BAB VI KEGAGALAN DAN KEHANCURAN KEBENARAN ILMIAH DAN CARA MENGATASINYA Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (Al-Qur’an, Al-Baqarah, ayat147)
6.1. Pendahuluan Peradaban manusia dibangun atas berbagai unsur dasar yang dapat diukur maju tidaknya suatu masyarakat tersebut. Semakin maju ke depan (kekinian) secara logika masyarakat tersebut akan semakin maju mengingat terjadinya akumulasi berbagai unsur dengan pembobotan yang semakin maju pula. Hal ini terjadi karena adanya pembelajaran yang terus menerus dari masyarakat tersebut baik karena stimulasi dari dalam lingkungan hidupnya maupun adanya stimulasi dari luar yang sengaja maupun tidak (Fredericks, 2004). Dalam perjalanan pendewasaannya itulah unsur dasar budaya tersebut mengaktualisasikan dirinya dalam berbagai bentuk atau tipologi yang menjadi ciri khas dari kebudayaan masyarakatnya. Pada masyarakat primitif dimana dinamika dan interaksi sosialnya relatif rendah, maka unsur alam sangat dominan dalam membentuk tipologi budaya masyarakatnya. Orientasi hidupnyapun sangat sederhana yang berkisar pada masalah cara bertahan, cara makan, dan berkembang biak. Kebutuhan hajat hidup tadi secara naluriah telah disediakan oleh alam dalam keseimbangan yang harmonis tanpa mengalahkan satu terhadap yang lain. Sebaliknya pada masyarakat moderen hajat hidupnya lebih kompleks dengan tingkat kwalitas yang membutuhkan standard tinggi dengan daya saing (kompetisi) yang tinggi pula dan cenderung menuju pada kanibalisme (saling memangsa). Mengingat manusia adalah makhluk kreatif dan pandai melakukan analisis, maka untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup tersebut alam lingkungan akan menjadi korban pertama dan berikutnya akan berdampak pada kelangsungan hidup manusia itu sendiri (teori bunuh diri). 144
Dari sekian unsur budaya yang paling dominan dalam menentukan masa depan peradaban manusia adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), kemauan politik yang dikemas dalam produk hukum (putusan hakim dan kekuasaan) yang dihasilkannya (Nuh, 2013). Dengan iptek, manusia dapat menikmati kehidupan lebih mudah dan efisien serta mampu menguasai tantangan alam yang kurang bermanfaat menjadi berdaya guna luas. Semakin hari manusia akan mampu memperbaiki kekurangan peranan iptek kemarin kearah yang lebih efisien, praktis dan murah; sehingga iptek menjadi komoditas yang diperebutkan orang karena didalamnya mengandung unsur lain yang selama ini tersembunyi sebagai bahan ikutan, antara lain: kekuasaan dan penguasaan, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Dengan munculnya bahan ikutan itulah peranan iptek yang tadinya mempunyai fungsi sebagai unsur budaya demi terbangunnya peradaban manusia yang lebih mulia, berbelok (terjadi distorsi) menjadi unsur budaya yang mengeksploitasi alam raya dan harkat hidup manusia sebagai makhluk sosial yang beradab. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain adalah karena tidak adanya aturan bagaimana seharusnya iptek tersebut dibangun yang didalamnya menyangkut pertanyaan seperti: what, where, when, whose, dan how. Manakala kita memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam membangun atau mengembangkan iptek maka kita jauh hari sudah dapat melihat bagaimana bentuk iptek tersebut dan bagaimana kaitannya dengan peradaban manusia ke depan. Pemikiran yang demikian akan memberi landasan rasional dan objektif bagi para ilmuwan sebagai kelompok yang paling bertanggung jawab bagi kelangsungan peradaban manusia dikolong langit ini. Dalam rangka memberi “warna” bagi kemajuan iptek yang bertanggung jawab tersebut maka sudah saatnya para pengambil kebijakan (kekuasaan) keilmuan memberikan koridor (payung hukum) tertentu berupa nilai-nilai yang bisa diakses dan dipatuhi secara bersama dalam bentuk etika ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembahasan berikut akan menguraikan secara faktual bagaimana pentingnya peranan etika tersebut dalam membentuk dan mengontrol iptek demi kelangsungan kehidupan manusia.
145
6.2. Sejarah Kapan awal peranan iptek sebagai salah satu unsur budaya masyarakat sangat sulit didapat catatan sejarahnya mengingat demikian luasnya iptek tersebut tersebar dalam masyarakat dengan berbagai variasinya. Kalau mengikuti referensi ilmu pengetahuan saja maka informasi yang dapat dirujuk adalah atas dasar antropologi atau sejenisnya (Koentjaraningrat, 1990). Dengan referensi ini kita akan sampai pada manusia purba seperti Cromagnon, Neanthertal, Peking, Sangir, Java, dan sejenisnya yang telah mampu memanfaatkan api dan perkakas atau peralatan untuk pertahanan hidup. Kalau teori ini benar maka iptek tertua telah muncul sekitar 1 juta-600 ribu tahun lalu. Perkembangan berikutnya sulit dideteksi mengingat tidak ada catatan lengkap, namun dari penemuan berupa peninggalan kuno menunjukkan bahwa bangsa-bangsa dahulu telah mengembangkan iptek secara spektakuler; sebagai contoh: peradaban mesir era Fir’aun dengan pyramid dan spinknya, bangsa Maya (Indian kuno) di benua Amerika, bangsa Cina di Asia, dan sebagainya. Informasi tentang keberadaan iptek melalui jalur religi atau agama (ilmu pengetahuan tidak mengakui hal ini) datanya lebih lengkap dibandingkan informasi sains. Iptek melalui jalur ini dikemukakan sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi dan terus berkembang sesuai dengan zamannya; dimulai iptek versi Adam, versi Nuh, versi Sulaeman, versi Shaleh, versi Musa, versi Isa’, sampai versi Muhammad. Keterangan detail tentang ini dapat dilihat pada bab terdahulu. Dari informasi ini nampak jelas bagaimana iptek dikembangkan oleh bangsa-bangsa di dunia yang satu berbeda dengan yang lain sesuai dengan peruntukannya, namus iptek jenis ini sampai sekarang telah punah dan hanya tinggal bekas-bekasnya bahkan banyak diantaranya belum ditemukan reruntuhannya. Munculnya iptek moderen seperti yang kita kenal sekarang, hendaknya kita angkat topi pada pendahulu kita yang telah mampu melakukan pencatatan secara akurat dengan metodelogi kejujuran untuk mempertahankan validitasnya sehingga bisa dikaji saat ini persis seperti kondisi sains tersebut ditemukan. Kodifikasi ayat-ayat AlQur’an (berupa suhuf) menjadi sebuah buku (kitab) yang dikenal saat 146
ini adalah jasa Utsman bin Affan (abad ke-6 M) yang atas bimbingan Muhammad s.a.w. Kodifikasi hukum (fiqih) Islam oleh Maliki, Hambali, Syafii, dan Hanafi yang sampai saat ini dianut sebagai madzab Islam juga menjadi bukti tentang munculnya iptek lunak yang dikembangkan oleh umat Islam. Dalam iptek keras seperti kedokteran, fisika, biologi, astronomi dan sebagainya juga merupakan jasa umat Islam yang mencoba melakukan eksplorasi terhadap informasi qur’ani menjadi sesuatu yang faktual dalam masyarakat. Munculnya iptek di dunia barat tak dapat disangkal adalah mengadopsi metodelogi sains yang dikembangkan dunia Islam pada sekitar abad ke 17, yang kemudian berkembang sampai sekarang. 6.3. Peranan IPTEK dalam peradaban Untuk mengetahui sampai sejauh mana peranan iptek dalam membentuk peradaban manusia maka kita perlu melihatnya dari beberapa aspek dengan contoh-contohnya. Atas dasar itu kita membagi iptek dalam jenisnya yakni: iptek keras dan iptek lunak; serta efeknya bagi peradaban yakni: positif dan negatif. Paradigma sains atau ilmu memang berbeda dengan paradigma unsur budaya lainnya, ia mencoba untuk mencari penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal dibentuk oleh kaedah-kaedah empiris materi dalam koridor apa yang disebut logico-hypothetico-verifikasi melalui metode ilmiah seperti deduktifinduktif. Tujuannya jelas agar supaya manusia dapat menguasai aturan alam atau hukum alam yang dikenal sebagai ilmu tersebut dan mampu memanfaatkan serta mengontrolnya dalam bentuk teknologi demi kemaslahatan umat manusia. 6.3.1. Sains yang bebas nilai Ilmuwan (saintis) Barat sebagaimana kita ketahui telah menolak mentah-mentah konsep nilai yang berhubungan dengan sains, karena dianggapnya akan menghambat bahkan mengungkung kebebasan berfikir (rasio). Akibat dari paradigma sains yang demikian maka tidaklah heran apabila teknologi dan teori yang dihasilkannyapun dapat dikatakan bebas nilai, ia murni hasil olah pikir dan pengamatan material jasmaniah semata. Meskipun dalam sains mengenal istilah 147
ontologis, epistemologi, dan aksiologi; namun dalam prakteknya muatan ketiganya berorientasi kepada aspek praktis, kegunaan (utility) sesaat, ekonomi (economic oriented), dan politik (political oriented) semata. Fenomena ini dapat dilihat dengan jelas pada kedua kelompok sains dan teknologi yang dihasilkannya, yakni sians keras (hard sciences) dan sains lunak (soft sciences) yang masing-masing menghasilkan teknologi keras (hard technology) dan teknologi lunak (soft technology) dengan paparan contohnya diuraikan di bawah. 1) Sains keras yang bebas nilai. Berbagai kasus menarik mengenai bukti bahwa hal ini benar adalah dari teknologi yang dihasilkannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menjadi dasarnya, yang antara lain adalah: Dalam ilmu fisika para saintis telah mampu mengembangkan teknologi persenjataan pemusnah masal berupa bom atom dan nuklir yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan nilai kemanusiaan. Hal ini telah terbukti dengan dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan Hirosima tahun 1945 di Jepang yang memusnahkan jutaan penduduk setempat. Dalam bidang biologi dan kimia seperti halnya dengan fisika telah diciptakan pula senjata pemusnah masalah yang tidak terperikan daya siksa dan bunuhnya bagi makhluk hidup. Bahkan pada bioteknologi dengan kemampuan manusia untuk mentransfer (cangkok) gen dari spesies satu ke lainnya atau sejenisnya maka dimungkinkan munculnya makhluk baru yang bersifat coba-coba sehingga tidak mustahil munculnya “monster” yang mengerikan. Berkembangnya bank sperma akan memungkinkan terjadinya manipulasi garis keturunan yang tidak jelas asal-usulnya dan jauh dari nilai luhur yang diagungkan umat manusia. 2) Sains lunak yang bebas nilai. Kita tahu bahwa teknologi lunak yang menyangkut berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum, humaniora, dan politik merupakan hasil dari teori sains lunak yang mendasarinya. Kekuatan liberasilisme sangat mendominasi berbagai aspek teori yang mendukungnya sehingga teknologinya juga menjadi liberal. Dalam ekonomi liberal sangat terasa bahwa mereka yang 148
menguasa sumber-sumber kapital kuat akan menguasai perekonomian masyarakat. Hal inilah yang justru menciptakan negara-negara kaya dan miskin yang amat kontras dalam kehidupan penduduknya. Negaranegara belahan utara (yang didominasi negara Barat) menguasai kepentingan negara-negara di belahan selatan yang justru mempunyai sumberdaya alam yang melimpah. Kondisi ini terus dipertahankan dengan menciptakan berbagai isu global dalam berabagai di dimensi sosial dan politik serta mempertahankannya melalui kekuatan senjata (militer). Tampak disini bahwa nilai dan moral tidaklah mewarnai teknologi yang diciptakannya sehingga jauh dari terciptanya masyarakat dunia yang sejahtera. Contoh di bawah ini sangat menarik untuk disimak: Dalam eknomi yang menyangkut nilai tukar mata uang, maka mata uang negara Barat (dolar-Amerika dan euro-Eropa) mampu menghancurkan nilai tukar mata uang negara-negara miskin (Asia dan Afrika) sehingga negara tersebut makin terpuruk dan gulung tikar. Sistem politik yang dikenal dengan demokrasi liberal ternyata justru menimbulkan sistem oligarki yang parah melalui sistem multi partai yang berakar pada kekeluargaan untuk menguasai aset negara. Aspek nilai berupa kelayakan profesionalisme dan moral-etika anggotanya tidak disentuh, sehingga tidak heran munculnya koruptor berjamaah yang menghisap uang negara atau rakyat. 6.3.2. Kegagalan sains Dari sejarah kita telah belajar bahwa kejayaan era filsafat telah gagal dalam menciptakan peradaban manusia secara utuh terbukti dengan hilangnya filsafat Yunani. Hal serupa dapat juga menimpa pada sains yang dihasilkan dari sumber yang sama yakni intelektual apabila kondisi sains tersebut dibiarkan berjalan apa adanya (telanjang), karena ia akan berjalan mundur dengan peradaban yang dibangunnya. Salah satu kegagalan sains dalam menciptakan alam yang menjadi tempat tinggal yang nikmat bagi manusia saat ini adalah dengan munculnya kerusakan lingkungan hidup yang memprihatinkan. Dengan isu mutahir adanya peningkatan suhu udara secara menyeluruh di permukaan bumi 149
(global warming). Ini menjadi bukti bahwa interaksi kedua sumber pengetahuan sains, baik yang keras maupun yang lunak telah gagal total dalam mengantisipasi efek yang akan terjadi ke depan. Kondisi ini akan sangat sulit diatasi bilamana para saintis tidak segera sadar akan kekeliruannya dalam mengembangkan konsep-konsep dasar ilmiahnya. Meskipun dalam bidang ekologi telah muncul kesadaran konsep alami berupa back to nature, namun apalah artinya apabila tidak didukung oleh kemauan politik dari berbagai negara untuk mengoperasikannya (Amsyari, 1985). Kekeringan, kelaparan, mewabahnya penyakit baik pada pertanian dan manusia, patologi sosial yang meningkat, kesenjangan sosial yang tajam dan lain sebagainya; menjadi bukti konkrit di depan kita saat ini tentang kegagalan sains dalam menghadapi hajat hidup manusia secara utuh. Kesadaran manusia akan hal tersebut tampaknya sangat lambat dibanding dengan percepatan laju kerusakannya, dengan kenyataan ini siapapun selama ia masih berpijak pada analisis kritis dan rasional akan mengakui bahwa peradaban manusia sedang menuju pada titik nadzir (terendah) saat ini. Maka kondisi ini dapat menjadi bahan pertimbangan ke depan (prediksi) bahwa akhirnya manusia akan punah karena kesalahnya atau kebenaran sains akan menjadi sejarah yang dilarang digunakan dalam membangun peradaban karena terbukti merusak. 6.3.3. Bagaimana “labelling” etika dalam iptek Saat ini kita melihat perkembangan yang “mengejutkan” adanya labelling terhadap iptek berupa makan dan minuman yang harus dikeluarkan oleh perusahaan penghasilnya tentang status halal-haram menurut Islam di negara muslim, hal yang tak wajar dinegara barat. Bahkan untuk bahan berbahaya control pemerintah sangat ketat dan sering menjadi standar lolos tidaknya produk tersebut dari komisi pengawasnya. Bahkan untuk iptek tinggi seperti penggunaan nuklir telah ada lembaga internasional yang mengawasinya. Alat transportasi di negara-negara maju terkontrol dengan ketat oleh lembaga tertentu khususnya untuk keperluan masal seperti pesawat terbang, kereta api, bus, kapal, dsb. Semua ini menjadi bukti bahwa manusia dalam memanfaatkan iptek tidak dapat semaunya namun harus ada aturan 150
tertentu yang mengaturnya sehingga azaz manfaatnya akan semakin besar. Untuk saat ini kesadaran mengenai hal ini nampaknya cukup relevan dibanding dengan harus mencari software lain yang mampu mengganti sains dalam mengelola bumi seisinya. Berbagai aturan nilai telah dicoba untuk dimasukan dalam dunia saintifik baik pada aspek filosofis, teoritis, praktik, maupun keutuhannya. Beberapa diantaranya muatan nilai yang perlu dimasukan sebagai etika saintifik antara lain: 1. Kebenaran Pada hakekatnya kebenaran adalah suatu kebutuhan umat manusia untuk mempertahankan keberadaannya di alam raya ini, sehingga ia mempunyai posisi fungsional yang bersifat universal sifatnya. Ia sebuah nilai yang bersifat sakral sehingga perlu dijaga kelestarian dan fungsionalnya dalam masyarakat atau alam raya ini. IPTEK yang dihasilkan manusia harus diarahkan atau dikontrol asan manfaatnya atas dasar benar tidaknya bagi keberadaan umat manusia dan alam sekitarnya. Contoh yang cukup spektakuler dalam bidang pertanian adalah adanya IPTEK pestisida (pembunuh hama dan patogen tanaman), yang tadinya dimaksudkan untuk mengamankan produksi pertanian dari serangan hama dan penyakit; saat ini telah diregulasi dengan berbagai peraturan yang mengontrol peredaran dan dampaknya sekalipun belum dapat dihilangkan sama sekali. Hal ini dilakukan karena adanya indikasi kerusakan alam oleh pencemaran lingkungan sehingga menjadi racun bagi manusia dan lingkungan hidupnya. 2. Kejujuran Dalam metode ilmiah tingkat kejujuran suatu hasil penelitian selalu diuji dengan kaedah keilmuan pula yang dikenal dengan tingkatan validitas hasil tersebut, yang caranya tergantung pada jenis penelitian apa yang dilakukan dan rancangan apa yang digunakan. Sebagai contoh untuk melihat bentuk adanya keterikatan atau interaksi antara dua variabel yang diuji mungkin cukup dengan pendekatan korelasional saja, namun untuk interaksi yang lebih komplek mungkin perlu analisis model lain seperti path analisis, SEM, atau bahkan model dinamika. Kejujuran perilaku akan sulit untuk didekati dengan hal demikian karena komplek, dinamis dan sulitnya mencandra variabel 151
yang akan diukur serta tak adanya paramater yang baku. Maka mengukur kejujuran perilaku umumnya bersifat kemudian yakni buah dari perilaku itu sendiri yang diakumulasikan menjadi kaedah sosial. Semakin jujur perilaku anggota sosial masyarakat tersebut pasti akan berbuah kesejahteraan hidup masyarakatnya dan bila sebaliknya akan menyengsarakan masyarakat tersebut. 3. Sandar pada argumentasi Argumentasi adalah sebuah kesadaran intelektual manusia yang paling luhur sifatnya sehingga apabila tidak dijaga dengan benar maka akan mengakibatkan kualitas manusia yang memilikinya jatuh pada level paling hina yakni binatang. Argumentasi ilmiah pada dasarnya menjaga nilai manusia agar supaya dalam berpendapat selalu berdasarkan fakta ilmiah atau teori ilmiah; sementara argumentasi religi didasarkan atas nash atau dalil religi yang ada dan bukan berpendapat tanpa sadar atau sekenanya. Apabila hal ini dijadikan acuan dalam bermasyarakat maka akan memudahkan dalam melihat “benang merah” problematik kehidupan ini untuk dicarikan jalan keluarnya. 4. Rasional Rasionalitas dibangun atas dasar logika berpikir yang benar dan disampaikan dengan argumentasi yang benar pula sehingga akan didapat kesimpulan yang benar yang dapat diterima sebagai kebenaran rasional. Dalam bidang eksakta rasionalitas suatu objek kajian hampir mendekati kebenaran “sesungguhnya” dari sifat objek tersebut karena kaedah yang melekat pada objek kajian adalah apa adanya (given) yang dikenal dengan hukum alam atau sunatullah sehingga mudah membacanya. Sedangkan untuk bidang sosial seringkali agak sulit didapat kebenaran yang rasional tersebut sehingga untuk mewujudkannya diperlukan interpretasi dan batasan tertentu agar supaya didapat komitment yang sama. Disinilah mungkin hal yang menjadi kendala mengapa bidang-bidang sosial sulit dalam pengukurannya sehingga akan berpengaruh pula pada subjektivitas manusianya. 5. Obyektif Alam raya pada dasarnya mempunyai aturan atau hukum alam yang objektif sehingga siapapun yang melanggarnya akan terkena dampak dari ketidak stabilan hukum itu sendiri. Disinilah mengapa kaedah ilmiah memerlukan sifat ini tertanam juga dalam alur ilmiahnya karena memang untuk mengungkap rahasia alam raya diperlukan informasi seobjektif mungkin agar supaya pengetahuan yang didapat tidak menyesatkan orang lain dan kehancuran alam raya itu snediri. 152
6. Kritis Kekritisan dapat dibangun apabila kita terbiasa membangun bangsa ini dengan pendidikan yang bersifat analisis-logis-dialogis sebagai lawan dari dogmatis-otoriter. Pengetahuan ilmiah pada dasarnya bersifat kritis sehingga apa yang didapat hari ini mungkin berubah hari esok karena adanya alasan lain yang lebih maju dan kritis terhadap capaian yang telah lalu. Itulah mengapa ada istilah never ending bagi pengetahuan akan akan selalu terjadi pembaharuan sebagai hasil yang kritis dari para peneliti atau pakar dalam bidangnya, matinya kekritisan para pakar tersebut akan berdampak pada berhentinya kemajuan pengetahuan tadi. 7. Terbuka Pengertian terbuka salah satunya adalah terbuka untuk dikritis oleh siapapun (subjek), kapanpun (waktu) dan dimanapun (ruang); baik itu yang menyangkut nilai kebenarannya, cara mendapatkannya atau nilai gunanya. Keterbukaan ini sangat diperlukan karena akan menambah khasanah (pengkayaan) pengetahuan itu sendiri mengingat bahwa sehebat apapun kebenaran saintifik apalagi filsafati bersifat relatif atau nisbi karena keterbatasan daya jangkau manusia untuk menilai sesuatu. Seorang ilmuwan yang bersifat tertutup akan berdampak pada pemarjinalan dirinya untuk melihat lebih jauh dan luas terhadap dimensi pengetahuan yang tidak berujung dan berbatas ini. 8. Pragmatis Memang pragmatisme adalah lawan dari idealisme, karena seorang yang bersifat pragmatis hanya mampu melihat azas manfaat sesaat atau kekinian, sementara sorang idealis melihat azas manfaat jauh ke depan bahkan di luar empirismenya sendiri. Namun tidaklah berarti yang bersifat pragmatis berarti buruk karena memang suatu hasil pengetahuan harus juga bersifat pragmatis agar supaya punya nilai guna yang segera dibutuhkan umat manusia, dan pembaharuannya selalu dilakukan setiap saat. 9. Tak merubah kodrat Sifat alam raya pada dasarnya adalah pemberian apa adanya (given) dari penciptanya (Allah), sifatnya mendasar dan fungsional; sehingga apabila kodrati yang demikian dipertahankan maka akan berarti juga mempertahankan longivitas (daya hidup) alam raya itu baik dia menjadi bagian ataupun secara utuh. Apalagi bila hal ini tidak dipertahankan pada makhluk hidup, maka perubahan yang terjadi padanya akan merubah pula sifat dasar dan fungsionalnya, yang kita 153
kenal munculnya “mutan” baru sebagai akibat dari mutasi karena lingkungan, rekayasa, atau alasan lainnya. 10. Tak merubah martabat Martabat tentu saja bersemtuhan dengan nilai kemanusiaan karena hanya manusialah yang memerlukan martabat agar supaya ia eksis dalam masyarakat dan tentunya di depan penciptanya yakni Tuhan. Pengetahuan pada dasarnya laksana pedang bermata dua, bisa saja ia membunuh lawan atau dirinya sendiri. Oleh karena itu pengetahuan yang tidak diarahkan dan digunakan dengan benar bisa saja ia justru menghancurkan peradaban manusia itu sendiri dan sebaliknya bila benar ia akan meningkatkan martabat manusia. Nilai ini perlu ditempelkan secara melekat (linkage) pada pengetahuan yang jalannya dapat ditempuh berbagai cara, seperti melalui etika pengetahuan, membatasi bahkan melarang berkembangnya pengetahuan tertentu yang diperkirana dapat merusak martabat manusia. 11. Netral nilai dogmatis Sudah disebutkan di atas bahwa pengetahuan sebaiknya tidak dipasung oleh dogma-dogma tertentu apakah itu bersifat reliji (agama), budaya, kepercayaan, dan sebagainya. Biarkan pengetahuan bicara mengenai dirinya dan apa adanya karena selama ia didapat dengan jalan yang objektif dan terbuka maka ia tidak akan membahayakan siapapun, dan justru sebaliknay akan sangat membantu manusia dalam mengungkap misteri hakekat keberadaan alam raya seisinya. Dengan demikian apabila ada agama yang mentabukan (dogma) terhadap sesuatu maka perlu diperdalam lagi pemahaman keagamaannya karena agama yang benar pasti tidak akan tabrakan dengan hukum alam sebagai ayat-ayat kauniah yang juga bersifat kodrati ini. 12. Universal Universalisme berarti harus menyentuh aspek yang luas dan tidak membatasi pada kepentingan tertentu dan kebenaran tersebut harus bersifat ready for use oleh siapapun dan dimanapun bila digunakan. Hal ini akan sulit tercapai apabila untuk menimba pengetahuan tersebut hanya bersifat studi kasus dan untuk kepentingan sesaat seperti yang banyak dilakukan dalam studi sosial dewasa ini sehingga nilai universalismenya menjadi minim. 6.4. Membentuk masyarakat ideal-beretika Suatu struktur masyarakat sangat ditentukan oleh kualitas individu yang menyusun di dalamnya,sehingga dengan mudah siapapun 154
dapatlah membaca bahwa kualitas individu terdidik pasti akan membentuk masyarakat lebih berkualitas pula dibandingkan individu kurang berpendidikan. Di sini akan timbul suatu daya kohesi yang signifikan diantara struktur dan penyusunnya. tergantung mana yang dominan dari keduanya yang selanjutnya akan menentukan arah perkembangan masyarakat tersebut. Menggunakan istilah epidemiologi, resistensi (keketahanan) atau suseptibilitas (kerentanan) suatu populasi (penduduk) adalah tergantung dari seberapa jauh tingkat kekebalan atau kerentanan individu didalamnya. Apabila individu yang kebal cukup dominan, maka sifat populasi tersebut akan ikut menjadi kebal, tak perduli apakah ada di antara individunya yang rentan terhadap penyakit tertentu, atau sebaliknya (Sastrahidayat, 2011). Teori epidemiologi tersebut di atas nampaknya cukup aplikatif untuk menilai kualitas masyarakat tertentu berdasarkan perjalanan waktu, sehingga kaidah-kaidah sosial yang selama ini sulit dicari benang merahnya akan semakin gamblang diukur karena ada data empirisnya. Nah, kalau hal ini disetujui bersama maka otomatis siapapun akan dengan mudah pula mengatur mau dibawa kemana sebenarnya bentuk masyarakat tertentu. Sayangnya sampai saat ini hal tersebut belum dapat menjadi kajian yang intensif pada masyarakat yang berkecimpung dalam bidang sosial, sehingga akibatnya dengan adanya kemelut sosial tertentu tak mampu mencari jalan keluarnya atau bahkan kemelut yang tadinya hanya angin sepoi-sepoi menjadi badai yang tak ketulungan lagi. Inilah awal bencana hancurnya suatu masyarakat yang selanjutnya pada bangsa dan negara. Dalam uraian berikut akan dikaji lebih jauh bahwa hilangnya bangsa-bangsa tertentu dari kolong langit ini tak lepas dari kurang pahamnya masyarakat terhadap fenomena sosial yang berkembang saat ini. 6.4.1. Bagaimanakah bentuk masyarakat ideal itu ? Untuk menjawab pertanyaan topik pembicaraan tentang masyarakat yang ideal memang tidaklah mudah, karena tergantung dari filosofis hidup individu pembentuknya yang sangat bervariasi di atas muka bumi ini. Masyarakat jawa (setidaknya jaman raja-raja dahulu) memberi makna masyarakat ideal dengan istilah " tata tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, murah sandang pangan dol tanpo tinuku panen tanpo tandur". Untuk mewujudkan masyarakat demikian 155
itu, maka peranan seorang raja (penguasa negeri sangatlah menonjol sehingga ia harus mampu mengisinya dengan konsep yang jelas dan sederhana mudah dicerna anggota masyarakat atau rakyatnya. Mengingat cakupannya yang sangat luas maka dibentuklah pranata sosial seperti: pamong praja ( yang berhubungan dengan aturan negara), begawan (yang berhubungan dengan ritus kepercayaan), empu (yang berhubungan dengan profesionalisme kepakaran), dan sebagainya. Di tingkat bawah (masyarakat tani) mengenal istilah : uluulu banyu (mengatur irigasi), kebayan (keamanan), carik (administrator), dan seterusnya. Dengan cara inilah roja-raja Hindu di Jawa cukup lama berkuasa dari satu dinasti ke dinasti lainnya dengan peninggalan sejarahnya yang sampai saat ini masih kita rasakan seperti candi-candi, petilasan, selamatan orang mati, larungan ke laut, dsb. Dan pada masyarakat itu sendiri dimasuki konsep hidup kesederhanaan seperti: nrimo ing pandum (easy going), Sabdo pandito ratu (obedience), mangan ora mangan pokoke kumpul (brother hood), becik ketitik olo ketoro (justice), dst (Sajogjo dan Sajogjo, 1980). Dengan dasar itulah tanah Jawa dikelola sehingga menjadi buah bibir negennegeri lain untuk menimba ilmu (ngangsu kaweruh) dan menjadi tujuan perdagangan atau pertukaran kebudayaan pada saat itu. Timbulah pertanyaan, apakah kerajaan Jawa pada saat itu telah mencapai masyarakat ideal sesuai dengan cita-citanya? Nampaknya tak pertu menjawabnya secara langsung karena akan jelas terlihat jawabannya pada uraian berikutnya. Tenggelamnya kerajaan Mojopahit dan terbitnya kerajaan Islam Demak, menjadi bukti bahwa masyarakat saat itu dalam posisi intoleran terhadap konsep masyarakat ideal yang dikembangkan dengan metode Hinduisme atau Budhaisme. Masyarakat menganggap nilai baru yang dikembang oleh para wali sangat lebih progresif, toleran, akomodatif, kreatif, jelas sasarannya. Karena menurut Islam masyarakat yang ideal disebut sebagai "Baidatun thoyibatun warobbun ghafur, yakni masyarakat yang sejahtera dan baik serta mendapatkan limpahan dan ampunan Tuhannya. Disinilah unsur Tuhan dimunculkan, yang berarti kesejahteraan atau ideal itu ukurannya adalah menurut kehendak Tuhan sebagai pencipta dan bukan manusia (sekalipun raja) sebagai hamba. Maka untuk menjabarkan cita-cita tersebut di atas dengan cerdiknya para wali tersebut menginfiltrasi (menyusupkan) nilai-nilai Islam 156
tersebut dalam budaya masyarakat yang telah berkembang dan mengakar tanpa menumbangkan pohon budayanya sedikitpun, yakni melalui: kesenian (pewayangan, gamelan, tembang, sastra, dsb.), pertanian (sawah dan alat pertanian), perdagangan (perbatikan) dan kepamongprajaan (istana, alun-alun, satu atau dua pohon beringin, dan masjid, penjara), dan lain lain. Bahkan pada upacara-upacara ritual yang bersifat massal diciptakan sedemikian rupa dengan memanfaatkan kerajaan sebagai sentralnya, sehingga kita kenal sampai sekarang istilah sekaten (dari kata syahadatain, yakni dua kalimat syahadat), grebeg (yakni mengikuti raja ke Masjid) yang dilanjutkan dengan upacara maulud Nabi Muhammad SAW dengan penyampaian ajaran Islam kepada khalayak tentunya. Itulah beberapa strategi yang dilakukan oleh para wali dalam mewujudkan masyarakat ideal versi Islam. Namum apakah itu cukup efektif, ternyata belum, karena masih memerlukan adanya kekuatan riil yang dapat mempercepat proses tadi, kekuatan ini adalah kekuasaan formal yakni penguasa negeri (raja). Itulah sebabnya mengapa kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Fatah perlu dibentuk, karena Islam memerlukan perangkat yang mempunyai aspek legalitas formal untuk mengoperasikan nilai-nilai Islam (syariat Islam) yang berkenaan dengan masyarakat luas; terutama menyangkut pidana, hudud, perdata, dsb. Disinilah masalahnya rupa-rupanya para wali belum berhasil benar mengoperasikan Islam secara kaffah (total), karena masih ada yang tercecer yakni pemberlakuan Syariat Islam dengan konsekuen (Al Mawardi, 2000). Berdasarkan kajian pusataka disebutkan bahwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar yang mengembangkan aliran Islam wihdatul wujud (manunggaling kawula lawan gusti), baru dapat dilaksanakan setelah Raden Fatah menjadi raja Islam I di tanah Jawa; aliran ini mirip dengan yang dikembangkan oleh Al Hallaj, yang juga dihukum mati oleh penguasa disana. Kalau analisis ini benar maka disinilah agaknya yang menjadi alasan mengapa masyarakat Islam Indonesia, khususnya Jawa cenderung terbelah dalam menerima ajaran agama sehingga timbul istilah masyarakat abangan, karena mereka belum secara utuh dan terintegrasi konsep sosial reliji (Islam) itu sendiri, hal ini menjadi pintu masuk pula bagi nilai budaya lain terutama barat yang sekuler.
157
6.4.2. Apakah reliji punya konsep sosial yang ideal ? Sampailah kini pada pembahasan tentang konsep sosial reliji itu sendiri, bagaimana bentuknya, apakah cukup operasional, dan bagaimana validitasnya saat ini? Masalahnya adalah umat bergama khususunya Islam belum pernah mengadakan pengkajian secara mendalam, kebanyakan cenderung menerima apa adanya terhadap nilai yang ia terima sejak kecil terutama menyangkut keagamaan. Masyarakat demikian itu cenderung stagnan atau tetap mualaf dalam pemahaman ke-Islamannya, sehingga nilai yang terkandung dalam agama hanya terlihat kulit luarnya yakni bersifat ritus, klenik dan fanatik buta. Sumber konsepsi agama yang utama adalah wahyu Tuhan itu sendiri belum dioperasikan isi yang terkandung didalamnya sebagai petunjuk hidup sosial dan kerohanian, serta informasi IPTEK, disamping ritual tentunya. Dengan demikian seharusnya isi kandungan kitap suci itu memberikan arahan terhadap pembentukan karakter individu (ahlaq) yang diharapkan membentuk masyarakat ideal bercirikan demikian: 1. Intelektual: cerdas, kreatif, dinamis, analisis, dan sebagainya. 2. Kerohanian : jujur, lurus, berani, amanah, patuh , rajin, dsb. 3. Sehat jasmani dan rohani 4. Kuat ekonomi 5. Sehat sosial 6. Akhirat sebagai tujuan hidup, dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Semua cita-cita ini akan terwujud dengan struktur bangunan sosial sebagai berikut: Tuhan sebagai landasan struktural, aturan (syariat) sebagai pilar bagunan, Intelektual sebagai atap kesejukan, perjuangan (jihad) sebagai dinding pelindung kesinambungan, dakwah sebagai cahaya kebenaran, pemimpin (imam) sebagai pemelihara kemapanan, dan jamiah (rakyat) sebagai pendukung keutamaan. Dalam kondisi yang demikianlah konsep sosial Islam dapat berkembang dan mempunyai azas manfaat, tanpa itu adalah sulit untuk mengoperasikannya. Dan hal inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia sejak dari zaman para wali sampai saat ini mengapa konsep sosial Islam sulit di wujudkan, karena bangunan masyarakat ideal tersebut tidak pernah dioperasikan secara komprehenship. Dakwah yang dilakukan para mubalig hanya sekedar orasi di atas mimbar, 158
bahkan banyak para mubalig yang sebenarnya kurang paham terhadap esensi Islam itu sendiri. Islam cenderung dikaji pada arah ritus dan mistik, cenderung sebagai pelarian dari ketidak mampuan menghadapi tantangan zaman sehingga maraklah pelarian umat pada kultus ulama atau kyai yang justru dilarang oleh Islam itu sendiri. Kandungan kitab suci kurang dikaji dari aspek sains yang justru memerlukan pemecahannya melalui pencerahan intelektual tinggi, orang bodoh sulit memahami kandungan kitab suci secara mendasar melainkan hanya kulit luarnya. 6.4.3. Struktur konsep sosial berdasarkan reliji Dalam filsafat reliji dikenal berbagai tuntunan, baik yang berbunyi larangan maupun perintah, serta himbauan dari pencipta alam raya ini (Tuhan). Khusus yang sifatnya yang pertama dan kedua ketetapannya sangat rinci atau mendetail dan menyangkut masalah - masalah sosial berskala mikro, meso dan makro, dan selanjutnya disebut sebagai software dari Tuhan. Sebaliknya yang sifatnya himbauan umumnya berhubungan dengan kaidah atau tuntunan untuk mempelajari alam raya ini, yang disebut sebagai hardware dari Tuhan. Mari dilanjutkan analisis untuk membahas kedua perangkat tadi dengan mengedepankan analisis perangkat kerasnya dahulu. Pada saat seseorang melihat daun jatuh dari tangkainya di pohon ke tanah. Tidaklah terpikir bahwa jatuhnya daun dari pohon itu kebetulan ataukah melalui proses yang sudah terkonsep sebelumnya. Atau mengapakah ia mesti jatuh (gugur) dan bahkan ke tanah. Pernahkah diperhatikan kemana hilangnya biokimia yang tersimpan dalam daun itu yang telah ia kumpulkan selama berbulan - bulan di rantingnya dari energi panas matahari. Apakah gugurnya daun merupakan kesia siaannya atau keharusannya dengan azas manfaat. Sungguh pemikiran serupa ini akan membawa seseorang berkelana pada dunia sains yang tak mengenal ujung (batas akhir), sebab semakin ditelaah akan semakin terkagum dan penasaran di buatnya oleh hanya sekedar jatuhnya sebuah daun (Winarno et al., 1997). Dan jangan heran begitu habis umur, rahasia gugur daun masih terus bergulir! Orang yang bergerak dalam ilmu tanaman (plant science) dengan mudah dapat mengikuti alur proses tersebut dan mendapatkan ilmunya yang dengannyalah ia mendapat teknologinya untuk menyetop 159
atau mempercepat proses tadi atau memanfaatkannya. Mengapa demikian? Karena proses tadi mengikuti aturan alam yang sudah baku (hukum alam), yang dalam agama disebut sunatullah (ketetapan Allah). Alam semesta secara fisik pada dasarnya berisi ketetapan - ketetapan tadi yang siapapun memperhatikannya melalui penelitian secara seksama; pasti akan menguasai ilmunya dan menemukan teknologinya. Ketetapan ini tidak akan pernah berubah sampai kapanpun sehingga bersifat obiektif dan abadi, kecuali ada takdir lain yang ditetapkan oleh pencipta alam itu sendiri yang sampai saat ini tidak ada seorangpun di kolong langit ini mengetahuinya. Dengan kata lain manusia pada dasarnya hanyalah mampu memanfaatkan hardware Allah itu tanpa mampu menciptakannya baik secara material maupun esensinya. Dapatkah Einstain yang tersohor dalam ilmu fisika itu membuat sebuah atom? Atau siapapun mungkin membuat rasa diluar yang sudah ada seperti pahit, tawar, asin, masam, getir, dsb. Itulah ketetapan hardware Allah yang sudah baku, manusia tinggal menginventarisasinya di alam raya ini sehingga penemuannya akan menjadikan dia sebagai seorang saintis. Setelah mengembara pada dunia perangkat keras alam raya ini, marilah kini menukik pada perangkat lunaknya atau softwarenya alam semesta itu. Petanyaan yang pertama muncul adalah, apakah perlu alam semesta ini adanya software padahal hardwarenya saja sudah sanggup memproteksi alam semesta itu bagi kelanjutannya. Hal ini benar adanya! Sepanjang alam dengan hardwarenya itu bermain sendirian tanpa adanya intervesi dari luar maka ia akan berjalan sesuai dengan kodratnya. Contohnya asalah proses rantai makanan (food chains) dalam biologi, itulah keteraturan yang harmonis di alam. Masalahnya pada manusia adalah mampu melakukan perubahan apa saja di alam ini. Karena dalam diri manusia dilengkapi pula dengan perangkat keras dan lunak yang berbeda dengan alam sekitarnya, ia termasuk "komputer mutakhir" yang sangat lengkap programnya. Manusia mampu membuat pilihan, alam raya tidak. Disinilah masalahnya adalah pada saat manusia membuat pilihan, ia sangat ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan dan bakat yang ada dalam dirinya kemana ia bercenderung. Sebab setelah pilihan ia tentukan maka pada saat itulah awal petaka atau awal kemuliaan, sebab dengan perangkap yang ia miliki ia mampu membuat skenario sosial 160
untuk mencari daya dukung bagi pilihannya itu. Pendukungpun sering tidak menyadari hendak dibawa kemana ia, dikira mendatangi harumnya para bidadari di surga ternyata ketemu mak lampir di neraka. Disinilah entry point kita untuk masuk pada pembicaraan lebih lanjut apakah sistem reliji mampu memberi solusi pada penentuan pilihan agar tidak salah jalan tadi. Jawabannya adalah tentu saja mampu karena beberapa alasan: 1. Secara ritual reliji mengajarkan bahwa untuk membuat pilihan apapun bahkan kita diminta selalu kontak dengan yang menguasai alam raya ini dan secara empiris kita diwajibkan melakukan studi banding (comparative study). Dua dimensi yakni kerohanian dan intelektual menjadi suatu keputusan akurat. 2. Setelah putusan ditentukan kita diharuskan melakukan pengkajian ulang terhadap benar tidaknya hasil keputusan itu sebelum proses itu semakin rumit. Disini aspek pencerahan intelektual lebih menonjol dengan mau mendengar dan menerima alasan orang lain yang terstandar tentunya. Apabila salah cepat kembali pada posisi awal dan adakan perbaikan (inilah yang dikenal sebagai metode saintifik). 3. Untuk menentukan pilihan tersebut reliji memberi berbagai alternatif konsep sosial yang jelas (bukan coba - coba) dan dapat diuji oleh siapapun secara ilmiah. Ia mengatur bagaimana hak dan kewajiban individu dan sosial secara seimbang, yang apabila diimplementasikan akan menjadikan diri dan masyarakat sejahtera (keluarga sakinah). Bahkan seharusnya konsep sosial reliji siap diadu dengan konsep lain buatan manusia kalau hal tersebut diragukannya. 4. Fakta sejarah membuktikan bahwa setiap kebijakan suatu bangsa untuk memilih konsep sosial yang tidak ada rujukannya dari Pencipta alam ini maka akan berantakan di tengah jalan, bahkan hancur dan punahnya bangsa itu. Ingat umatnya Nabi Luth hancur karena konsep hidup amoral (homoseksual menjadi acuan masyarakat), negara Uni Soviet hancur hanya tinggal negara Rusia karena konsep komunisme dan didahului oleh Indonesia pada tahun 1965. Amerika cs sedang menuju kehancuran total melalui budaya liberalisme budaya dan kapitalistiknya 5. Tanggungjawab intelektual bahwa bagaimanapun bagusnya sebuah konsepsi apabila tidak diperjuangkan dan dibela secara totalitas, maka konsep itu akan terpinggirkan oleh konsep lain betapapun busuknya 161
apabila ia ditopang dan dibela mati-matian. Di sinilah pengertian perjuangan muncul dan perlu diluruskan yakni pembelaan terhadap konsepsi hidup yang jelas menurut tuntunan Tuhan.
162