwa di antara kelompok konstituen itu niscaya ada yang mampu berpikir kritis dan membuat opini yang dapat menggiring wacana publik untuk mengangkat nama atau mendiskreditkan kandidat tertentu. Dengan kata lain, Caleg yang terjebak dalam waham tentang kekuasaan yang berfokus pada dirinya sendiri itu, dapat dicurigai kurang sekali penghargaannya terhadap kedaulatan rakyat. Dan salah satu dampaknyanya adalah, mereka cenderung meremehkan nalar yang berkembang dalam masyarakat. Melihat gejala di lapangan itu saya ingin berargumen bahwa elit partai politik dan Caleg masih terperangkap pada pemikiran dangkal seolah-olah Pemilu itu hanya persoalan lima tahun sekali yang berfokus pada bagaimana mengemas kampanye Pemilu agar menarik hati konstituen. Mereka tidak mau mengerti bahwa kampanye politik tidak sama dan sebangun dengan kampanye pemilu. Secara teoritis, kampanye politik selama ini hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilihan umum (Lilleker & Negrine, dalam Firmanzah, 2007). Dalam definisi ini, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh lembaga penyelenggara pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik maupun perorangan, untuk memaparkan program-program kerja yang mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dilihat sebagai aktivitas
37
Mukhtar Sarman
pengumpulan massa, parade, orasi politik, pemasangan atribut (misalnya umbul-umbul, poster, spanduk) dan pengiklanan partai. Periode waktu sudah ditentukan oleh panitia. Masing-masing peserta diwajibkan mengikuti aturan-aturan resmi selama periode kampanye ini. Tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan dianggap sebagai suatu pelanggaran dan akan mendapatkan penalti. Kampanye jenis ini diakhiri dengan pemungutan suara untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan dukungan terbanyak untuk disahkan sebagai pemenang pemilu. Merujuk pada Firmanzah (2007:268-9), selama ini banyak kalangan yang hanya mengartikan kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini membuat semua kontestan individu memfokuskan diri pada periode kampanye pemilu belaka (di mana rentang waktunya memang terbatas). Semua usaha, pendanaan, perhatian, dan energi dipusatkan untuk memengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang pemilu. Setelah pemilu usai, aktivitas politik dilupakan. Para kandidat hanya melihat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas untuk membuat pemilih mencoblos, lalu terjadi pengabaian atas keberpihakan serta semangat dalam membantu permasalahan bangsa dan negara pasca-pemilu. Padahal masyarakat dalam mengevaluasi kualitas kandidat juga melihat apa saja yang telah dilakukan di masa lalu. Pengamatan masyarakat tercurah pada semua aktivitas partai dan kandidat individu, bukannya dipusatkan pada kampanye pemilu saja. Melihat kampanye pemilu sebagai kampanye politik sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Dalam kaitan itulah, lalu menjadi penting rekam jejak (track record) kandidat, sebagai modal dasar untuk kampanye politik dan memenangkan kontestasi. Diasumsikan, tidak mungkin seseorang kandidat yang tidak punya rekam jejak yang baik akan dipilih oleh kelompok pemilih. Kecuali apabila kontestasi politik
38
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
yang terjadi diformat sedemikian rupa menjadi semacam sandiwara politik yang melibatkan para penipu dan broker politik belaka. Kecuali apabila konstituen tidak peduli dengan perhelatan politik demokratis itu, mau jadi apa, karena menganggap tidak ada kepentingannya dengan mereka.
5. “Pengamat” yang Mengundang Waham Tak dapat disangkal bahwa Pemilu 2014 penuh warna, dan cenderung hiruk pikuk, termasuk karena peran “selebritas pengamat” (pengamat yang bertindak seolah-olah pesohor).17 Saya terpaksa menggunakan istilah “selebritas” karena tidak ada padanan istilah lain, terhadap pengamat yang setiap saat dan setiap kesempatan cenderung tampil mengajukan pendapat, dan tentu saja dikutip wartawan karena pendapatnya dianggap sesuai dengan selera publik. Akan tetapi, kalau boleh berpendapat, “selebritas pengamat” ini cenderung tidak menyumbang apa-apa selain kehebohan. Saya perhatikan dengan seksama, saya curiga mereka ini dihubungi wartawan ketika baru bangun tidur. Pendapat “selebritas pengamat” ini tak ubahnya seperti obrolan warung kopi, tanpa dipikirkan matang. Padahal setahu saya, pengamat itu kalau berpendapat seharusnya bernas dan memberikan pencerahan kepada publik. Bahkan, sang “pengamat” itu sering diberi status tambahan “pakar ini dan itu” atau “pengamat ahli”, yang memberikan kesan bahwa pendapatnya itu telah dipikirkan masakmasak sebelum dikeluarkan.
17
Saya cenderung ingin membedakan antara selebritas dengan selebriti. Selebritas itu tekanannya lebih pada ketersohoran oknum yang bersangkutan. Sedangkan selibriti itu adalah semacam figur publik, yakni figur yang ditokohkan dan perilaku serta tindak tanduknya banyak ditiru oleh kalangan awam. Karena itu tidak selalu kaum selebritas menjadi selebriti.
39
Mukhtar Sarman
Saya mungkin terlalu ortodoks dalam menilai kemampuan seorang “pengamat pakar”. Tetapi saya ingin berargumen bahwa fungsi seorang “pengamat” itu seharusnya memberikan pandangan yang komprehensif tentang sesuatu hal. Hasil amatannya itu mestiya berbeda dengan pendapat kalangan awam, yang hanya mengandalkan common sense. 18 Secara teknis barangkali kapasitas dan kapabilitas pengamat yang berstatus “pakar” adalah, dia mengamati realitas berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, dengan data yang tersaji cukup dan diperoleh dengan obyektif, dan teoritisasi yang mumpuni sebagai pisau analisis. Kalau “pakar” itu asal hambus (asal berpendapat tanpa mikir), menurut saya bukan “pakar” dalam arti sesungguhnya, tetapi lebih tepat kalau disebut “pakar miskin”. Selama masa Pemilu Legislatif 2014 jumlah “pakar miskin” itu cukup banyak, lusinan orang, dan mereka mewarnai pendapat “pakar” dalam kolom news analysis di media-media massa lokal Kalimantan Selatan. Itulah sebabnya syarat jadi “pakar pengamat” itu sesungguhnya tidak mudah. Menurut saya, dia harus banyak membaca buku dan membaca fenomena, agar menguasai masalahnya secara komprehensif. Menguasai masalah artinya sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari. Tidaklah elok rasanya kalau seorang “pakar” yang tidak berlatar belakang ilmu politik berpendapat tentang fenomena politik yang terjadi, terkecuali dalam konteks tertentu yang tidak seluruhnya menyangkut ilmu politik murni, seperti misalnya “political marketing” yang lebih banyak dipelajari oleh mereka yang berlatar belakang ilmu ekonomi; atau isu budaya politik yang bisa dipelajari oleh mereka 18
Menurut Aristoteles, sang filsuf Yunani kuno itu, common sense adalah adalah suatu kemampuan yang ada pada manusia berupa kemampuan untuk memutuskan suatu pengetahuan tentang realitas kongkret yang sifatnya dapat diinderai oleh banyak orang (common sensible). Dengan kata lain, asalkan orangnya “waras” tentu dapat berpendapat menurut common sense, untuk menilai sesuatu realitas, termasuk realitas politik, seperti orang kebanyakan.
40
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
yang menekuni sosiologi atau antropologi. Oleh karena itu saya cukup salut kepada seorang pengamat muda di bidang ketatanegaraan, yakni Rifqinizamy Karsayuda. Rifqinizamy secara cerdik mengemas hasil amatannya tentang politik Pemilu dari sudut ketatanegaraan. Artinya, sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya di Universitas Brawijaya. Dan hasil amatannya lalu terasa bernas serta penting untuk diketahui khalayak alias tidak sekadar dianggap pendapat sampah. Tetapi dugaan saya, Rifqinizamy menyajikannya hasil amatannya dalam bentuk konsep tertulis, sehingga ada waktu untuk merenungkan kembali hasil amatannya sebelum dipublikasikan di media massa. Dengan kata lain, hasil amatannya sebagai pakar telah direnungkan dan dikaji ulang berkali-kali. Tidak sekadar “kejar tayang” bak artis selebritas yang mementingkan honor tampil di sinetron namun mengabaikan kualitas cerita dan penghayatan perannya. Atau memberikan “pendapat pakar” sambil makan kacang rebus dan diselingi dengan nonton televisi. Saya membayangkan, andai pengamat dan pemerhati politik lokal yang ada di Kalimantan Selatan dapat menyadari hal itu, alangkah baik dan bermanfaat bagi masyarakat pembaca. Semua orang tidak dilarang untuk berpendapat, tetapi tentu tidak elok kalau semua fenomena ditanggapi oleh orang yang sama dari berbagai perspektif amatan. Ibarat dokter, ada dokter spesialis. Pengamat yang berstatus pakar mestinya setara dengan dokter spesialis. Kalau pengamat pakar menanggapi semua hal, tak bedanya dia dengan dokter umum. Dokter umum itu kurang dipercaya untuk menangani penyakit-penyakit khusus, dan demikian pula analogi untuk pengamat pakar dibanding dengan pengamat awam. Lagipula, siapa yang butuh pengamat awam, bukan?
41
Mukhtar Sarman
Dalam kasus ini saya tidak ingin menyalahkan wartawan yang mewancarai sang pakar. Wartawan memang bertugas mewawancarai alias bertanya. Tinggal yang “menjawab”-nya saja lagi yang mestinya bersikap bijak, apakah jawaban atau tanggapan yang diberikannya itu bernas dan bermanfaat bagi masyarakat? Kalau syarat pertama terpenuhi, perlu dipertanyakan juga, apakah masalah yang dipertanyakan wartawan itu selaras dengan keahlian akademisnya? Kalau pun tidak, sekurang-kurangnya sang pakar itu perlu introspeksi diri, apakah dia punya data dan mengetahui betul fakta yang tidak diketahui oleh pengamat lain? Namun seperti pengakuan seorang selebritas pengamat, adalah wartawan yang memaksanya berpendapat. “Kada purun jua kita (tidak tega juga kita menolaknya),” ujarnya. Oh, gitu tho? Akan tetapi ada seorang selebritas pengamat yang lebih jujur mengaku, bahwa kapan lagi dia akan punya panggung untuk berpendapat? Dengan banyak kesempatan jadi selebritas pengamat itu dia berharap akan dapat menjadi nara sumber suatu pertemuan ilmiah yang lebih bergengsi. Nah, lho? (Saya tak dapat berkomentar lebih lanjut).
42
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Kedua Kontestasi Antar Caleg emilu itu diasumsikan harus jujur dan adil (jurdil). Hakikat jurdil itu lalu diartikulasikan sebagai kontestasi yang mengandaikan kontestasi di suatu “lapangan bermain yang rata”. Masing-masing kontestan tidak boleh diberi “lapangan bermain’ yang lebih luas, atau lebih sempit, atau lebih bergelombang, yang berbeda dengan kontestan lainnya. Dengan asumsi itu, para kandidat diperkirakan akan mendapat peluang yang sama dalam rangka kontestasi, dan memenangkannya. Dengan kata lain, tidak ada pihak yang boleh mendapatkan priveles.
P
Pertanyaannya, logiskah asumsi itu?
1. Persoalan Sudut Pandang Pemahaman akan ‘lapangan bermain yang rata’ itu memang tergantung pada perspektif analisisnya. Dari perspektif egalitarianisme,19 siapa pun orang per orang berhak untuk terlibat dalam kegiatan politik yang disebut Pemilu, entah sebagai pemilih (konstituen) atau sebagai pendukung utama (tokoh lokal dan para elit), atau bahkan sebagai kandidat yang bertarung dalam 19
Egalitarianisme di sini merujuk pada konsepsi umum tentang kesetaraan politik dalam pengertian kebebasan mengeskpresikan aspirasi dan kepuasan karena kebutuhan berekspresi diri terpenuhi (Lihat Nils Holtug & Kasper LippertRasmussen, 2007. Egalitarianism: new essays on the nature and value of equality. [Oxford University Press]. Bandingkan dengan Brian Feltham, 2009. Justice, Equality and Constructivism. [John Wiley and Sons], terutama halaman 96).
43
Mukhtar Sarman
kontestasi politik tersebut. Masalahnya adalah, skenario Pemilu akan menghadapi ancaman yang serius apabila elit parpol pengusung kandidat cenderung menganut budaya parokhial yang mereduksi peran warga masyarakat sekadar sebagai pendukung pasif dan tak peduli bagaimana kualitas partisipasi masyarakat dalam dinamika politik. Apabila politik parokhialisme itu sangat dominan, maka Pemilu itu hampir niscaya tidak lebih dari sekadar model demokrasi pura-pura (pseudo-democracy). Dari perspektif utilitarianisme,20 dasar pijaknya adalah pada asumsi bahwa kontestasi politik yang disebut Pemilu itu seharusnya mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga masyarakat luas,21 terlepas dari persoalan apakah sejumlah warga telah berpartisipasi atau tidak dalam kegiatan Pemilu. Masalahnya adalah, skenario Pemilu semacam itu akan mengalami ancaman apabila ada suatu entitas kekuatan di luar stakeholders yang mampu “mengatur Pemilu” agar sesuai dengan kehendaknya. Apabila kekuatan luar biasa yang berada di luar sistem itu begitu dominan, maka niscaya Pemilu yang diselenggarakan tidak akan sepenuhnya demokratis. Bahkan boleh jadi capaiannya hanya sampai pada taraf demokrasi semu (quasi-democracy). 20
Secara teoritik, utilitarianisme adalah bentuk lain dari liberalisme. Tetapi dalam sejarahnya, liberalisme klasik, yang lahir selama masa Renaisans dan mencapai puncaknya selama abad ke-19, memang berbeda coraknya dengan liberalisme masa kini. Karakteristik pokok dalam liberalisme klasik adalah penekanannya pada individu. Merujuk pada Herbert Spencer (1820-1903), dalam masyarakat manusia, hanya yang paling kuat (the fittest) yang bisa bertahan hidup; dan negara tidak boleh berusaha ikut campur dalam tatanan sosial dan politik (Lihat H.J. Schmandt, 2002. Filsafat Politik. [Edisi Bahasa Indonesia. Diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta] terutama halaman 467-469).
21
Azas manfaat demokrasi ini memang jadi perdebatan, sebab seharusnya dilihat dari perspektif apa, dan apakah tidak menimbulkan bias politik. Tetapi dengan merujuk pada kasus Amerika Latin, manfaat demokrasi yang dihajatkan rakyat sebagai konstituen adalah perbaikan kesejahteraan dan pentingnya asas keadilan ditegakkan (Lihat misalnya Manuel Antonio Garreton, 2003. Incomplete Democracy: Political Democration in Chile and Latin America. The University of North Carolina Press).
44
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Dengan demikian, skenario itu sebenarnya hanya soal pilihan (trade-off) tentang model demokrasi politik macam apa yang ingin dikembangkan dan dilaksanakan dalam konteks Pemilu. Sungguhpun demikian, ada asumsi bahwa demokrasi itu hanya bisa tumbuh kembang di tanah subur masyarakat yang cenderung egalitarian. Asumsi itu boleh jadi benar, namun kualitas politik demokratis sesungguhnya banyak ditentukan oleh mereka yang paham substansi demokrasi dan mampu melihat manfaat dari dipraktikkannya kaidah-kaidah demokrasi dalam pergaulan sosial masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah para elit (dan sebenarnya termasuk para akademisi atau ilmuwan politik yang dimintai bantuan kepakarannya oleh penguasa rezim) yang merancang skenario kontestasi politik melalui ajang Pemilu itu hirau dengan persoalan kualitas demokrasi? Tampaknya tidak ada jawaban pasti yang dapat dirujuk, karena persoalan tersebut sedikit banyak berkaitan dengan hegemoni negara. Gramsci, sebagai pencetus konsep hegemoni, telah memprediksi hal itu dengan berteori bahwa para penguasa rezim, sebagai pemangku hegemoni negara, pada dasarnya selalu berusaha untuk melestarikan dominasinya (Adamson, 1980:174). Ada kalanya hegemoni itu mengalami krisis, namun para penguasa, atau pemegang otoritas politik negara, senantiasa berusaha untuk melakukan kerjasama dan aliansi baru, guna menjamin dominasinya. Untuk itu para elite bisa melakukan strategi “perang posisi” (war of position), yang juga bisa ditafsirkan sebagai sebuah proses dialektis yang berkesinambungan antara masyarakat politik (Negara) dan masyarakat sipil yang mengarah pada proses jangka panjang untuk membentuk apa yang disebut “societa regola” (“aturan konstitusi baru”) (Howson and Smith, 2008:55). Merujuk pada kerangka pikir Gramsci, hegemoni mempunyai dimensi nasional kerakyatan, di samping dimensi kelas, dan hal itu menjadi dasar mengapa strategi “perang posisi” dipilih oleh
45
Mukhtar Sarman
penguasa untuk mengamankan dominasinya. Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan sosial yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas yang mengungkapkan kehendak kolektif rakyat, sehingga masing-masing kekuatan ini bisa mempertahankan otonominya sendiri. Dengan kata lain, strategi “perang posisi” sengaja dilakukan untuk membangun sebuah konsepsi yang sama, pada berbagai kekuatan sosial yang ada, tentang dunia ideal yang seharusnya dapat diterima oleh semua pihak. Karena kelompok penguasa ingin diterima kehendaknya tanpa perlawanan dari rakyat, maka strategi yang biasa dipraktikkan oleh kelompok penguasa itu adalah apa yang disebut Gramsci sebagai “revolusi pasif” (passive revolution) (Adamson, 1980:227; Bellamy and Schecter, 1993:148), yakni gerakan sosial dengan menggunakan agen-agen perubahan ~ yang dalam konteks model negara konstitusional berbasis demokrasi seperti Indonesia, biasanya diperankan oleh para elit birokrasi serta para kader partai politik pemenang pemilu.22 Dari perspektif teori hegemoni, Pemilu boleh jadi bukanlah sebuah bukti kesadaran para elit politik di Jakarta untuk menghargai kedaulatan rakyat ~ dalam pengandaian bahwa rakyat itulah yang akan menentukan siapa penguasa di daerah. Hal itu pertama-tama dapat dilihat dari isi Undang-Undang yang berkaitan dengan Pemilu, nyaris tidak pernah mempertimbangkan kondisi aktual sosiokultural masyarakat yang sejatinya akan berperan sebagai pemilih dan penentu kemenangan seseorang kandidat di ajang kontestasi Pemilu. Semua warga masyarakat yang cukup syarat administratif berdasarkan data kependudukan dianggap siap dan pasti mampu berpartisipasi dalam Pemilu, tanpa 22
Praktik model “revolusi pasif” ini dapat kita saksikan diperagakan oleh rezim Orde Baru melalui kaki tangannya di birokrasi, ketika ingin memaksakan kaidahkaidah demokrasi berasas tunggal Pancasila, dan tampaknya cukup berhasil karena semua partai politik lainnya yang ada, kala itu, tidak menunjukkan sikap lain yang berbeda.
46
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
kecuali. Bahkan komunitas tribal, seperti pada banyak suku asli di Papua, pun dianggap memiliki kemampuan intelektual setaraf penduduk terpelajar yang tinggal di Jakarta. Pada akhirnya, demokrasi politik lokal hanya mampu mempertunjukkan mekanisme demokrasi prosedural tetapi secara substansial cenderung tidak bermanfaat sama sekali bagi sebagian mereka yang terlibat sebagai pemilih ~ karena mereka tidak dikondisikan untuk paham mengapa harus mendapatkan peran sebagai pemilih. Alhasil, model Pemilu itu secara teoritik masih bisa diperdebatkan dalam konteks peran negara yang mestinya berkewajiban memberikan pendidikan politik yang baik kepada setiap warga negara. Pendidikan politik dianggap penting agar setiap warga negara dapat mengaktualisasikan hak politik untuk memilih dan dipilih melalui ajang kontestasi politik yang disebut Pemilu itu secara demokratis dan bertanggung jawab. Demikianlah benang merah asas jujur dan adil dalam aturan main sebuah kontestasi Pemilu.
2. Fatwa Bourdieu Kalau kita merujuk pada Bourdieu (1990), asumsi tentang “lapangan bermain yang rata” itu sebenarnya tidak logis. Dalam permainan yang terjadi di ruang sosial atau bidang yang kompetitif, yang melibatkan berbagai agen sosial, aktor menggunakan strategi yang berbeda untuk memelihara atau meningkatkan posisi mereka. Yang dipertaruhkan di lapangan adalah akumulasi modal ~ yang dalam prosesnya modal-modal itu kemudian menciptakan field (ranah atau lingkungan) tempat agen sosial itu mempertaruhkan segala miliknya. Namun, tidak seperti permainan di lapangan sepak bola yang tergantung bagaimana kondisi lapangan, tidak ada tingkat permainan di ranah sosial ~ karena pemain yang mulai dengan bentuk-bentuk tertentu dari modal yang dimilikinya diuntungkan sejak awal karena
47
Mukhtar Sarman
lapangan permainan tergantung pada modal yang dimiliki serta diproduksinya. Pemain beruntung tersebut dapat menggunakan keuntungan modal mereka untuk mengumpulkan lebih banyak dan lebih maju (lebih berhasil) lagi dari yang lain (Robbins, 2008:69). Dalam pandangan Bourdieu, konsep modal itu penting sekali peranannya dalam konteks ranah (field) tempat modal itu bekerja untuk memberikan posisi kepada aktor. Peran modal dalam ranah politik dapat menjelaskan dinamika persaingan, konflik dan perebutan kekuasaan antara aktor dan agensi dalam bidang permainan yang berbeda. Di ranah ini “kelas” dibangun dan, di sini juga proses konstruksi dibentuk oleh logika lingkungan sosial. Elit partai politik harus menyeimbangkan pertimbangan yang timbul dari kebutuhan untuk menarik calon konstituen mereka terhadap tuntutan yang lain yang timbul dari, misalnya, klaim dari lawan-lawan politik mereka. Keterwakilan sebagai anggota partai politik akan memberikan umpan balik kepada kelas yang diwakili. Bagi Bourdieu, peran penting elit dalam berbagai derajat pada waktu yang berbeda adalah, berhasil membujuk orang berkerumun dalam posisi tertentu dalam ruang sosial dan memobilisasi orang di sekitarnya. Dengan identitas yang serupa, kebiasaan dan etos dibudidayakan dalam proses perjuangan yang lebih berkontribusi pada “pengelompokan” (groupness) dan dengan demikian muncullah “pengkelasan” (classness) dari mereka yang terlibat (Crossley, 2010:87-100).23 Meminjam kerangka teori Bourdieu, kekuatan modal dalam menunjukkan posisi agen di ranah (field) politik jelas sangatlah penting. Bourdieu bahkan menggunakan perbandingan kekuatan 23
Bourdieu memang tidak membahas secara langsung pentingnya proses-proses reproduksi untuk konsepnya mengenai kelas, namun dalam banyak karyanya, dia mengakui hal itu penting adanya (Lihat Nick Crossley, “Social Class”. Dalam Michael Grenfell, 2010. Pierre Bourdieu: Key Concepts. (Acuman Publishing Limited, Durham), halaman 87).
48
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
militer untuk melukiskan lingkungan (field), dan menyebutkan sebuah area “benteng strategis untuk dipertahankan dan direbut dalam lingkungan perjuangan” (Bourdieu, 1984:244). Adalah modal yang memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi.24 Melalui strategi itulah “penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip penjenjangan yang paling menguntungkan terhadap tujuan mereka sendiri. Dengan kata lain, strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan” (Bourdieu and Wacquant, 1992:101). Dengan asumsi bahwa tiap kontestan niscaya memiliki “modal” yang tidak sama, jelas bahwa dalam realitasnya mustahil membayangkan kontestasi politik itu dalam skenario yang “adil”. Pasti ada pihak tertentu yang berlebih modal, dan memanfaatkannya untuk memperbesar peluang kemenangannya. Apalagi kontestasi politik semacam Pemilu Legislatif (yang jelas-jelas sangat liberal) itu memungkinkan setiap kontestan untuk menggunakan segala cara untuk meraih popularitas dan simpati publik. Bahwa ada yang berasumsi kondisi semacam itu tidak ideal, saya pikir orang itu tidak pandai membaca realitas. Barangkali ada yang berpikiran negatif dan berkesimpulan kontestasi politik itu hanya memfasilitasi orang-orang berduit, memang demikianlah fakta empirisnya, dan orang yang tidak punya duit jangan protes. Sebab dalam realitasnya orang miskin tidak patut 24
Tetapi, strategi tidak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan… Melainkan, mengacu pada perkembangan aktif “garis tindakan” yang diarahkan secara obyektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami, meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi” (Loic J.D. Wacquant, 1992. “Toward a Social Praexeology: The Structure and Logic of Bourdieu’s Sociology.” Dalam P. Bourdieu and L.J.D. Wacquant (eds). An Invitation to Reflexive Sociology. (University of Chicago Press, Chicago, pp. 2-59), halaman 25).
49
Mukhtar Sarman
untuk ikut berkompetisi dalam kontestasi politik, karena pasti kalah. Dalam tataran ideal, ranah politik pada dasarnya bukan lahan pekerjaan bagi kaum pengangguran, tapi ranah pengabdian. Para politisi yang eksis di lingkungan politik praktis adalah orangorang yang mestinya sudah mapan. Dan seharusnya para politisi itulah yang memperjuangkan aspirasi kaum miskin dan kelompok marjinal.
3. Fenomena “Habib” yang Tak Terjelaskan Suka atau tidak, salah satu oknum kandidat yang menarik hati untuk dicermati dalam Pemilu 2014 adalah “habib”.25 Habib pasti orang Arab, dan dalam jagat politik lokal biasanya orang yang dimuliakan oleh banyak pengikutnya.26 Tidak mungkin orang Banjar bergelar “habib”, kecuali untuk menyebut orang yang punya tabiat yang tidak pantas dibanggakan, menyangkut kesukaan berlebihan pada “bibinian” (perempuan). Barangkali hanya ada di Kalimantan Selatan, “habib” menjadi sosok pujaan hati konstituen. Entah siapa yang pertama kali menyosialisasikannya, cukup banyak orang awam yang percaya dengan kredilitas “habib” sebagai politisi. Bahwa “habib” itu layak dipilih karena gelar yang disampirkan kepadanya berkaitan dengan kemampuan diri yang bersangkutan dalam menjalankan amanah. 25
Habib adalah gelar yang dilekatkan pada keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra (yang memiliki putera bernama Hassan dan Husain) dan Ali bin Abi Thalib, atau keturunan dari orang yang bertalian keluarga dengan Nabi Muhammad (misalnya saudara sepupu). Di Indonesia, kelompok habib ini terutama warga keturunan Arab yang berasal dari Yaman dan Hadramaut, dan mereka itu dimuliakan oleh kelompok Muslim tradisional di Kalimantan Selatan karena dianggap sebagai “keturunan langsung Nabi Muhammad SAW”.
26
Orang pertama yang mendapat berkah dalam kepolitikan Kalimantan Selatan dengan menggunakan gelar tersebut adalah Habib Aboebakar, ketika pada tahun 2004 dia mencalonkan diri sebagai caleg dari PKS, dan berlanjut pada tahun 2005 ketika bersama Ismet Ahmad bertarung dalam Pemilukada Kalimantan Selatan. Pada Pemilukada tahun 2005 itu Habib Aboebakar terkenal sekali dengan sebutan “cucuk nang bakupiah haji”.
50
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Pada Pemilu 2014, dari data KPU Kalimantan Selatan, terdapat 8 orang kandidat yang memanfaatkan gelar “habib” untuk tujuan politisasi. Berhasilkah mereka itu? Ya dan tidak. Artinya, ada yang berhasil, dan ada yang tidak. Rupanya masyarakat pemilih di Kalimantan Selatan masih pilih-pilih untuk memilih “habib” yang mana yang layak dipercayanya jadi “wakil rakyat”. Sama juga dengan gelar KH (Kiai Haji), yang menggambarkan kekuasaan yang bersangkutan di lingkungan dengan tradisi pesantren, tidak selalu dijamin akan dipilih rakyat. Atau gelar akademik seperti Dr (Doktor) dan Master, yang menggambarkan tingkat pendidikan formal seseorang. Tidak semua orang terhormat itu dipercaya oleh konstituen untuk jadi “wakil rakyat”. Akan tetapi dari sekian “habib” yang muncul di gelanggang politik Pemilu 2014 itu, salah satu yang menurut saya layak jadi fokus amatan adalah “Habib Banua”, yang bertarung di jalur DPD RI. Nama lahirnya adalah Abdurrahman. Siapakah gerangan dia? Dari Data Riwayat Hidup yang dapat diakses di portal KPU, saya dapat sedikit informasi tentang dirinya: Lahir di Banjarmasin tanggal 27 April 1979 (atau umur 33 tahun). Isterinya bernama Hj. Azizah Jumiati, tetapi tidak ada informasi apakah dia punya anak atau tidak. Pendidikan formal tertinggi adalah Madrasah Tsanawiyah (lulus tahun 1995). Sedangkan untuk memenuhi persyaratan pendidikan setara SLTA, dia hanya mengandalkan ijasah Paket C. Adapun pekerjaan utamanya adalah mengajar agama di Pesantren. Dan jabatan publik yang pernah diembannya adalah Ketua MUI Banjarmasin Selatan. Karena penasaran, sebelum hari pemungutan suara, saya pernah bertanya tentang profil “Habib Banua” itu kepada seorang kawan di KPU Kalimantan Selatan. Jawabannya ternyata tidak cukup memuaskan. “Saya kurang tahu,” jawabnya agak ragu. “Kabarnya, dia itu keturunan Habib Basirih di Banjarmasin
51
Mukhtar Sarman
Selatan.”27 Saya sempat berpikir, kalau seorang komisioner KPU saja kurang tahu, apalagi masyarakat umum yang jadi konstituen. Popularitas “Habib Banua” itu agak meragukan saya, dan apalagi tingkat elektabilitasnya. Mungkinkah masyarakat Kalimantan Selatan masih memuja “habib” dan mendukungnya untuk bertarung di dunia politik?28 Apalagi penampilan “Habib Banua” ini pada baliho-baliho yang dipajang di sepanjang jalur jalan provinsi di wilayah Kabupaten Banjar dan pinggiran Kota Banjarmasin menurut saya biasa-biasa saja, kecuali sorban yang dikenakannya mengingatkan saya akan penampilan seorang Kiai. Tapi dugaan itu saya rupanya meleset kali ini. Suara pendukung “Habib Banua” ternyata sungguh luar biasa, terutama di daerah pinggiran Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. Suara pendukung “Habib Banua” ini malah di atas perolehan suara Habib Hamid Abdullah, yang lebih dulu mengenalkan dirinya sebagai “habib”.29 “Habib Banua” itu hanya kalah dibanding peringkat pertama, yaitu Gusti Farid Hasan Aman, yang menurut selentingan rumor politik di kalangan ibu-ibu, dipilih oleh konstituen karena “bungas”nya.30 27
“Habib Basirih” adalah sebutan untuk Habib Hamid bin Abbas Bahasyim yang berkubah (dimakamkan dan diberi kubah) di Kampung Basirih. Konon Habib Basirih itu merupakan keturunan dari leluhurnya yang bernama Habib Awad bin Umar, yang dipercaya sebagai keturunan ke 32 dari Nabi Muhammad SAW.
28
Saya cenderung meragukan asumsi bahwa “habib” masih punya tingkat elektabilitas tinggi, seperti pada era Pemilu 2004 dan 2009. Hal itu didasarkan pada kasus Habib Aboebakar yang berpangan dengan Zairullah Azhar dalam Pemilukada Kalimantan Selatan 2010. Popularitas Habib Aboebakar ketika itu tidak cukup signifikan untuk menghantarkan pasangannya memenangkan kontestasi.
29
Habib Hamid Abdullah bertarung pada Pemilu 2009, dan menghantarkan dirinya menjadi senator dengan perolehan sebanyak 99.133 suara pemilih, atau menduduki peringkat ketiga dari empat orang utusan DPD RI Kalimantan Selatan kala itu.
30
Orang Banjar menilai wajah seseorang (laki-laki atau perempuan) itu dengan istilah “bungas” dan “kada bungas”. “Bungas” lalu bisa berarti tampan dan cantik. Tapi kosa kata dalam bahasa Banjar secara khusus menggunakan “langkar” untuk menyebut “jelita” atau “cantik jelita”, yang ditujukankepada seorang wanita. Saya tidak menemukan padanan yang sama untuk sebutan kepada laki-laki yang setara dengan “cantik”. Mungkin laki-laki Banjar tidak ada yang termasuk kategori
52
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Secara obyektif, menurut pengamatan saya, “Habib Banua” itu memang “kalah bungas” ketimbang Gusti Farid. Wallhualam. Tapi bahwasanya “Habib Banua” itu banyak sekali pemilihnya, sedangkan modal politiknya kurang dikenali, membuat saya penasaran dan mencoba mencari-cari justifikasinya.31 Merujuk pada Bourdieu, dalam ranah politik memang memungkinkan semua orang mengeksplorasi modal (capital) yang dimilikinya, dan Bourdieu tidak menyebut bahwa “kabungasan” seseorang sebagai salah satu modal yang patut diperhitungkan. Bourdieu mendeskripsikan salah satu modal yang kiranya relevan dengan kasus “Habib Banua” itu, yakni modal simbolik. Modal simbolik (symbolic capital) adalah legitimasi yang dimiliki oleh seseorang karena adanya diferensiasi sosial dan pemahaman kategoris bahwa ada kelebihan nirfisik pada diri seseorang daripada yang lainnya, dan karena legitimasi itu seseorang dapat menunjukkan dominasinya.32 Dalam realitas sosial, modal simbolik ini bisa dimiliki seseorang sebagai warisan nama besar atau kesalehan yang diturunkan oleh leluhurnya, persis yang terjadi di kalangan habib. Akan tetapi, kalaulah benar logika modal simbolik itu dapat menjustifikasi keberhasilan “Habib Banua” meraup suara konstituennya, mengapa hal serupa tidak terjadi pada Habib Nabiel “bungas banar”, sehingga tidak muncul istilah yang mewakili sebutan itu. Wallahualam. 31
Saya menduga, bahwa Habib Abdurahman itu punya massa pemilih yang tak terhitung di kalangan penganut Islam di Kalimantan Selatan lebih karena statusnya sebagai pimpinan FPI (Front Pembela Islam) Banjarmasin. Hal itu selaras dengan slogan lain yang dijual oleh Habib Abdurrahman, yakni “Pelayan Umat, Pembela Agama”. Tapi dugaan saya itu sulit dibuktikan, karena KPU tidak punya identitas personal data pemilih Habib Abdurrahman.
32
Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Modal simbolik lahir dari suatu kepercayaan sosial, dan agenlah yang menciptakan itu (lihat Bourdieu, 1990: 22, 111).
53
Mukhtar Sarman
Almusawa dan Habib Hasyim Arsal Alhabsi yang bertarung di jalur DPR RI, padahal kedua orang itu juga menjual zuriat habib untuk politik pencitraan. Habin Nabiel yang mewakili PKS hanya meraih suara 27.586 orang pemilih, sedangkan Habib Hasyim Arsal yang menggunakan partai Demokrat mendapatkan dukungan suara sebanyak 19.357 orang pemilih. Kedua Habib itu gagal ke Senayan, karena suaranya kalah bersaing dibandingkan kandidat lain di Daerah Pemilihan masing-masing. Padahal dilihat secara fisik, dua orang habib yang gagal ke Senayan itu jauh lebih menarik dari “Habib Banua”, selain latar belakang pendidikan formal mereka juga lebih mumpuni. Alhasil, keberhasilan “Habib Banua” meraih dukungan politik massa yang signifikan masih merupakan “misteri” bagi saya, sekurang-kurangnya apabila membanding keberhasilan antar habib yang bertarung di ranah politik yang sama. Kecuali apabila kita gunakan asumsi bahwa kelompok pemilih “orang Banjar” itu tidak rasional. Tapi untuk percaya dengan asumsi itu saya masih tidak yakin seratus persen. Pasalnya, rasional dan tidak rasional dalam dunia politik itu sulit didefinisikan. Sama juga dengan asumsi bahwa kelompok itu sudah cerdas, definisinya apa? Memangnya ada ukuran kecerdasan pemilih seperti halnya test IQ untuk orang masuk perguruan tinggi? Jangan-jangan praktik politik yang berlaku di masa kini sebenarnya masih serupa dengan zaman Orde Baru yang tidak membutuhkan pemilih yang cerdas dan kritis. Siapa tahu?
4. Ironi Demokrasi di Ranah Politik Ada semacam syarat, bahwa untuk terlibat dalam pertarungan di ranah politik itu “wajib” untuk optimis. Tetapi semua manusia itu pada dasarnya rasional, dan rasionalitas acapkali mengundang keraguan, sehingga optimisme pun terpaksa diturunkan menjadi “optimisme bersyarat”. Hal itu tampak dari pengakuan jujur sejumlah kontestan Pemilu. Umumnya mereka
54
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
mengaku optimistik, tapi berujar diplomatis, “Kalau semua skenario berjalan lancar, Insyaallah kita dapat memenangkan hati rakyat. Tapi kita akan terus berjuang.” Memang sikap rendah hati itu perlu sekali ditunjukkan oleh kandidat. Sebab, saingan sangat banyak, sedangkan simpati semua konstituen sangat dibutuhkan. Akan tetapi tidak setiap kandidat pandai berdiplomasi. Dalam hal itu ada dua tipe kandidat yang dapat dilacak. Pertama, kandidat yang terlalu optimistik, sehingga memberi kesan “pina musti” (sok pasti). Tipikal kandidat jenis ini biasanya menebar senyum di mana-mana dan kapan saja. Kalau ditanyakan soal peluangnya, dia akan berargumen, “Peluang hari ini, mungkin di atas tujuhpuluh lima persen. Tapi masih akan kita terus push, supaya pada hari-H lebih meyakinkan lagi.” Kandidat tipe ini biasanya yakin dengan peluang dirinya karena punya modal politik yang kuat. Balihonya ada di mana-mana. Kadangkala punya tim sukses pula. Kedua, kandidat yang pasrah. Kepasrahannya itu bukan tanpa sebab. Umumnya kandidat jenis ini kurang memiliki modal finansial yang cukup. Alhasil, jawabannya atas peluang dirinya selalu berujung pada doa. “Kita sudah berusaha maksimal. Semua konstituen kita telah kita datangi dan minta dukungannya. Mudahmudahan Tuhan membuka hati mereka.” Syahdan, terjadilah kasus yang menurut saya merupakan bentuk ironi demokrasi dalam kontestasi politik lokal. Seorang kandidat, entah karena dorongan dari siapa, ikut bertarung dalam Pemilu DPRD Kabupaten melalui sebuah partai politik besar. Sebenarnya adalah hak setiap individu untuk mencalonkan diri dan dipilih dalam Pemilu. Tapi bagaimanapun juga, tampaknya perlu diperhatikan persyaratan personalnya, apakah yang bersangkutan patut mencalonkan diri dan layak dipilih? Dalam kasus ini sang kandidat punya latar belakang yang unik. Dia bergelar sarjana (kendati banyak orang yang meragukan proses
55
Mukhtar Sarman
dirinya mendapatkan gelar itu). Sehat dan berakal (walaupun mungkin agak sedikit kurang cerdas). Keterangan dokter menyebutkan dirinya sehat (kendati saya agak ragu dengan itu, karena badannya kurus kering sehingga memberi kesan penyakitan). Dia termasuk kategori usia produktif (karena baru memasuki “kepala tiga”). Namun, sesungguhnya dia itu pengangguran! Untuk menopang kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya (dia sudah beristeri dan punya anak) dia bekerja serabutan, dan masih mondok di rumah mertua indah. Lalu bagaimana caranya dia masuk dalam peta pertarungan kontestasi politik lokal? Ternyata sebelum masa pendaftaran Caleg dia kebetulan mendapat bagian dari warisan orangtuanya. Dengan modal pembagian harta warisan itulah dia “investasikan” untuk terjun ke dunia politik. Harapannya, saya duga, dengan memenangkan kontestasi politik itu akan menghantarkan dirinya jadi anggota DPRD Kabupaten. Dengan status sebagai anggota “parlemen lokal” itu niscaya akan terjamin hidupnya, karena walaupun gaji dan tunjangan anggota DPRD itu tidak terlalu besar, tentulah lebih dari memadai untuk gantungan hidupnya bersama keluarga selama 5 tahun ke depan. Tapi apa lacur yang terjadi, pendukungnya di TPS (tempat pemungutan suara) terdekat dengan tempat tinggalnya cuma satu orang! Padahal konon dia sudah membayar broker untuk mengusahakan sejumlah pendukung agar memilih dirinya. Padahal dia sudah membikin banyak baliho kecil yang dipancang di sepanjang jalan kecil dan gang seputar tempat tinggalnya. Bahkan, dengan keberanian yang luar biasa, dia bikin juga baliho besar yang dipajang di dinding sebuah ruko yang dianggapnya strategis. Dengan kata lain, kurang apa lagi usaha yang dilakukanya untuk mengenalkan diri ke khalayak publik, bahwa dia adalah Caleg yang siap dipilih? Ketika diam-diam oknum Caleg gagal ini mengintip hasil perhitungan suara di TPS yang hanya memberikan satu suara
56
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
kepadanya, siapa yang dapat menduga apa kecamuk yang melanda hatinya. Yang pasti, matanya nampak nanar dan berkaca-kaca. Sedih, tentu bisa ditebak. Malu, boleh jadi juga. Merasa tertipu, mungkin. Tapi tanpa bermaksud menghina, saya ingin menyatakan bahwa itulah buah dari kebodohan dirinya. Kenapa dia tidak mengukur diri untuk bertarung dalam dunia politik yang kejam tanpa modal politik yang memadai. Pada akhirnya, setelah Pemilu usai, dia kembali bekerja serabutan untuk menopang hidup keluarganya. Kasus-kasus kandidat yang mencoba peruntungan jadi Caleg itu, dengan alasan daripada susah mendapatkan pekerjaan di sektor formal, terutama terjadi pada Pemilu Caleg untuk tingkat Kabupaten/Kota. Alhamdulilah mereka nyaris semuanya gagal. Kandidat dari kelompok ini yang berhasil menang dapat dihitung dengan jari, dan umumnya berasal dari keluarga politisi, anak pejabat, atau anak orang kaya. Mereka juga masih “hijau” dari pengalaman dunia politik, tapi rupanya bisa dikarbit dengan modal sosial atau zuriat (asal usul keturunan), dan tentu saja modal finansial yang dimilikinya. Kendati demikian, dalam hubungan itu saya ingin berargumen, bahwa sungguh salah kaprah kalau mengandaikan tugas jabatan sebagai “wakil rakyat” itu mudah. Betapa tidak, sebagai legislator setiap “wakil rakyat” itu melaksanakan tugas jabatan yang berat, minimal dalam hal tiga fungsi dewan, yakni: membuat legislasi, merumuskan anggaran, dan mengawasi kinerja Pemerintah. Kasus salah kaprah kandidat itu bukan hanya menimpa kaum pengangguran yang mencoba mencari peluang kerja sebagai “pegawai politik” di DPRD. Hal serupa juga menimpa kaum pensiunan. Ada obsesi yang rupanya masih bergejolak dalam dada mereka, bahwa masyarakat masih membutuhkan peran sosial politiknya, dan kebetulan dia masih merasa mampu untuk menunjukkan kinerja yang mumpuni.
57
Mukhtar Sarman
Dengan rasa percaya diri yang mantap, mereka ini mendaftar menjadi Caleg. Sebagai modal awal untuk berkontestasi, dia gunakan dana pensiun yang diberikan oleh PT Taspen tempo hari sewaktu dia purna tugas sebagai pegawai negeri. Seperti kandidat lainnya, dia bikin baliho ukuran sedang dan dipajang di sembarang tempat yang strategis, terutama di mulut-mulut gang, depan gerbang perumahan, dan perempatan jalan. Sebagai upaya memperkenalkan diri sebagai Caleg, mereka ini rajin sekali mengunjungi pengajian, Yaasinan, pesta perkawinan, dan melayat orang meninggal. Tentu saja dengan busana yang cocok, misalnya untuk melayat orang meninggal dia mengenakan baju koko (busana Muslim), sedangkan untuk pesta perkawinan adalah baju batik atau sasirangan (motif batik khas Banjar). Tetapi berbeda dengan perilaku politisi inkumban atau politisi pendatang baru yang punya modal finansial kuat, Caleg pensiunan ini umumnya tidak menolak proposal bantuan yang diajukan oleh masyarakat, tetapi juga tidak pernah mengiyakan. Dia hanya berjanji akan menyalurkannya kepada instansi Pemda yang berwenang. Atau berjanji akan merealisasikannya nanti kalau sudah terpilih jadi anggota DPRD. Benarkah dia terpilih sebagai “wakil rakyat” dalam Pemilu kali ini? Satu dua orang dari kandidat pensiunan itu memang berhasil mengumpulkan suara pendukung yang memadai, dan berhak untuk mendapatkan kursi di lembaga legislatif di tingkat DPRD Kabupaten. Namun, kandidat selebihnya terpaksa gulung tikar. Mereka gagal mewujudkan mimpi konstituennya yang menghendaki dia jadi “wakil rakyat”. Dan diam-diam dia merutuki nasibnya itu sambil mencari kambing hitam bahwa kekalahan sampai dialaminya karena dia mencoba bertarung jujur dan tidak main uang. “Pemilu sekarang ini memang rusak, karena yang menang pasti main duit!” sergahnya, marah-marah. Sikap marahmarah itu perlu dipertunjukkan secara terbuka, karena isteri disampingnya masih terus cemberut sembari mengungkit-ungkit
58
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
berapa jumlah uang telah dihabiskannya untuk bisa bertarung dalam kontestasi Pemilu. Termasuk dana pensiun yang semula untuk menjamin kehidupan mereka di masa tua. Realitas politik pasca Pemilu 2014 memang meninggalkan kisah pilu untuk Caleg yang gagal. Tetapi saya ingin menunjukkan fakta yang tidak kalah memilukan dari sudut demokratisasi politik lokal. Betapa tidak, ternyata hanya 4 buah partai politik di Kalimantan Selatan yang menunjukkan kinerja “cukup baik”, sehingga konstituen cukup mengenal dan akhirnya memilih Caleg yang diunggulkan oleh partai politik tersebut. Tetapi kriteria “cukup baik” itu pun harus dibaca hati-hati, karena angkanya masih di atas 20% (Lihat Tabel 3). Bahkan jika dibandingkan dengan perolehan suara Caleg yang tertinggi di partai yang bersangkutan, ternyata dari 130 Caleg yang bertarung di tingkat DPR RI hanya 10 orang Caleg di antaranya yang mendapatkan suara diatas ratarata suara pemilih yang hanya memilih partai.
59
Mukhtar Sarman
Tabel 3 Pemilih yang Hanya Memilih Partai Politik pada Pemilu Kalimantan Selatan (*) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pemilih yang hanya Caleg tertinggi Nama Partai Politik elektabilitasnya pilih parpol Dapil 1 Dapil 2 Dapil 1 Dapil 2 Partai NasDem 18.963 18.290 12.757 13.295 Partai Kebangkitan Bangsa 35.389 22.975 31.975 81.324 Partai Keadilan Sejahtera 24.146 14.098 66.864 27.586 PDI Perjuangan 30.425 50.362 17.068 48.611 Partai Golkar 65.230 33.351 71.233 82.130 Partai Gerindra 29.205 27.914 24.733 31.347 Partai Demokrat 20.060 15.433 19.357 13.412 13.560 11.830 9.523 10.120 Partai Amanat Nasional Partai Persatuan Pembangunan 35.983 24.300 58.348 65.267 Partai Hanura 16.633 14.602 29.808 10.338 Partai Bulan Bintang 8.609 4.561 5.735 5.720 PKPI 3.887 2.321 2.639 1.517 Jumlah Pemilih Sah Jumlah Daftar Pemilih Tetap Partisipasi Publik (%)
Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
Jumlah Perolehan Suara Dapil 1 Dapil 2 48.564 53.867 84.713 118.180 101.440 50.668 61.799 130.565 308.267 178.047 90.359 82.039 58.248 42.823 37.725 35.343 114.920 100.162 62.794 32.316 18.656 12.078 9.323 5.035
Jumlah % Perolehan Pemilih Suara Parpol 102.431 36,37 202.893 28,77 152.108 25,14 192.364 42,00 486.314 20,27 172.398 33,13 101.071 35,12 73.068 34,75 215.082 28,03 95.110 32,84 30.734 42,85 14.358 43,28 1.837.931 2.802.816 65,57
60
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Hal itu menunjukkan telah terjadi semacam anomali. Pertama, konstituen rupanya “kebingungan” dalam rangka memilih Caleg yang diusulkan partai pengusung, dan lalu terdorong untuk lebih baik memilih partai politik yang mengusung Caleg. Hal itu memang sah secara hukum. Tetapi dari sisi politik berarti dua hal, yakni: (1) partai politik gagal mensosialisasikan bahwa Pemilu Legislatif (telah berubah) adalah memilih “orang”, yaitu Caleg yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap yang ditetapkan oleh KPU; dan (2) dengan demikian konstituen sama saja dengan memilih “Caleg hantu”. Kedua, boleh jadi kelompok konstituen “bingung” karena tidak tahu aturan telah berubah, dan lalu bertindak seperti zaman Orde Baru yang ketika itu hanya meminta pemilih agar mencoblos kolom partai politik. Kalau benar hal itu yang menjadi sebab musababnya, maka gejala itu dapat ditafsirkan sebagai: KPU sebagai penyelenggara Pemilu gagal dalam mensosialisasikan perubahan aturan. Dalam kaitan itu kalau boleh saya ingin berargumen, bahwa Undang-Undang yang mengatur hal itu perlu ditinjau kembali karena mengandung potensi kerusakan pada sistem Pemilu. Pertama, aktor tertentu bisa memanfaatkan “suara hantu” itu untuk kepentingannya. Kedua, pihak penyelenggara bisa melakukan manipulasi penggelembungan suara, atas permintaan salah satu Caleg.33 Ketiga, Caleg terpilih yang berhak duduk di Parlemen (atau DPRD) boleh jadi akan ditentukan oleh “suara hantu” itu, karena pada akhirnya perhitungan suara merupakan kumulasi dari seluruh perolehan suara partai politik. Alhasil, sistem perolehan suara terbanyak yang menentukan terpilihnya seorang Caleg menjadi banci dan mengundang masalah. Betapa tidak, seorang Caleg yang mendapatkan suara riil lebih banyak 33
Di Kalimantan Selatan, hal itu misalnya terjadi pada kasus KPU Kabupaten Tapin, yang akhirnya mengakibatkan diberhentikannya oknum pelaku oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
61
Mukhtar Sarman
daripada Caleg sebuah partai politik lain, bisa dikalahkan oleh Caleg tersebut lantaran mendapat pertolongan dari “suara hantu”.
5. Yang Menggelepar dan Terkapar Ibarat pertarungan tinju profesional, korban-korban Pemilu 2014 bermacam ragam. Tetapi sebagaimana juga dampak pertarungan tinju profesional, korban-korban politik itu ada yang kalah karena TKO (technical knock out), bahkan KO (knock out), namun ada yang sekadar kalah angka alias kalah nasib. Nasib korban pertarungan tinju profesional yang kalah TKO dan KO cenderung sama, yakni berdarah-darah. Bedanya, yang TKO hanya berdarah-darah, sedangkan yang KO langsung semaput. Pada Pemilu Legislatif di Kalimantan Selatan tahun 2014 korban-korban politik yang berstatus TKO itu berjumlah ratusan orang. Ciri-ciri korban politik yang terkena TKO itu umumnya gulung tikar alias habis harta bendanya untuk ongkos politik. Tetapi korban politik yang KO, kendati jumlah pastinya tidak diketahui, jumlahnya mungkin puluhan orang. Sedangkan ciri-ciri korban politik yang KO itu bukan hanya bangkrut alias gulung tikar, tetapi juga punya hutang di mana-mana. Bahkan secara fisik, korban politik yang KO ini kadangkala dapat diidentifikasi terkena stroke, baik stroke ringan yang dicirikan dengan pikiran agak linglung dan mulut perot, atau bahkan stroke berat alias lumpuh total pada bagian tubuh tertentu. Adapun kandidat yang termasuk kategori kalah angka, jumlahnya di Kalimantan Selatan ribuan orang (Lihat dan bandingkan dengan data Tabel 4). Mereka ini merasa cuma kalah angka dengan kandidat yang terpilih, tetapi tidak sampai berdarah-darah. Bahwasanya mereka menghabiskan uang untuk ongkos politik, memang betul, tetapi tidak sampai habis-habisan. Buktinya mereka tidak sampai menggadaikan barang berharga
62
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
(entahlah kalau misalnya dilakukan secara diam-diam). Buktinya mereka masih bisa tersenyum, walau kalah (dan jangan ditanya, bagaimana isi hati mereka sebenarnya). Dengan kata lain, rupanya kekalahan itu tidak menjadi beban bagi mereka, baik secara fisik maupun mental. Mengapa kekalahan dalam kontestasi politik itu bisa disikapi seolah-olah tanpa beban oleh politisi yang bersangkutan? Dalam pengamatan saya, hal itu didasarkan pada asumsi-asumsi rasional. Pertama, kandidat yang bersangkutan hanya mencoba mengadu nasib menjadi Caleg, tetapi pekerjaan resminya ada, misal sebagai pengusaha atau dosen di perguruan tinggi swasta (yang tidak dikenakan wajib berhenti dari jabatan, sebagaimana halnya dosen di PTN). Kedua, kandidat yang bersangkutan hanya mencoba mengukur tingkat popularitasnya, apakah berhubungan asimetris dengan tingkat elektabilitasnya sebagai Caleg. Dalam hal ini barangkali ada target lain, misalnya untuk menghitung peluangnya nanti dalam kontestasi politik lain yang lebih penting, semisal Pemilukada. Ketiga, kandidat yang bersangkutan memang sekadar coba-coba mengadu peruntungan jadi Caleg, tetapi dengan prinsip nothing to lose. Boleh jadi kandidat yang bersangkutan sadar diri bahwa dia bukan siapa-siapa. Boleh jadi juga dia tidak berusaha maksimal, termasuk dengan menyediakan dana politik di luar kemampuannya. Boleh jadi juga karena kandidat itu sekadar memenuhi parmintaan pengurus partai tertentu yang kekurangan kandidat yang melamar. Tetapi kalau boleh berpendapat, untuk kandidat jenis yang ketiga ini menurut saya adalah kandidat “kuga” alias “kurang gawian” (kurang kerjaan).
63
Mukhtar Sarman Tabel 4. Rasio Jumlah Caleg dan Kursi yang Diperebutkan dalam Pemilu 2014 No Kabupaten/Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Banjarmasin Banjarbaru Tanah Laut Tanah Bumbu Kotabaru Batola Banjar Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Balangan Tabalong Jumlah
DPRD Kab/Kota Caleg Kursi 540 45 360 30 420 35 420 35 420 35 420 35 540 45 300 25 360 30 360 30 360 30 300 25 360 30 5.160
430
DPRD Provinsi
DPR
Caleg 95
Kursi 8
Caleg
Kursi
89
8
59
5
89 47 102
8 4 9
102
9 71
6
130
11
102
9
625
55
Catatan: Pembagian Daerah Pemilihan berdasarkan Keputusan KPU No.114/Kpts/ KPU/Tahun 2013, Tanggal 9 Maret 2013. Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
Kandidat yang termasuk “kuga” ini barangkali termasuk kandidat perempuan yang semata-mata tampil di arena politik karena pertimbangan kuota 30% perempuan yang merupakan politik afirmatif. Mereka itu umumnya rontok dalam proses Pemilu yang berdasarkan pola perhitungan suara terbanyak. Kalaupun mereka lolos ke gedung parlemen (atau DPRD), hanya sedikit di antaranya yang bisa eksis dan tampil sebagaimana mestinya “wakil rakyat”. Pada umumnya, politisi perempuan itu cenderung hanya jadi penghias ruangan sidang, karena tidak berani berpendapat, dan kalau berpendapat pun hanya menyampaikan pendapat orang lain yang telah dikonsep. Sebab musababnya tidak lain adalah karena mereka tidak dipersiapkan sungguh-sungguh jadi “wakil rakyat” yang mumpuni. Kehadirannya hanya sekadar untuk memenuhi hajat politik afirmatif yang mengakomodasi jumlah Caleg perempuan adalah sepertiga jumlah kandidat laki-laki. 64
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Saya termasuk orang yang berkeyakinan bahwa politik afirmatif dalam bentuk kuota Caleg untuk perempuan itu melecehkan kaum perempuan sendiri. Ranah politik adalah ibarat “arena tarung bebas”. Siapa yang lebih kuat, lebih lihai, lebih piawai, niscaya akan lebih besar peluang menang dalam kontestasi politik. Itulah hukum besi politik. Karena itu barang siapa yang ingin bertarung di arena politik, baik laki-laki atau perempuan sama saja, harus siap dengan segala hal untuk bersaing dan saling mengalahkan. Mengapa kaum perempuan mau dihinakan dengan politik afirmatif yang akhirnya mempermalukan diri mereka sendiri itu? Wallahualam. Saya tidak dapat menduga pikiran sesat apa yang mengisi benak para perumus kebijakan penuh tipu daya itu? Dan saya tak habis pikir bahwa banyak kaum perempuan justru bersyukur dengan afirmasi politik yang berlaku dalam sistem politik kita itu, dengan asumsi, “Kapan lagi kami diberi kesempatan yang sama dengan kaum pria?” Padahal sejak awal kemerdekaaan Republik ini tidak ada larangan formal bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam politik, dan bersaing dengan kaum pria. Bahwa kaum pria yang lebih banyak eksis dan unggul dalam dunia politik di Indonesia, adalah satu hal. Sedangkan mengapa politisi wanita acapkali berada di bawah bayang-bayang politisi pria, adalah hal lain lagi. Walhasil, patut untuk dipertanyakan, siapa yang harus bertanggungjawab atas segala kesalahkaprahan dalam mekanisme politik praktis di Indonesia itu? Fakta hasil Pemilu 2014 Kalimantan Selatan, pada jalur DPD RI ada Caleg perempuan yang terpilih karena menduduki peringkat keempat dalam pengumpulan suara terbanyak, yaitu Antung Fatmawati, seorang politisi pendatang baru. Antung Fatmawati berhasil meraup suara sebanyak 105.972 pemilih, hanya berbeda 108 suara dengan prolehan peringkat kelima, yakni Sofwat Hadi yang merupakan politisi inkumban, yang
65
Mukhtar Sarman
memperoleh dukungan 105.864 suara.34 Patut ditunggu, apakah senator perempuan kita itu akan bersuara lantang di ruang sidang, atau cuma jadi penghias ruangan sidang. Sebab, harapan serupa tidak mungkin kita gantungkan kepada Caleg yang memilih jalur DPR RI. Karena tidak ada satu pun dari Caleg perempuan yang menempuh jalur DPR RI berhasil mendapatkan jumlah suara yang dapat menghantarkannya ke Senayan. Orang bijak boleh saja memberi semangat, ambil saja hikmahnya, bahwa Caleg perempuan dari Kalimantan Selatan belum mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Tapi saya terpikir juga, kapan juga ya perempuan Kalimantan Selatan dapat diwakili oleh kaum sejenisnya di Parlemen? Atau, jangan-jangan harapan itu agak mengada-ada apabila dikaitkan dengan realitas konstelasi politik Indonesia yang tidak menganggap penting perspektif gender. Tabel 5 Jumlah Politisi Perempuan Pada DPRD Kalimantan Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Politisi
Partai yang Diwakili
Syarifah Rugayah Partai Golkar Noormiliyani Partai Golkar Hariyatie Partai Golkar Syarifah Santiansyah Partai Golkar Soraya Partai Amanat Nasional Kamariatul Herlina Partai Hanura Mariana Partai Gerindra Gusti Miftahul Chotimah Partai NasDem Jumlah Seluruh Anggota DPRD Kalimantan Selatan Prosentase Politisi Perempuan
Jumlah Perempuan 4
1 1 1 1 55 14,5%
Sumber: KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014. 34
Mungkin karena perbedaan perolehan angka yang sangat tipis itu, Sofwat Hadi sempat menggugat hasil perolehan suara Antung Fatmawati ke Mahkamah Konstitusi sebagai “bermasalah”. Tetapi Mahkamah Konstitusi kemudian menolak gugatan Sofwat Hadi. Karena Sofwat Hadi menuntut agar pemungutan ulang dilakukan di Kabupaten Banjar, yang dicurigainya terdapat indikasi kecurangan di beberapa TPS, terutama di pedalaman yang tak terjangkau pengawas dari Paswaslu. Terus terang saya agak heran pada amar gugatan Sofwat Hadi, mengapa pemungutan suara harus diulang di seluruh Kabupaten, sedangkan yang dicurigai terindikasi ada kecurangan hanya di beberapa TPS, yang menerapkan “TPS keliling”.
66
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Pada sisi lain, hasil Pemilu 2014 menunjukkan peta politik perempuan di DPRD Kalimantan Selatan menunjukkan gejala yang juga kurang menggembirakan. Walaupun Caleg pengumpul suara terbanyak adalah Caleg perempuan, yakni Noormiliyani AS, yang berhasil mengumpulkan 45.495 suara pemilih, tetapi jumlah Caleg perempuan yang berhasil menduduki kursi DPRD Kalimantan Selatan hanya delapan orang (lihat Tabel 5). Jumlah politisi perempuan yang lolos dalam Pemilu 2014 memang lebih baik daripada Pemilu 2009, yang ketika itu berjumlah 7 orang.35 Tetapi dengan jumlah yang hanya mencapai 14,5% dari total anggota DPRD Kalimantan Selatan, patut diragukan apakah suara mereka akan dapat mengimbangi suara politisi pria yang ada? Sepertinya, tidak. Kecuali kalau kita bayangkan semua politisi perempuan itu berteriak bersama. Akan tetapi, kenapa pula harus mahalulung (berteriak histeris) untuk menarik perhatian orang banyak? Justru politisi yang cerdas, dan berwibawa, adalah mereka yang dapat berbicara secara santun tapi argumentatif. Lagi pula, yang penting pendapatnya itu didengarkan yang lain. Jadi pertanyaannya adalah, sanggupkah politisi perempuan di DPRD Kalimantan Selatan memaksakan kondisi agar suara mereka didengarkan di forum sidang? Jangan sampai mereka cuma bergumam dalam hati, dan lalu beralibi bahwa dia tidak diberikan kesempatan bicara. Alibi semacam itu menurut saya cukup aneh, atau sekurang-kurangnya tidak sesuai dengan pakem DPRD sebagai lembaga “parlemen lokal”. Betapa tidak, istilah “parlemen” itu berasal dari kata “le parle” (bahasa Prancis) yang artinya “berbicara”. Jadi kalau anggota Parlemen itu “banyak pandir” (banyak bicara), memang sudah seharusnya. Malah kalau anggota 35
Seluruh Caleg perempuan yang terpilih pada Pemilu 2014 adalah politisi pendatang baru. Sedangkan politisi inkumban gagal melanjutkan karir politiknya, karena perolehan suaranya relatif kecil, yang menyebabkan peringkatnya berada di luar nominasi Caleg yang diperkirakan lolos ke gedung DPRD Kalimantan Selatan.
67
Mukhtar Sarman
Parlemen itu pendiam, dan cenderung manggut-manggut saja dalam acara sidang (apapun sebab musababnya), saya kira oknum itu salah alamat memilih karir jadi “wakil rakyat”.
68
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Ketiga Realitas Politik Pemilu 2014 valuasi umum dari pihak KPU memberikan deskripsi bahwa pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 merupakan pemilihan umum yang terbesar dan terumit di dunia. Dapat dibayangkan terdapat 560 kursi DPR RI yang diperebutkan di 77 daerah pemilihan. Di tingkat DPRD Provinsi terdapat 2.112 kursi yang diperebutkan dalam 259 daerah pemilihan. Pada tingkat kabupaten/kota, terdapat 16.895 kursi di 2.102 daerah pemilihan. Kemudian 132 kursi dari 33 Provinsi diperebutkan untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika dihitung secara keseluruhan, menurut Ketua KPU RI kurang lebih terdapat 200 ribu caleg dari 12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh yang bertarung di Pileg lalu. Jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak 185.822.507 jiwa yang tersebar di 546.278 TPS (baik di dalam dan luar negeri).36
E
Namun demikian, ihwal yang menjadi pusat kerisauan para pengamat adalah, Pemilu 2014 telah diwarnai oleh praktik-praktik politik uang yang masif. Padahal praktik uang itulah pintu masuk dari segala kecurangan politik yang merusak tatanan demokratisasi. Dalam kaitan itu pendapat pengamat terbelah, antara yang menyalahkan para aktor yang bertarung dalam kontestasi Pemilu (sebagai tidak punya moral etika), dan mereka yang menyalahkan sistem Pemilu yang memungkinkan praktik kotor itu terjadi. Sedangkan para aktor politik (Caleg) umumnya 36
The Indonesian Institute, Juli 2014.
69
Mukhtar Sarman
menuduh konstituen sangat mata duitan, karena para pemilih itu akan memilih Caleg yang berani membayar lebih tinggi. Bagaimanakah dengan kasus Pemilu Legislatif 2014 di Kalimantan Selatan?
1. Fenomena Politik Uang dalam Kontestasi Politik Istilah “politik uang” yang berlaku di Indonesia sebenarnya agak rancu, karena menyangkut penggunaan uang dalam segala aspek yang berfungsi melancarkan urusan politik. Padahal secara konseptual, politik uang itu adalah spesifik menyangkut “pembelian suara” (vote buying) oleh kandidat, baik secara langsung (kepada pihak konstituen) maupun tidak langsung (misalnya melalui broker). Dalam mekanisme tersebut, dipersyaratkan mestinya ada pihak yang menjual suara, minimal pihak perantara (broker), dan ada pihak pembelinya. Selain itu juga seharusnya ada akad jual beli, meskipun akad itu tidak selalu harus tertulis. Karena itu saya tidak sependapat dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa si fulan (yang jadi Caleg) telah melakukan “politik uang”, semata-mata karena misalnya dia telah memberi sumbangan untuk pembangunan sebuah masjid di sebuah desa tempat tinggal kelompok konstituennya. Betapa tidak, kapan Caleg itu menerima akad bahwa konstituennya akan memberikan suara hanya kepadanya? Warga masyarakat yang mana yang mewakili perjanjian “jual beli”, kalau memang akad jual beli suara telah terjadi? Apa garansinya? Dan seterusnya. Politik uang, dalam arti membeli suara, sebenarnya bukan fenomena unik yang hanya terjadi di Indonesia, karena di beberapa negara lainnya pun fenomena tersebut juga muncul sebagai ‘pewarna’ kontestasi politik (Lihat Freedman, 2006; juga Kingston, 2004). Politik uang tentu saja bukanlah fenomena baru di Indonesia, meskipun dalam dinamika politik di era Orde Lama fenomena
70
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
tersebut nyaris tak dikenal.37 Politik uang itu adalah bagian dari dinamika politik kontemporer Indonesia, yang mewarnai proses demokratisasi, namun sifatnya laten, karena nyaris tidak pernah ada elit yang mengakui perbuatan itu sebagai tindakannya. Karena persoalan latenitas itulah yang menyebabkan kajian atas fenomena politik uang acapkali hanya menyentuh sisi permukaannya. Agak jarang terjadi kajian yang dilakukan menyentuh aspek laten tentang apa yang ada di balik tindakan politik uang itu, dan mengapa ia menjadi pilihan tindakan politik bagi pelakunya. Merujuk pada analisis Hadiz (2010), sisi negatif politik uang bukan hanya sekadar mencederai semangat demokrasi yang menginginkan politik bermartabat, tetapi juga menjadi modus dari perampokan dana pemerintah untuk tujuan pemenangan kontestasi politik di ranah lokal. Hal itu terutama terjadi di Indonesia pasca Orde Baru, dan kasus-kasusnya mulai tampak menonjol sejak tahun 2004, ketika ada penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pemilihan anggota legislatif, dan kemudian sejak tahun 2005 menyangkut kontestasi Pemilukada. Masalahnya, politik uang bagaikan puncak gunung es, yang bagian bawahnya tak teridentifikasi dengan jelas karena tersembunyi di laut dalam. Seturut dengan itu dinamika politik (di ranah lokal) yang sering jadi perhatian pengamat justru adalah intrik-intrik politik berupa intimidasi dan ancaman kekerasan, karena jauh lebih jelas dirasakan dampaknya oleh kelompok yang jadi sasaran. Korban politik uang nyaris tidak diperbincangkan. Dan pertanyaannya, siapakah gerangan korban dari praktik politik uang itu, jika memang ada? 37
Korupsi yang berkaitan dengan politik bukan tidak ada di masa Orde Lama, tetapi korupsi politik yang kemudian dikategorikan sebagai “politik uang” nyaris tidak dikenali dalam ranah kehidupan politik para politisi di Indonesia kala itu. Kala itu pola yang ada baru dalam taraf hubungan patronase dan klientelisme, tapi belum sampai pada kasus membeli suara secara harfiah (Lihat Feith, (1962) 2007; dan juga Holt, 2007).
71
Mukhtar Sarman
Ada asumsi lain bahwa politik uang itu tak terelakkan dalam kontestasi Pemilu karena sifat kontestasinya yang ‘memaksa’ para kandidat untuk melakukan praktik tersebut. Asumsi ini sebenarnya menafikan ‘pilihan bebas’ yang melekat dalam kontestasi politik liberal seperti Pemilu. Sesungguhnya tidak ada unsur paksaan bagi seseorang untuk melakukan tindakan politik uang. Transaksi politik, atau apapun sebutannya, senantiasa berkaitan dengan “kesepakatan” yang dirasionalisasikan dengan prinsip untung rugi. Transaksi politik itu tidak akan terjadi apabila pihak yang bersepakat merasa dirugikan sejak dini. Persoalannya akan semakin rancu apabila dikaitkan dengan pemberian sumbangan [dana] dan bantuan [barang] kepada pemilih. Politik uangkah itu? Dalam berbagai kajian yang pernah dilakukan tidak ada bukti bahwa pihak pemilih pasti akan memberikan dukungan dalam bentuk memilih seseorang kandidat berdasarkan uang yang diterimanya (Lihat misalnya Crain & Tollison, 1990). Uang memang diberikan, entah secara langsung oleh kandidat atau oleh tim suksesnya, namun selalu dengan pesan yang penuh pengharapan agar si penerima uang diminta memilih kandidat tertentu, dan atau paling tidak jangan sampai memilih kandidat lainnya. Pola pemberian semacam itu tentulah tidak patut untuk dikategorikan sebagai sebuah transaksi jual beli suara,38 karena sifatnya imajiner dan tidak ada bukti signifikan sebagai hasil transaksi. Sesungguhnya memang tidak pernah pasti ada jaminan bagi pihak pemberi sumbangan dan bantuan akan mendapatkan dukungan politik dari kelompok pemilih atas tindakannya. Itulah sebabnya banyak kasus yang menggambarkan betapa sia-sianya 38
Salah satu ciri “politik uang” dalam arti membeli suara adalah adanya kontrak yang eksplisit (Lihat Frederic Charles Schaffer, “What is Vote Buying? Empirical Evidence”. Dalam Frederic Charles Schaffer and Andreas Schedler (eds). Vote Buying: Who, What, When, and How?).
72
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
pemberian bantuan dan sumbangan itu, karena ternyata tidak berkorelasi positif dengan dukungan politik yang diharapkan. Namun demikian, persoalannya adalah, jika seseorang Caleg tidak memberikan sumbangan atau bantuan apapun selama masa kampanye, maka hampir pasti tidak ada peluang baginya untuk mendapatkan simpati dari kelompok pemilih pemilik suara. Tanpa simpati bagaimana mungkin dukungan publik bisa datang? Hal itu menjadi dilematis ketika nyaris semua Caleg lainnya ternyata justru melakukan strategi tersebut. Dengan demikian, faktor pendorong dari tindakan politik uang sebenarnya tergantung pada rasionalisasi aktor yang melakukannya. Syahdan, seorang Caleg untuk pemilihan DPRD sebuah kabupaten mencoba memahami ‘kehendak” konstituennya dengan cara memberikan bantuan pengerasan jalan desa. Sebagai tahap pertama, dia berikan bantuan batu gunung sekian truk, yang dipecah menjadi krikil untuk dihampar sepanjang jalan. Menurut rencana, pekerjaan itu akan dilanjutkan dengan pengaspalan kalau dia terpilih kelak. Janji itu dimungkinkan terjadi karena Caleg yang bersangkutan adalah kontraktor yang biasa dapat proyek pengaspalan jalan dari Pemda setempat. Menurut “janji” wakil masyarakat yang berhubungan dengan Caleg tersebut, konstituen di desa itu “pasti” akan mendukungnya. Tapi apa lacur yang terjadi, konstituen yang memilih dirinya di desa tersebut ternyata kurang dari hitungan sepuluh jari. Suara pemilih lebih banyak diberikan pada Caleg lain, yang konon memberikan uang tunai pada hari pencoblosan suara. Caleg itu merasa tertipu. Saking amarahnya meluap-luap, batu krikil yang sudah disebar di sepanjang jalan desa disuruhnya ambil kembali (dengan menyuruh para buruh harian yang bekerja di perusahaan kontraktornya). Dengan kata lain, Caleg itu batal menyumbang batu krikil untuk pengerasan jalan desa, karena merasa dibohongi oleh konstituennya. Sementara penduduk desa yang menyaksikan pembongkaran
73
Mukhtar Sarman
(kembali) jalan yang sudah berkerikil itu hanya dapat melihat bingung ulah Caleg yang kalah tersebut, tanpa bisa memahami mengapa peristiwa itu bisa terjadi.
2. Berbagai Modus Politik Uang dalam Pemilu Modus politik uang dalam Pemilu jangan dibayangkan seperti dalam Pemilukada yang hanya melibatkan sedikit aktor kandidat. Dalam Pemilu Legislatif, karena melibatkan sangat banyak sekali Caleg, persaingan pun menjadi lebih terbuka. Karena lebih terbuka, dan kelompok konstituennya yang “bisa dibeli” cuma yang itu-itu saja, lalu berlakulah hukum permintaan dan penawaran. Dalam Pemilu 2014 nampak sekali banyak Caleg yang membutuhkan dukungan suara dari jalur pintas. Terutama politisi pendatang baru, umumnya mereka tidak punya basis konstituen yang jelas. Mereka ibarat tebak-tebak buah manggis. Padahal mereka membutuhkan dukungan riil masyarakat, yang sebenarnya belum begitu dikenal, dan belum mengenal dirinya. Itulah sebabnya, banyak kasus politisi pendatang baru tergantung pada bantuan oknum perantara (broker). Para broker menjanjikan dukungan dari masyarakat, tapi dengan syarat-syarat tertentu. Syaratnya biasanya tidak jauh dari persoalan uang. Tetapi sebenarnya tidak ada jaminan bahwa janji broker itu pasti terwujud, sebab dia sendiri ibarat pribahasa “melukah di karing” (menjaring ikan di daratan). Dia akan mempromosikan nama Caleg, dengan iming-iming tertentu, tentu saja, dan kalau konstituen mau mendukung Caleg yang dipromosikannya, ya alhamdulilah. Kalau konstituen tidak mau mendukung Caleg yang dipromosikannya, broker itu juga tidak bisa memaksa. Sedangkan politisi inkumban, biasanya sudah memiliki peta yang lebih jelas di mana posisi pendukungnya berada, dan bagaimana karakteristik mereka. Dalam beberapa kasus, politisi
74
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
inkumban memiliki kelompok pemilih yang loyal. Karena itu politisi inkumban cenderung tidak membutuhkan jasa broker, tapi sebagai gantinya adalah “tim relawan” yang menyapa konstituennya door to door. Peran “tim relawan” ini berbeda dengan broker. “Tim relawan” biasanya menggunakan pola jemput bola, dan berusaha menjalin hubungan baik yang lebih langgeng dengan konstituen. Sedangkan broker pada umumnya bermain sendiri-sendiri. Bahkan dalam kasus tertentu, permainan broker itu lebih kasar daripada “tim relawan”. Broker itu misalnya tidak segan-segan untuk to the point menanyakan kepada konstituen, apakah bersedia mendukung si fulan yang dipromosikannya. Kalau bersedia, akan dibayar dengan uang tunai. Selesai. Sebatas pengamatan di lapangan selama masa Pemilu 2014, kelompok konstituen yang “dapat dibeli” terutama adalah warga miskin dan kelompok rentan (kaum pengangguran dan kurang terdidik secara politik). Tidak pernah dijumpai politik uang dipraktikkan misalnya di komplek perumahan kelas menengah ke atas. Realitas itu cukup masuk di akal, karena dalam praktiknya nilai “politik uang” itu berkisar antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per kepala untuk satu pilihan Caleg. Harga yang terlalu murah untuk kompensasi bagi kalangan terdidik dan kelas menengah, dan salah-salah bisa dianggap sebagai penghinaan bagi yang bersangkutan kalau suaranya hanya dihargai sebesar itu. Namun, apakah praktik politik uang adalah sebuah realitas politik atau cuma imajinasi para Caleg yang harus mengeluarkan dana politik di luar kebutuhan untuk biaya alat peraga kampanye? Dialog berikut ini barangkali dapat dijadikan ilustrasi penjelas fenomena dimaksud. Seorang broker datang bertamu ke rumah seorang tokoh masyarakat, dan berbincang soal pembayaran di muka untuk pengganti suara yang bakal diperolehnya di komunitas itu.
75
Mukhtar Sarman
“Berapa bos situ wani mambayar? (Berapa sebenarnya Caleg kamu berani membayar)?” tanya oknum tokoh masyarakat. “Kira-kira berapa harga pasaran di sini? (Berapa harga pasarnya)?” si broker balik bertanya. “Macam-macam. Tagantung. Sekadar mamadahakan, di sini amun cuma dibari tapih saja kada payu pang, (Beragam. Tergantung siapa pangsa pasarnya. Sekadar informasi, kalau cuma dikasih sarung saya kira tidak laku),” sang tokoh masyarakat itu memberikan pembayangan kepada broker alias perantara Caleg. Pola transaksi “bisnis” jual-beli suara itu memang tidak terbuka, penuh bahasa simbolik, dan tidak bisa diandaikan seperti orang beli barang. Bahkan tidak pernah pihak yang terlibat langsung dalam transaksi itu menyebut kata “jual” dan “beli”. Pihak perantara biasanya menggunakan istilah “…ini titipan si anu…” atau, “…ini sekadar uang rokok…,” dan “…ini uang ganti rugi tidak bekerja hari ini.” Dialog paling kasar pun masih menggunakan bahasa isyarat untuk “transaksi jual-beli suara” itu, misalnya: “…barapa garang bos ikam wani mambari? (Berapa sih hendak memberi kompensasi?)”. Kata “memberi” jelas bukan berarti “membayar”. Jadi pihak konstituen juga tidak mengasumsikan “suaranya” itu dibayar atau dijualnya, melainkan sebagai “ganti rugi” karena telah meluangkan kesempatan atau mengganti waktunya yang terbuang karena harus memberikan suara. Kendati demikian, pemberian kompensasi menjelang saat pemungutan suara tetap saja dapat dikategorikan dengan politik uang. Sebab, konstituen yang “tidak bisa dibeli suaranya” biasanya tidak menerima kompensasi dalam bentuk apapun; dan mereka ini tidak coba didekati oleh broker maupun “tim relawan kandidat”. Merujuk pada kasus Pemilu 2014 di Kalimantan Selatan, modus “politik uang” itu dapat dikategorikan dalam lima pola kejadian. Pola pertama, antar Caleg bekerja sama dalam
76
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
pembiayaan politik uang dalam bentuk “tandem”. Politik uang berbentuk tandem ini secara teknis berarti uang yang diberikan kepada pemilih dimaksudkan untuk membayar dukungan “satu paket” Caleg, misalnya Caleg A untuk DPR RI dan sekaligus Caleg B untuk DPRD Provinsi serta Caleg C untuk DPRD Kabupaten atau Kota. Tentu saja nilai intrinsik “harga” suara itu meningkat, misalnya kalau hanya untuk Caleg tunggal saja dihargai Rp 100 ribu, sedangkan untuk versi “satu paket lengkap” itu Rp 250 ribu. Atau sistem paketnya hanya untuk Caleg DPRD Provinsi dan Caleg DPRD Kabupaten, maka nilai kompensasinya adalah Rp 150 ribu. Biasanya yang mempraktikkan “sistem tandem” itu adalah Caleg DPR RI atau DPRD Provinsi yang punya dana besar dan bertindak sebagai sponsor utama, sedangkan Caleg Kabupaten atau Kota lebih berperan sebagai pencari dukungan pemilih. Kadangkala Caleg DPRD Kabupaten/Kota itu cuma urunan tenaga. Uniknya, pelaku politik uang dengan sistem tandem ini tidak terikat pada sebuah partai politik. Bisa terjadi, dan dianggap normal, Caleg yang berkolaborasi itu merupakan kerjasama dari kader partai yang berbeda. Hal itu tergantung pada siapa Caleg di tingkat Kabupaten/ Kota yang paling populer dan punya banyak simpatisan. Caleg penyandang dana utama tentu saja tidak ingin uangnya hilang percuma dengan “bertandem” dengan Caleg yang tidak populer di akar rumput. Dalam pola ini, jelas sekali berlaku prinsip simbiosis mutualistik. Pola kedua, seorang Caleg mengandalkan tokoh masyarakat yang punya massa tertentu, untuk menghimpun dukungan, dan membayar sejumlah uang kompensasi untuk harga suara yang bakal diperolehnya. Pola ini biasanya terjadi di daerah pelosok dimana kelompok konstituen umumnya tidak mengenal sama sekali (“buta kakap”) tentang profil Caleg yang ada. Kebetulan dalam komunitas tersebut ada seorang tokoh masyarakat, yang menawarkan “dukungan suara” kepada seorang Caleg, dan
77
Mukhtar Sarman
menjamin bahwa suara yang akan diperoleh oleh Caleg tersebut tidak lari ke lain Caleg. Pembayaran uang kompensasi biasanya di lakukan sebelum hari pemungutan suara. Oknum Caleg tinggal menyebut berapa jumlah suara yang dibutuhkan dikalikan pasaran harga satu suara. Misalnya Rp 50 ribu adalah harga satu suara, dan oknum Caleg membutuhkan 100 suara pada komunitas yang “dikuasai” oleh tokoh masyarakat tersebut, maka yang dibayarkan oleh Caleg adalah sebesar Rp 5 juta. Uniknya, apabila tidak terpenuhi kuota suara pendukung, maka uang yang telah dibayarkan dimuka oleh Caleg akan dikembalikan. Cukup fair kelihatannya, dan oknum Caleg biasanya puas dengan kesepakatan macam itu. Pola ketiga, oknum Caleg memperalat petugas lapangan yang bertanggung jawab mengumpulkan suara di tingkat TPS. Pola ini terjadi di daerah pedalaman yang tidak terawasi Panitia Pengawas Pemilu. Pada pola yang disebut “TPS keliling” ini petugas lapangan akan mendata penduduk pedalaman yang tempat mukimnya terpencar-pencar, dan belum tentu ada di tempat, dan seolaholah melakukan pemungutan suara. Berapa jumlah penduduk, tentulah bisa diatur menjadi DPT (daftar pemilih tetap), dan pengesahan jumlah mereka itu tergantung pada tanda tangan kepala dusun. Indikasi dari pola “TPS keliling” ini adalah apabila suara pemilih di suatu komunitas tertentu 100% memilih Caleg tertentu, dan faktanya Caleg tersebut tidak pernah dikenal oleh masyarakat setempat, karena sejatinya dia memang tidak penah berkunjung ke situ. Pola keempat, Caleg bisa memanfatkan jasa broker di tingkat komunitas terkecil, setingkat Rukun Tetangga. Broker dimaksud biasanya berkedok “Tim Sukses”. Broker itulah yang akan bergerilya sejak malam sampai hari pencoblosan suara. Sasaran broker ini terutama pemilih yang ragu, dan tidak punya pilihan, termasuk kelompok pemilih pemula. Kalimat yang sering
78
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
dipergunakan oleh oknum broker untuk memprovokasi pemilih antara lain, “Akh, daripada bingung. Sudahlah, pilih saja si anu. Yang lain juga belum tentu dapat dipercaya…,” seraya menawarkan uang kompensasi. Pola kelima, oknum Caleg memanfaatkan simpatisan dan kaum kerabatnya, yang diistilahkan sebagai “relawan” bagi Caleg. Kaum kerabat Caleg itulah yang “memohon dukungan” pada tetangganya untuk mendukung si fulan yang sedang mencalonkan diri. Karena sifatnya kekerabatan, pendekatan politik uang jenis ini biasanya memberikan kompensasi berupa barang dan uang tunai atau campuran uang dan barang. Barang yang lazim diberikan sebagai kompensasi jenis politik uang ini adalah kain sarung atau paket sembako senilai Rp 50 ribu rupiah per paket. Adapun kelompok sasaran politik uang jenis ini biasanya adalah rumah tangga miskin dan kaum pengangguran.
3. Imbas Politik Klientelisme Maraknya praktik politik uang sedikit banyak memberikan stigma bahwa masyarakat (sebagai konstituen) tidak peduli pentingnya proses demokratisasi dan bersikap pragmatis, atau malah agak “mata duitan”. Benarkah itu? Merujuk pada realitas sosial politik yang ada, saya tidak terlalu sepakat dengan kasuskasus yang membenarkan stigma tersebut. Pertama, tidak semua konstituen bersedia “menjual” hak suaranya, dengan alasan apapun. Ada tiga jenis konstituen yang termasuk kategori ini, yakni: (1) konstituen yang sudah punya pilihan hati, lantaran mengenal dengan baik figur Caleg yang bersangkutan; (2) konstituen yang terikat dengan budi baik Caleg, misalnya sebagai karyawan perusahaan milik kandidat; dan (3) konstituen yang sudah punya hubungan pribadi dengan Caleg, dan telah berjanji akan mendukungnya secara suka rela.
79
Mukhtar Sarman
Kedua, dari sudut yang paling berkepentingan atas terjadinya praktik politik uang, konstituen sebenarnya berada posisi pasif. Faktanya, aktor politiklah yang biasanya berinisiatif menawari uang. Hampir tidak pernah terjadi warga masyarakat sebagai konstituen menjajakan suaranya. Kalaupun konstituen tertentu terindikasi “memberikan suara dengan kompensasi tertentu”, biasanya karena diperantarai oleh broker atau tokoh masyarakat yang mengatasnamakan kelompok konstituen. Ketiga, tidak ada bukti bahwa kelompok konstituen tertentu secara terbuka menjanjikan dukungan kepada Caleg yang berani memberikan penawaran tertinggi kepadanya. Istilah “wani piro” (kamu berani berapa membayar) menurut saya hanya permainan kata-kata kaum broker untuk memanipulasi “harga” suara dukungan konstituen. Rakyat pemilih tidak mematok harga tertentu atas suara dukungan yang dimilikinya, karena pada dasarnya mereka (kalaupun sampai terjadi transaksi) hanya menunggu inisiatif pihak (perantara) yang ingin membeli suara mereka. Bahwasanya ada kelompok konstituen tertentu yang tergoda untuk “menjual” hak suaranya dengan cara memilih kandidat tertentu, mungkin hal itu tidak bisa dibantah. Akan tetapi kalau sekiranya tidak ada pihak yang”membeli”, maka niscaya mereka juga tidak akan berinisiatif menjual hak suaranya. Bagi masyarakat umum, harga suara dukungan itu hampir-hampir imajiner. Mereka umumnya hanya merasionalisasikan harga suara dukungannya mengikuti persepsi yang ditularkan oleh kaum broker. Misalnya sebagai kompensasi karena hari itu mereka harus pergi ke TPS dan kehilangan peluang untuk mendapatkan upah harian, yang seyogyanya bisa diperoleh kalau mereka bekerja. Atau, bagi kaum marjinal dan kelompok pengangguran, bisa dianalogikan sebagai rejeki hari itu yang bisa mereka peroleh. Dan bagi yang penuh
80
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
perhitungan, mungkin dimaksudkan untuk mengganti “biaya transport”, atau “uang bensin”, dan “uang rokok”. Oleh karena itu saya agak setuju dengan pandangan Kitschelt dan Wilkinson (2007) yang mengaitkan politik uang dengan fenomena klientelisme, atau bentuk khusus dari hubungan partai dan pemilih. Menurut kedua penulis ini, ia adalah bentuk “transaksi, pertukaran langsung suara warga negara dengan imbalan pembayaran langsung atas akses yang berkaitan langsung dengan pekerjaan, barang, dan jasa” (Kischelt dan Wilkinson, 1977:2). Dalam pandangan populer, pertukaran klientiles menggabungkan ke jaringan struktur piramida yang dibentuk oleh hubungan asimetris, timbal balik, dan hubungan tatap muka. Struktur yang oleh David Knoke (1990), disebut “jaringan dominasi” dari aktor-aktor kunci (patron, broker, dan klien) adalah fenomena yang dapat dipelajari dengan baik dalam kehidupan politik populer di perkotaan dan di pedesaan. Dalam kaitan itu, hubungan klientelis dipandang sebagai pengaturan hirarkis, sebagai kewajiban dalam ketergantungan dan kontrol, yang didasarkan pada perbedaan kekuasaan dan ketidaksetaraan. Klientelisme biasanya dilakukan melalui jaringan beragam dan pertukaran timbal balik yang abadi. Sebagaimana tengarai Kitschelt dan Wilkinson, “Dalam banyak sistem yang ditandai dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi seperti di Thailand, India, Pakistan, atau Zambia, patron langsung menilai kesetiaan kliennya dengan imbalan uang, minuman keras, pakaian, makanan, atau barang lainnya yang dapat dikonsumsi segera… Jauh lebih sering daripada transaksi tunggal. Bagaimanapun juga, jaring pertukaran, kewajiban, dan timbal balik yang berkelanjutan membutuhkan waktu yang lebih lama, dimana patron harus menyediakan barang pribadi atau
81
Mukhtar Sarman
kebutuhan kelompok untuk klien mereka” (Kitschelt dan Wilkinson, 2007: 19). Dengan demikian politik klientelis tidak terbatas sebagai bahan untuk pemecahan masalah. Ia merupakan “cara memberi” yang menunjukkan peran patron sebagai bagian dari klien dan mengerti apa maunya klien. Ia merupakan dimensi sentral dari kerja dan ketekunan patronase. Dengan cara itu ia memanusiakan dan menunjukkan personalisasi dari tindakan membantu bagi mereka yang membutuhkan. Karena itu ia merupakan elemen konstitutif dalam fungsi dan daya tahan klientelisme. Dengan logika patronase seperti itu, dapat dipahami mengapa aktor politik yang terlibat dalam kontestasi politik seperti Pemilu seolah-olah begitu empatif dan baik hatinya. Mereka berkepentingan untuk memperoleh simpati masyarakat yang akan menjadi kelompok pemilihnya. Pola pemberian hadiah berharga murah seperti kain kerudung, sarung, dan baju shalat adalah simbolisasi dari pesan bahwa patron dan broker tahu kebutuhan kliennya ~ yang kebetulan masyarakat miskin golongan bawah. Demikian pula dengan kasus pemberian sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok). Dan tak terkecuali pemberian hadiah berupa perlengkapan olah raga atau membantu dana pembangunan sarana tempat ibadah. Semua itu untuk menunjukkan empati atas kebutuhan kelompok sasaran yang diasumsikan kelak akan menjadi menjadi simpatisan dan memilihnya di kala pemungutan suara. Sistem perlindungan cenderung memerlukan norma-norma yang agak eksplisit menyangkut akuntabilitas politik, serta tanggung jawab dan legitimasinya. Klien tidak setara bagi patron mereka, dalam pengertian mereka tidak hanya pion dalam hubungan satu arah. Seperti Scott menggambarkan pola hubungan patron-klien sebagai tindakan yang berkaitan dengan “moral ekonomi” ~ dimana ‘istilah minimum mereduksi klien tradisional menuntut (“mengharapkan” mungkin istilah yang lebih tepat)
82
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
keterjaminan keamanan fisik dan mata pencaharian subsisten mereka’ (Scott, 1977). Harapan ini adalah dasar dari konsepsi petani tentang “keadilan, kesetaraan dan legitimasi”. Dengan demikian legitimasi kekuasaan tidak harus didasarkan pada kesetaraan kekayaan, melainkan lebih pada apakah orang-orang di posisi penguasa sumberdaya kekayaan itu bisa berbagi (Guyer, 1977:228). Ketika hubungan ini mengambil bentuk pertukaran politik timbal balik antara pemilik sumberdaya yang tidak sama, lazimnya hubungan tersebut disebut sebagai patronase, klientelisme atau patron-klien. Dalam sistem patronase, individu dengan status yang tinggi (patron) memberikan perlindungan fisik dan atau sumberdaya penghidupan kepada individu yang lebih rendah (klien), yang membayar mereka yang berkuasa itu dengan menawarkan kesetiaan mereka (Lihat Lemarchand dan Legg, 1972:149-178). Tetapi dalam konteks kontestasi Pemilu, pola patronase itu telah dimodifikasi sedemikan rupa. Perlindungan fisik diasumsikan bisa diwujudkan dalam bentuk jaminan perawatan kesehatan. Dalam kasus tertentu (biasanya dilakukan oleh kandidat inkumban) jaminan atas penghidupan yang lebih baik bisa dijanjikannya dalam bentuk kebijakan menjadikan kelompok tertentu sebagai pegawai honorer pemerintah daerah. Tetapi logika patronase itu tidak berlaku untuk kelompok yang lebih mapan secara sosial ekonomi. Ketika orang menjadi lebih makmur dan memiliki akses yang meningkat, kebutuhan mereka akan perlindungan (dari patron) akan menurun. Dengan kata lain, politik patronase menawarkan gambaran yang tepat dari pernyataan Samuel Hays, bahwa politik tersebut diperlukan untuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan (seperti dikutip Lemarchad dan Legg:1972:169). Sebagaimana juga penegasan Scott, bahwa secara umum kemiskinan berkorelasi penting atau jadi faktor penentu permintaan di semua teori klientelisme (Lihat Scott, 1969:1150). Kondisi itu mendorong klien untuk mencari
83
Mukhtar Sarman
hubungan dengan broker politik yang menyediakan “jaring pengaman yang melindungi terhadap risiko kehidupan sehari-hari yang membuka jalur tersisa dari mobilitas sosial” (lihat Auyero, 2000:57). Dengan kata lain, patronase telah ada begitu lama dan telah menjadi begitu banyak bagian dari kehidupan politik dan sosial yang tampaknya telah tidak hanya diterima, tapi bahkan dipandang sebagai normal. Dengan demikian, kita mestinya maklum, sebagian masyarakat yang menjadi konstituen Pemilu boleh jadi masih terjebak dalam lingkaran politik klientelisme. Tetapi yang jadi persoalan adalah masih banyaknya elit politik (termasuk para Caleg tertentu) yang membiarkan kelompok konstituen rentan itu terperangkap dalam lingkaran ketidakberdayaan semacam itu. Atau bahkan memanfaatkan kondisi tersebut. Padahal gara-gara kondisi yang tidak kondusif terhadap terbangunnya sistem demokratisasi politik yang diharapkan itu, banyak pihak yang harus menerima stigma yang tidak semestinya. Kita mestinya tidak perlu meragukan niat baik yang menyertai partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Masih sangat banyak warga masyarakat yang pergi ke TPS dengan suka rela meluangkan waktu untuk memberikan suara. Tanpa mempertimbangkan kompensasinya. Tanpa berhitung untung rugi. Dan tanpa menimbang betapa sia-sianya tindakan mereka (ditinjau dari perspektif pilihan rasional) jika kemudian kandidat yang dipilihnya ternyata bukan Caleg yang terpilih dan bisa mewakilinya di lembaga Parlemen (atau DPRD). Dalam hubungan itu saya bisa membuktikan hal itu pada kasus diri saya dan keluarga saya. Juga tetangga saya. Juga mahasiswamahasiswa saya. Dan masih banyak yang lainnya lagi. Kami semua adalah kelompok konstituen yang pergi ke TPS sekadar ingin memilih Caleg yang pantas diberi amanah, dan punya rekam jejak
84
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
yang cukup memuaskan sebagai figur orang yang bakal diberi status sebagai “wakil rakyat”. Karena gedung Parlemen (dan DPRD) harus ada orang yang pantas mengisinya. Karena penyambung lidah rakyat harus ada orangnya. Karena aspirasi rakyat harus ada yang memperjuangkannya. Kami semua tidak dibayar, dan tidak butuh pembayaran berupa uang tunai. Karena itu, saya sungguh kecewa dengan pengamat yang sangat emosional sehingga sampai menuduh rakyat pemilih (tanpa memilah-pilahnya) sebagai “mata duitan” dan rentan dengan suap politik. Berapa banyak sih kelompok konstituen yang seperti itu? Dan yang lebih penting, mengapa hal ihwal itu sampai terjadi (kalau sekiranya benar tuduhannya), sehingga kita pantas menuduh buruk perilaku tersebut atau justru memakluminya. Karena itu pula saya sungguh risau dengan politisi pandir yang menyalahkan rakyat pemilih sebagai belum matang berpolitik. Jangan-jangan tuduhan itu lebih tepat ditujukan kepada kelompok mereka sendiri. Politisi yang matang tidak akan khawatir dengan kekalahan. Politisi yang matang sangat maklum dengan hakikat kontestasi politik yang pasti menghasilkan kemenangan atau kekalahan. Tidak perlu banyak alibi. Tidak perlu mencaricari kambing hitam. Menang dan kalah dalam sebuah pertarungan politik adalah suatu pilihan. Kalau kalah dalam pertarungan politik kali ini, masih ada kesempatan untuk menang dalam pertarungan yang akan datang. Demikianlah galibnya. Politisi yang “maruncarunca” (marah-marah tanpa alasan yang masuk akal) adalah ciri dari politisi yang belum matang. Dan menurut pengamatan saya, jumlahnya banyak sekali yang terlibat dalam kontestasi Pemilu tahun 2014, sehingga perhelatan politik itu dikategorikan “rusak” dan “penuh kecurangan”.
85
Mukhtar Sarman
4. Profil Caleg yang Terpilih Ada stigma, bahwa rakyat pemilih karena tergoda dengan politik uang, lalu sembarangan memilih Caleg. Tetapi berdasarkan hasil Pemilu 2014, stigma itu cenderung berlebihan dan mendiskreditkan rakyat pemilih seolah-olah bodoh semua. Hal itu misalnya bisa dilacak pada Caleg yang terpilih jadi anggota DPRD Kalimantan Selatan. Seperti data yang terungkap pada Tabel 6, tampak bahwa profil Caleg yang terpilih sebagai “wakil rakyat” di tingkat Provinsi Kalimantan Selatan cukup baik ditinjau dari rata-rata tingkat pendidikan formal yang pernah dikenyam, dan rata-rata umur mereka. Data yang terungkap pada Tabel 6 itu memberikan informasi bahwa Caleg terpilih yang berlatarbelakang pendidikan setingkat SLTA hanya 9 orang (16,36%) dibandingkan yang berpendidikan formal setingkat S1 yang berjumlah 27 orang (49,09%), atau bahkan yang berpendidikan setara S2. Walaupun dari Caleg terpilih itu sebenarnya ada yang hanya bermodal ijasah Paket C (artinya proses pendidikan formalnya tidak mungkin dapat disamakan dengan mereka yang bersekolah di SMA atau Madrasah Aliah),39 tetapi karena jumlahnya relatif kecil, barangkali tidak signifikan untuk mempengaruhi kualitas anggota DPRD secara keseluruhan. Paling tidak, dengan mayoritas anggota DPRD Kalimantan Selatan yang berpendidikan setara S1 atau lebih berjumlah 42 orang 39
Saya pribadi menilai bahwa mereka yang berlatarbelakang pendidikan SLTA, dan apalagi hanya punya ijasah Paket C, tidaklah layak jadi anggota Parlemen (atau DPRD), meskipun Undang-Undang memperbolehkannya. Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa tugas kewenangan seorang anggota DPRD sesungguhnya tidak mungkin ditanggung oleh seseorang yang berlatarbelakang pendidikan formal serendah itu. Untuk melaksanakan tugas fungsi sebagai anggota Dewan, seseorang mestinya berpendidikan formal paling rendah setara S1. Dan pendidikan formalnya itupun harus disesuaikan dengan tugas ke-dewan-an, yang meliputi tugas membuat legislasi, merumuskan anggaran, dan mengawasi pemerintah. Kalau tidak, maka seperti yang terjadi selama ini, anggota Dewan tidak mengerti teknis mengenai tugas kewajibannya, dan lebih banyak bergantung pada staf ahli atau pakar yang diundang dari perguruan tinggi.
86
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
(76,36%), menunjukkan ada perbaikan dari hasil Pemilu 2009 yang lalu.40 Bahwasanya di antara Caleg terpilih itu tidak begitu jelas riwayat pendidikan S1-nya, misalnya kapan dia kuliah, dan apakah Perguruan Tinggi yang mengeluarkan ijasahnya itu terakreditasi atau tidak, adalah hal lain. Tabel 6 Profil Caleg Terpilih di Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan No Partai Pilihan Publik 1 Partai NasDem 2 PKB 3 PKS 4 PDIP 5 Partai Golkar 6 Partai Gerindra 7 Partai Demokrat 8 PAN 9 PPP 10 Partai Hanura Jumlah
Caleg JK Terpilih L P 3 2 1 6 6 0 4 4 0 8 8 0 13 9 4 6 5 1 4 4 0 1 0 1 7 7 0 2 1 1 55 47 8
Rentang Pendidikan Formal Umur SLA D3 S1 S2 S3 30-65 1 1 1 0 0 44-65 1 0 4 1 0 39-72 0 1 3 1 0 37-58 3 0 4 1 0 43-62 2 2 4 4 1 28-62 0 0 3 3 0 32-66 0 0 2 2 0 34 0 0 1 0 0 35-73 2 0 4 1 0 46-47 0 0 1 1 0 28-73 9 4 27 14 1
Catatan: pendidikan Sarjana Muda (Sarmud) diasumsikan setara dengan D3. Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
Adapun rata-rata umur Caleg terpilih juga agak menggembirakan. Meskipun rata-rata umur mereka adalah 28-73 tahun, tetapi sesungguhnya usia riil anggota DPRD Kalimantan Selatan ketika dilantik lebih banyak masih dalam usia produktif (lihat Tabel 7). Caleg terpilih yang umurnya di atas usia produktif manusia kebanyakan, yakni 60 tahun ke atas, hanya berjumlah 10 orang (18,18%). Anggota Dewan yang berusia “lanjut” tersebut dicurigai sudah lamban kemampuan berpikir dan mungkin sangat mudah diserang kantuk kala sidang. Namun, kekecualian tentu saja bisa 40
Pada Pemilu 2009, tingkat pendidikan formal Caleg terpilih adalah 25 orang berpendidikan S1, 13 orang berpendidikan S2, dan satu orang berpendidikan S3. Atau dengan kata lain, 39 orang (70,91%) orang berlatarbelakang pendidikan S1 ke atas (Sarman, 2009).
87
Mukhtar Sarman
terjadi pada satu dua orang yang meskipun usianya tidak muda lagi tapi dalam kesehariannya masih fit dan energik. Tabel 7 Usia Caleg Terpilih yang duduk di DPRD Kalimantan Selatan 1R 5HQWDQJ8VLD
'LEDZDKWDKXQ ±WDKXQ ±WDKXQ ±WDKXQ WDKXQNHDWDV
-XPODK
3HUVHQ
RUDQJ RUDQJ RUDQJ RUDQJ RUDQJ
Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
Dengan demikian, rata-rata Caleg terpilih itu adalah “orang terbaik” dari sudut pendidikan formal dan kemungkinan kesiapan untuk bekerja keras memperjuangkan aspirasi rakyat. Pertanyaannya, apakah pengharapan itu realistik? Betapa tidak, pengalaman Pemilu 2009 yang menghasilkan para “wakil rakyat” tahun 2009-2014 ternyata agak mengecewakan. Padahal kinerja mereka telah didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan serta Anggota DPRD. Dengan dasar Peraturan Pemerintah itu setiap anggota DPRD (berbeda tingkat Provinsi dengan tingkat Kabupaten/Kota hanya dalam besaran yang diterima) berhak atas uang representatif, 41 uang tunjangan keluarga, dan uang paket (untuk tunjangan perumahan dan komunikasi intensif), yang total seluruhnya berkisar antara Rp 12 juta (untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota) hingga Rp 26 juta (untuk anggota DPRD Provinsi) per bulan. Untuk anggota DPRD Kalimantan Selatan, sebagai contoh kasus, berdasarkan PP 24/ 41
Uang representatif ini berbeda jumlahnya untuk jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota. Jika ketua akan mendapat 100%, wakil ketua mendapatkan 80%, dan anggota biasa akan mendapatkan 70% dari besaran yang uang representatif sebesar Rp 3 juta (untuk DPRD Provinsi). Sedangkan uang representasi untuk Kabupaten/ Kota ditetapkan sebesar Rp 2,1 juta.
88
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
2004 itu berhak pula atas “uang pesangon” (disebut “uang pengabdian”) sebesar Rp 36 juta (untuk unsur pimpinan) dan Rp 27 juta (untuk anggota). Hal serupa diterima oleh DPRD Kota Banjarmasin, dengan kisaran jumlah Rp 27,6 juta (untuk unsur pimpinan) dan Rp 25,8 juta uang untuk pengabdian sebagai anggota Dewan (Banjarmasin Post, 15/8/2014). Lebih dari itu, fasilitas penunjang kinerja juga telah disediakan Pemerintah. Misalnya untuk unsur pimpinan Dewan mobil yang disediakan bermerk Toyota Corolla Altis, sedangkan untuk kelengkapan Dewan (seperti Fraksi, Komisi dan Badan Legislasi) disediakan mobil dinas bermerk Toyota Innova (Banjarmasin Post, 19/9/ 2014). Bahkan untuk menunjang kelancaran komunikasi dan informasi, setiap anggota Dewan yang terhormat itu juga disediakan gadget berupa tablet atau iPad dan laptop (Banjarmasin Post, 10/9/2014).42 Diasumsikan, segala fasilitas penunjang itu mestinya dapat membantu secara optimal kelancaran tugas para “wakil rakyat” itu, minimal sebagaimana pengharapan para konstituen yang memilihnya. Alhasil, kurang apa lagi fasilitas penunjang kinerja yang harus diterima oleh anggota DPRD itu sebagai “wakil rakyat”? Apalagi kalau kita simak “penghasilan” anggota DPR RI, sungguh luar biasa. Gaji anggota DPR RI itu konon totalnya mencapai 18 kali dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Data yang dilansir Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) dan Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, gaji anggota DPR RI berada di peringkat keempat terbesar di dunia setelah Nigeria (116 kali pendapatan per kapita penduduknya), Kenya (76 kali 42
Saya punya iPad, dan terus terang tidak begitu fungsional untuk menunjang kerja sebagai Dosen di perguruan tinggi dibanding laptop, kecuali untuk presentasi dan baca ebook. Saya tidak tahu persis, apa gunanya gadget itu untuk anggota DPRD yang tugas utamanya membincangkan aspirasi masyarakat, dan bukan membuat presentasi sebagaimana layaknya seorang Dosen.
89
Mukhtar Sarman
pendapatan per kapita penduduk), dan Ghana (30 kali). Menurut IPSA dan IMF, seorang anggota DPR RI dalam setahun bisa mendapatkan 65.000 dollar AS atau sekitar Rp 780 juta di luar gaji ke-13, dana reses atau dana aspirasi daerah pemilihan, serta insentif setiap ikut membahas rancangan undang-undang. Jika ditotal dalam satu tahun, pendapatan anggota DPR RI bisa lebih dari Rp 1 miliar. Itu penghasilan yang legal dan dikategorikan “halal” tentu saja. Kiranya wajar apabila rakyat pemilih kemudian berharap yang maksimal untuk “tugas pengabdian” bagi Caleg terpilih.
5. Langkah Kuda Caleg Terpilih Apa hendak dikata, pertarungan politik di ranah Pemilu oleh banyak Caleg dianggap lebih seperti main dadu, tergantung pada peruntungan dan nasib baik. Padahal apabila diamati dengan seksama, ihwalnya lebih banyak disebabkan oknum Caleg yang bersangkutan tidak punya modal politik yang memadai. Modal politik adalah sumberdaya yang dimiliki oleh seorang aktor politik sehingga ia mendapatkan akses kekuasaan dalam struktur lembaga politik. Modal politik lebih dari sekadar pemilikan modal (capital) dalam versi Bourdieu. Modal politik bukan hanya harus memiliki modal finansial dan jaringan sosial, tetapi juga kewenangan untuk mengendalikan sumberdaya yang ada di lingkungan publik. Justru itu modal politik itu biasanya dimiliki oleh mereka yang sudah malang melintang dalam lingkungan (field) politik. Dari segelintir orang yang mungkin memiliki modal politik yang kuat itu adalah politisi inkumban atau mantan pejabat publik yang terjun ke ranah kontestasi politik seperti Pemilu. Sehingga, diasumsikan Caleg dengan status tersebut niscaya akan diuntungkan dalam pertarungan kontestasi politik yang diikutinya.
90
Banalitas Kontestasi Politik Lokal Tabel 8 Mantan Pejabat Publik yang Ikut Bertarung dalam Pemilu Legislatif No
Nama Caleg
Status
1
Adriansyah
2
Idis Nurdin Halidi
3
Muhammad Rosehan
4
Murhan Effendie
5
Saiful Rasyid
6
Sjachrani Mataja
7
Syahdillah
8
Zairullah Azhar
Mantan Bupati Tanah Laut Mantan Bupati Tapin Mantan Wakil Gubernur Kalsel Mantan Wakil Bupati Tabalong Mantan Bupati Hulu Sungai Tengah Mantan Bupati Kotabaru Mantan Wakil Bupati HSU Mantan Bupati Tanah Bumbu
Partai Hasil Akhir Pengusung PDI Perjuangan Lolos ke DPR RI Partai Golkar Lolos ke DPRD Prov PDI Perjuangan Lolos ke DPRD Prov Partai Golkar Lolos ke DPRD Prov Partai Gerindra Lolos ke DPR RI Partai Gerindra Lolos ke DPR RI Partai Gerindra Lolos ke DPRD Prov PKB Lolos ke DPR RI
Sumber: KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014
Pada Pemilu tahun 2014 di Kalimantan Selatan, selain politisi inkumban, juga terdapat mantan pejabat publik seperti Bupati, Wakil Bupati, dan Wakil Gubernur, yang ikut bertarung dalam kontestasi Pemilu. Dari sejumlah mantan pejabat publik, yang berhasil lolos sebagai Caleg terpilih berjumlah delapan orang (lihat Tabel 8). 43 Dalam wacana publik, para mantan pejabat itu diuntungkan karena memiliki modal politik yang lebih dari cukup memadai. Selain faktor itu, masyarakat pemilih tentu telah mengenal figur mantan pejabat publik tersebut, sehingga dalam soal popularitas tidak perlu diragukan lagi. Demikian pula diasumsikan dengan politisi inkumban. 43
Satu-satunya mantan pejabat publik yang tidak berhasil lolos sebagai Caleg terpilih adalah Yudhi Wahyuni, mantan Walikota Banjarmasin, yang bertarung di Daerah Pemilihan Kalimantan Selatan 2, untuk meraih jatah anggota DPR RI dari Kalimantan Selatan. Diduga kegagalan Yudhi Wahyuni bukan lantaran dia kurang memiliki modal politik yang cukup, melainkan karena persaingan di Dapilnya melibatkan banyak tokoh politik dengan basis massa kuat. Kebetulan Yudhi Wahyuni bersaing dengan Sjachrani Mataja, dan menggunakan partai politik yang sama, yakni Partai Gerindra, yang pada Pemilu tahun 2014 hanya mendapatkan satu kursi di Dapil 2.
91
Mukhtar Sarman Tabel 9 Perbandingan Perolehan Suara Caleg Inkumban dan Mantan Pejabat Publik No
Partai Politik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
PKS PKS PKS PDI Perjuangan PDI Perjuangan PDI Perjuangan Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Demokrat PPP PPP Partai Hanura
Nama Caleg
Status
Ibnu Sina Riswandi Habib Said Hasan Muhammad Rosehan NB Muhaimin Hermansyah Badriansyah Gusti Rusdiansyah Hariyatie (*) Idis Nurdin Halidi Murhan Effendie Syahdillah Achmad Bisung Habib Ali Khaidar Ansor Ramadlan Riduansyah (**)
Inkumban Inkumban Inkumban Mantan Pejabat Inkumban Inkumban Inkumban Inkumban Inkumban Mantan Pejabat Mantan Pejabat Mantan Pejabat Inkumban Inkumban Inkumban Inkumban
Jumlah Suara 6.091 10.633 13.179 20.585 12.359 4.079 11.303 8.854 31.570 10.992 13.531 4.297 4.128 4.076 6.568 7.777
Catatan: (*)Hariyatie pada Pemilu 2009 mewakili Partai Kebangkitan Bangsa. (**)Riduansyah pada Pemilu 2009 mewakili Partai Bintang Reformasi. Sumber: diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
Tetapi seperti tergambar pada Tabel 9, faktor popularitas Caleg yang mantan pejabat publik dan politisi inkumban itu sesungguhnya tidak berkorelasi dengan jumlah dukungan suara yang diperolehnya, jika dibandingkan dengan Caleg pendatang baru. Ada mantan pejabat yang hanya memperoleh suara minimal, bahkan nyaris tidak lolos. Demikian pula dengan politisi inkumban. Hal itu menjelaskan bahwa kelompok pemilih sebenarnya tidak terkesan dengan status Caleg itu apakah mantan pejabat publik atau inkumban. Mengapa sampai terjadi anomali semacam itu. Wallahualam. Namun demikian, saya sungguh tak habis pikir dengan sikap politik sejumlah Caleg terpilih yang “rambang mataan” (hatinya mendua). Saya katakan demikian, karena Caleg tertentu yang “terpilih” dalam Pemilu 2014 konon ingin mencalonkan diri
92
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
menjadi Kepala Daerah, yang akan berlangsung tahun 2015. Memang semua kabar itu masih merupakan rekayasa media koran tertentu, tetapi tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Oknum yang dikabarkan akan bertarung dalam Pemilu tahun 2015 antara lain Muhammad Rosehan (Banjarmasin Post, 11/8/2014). Tetapi selalu saja ada alasan yang mereka kemukakan untuk justifikasi dari rumor politik yang mengabarkan ambisi politiknya, seperti yang dikemukakan oleh Zairullah Azhar,44 Aditya Ariffin,45 dan Hasnuryadi Sulaiman. 46 Demikian pula dengan Syaifullah Tamliha,47 yang tidak membantah ambisinya di ranah Pemilukada. Bahkan seorang Habib Abdurrahman Bahasyim (sebagai Caleg terpilih yang mewakili Kalimantan Selatan di DPD RI) juga menyatakan “terpanggil” untuk bertarung di ranah Pemilukada. “Ada desakan dari bawah yang ingin saya maju. Sebagai putera daerah, saya juga terpanggil untuk berbuat lebih demi Banua,” ujarnya (Banjarmasin Post, 25/8/2014). Menurut logika saya, untuk apa segala macam pencitraan politik selama masa kampanye mereka lakukan, yang maksudnya adalah untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan publik, 44
Zairulah Azhar adalah kandidat Gubernur yang kalah bertarung dalam Pemilukada Kalimantan Selatan tahun 2010. Tiga lembaga survei, yakni LSI (Lembaga Survei Indonesia), Indo Barometer, dan JSI (Jaringan Survei Indonesia) mengunggulkan matan Bupati Tanah Bumbu ini untuk bertarung dalam Pemilu 2015 (Banjarmasin Post, 11/8/2014).
45
Aditya Ariffin, adalah putera Gubernur Kalimantan Selatan inkumban. Politisi muda PPP ini cenderung masih malu-malu, tapi tak menolak apabila dicalonkan sebagai kandidat dalam kontestasi Pemilukada (Banjarmasin Post, 9/8/2014).
46
Hasnuryadi Sulaiman, Caleg terpilih untuk DPR RI dari Partai Golkar, memang tidak secara terang-terangan menunjukkan ambisinya bertarung dalam Pemilukada 2015, tetapi pemberitaan tentang kemungkinan dirinya bertarung dalam Pemilukada tidak dibantahnya (Banjarmasin Post, 14/8/2014).
47
Syaifullah Tamliha, Caleg terpilih untuk DPR RI dari PPP dikabarkan mendapatkan dukungan untuk bertarung dalam Pemilukada Kabupaten Banjar tahun 2015. Tetapi Tamliha menggunakan kalimat bersayap. “…Namun jika rakyat meminta saya untuk menjadi Gubernur atau Bupati…, maka terlalu sombong jika saya menolaknya,” ujarnya, seolah-olah untuk menutupi ambisinya (Banjarmasin Post, 30/8/2014).
93
Mukhtar Sarman
kalau kemudian ternyata kepercayaan publik itu dikhianati. Dalam kaitan itu, barangkali politisi yang bersangkutan perlu mengklarifikasikan sikap politiknya, supaya jangan seperti Joko Widodo yang dituduh oleh lawan politiknya “tidak amanah” karena berjanji jadi Gubernur DKI selama satu periode (5 tahun) tapi tak sampai 2 tahun harus sudah pindah alamat ke Istana Merdeka karena menjabat Presiden RI. Untuk mencegah salah kaprah semacam itu, saya sampai terpikir, alangkah baiknya apabila dibuat aturan main yang jelas, bahwa seseorang yang telah berjanji jadi “wakil rakyat” tidak boleh mencabut janjinya itu kecuali bayar denda atau risiko masuk penjara. Betapa tidak, misalnya saya sebagai konstituen yang telah bersusah payah ke TPS memberikan suara untuk Caleg, tanpa dibayar, tentu merasa dipermainkan apabila Caleg terpilih itu tiba-tiba berhenti (meskipun digantikan dengan oknum lain yang mungkin setara) karena lebih tertarik menjadi Kepala Daerah. Kenapa tidak sedari awal dia mengambil sikap tidak men-Caleg, biar pemilih tidak sia-sia memilihnya. Kalau dalam bahasa Banjar pahuluan, itu sama saja dengan “maulu-ulu” (mengolok-olok). Padahal status sebagai “wakil rakyat” itu suatu amanah yang amat serius. Syahdan, adalah kasus Mahrita, seorang Caleg terpilih di DPRD Kota Banjarmasin yang mengundurkan diri, hanya beberapa saat sebelum hari pelantikan Kasusnya bermula ketika Mahrita, kader PDI Perjuangan itu ditetapkan sebagai Caleg yang lolos ke DPRD Kota Banjarmasin. Saat itu tidak ada tanda-tanda Mahrita akan mundur. Akan tetapi tidak ada angin dan tidak ada hujan, tibatiba Mahrita menyatakan mengundurkan diri dengan alasan, “…Ingin mengurus anak. Mereka memerlukan perhatian lebih. Tidak masalah saya tidak tidak ada di DPRD, karena mau fokus mengurus anak,” (Banjarmasin Post, 8/9/2014). Sepintas kejadian itu tidak ada yang aneh. Cuma yang jadi perhatian publik adalah oknum yang menggantikan Mahrita. Ternyata yang
94
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
pengganti Mahrita adalah Suprayogi, yang nota bene adalah suaminya sendiri. Suprayogi yang menjabat ketua DPC PDI Perjuangan Banjarmasin itu memang berdasar perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2014 untuk daerah pemilihan Banjarmasin Barat, tepat berada di bawah angka perolehan suara Mahrita. Akan tetapi Suprayogi itu tidak lolos kalau Mahrita tetap dilantik jadi anggota DPRD.48
48
Saya kira adalah hak Caleg terpilih untuk menerima atau tidak menerima amanah yang diberikan oleh konstituennya. Tetapi alasan pengunduran diri Mahrita itu tampak kurang konsisten dengan alibi dibuatnya. Dia menyatakan alasan mengundurkan diri adalah karena ingin mengurus anak, yang butuh perhatian lebih darinya. Dengan kata lain, seolah-olah jabatan sebagai anggota DPRD itu akan menyita banyak waktunya sebagai ibu tiga orang anak. Namun pernyataannya kemudian justru mengundang tanya, “Sebagai kader PDI Perjuangan, saya tetap akan menjalankan kegiatan politik,” katanya (Banjarmasin Post, 8/9/2014).
95
Mukhtar Sarman
96
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Keempat: Refleksi dari Lapangan alaulah dalam kajian ini digunakan istilah banalitas, praktik banal itu sendiri oleh banyak pengamat seringkali didudukkan sebagai hal yang tak terelakkan. Persoalannya adalah, istilah banal dan banalitas itu sendiri barangkali tidak begitu lazim dipergunakan dalam analisis politik ~ dan karena itu perlu justifikasi teoritis untuk dapat dipergunakan. Dalam konteks Pemilu Legislatif 2014, berikut ini adalah gambaran dari gejala banalitas yang dapat dideteksi dari kasus-kasus di Kalimantan Selatan, dan bagaimana menjelaskannya dari perspektif teoritis.
K
1. Banalitas Politik Secara generik, istilah ‘banal’ digunakan untuk menunjukkan maksud sifat “dangkal” (Prancis kuno: ban); sehingga ‘banalitas’ (“kedangkalan”) lalu bermakna lain sebagai sesuatu hal yang ‘klise’ (cliché) atau ‘hampa makna’ (bromide).49 Itulah sebabnya istilah ‘banal’ kemudian bisa dilekatkan pada isu dan obyek apa saja, termasuk politik. Sejatinya, istilah ‘banal’ dan ‘banalitas’ memang biasanya digunakan dalam filsafat sosial untuk menjelaskan kedangkalan pemahaman seseorang dalam mencermati atau menilai sesuatu entitas. Sebagai akibatnya ia dapat mengubah persepsi seseorang 49
Lihat Merriam-Webster Dictionary.
97
Mukhtar Sarman
tentang entitas tersebut. Atau bahkan memicu perilaku dan tindakan seseorang sesuai dengan persepsi yang dibangun dari hasil pemahamannya tersebut. Dengan demikian, ‘banal’ dan ‘banalitas’ itu sebenarnya hanya istilah, dan untuk maksud yang sama bisa saja digunakan sebutan lain. Meskipun sebutannya berbeda-beda, tetapi banal adalah gejala riil, yang kadangkala dijustifikasi dengan mistifikasi realitas. Oleh karena itu istilah ini akan lebih bermakna apabila dilihat konteksnya. Banalitas, ketika diwujudkan dalam suatu tindakan politik, boleh jadi menggambarkan tindakan-tindakan yang tercela dan busuk. Misalnya membeli suara (vote buying) untuk memenangkan kontestasi politik. Tindakan politik membeli suara itu merupakan kejahatan politik karena melanggar undang-undang dan menyalahi etika norma kepatutan dalam ranah politik yang mengutamakan kejujuran aktor politik. Oleh karena itu kejahatan politik bisa dijustifikasi oleh kehadiran banalitas politik, namun demikian, banalitas politik bukanlah kejahatan politik itu sendiri. Banalitas politik itu barangkali lebih tepat apabila diposisikan sebagai faktor pendukung kondisional, dan kejahatan politik adalah akibatnya. Karena itu banalitas politik sebenarnya bisa saja diposisikan sebagai variabel antara (intervening variable) dari sebuah tindakan politik busuk, kecurangan politik, atau faktor apa saja yang berpengaruh pada kualitas demokrasi politik. Sebagai suatu prakondisi kejadian, banalitas politik itu diasumsikan jadi masalah karena ia dapat mengerangka suatu tindakan politik yang sebenarnya jahat atau busuk menjadi seolah-olah ada pembenarnya sehingga menjadi masuk akal untuk dilakukan. Dengan kata lain, masalah etika, atau lebih tepatnya masalah moral, adalah isu utama dalam banalitas politik. Masalahnya, moral politik acapkali hanya dianggap sebagai persoalan filosofis, karena secara empirik sulit diukur indikator dan validitasnya. Faktanya, berbagai sistem moral mustahil dapat diperbandingkan
98
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
dan dievaluasi secara diferensial. Meminjam refleksi Bauman (1979:172), kebutuhan yang dilayani oleh masing-masing sistem lahir di dalam masyarakat tempat sistem bersarang; dan yang penting, pada setiap masyarakat harus ada satu sistem moral, bukan substansi norma-norma moral masyarakat tertentu yang kebetulan diberlakukan untuk mempertahankan kesatuannya. Bila moralitas dianggap sebagai konsekuensi bermasyarakat, atau produk masyarakat, maka perilaku moral menjadi sinonim dari penyesuaian sosial (social conformity) dan ketaatan pada normanorma yang dijalankan oleh mayoritas (Bauman, 1979:175). Karena kesadaran demikian mendorong Bauman untuk berargumen bahwa “faktor-faktor yang bertanggung jawab atas kehadiran kapasitas moral harus dicari di dalam yang sosial, atau dalam konteks sosial, tetapi pemunculan perilaku bermoral bukanlah akibat dari kehadiran agensi yang merupakan konteks kemasyarakatan” (Bauman, 1979:178-179). Atau dengan kata lain, banalitas politik yang menyangkut implementasi gagasan demokratisasi politik, dalam berbagai levelnya, sebenarnya merupakan sebuah pertunjukan para aktor yang tak mudah diverifikasi, divalidasi dan dikonfirmasikan apa dan mengapa mereka sampai melakukan tindakannya yang bersifat banal. Namun demikian, banalitas politik bukan tidak mungkin untuk ditengarai sejak masih berupa gejala (symptom); ibarat menengarai pengaruh mariyuana terhadap perilaku para penggunanya (Matza, 2010;64). Paling tidak, indikasi dari banalitas politik itu bisa dilihat dalam perspektif apakah prinsipprinsip dasar dari demokratisasi (seperti keterbukaan dan perlakuan yang sama di mata hukum) telah dilanggar secara sistematis (atau tidak) dalam kontestasi politik. Apakah kecurangan dalam hal dukungan politik untuk seseorang aktor (kandidat) langsung diberi penalti oleh lembaga penyelenggara pemilu, atau dibiarkan begitu saja hingga kasusnya masuk menjadi
99
Mukhtar Sarman
urusan lembaga pengadilan. Apakah bentuk-bentuk kampanye jahat dicegah sejak dini dengan aturan main jelas, atau dibiarkan berkembang hingga muncul konflik antar kandidat dan para pendukungnya. Apakah seseorang aktor yang kebetulan menjadi kandidat diperlakukan sama dengan kandidat lainnya, sehingga kontestasi politik yang digelar memberikan jaminan keadilan dan kebebasan bereskpresi yang sama, atau ada perkecualianperkecualian. Dan lain-lain sebagainya. Pada galibnya suatu tindakan sosial, apalagi yang dikonstruksikan sebagai pilihan rasional, niscaya didasarkan pada suatu motif yang kuat dan kemudian dijustifikasi oleh motivasi yang jelas dari diri si pelakunya. Persoalannya adalah, motif tindakan tentu saja bermacam ragam, tergantung pada jumlah kebutuhan personal subyeknya. Demikian pula dengan motivasi si pelaku, justifikasinya sangat tergantung pada kepentingan yang akan terpenuhi dari dilakukannya suatu tindakan. Karena itu yang terpenting sebagai acuan untuk identifikasi adalah, motif tindakan dan motivasi si pelaku tindakan itu sebaiknya dilihat dari konteksnya. Kalau konteksnya adalah ranah politik, maka motifnya tentulah berkaitan dengan relasi kekuasaan, dan sedikit banyak niscaya menyangkut juga aspek sosiokultural karena kekuasaan itu berkaitan pula dengan ihwal dominasi. Dalam kaitan itu saya mengikuti pembayangan Giddens, bahwa kekuasaan dan dominasi itu ditunjukkan dari penguasaan atas sumberdaya-sumberdaya yang dibangun dan dibentuk kembali melalui tindakan individu (Giddens, 1984:91). Bagi Giddens, kekuasaan itu pada akhirnya ditransformasikan dalam kapasitas tindakan manusia. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian “pengaruh” (power over) tidak lain adalah sub-kategori dari kapasitas transformatif yang memungkinkan seseorang, sebagai agen, menjadi aktor yang berusaha memaksa agar orang lain patuh kepadanya (Giddens, 1984:93). Karena pada dasarnya tindakan politik adalah tindakan
100
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
sosial yang sifatnya kolektif, maka yang mungkin terjadi adalah kolaborasi di antara para aktor untuk menguasai sumberdayasumberdaya dalam rangka membangun hegemoni agar dapat mendominasi kelompok mayoritas. Selanjutnya kelompok mayoritas itu tunduk kepada mereka. Dengan asumsi bahwa setiap aktor selalu terikat dengan strukturnya, maka tindakan sosial seseorang (aktor) di ranah publik seharusnya selalu disesuaikan dengan kondisi aktual yang memungkinkan tindakan tersebut berada dalam posisi aman secara ontologis. Hal itu mestinya berlaku juga pada tindakan politik. Namun, karena sesuatu hal, kadangkala tindakan politik bisa saja menyimpang alias tidak sesuai dengan norma atau etika politik yang ada. Penyimpangan perilaku itu boleh jadi tidak dikehendaki, bahkan oleh pelakunya sendiri, namun ia menjadi pilihan rasional untuk mengamankan sebuah peluang politik. Ada persoalan moral politik di sini, karena meskipun yang bersangkutan mengetahui kaidah-kaidah sosial namun dia belum tentu selalu mampu mengaplikasikannya sebagai modal moral politik. Hadirnya dilema antara pilihan rasional untuk mengabaikan kaidah-kaidah sosial dan adanya beban moral untuk berperilaku sesuai norma sosial itulah ciri banalitas suatu tindakan sosial. Dengan demikian, banalitas bukan hanya berarti kedangkalan, tetapi juga kebusukan, dan ada korban dari ‘kebusukan’ itu. Banalitas bukan hanya berarti kedangkalan berpikir, tetapi juga sesat pikir yang bisa berakibat buruk pada orang lain.
2. Mengapa Banalitas Politik Terjadi? Pada dasarnya perilaku politik adalah tindakan sosial seseorang (aktor) di ranah politik. Entah karena sesuatu hal, kadangkala perilaku tersebut cenderung menyimpang alias tidak
101
Mukhtar Sarman
sesuai dengan norma atau etika politik yang ada. Dengan dasar pemahaman itu saya ingin berargumen, bahwa moral politik yang berkaitan dengan kebaikan-kebaikan kontestasi, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keadilan ~ betapapun sulit mengukurnya ~ adalah idealisasi yang bisa dipahami oleh setiap orang warga masyarakat, tetapi boleh jadi tidak bisa dilaksanakan oleh setiap individu. Mengapa ia tidak bisa dilaksanakan, jika dilakukan dengan sadar dan sengaja, hal itu patut dicurigai karena individu yang bersangkutan telah terperangkap banalitas politik. Oleh karena itu konsep banal dan definisi banalitas politik sebaiknya dipahami dalam konteks bagaimana tindakan politik yang diperagakan oleh para pelaku yang bermain di panggung politik. Pendekatan kontekstual semacam itulah yang dilakukan Michael Billig ketika mencoba memaknai banalitas yang berkaitan dengan identitas kebangsaan. Dalam pandangan Billig, sebuah rezim sangat mungkin mengalami waham dalam memahami kekuasaan politik yang dimilikinya. Penguasa rezim itu dengan sekehendak hati menafsirkan “kebenaran” dari hegemoni politik yang dibangunnya, dan bahkan ‘menyalahgunakan’ tafsir atas identitas kebangsaan, untuk kepentingan politiknya. Hal itu misalnya dilakukan oleh Margareth Thatcher (Perdana Menteri Inggeris) kala konflik Malvinas. Dengan cara lain juga dilakukan oleh Presiden Bush ketika melibatkan Amerika Serikat dalam Perang Teluk (Billig, 2005:89-91). Karena itu Billig cenderung mendeskripsikan banalitas (dalam konteks politik) sebagai suatu kesalahkaprahan (dalam memaknai kekuasaan) yang telah ‘merasuk’ dalam memori kehidupan sehari-hari masyarakat, dan karena itu kehadirannya kemudian seolah-olah tidak membahayakan (Billig, 2005:7). Saya ingin berargumen bahwa banal dan banalitas bukanlah perbuatan itu sendiri, tetapi sifat negatif yang dikandung dari perbuatan tersebut. Banalitas politik sebenarnya berbeda makna
102
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
substantifnya dengan kejahatan politik, meskipun dua hal itu bisa saja saling berhubungan. Banalitas politik dalam kasus tertentu bisa dimaknai sebagai faktor sebab, sedangkan kejahatan politik adalah akibatnya. Pada umumnya, banalitas politik lebih merupakan variabel-antara dari suatu kejadian atau tindakan yang menggambarkan kebusukan politik. Sungguhpun demikian, tetap saja dibutuhkan justifikasi moralitas sosial agar suatu tindakan politik banal bukan dianggap sebagai sebuah kejahatan. Justifikasi itu penting, karena apabila secara kasat mata suatu tindakan sosial dapat dinilai tidak sesuai dengan kaidah moral sosial niscaya akan ditolak masyarakat ~ padahal setiap aktor politik membutuhkan dukungan masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan yang legal dan diakui oleh rakyat. Karena banalitas tindakan sosial adalah sebuah anomali yang berkaitan dengan proses nalar dan kemampuan seseorang menimbang nilai-nilai moral, maka penting sekali dipahami apa saja komponen-komponen yang memungkinkan kehadirannya. Tanpa bermaksud menutup peluang atas identifikasi sejumlah komponen lain yang relevan, izinkanlah saya mengusulkan komponen utama yang diasumsikan paling menentukan kehadiran tindakan banal itu menyangkut dua hal penting, yakni: (a) adanya kesalahkaprahan memaknai substansi suatu entitas kehidupan, dan (b) terjadinya krisis nilai-nilai yang mengatur tertib sosial. Komponen banalitas yang pertama, yakni adanya kesalahkaprahan memaknai substansi suatu entitas kehidupan, terdiri dari unsur-unsur: (1) kebebalan, (2) sesat pikir, dan (3) rasionalisasi yang dipaksakan. Sedangkan komponen banalitas yang kedua, yakni terjadinya krisis nilai-nilai yang mengatur tertib sosial, terdiri dari unsur-unsur: (1) ketekoran moral, (2) krisis legitimasi, dan (3) adanya zona buram.
103
Mukhtar Sarman
Kebebalan adalah sifat yang merefleksikan kebodohan (stupidity), tetapi bukan menunjukkan ketidakmampuan menilai, yang secara teknis berarti bodoh. Kebebalan lebih menyangkut perilaku seseorang yang sukar mengerti pendapat orang lain, cenderung memaksakan pendapatnya sendiri, dan keras kepala atas keyakinannya. Bahkan kebebalan kadangkala merupakan buah dari sifat dasar seseorang yang egoistik, dan lantas selalu merasa benar sendiri. Karena itu kategori kebebalan bisa dioperasionalkan dalam sejumlah indikator yang lebih terukur, yaitu: (a) berkecenderungan curiga atas setiap informasi baru yang diterima dari orang lain, dan tingkat kecurigaan itu menentukan tingkat kebebalan seseorang; (b) terlalu percaya secara berlebihan dengan kebenaran pendapat sendiri, dan karena itu cenderung sukar menerima pendapat yang berbeda dari orang lainnya; dan (c) ketidakpedulian pada substansi, dimana kelemahan dalam hal itu menyebabkan seseorang abai terhadap detil dan lalu menjadi ceroboh, yang tatkala menjadi kumulatif bisa menggambarkan kebodohan-kebodohan yang tak termaafkan. Secara generik, sesat pikir (logical fallacy) adalah kekacauan logika yang disebabkan oleh sejumlah argumentasi yang tidak disusun dengan logika yang benar sehingga menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan. Sesat pikir bisa terjadi karena seseorang salah kaprah dalam memindai kebenaran suatu hal dan tidak ada koreksi dari pihak lain kecuali diri yang bersangkutan. Karena itu sesat pikir bukan sekadar menyangkut keyakinan seseorang atas kebenaran pendapatnya sendiri, tetapi juga berkaitan dengan tingkat kemampuan seseorang dalam menerima koreksi dari pihak lain. Karena itu kategori sesat pikir bisa dioperasionalkan dalam sejumlah indikator yang lebih terukur, yaitu: (a) jumlah informasi yang diperoleh, yang menyebabkan seseorang memiliki pengetahuan yang memadai atau tidak, dan sesat pikir hampir selalu berkaitan dengan keterbatasan informasi;
104
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
(b) tingkat pendidikan, yang diasumsikan menentukan kemampuan berpikir logis, dan sesat pikir berkaitan dengan ketidakmampuan berpikir logis; dan (c) kemampuan menghargai pendapat orang lain, karena argumentasi yang didasari oleh sesat pikir biasanya sengaja dibangun dengan maksud tersembunyi untuk melecehkan atau mendiskreditkan orang lain. Pada dasarnya setiap orang itu rasional, dan masalahnya adalah ketika seseorang tergoda untuk memaksakan rasionalitasnya sendiri saja sehingga lalu terjebak pada kondisi rasionalisasi dipaksakan. Rasionalisasi yang dipaksakan, yang diasumsikan bisa menyebabkan irrasionalitas, bukan hanya menyangkut kemampuan nalar yang mandiri, tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup seseorang, yang menyebabkan seseorang memiliki preferensi unik tentang sesuatu hal, dan sayangnya salah kaprah. Rasionalisasi yang dipaksakan ini dapat dioperasionalkan dalam sejumlah indikator yang lebih terukur, yaitu: (a) segala sesuatu selalu harus dilihat dari perspektif rasionalitas, dan seseorang yang terjebak pada rasionalisasi yang dipaksakan akan memaksakan nalarnya sendiri untuk menjustifikasi tindakannya; (b) ukuran kebenaran adalah fakta empiris yang masuk akal, dan seseorang yang terjebak pada rasionalisasi yang dipaksakan akan memaksakan kebenaran empiris yang diyakininya saja meskipun hal itu bertentangan dengan norma sosial; dan (c) setiap kejadian harus merujuk pada pola logika sebab akibat, dan seseorang yang terjebak pada rasionalisasi yang dipaksakan akan memaksakan pola tersebut untuk menjelaskan setiap persoalan, temasuk yang menyangkut hal-hal abstrak seperti implikasi pelanggaran norma sosial. Meskipun tiga perkara itu berbeda fungsi, tetapi sesungguhnya ketiga unsur pendukung komponen kesalahkaprahan itu bisa saling berkait-kelindan untuk menentukan bagaimana pandangan dunia (world view) seseorang. Subyek mandiri bisa saja mengalami
105
Mukhtar Sarman
kesilauan emosional sesaat, dan karena itu lalu menumpulkan budiluhurnya, sehingga menyebabkan yang bersangkutan tidak peka dengan kepentingan orang lain. Karena antara lain faktor kesilauan emosional sesaat itu pula, seseorang bisa keliru memahami substansi suatu entitas, sehingga ketika bertindak seolah-olah merefleksikan nilai esensialnya padahal tidak, dan lalu menunjukkan ‘kehampaan makna’ dari tindakan yang diperbuatnya. Apa yang dilakukan seseorang yang terjebak dalam kehampaan makna itu tidak lain adalah gambaran dari sebuah kebebalan. Tetapi, ada kalanya kebebalan dan ketidakpekaan sosial juga bisa menimpa seseorang lantaran terjebak dalam rasionalisasi yang dipaksakan, dan lalu mengandaikan tidak pentingnya nilainilai normatif yang sudah ada sebagai referensi sosial, atau bahkan tidak sudi berpikir barang sejenak untuk merefleksikan nilai manfaat dari tindakan yang dilakukannya. Padahal bagaimanapun juga suatu tindakan sosial itu mestinya didasarkan pada hasil interaksi yang berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang mekanisme sosialisasi dirinya di suatu ranah tertentu. Itu pula sebabnya banalitas juga bisa dikaitkan dengan ketidakmampuan subyek memahami substansi kehidupan sebagai sejumlah kejadian yang integratif, yang dalam kategori unsur banalitas di sini dimaksudkan sebagai kebebalan yang menunjukkan tidak berfungsinya budiluhur seseorang. Pada sisi lain, ketekoran moral (moral deficit) adalah kondisi seseorang yang berada dalam situasi ketidakcukupan syarat untuk berperilaku sesuai dengan moralitas sosial yang berlaku, sehingga kemudian cenderung menghalalkan kebohongan dalam tindakan sosialnya. Menghalalkan kebohongan adalah kata kuncinya, karena bisa saja yang bersangkutan tidak melakukan kebohongan, kalau mau. Karena itu ketekoran moral bukanlah kecacatan moral (moral defect) yang menyebabkan seseorang menjadi telengas, kejam atau tidak berperikemanusiaan. Tindakan yang didasarkan
106
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
pada ketekoran moral dan kecacatan moral itu hampir pasti buruk. Tetapi apabila dianalogikan sebagai ‘dosa’, maka ketekoran moral itu boleh jadi hanya dimasukkan dalam kategori ‘dosa ringan’. Sejatinya ada banyak hal yang bisa dikaitkan dengan ketekoran moral, namun hal terpenting yang berkaitan dengan kehadiran banalitas sebagai bentuk krisis nilai-nilai barangkali hanya ada dua unsur lainnya, yakni: krisis legitimasi dan adanya kondisi zona buram. Pada masyarakat tradisional yang terikat dengan normanorma sosial, diam-diam nilai-nilai moralitas sosial itu sangat ketat mengatur perilaku warga masyarakat. Dalam perkembangan kemudian, nilai-nilai moralitas sosial itu boleh jadi melunak dan sejak itu pula akan muncul sikap permisif, dan lalu warga masyarakat menjadi semakin individualistik dan pragmatis. Adanya pelunakan nilai-nilai moralitas sosial dan semakin individualistiknya warga masyarakat menyebabkan pudarnya norma sosial sebagai faktor pengatur perilaku individu dalam interaksi sosialnya. Hal itu lebih lanjut bisa berakibat pada semakin tidak pedulinya orang per orang atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh orang lainnya. Dengan kata lain muncullah gejala permisifisme sosial. Meminjam dialektika Jurgen Habermas, permisifisme sosial itu boleh jadi merupakan hulu dari kondisi psiko-sosial yang disebut “krisis legitimasi” (Habermas,1992). Krisis legitimasi merupakan situasi dimana warga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya atau lembagalembaga publik yang mengatur tertib sosial. Tingkat krisis akan lebih tinggi jika persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat tidak bisa dengan segera diatasi. Krisis legitimasi itu muncul jika harapan-harapan yang ada di benak masyarakat tidak bisa dipenuhi, baik oleh sejumlah nilai yang sudah tersedia maupun oleh penghargaan yang sengaja diciptakan secara sistematis dan menyesuaikan dengan sistem yang ada.
107
Mukhtar Sarman
Di sisi lain, dalam tata kehidupan sosial modern yang penuh konflik kepentingan, dan juga sebagai ekses dari praktik politik pragmatis di panggung kekuasaan, cukup lazim terjadi tidak begitu jelasnya perbedaan normatif antara hal yang benar dan hal yang tidak benar, antara pengecualian dan aturan. Untuk menggambarkan hal itu saya menggunakan istilah “zona buram”. Ibarat sebuah cermin, zona buram itu mengandaikan cermin yang kotor dan penuh debu sehingga kehilangan kemampuannya untuk memberikan daya pantul. Karena itu zona buram tidaklah serupa dengan ‘wilayah abu-abu’ yang biasanya digunakan untuk menunjukkan percampuran antara hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Zona buram adalah wilayah yang tidak jelas warnanya dan cenderung kusam. Zona buram memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku para aktor politik secara dramatis. Misalnya yang semula dalam posisi sebagai musuh yang saling berseberangan tiba-tiba menjadi kawan seiring, atau sebaliknya ~ dan hal itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Zona buram juga dapat menjustifikasi ‘pola balas dendam yang tersembunyi’ sebagai tindakan rasional dari kaum lemah untuk membayar kekalahan atau penipuan yang diterimanya dari kelompok lain yang lebih kuat.50 Zona buram dapat menjadi pintu masuk untuk menjustifikasi suatu tindakan yang secara konseptual dinilai haram tetapi kemudian tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang halal untuk dilakukan. Dengan kata lain, zona buram dapat menyebabkan disorientasi etis bagi pelaku suatu tindakan sosial, dan ia dapat menjustifikasi perilaku banal sebagai tindakan rasional.
50
Pola balas dendam secara terselubung itu merujuk pada konsep perlawanan kaum lemah sebagaimana dirumuskan James Scott ketika menjelaskan pola boikot yang dilakukan oleh kelompok buruh tani kepada pemilik lahan pertanian di Kedah, Malaysia (Scott, 1985). Dalam kasus Pemilu, boleh jadi konstituen yang menerima saja uang dari kandidat, tapi tidak memilih kandidat yang bersangkutan, adalah refleksi dari balas dendam kaum lemah.
108
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Pertautan kondisional antara krisis legitimasi dan adanya kondisi zona buram memberikan situasi yang kondusif bagi ketekoran moral, dan ketika situasi tersebut bertaut dengan komponen-komponen kesalahkaprahan aktor, maka lengkaplah prakondisi kehadiran banalitas dalam tindakan sosial seseorang. Akan tetapi, sebuah tindakan politik yang dapat dikategorikan “banal” tidaklah dipersyaratkan harus selalu memenuhi semua komponen kehadiran banalitas tindakan sosial. Ada kalanya tindakan politik banal itu terutama hanya dipicu oleh sesat pikir aktor dan adanya krisis legitimasi, dan unsur-unsur lainnya tidak terlalu signifikan. Atau bisa saja terjadi suatu tindakan politik banal itu hadir karena dominannya unsur kebebalan yang disertai dengan kondisi zona buram dalam masyarakat. Klasifikasi yang dibuat berkaitan dengan komponen-komponen kesalahkaprahan aktor dan adanya krisis nilai-nilai itu semata-mata untuk mempermudah analisis bahwasanya banalitas politik sebagai tindakan sosial tidaklah muncul begitu saja tanpa sebab musabab. Banalitas politik itu ada, dan hadir sebagai sebuah fenomena sosial, karena memang ada faktor-faktor yang menjustifikasinya. Dengan kerangka pikir semacam itu banalitas politik mestinya dianggap sebagai potensi kebusukan politik yang dijustifikasi oleh kesalahkaprahan aktor dalam memahami substansi politik demokratis, dan ia akan tetap jadi potensi sampai diwujudkan dalam bentuk tindakan politik banal. Pada sisi lain, tindakan politik banal sesungguhnya tidak akan terjadi apabila tidak ada momentumnya. Momentum dimaksud adalah peristiwa yang relevan dengan aksi penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan manipulatif dalam rangka mendapatkan kekuasaan, seperti misalnya Pemilu. Kalaupun semua prakondisi itu telah ada, sebenarnya masih dibutuhkan satu prasyarat lagi, yakni hasrat politik yang berkaitan dengan kekuasaan yang memberikan motif dan motivasi kepada si pelaku tindakan, yakni aktor politik yang
109
Mukhtar Sarman
bersangkutan. Hasrat berkuasa itulah yang diasumsikan menjustifikasi adanya relevansi momentum untuk menggunakan tindakan politik banal sebagai pilihan rasional bagi seseorang aktor politik. Dengan konstruksi berpikir semacam itu pula dapat didudukkan dalam proporsinya, bahwa korupsi politik mungkin sebuah perbuatan yang jahat dan melanggar hukum, tetapi sebenarnya tidak serta-merta relevan dengan konsep banalitas politik. Kecuali si pelakunya menganggap bahwa perbuatan korupnya itu sebagai konsekuensi logis dari kemampuannya mengambil peluang memanfaatkan aksesibilitas kekuasaan yang dimilikinya, dan tidak mau peduli bahwa hal itu merupakan sebuah perbuatan tercela. Dengan demikian, banalitas merefleksikan pemahaman seseorang tentang rasionalitas tindakannya. Tidak soal apakah pemahaman dimaksud menggambarkan adanya kenaifan atau bahkan justru kecerdasan yang luar biasa, namun salah kaprah. Oleh karena itu salah satu ciri banalitas adalah kesalahkaprahan memahami substansi dan lalu seseorang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai normatif tertentu yang seharusnya mampu menatakelola inter-relasi kehidupan sosialnya. Dengan demikian, banalitas politik dapat dirumuskan sebagai praksis politik yang mengabaikan pertimbangan moralitas sosial, namun justru dianggap lumrah untuk diperagakan secara kolektif oleh para pelaku yang bermain di panggung politik karena didukung oleh kondisi lingkungan sosialnya. Harus ada asumsi ‘lumrah’, karena kalau tidak, secara logis ia tidak akan jadi pilihan rasional bagi subyek otonom yang melakukan tindakan. Meskipun bertentangan dengan moralitas sosial, atau bahkan sudah termasuk dalam kategori moral tercela (moral hazard), tetapi manakala suatu tindakan itu dianggap lumrah, maka aktor yang melakukannya niscaya akan merasa cukup aman dari cercaan
110
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
sosial yang terbuka. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa, dipergelarkannya segala bentuk kecurangan dan politik uang dalam suatu kontestasi politik seperti Pemilu adalah lantaran para pelakunya menilai hal itu lumrah. Penilaian aktor tentang “kelumrahan” itu dianggap sebagai suatu realitas sosial karena warga masyarakat tidak menunjukkan resistensi yang terbuka terhadap tindakan tersebut. Sebagai ilustrasi dari kasus Pemilu tahun 2014 di Kalimantan Selatan, para Caleg (sebagai aktor) bisa saja berdalih karena semua kandidat yang ikut konstestasi politik praktis telah melakukan “politik uang”, maka sungguh bodoh kalau cuma dia sendiri yang tidak melakukannya dengan risiko tidak mendapatkan dukungan publik. Dalam argumen aktor itu sebenarnya terkandung rasionalisasi yang dipaksakan. Dengan alasan bahwa ternyata masyarakat ternyata tidak menolak “politik uang” itu, maka makin kuatlah motivasi aktor itu untuk melakukan tindakan politik tercela itu.
3. Banalitas Politik Dalam Konteks “Kerusakan” Sistem Dalam konteks demokratisasi, prinsip-prinsip demokrasi seperti kejujuran dan rasa keadilan sosial bisa saja dalam praksisnya dimanipulasi menjadi seolah-olah mengutamakan hal itu, padahal tidak. Dalam kaitan itu karena substansi demokrasi adalah menyangkut pentingnya mengutamakan kesetaraan, maka manipulasinya bisa saja berupa isu demokratisasi untuk semua. Karena itu pula banalitas politik dalam konteks demokratisasi mestinya lebih tepat dipahami sebagai kondisi sosiologis dimana rakyat seolah-olah diarahkan pada gerakan mendukung tumbuh kembangnya demokrasi, tetapi ia sebenarnya merupakan rekayasa dari kelompok elit atau penguasa rezim untuk mengamankan kepentingan mereka dari hujatan bahwa mereka tidak demokratis.
111
Mukhtar Sarman
Banalitas demokratisasi itu akan lebih sempurna apabila pemahaman masyarakat berhasil digiring untuk bersetuju bahwa demokrasi formal lebih penting daripada demokrasi substantif. Karena itu praksis demokrasi pun niscaya tidak masalah apabila terasing dari nilai-nilai kultural masyarakat yang sejatinya mengerangka tindakan sosial aktor di ranah publik. Dengan kata lain, banalitas politik adalah prakondisi yang bisa memberikan dampak berupa ‘kerusakan sistem’. Namun, seperti halnya virus program komputer, banalitas politik itu memang tidak akan membunuh demokrasi. Namun tatkala ia masuk ke dalam sistem politik, ia dapat mengurangi kemampuan sistem demokratis dalam memberikan panggung sebuah kontestasi politik yang sehat dan berkualitas baik. Karena itu harus ada 3 prasyarat kondisional sebelum banalitas politik dapat merusak ‘sistem ketahanan’ tubuh demokrasi politik yang sehat, yaitu: (1) Ketika ia menjadi kerangka pikir bagi aktor utama yang bertindak di suatu ajang kontestasi politik; (2) Ketika ia menjadi kesepakatan sejumlah orang untuk dasar berkolaborasi mendapatkan keuntungan dari sebuah kontestasi politik; dan (3) Ketika lembagalembaga politik tidak punya mekanisme pertahanan (aturan hukum, fatsun, dan sebagainya) yang dapat menolak atau menetralisir ‘kerusakan sistem’ yang disebabkan oleh para elit yang terperangkap banalitas politik, dan justru ikut mendukungnya. Oleh karena itu, secara konseptual banalitas politik juga dapat dirumuskan sebagai pola relasi kolaboratif para aktor yang memiliki hasrat kepentingan tertentu untuk memanfaatkan momentum kontestasi politik guna mendapatkan keuntungan melalui proses saling-berbagi-peluang dan proses pertukaran-sosial. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa banalitas politik itu adalah karakter sebuah tindakan sosial dari seseorang aktor yang cenderung abai pada aspek akuntabilitas publik. Jika ia menjadi
112
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
karakter tindakan kelompok dari sejumlah orang yang punya hasrat kepentingan (vested-interest) dalam sebuah kontestasi politik, maka ia dapat menjadi pintu masuk terjadinya persekongkolan jahat yang kemudian diperkirakan dapat mengurangi kualitas demokrasi. Karena itu, meskipun banalitas pada awalnya mungkin merupakan ruang privat yang menyangkut perilaku personal, namun tatkala seseorang aktor yang terperangkap dalam banalitas politik berinteraksi dengan orang lainnya, dan kemudian di antara mereka itu bersepakat untuk melakukan tindakan politik yang buruk, curang, manipulatif, dan lain-lain tindakan sejenisnya, maka sejak itu banalitas politik keluar dari ruang privat. Seorang aktor yang melakukan tindakan politik banal tidak bisa lagi berdalih bahwa apa yang dilakukannya adalah urusan pribadi. Dalam kaitan itu banalitas politik yang diasumsikan mampu memberikan dampak negatif terhadap kualitas demokrasi politik adalah banalitas yang bukan berada di ruang privat. Ada kecenderungan bahwa aktor yang melakukan tindakantindakan politik menjustifikasi tindakannya dengan rasionalisasi yang dipaksakan. Karena rasionalisasi yang dipaksakan, tidak ada alasan untuk menunda suatu tindakan politik yang lebih menguntungkan, kendati hal itu barangkali tidak sesuai dengan norma sosial yang ada. Karena rasionalisasi yang dipaksakan, maka suatu tindakan sosial, termasuk tindakan politik, yang pada galibnya abnormal bisa saja dianggap normal. Normalitas yang didasarkan atas rasionalisasi yang dipaksakan tentu saja bukanlah normalitas sosial yang didasarkan atas nilai-nilai sosial yang berlaku umum. Tetapi, ketika suatu abnormalitas telah dianggap sebagai suatu hal yang normal, maka pada titik itulah kaidah banalitas politik berlaku. Kasus-kasus abnormalitas yang terjadi pada Pemilu Legislatif 2014 di Kalimantan Selatan, tetapi kemudian dianggap sebagai sebuah hal yang normal belaka, bisa dikategorikan dalam tiga pola
113
Mukhtar Sarman
kejadian. Pertama, ketika para Caleg berebut kepercayaan partai politik untuk tampil sebagai kandidat dalam Pemilu, tak peduli dengan rekam jejak yang dimilikinya, apakah patut dia menampilkan diri sebagai “politisi pilihan rakyat”. Kedua, tatkala para Caleg harus merekayasa ‘citra diri’ mereka untuk mendapatkan kepercayaan publik di masa kampanye, dengan menampilkan foto dirinya di baliho-baliho yang tidak sesuai dengan aslinya. Ketiga, ketika Caleg harus menggunakan strategi “politik uang” untuk meyakinkan kemenangan dirinya dalam kontestasi Pemilu. Abnormalitas pertama adalah tindakan cerdik para elit pengurus partai politik yang berhak untuk mengusung seseorang untuk menjadi kandidat dalam kontestasi Pemilu. Mereka itu tahu persis bahwa banyak bakal-kandidat yang mengharapkan kebaikan hati mereka. Merekapun yakin bahwa para bakal-kandidat akan melakukan segala cara untuk mendapatkan tiket masuk dalam pertarungan kontestasi Pemilu. Dalam kondisi semacam itu posisi tawar tentu saja ada pada para elit pengurus partai politik. Tetapi, agar dapat disebut sebagai proses demokratis, maka para elit partai politik itu membuka pendaftaran umum bagi para bakal-kandidat yang ingin ‘diusung’ melalui partai politik mereka. Siapa saja, asal memenuhi syarat administratif yang ditetapkan oleh elit partai itu, akan diseleksi menjadi kandidat yang diusung guna bertarung dalam kontestasi Pemilu. Celakanya apabila syarat asal populer dan “berani malu” didahulukan, maka seperti yang banyak terjadi pada daftar Caleg di partai politik tertentu muncullah “politisi dadakan” yang sebenarnya tidak lain adalah pengangguran pencari kerja belaka. Abnormalitas kedua adalah adalah ketika Caleg harus membangun ‘citra diri’ sebagai kandidat [yang layak jadi] pilihan rakyat. Sesungguhnya tidak ada ukuran apakah seseorang itu layak atau tidak layak untuk menjadi kandidat “wakil rakyat”. Rakyat
114
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
pemilih tidak punya preferensi tentang ‘wajah idaman’ wakilnya di Parlemen (atau DPRD). Tetapi, justru karena tidak ada ukuran standar itulah tampaknya yang menyebabkan para kandidat berupaya keras menampilkan sosok dirinya sebagai figur idaman: sekurang-kurangnya tampak lebih tampan dan berwibawa, atau terlihat lebih cantik dan menawan. Masalahnya, karena pada dasarnya tidak setiap kandidat yang bertarung itu wajahnya tampan dan cantik, maka di situlah hadir banalitas politik dalam bentuk baliho-baliho yang sarat dengan sentuhan teknologi komputer. Gambar-gambar wajah kandidat dapat dihadirkan dalam bentuk sempurna ~ meskipun wajah aslinya ala kadarnya. Seolah-olah kontestasi Pemilu itu adalah kompetisi mencari ‘wajah sampul’ majalah remaja. Seakan-akan rakyat pemilih niscaya akan terpesona dengan foto wajah sang kandidat belaka, dan tidak peduli dengan rekam jejak sang Caleg sebagai figur publik. Hal itu kemudian menjadi gejala banalitas politik yang masif ketika nyaris di semua penjuru mata angin dipenuhi dengan tebaran baliho dan spanduk yang menampilkan wajah-wajah kandidat yang penuh rekayasa program photoshop. Abnormalitas ketiga adalah ketika Caleg terperangkap pada keyakinan berlebihan untuk mengeluarkan dana politik hingga di luar kemampuannya. Biaya politik untuk terlibat dalam kontestasi Pemilu memang tidak ada batas maksimalnya. Namun demikian, adalah tidak masuk akal apabila biaya yang harus dikeluarkan seseorang Caleg sampai tidak terukur berdasarkan rasio ekonomi dan batas-batas kemampuan dirinya. Tetapi, hal yang dapat dikategorikan “tidak masuk akal” itupun boleh jadi terjadi juga, sehingga pada kasus Pemilu terjadi Caleg yang kalah tarung lalu jatuh bangkrut karenanya.51 51
Beberapa kandidat yang bertarung pada Pemilu tahun 2014, dan kalah tarung, diketahui meninggalkan hutang pasca Pemilu. Beberapa di antaranya diketahui mengalami stress. Bahkan ada kabar oknum kandidat yang terpaksa melarikan diri ke luar daerah karena terlilit hutang dan tidak mampu membayarnya.
115
Mukhtar Sarman
Abnormalitasnya adalah, mengapa mereka sampai (harus) mengeluarkan dana politik yang berlebihan, padahal tidak ada jaminan pasti menang dalam kontestasi. Bahkan jika sekiranya kandidat tersebut menang sekalipun sebenarnya tidak mudah untuk dicerna akal sehat, bagaimana caranya yang bersangkutan “mengembalikan” dana yang sudah dikeluarkannya selama masa kontestasi Pemilu. 52 Para kandidat niscaya punya perhitungan untung rugi sehingga berani mengeluarkan dana hingga di luar batas normal. Tetapi ketika perhitungan untung rugi semata-mata didasarkan pada kemungkinan pasti menang tarung, dan jika bisa menjadi Anggota DPRD diasumsikan punya akses untuk “mengembalikan” dana politik yang dihabiskan selama masa kontestasi Pemilu, maka pada titik itulah banalitas politik terjadi. Banalitas politik dalam konteks itu adalah mengandaikan kontestasi Pemilu bagai sebuah ajang pertaruhan kekuasaan dengan taruhan bagi yang menang akan menguasai segalanya, termasuk bisa menguasai akses anggaran Pemda yang bakal dibahas di DPRD. Dengan kata lain, untuk memahami banalitas politik itu tidak cukup hanya dengan menyelami kesalahkaprahan aktor yang bersangkutan, tapi juga faktor lingkungan (field, dalam istilah Bourdieu) yang memberikan pra-kondisi atas kejadian salahkaprah itu. Lingkungan atau ranah politik itu sendiri dalam konteks Pemilu menyangkut keberadaan pihak lembaga penyelenggara Pemilu itu sendiri, dan masyarakat sebagai konstituen yang terlibat dalam kejahatan politik yang dilakukan oleh aktor. Tidak mungkin aktor politik (Caleg) dapat melakukan suatu tindakan kejahatan politik, sebagai bentuk tindakan banalnya, tanpa diketahui oleh 52
Maksudnya, jika ukurannya adalah gaji dan tunjangan resmi yang diterima oleh setiap anggota DPRD, sangat tidak masuk akal semua pengeluaran biaya politik itu akan impas, meskipun gaji dan tunjangan itu tidak dikonsumsi oleh yang bersangkutan selama 5 tahun masa jabatannya.
116
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
lembaga penyelenggara Pemilu. Persoalannya adalah, apakah lembaga penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) dan aparatus bawahannya mau menyikapi hal itu sebagai sebuah pelanggaran normatif atau tidak. 53 Sedangkan masyarakat pemilih, yang mungkin terlibat dalam praktik politik transaksional, sebenarnya bukan unsur paling penting dalam abnormalitas sistemik itu. Sebatas pengamatan di lapangan, masyarakat yang terlibat dalam “politik uang” misalnya, sebenarnya dalam posisi pasif. Tidak pernah terjadi konstituen menjajakan “suaranya” untuk dibeli oleh siapa saja penawar tertinggi. Dalam kasus umum yang terjadi, Caleg (aktor)-lah pihak yang berinisiatif untuk terjadinya politik transaksional itu, meskipun dalam praktiknya Caleg lebih banyak menggunakan jasa para broker.
4. Banalitas Politik dan Pemilu Rumpang Pemilu Legislatif 2014 ditengarai oleh banyak pengamat sebagai “Pemilu yang rusak” karena terjadinya berbagai “kecurangan”54 dan adanya praktik politik uang yang masif. Dalam 53
Dalam beberapa kasus kejadian, oknum lembaga penyelenggara Pemilu, terutama aparat pelaksana di tingkat kecamatan dan desa (PPK dan PPS), malah terbukti ikut terlibat dalam kerusakan sistem sebagai pelaku tindakan politik banal.
54
Istilah “kecurangan” itu biasanya digunakan dalam wacana publik untuk menunjukkan telah terjadi pelanggaran aturan main sebagaimana yang dimuat dalam Undang-Undang. Tetapi dalam praktiknya, kecurangan dimaksud lebih banyak terjadi dalam bentuk manipulasi aturan dan penggelembungan suara pemilih yang melibatkan oknum aparat penyelenggara Pemilu, yang bersekongkol dengan kandidat tertentu. Pada Pemilu Legislatif 2014 di Kalimantan Selatan, kasus seperti itu terjadi di Kabupaten Tapin, dimana seorang komisioner KPUD dituduh mencoba menggelembungkan perolehan suara salah satu Caleg. Kendati terdakwa mengaku tidak (mungkin) bekerja sendiri, tetapi bukti-bukti yang ada terutama tertuju pada peran yang bersangkutan (Banjarmasin Post, 22/5/2014). Setelah melalui proses persidangan yang panjang akhirnya DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) memberikan sanksi terberat, yakni memberhentikan oknum tersebut dengan tidak hormat. Sedangkan pihak yang lain yang ditengarai terlibat lolos dari jerat hukum, termasuk oknum Caleg yang diduga “minta” agar suaranya digelembungkan.
117
Mukhtar Sarman
hal itu saya lebih suka menggunakan istilah “rumpang” untuk menjelaskan fenomena yang ada. ‘Rumpang’ (dari ungkapan bahasa Minangkabau) atau “rumpung” (istilah bahasa Banjar) artinya “ompong” atau “rongak”. Ia hanya istilah, dan ia akan bermakna kalau dilihat konteksnya. Dalam pengertian semantik, ‘rumpang’ berarti rompal atau tanggal atau hilang sebagian. Ibarat sebuah pagar kayu yang berfungsi menjadi penghalang (demi keamanan) sebuah pekarangan, kondisi rumpang adalah hilangnya sebagian bilah pagar, sehingga pagar itu kehilangan fungsinya sebagai penghalang. Atau seperti deretan gigi yang sebagian di antaranya rompal, yang menyebabkan berkurangnya fungsi gigi untuk mengunyah atau menggigit. Dengan kata lain, istilah ‘rumpang’ dapat dimaknai sebagai kondisi yang menyebabkan sesuatu entitas kehilangan fungsi substansialnya. Dalam konteks politik, ia dapat bermakna sebagai istilah yang dapat menjelaskan relasi kekuasaan seolah-olah tidak mementingkan aspek substasinya. Kontestasi politik dianggap sebagai rutinitas demokrasi belaka, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengganti sebuah rezim atau aktor politik dengan yang lebih berkualitas. Oleh karena itu kerumpangan politik dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan atau kondisi yang menyebabkan kontestasi politik kehilangan fungsi substansialnya sebagai proses seleksi untuk mendapatkan figur aktor yang terbaik berdasarkan jejak rekamnya. Kerumpangan politik juga dapat didefinisikan sebagai kondisi yang menyebabkan kontestasi politik gagal berfungsi dengan cara yang normal (malfunction). Istilah ‘rumpang’ sebenarnya tidak ada padanannya dalam leksikon politik. Tetapi kondisi ‘rumpang’ dalam konteks demokrasi dan politik demokratis dapat dirujuk pada gejala yang diidentifikasikan Huntington sebagai ‘pembusukan politik’ (political decay), yakni suatu kondisi yang menggambarkan melemahnya kemampuan institusi-institusi politik yang ada untuk
118
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
mengelola aksi dari faksi-faksi politik yang bertarung berebut kekuasaan, sehingga yang terjadi kemudian adalah konflik-konflik anarkis dan kekacauan politik (Huntington, 1965:386-430). Karena itu Pemilu rumpang dapat dimaknai sebagai ketidakmampuan mekanisme Pemilu untuk menghasilkan “wakil rakyat” yang secara politik akuntabel. Gejala kerumpangan politik diasumsikan penting untuk ditelusuri mengapa ia terjadi dalam proses demokratisasi, karena pada gilirannya akan menjustifikasi kehadiran defisit demokrasi.55 Kendati istilah rumpang (dan kerumpangan) bukan leksikon politik, tetapi bukan berarti gejalanya tidak terdeteksi dalam realitas politik sebagai sesuatu hal yang lazim terjadi. Kecurangan politik yang dilakukan oleh aktor demi meraih kemenangan [secara ilegal], dengan berbagai macam modusnya, adalah pertanda dari gejala itu. Mengapa hal itu terjadi, antara lain karena para aktor yang terlibat dalam kontestasi cenderung tidak peduli dengan aturan normatif yang mestinya mengerangkai tindakan politik mereka ~ sehingga seolah-olah aturan main berkontestasi menjadi percuma.
55
Defisit demokrasi adalah gejala yang menunjukkan kegagalan demokrasi untuk menciptakan tata pemerintahan yang transparan, akuntabel dan punya kemampuan prediktabilitas, terutama dalam hal tugas dan kewajiban pemerintah untuk melayani publik yang secara adil. Gejala itu muncul antara lain karena terjadinya defisit akuntabilitas partai politik dan adanya kecenderungan politik dinasti (seperti yang diperagakan oleh rezim Presiden Ferdinand Marcos) yang menyebabkan ketidakstabilan politik dalam arti luas (Lihat dan bandingkan dengan kajian Clarira. R. Carlos et.al., 2010. Democratic Deficit in the Philippines: What is to be Done? [Konrad Adenauer Stiftung, Makati, Philippines]). Saya berpendapat, politik lokal di Indonesia sekarang sedikit banyak sudah menunjukkan gejala tersebut, meskipun dalam beberapa perkara masih bersifat laten. Namun bukan mustahil apabila kerumpangan dibiarkan membiak dalam perilaku elit akan menyebabkan gejala tersebut akan segera muncul ke permukaan sebagai sesuatu hal yang manifes.
119
Mukhtar Sarman
Dalam kasus Pemilu 2014, menurut saya, kondisinya memang cenderung rumpang. Hal itu terjadi karena para Caleg (aktor) dan elit politik yang terlibat dalam kontestasi Pemilu cenderung tidak peduli dengan aturan normatif yang mestinya mengerangkai tindakan politik mereka. Akibatnya adalah, peraturan sekadar dimaknai sebagai hukum tertulis yang tidak pernah diartikulasikan sebagaimana seharusnya dalam tataran pelaksanaannya. Sebagai contoh misalnya aturan tidak boleh menggunakan uang dalam politik. Semua pihak penyelenggara Pemilu mengakui bahwa hal itu mustahil untuk dilaksanakan. Bagaimana mungkin berpolitik tanpa menggunakan uang? Tetapi elit politik dan Caleg tidak kekurangan akal, mereka gunakan uang mereka dengan dalih sumbangan, dan hal itu seringkali menjadi modus dari politik uang yang amat cerdik untuk menyiasati aturan perundang-undangan yang melarang penggunaan uang untuk menjaring simpati konstituen. Pihak penyelenggara Pemilu umumnya mengetahui siasat Caleg itu, tapi tidak berdaya untuk mencegahnya. Bahkan pihak penyelenggara Pemilu seolah-olah tutup mata dari praktik politik uang yang dilakukan oleh “orang suruhan” Caleg, dengan alasan bahwa yang bisa dijerat hukum hanyalah Caleg yang ikut kontestasi politik, bukan yang lain.
5. Siapa yang Harus Bertanggung Jawab Kondisi Pemilu yang rumpang dari perspektif struktural dapatlah disebut sebagai patologi demokrasi. Kalau patologi demokrasi itu sudah bisa diidentifikasi, biasanya yang terakhir dipertanyakan adalah, siapa yang mestinya bertanggung jawab sehingga patologi itu sampai terjadi. Saya tidak mungkin menyalahkan masyarakat sebagai konstituen, meskipun sebagian dari mereka mungkin terlibat dalam persekongkolan jahat yang mengakibatkan kerumpangan Pemilu. Logikanya adalah, masyarakat (dalam kapasitas sebagai
120
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
rakyat pemegang hak kedaulatan) mustahil menegasikan hak kedaulatan yang melekat dalam dirinya. Dalam kasus kerumpangan Pemilu, boleh jadi rakyat yang terlibat terlalu awam (baca: tidak memahami) dengan hak kedaulatan yang dimilikinya. Kalau memang benar hal itu yang terjadi, maka yang patut dipersalahkan adalah elit dan partai politik. Mengapa? Karena dua entitas itulah yang seyogyanya bertugas mendidik dan memberi tahu masyarakat akan hak kedaulatannya. Karena dua entitas itulah yang paling berkepentingan dengan mekanisme politik demokratis yang berdasarkan pada hak kedaulatan rakyat. Karena dua entitas itulah yang paling diuntungkan dengan sistem politik demokratis yang diformulasikan dalam bentuk Pemilu. Barangkali elit politik (termasuk pengurus partai politik) itu masih bisa berdalih bahwa mereka hanya melaksanakan tugas kepolitikan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Kalau benar hal itu yang jadi alasan, maka tak pelak lagi bahwa perumus undang-undanglah yang salah. Tapi siapa gerangan perumus Undang-Undang Politik yang mengatur aturan main Pemilu? Ya, kelompok elit juga adanya. Mungkin dibantu oleh kelompok pakar dan akademisi dari perguruan tinggi tertentu. Merujuk pada kasus Pemilu 2014, tak pelak lagi kondisinya nampak begitu rumit, kalau tidak pantas disebut semraut. Semua pihak terlibat dalam kekusutan masalah Pemilu seperti cuci tangan, dan mecari-cari kambig hitam. Salah satu contoh adalah dalam mengidentifikasi praktik politik uang, bahkan ada yang sampai pada simplifikasi bahwa gejala itu muncul karena konstituen “mata duitan”. Padahal kalau ditelusuri dengan seksama, jelaslah hal itu sebuah kesimpulan yang sangat kejam, selain cenderung naif. Betapa tidak, umumnya konstituen hanya menerima Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu, dan itupun dialaskan sebagai ongkos transport atau pengganti jam kerja mereka yang terpakai untuk memberikan suara ke TPS. Sebaliknya aktor dan elit politik yang
121
Mukhtar Sarman
melakukan “politik uang” bakal mendapatkan keuntungan dari jabatan politik yang diperolehnya melalui Pemilu. Mengapa aktor dan elit politik sampai berasumsi bahwa kekuasaan politik yang bakal didapatnya melalui Pemilu dapat diperolehnya dengan gratis? Pada titik inilah, menurut saya, terlihat kedangkalan aktor dan elit politik dalam memahami hakikat kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu diperoleh. Seolah-olah konstituen “wajib” mendukung mereka tanpa syarat. Padahal, menurut saya, hukum ikut Pemilu bagi konstituen itu jangankan wajib, sunnah saja tidak. Konstituen ikut Pemilu atau tidak, tergantung pada kesadaran dan keikhlasannya. Karena itu seyogyanya aktor (Caleg)-lah yang mematut diri dan kreatif agar konstituen tertarik pada mereka. Melihat fakta di lapangan, saya sampai ingin bertanya, Pemilu itu masalah hukum atau politik. Pertanyaan itu muncul lantaran ihwal Pemilu hampir selalu bermuara pada masalah hukum, dan diselesaikan secara hukum. Padahal apabila segala permasalahan Pemilu selalu diselesaikan secara hukum, berarti gagallah Pemilu disikapi sebagai masalah politik yang secara spesifik berarti proses negosisasi kekuasaan. Hal itulah yang terefleksikan dalam kasuskasus sengketa Pemilu yang di bawa ke ranah hukum. Lembaga penyelenggara Pemilu juga menurut saya pantas dikritik. Kritik saya terhadap penyelenggara Pemilu adalah, posisi lembaga penyelenggara Pemilu ini mirip host sebuah acara di televisi. Lembaga penyelenggara Pemilu itu merasa berkepentingan sekali agar Pemilu dapat sukses menjadi sebuah “pesta demokrasi”. Karena maksudnya cuma sekadar menyelenggarakan sebuah “pesta”, yang penting acaranya meriah dan semua yang hadir dalam perhelatan itu puas. Tidak peduli bahwa substansi sebuah Pemilu sebenarnya masalah serius, yakni menyangkut sirkulasi kekuasaan dan pergantian sebuah rezim secara demokratis. Ada pergulatan dahsyat di antara aktor dan
122
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
elit politik. Dan seyogyanya, dalam kapasitasnya sebagai pemegang hak kedaulatan, rakyat didudukkan dalam posisi terhormat sebagai pengambil keputusan yang punya kemandirian sebagai pihak yang berdaulat. Tapi apa hendak dikata, Pemilu tahun 2014 masih menampilkan wajah demokratisasi politik yang muram. Karena setelah pemungutan suara usai, selesai pula pekerjaan penyelenggara Pemilu. Dan selesai pula peran rakyat sebagai pemberi suara. Tinggal para aktor dan elit yang terus sibuk dengan segala hiruk pikuknya bernegosiasi di ranah politik. Termasuk para Caleg yang bertransformasi menjadi “wakil rakyat” yang punya status terhormat. Karena merasa punya jabatan “terhormat”, beberapa orang di antaranya lalu terjebak dalam hal-hal yang artifisial dalam rangka mematut diri dalam rangka memoles kepercayaan diri mereka. Misalnya, karena merasa sebagai “pejabat negara”, tunggangan kendaraan pun harus berganti dengan yang mentereng dan berbeda dengan orang kebanyakan. Karena itulah saya menaruh respek pada sikap tindakan seorang anggota DPRD Kalimantan Selatan dari PKB, yakni Hamsyuri, yang tetap mengendarai motor matik miliknya setelah dilantik jadi anggota DPRD (Banjarmasin Post, 11/9/2014). Apakah dia tidak punya mobil atau kendaraan bermotor yang “lebih layak” sebagai anggota Dewan? Wallahualam. Tetapi kalau boleh berpendapat, mestinya seperti itulah laku politik anggota Dewan yang tugasnya mewakili rakyat. Sederhana dan merakyat. Paling tidak dia harus menunjukkan empati pada nasib rakyat yang diwakilinya. Terserah kalau sebenarnya dalam kehidupan nyata dia itu misalnya kaya raya.
123
Mukhtar Sarman
124
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
EPILOG
asyarakat Indonesia sebelum Pemilu legistlatif 2014 telah berpengalaman dua kali melaksanakan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, yakni tahun 2004 dan 2009. Pada kali ketiga ini tentulah ada pengharapan bahwa pelaksanaannya jauh lebih baik daripada Pemilu sebelumnya. Tapi apa lacur yang terjadi, banyak pengamat melihat bahwa Pemilu 2014 jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Parameter yang mereka gunakan untuk menilai kualitas Pemilu lebih buruk adalah terjadinya “politik uang” yang begitu masif dan merambah ke segala aspek kontestasi politik.
M
Pertanyaannya, benarkah Pemilu 2014 jauh lebih buruk daripada Pemilu sebelumnya? Atau, jangan-jangan Pemilu yang dilaksanakan pasca Orde Baru, secara keseluruhan, itu sendiri jauh lebih buruk daripada Pemilu di zaman Orde Baru? Saya cenderung ingin berargumen bahwa Pemilu legislatif tahun 2014 sebenarnya lebih baik daripada Pemilu tahun 2009 dan Pemilu 2004, meskipun mungkin tidak lebih baik daripada Pemilu tahun 1999, ketika masyarakat Indonesia masih berada dalam euforia reformasi politik. Perlu dicatat bahwa Pemilu legislatif tahun 1999 adalah tonggak sejarah kala rakyat pemilih begitu antusias untuk berpartisipasi guna memilih wakilnya di parlemen ~ tanpa dihantui politik intimidasi dan mobilisasi serta
125
Mukhtar Sarman
praktik “politik uang”.56 Tetapi bahwasanya kualitas Pemilu hanya diukur dari adanya praktik “politik uang” menurut saya agak berlebihan. Dalam konteks itu patut dipertanyakan satu hal: apakah kontestasi politik dalam rangka Pemilu dapat dilaksanakan dengan tanpa mengeluarkan uang alias steril dari segala penggunaan uang? Ongkos politik memang tidak sama dengan”politik uang”, tetapi di lapangan seringkali tidak cukup jelas perbedaan antara dua hal tersebut. Para pengamat cenderung mengartikulasikan segala hal yang berkaitan penggunaan uang dalam politik adalah “politik uang”, dan hal itu menambah runyam masalah, kalau tidak ingin menyebutkan sebagai penyebarluasan sesat pikir. Bahkan persoalan tambah runyam ketika semua orang menjadi percaya bahwa konstituen yang menerima uang kompensasi dari Caleg (dan kaki tangannya) itu seolah-olah telah “menjual” hak suaranya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menjual sesuatu yang bukan hak milik pribadinya? Saya mencoba melihat kualitas Pemilu dari sudut output yang lebih komprehensif. Apakah mereka yang memenangi kontestasi Pemilu itu adalah kandidat yang secara obyektif berkualitas, baik sudut latar belakang pendidikan maupun pengalamannya dalam dunia politik? Apakah politisi yang memenangi kontestasi merupakan politisi tulen yang berpolitik karena sebuah ideologi, atau sebagai politisi “kutu loncat”, atau malah sekadar ikut bertarung demi mendapatkan pekerjaan sebagai “pegawai politik”? Jawaban atas pertanyaan itu terpulang kembali kepada diri masingmasing aktor. Sebab, pada tataran ideal Pemilu Legislatif itu adalah memilih para wakil rakyat yang nota bene hidupnya telah diwakafkan kepada masyarakat. 56
Lihat laporan lembaga-lembaga pemantau Pemilu seperti UNFREL (University Network for Free and Fair Election atau dikenal juga sebagai Jaringan Perguruan Tinggi Pemantau Pemilu) dan Forum Rektor Indonesia tentang bagaimana kualitas demokrasi pada Pemilu 1999. Sebagai bahan perbandingan, lihat juga Mukhtar Sarman, 1999. Pemilu 1999 di Banjarmasin: Catatan Tentang Pergulatan Elite Politik Lokal. (Forum Rektor Indonesia Kalimantan Selatan, Unlam Banjarmasin).
126
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Sebatas pada pengamatan saya di lapangan, persoalan krusial bangsa ini nampaknya terletak pada kualitas SDM yang mendapatkan posisi penting sebagai “wakil rakyat” itu. Kandidat yang terpilih boleh jadi jadi unggul dalam bidang pendidikan, namun ternyata mereka berjuang di parlemen hanya demi kepentingan pribadi atau partai politiknya saja. Kita lihat misalnya, rata-rata pendidikan formal anggota DPR/D makin tinggi, tetapi hal itu rupanya tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka sebagai “wakil rakyat” yang mestinya membela aspirasi dan kepentingan publik yang diwakilinya. Bahkan kalau dilihat lebih cermat lagi, para politisi yang duduk di DPR/D itu rata-rata berusia lebih muda daripada generasi politisi sebelum mereka. Hal itu jelas adalah gejala yang positif, dengan asumsi bahwa mereka yang berusia muda itu adalah politisi idealis atau penuh semangat yang berkobar-kobar untuk membela kepentingan rakyat. Namun yang tampak dalam sidang-sidang Dewan, asumsi itu banyak yang tidak teruji, karena tidak pandang usia kalau anggota Dewan bersidang mereka itu pada umumnya duduk diam tanpa suara, atau kalau tidak malah tidur sekalian. Hasil penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia tahun 2014 menunjukkan, 435 orang (83,3 persen) anggota Dewan berkinerja buruk. Ini terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya 90 persen target legislasi meleset, banyaknya produk undang-undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, banyaknya anggota Dewan yang terlibat korupsi, serta kapasitas dan tingkat kehadiran yang rendah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat, 69,7 persen anggota Dewan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Padahal semua orang tahu betapa banyak priveles hukum dan privasi sebagai anggota Dewan telah mereka terima dan nikmati. Kendati demikian saya tidak sependapat bahwa Pemilu 2014 lebih buruk daripada Pemilu sebelumnya, karena output-nya menunjukkan mereka yang terpilih ternyata secara personal jauh
127
Mukhtar Sarman
lebih berkualitas. Bahwasanya mereka adalah produk Pemilu yang sarat dengan praktik “politik uang”, adalah hal lain. Telah dibahas dalam Bab sebelumnya, bahwa siapapun (semua Caleg saya pikir mengalaminya) cenderung tak bisa menghindari pengeluaran ongkos politik yang besar untuk memenangkan kontestasi politik yang diikutinya. Memang telah ada aturan main yang melarang penggunaan uang dalam politik. Tetapi peraturan itu sungguh tidak jelas, karena tidak ada rambu-rambunya. Lagi pula, karena kemenangan dalam kontestasi Pemilu adalah nilai tertinggi yang mereka usung, maka kepatuhan terhadap aturan main sejauh apapun hendak dipatuhi tetap berada dalam urutan kedua. Untuk apa patuh pada aturan main, kalau yang lain tidak patuh, dan pilihan idealis untuk bermain politik sesuai ketentuan normatif justru mengantarkan pada kekalahan. Dalam kasus seperti itulah konsep banalitas dalam kontestasi politik menjadi niscaya. Banalitas politik secara umum dapat dicermati sebagai tindakan yang cenderung abai pada aturan main politik normatif. Tetapi dalam politik pragmatis, hal yang tidak sesuai dengan aturan normatif itu bisa saja dilanggar, dan dianggap rasional. Manakala Pemilu dibayangkan sebagai sebuah skenario demokratisasi di ranah lokal, maka pilihan pragmatis tersebut cenderung tidak terantisipasi. Dalam kesulitan mengantisipasi ini lalu terbersit pemahaman bahwa di Indonesia sedang berlangsung suatu ‘anomali’. Ada banyak sinyalemen bahwa pelembagaan demokratisasi melalui Pemilu justru diikuti dengan stigmatisasi terhadap Pemilu itu sendiri. ‘Anomali’ dimaksud tidak bisa diukur sebagai sebuah realitas sosial yang ajeg, karena ia menyangkut berbagai macam latar kepentingan yang spesifik namun abstrak (seperti misalnya ambisi berkuasa), serta rasionalisasi yang mendasari tindakan politik seseorang di ranah publik. Karena hal itu, menurut saya pelaksanaan Pemilu 2014 masih seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Para politisi, baik baru atau
128
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
yang termasuk kategori inkumban, diam-diam melupakan niatnya semula ketika memasuki dunia politik. Mereka sibuk dengan “tugas baru” sebagai wakil rakyat, tapi boleh jadi melupakan aspirasi rakyat yang diwakilinya, atau janji-janji yang disampaikannya ketika ingin mendapatkan dukungan rakyat. Mungkin mereka pikir, kampanye politik sama dengan kampanye pemilu. Manakala musim pemilu usai, maka kampanye-kampanye tentang perjuangan dan idealisme kerakyatan pun selesai. Padahal seharusnya mereka sadar bahwa kampanye politik itu mestinya berlaku sepanjang waktu selama yang bersangkutan berstatus sebagai politisi. Kampanye politik adalah kampanye tentang relasi kekuasaan, di mana ada janji dari politisi sebagai pejuang demokrasi di satu pihak, dan rakyat sebagai pihak lain yang telah menitipkan kedaulatan kepada para wakilnya. Mestinya, politisi yang terpilih itu merealisasikan segala janji-janji politiknya kala kampanye pemilu. Karena itu, kampanye politik yang mestinya dilakukan oleh seorang politisi itu baru akan selesai setelah dia tidak menjadi “sang wakil rakyat” lagi. Sebagai penutup, ijinkanlah saya berwacana agak sedikit bermimpi. Wacana ini muncul karena pertanyaan yang sering tidak saya jawab secara lugas, yakni bagaimana caranya memperbaiki sistem politik yang “rusak” ini? Pada satu sisi, kita ingin berdemokrasi, tapi dangkal. Kita ingin berkontestasi secara jujur, tapi kondisi masyarakat ternyata mengakomodir tindakan curang, semisal adanya praktik politik uang. Kita ingin memberdayakan rakyat, tapi oligarkhi partai demikian masif menyerimpung kebebasan berkreasi untuk menampung aspirasi rakyat. Dan sebagainya. Seolah-olah carutmarut sistem politik negeri ini sudah demikian parah, sehingga bisa menyebabkan apatisme kelompok yang masih waras.
129
Mukhtar Sarman
Dalam kaitan itu solusinya barangkali cuma satu: ubah sistem reward bagi politisi yang menjadi wakil rakyat. Saya membayangkan, kalau saja para wakil rakyat itu tidak mendapatkan fasilitas dan segala macam priviles sebagai “pejabat negara”, saya yakin hanya “orang gila” yang mau ikut bertarung dalam pemilu dengan mengeluarkan ongkos politik sampai di luar nalar demi untuk memperoleh kursi. Dengan memastikan jabatan sebagai “wakil rakyat” itu tidak linear dengan kenikmatan hidup, niscaya hanya orang-orang idealislah yang berminat menekuninya. Para politisi oportunis boleh jadi akan hilang seleranya untuk bersaing dan akhirnya punah dengan sendirinya. Dengan kata lain, hanya orang-orang yang sudah mapan dan hidupnya sengaja diwakafkan untuk masyarakat, yang bisa eksis di Parlemen. Akankah mimpi saya itu bisa terwujud? Saya tidak tahu. Sebab, saya curiga saya masih bermimpi sendirian dalam hal itu.***
130
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
DAFTAR RUJUKAN
Adamson, Walter L., 1980. Hegemony and Revolution: A Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory. (University of California Press, California). Alfian, 1986. Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. (PT Gramedia, Jakarta). Apter, David E., 2006. “Duchamp’s Urinal: Who Says What’s Rational When Things Get Though?” dalam Robert E. Goodin & Charles Tilly (eds), The Handbooks of Political Science: Contextual Political Analysis. (Oxford University Press). Aspinall, Edward, 2005. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. (Stanford University Press, California). Auyero, Javier, 2000. “The Logic of Clientelism in Argentina: An Ethnographic Account.” Latin American Research Review 35 (3). Bachrach, Peter (ed), 2010. Political Elite in a Democracy. (Transaction Publishers, New Brunswick, NJ). Bauman, Zigmunt, 1989. Modernity and the Holocaust. (Polity Press, Cambridge). Bellamy, Richard Paul & Darrow Schecter, 1993. Gramsci and the Italian State. (Manchester University Press, Manchester, UK). Billig, Michael, 2005. Banal Nationalism. (SAGE Publications Ltd. London and New Delhi).
131
Mukhtar Sarman
Bourchier, David & Vedi R. Hadiz (eds), 2003. Indonesian Politics and Society: A Reader. (Routledge Curzon, London). Bourdieu, Pierre, 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. (Harvard University Press, Cambridge). Bourdieu, Pierre, 1990. The Logic of Practice. (Stanford University Press, California). Bourdieu, Pierre, 1990. In Other Words, Essays Toward a Reflexive Sociology. [Standford University Press, California]. Boym, Svetlana, 2010. Another Freedom: The Alternative History of an Idea. (University Chicago Press). Cohan, Abner, 1981. The Politics of Elite Culture. (University of California Press, Berkeley). Crain, M. & R.D. Tollison (eds), 1990. Predicting Politics: Essays in Empirical Public Choice. (University of Michigan Press, Ann Arbor). Crouch, Harold, 2010. Political Reform in Indonesia After Soeharto. (ISEAS Publishing, Singapore). Dahl, Robert A., 2001. How Democratic Is the American Constitution? (Yale University Press, Yale and London). Dalton, Russell J., et,al, 2011. “The Dynamics of Political Representation”, dalam Martin Rosema at.al., How Democracy Works: Political Representation and Policy Congruence in Modern Societies. (Pallas Publications, Amsterdam University Press, Amsterdam). Diamond, Larry & Leonardo Morlino, 2004. “The Quality of Democracy”. (CDDRL Working Paper. Number 20, 21 September 2004. Stanford Institute on International Studies).
132
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Dryzek, John S., 2004. “Democratic Political Theory”, dalam G.F. Gaus dan C. Kukathas (eds), Handbook of Political Theory. (SAGE Publications, London). Dryzek, John S. and Leslie Holmes, 2004. Post-Communist Democratization Politics Discourses across Thirteen Countries. (Cambridge University Press. Cambridge. UK). Dye, Thomas R. & Harmon Ziegler, 2009. The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics. (Wadsworth Cengage Learning, Boston). Feith, Herbert, (1962) 2007. The Decline of Constitutional Democray in Indonesia. (Equinox Publishing (Asia) Pte, Ltd. Singapore). Feltham, Brian 2009. Justice, Equality and Constructivism. (John Wiley and Sons). Firmanzah, 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta). Freedman, Amy L., 2006. Political Change and Consolidation: Democracy’s Rocky Road in Thailand, Indonesia, South Korea, and Malaysia. (Palgrave Macmillan, New York). Freeman, Samuel, 2007. Justice and the Social Contract: essays on Rawlsian Political Philosophy. (Oxford University Press, New York). Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta). Garreton, Manuel Antonio, 2003. Incomplete Democracy: Political Democratization in Chile and Latin America. (The University of North Carolina Press. USA). Giddens, Anthony, 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. [University of California Press]. 133
Mukhtar Sarman
Goffman, Erving, 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books). Guyer, Jane I. 1977. An African Niche Economy: Farming to Feed Ibadan, 1968-88. (Edinburgh University Press, Edinburgh). Hadiz, Vedi R., 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. (Stanford University Press, California). Holt, Claire, 2007. Culture and Politics in Indonesia. (Equinox Publishing, Jakarta-Kuala Lumpur). Holtug, Nils & Kasper Lippert-Rasmussen, 2007. Egalitarianism: new essays on the nature and value of equality. (Oxford University Press) Howson, Richard & Kylie Smith (eds), 2008. Hegemony: Studies and Concensus and Coercion. (Routledge, New York). Huntington, Samuel, 1965. “Political Development and Political Decay.” World Politics, 17, pp.386-430. Kingsbury, Damien, 2003. Power Politics and the Indonesian Military. (Routledge Curson, London and New York). Kingston, Jeff, 2004. Japan’s Quiet Transformation: Social change and civil society in the twenty-first century. (RoutledgeCurzon, Taylor & Francis Group, London and New York). Kitschelt, Herbert and Steven I. Wilkinson (eds), 2007. Patrons, Clients and Policies: Patterns of Democratic Accountability and Political Competition. (Cambridge University Press, New York). Knoke, David, 1990. Political Networks: The Structural Perspective. (Cambridge University Press, Cambridge). Kohli, Atul (ed), 2001. The Success of India’s Democracy. (Cambridge University Press, Cambridge, UK). 134
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Latif, Yudi, 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta). Lemarchand, Rene & Keith Legg, 1972. “Political Clientelism and Development: A Preliminary Analysis.” Comparative Politics 4(2): 149-178. Matza, David, 2010. Becoming Deviant. (Transaction Publishers, New Brunswick, New Jersey). Miroff, Bruce, et.al., 2012. Debating Democracy: A Reader in American Politics. (Wadsworth, Boston, USA). Morlino, Leonardo, 2002. What is a “Good” Democracy? Theory and Empirical Analysis. (Conference on “The European Union, Nations State, and the Quality of Democracy, Lesson from Southern Europe”: October 31-November 2, 2002. University of California, Berkeley). O’Rourke, Kevin, 2002. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. (Allen & Unwin, New South Wales). Parry, Geraint, 2005. Political Elites. (ECPR Press). Pepinsky, Thomas B., 2009. Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes: Indonesia dan Malaysia in Comparative Perspective. (Cambridge University Press, Cambridge, UK). Raaflaub, Kurt A. et.al., 2007. Origins of Democracy in Ancient Greece. (University of California Press. Berkeley and Los Angeles, California). Rabasa, Angel and John Haseman, 2002. The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power. (RAND, Arlington, USA). Rais, Muhammad Amin, 1986. Demokrasi dan Proses Politik (LP3ES, Jakarta).
135
Mukhtar Sarman
Rawls, John & Samuel Freeman, 2008. Lectures on the History of Political Philosophy. (Harvard University Press). Renwick, Alan, 2010. The Politics od Electoral Reform: Changing the Rules of Democracy. (Cambridge University Press. Cambridge. UK). Reynold, Larry T. & Nancy J.H. Kinnery (eds), 2003. Handbooks of Simbolic Interactionism. (AltaMira Press). Robbins, Derek, “Theory of Practice’. Dalam Michael Grenfell (ed), 2008. Pierre Bourdieu: Key Concepts. (Acumen Publishing Limited, Durham). Robison, Richard and Vedi R. Hadiz, 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. (RoutledgeCurzon, London and New York). Sarman, Mukhtar, 2008. Sang Wakil Rakyat: Wajah Elite di Cermin Retak. (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat). Sarman, Mukhtar, 2009. Pileg Over Dosis: Catatan Pemilu Legislatif 2009. (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat). Sarman, Mukhtar, 2010. Pemilu Kada-Kada: Waham Seputar Pilkada Kalsel 2010. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat). Scher, Richard K., 1997. The Modern Politics Campaign, (M.E. Sharpe, Inc., New York). Schmandt, H.J., 2002. Filsafat Politik. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta). James Scott, 1969. “Corruption, Machine Politics, and Political Change.” American Political Science Review 63 (4).
136
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Scott, James 1977. “Patronage or Exploitation?”. Dalam E. Gellner dan J. Waterbury (eds), Patrons and Clients in Mediterranian Societies. (Duckworth, London). Scott, James 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. (Yale University). Schwarz, Adam, 2000. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. (Westview Press. Colorado and Oxford). Sjamsuddin, Nazaruddin, 1989. Integrasi Politik di Indonesia. (PT Gramedia, Jakarta). Spiess, Clemens, 2009. Democracy and Party Systems in Developing Countries: A Comparative Study of India and South Africa. [Routledge, New York). Tocqueville, Alexis de, 2005. Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. (Terjemahan, Freedom Institue dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta). Tjondronegoro, Sediono MP (ed), 2007. Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi. (Komisi Ilmu-Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta). van Klinkel, Gerry, 2007. Communal Violence and Democratizattion in Indonesia. (Routledge, London and New York). Vatikiotis, Michael R.J., 1998. Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order. (Routledge, London and New York). Wacquant, Loic J.D., 1992. “Toward a Social Praexeology: The Structure and Logic of Bourdieu’s Sociology.” Dalam P. Bourdieu and L.J.D. Wacquant (eds). An Invitation to Reflexive Sociology. (University of Chicago Press, Chicago).
137
Mukhtar Sarman
Wholin, Sheldon S., 2003. Tocqueville Between Two Worlds: the making of political and theoritical life. (Princeton University Press). Winters, Jeffrey A., 2011. Oligarchy. (Cambridge University Press, Cambridge). Wolfe, Alan, 2006. Does American Democracy Still Work? (Yale University Press. New Haven and London).
138
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
DAFTAR LAMPIRAN Rekapitulasi Perolehan Suara Caleg yang Lolos ke DPR RI dari Provinsi Kalimantan Selatan No
Nama Caleg
JK
Umur (*)
Pend.
Suara
Partai Politik
Daerah Pemilihan Kalimantan Selatan 1 1
Ahmadi Noor Supit, Ir
L
57
S1
71.233
Golkar
2
Habib Aboebakar, SE
L
50
S1
66.864
PKS
3
Indro Hananto, Drs
L
44
S1
64.206
Golkar
4
Syaifullah Tamliha, SPi,MSi
L
45
S2
58.348
PPP
5
Zainul Arifin Noor, Dr. MM
L
55
S3
31.975
PKB
6
Saiful Rasyid, Drs, MM
L
62
S2
24.733
Gerindra
Daerah Pemilihan Kalimantan Selatan 2 1
Hasnuryadi Sulaiman, MSc
L
39
S1
82.130
Golkar
2
Zairullah Azhar, dr, MSc
L
60
S2
81.324
PKB
3
Aditya Mufti Ariffin, SH
L
30
S1
65.267
PPP
4
Adriansyah, Drs
L
60
S1
48.611
PDIP
5
Sjachrani Mataja, Drs
L
66
S1
31.347
Gerindra
(*) Umur dihitung per September 2014. Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
139
Mukhtar Sarman
Rekapitulasi Perolehan Suara Caleg DPD RI dari Kalimantan Selatan, Berdasarkan Peringkat Perolehan Suara
L
Pendidikan Terakhir S2
Perolehan Suara 319.413
Habib Abdurrahman Bahasyim
L
Paket C
268.400
3
Habib Hamid Abdullah, SH, MH
L
S2
239.945
4
Antung Fatmawati, ST
P
S1
105.972
5
Mohammad Sofwat Hadi, Drs, SH
L
S1
105.864
6
Abdussaini, Drs, M.I.Kom
L
S2
101.460
7
Achmad Husaini, Ir, MSc
L
S2
87.993
8
M. Husaini Aliman, SE, MM
L
S2
74.699
No
Nama Caleg
JK
1
Gusti Farid Hasan Aman, SE, MBA
2
9
Berry Nahdian Forqan, SP, MS
L
S2
72.197
10
Yuria Wati Zai Rose, SE
P
S1
69.716
11
Anang Rosadi Adenansi, Ir
L
S1
68.780
12
Mansyah Sabri, Drs
L
S1
48.227
13
Nasib Alamsyah (Kol. Inf. Purn)
L
AKABRI
38.788
14
M. Suriani Siddiq, S.Ag, Msi
L
S2
35.806
15
Titien Agustina, Dra, MSi
P
S2
21.656
16
Masderinsyah, Drs, MSi
L
S2
13.630
17
Sumiadi Burhan, Drs
L
S1
21.656
Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2015.
140
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Parpol dan Pembagian Kursi Parpol di DPRD Kalimantan Selatan No
Partai Politik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Partai Nasional Demokrat Partai Kebangkitan Bangsa Partai Keadilan Sejahtera PDI Perjuangan Partai Golkar Partai Gerindra Partai Demokrat Partai Amanat Nasional Partai Persatuan Pembangunan Partai Hati Nurani Rakyat Partai Bulan Bintang Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Jumlah
Suara Sah 117.150 189.384 142.114 227.031 444.047 170.657 119.173 104.921 172.127 93.391 43.217 18.935 1.842.147
Prosentase Suara 6,36 10,28 7,71 12,43 24,10 9,26 6,47 5,70 9,34 5,07 2,34 1,03
Kursi di DPRD 3 6 5 8 13 6 4 1 7 2 0 0 55
Catatan: Kursi di DPRD tidak mencerminkan jumlah suara yang diperoleh partai, karena jumlah suara yang dikonversi dengan kursi tergantung perolehan suara Caleg di daerah pemilihan masing-masing. Sumber: KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
141
Mukhtar Sarman
Rekapitulasi Perolehan Suara Caleg yang Duduk di DPRD Kalimantan Selatan Hasil Pemilu 2014 3DUSRO
&DOHJ7HUSLOLK
3DUWDL1DV'HP 3DUWDL1DV'HP 3DUWDL1DV'HP 3.% 3.% 3.% 3.% 3.% 3.% 3.6 3.6 3.6 3.6 3.6 3',3 3',3 3',3 3',3 3',3 3',3 3',3 3',3 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RNDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*RONDU 3DUWDL*HULQGUD 3DUWDL*HULQGUD 3DUWDL*HULQGUD 3DUWDL*HULQGUD 3DUWDL*HULQGUD 3DUWDL*HULQGUD 3DUWDL'HPRNUDW 3DUWDL'HPRNUDW
,EHUDKLP1RRU 5RQLH)DKPL5DLV *XVWL0LIWDKXO&KRWLPDK 6XULSQR6XPDV 3ULEDGL+HUX-D\D
142
-. 8VLD / / 3 / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / 3 / 3 / 3 / / / / 3 / / / / / / / 3 / /
3HQGL GLNDQ 6 6/7$ ' 6 6 6 6 6 6 6 6 6DUPXG 6 6 6 6 6 6/7$ 6/7$ 6/7$ 6 6 3DNHW& 6DUPXG 6 6 6 6 6 6DUPXG 3DNHW& 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
-XPODK 6XDUD
Banalitas Kontestasi Politik Lokal
Partai Demokrat Partai Demokrat PAN PPP PPP PPP PPP PPP PPP PPP Partai Hanura Partai Hanura
Achmad Bisung Zulfa Asma Vikra Soraya Rusdiansyah Asnawi Asbullah Habib Ali Khaidar Alkaff Ansor Ramadlan Suwardi Sarlan Iskandar Zulkarnain Ismail Hidayat Kamariatul Herlina Riduansyah
L L P L L L L L L L P L
66 32 34 73 44 35 44 41 49 56 47 46
S1 S2 S1 S1 S1 Paket C S2 S1 S1 SLTA S1 S2
4.128 4.420 5.948 10.451 8.694 4.076 6.568 14.209 7.227 4.201 5.114 7.777
(#) per September 2014. (*) tidak ada data. Sumber: KPU Provinsi Kalimantan Selatan
143
Mukhtar Sarman
144