BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Hakikat tubuh menurut Merleau-Ponty: Berangkat dari tradisi fenomenologi, Maurice Merleau-Ponty mengonstruksi pandangan tubuh-subjek yang secara serius menggugat berbagai spektrum objektivitas tubuh dan berbagai dualitas pandangan terhadap tubuh (sebagai objek)
yang
diperbedakan
secara
diametral:
empirisme
maupun
intelektualisme (atau idealisme), yang-mental dan yang-fisis, interioritas dan eksterioritas. Ontologi tubuh Merleau-Ponty ini juga dikenal sebagai fenomenologi tubuh yang dengan komprehensif dan substantif, menunjukkan “lubang-lubang” kelemahan objektivitas tubuh. Inti pandangan ini adalah bahwa manusia adalah tubuhnya. Merleau-Ponty memperkenalkan persepsi dengan pemaknaan yang baru, yang selalu berakar pada tubuh di dalam sebuah lingkungan. Dalam persepsi, artinya dalam hubungan subjek dengan dunia, tubuh berperan sebagai subjek. Tubuh adalah subjek persepsi. Inilah “tubuh-subjek”, pandangan Merleau-Ponty yang terkenal. Dari persepsi, Merleau-Ponty mendekripsikan pengalaman prareflektif (perseptual) manusia melalui tubuh dalam persentuhannya dengan dunia. Tubuh dan dunia, saling jalin menjalin, chiasme, menggunakan daging untuk mengacu pada ketidaksadaran dan spontanitas tubuh dalam persentuhannya dengan dunia.
265
266
Dari sudut pandang ini, setiap orang tidak hanya berada di dalam dunia, melainkan adalah dunia itu sendiri. 2. Perspektif ontologi terhadap fenomenologi tubuh Merleau-Ponty: Filsafat tubuh Merleau-Ponty adalah fenomenologi tubuhnya dan adalah ontologi tubuhnya. Kesadaran pra-reflektif menegasikan pemisahan tubuh dan jiwa. Tubuh dalam fenomenologi Merleau-Ponty adalah tubuh yang hidup, ada-dalam-dunia, bukan sebagai realitas biologis, namun justru sebagai basis bagi pemikiran dan kesadaran. Pengalaman tentang dunia, berbeda dengan pemikiran tentang dunia. Merleau-Ponty menguraikan bahwa persepsi adalah proses dengan mana “dunia eksternal” tertanam ke subjek. Fenomenologi tubuh dalam konstruksi filsafat tubuh tidak perlu menunggu apa yang akan dikonstruksi tentang tubuh dalam temuan-temuan terbaru biologi. Itulah latar belakang pembedaan Merleau-Ponty terhadap dua macam tubuh: tubuh objektif (dalam hubungannya dengan pengetahuan ilmiah) dan tubuh subjektif (aku adalah tubuhku, tubuh-subjek). Persepsi yang “memediasi” tubuh, dunia, dan kesadaran dalam kesalingtumpangtindihan yang nyata dan tidak terelakkan, merupakan konsep kunci terpenting untuk menunjukkan status ontologis positif bahwa apa yang “ di luar sana”, dan yang “di dalam sini”, sudah tidak lagi substansial (dalam arti dualisme), namun dalam kesatuan monistik-ontologis. Daging merupakan titik pusat pendekatan fenomenologis Merleau-Ponty dalam idenya tentang tubuh. Daging dalam ekspresi filsafat Merleau-Ponty mencakup
tiga makna: jasmaniah, reversibilitas, dan
keberadaan. Ontologi daging Merleau-Ponty adalah ontologi relasional, di
267
mana relasi-relasi internal antar tubuh merupakan konstitutif dari identitas yang-ada. Bentuk relasi ini disebut chiasm (kesalingterjalinan aku dan dunia). “I am my body”, subjek menubuh, memiliki cara mengada (mode of being) yang disebut Merleau-Ponty sebagai ada-dalam-dunia, suatu cara mengada pra-reflektif yang terikat bersama dengan konsep-konsep yang tak dapat diperbedakan dari eksistensi subjektif dan dunia objektif. Rediscovery tubuhsubjek ini meruntuhkan pandangan ketubuhan di filsafat Barat dan menempatkannya langsung di pusat ontologi dengan penjelasannya tentang diri dan dunia. Realitas adalah tunggal secara ontologis, yang diwakili oleh istilah “Being”
yang bukan ideal maupun material, tetapi fleshy.
Fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, dengan demikian, termasuk sebagai “proper monism”. 3. Rekonstruksi landasan filsafat ilmu keolahragaan: Rekonstruksi landasan filosofis ilmu keolahragaan sebagai muara penelitian ini, menggunakan tiga landasan keilmuan sebagai format pengembangan dengan berbasis ontologi tubuh yang berupa konsep tubuh-subjek tersebut. a) Landasan pertama adalah ontologi ilmu. Objek material ilmu keolahragaan adalah gerak olahraga. Objek formalnya, adalah olahraga dalam rangka permainan, pembentukan, dan pendidikan. Oleh karena tubuh yang bergerak dalam rangka olahraga ini adalah subjek persepsi dalam hubungannya dengan dunia, maka penerapannya dalam medan kajian ilmu keolahragaanpun juga dilandasi paradigma ini. Penjabarannya secara substansial, bahwa tubuh yang bergerak dalam rangka olahraga menjadi
268
status ontologis ke semua medan kajian, dengannya ilmu keolahragaan mendasarkan proyek-proyek pengembangannya. b) Epistemologi ilmu adalah landasan kedua. Intentional arc penting dipahami implikasinya sebagai cara memproses kesadaran menubuh prareflektif ke arah tindak dan persepsi kecakapan dalam pengalaman yag hidup, dalam hal ini di bidang olahraga dan ilmu keolahragaan. Jalin menjalinnya tubuh yang mempersepsi dan dunia bersama-sama dengan pikiran,
adalah
ontologi
tubuh-subjek
yang
menjadi
paradigma
pengembangan bidang-bidang teori dan tema ilmu keolahragaan. Ilmu keolahragaan adalah mandiri secara ontologis, namun pendekatan epistemologisnya bersifat interdisipliner dengan berbagai bidang teori dan tema. Dengan demikian, format pengembangan bidang-bidang teori maupun tema tersebut harus mencerminkan perlakuan terhadap tubuh sebagai subjek, atau dalam kalimat negatif, tidak mencerminkan perlakuan yang mereduksi dan mengobjektifikasikan tubuh. Konsekuensinya, penelitian-penelitian tentang tubuh dalam ilmu keolahragaan, secara ontologis berada pada posisi “tubuhnya adalah dia-dalam-dunianya”. c) Landasan pengembangan aksiologis bermuara bahwa penghargaan atas tubuh yang tidak menyamakannya dengan objek sebagaimana ditekankan konsep tubuh-subjek dari Merleau-Ponty yang menolak reduksi dan objektivikasi, berimbas pada preferensi sikap dan tindakan yang tidak menjadikan tubuh sebagai “budak perahan” (yang biasanya tidak disadari, namun dipaksa secara “nyaman” oleh umwelt tempat seseorang biasa
269
berinteraksi). Tubuh yang dalam khasanah filsafat sering diremehkan dan mewakili simbol-simbol nilai hina seperti najis, makam, penjara, dan sebagainya, sesungguhnya dalam pandangan fenomenologis justru merupakan subjek yang mempersepsi, yang secara aksiologis berarti mengandaikan nilai netral, bahkan produktif-positif. Sportivitas, kejujuran, tanggung jawab adalah contoh nilai-nilai yang dianggap “ideal” dalam olahraga. Permasalahan kejiwaan yang menelurkan sifat hipokrit, yang kini mewabah, muncul apabila sifat-sifat “ideal” tersebut hanya diberlakukan secara eksterioritas, belum sampai pada penghargaan tubuh interioritas.
B. Saran 1. Penelitian terhadap sejarah filsafat non-Barat tentang tubuh (dan juga gerak), bisa menjadi ketertarikan yang fandamental sekaligus populer, yang perlu dilakukan sebagai suatu usaha menyusun gambaran komprehensif bagaimana tubuh dilihat dan diperlakukan sepanjang sejarah umat manusia. 2. Arus pragmatisme, kapitalisme, dan desakralisasi ilmu adalah beberapa permasalahan mendasar yang menjadikan pandangan yang menghargai tubuh sebagaimana dilakukan fenomenologi tubuh Mereleau-Ponty ini, gagal menumbangkan dominasi dualisme Cartesian yang mengobjektivikasikan tubuh. Berbagai permasalahan eksistensial dan massif hampir dalam semua bidang kehidupan sebagai akibat berlangsungnya implementasi objektivitas tubuh ini, menunjukkan pentingnya proyek-proyek alternatif yang tidak
270
sekedar mengikis pengaruh objektivitas tubuh, namun juga menawarkan solusi cerdas terhadap berbagai permasalahan umat manusia, khususnya dalam basis ontologi tubuh. Proyek-proyek alternatif itu, sebagaimana yang secara serius dilakukan Merleau-Ponty, berawal dari filsafat. Meskipun berat, hal ini penting untuk selalu diupayakan. 3. Sebagai subsistem budaya, olahraga berkarakter multidimensional. Tidak hanya dalam penjelajahan keilmuannya, namun juga pertimbangan (terutama) etisnya
yang
memungkinkan
berubahnya
dunia
beserta
nilai-nilai
kemanusiaan yang ada. Penelitian filsafati maupun keilmuan dalam hal itu, yang applicable dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dalam mendunia, penting dilakukan di ranah ilmu keolahragaan ini. Usaha untuk hal ini bisa dimulai dengan melanjutkan lebih serius dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagaimana ditawarkan dalam penelitian ini. 4. Rekomendasi yang paling menonjol muncul dalam pemikiran peneliti dari penelitian ini, adalah perlunya dilakukan penguatan filsafat pribadi di lingkungan praktisi keolahragaan.