BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Umum Dengan merujuk pada hasil penelitian yang diuraikan dalam BAB II, III, IV, dan V, setidaknya terdapat enam kesimpulan, diantaranya; Pertama, dalam sejarah perkembangan ADKdari setiap transformasi mihwar menunjukkan bahwa terdapat kesamaan nilai bahwa dalam tradisi ADK, aktivitas halaqoh merupakan sebuah tradisi utama yang menjadi identitas ADK. Kegiatan halaqoh ini tidak hanya dimaknai sebagai proses penanaman ideologi, namun ia juga menjadi elemen penting dalam mengembangkan daya afektifitas melalui forum qodhoyah diantara sesama kader. Aktivitas halaqoh inilah yang menjadi daya tarik utama bagi setiap mahasiswa yang ingin mendapatkan lingkungan ke-Islam-an di kampus baik ketika semasa Orde Baru, mau pun di masa Reformasi. Pada masa Orde Baru, tema utama dalam aktivitas halaqoh lebih menekankan pada pembentukan pribadi muslim. Pada masa ini, para murobbi/ mentor yang berasal dari Da’i DDII dan para naqib/murobbi/ mentor yang banyak memperkenalkan ideologi-ideologi Ikhwanul Muslimin yang menjelaskan Islam dalam skema yang mudah dimengerti, terstruktur, membangun capaian-capaian dakwah secara gradual, menekankan nilai-nilai Islam yang universal, dan komprehenshif. Pada fase ini, simbolisasi yang dimunculkan pada masa Orde Baru lebih banyak berkaitan dengan simbolisasi-simbolisasi pengamalan Islam. Pasca tahun 1998, Jama’ah Tarbiyah bertransformasi menuju mihwar muassasi dimana titik tekan dalam transformasi pada mihwar ini adalah kontribusi Jama’ah Tarbiyah dalam mengembangkan politik dakwah di pusat pemerintahan melalui pembentukan partai politik. Konsep ”al–jama’ah hiya al–hizb wa al–hizb huwa al–jama’ah” (Jama’ah adalah partai dan partai adalahJama’ah) adalah faktor pengikat dimana agenda ke-Jama’ahan seperti proses kaderisasi dan pelembagaan organisasi include ke dalam aktivitas partai. Pada fase ini, tema yang diangkat dalam agenda ke-Tarbiyah-an seperti halaqoh lebih banyak penekanan terhadap kontribusi dakwah bagi setiap kadernya tanpa diimbangi
motivasi dan semangat untuk memahami Islam lebih tinggi. Dalam dinamika ADK, kontribusi dakwah lebih dititik tekan kan tentang cara bagaimana para ADK ikut aktif dalam membina lembaga kemahasiswaan seperti LDK, BEM, mau pun kelompok studi melalui penempatan kadernya pada posisi-posisi strategis di dalam kelembagaan tersebut. Namun, dalam perkembangannya adalah ketika sudah hampir selama 15 tahun kader Jama’ah Tarbiyah menguasai kelembagaan mahasiswa justeru membentuk identitas yang seharusnya universal, menjadi identitas yang spesifik dimana muncul semangat bahwa yang harus memimpin kelembagaan mahasiswa harus berasal dari Jama’ah Tarbiyah yang secara spesifik disimbolkan dengan aktivis dakwah, dan muncul anggapan dimana mereka yang menjadi kompetitor dalam memperebutkan posisi strategis lembaga mahasiswa tersebut sebagai pesaing yang tidak memiliki semangat dakwah universal yang sama dengan mereka –meski pun pada dasarnya, sebagian kompetitor mereka juga berasal dari kalangan aktivis dakwah meski tidak berasal dari Jama’ah Tarbiyah. Di saat itu pula-lah, pemaknaan ADK tentang “dakwah” menjadi semakin sempit dan spesifik. Kedua, pada dasarnya –sebagaimana yang digambarkan pada BAB III- semangat yang dibangun didalam ADK pasca 1998 adalah dalam rangka motivasi dakwah. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan ibadah yaumiyyah baik yang bersifat mahdhoh mau pun ghoiru mahdhoh dan aktivitas dakwah mau pun Jama’ah adalah suatu hal yang penting bagi diri mereka untuk menjadi muslim sejati dan dalam rangka penghambaan kepada Allah. Namun, semangat terhadap kegiatan dakwah dan Jama’ah terkadang lebih menekankan pada kontribusi setiap individu, namun kurang dimotivasi dan dilandasi semangat untuk memahami Islam, dakwah, dan konsep Jama’ah yang mendalam. Sehingga secara tidak sadar, mereka lebih banyak menggantungkan pemahamannya tentang dakwah dan Jama’ah kepada elite mereka tanpa ada proses konstruksi penalaran obyektif, kritis, dan komparatif terhadapnya. Dari perihal inilah, muncul celah bagi sebagian oknum yang berada di elite PKS untuk memanfaatkan ADK sebagai sumberdaya strategis yang diarahkan untuk memobilisasi kepentingan-kepentingan partai baik dalam bentuk pengembangan mobilisasi suara partai mau pun dukungan-dukungan kebijakan terhadap kepentingan politik pribadi oknum elite PKS itu sendiri. Sebagaimana digambarkan dalam BAB IV- tanpa disadari oleh ADK, pasca Pemilu tahun 2004 aktivitas ADK kian mengalami dinamika
perubahan yang signifikan yang mengesankan dari “religious movement oriented” yang menekankan aktivitas dakwah universal kini terkesan menjadi “political movement oriented” dakwah spesifik yang mengesankan kepentingan dakwah yang dibangun adalah untuk kepentingan kelompok dakwahnya sendiri. Ketiga, sejak awal terbentuknya Jama’ah Tarbiyah, aktivitas syuro’ yang juga direpresentasikan oleh majelis syuro’ DK sudah dikembangkan. Sebagaimana diuraikan pada BAB IV, dalam Islam, sistem pemilihan seseorang untuk diangkat majelis syuro’ dipilih oleh seluruh anggota Jama’ah. Setiap anggota Jama’ah memiliki kewajiban untuk mengetahui siapa saja individu yang diangkat untuk menjadi majelis syuro’. Dalam hal ini, majelis syuro’ berfungsi sebagai representasi anggota Jama’ah dimana setiap keputusan yang ditetapkan olehnya berasal dari hasil komunikasi intensif dan tukar pendapat antara anggota Jama’ah dengan setiap anggota majelis syuro’ sebagai sebuah mekanisme dalam Islam yang menekankan kebijakan majelis syuro’ yang bersifat top-down berasal dari hasil jajak pendapat anggota Jama’ah dengan anggota majelis syuro’ yang bersifat bottom up. Dalam dinamika majelis syuro’ DK, sistem penentuan seseorang untuk diangkat menjadi majelis syuro’ DK dipilih secara tertutup, ditentukan oleh segelintir tokoh yang juga pernah menjabat menjadi majelis syuro’ sebelumnya, dan tidak diketahui oleh ADK siapa saja individu yang ditunjuk menjadi majelis syuro’ DK secara umum. Mereka yang dipilih menjadi majelis syuro’ DK tingkat universitas juga aktif dalam mengkuti sistem kaderisasi partai. Dalam hal pembentukan kebijakan, budaya yang dibangun dalam pembentukan keputusan majelis syuro’ DK (yang tidak diketahui oleh sebagian besar anggota Jama’ah) bersifat top-down dan ditentukan secara monologis dan otoritatif oleh subjektivitas anggota majelis syuro’ DK itu sendiri. Dari proses pembentukan kebijakan yang bersifat top-down tersebut telah menciptakan socio-cultural value untuk ta’at terhadap apa yang diputuskan majelis syuro’ (yang dianggap individu yang paling mengetahui permasalahan realitas politik kampus dan ADK) adalah sebuah keniscayaan dalam ke-Jama’ah-an ADK. Baik diantara UI, UGM, mau pun ITB yang mengedepankan otoritas monologis majelis syuro’ DK dalam penentuan kebijakan menciptakan kesan sakralisasi dan muncul
indikasi dimana terdapat celah bagi oknum majelis syuro’ untuk meligitimasikan dirinya dalam melakukan symbolic violence terhadap para kader yang berseberangan pendapat dengan keputusan kebijakan majelis syuro’ DK tersebut dengan labelling terhadapnya dengan sebutan kalangan yang tidak ta’at atau pun hingga labelling sebagai Barisan Sakit Hati. Sebagaimana digambarkan pada kesimpulan BAB IV, pada dasarnya konsep keta’at-an dan majelis syuro’ DK yang dikembangkan di UI, UGM, mau pun ITB saat ini cenderung memiliki problem epistimologis Islam, sehingga menimbulkan permasalahanpermasalahan yang krusial di dalam dinamika ADK. Keempat, sebagaimana digambarkan pada BAB IV, pada dasarnya elite ADK (termasuk Majelis Syuro’ DK) memiliki otonomi dalam menentukan pola kebijakan dakwah kampus. Namun, karena elite ADK adalah individu yang juga menjadi kader partai, secara garis emosional terkadang cara pandang dalam penentuan kebijakan ADK atau opini ADK dikesankan harus terintegrasi atau tersimbolisasikan dengan kepentingan politik PKS. Di sisi lain, sebagaimana dijabarkan pada kesimpulan di bawah ini, kemenangan “Faksi Kesejahteraan” dalam pembentukan “tafsir dominan” secara tidak langsung juga dikembangkan kepada para elite ADK yang menaruh ke-tsiqoh-an dan ke-ta’at-an yang sangat tinggi terhadap qiyadah-nya (elite PKS), namun kecenderungan mereka tidak mengetahui dinamika internal dan konflik yang terjadi didalam elite PKS. Dalam kehidupan mereka yang menjadi elite ADK, elite PKS selalu digambarkan secara general adalah orangorang yang memiliki idealisme yang tinggi dan memiliki misi dakwah yang kuat. Oleh karena itu, elite ADK cenderung kurang kritis terhadap sikap-sikap kurang etis yang sering dilakukan FH, perilaku glamour AM, dan kebijakan-kebijakan PKS yang terkadang paradoks dengan bangunan ideologis mereka dianggap sebagai suatu hal yang lazim dalam mengembangkan estafet dakwah. Kelima, pasca Pemilu tahun 2004 –dimana PKS mengalami pelonjakan suara yang mengantarkan PKS pada “kue kekuasaan” pemerintahan telah mengantarkan dinamika PKS kedalam dua cara pandang dalam memahami partai dan Jama’ah. Cara pandang yang pertama lebih “religious oriented movement” yang cenderung idealis direpresentasikan oleh
kalangan “faksi keadilan” dan “political party oriented movement” yang cenderung pragmatis direpresentasikan oleh kalangan “faksi kesejahteraan”. Pada dasarnya, sebagaimana dijelaskan pada BAB V- konflik internal yang terjadi diantara keduanya ditutup rapat-rapat sebagai sebuah etika Islam untuk saling menjaga martabat organisasi dan juga sebagai upaya untuk tetap mampu menciptakan soliditas kader di aras bawah. Meski pun begitu, pada kenyataannya kontestasi diantara keduanya mencoba untuk memenangkan pertarungan membentuk wacana dan “tafsir dominan” bagi aras bawah sesuai dengan misi yang dikembangkan oleh setiap masing-masing faksi. Semenjak kepengurusan PKS tahun 2005-2010 “Faksi Kesejahteraan” mulai terorganisir dan mendapatkan eksistensinya dalam di dalam aktivitas ke-partai-an. Pada periode itu, “tafsir dominan” masih lebih banyak dipengaruhi oleh “faksi keadilan”, namun “faksi kesejahteraan” mulai memiliki peran yang signifikan dan memiliki peranan yang penting dalam pengambilan kebijakan partai. Pada kepengurusan PKS tahun 2010-2013-2015, “faksi kesejahteraan” (AM menjadi icon utama) memiliki peranan yang sangat strategis, dan mampu merubah “tafsir dominan” yang selama ini dikembangkan oleh “faksi keadilan” yang lebih bersandar pada paradigma ideologi Islam yang dibangun, menjadi “tafsir dominan” yang dikembangkan oleh “faksi kesejahteraan” yang disesuaikan dengan kepentingan kontestasi politik praktis perebutan kuasa kenegaraan. Dengan kata lain, “faksi kesejahteraan” mampu merubah kondisi pertarungan wacana dan tafsir dominan dari yang sebelumnya merupakan heterodoxy, kiniberhasil mengokohkan dirinya menjadi sebuah doxa baru dan berhasil mengakumulasikan lebih banyak modal simbolik yang ditransformasikan secara masif menjadi symbolic power untuk mengembangkan wacana dan “tafsir dominan” mereka kepada para kader (termasuk elite ADK). Dari kemenangan “faksi kesejahteraan” atas pembentukan “tafsir dominan” dan symbolic power telah memberikan “legitimasi dakwah” terhadap tindakan-tindakan yang mereka lakukan yang terkadang merupakan sebuah tradisi yang tidak lazim di dalam Jama’ah untuk diamini oleh kader hingga aras bawah. Contohnya adalah, prilaku glamour yang berlebihan yang dikenakan AM –semisal penggunaan jam tangan Rolex seharga Rp. 90.000.000 mau pun koleksi mobil miliknya- yang dilegitimasikan sebagai bagian dari penampilan dakwah untuk pejabat publik adalah suatu hal yang diamini oleh elite ADK.
Kelima, doktrinasi“tafsir dominan” yang dikembangkan oleh “Faksi Kesejahteraan” semakin diuntungkan untuk lebih dikembangkan lantaran budaya komunikasi kader Jama’ah Tarbiyah yang mengedepankan tsiqoh dan budaya sam’an wa tha’atan terhadap kebijakan yang diputuskan oleh Qiyadah meski pun pada dasarnya tidak mengetahui motif kepentingan apa yang sebenarnya berada dibalik keputusan kebijakan tersebut. Pemahaman terhadap tsiqoh dan sam’an wa tha’atan yang dikonstruksi dalam kegiatan halaqoh dan budaya organisasi Jama’ah Tarbiyah yang kurang memberikan respon positif terhadap kader yang kritis. Kurangnya respon positif terhadap kader yang kritis juga dikarenakan minimnya bangunan budaya dialektika dalam memahami sebuah realitas sosial secara ilmiah dan objektif diantara sesama kader justeru menciptakan socio-cultural value yang lebih memberikan penghargaan kepada mereka yang mengedepankan kepatuhan. Dengan bangunan budaya kader Jama’ah Tarbiyah (termasuk elite ADK) yang seperti ini semakin memberikan celah bagi “faksi kesejahteraan” untuk menggunakan symbolic power (ke-ta’at-an) kader untuk mendukung tujuan-tujuan dan kepentingankepentingan politiknya. Keenam, sebagaimana digambarkan pada BAB IV, pada dasarnya elite ADK memiliki otonomi dalam menentukan pola kebijakan dakwah kampus. Namun, karena elite ADK adalah individu yang juga menjadi kader partai, secara garis emosional terkadang cara pandang dalam penentuan kebijakan ADK atau opini ADK dikesankan harus terintegrasi atau tersimbolisasikan dengan kepentingan politik PKS. Di sisi lain, sebagaimana dijabarkan
pada
kesimpulan
ketiga,
kemenangan
“Faksi
Kesejahteraan”
dalam
pembentukan “tafsir dominan” secara tidak langsung juga dikembangkan kepada para elite ADK yang menaruh ke-tsiqoh-an dan ke-ta’at-an yang sangat tinggi terhadap qiyadah-nya (elite PKS), namun kecenderungan mereka tidak mengetahui dinamika internal dan konflik yang terjadi didalam elite PKS. Dalam kehidupan mereka yang menjadi elite ADK, elite PKS selalu digambarkan secara general adalah orang-orang yang memiliki idealisme yang tinggi dan memiliki misi dakwah yang kuat. Oleh karena itu, elite ADK cenderung kurang kritis terhadap sikap-sikap kurang etis yang sering dilakukan FH, perilaku glamour AM, dan kebijakan-kebijakan PKS yang terkadang paradoks dengan bangunan ideologis mereka dianggap sebagai suatu hal yang lazim dalam mengembangkan estafet dakwah.
Ketujuh, kebergantungan ADK terhadap konstruksi yang dikembangkan oleh PKS di tengah lemahnya semangat dan motivasi untuk memahami Islam lebih tinggi menyebabkan proses regenerasi intelejensia aktivis dakwah tarbiyah semakin terhambat sebagaimana yang dijelaskan pada BAB V. 6.2. Refleksi dan Implikasi Teoretik Sebagaimana telah diulas pada bab-bab sebelumnya, setidaknya kita dapat mengambil benang merah tentang cara bagaimana pada penelitian ini berusaha untuk menggali akar-akar perkembangan ADK dan PKS dalam rangka untuk menguji berbagai alternatif historis-strategis yang merupakan bagian dari tujuan teoritis yang dikembangkan dalam kepenulisan skripsi ini. Tinjauan teoritis tersebut diarahkan agar mampu menganalisis ADK dan PKS dari sudut pandang apakah kemampuan ADK untuk bertransformasi dari satu mihwar ke mihwar lainnya dalam rangka menajamkan kebermanfaatan untuk umat, dinamikanya, atau celah untuk disalahgunakannya proses transformasi setiap mihwar tersebut untuk kepenting-kepentingan politik aktor tertentu yang diwacanankan kepada ADK dalam skema dakwah dan dalam rangka memperbaiki kondisi ummat. Dari perihal inilah, penggunaan teoretis diarahkan untuk menguji ideologi serta sistem yang selama ini berkembang di ADK saat ini, lalu membandingkannya dengan sistem yang dibangun disetiap mihwar yang sudah berkembang sebelumnya. Dengan perspektif ini, hasil yang dicapai adalah upaya untuk dapat memberikan gambaran obyektif yang dapat memberikan kesempatan untuk mempermudah dalam proses penelaahan realitas ADK serta memberikan gambaran tentang cara bagaimana perjuangan ADK menuju lebih baik dapat diskemakan secara objektif. Ada pun peluang dan tantangan dalam penelitian skripsi ini adalah kedekatan dan akses penulis dengan para aktivis Jama’ah Tarbiyah di setiap periode serta kemudahankemudahan yang penulis dapatkan dalam mendapatkan literatur yang berkaitan dengan Jama’ah Tarbiyah merupakan sebuah point plus tersendiri bagi penelitian skripsi ini. Di sisi lain, meski pun sudah banyak penelitian yang bertemakan PKS dan dinamika dakwah
kampus, namun tidak banyak kalangan akademis yang meneliti lebih jauh tentang keterkaitan ADK dengan PKS dalam perspektif genealogis dan menghubungkan dua logika psikologi agama –yang menekankan pada movitasi-motivasi ritual keagamaan- dalam konstruksi politik dakwah. Ada pun tantangan yang berkembang selama penelitian ini adalah kurangnya responden yang bisa merepresentasikan diri sebagai responden yang berasal dari generasi mihwar sya’bi, dan di sisi lain terdapat responden yang cenderung menggambarkan aktivitas dakwah tarbiyah secara tertutup sehingga sulit untuk diulas dan dianalisa pandangan responden tersebut lebih jauh. Selanjutnya adalah, penulis belum mampu mengungkap lebih jauh pemetaan faksionalisasi elite PKS yang terdapat di Yogyakarta, Jakarta, mau pun Jawa Barat (baik tingkat DPW mau pun DPD) tentang siapa aktor yang lebih berperan dalam mengembangkan wacana dominan yang dikembangkan oleh DPP PKS. Selain itu, penelitian ini lebih berfokus pada paradigma general konstruksi dakwah yang dikembangkan 3 di kampus sekuler. Di sisi lain, tantangan utama dalam kepenulisan penelitian skripsi ini adalah karena maraknya penelitian yang berkaitan dengan PKS dan dakwah kampus, penulis terkadang mendapatkan kesulitan untuk memberikan perspektifperspektif yang lebih dinamis dengan analisa realitas ADK secara komprehensif dari faseke fase daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, pada dasarnya tema yang diusung oleh skripsi ini masih penting untuk dikritisi dan dikaji lebih dalam oleh penelitian-penelitian selanjutnya. Ada pun hal yang penting untuk diulas dalam penelitian tentang ADK lebih lanjut adalah yang berkaitan dengan psikologi dakwah ADK dalam amal ibadah dan amal politik, epistimologi konstruksi dakwah ADK dan paradigma mereka terkait realitas politik yang dinamis, perbandingan konstruksi dakwah ADK baik secara empiris mau pun komparatif yang dikembangkan baik di kampus sekuler, kampus keguruan, mau pun kampus-kampus Islam. 6.3. Catatan Kritis Dari hasil penelitian ini, setidaknya terdapat benang merah dalam penelitian ini adalah
titik
tekan
tentang
cara
bagaimana
peluang
dan
tantangan
Jama’ah
Tarbiyahkedepan adalah cara bagaimana memanfaatkan jumlah kader yang sangat signifikan untuk menjadi agen intelegensia dakwah yang berperan bukan hanya dibidang politik, dengan cara memotivasi, menghimpun, dan mengorganisir setiap kadernya untuk menjadi ahli di berbagai macam bidang yang digelutinya, baik di bidang ekonomi, pendidikan, mau pun pemberdayaan masyarakat dengan cara memberikan wadah yang secara intensif membentuk para kadernya untuk menjadi agen yang ahli di berbagai macam bidang di atas sehingga cakrawala dakwah bisa berkembang di berbagai macam sektor dan berbagai macam realitas. Sebagaimana dijelaskan pada BAB III, hingga saat ini Jama’ah Tarbiyah berfokus lebih banyak hanya pada wadah prioritas pemenangan politik, namun belum memiliki wadah intelejensia dakwah di berbagai macam bidang yang sangat signifikan. Sebagaimana kita ketahui, SDM Jama’ah Tarbiyah mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa yang sangat dekat dengan wadah pembentukan intelegensia melalui tradisi ilmiah universitas harus dimanfaatkan dengan baik untuk menciptakan intelegensia-intelegensia baru di berbagai macam bidang dengan paradigma dakwah Islam, bukan hanya sebatas menciptakan kader organisatoris yang lebih mengedepankan kerja-kerja mekanis di dalam aktivitas lembaga kemahasiswaan. Bagan: 6.1 Paradigma Intelegensia ADK Komunitas Tarbiyah Profesi
Membangun Masyarakat Madani
Membangun Ekonomi Ummat
Aplikasi Pendidikan Tradisi Keilmuan Intelegensia Tarbiyah
Komunitas Keilmuan Islam
ADK Apl ika si
Sistem Politik Islam
Komunitas Keilmuan Islam
Intelegensia Tarbiyah
Tradisi Gerakan Pendidikan
Komunitas Tarbiyah Profesi
Sistem Pendidikan Islam
Terinspirasi dari Hamid Fahmi Zarkasyi. 2010. Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya.(Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies)
Sehingga, wacana dakwah Islam universal dan komprehensif yang selama ini menjadi visi Jama’ah Tarbiyah bisa berkembang di berbagai macam lini masyarakat dan mampu menyelesaikan segala macam kebutuah masyarakat di berbagaimacam bidang. Tentunya, hal ini bisa dibangun melalui cara bagaimana para ADK untuk lebih ditanamkan untuk mengedepankan agenda “ke-ummat-an” menjadi agenda utama, barulah agenda “keJama’ah-an” yang menjadi wadah untuk mencapai cita-cita ummat dengan melakukan penalaran yang komprehensif terhadapnya. Untuk menciptakan kesadaran tentang “keummat-an” setidaknya dibutuhkan beberapa pembangunan kesadaran –sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo- diantaranya adalah; (1) kesadaran tentang perubahan, yaitu kesadaran dalam merefleksi permasalahan ummat hari ini dan berusaha untuk menjadi agen perubahan terhadapnya. (2) kesadaran kolektif, bahwa sejatinya kemampuan untuk melakukan perubahan hanya bisa dibangun secara kolektif, terintegrasi dengan setiap individu berbagai golongan Islam. (3) kesadaran sejarah, kemampuan untuk merefleksikan sejarah masa lalu, baik kekurangan dan kelebihannya untuk dijadikan element pemetaan perubahan tentang masa depan (eschatology) dan menjadikan setiap individunya sebagai agen yang siap untuk menciptakan sejarah generasinya ke arah yang lebih baik, (4) kesadaran tentang fakta sosial, yaitu kesadaran untuk mempelajari segala fakta sosial yang berkembang di masyarakat, dan mencarikan berbagai macam solusinya serta dapat diaplikasikan oleh setiap masyarakat dari berbagai macam sektor. (5) kesadaran tentang masyarakat abstrak, yaitu kesadaran untuk mampu berkomunikasi dengan berbagai macam kalangan masyarakat dengan cara menggunakan simbol-simbol dakwah yang dekat dengan simbol budaya dan bersifat elektif (pengetahuan, seni, filsafat, dsb). (6) dan kesadaran tentang perlunya objektivikasi, yaitu kesadaran yang menekankan pada setiap individu untuk melakukan penalaran terhadap segala macam realitas masyarakat secara objektif, agar dapat memetakan solusi-solusi yang terbaik bagi seluruh lapisan masyarakat.1 Untuk dapat menginternalisasikan kesadaran-kesadaran tersebut, penting bagi Jama’ah Tarbiyah untuk melakukan desakralisasi dan deoligarki struktur yang tidak 1
Untuk mengulas lebih jauh, silahkan lihat Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik. (Bandung: Penerbit Mizan) Hal. 21-29
berdasarkan pada pemahaman Islam yang utuh tersebut. Di sisi lain, struktur Jama’ah Tarbiyah juga harus mampu membangun (1)Effective Channels of Communication (saluran komunikasiyang efektif) baik diantara kader dengan kader yang lainnya, kader dengan Murobbi, mau pun kader dengan struktur Jama’ah Tarbiyah. (2) membangun Integrative Climate (BridgingSocial Capital) (Iklim masyarakat yang kondusif dan integratif) diantara sesama kader mau pun dengan berbagai macam golongan masyarakat secara luat. (3) Just Structure (sistem keadilan) yang menciptakan penilaian yang adil diantara sesam kader. Dengan perihal seperti inilah, diharapkan kondisi ADK dan Jama’ah Tarbiyah secara umum akan menjadi lebih baik.