13
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP (Southesast Asian Regional Center for Tropical Biology), Jl. Raya Tajur Km 6, Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai November 2011.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium fosfida (AlP) dalam bentuk pelet, asam sulfat (H2SO4) 10%, akuades, dedak, sorgum, jagung pecah, dan kain kasa. Serangga uji yang digunakan adalah serangga yang dikumpulkan dari berbagai lokasi seperti: Probolinggo, Indramayu, Semarang, Ciamis, Surakarta dan Klaten. Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pengujian fumigasi di laboratorium, stoples bervolume dua liter dengan kasa kawat sebagai alat penyangga didalamnya. Stoples ini merupakan modifikasi dari desikator yang digunakan dalam metode FAO (1980). Cincin paralon yang beralas dan bertutup kain kasa sebagai wadah serangga uji, plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin, alat suntik (syringe), alat monitor fosfin, alat magnetic stirrer, dan alat penunjang lainnya.
Metode Penelitian Pemeliharaan Serangga Uji Serangga uji yang dikumpulkan dari berbagai lokasi, yaitu dari Semarang, Probolinggo, Indramayu, Ciamis, Klaten, dan Surakarta dikembangbiakan di laboratorium
Entomologi
SEAMEO
BIOTROP.
Tribolium
castaneum
dikembangbiakan pada dedak, R. dominica pada sorgum, dan Cryptolestes sp. pada jagung pecah. Keturunan F1 serangga tersebut digunakan sebagai serangga uji untuk menilai resistensinya terhadap fosfin. Dalam pengujian resistensi, semua serangga hasil koleksi tersebut dibandingkan dengan strain rentan dari koleksi
14
Biotrop. Sedangkan pengujian untuk keragaan relatif strain resisten terhadap fosfin, masing-masing spesies serangga uji dilakukan persilangan antara strain yang telah dipastikan resisten terhadap fosfin dan strain yang rentan dari laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Strain resisten diperoleh dari hasil pengujian resistensi tahun 2010. Tribolium castaneum yang resisten berasal dari lokasi Probolinggo, Indramayu, dan Semarang, R. dominica berasal dari lokasi Probolinggo dan Ciamis, dan Cryptolestes sp. berasal dari lokasi Klaten dan Surakarta. Sebanyak 100 ekor imago dari masing-masing spesies serangga yang disilangkan dimasukkan ke dalam stoples kaca berisi makanan serangga tersebut. Empat belas hari kemudian, semua imago dikeluarkan dari stoples kaca dan dipindahkan ke stoples kaca yang baru untuk disilangkan kembali di wadah stoples baru. Hal ini dilakukan sampai ke stoples yang ketiga. Setelah imago dari stoples ketiga dikeluarkan, serangga dibiarkan berkembangbiak hingga muncul imago. Metode yang sama dilakukan untuk mendapatkan keturunan F2. Masingmasing persilangan yang dibiakkan tanpa melalui seleksi. Pemeliharaan serangga tersebut di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP pada suhu kamar dan RH 75%. Persiapan Pengujian Fosfin yang digunakan pada pengujian berasal dari aluminium fosfida yang berbentuk pelet. Pelet tersebut di ubah menjadi gas fosfin dengan menggunakan alat penghasil fosfin (apparatus for generating phosphine) sesuai dengan metode FAO (1975) (Gambar 4).
Gambar 4 Alat penghasil gas fosfin
15
Stoples kaca yang digunakan untuk fumigasi dilengkapi dengan kawat kasa yang digantung ditengah-tengah stoples, sebagai tempat untuk meletakkan serangga uji. Pada bagian dasar stoples diletakkan magnetic bar (batangan magnetik) yang berfungsi sebagai pengaduk agar gas fosfin dapat tersebar merata di dalam stoples. Serangga uji sebanyak 50 ekor dimasukkan ke dalam cincin paralon (diameter 2,5 cm dan tinggi 2,5 cm) yang telah diberi alas dan tutup dengan kain kasa halus. Cincin paralon berisi serangga uji tersebut diletakkan di atas kawat kasa yang sudah dipasang pada bagian tengah stoples. Setiap perlakuan (stoples) terdiri dari 2 buah cincin paralon yang berisi masing-masing 50 ekor serangga uji.
a
b
Gambar 5 Cincin paralon tempat menyimpan serangga dan magnet pengaduk; (a) tampak atas, (b) tampak samping Stoples berisi serangga uji ditutup rapat dan di antara tutup stoples dengan dinding luar stoples direkatkan dengan menggunakan plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin. Tutup stoples diberi lubang kecil, kemudian lubang tersebut diberi sumbat karet (rubber stopper) dan pada pinggir karet tersebut juga diberi plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin. Sumbat karet tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyuntikkan gas fosfin ke dalam stoples.
16
a
b
Gambar 6 Stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dengan plastisin; (a) stoples berisi serangga uji, (b) stoples yang telah ditutup dengan plastisin
a
b
Gambar 7 Karet penutup lubang stoples tempat menginjeksikan gas fosfin; (a) karet penutup stoples, (b) tutup stoples yang ditutup dengan plastisin
Pelaksanaan Fumigasi Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dan direkat dengan plastisin. Gas fosfin yang diperoleh menggunakan metode FAO (1980) dengan konsentrasi 0.000; 0.010; 0.015; 0.020; 0.025; 0.030; dan 0.040 mg/l, kemudian disuntikkan ke dalam stoples kaca dengan menggunakan syringe.
17
a
b
Gambar 8 Aplikasi gas fosfin ke dalam stoples dengan menggunakan alat suntik; (a) pengambilan gas fosfin. (b) penyuntikan gas fosfin kedalam stoples
Setelah penyuntikan gas fosfin, karet tersebut ditutup kembali dengan menggunakan plastisin. Stoples yang telah difumigasi fosfin kemudian diaduk selama 2 menit dengan menggunakan alat pengaduk magnetik (magnetic stirrer) agar gas tersebut tersebar merata keseluruh bagian dalam stoples.
Gambar 9 Alat pengaduk magnetik
18
Pengujian Resistensi Proses fumigasi dilakukan selama 20 jam. Kemudian serangga uji yang berada dalam stoples kaca tersebut di keluarkan dari stoples dan dipindahkan ke dalam stoples baru dengan diberi sedikit beras sebagai pakan serangga sampai saat pengamatan tiba. Pengamatan mortalitas serangga uji dilakukan 14 hari setelah pengujian. Jika ada indikasi resisten maka dilakukan pengujian lanjutan yaitu dengan perlakuan fumigasi selama 48 jam. Pengujian lanjutan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi terjadinya resistensi pada serangga uji.
Gambar 10 Inkubasi serangga uji setelah aplikasi
Pengujian Keragaan Relatif Pengujian keragaan relatif dilakukan dengan membandingkan dua karakter biologi, yaitu tingkat resistensi dan keperidian dari strain resisten terhadap strain rentan. Keperidian imago betina dihitung selama 14 hari dimulai sejak saat imago F1 dan F2 muncul pada masing-masing stoples. Strain rentan berasal dari laboratarium Entomologi SEAMEO BIOTROP, sedangkan strain resisten berasal dari Probolinggo, Indramayu, Semarang, Ciamis, Klaten, dan Surakarta.
19
Analisis Data Data mortalitas serangga uji dianalisis dengan Analisis Probit dengan menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LD50 dan LD99.9 dari masing-masing contoh serangga uji. Nilai LD50 dan LD99.9 tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai LD99.9 strain rentan dari Biotrop untuk mengetahui tingkat resistensi masing-masing contoh serangga uji. Faktor resisten (RF = Resistence Factor) dihitung dengan menggunakan rumus : RF = Nilai LD99.9 serangga uji / nilai LD99.9 serangga yang rentan (FAO 1980). Jika nilai LD99.9 contoh serangga uji yang diperoleh lebih besar dari nilai LD99.9 serangga yang rentan (FAO 1980) maka dikatakan bahwa serangga uji tersebut resisten (nilai RF-nya > 1). Untuk itu perlu dilakukan konfirmasi tentang sifat resistensi tersebut dengan melakukan pengujian lanjutan. Pengujian dilakukan dengan memperpanjang waktu fumigasi menjadi 48 jam. Hal ini sesuai dengan standar metode pengujian resistensi yang tercantum dalam FAO Method No. 16 (1980).