BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Pada prinsipnya pemerintah era reformasi telah berupaya memperbaiki kesalahan-kesalahan kebijakan pemerintah rezim sebelumnya. Kebijakan klientelistik rezim Orde baru yang menjadi dasar hubungan kepentingan antara negara dan pengusaha ketika itu, secara legal formal dihapuskan seiring dengan kehadiran Undang – undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Meskipun dalam tatanan operasional, sampai saat ini sulit menghilangkan praktek KKN antara pengusaha dan pengusaha di Indonesia akibat buruknya kepastian hukum.
Implementasi kebijakan Pemerintah Orde Baru yang prokapitalis, tampak pada gaya kebijakannya yang klientelistik yaitu gaya kebijakan yang ditujukan untuk membina kekuatan pribadi antara Soeharto dan pengusaha klien. Pengusaha klien etnis Tionghoa era Orde Baru seperti Lim Sioe Liong mendapatkan fasilitas eksklusif dari negara dalam membangun industri yang direncanakan pemerintah, diantaranya pembangunan industri tepung terigu dalam skala raksasa yang pada awalnya untuk mengantisipasi kelangkaan beras.
Sejalan dengan pemikiran Arief Budiman, dalam sistem ekonomi
kapitalisme seperti yang dijalankan pemerintah rezim Orde Baru, sejujurnya aktor yang paling utama dalam pembangunan industri adalah kaum pemilik modal yang dekat dengan elit penguasa.
Sejalan dengan pendapat Richard Robison, sejarah pembangunan industri tepung terigu bertumpu kepada tiga kekuatan kekuatan ekonomi yaitu, Bulog, kaum kapitalis swasta lokal dan perusahaan negara, tercermin dalam pendirian P.T. Bogasari sebagai produsen tepung terigu pertama di Indonesia. Keputusan pemerintah rezim Orde Baru untuk membangun sebuah industri tepung terigu di Indonesia pada akhirnya tercapai pada tahun 1970. Indonesia memiliki pabrik tepung terigu pertama yaitu P.T. Bogasari yang dimiliki oleh Lim
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
Sioe Liong dan bekerjasama dengan kalangan keluarga Soeharto yaitu Sudwikatmono yang duduk menjabat sebagai Presiden Direktur P.T. Bogasari. Hubungan antara Bulog dan P.T. Bogasari pada masa Orde Baru terus berlanjut seiring dengan perjalanan bisnis tepung terigu yang dimiliki oleh kelompok usaha Liem Sioe Liong. Selama rezim Orde Baru berkuasa, Bulog dan P.T. Bogasari keduanya menjalankan bisnis tepung terigu di bawah satu payung politik.
Pemberian monopoli yang dinikmati beberapa perusahaan monopoli di Indonesia termasuk lisensi produksi tepung terigu secara eksklusif oleh Bulog kepada Bogasari Flour Mills terkesan bermuatan politik, karena pemberian lisensi produksi tepung terigu ini merupakan hasil interaksi kelompok kepentingan dengan Pemerintah. Menjelaskan persoalan monopoli tepung terigu oleh Bogasari/Indofood Sukses Makmur ataupun monopoli lain bukan terletak pada argumentasi kestabilan harga, tetapi cenderung pada argumentasi kestabilan interaksi kelompok kepentingan dengan pemerintah.
Salah satu permasalahan politik dalam hal pembuatan kebijakan publik di Indonesia adalah munculnya ketidakseimbangan peranan antarlembaga negara, khususnya ketidakseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif yang terjadi pada masa rezim Orde Baru berkuasa. Seperti yang telah dikemukakan oleh Harold D. Lasswell, permasalahan utama ketidakseimbangan peranan
dalam
proses
pembuatan
kebijakan
terletak
pada
rendahnya
pengetahuan anggota legislatif dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Lemahnya peran lembaga DPR pada masa Orde Baru di Indonesia dimanfaatkan oleh presiden dan para menterinya untuk menekan para anggota DPR supaya memenuhi keinginan mereka. Kebijakan-kebijakan publik di masa Orde Baru seringkali tidak efektif, karena undang-undang atau produk hukumnya tidak merefresentasikan keinginan-keinginan masyarakat, melainkan keinginankeinginan kelompok masyarakat tertentu yang didukung oleh sebuah rezim yang prokapitalis.
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
Pada tahun 1998, kesepakatan antara pemerintah Soeharto dengan IMF membawa Indonesia kepada perubahan yang revolusioner dalam pengelolaan sektor pangan. Keppres RI No.19 Tahun 1998 tentang liberalisasi pangan yang memangkas tugas dan kewenangan Bulog hanya mengelola beras, berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia, khususnya terhadap pengelolaan industri tepung terigu nasional sebagai strategis penyedia bahan pangan kedua setelah beras.
Perubahan pragmatis dari sebuah industri jasa penggiling gandum (tailor made industry) menjadi industri dengan tatakelola usaha mandiri (fully self management) membawa sisi positif dan negatif. Sisi positif liberalisasi pangan tepung terigu dengan pembukaan impor merupakan strategi yang paling efektif dalam menekan dominasi Bogasari Flour Mills yang sekian lama menikmati rente ekonomi akibat kebijakan klienteistik rezim Orde Baru.
Negara menetapkan kebijakan persaingan usaha difokuskan dalam rangka mempertahankan dan melindungi persaingan bebas dan terbuka. Undang – undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli yang ditetapkan pemerintah ditujukan kepada perilaku bisnis perusahaan secara nyata anti persaingan, bukan kepada struktur pasar atau ukuran perusahaan. Oleh karena itu KPPU sebagai lembaga negara yang independen harus bertindak tegas dan tidak boleh terpengaruh oleh kalangan produsen manapun.
Koreksi pemerintah dalam pengelolaan pengadaan tepung terigu nasional kali dilakukan melalui penerapan kebijakan persaingan usaha. Dimana pemerintah menghapus monopoli Bulog dalam pengadaan gandum dan tepung terigu. Deregulasi sektor pangan ditetapkan melalui Keppres RI No. 19 Tahun 1998. Selama rezim Orde Baru berkuasa, pasokan tepung terigu domonopoli oleh Bogasari Flour Mills, dengan Bulog sebagai importer tunggalnya. Sementara di era reformasi semua pihak boleh mengimpor gandum dan tepung terigu secara bebas, tanpa harus meminta izin ke Bulog.
Transformasi kebijakan yang mengacu pada konsep kebijakan NeoLiberal yang menganut prinsip ekonomi pasar sosial (social market economy),
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membuka izin investasi dalam industri tepung terigu seperti izin terhadap P.T. Berdikari Sari Utama, P.T. Sriboga Ratu Raya, dan P.T. Panganmas. Selain itu dalam memasuki era pasar bebas, Pemerintah era reformasi membuka masuknya tepung terigu impor ke Indonesia secara signifikan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Selain ketiga perusahaan tersebut, pada tahun 2005 BKPM kembali memberikan izin investasi kepada 4 (empat) perusahaan baru yang akan berinvestasi dalam bidang industri tepung terigu di Indonesia, mereka adalah P.T. Asia Raya, perusahaan PMDN ini berlokasi di Sidoarjo Jawa Timur, memiliki kapasitas produksi 72 ribu ton dengan total investasi Rp 10 miliar. P.T. Purnomo Sejati, berlokasi di Sidoarjo Jawa Timur, berkapasitas produksi 120 ribu ton dengan total investasi Rp 24 miliar. P.T. Fugui Flour&Grain Indonesia, perusahaan asing (PMA) dengan total investasi US$ 37,5 juta ini berlokasi di Gresik Jawa Timur, dengan kapasitas produksi 270 ribu ton. Dan terakhir P.T. Kwala Intan New Grain, berlokasi di Asahan Sumatera Utara, perusahaan patungan antara Malaysia dan Indonesia ini memiliki kapasits produksi 210 ribu ton, dengan total investasi US$ 13,8 juta.
Untuk menghindari benturan kebijakan, pada masa mendatang perlu dibentuk kerjasama antarlembaga negara yang terkait dengan subtansi kebijakan persaingan usaha. Kerjasama antar lembaga KPPU, BKPM, Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan yang ditujukan untuk mempertahankan bisnis yang fair dalam industri tepung terigu di Indonesia diharapkan dapat meminimalisasi aksi – aksi barreir to entry yang dilakukan produsen yang sudah eksis.
Program sertifikasi SNI Wajib Tepung Terigu sebagai bahan pangan yang ditetapkan melalui Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001 dan program fortifikasi penambahan zat nutrien tertentu melalui SK Menkes No. 962 Tahun 2003 memiliki keterkaitan dengan isyu persaingan usaha. Seperti yang diduga oleh KPPU, dua kebijakan SNI Wajib Tepung Terigu dan Fortifikasi tepung terigu dapat menjadi hambatan masuk (barriers to entry) bagi tepung terigu impor
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
maupun produsen baru dalam rangka untuk melindungi produsen tepung terigu nasional yang sudah ada.
Sehingga hal ini menimbulkan sinyalemen bahwa pemerintah bersikap mendua (ambiguity). Di satu sisi pemerintah telah menetapkan undang-undang persaingan usaha, tetapi pada saat tertentu pemerintah justeru membuka peluang persaingan tidak sehat dengan menerapkan berbagai hambatan masuk, baik hambatan tarif maupun non tarif. Proses politik yang didominasi oleh figurfigur dengan jaringan hubungan personalnya, maka sulit mengharapkan proses politik yang konstruktif terhadap upaya pemulihan ekonomi. Kebijaksanaan ekonomi menjadi tersandera oleh kepentingan politik tertentu.
Tantangan Indonesia sangatlah berat yaitu pada saat bersamaan harus dapat memulihkan perekonomian dan sekaligus mengembangkan demokrasi. Demokratisasi yang kurang dipersiapkan pada masa Orde Baru, menciptakan suasana ketidakteraturan dan ketidakpastian yang berimplikasi negatif terhadap upaya pemulihan ekonomi. Sekalipun tidak selamanya demikian, pada saat ini arah demokratisasi lebih sering bertentangan dengan ketertiban dan kepastian yang dibutuhkan bagi pemulihan ekonomi.
Banyak masalah yang terjadi pascakrisis ekonomi pada tahun 1997 yang cukup mengganggu perekonomian, penundaan kenaikan BBM (sebenarnya pemerintah tidak mungkin lagi menanggung beban subsidi yang begitu besar), pemogokan buruh, tuntutan otonomi daerah, dan lain-lain. Itu semua menyebabkan iklim ketidakpastian di bidang usaha, yang berdampak kepada kinerja perekonomian karena maslah-masalah tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan para investor.
Di Indonesia, sejauh ini pemerintah maupun DPR masih mementingkan popularitas politik mereka sendiri dihadapan masyarakat daripada melakukan langkah berani untuk kepercayaan politik masyarakat. Akibatnya keseimbangan antara proses demokratisasi dan pemulihan ekonomi berada pada tingkat yang rendah.
Berbagai
tindakan
yang
harus
dilakukan
untuk
memulihkan
perekonomian terhadang oleh pertimbangan sosial politik. Keadaan ini harus
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
dipecahkan dengan inisiatif pemerintah untuk lebih berani melakukan langkahlangkah dalam memecahkan permasalahan ekonomi.
Tatakelola pemerintah yang baik (good corporate governance) dapat tercapai apabila dilakukan reformasi dalam lembaga kepresidenan berikut anggota kabinetnya, dengan cara memilih presiden yang memiliki integritas moral yang baik, dengan parameter presiden dan anggota kabinetnya terbebas dari kasus-kasus korupsi, kolusi, nepotisme. Presiden dan anggota kabinet yang akan dipilih juga harus tanggap dan profesional dalam mengatasi problemproblem ekonomi, politik, sosial dan keamanan bangsa.
Kedua, melakukan perubahan sistem pengawasan terhadap pejabat pemerintah di berbagai level birokrasi, baik pusat maupun daerah, melalui kontrol ketat dari elemen masyarakat seperti Mahasiswa, Ormas, LSM, termasuk insan pers dengan dukungan pemenuhan fungsi lembaga DPR RI sebagai pengawas utama eksekutif. Hal ini untuk memperkuat posisi masyarakat dalam mengontrol pemerintah (strong society). Ketiga, melakukan netralisasi birokrasi sipil dan militer terhadap partai politik, sehingga birokrasi sipil dan militer dapat menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pelayan publik (public servant) dengan penuh tanggungjawab. Salah satu contohnya adalah jaminan netralisasi atau independensi anggota KPPU dari pengaruh pemerintah dan swasta dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan undang-undang persaingan usaha, sehingga terhindar jeratan KKN yang mungkin saja dilakukan oleh pengusaha monopolis.
B. Implikasi Teoritis Teori Negara Birokratik Otoriter yang disampaikan oleh Guillermo O’Donnell
yang
membahas
hubungan
antara
negara
dengan
program
industrialisasi, khususnya hubungan antara negara dan pengusaha sangat cocok dalam implementasi gaya kebijakan pada masa Orde Baru. Konsep ini menjelaskan hubungan antara kekuasaan negara dan taraf pembangunan ekonomi, khususnya industrialiasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut O’Donnell rezim Birokratik Otoriter memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
Pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktator pribadi, melainkan sebagai lembaga, berkolaborasi dengan ”teknokrat” sipil. Relevansi teori ini terlihat dengan kekuasaan rezim militer Soeharto yang mengusasi hampir seluruh sektor vital perekonomian. Salah satu sektor yang menjadi alat kendali
rezim
otoriter
Orde
baru
yang
menggunakan
militer
sebagai
pengendalinya adalah kendali militer terhadap industri tepung terigu melalui Bulog sebagai partner-nya.
Kedua, rezim Birokratik Otoriter didukung oleh entrepreneur oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Keadaan ini tercermin dengan kerjasama antara Bulog dan pengusaha Lim Sioe Liong yang diback up oleh Kostrad.
Ketiga, pengambilan keputusan dalam rezim Birokratik Otoriter bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama di antara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, masa dimobilisasi. Kelima, untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif. Menjelaskan implikasi teori dalam penelitian yang menjelaskan hubungan negara, dan burjuasi nasional, kasus industri tepung terigu di Indonesia menjadi menarik untuk diteliti. Kebijakan impor gandum dan tepung terigu secara monopoli oleh Bulog selama masa Orde Baru, pada awalnya dimaksudkan untuk mengatasi krisis perberasan nasional di awal rezim Orde Baru berkuasa yakni sekitar tahun 1970. Keterlibatan Bulog dalam penyediaan tepung terigu selama kekuasaan Orde Baru nampak dominan.
Bulog sebagai representasi kekuasaan pemerintah Orde Baru dalam hal penyediaan pangan memiliki hak prerogatif dalam pengadaan tepung terigu sebagai substitusi beras. Namun karena keterbatasan pemerintah akan barang modal (capital goods) pabrikasi berupa mesin-mesin produksi dan dan alat-alat bantu produksi tepung terigu, maka pemerintah melibatkan Liem Sioe Liong sebagai borjuasi nasional atau pengusaha klien untuk membantu program diversifikasi pangan pemerintah dengan membuat pabrik tepung terigu.
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
Penunjukkan secara eksklusif ini menjadi titik awal permasalahan monopoli dalam industri tepung terigu di Indonesia oleh Bogasari Flour Mills.
Pada era reformasi, liberalisasi pangan yang memangkas kekuasaan Bulog yang terbatas hanya pada penyediaan beras, dan menyerahkan penyediaan tepung terigu kepada mekanisme pasar, sebagaimana sesuai dengan Keppres No. 19 Tahun 1998, lambat laun telah mengalihkan kekuasaan pengelolaan tepung terigu dari Bulog kepada Bogasari Flour Mills sebagai produsen dominan.
Permasalahan
yang
terjadi
pascaliberalisasi
pangan
lebih
rumit
dibandingkan ketika Bulog masih memonopoli impor gandum dan tepung terigu. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya interaksi antarlembaga negara yang terlibat dalam pengelolaan industri tepung terigu nasional, yang tidak sejalan dengan semangat persaingan usaha sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Konflik-konflik yang terjadi dalam pengaturan industri tepung terigu nasional disebabkan oleh perbedaan motivasi antarlembaga negara dalam mengatur
industri
tepung
terigu
nasional.
Perbedaan
motivasi
antara
Departemen Perindustrian dengan KPPU menyangkut pemberlakuan SNI disebabkan perbedaan cara pandang terhadap pemberlakuan SNI bagi tepung terigu. Bagi KPPU penerapan secara wajib SNI sebagai hambatan masuk (barrier to entry)
produsen lain, dan akan semakin memperkuat dominasi
Bogasari Flour Mills dalam industri tepung terigu nasional.
Sedangkan
menurut
Depperindag
sebagaimana
Surat
Keputusan
Menperindag No. 153 Tahun 2001 yang ditandatangani oleh Menperindag Luhut B. Pandjaitan memiliki pandangan yang berbeda dengan KPPU. Menperindag Luhut B. Pandjaitan memandang pemberlakuan SNI sebagai upaya untuk meningkatkan gizi masyarakat dan tidak memandang sebagi upaya hambatan masuk bagi produsen lain.
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
Konflik kepentingan antarlembaga negara juga terjadi antara Bappenas dan Depperindag menyangkut pembebanan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang dilatarbelakangi oleh kekhawatiran APTINDO terhadap tepung terigu impor yang dianggap melakukan praktek dumping. Pada saat itu Depperindag dipimpin oleh Menperindag Rini Soewandi.
APTINDO melalui Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI merekomendasikan adanya peningkatan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) lebih dari 5% kepada Menteri Keuangan untuk melindungi produsen kecil. Berdasarkan investigasi KADI pelanggaran impor tepung terigu pada tahun 2001 berupa volume impor dumping sebesar 162% mengakibatkan pangsa pasar industri tepung terigu turun 6,73%.
Perbedaan pandangan antara Bappenas dan Depperindag menyangkut BMAD pada dasarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan motivasi antara Bappenas dan Depperindag.
Bappenas
lebih menitikberatkan kepentingan
ketersediaan pasokan tepung terigu bagi masyarakat. Sehingga apabila tepung terigu impor dikenakan BMAD dalam prosentase yang sangat tinggi, maka dikhawatirkan akan mengganggu ketersediaan tepung terigu di pasar domestik yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama pada hari-hari besar keagamaan seperti bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Legitimasi pemerintahan Megawati Soekarno Puteri dipertaruhkan, dalam bentuk ketersediaan bahan pangan tepung terigu bagi masyarakat.
Sedangkan Depperindag lebih mempertimbangan aspek perlindungan terhadap produsen lokal yang hanya memiliki pangsa pasar kecil. Menperindag Rini Soewandi beralasan, apabila BMAD tidak dikenakan, maka industri tepung terigu skala kecil akan merugi, karena tidak dapat bersaing dengan tepung terigu impor. Latar belakang Rini Soewandi sebagai CEO pada perusahaan konglomerasi Astra Grup, dan kedekatannya dengan beberapa pemilik perusahaan tepung terigu nasional, membuat Rini Soewandi melindungi produsen tepung terigu nasional, khususnya produsen tepung terigu berskala kecil, dengan mengeluarkan kebijakan BMAD bagai tepung terigu impor. Meskipun kebijakan Rini Soewandi ini ditentang oleh Bappenas, yang
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
menganggap kebijakan Rini Soewandi sesungguhnya ditujukan untuk melindungi kepentingan Bogasari Flour Mills dari tekanan tepung terigu impor.
Negara Birokratik Otoriter muncul akibat terjadinya krisis ekonomi. Pada masa melakukan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI), negara bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha dalam negeri dan berusaha meningkatkan daya beli masyarakat dengan melaksanakan kebijakan pemerataan pendapatan. Masyarakat yang ada di lapisan bawah, khususnya kaum buruh dan golongan petani miskin, mendapatkan penghasilan yang cukup besar, supaya mereka bisa membeli barang-barang yang dihasilkan industri nasional.
Sejalan dengan Guillermo A O’Donnel, seandainya pengumpulan modal yang dilakukan oleh bank atau perusahaan-perusahaan negara ini tidak mencukupi, maka modal asing dan modal multinasional akan dilibatkan. Tetapi, masuknya modal luar negeri biasanya disertai dengan syarat-syarat. Salah satu syarat yang terpenting adalah negara yang bersangkutan harus kuat sehingga dapat mengendalikan gejolak politik yang timbul. Apabila negara tidak kuat mengendalikan gejolak politik yang timbul, modal luar negeri cenderung menghindar.
Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) oleh Peter Evans menyangkut persekutuan antara Negara, Burjuasi Nasional dan Modal Asing dapat mendukung teori yang negara BO Guillermo A O’Donnel. Persekutuan antara Bogasari Flour Mills dan Departemen Perdagangan yang melindungi Bogasari Flour dengan rekomendasi perlindungan tarif (BMAD) dan perlindungan Depperin melalui SNI Secara wajib bagi tepung terigu sebagai bahan pangan secara tidak langsung memberikan peluang yang sangat besar kepada Bogasari Flour Mills untuk menyediakan tepung terigu bagi masyarakat.
Seperti studi yang dilakukan oleh Posner,
yang menjelaskan bahwa
biaya monopoli terhadap masyarakat sebenarnya melebihi dari dead weigth loss, karena secara tidak langsung, monopoli akan membawa aktivitas ekonomi rente atau
rent
seeking.
Dalam
aktivitas
ekonomi
rente,
perusahaan
akan
mengeluarkan biaya untuk mempertahankan monopolinya melalui lobi dan
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
aktivitas lain. Dengan demikian, dalam kasus ekonomi rente, biaya monopoli pada akhirnya dapat menghilangkan suplus produsen untuk demi melakukan lobi.
Seperti
yang
disampaikan
Stephen
Magee,
aktivitas
untuk
mengakumulasi kekayaan perusahaan disamping melalui aktivitas produksi, juga melalui transfer kekayaan atau predation. Aktivitas predation dapat dilakukan melalui lobi. Lobi merupakan upaya untuk mempertahankan monopoli, diantaranya dengan menyediakan dana untuk mendukung pemerintah agar mereka dapat memaksimumkan keuntungan ekonominya dalam sistem politik yang ada. Dalam teori ekonomi politik, lobi untuk mempertahankan monopoli disebut endogeneous protection.
Aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan dominasi pasar tepung terigu dapat tercermin dari lobi-lobi politik yang dilakukan oleh APTINDO dengan dukungan Bogasari Flour Mills untuk mempengaruhi Departemen Perdagangan supaya membuat aturan-aturan yang ditujukan untuk menghambat
pesaing
masuk (barrier to entry) ke dalam pasar tepung terigu nasional, diantarana adalah menekan pemerintah untuk menetapan BMAD.
Dalam konteks industri tepung terigu nasional dewasa ini, teori Persekutuan Segitiga antara Pemerintah yang diwakili oleh Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, dan Departemen Keuangan, Swasta yang diwakili oleh APTINDO, khususnya Bogasari Flour Mills telah terbukti terjadi pascaliberalisasi pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan pemerintah yang cukup besar terhadap Bogasari Flour Mills sebgai produsen tepung terigu yang mampu memenuhi kebutuhan konsumen tepung terigu di Indonesia..
Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan industri tepung terigu nasional yang tercermin dari Peraturan Menteri Perindustrian No. 2 Tahun 2008 tentang Pencabutan Penerapan SNI Wajib Tepung Terigu, berpotensi menimbulkan pertentangan dari kalangan produsen tepung terigu.
Kebijakan
Menteri Perindustrian Fahmi Idris ini sagat wajar menimbulkan konflik baru
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
antara Pemerintah dan produsen tepung terigu nasional. Sikap perlawanan APTINDO yang bersikeras untuk tetap menggunakan SNI Wajib Tepung terigu dengan melakukan fortifikasi Tepung Terigu perlu diapresiasikan secara positif dalam konteks demokrasi ekonomi, dan tidak perlu ditanggapi secara keras oleh pemerintah. Pemerintah perlu memberlakukan fleksibilitas dalam penerapan SNI bagi tepung terigu.
Pada awal tahun 2008, krisis pangan global yang melanda hampir seluruh negara di dunia, direspon
Pemerintah SBY dengan mengelurkan kebijakan
stabilisasi harga pangan dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional (food security). Pemerintah SBY memahami bahwa kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang paling mendasar untuk dijaga ketersediaannya.
Pada bulan Februari 2008,
Pemerintah SBY memutuskan
tepung terigu sebagai salah satu komoditas pangan yang perlu dijaga ketersediaannya, sehubungan dengan semakin dibutuhkannya tepung terigu oleh masyarakat Indonesia dewasa ini, terutama sebagai bahan baku mie instan dan roti.
Langkah konkret Pemerintah SBY dalam upaya mestabilkan harga tepung terigu di pasar domestik adalah dengan cara menanggung PPN impor gandum, melalui penetapan Peraturan Menteri Keuangan No. 10 Tahun 2008 tentang PPN Ditanggung Pemerintah atas Impor dan/atau Penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu. Selain itu kebijakan strategis lainnya adalah Peraturan Menteri Perindustrian No. 2 Tahun 2008 tentang Pencabutan SNI Wajib Tepung Terigu. Kebijakan-kebijakan pemerintah ini secara tidak langsung semakin memperkuat posisi politik produsen tepung terigu nasional, khusunya Bogasari Flour Mills dalam perekonomian di Indonesia.
Pemerintah era reformasi menyadari bahwa untuk memperbaiki kondisi dunia usaha yang tidak mandiri dan banyak menimbulkan kerugian bagi masyarakat, perlu dibantu dengan kebijakan persaingan usaha yang akan mengatur persaingan usaha di Indonesia. Oleh karena itu salah satu tolok ukurnya adalah kemampuan KPPU dalam mengawasi perilaku Bogasari Flour Mills sebagai perusahaan dominan tepung terigu di Indonesia sesuai dengan
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Seperti yang dikemukakan oleh Maswadi Rauf, bahwa sistem politik liberalisme yang dianut oleh negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia tidak cocok dengan karakter budaya dan tata nilai yang berlaku pada masyarakat Indonesia.
Intervensi
Negara
dibutuhkan
dalam
rangka
mengantisipasi
kegagalan pasar akibat perilaku monopoli yang dapat merugikan masyarakat menjadi pilihan politik yang paling tepat untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Pascaliberalisasi pangan, meskipun negara tidak memposisikan dirinya sebagai operator penyedia tepung terigu.
Terlepas dari adanya indikasi
pelemahan posisi negara di hadapan produsen tepung terigu nasional, khususnya di hadapan Bogasari Flour Mills, negara dalam masa reformasi harus tetap konsisten pada fungsi utamanya sebagai penyedia kebutuhan publik.
Lembaga-lembaga negara yang berkepentingan dalam pengaturan industri tepung terigu nasional seperti Depperin, Depdag, Depkeu dan KPPU, dengan alat kekuasaan politik yang dimilikinya, harus tetap mampu mengatur produsen tepung terigu nasional, dalam kerangka persaingan usaha yang sehat dan adil. Kebijakan persaingan usaha yang menjadi rujukan hubungan antara negara dan pengusaha di Indonesia, pada prinsipnya harus ditujukan untuk memenuhi kepentingan seluruh masyarakat.
Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.