BAB VII PEMBAHASAN
7.1 Pajak Tanah Kewajiban pembayaran pajak merupakan perwujudan partisipasi masyarakat guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu sumber terbesar dari pemasukan pemerintah dan tak ada satu negara pun yang dapat berdiri dengan stabil tanpa mengenakan pajak pada warganya. Sumber penerimaan pajak pendapatan di Negara Indonesia salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan serta dari Bea Perolehan Hak atas Lahan dan bangunan (BPHTB). Penerimaan dari PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat, tetapi sebenarnya penerimaan pajak dari sumber ini lebih banyak dinikmati oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, disebutkan bahwa penetapan tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak sebesar 0,5 persen (lima per sepuluh persen). Namun PBB ini untuk kasus Indonesia belum mencerminkan terhadap pengendaliannya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pajak yang didasarkan atas tarif pajak (0,5 persen) dari nilai jual kena pajak (NJKP) yaitu sebesar 20 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) (0,5 persen x 20 persen NJOP). Sementara untuk nilai jual objek pajak dibawah Rp 8 juta tidak dikenai PBB. Pajak Bumi dan Bangunan sangat tergantung pada potensi fiskalnya, yang ditentukan oleh dua determinan, yaitu luas dan Nilai Jual Objek Pajak. Potensi fiskal tersebut adalah semua Bumi dan Bangunan yang taxable menurut undang-undang dan
82
Nilai Jual Objek Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan. Dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan pajak Terutang tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan bangunan belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan bangunan yang bersangkutan.
Tabel berikut menunjukkan
rencana
penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) kota Jakarta dan Jawa Barat sebagai contoh perbandingan. Tabel 15. Rencana Penerimaan PBB/BPHTB Jakarta Tahun 2000 RENCANA PENERIMAAN PBB/BPHTB
KABUPATEN/KOTA KPPBB PBB 2
APBN
BPHTB
PEDESAAN
6
7
PERKOTAAN
3
4 81773172
66.854.000
148627172
0
87.004.851
87.004.851
79.410.000
81.773.172
66.854.000
148.627.172
0
87.004.851
87.004.851
74399000
83899000
56.633.000
140532000
0
78.643.752
78.643.752
74.399.000
83.899.000
56.633.000
140.532.000
0
78.643.752
78.643.752
77379000
84179000
61.644.000
145823000
0
83.822.068
83.822.068
77.379.000
84.179.000
61.644.000
145.823.000
0
83.822.068
83.822.068
60542000
67042000
29.926.000
96968000
0
61.344.952
61.344.952
KPPBB JAKARTA TIMUR
60.542.000
67.042.000
29.926.000
96.968.000
0
61.344.952
61.344.952
1. Kt. Jakarta Selatan
129865000
135152811
97.792.000
232944811
0
140.454.272
140.454.272
129.865.000
135.152.811
97.792.000
232.944.811
0
140.454.272
140.454.272
421595000
452045983
312849000
764894983
0
451269895
451269895
421.595.000
452.045.983
312.849.000
764.894.983
0
451.269.895
451.269.895
KPPBB JAKARTA PUSAT 1. Kt. Jakarta Barat KPPBB JAKARTA BARAT 1. Kt. Jakarta Utara KPPBB JAKARTA UTARA 1. Kt. Jakarta Timur
KPPBB JAKARTA SELATAN
Sumber : Data Sekunder KPP Jakarta
83
8
PBB (7+8)
79410000
1. Kt. Jakarta Pusat
5
TOTAL
9
Tabel 16. Rencana Penerimaan PBB/BPHTB Jawa Barat Tahun 2000
84
RENCANA PENERIMAAN PBB/BPHTB
KABUPATEN/KOTA KPPBB PBB 2
APBN
3
4
1. Kt. Bandung
34327000
36881344
KPPBB BANDUNG SATU
34327000
1. Kb. Bandung
27494000
KPPBB BANDUNG DUA
BPHTB 5
TOTAL
PEDESAAN
6
7
PERKOTAAN
PBB (7+8)
8 0
9
25.442.000
62323344
35.246.751
35.246.751
36881344
25442000
62323344
0
35246751
35246751
35176002
7.027.000
42203002
2.088.064
20.769.018
22.857.082 22857082
27494000
35176002
7027000
42203002
2088064
20769018
1. Kt. Bogor
7750000
8919118
6.457.000
15376118
0
7.975.922
7.975.922
2. Kb. Bogor
23898000
29383638
8.763.000
38146638
6.781.589
15.703.651
22.485.240 10.751.784
3. Kt. Depok
9515000
10515000
7.842.000
18357000
4.908.720
5.843.064
KPPBB BOGOR
41163000
48817756
23062000
71879756
11690309
29522637
41212946
1. Kt. Sukabumi
895000
2064118
410.000
2474118
0
1.098.676
1.098.676
2. Kb. Sukabumi
4158000
11095000
1.000.000
12095000
2.483.559
1.990.776
4.474.335
3. Kb. Cianjur
6974000
10861123
4.420.000
15281123
2.203.436
5.213.909
7.417.345
12027000
24020241
5830000
29850241
4686995
8303361
12990356
1. Kb. Serang
7759000
11056908
2.759.000
13815908
1.708.528
6.163.714
7.872.242
2. Kt. Cilegon
7310000
8413073
1.183.000
9596073
362.206
9.635.530
9.997.736
KPPBB SERANG
15069000
19469981
3942000
23411981
2070734
15799244
17869978
1. Kb. Pandeglang
1595000
4243648
1.015.000
5258648
755.522
395.804
1.151.326
2. Kb. Lebak
1192000
4160800
115.000
4275800
854.118
346.320
1.200.438
KPPBB PANDEGLANG
2787000
8404448
1130000
9534448
1609640
742124
2351764
1. Kt. Tangerang
26350000
28190714
8.570.000
36760714
0
29.856.700
29.856.700
2. Kb. Tangerang
31546000
37435410
23.899.000
61334410
3.274.491
33.477.459
36.751.950
KPPBB TANGERANG
57896000
65626124
32469000
98095124
3274491
63334159
66608650
1. Kt. Bekasi
18910000
20065000
7.069.000
27134000
0
20.626.894
20.626.894
2. Kb. Bekasi
21075000
24631140
7.813.000
32444140
3.526.777
20.150.667
23.677.444
3. Kb. Karawang
16558000
21648688
3.720.000
25368688
5.728.390
11.873.224
17.601.614
KPPBB BEKASI
56543000
66344828
18602000
84946828
9255167
52650785
61905952
1. Kb. Purwakarta
6226000
8357245
433.000
8790245
1.715.399
4.629.031
6.344.430
2. Kb. Subang
5804000
12241673
433.000
12674673
2.942.645
3.118.692
6.061.337
12030000
20598918
866000
21464918
4658044
7747723
12405767
1. Kb. Garut
2683000
6750341
460.000
7210341
1.904.551
1.493.407
3.397.958
2. Kb. Sumedang
3110000
5039062
580.000
5619062
1.430.081
2.949.679
4.379.760
KPPBB GARUT
5793000
11789403
1040000
12829403
3334632
4443086
7777718
1. Kb. Tasikmalaya
4451000
7228036
329.000
7557036
3.060.700
1.993.639
5.054.339
2. Kb. Ciamis
4663000
7172230
108.000
7280230
3.672.320
1.518.000
5.190.320
KPPBB TASIKMALAYA
9114000
14400266
437000
14837266
6733020
3511639
10244659
1. Kt. Cirebon
2040000
3455395
1.180.000
4635395
0
2.562.639
2.562.639
2. Kb. Cirebon
4728000
8274916
686.000
8960916
3.887.713
1.705.806
5.593.519
3. Kb. Indramayu
4700000
11980137
279.000
12259137
3.554.539
348.517
3.903.056
11468000
23710448
2145000
25855448
7442252
4616962
12059214
2589000
4331565
55.000
4386565
2.646.833
563.549
3.210.382 3.325.305
KPPBB SUKABUMI
KPPBB PURWAKARTA
KPPBB CIREBON 1. Kb. Kuningan 2. Kb. Majalengka
2616000
5014939
72.000
5086939
2.820.195
505.110
KPPBB KUNINGAN
5205000
9346504
127000
9473504
5467028
1068659
6535687
290916000
384586263
122119000
506705263
62310376
247756148
310066524
290.916.000
384.586.263
122.119.000
506.705.263
62.310.376
247.756.148
310.066.524
Sumber : Data Sekunder KPP Jawa Barat 7.2 Persepsi Masyarakat terhadap Masalah Pertanahan;
85
Sebagai
Perbandingan Kota Bekasi 7.2.1 Profil Wilayah Perbandingan :Studi Kasus Kota Bekasi Berdasarkan data dari BPS Bekasi, rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada kurun waktu 1971-1980 tercatat sebesar 3,57%, kurun waktu 1980-1990 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 6,29%, sementara kurun waktu 1990 sampai 2000 laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami penurunan menjadi 4,31 %. Tahun 1992 penggunaan lahan di Kota Bekasi masih didominasi oleh sawah, kebun campuran, dan urban/suburban. Sisanya merupakan belukar, hutan, lahan terbuka, laut, mangrove, perkebunan, rumput/semak, sungai/rawa/situ dan tambak. Sementara pada tahun 2002 luasan daerah urban/suburban mendominasi penggunaan lahan yang diikuti oleh sawah, dan kebun campuran. Dari hasil korelasi variable penggunaan lahan, PDRB, penduduk, dan sektor tenaga kerja, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk yang bekerja di sektor industri (X8) berkorelasi positif dengan tingkat pertumbuhan lahan tidur (X3). Hal ini berarti jika jumlah penduduk Kota Bekasi yang bekerja di sektor industri meningkat maka lahan tidur yang ada di Kota Bekasi akan semakin meningkat, dikarenakan masyarakat petani menjual atau meninggalkan lahannya sedangkan mereka memilih bekerja di sektor informal. Peningkatan lahan untuk bangunan memberikan hasil korelasi yang nyata dan positif dengan peningkatan lahan tidur, konversi lahan pertanian dan tingkat pertumbuhan penduduk yang bekerja pada sektor industri, namun berkorelasi negatif dengan pertumbuhan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Kota Bekasi
86
guna keperluan pertumbuhan sektor perkotaan membutuhkan lahan yang dikonversi dari pertanian, yang sekaligus menyebabkan terjadi peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.
Pertumbuhan PDRB Formal X14 + Pertumbuhan PDRB Informal X15
+
Pertumbuhan PDRB Industri X13
Pertumbuhan Lahan non sawah X4
( - )
Pertumbuhan Penduduk X5
Pertumbuhan Lahan Tidur X3
(-) +
+
Pertumbuhan penduduk Industri X8
(-)
+
+
Pertumbuhan PDRB Pertanian X11
+
( - )
Pertumbuhan Lahan Bangunan X2
Pertumbuhan Penduduk Pertanian X6
(-)
Gambar 13 : Keterkaitan Parsial antara Beberapa Komponen Pertumbuhan Luas Lahan, Pertumbuhan Penduduk dan Pertumbuhan PDRB.
7.2.2 PBB Sektor Perkotaan di Kota Bekasi Pajak Bumi dan Bangunan sangat tergantung pada potensi fiskalnya, yang ditentukan oleh dua determinan, yaitu luas dan Nilai Jual Objek Pajak. Potensi fiskal tersebut adalah semua Bumi dan Bangunan yang taxable menurut undangundang dan Nilai Jual Objek Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan. Dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan pajak Terutang tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan bangunan belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan
87
yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan bangunan yang bersangkutan. Cakupan jumlah objek dan subjek pajak idealnya mendekati jumlah yang ada di
lapangan.
Peningkatannya
dapat
dilakukan
melalui
intensifikasi
dan
ekstensifikasi pendataan dan penilaian objek dan subjek PBB pada semua jenis objek. Peningkatan NJOP dapat didekati dengan penetapan PBB yang mengacu pada nilai pasar dengan mempertimbangkan faktor improvement dan future benefit dari objek pajak yang mempunyai nilai tinggi untuk setiap jenis objek. Rasio penetapan PBB peningkatannya dapat dihampiri dengan menaikkan dasar perhitungan penetapan pajak terutang yang layak diefektifkan sesuai dengan potensi fiskal di lapangan pada setiap jenis objek. Adapun Luas Bumi dan Bangunan serta Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi Tahun 2004 dijelaskan dalam Tabel 16 Tabel 16. Luas Bumi dan Bangunan, Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Objek Pajak di Kota Bekasi Tahun 2004 PAJAK BUMI PAJAK BANGUNAN Luas Bumi Luas Kecamatan (m2) NJOP (000) Bangunan(m2) NJOP (000) OP (000) Pondokgede 18,524,103 5,126,616,099 3,675,723 1,705,634,869 59,342 Jatisampurna 19,272,229 2,627,760,693 636,571 301,135,465 30,847 Jatiasih 20,633,271 2,976,607,705 1,378,679 591,527,563 48,477 Bantargebang 36,802,915 2,678,000,874 1,549,003 647,990,768 50,327 Bekasi Timur 10,073,603 2,968,111,507 2,892,675 1,257,319,130 48,226 Rawalumbu 12,107,826 2,833,088,134 1,792,412 857,853,586 37,787 Bekasi Selatan 11,008,749 3,617,247,601 2,657,111 1,369,425,176 40,052 Bekasi Barat 11,020,887 2,867,925,153 2,834,924 1,272,198,605 48,163 Medan Satria 10,583,925 3,083,769,293 2,377,251 1,191,640,318 33,489 Bekasi Utara 15,437,381 3,093,447,715 3,058,871 1,334,204,484 61,124 Jumlah 165,464,889 31,872,574,774 22,853,220 10,528,929,964 457,834
Sumber: Statistik Kota Bekasi dalam angka BPS, dan kantor PBB Kota Bekasi 2004.
88
Pada tahun 2004, luas Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi sebesar 188, 32 juta m2 sedangkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Bekasi adalah sebesar Rp 42,4 milyar terdiri dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari Bumi sebesar Rp 31,9 milyar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari bangunan sebesar Rp 10,5 milyar dan jumlah Objek Pajaknya (OP) sebesar Rp 457,8 ribu. Penerimaan NJOP di Kota Bekasi yang terbesar adalah dari Kecamatan Pondokgede dengan NJOP dari lahan (Bumi) sebesar Rp 5,13 milyar dan luas lahan (Bumi) sebesar 18,52 juta M2, serta NJOP Bangunan sebesar Rp 1,7 milyar dengan luas bangunan sebesar 3,68 juta m2. NJOP terkecil dari Kecamatan Jatisampurna sebesar Rp 2,6 milyar, dengan luas lahan (Bumi) sebesar 19,27 juta m2 dan NJOP bangunan sebesar Rp 0,3 milyar, dengan luas bangunan sebesar 636.571 m2. Tabel 17. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP) dan Kenaikan NJOP di Kota Bekasi Tahun 2003-2004 (000 Rp) Tahun 2003
Kecamatan Pondokgede Jatisampurna Jatiasih Bantargebang Bekasi Timur Rawalumbu Bekasi Selatan Bekasi Barat Medan Satria Bekasi Utara
Tahun 2004
Bumi Bangunan Bumi Bangunan (RP/m2) (Rp/m2) (RP/m2) (Rp/m2) 252.86 469.85 276.75 464.03 114.09 462.59 136.35 473.06 126.46 431.56 144.26 429.05 63.59 426.97 72.77 418.33 272.22 443.86 294.64 434.66 207.08 485.24 233.99 478.60 292.79 508.25 328.58 515.38 241.22 455.08 260.23 448.76 288.61 509.51 291.36 501.27 192.11 435.74 200.39 436.18
Sumber: Kantor PBB Kota Bekasi, 2004.
89
Kenaikan NJOP Bumi (Rp/m2) 23.90 22.26 17.80 9.18 22.42 26.90 35.79 19.00 2.75 8.27
Kenaikan NJOP Bangunan (Rp/m2) -5.83 10.46 -2.51 -8.64 -9.21 -6.64 7.13 -6.32 -8.25 0.43
Harga lahan (Bumi) dan bangunan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan 2004 mengalami perubahan. Harga lahan (Bumi) di beberapa kecamatan di Kota Bekasi mengalami kenaikan, meskipun kenaikannya berbeda-beda setiap kecamatan. Kenaikan harga lahan (Bumi) yang terbesar adalah di Kecamatan Bekasi Selatan sebesar Rp 35,79 ribu per m2, yaitu pada tahun 2003 sebesar Rp 292,79 ribu per m2 meningkat menjadi Rp 328,58 ribu per m2 pada tahun 2004. Sedangkan di Kecamatan Medan Satria hanya mengalami kenaikan sebesar Rp 2,75 ribu per m2, yang berarti di Kecamatan Medan Satria merupakan kenaikan yang paling rendah dibandingkan dengan di kecamatan lainnya. Pada tahun 2003 harga lahan per m2 di Kecamatan Medan Satria sebesar Rp 288,61 ribu,- meningkat menjadi Rp 291,36 ribu per m2 pada tahun 2004. Harga Bangunan dari sepuluh kecamatan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan 2004 sebagian besar mengalami penurunan, meskipun ada tiga kecamatan yang mengalami kenaikan yaitu Kecamatan Jatisampurna dengan kenaikan sebesar Rp10,46 ribu per m2, Kecamatan Bekasi Selatan kenaikannya sebesar Rp 7,13 ribu per m2. Adapun penurunan yang paling besar yaitu dari Kecamatan Bekasi Timur dengan penurunannya sebesar Rp 9,21 ribu per m2 yang pada tahun 2003 harga bangunan per m2 sebesar Rp 443,86 ribu,- menurun menjadi Rp 434,66,- di tahun 2004.
7.3 Persepsi Masyarakat terhadap Masalah Pertanahan di Perkotaan. Masalah
pertanahan
di
perkotaan
90
dapat
muncul
akibat
perilaku
masyarakatnya terhadap lahan. Perilaku yang cenderung menilai fungsi lahan dari sisi ekonomi semata, akan mengakibatkan timbulnya masalah pertanahan, seperti: spekulasi lahan, lahan terlantar, lahan kosong, konversi lahan pertanian, serta penggunaan maupun distribusi kepemilikan yang tidak seimbang. 7.3.1 Persepsi Responden terhadap Batas Maksimum Luas Kepemilkan Lahan untuk Rumah Tabel 20. Batas maximal kepemilikan lahan untuk rumah Level of Column Effect Interc Pendapatan
3-5 Juta > 5 Juta < 1 Juta
1 2 3 4
Estimate Standard Error
Wald Stat. p
0.84774 2.02640 2.06414 -2.78984 1.00000
7.60974 23.30850 24.28297 12.81289
0.307312 0.419728 0.418878 0.779393 0.000000
odds ratio
0.005805 0.000001 7.58671 0.000001 7.87850 0.000344 0.06143
Dari hasil analisis di atas menunjukkan bahwa responden dengan pendapatan 3 – 5 juta dan di atas 5 juta memberikan hasil estimate yang signifikan dan posisit if. Sementara untuk responden dengan pendapatan dibawah satu juta memberikan hasil estimate
yang signifikan dan negative. Hal ini menunjukkan
bahwa untuk Responden dengan penghasilan di atas 3 juta berpersepsi bahwa batas maksimum luas kepemilikan lahan untuk rumah adalah di atas 500 m2 atau sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Namun bagi bagi Responden dengan penghasilan kecil berpersepsi bahwa batas maksimum kepemilkan luas lahan untuk rumah adalah maksimal 500 m2
91
7.3.2 Pengetahuan Tentang Tata Ruang Tabel 21. Peluang Responden Mengetahui Tata ruang
Effect Pendidikan Pendapatan
Level of Column Effect 1 Sarjana 2 SMP 3 3-5 Juta 4 > 5 Juta 5 < 1 Juta 6
Estimate Standard Error 0.61386 0.313217 1.33027 0.352647 -0.20859 0.529722 0.11721 0.375218 0.74553 0.421522 -0.15082 0.636506
Wald Stat. 3.84106 14.22993 15.50545 0.09758 3.12814 5.61465
p
odds ratio
0.050012 0.000162 0.000082 0.754759 0.076952 0.017811
3.78208 0.81173 1.12435 2.10755 0.86000
Dari hasil analisis statistik yang dilakukan untuk mengetahui pengetahuan responden mengenai Tata Ruang disekitar kediaman mereka, didapat bahwa variabel responden dengan tingkat pendapatan dibawah 1 juta memberikan hasil yang signifikan, dan negatif dan tingkat pendidikan sarjana memberikan hasil yang signifikan
dan positif
dan untuk tingkat pendidikan SMP memberikan hasil
signifikan dan negative. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin kecil income seseorang semakin tidak peduli mereka terhadap perencanaan peruntukan ruang
92
7.3.3 Persepsi Responden terhadap Tarif Pajak Sebagai Pengendalian Permasalahan Lahan Perkotaan Tabel 21. Persepsi Responden terhadap PBB Progresif bagi Spekulan Level of Effect Interc Pendidikan Pekerjaan Pendapatan
Sarjana SMP Pegawai Informal 3-5 Juta > 5 Juta < 1 Juta
Column 1 2 3 4 5 6 7 8
Estimate Standard Wald p odds ratio Error Stat. -1.2069 0.398602 916.7752 0.000000 -0.7080 0.336570 442.5281 0.000000 0.49262 1.2061 3.34044 -0.5947 0.396384 225.0768 0.000000 0.55174 1.1501 3.15835 -1.0619 0.519602 4.1764 0.040990 0.34581 -1.5660 0.587317 7.1091 0.007670 0.20889 1.1542 0.950793 1.4737 0.224758 3.17160
Dari hasil analisis dengan menggunakan model logit didapatkan estimasi dengan hasil yang signifikan dan negatif bagi responden dengan latar belakang pendidikan sarjana –0,71 jenis pekerjaan pegawai dan responden dengan penghasilan diatas 5 juta –1,56 dan diantara 3 – 5 juta –1,06. Dari hasil analisis diatas menunjukkan bahwa pelaku spekulasi dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, income yang tinggi, serta bekerja sebagai pegawai dalam hal ini baik pegawai swasta maupun pegawai negeri, justru merupakan pihak yang paling tidak setuju dengan pengenaan tarif PBB progresif bagi pelaku spekulasi.
Ketidak
setujuan mereka apabila kita hubungakan dengan latar belakang pelaku spekulasi,
93
ternyata adalah mereka yang mempunyai income dan pendidikan tinggi serta mempunyai pekerjaan sebagai pegawai.
7.3.4 Persepsi Responden terhadap Tarif Pajak Progresif bagi Spekulan Tabel 22. Persepsi Responden terhadap PBB Lahan Pertanian Level of Colu mn Effect 1 Sarjana 2 SMP 3 Pendapatan 3-5 Juta 4 > 5 Juta 5 < 1 Juta 6 Lama tinggal 11-20 th 7 < 10 Th 8 Effect Intercept Pendidikan
Estimate I.
Standard Error 0.439087 0.414380 0.609471 0.426730 0.445755 0.625198 0.431818 0.430604
Wald Stat. p
-0.55683 -0.59948 -1.80680 -0.10169 1.35828 -0.38885 -1.08837 -1.21781
33.90820 2.09293 8.78848 0.05679 5.63644 0.38683 6.35258 7.99837
0.000000 0.147982 0.003031 0.811641 0.017591 0.533970 0.011721 0.004682
odds ratio 0.54910 0.16418 0.90331 2.88140 0.67784 0.33677 0.29588
Dari hasil di atas menunjukkan responden dengan latar belakang pendidikan SMP, lama tinggal sampai 20 tahun di Kota Bekasi masing-masing memberikan hasil estimasi yang signifikan dan negatif, sementara untuk responden dengan tingkat penghasilan di atas 5 juta memberikan hasil estimate yang signifikan dan positif. Hal ini berarti bahwa untuk tingkat pendidikan SMP dan lama tinggal di Kota Bekasi sampai 20 tahun, berpeluang untuk setuju terhadap pengurangan tarif pajak PBB untuk lahan pertanian. Sementara responden dengan tingkat pendapatan di atas 5 juta berpeluang untuk berpersepsi bahwa tarif PBB adalah sama dengan yang diberlakukan sekarang.
94
7.3.5 Persepsi Responden terhadap Sanksi bagi Pelaku Penelantar Lahan Dari hasil di atas menunjukkan responden dengan latar belakang tingkat pendapatan antara Rp 3-5 juta memberikan hasil yang signifikan dan negatif sebesar –1,53. Hasil estimasi yang signifikan dan positif terdapat pada responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp 1 juta (0,73) dan lama tinggal di Kota Bekasi 10-20 tahun 0,87. Hal ini berarti bahwa untuk tingkat pendapatan dibawah Rp 1 juta dan lama tinggal di Kota Bekasi antara 10 sampai 20 tahun, berpeluang untuk berpersepsi sebaiknya sanksi yang diberlakukan untuk lahan terlantar adalah dikenakan pajak (PBB) yang tinggi.
Sedangkan responden dengan tingkat
pendapatan di atas 5 juta berpeluang untuk berpersepsi bahwa bagi pelaku yang menelantarkan lahannya cukup diberi peringatan.
Tabel 23. Persepsi Responden Terhadap Tindakan bagi Pemilik yang Menelantarkan Lahan Level Effect Interc Pendapatan
lama tinggal Scale
3-5 Juta > 5 Juta < 1 Juta 10-20 th < 10 Th
of Column 1 2 3 4 5 6
Estimate -0.07682 -1.53509 -0.33653 0.73330 0.86841 -0.49358 1.00000
95
Standard Error 0.271582 0.581783 0.418127 0.364977 0.280277 0.283246 0.000000
Wald Stat. p
odds ratio
40.89878 6.96215 0.64777 4.03677 9.60004 3.03665
0.2154371 0.7142478 2.0819408 2.3831127 0.6104348
0.000000 0.008325 0.420912 0.044519 0.001946 0.081404