BAB V KESIMPULAN Sri Sultan Hamengkubuwono IX naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 18 Maret 1940. Sebelum diangkat menjadi penguasa di Kasultanan Yogyakarta, beliau bernama Gusti Raden Mas (GRM) Dorodjatun. Setelah dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah IX. Dorodjatun dilahirkan pada hari Sabtu tanggal 12 April 1912 atau menurut hitungan Jawa jatuh pada tanggal 25 Rabingulakir tahun Jimakir 1842. Ayahnya bernama Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang kemudian dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, sedangkan ibunya adalah R.A. Kustilah yang kemudian menyandang gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom. Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mempunyai pemikiran yang jauh ke depan. Beliau sengaja mendidik putera-puteranya kepada orang-orang Belanda. Dengan sistem pendidikan yang seperti ini diharapkan mereka dapat memahami pemikiran orang-orang Belanda yang selama ini menjajah dan menguasai mereka. Pendidikan di negeri Belanda membuat GRM. Dorodjatun benar-benar paham akan tabiat bangsa Belanda, dimana hal ini kelak sangat berguna bagi dirinya dalam menghadapi masa-masa revolusi. Menjelang pertengahan abad ke-20, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia
memproklamirkan
kemerdekaan
bangsanya
yang
dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta. Proklamasi ini bermaksud melepaskan diri dari ikatan penjajah dan berdiri sendiri sebagai suatu negara berdaulat dengan 98
99
nama Republik Indonesia. Revolusi ini dengan cepat berdampak luas bagi daerahdaerah di Hindia Belanda. Mereka bersatu mendukung Proklamasi kemerdekaan itu, termasuk wilayah Kasultanan Yogyakarta yang berada dibawah kekuasaan Sri Sultan HB IX. Melalui Amanat Sri Sultan HB IX dan Paduka Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945, Kasultanan Yogyakarta menggabungkan diri dengan wilayah RI, dimana hubungan antara keduanya bersifat langsung dan Kasultanan Yogyakarta bersifat sebagai daerah istimewa. Amanat 5 September 1945 ini segera disusul dengan keluarnya Piagam Penetapan Kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI tertanggal 19 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Dengan adanya hal ini maka Sri Sultan dan Paduka Paku Alam dengan sangat jelas berintegrasi ke dalam negara RI. Penggabungan ke dalam negara RI jelas sudah dipikirkan terlebih dahulu oleh Sri Sultan dan Paku Alam, bukan tanpa alasan yang lemah. Eksistensi Kasultanan Yogyakarta dalam negara RI sangat penting bagi kelangsungan RI itu sendiri. Disini terjadi semacam interdependensi antara RI dan Kasultanan Yogyakarta. Hal ini terbukti dengan dipindahkannya ibukota RI ke Yogyakarta karena keadaan di Jakarta dirasa tidak aman karena kedatangan kembali pasukan Belanda setelah kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Begitu pula sebaliknya, Kasultanan Yogyakarta sangat membutuhkan dukungan agar tidak kembali dikuasai oleh Belanda, sehingga Sri Sultan berinisiatif untuk bergabung dengan RI.
100
Kesetiaan Sri Sultan dan rakyat Yogyakarta terhadap RI juga terbukti pada masa Agresi Militer Belanda Kedua. Yogyakarta yang menjadi ibukota RI berhasil dikuasai oleh Belanda mulai tanggal 19 Desember 1949. Presiden dan Wakil Presiden beserta beberapa menteri ditawan oleh Belanda di Pulau Bangka. Pejuang RI kemudian bergerilya untuk tetap menjaga eksistensi negara RI. Perang gerilya yang dilancarkan oleh TNI dan pejuang-pejuang lain tentu tidak terlepas dari peran Sri Sultan yang secara diam-diam menyokong logistik bagi para pejuang dan menyediakan tempat di bagian Keraton sebagai markas pejuang. Semenjak Agresi Militer Belanda Kedua, seluruh elemen bangsa berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Usaha tersebut dilakukan melalui diplomasi maupun militer yang bergerilya. Keadaan gerilya yang terus menerus membuat semangat para prajurit menurun karena serangan gerilya hanya bersifat mengganggu pos-pos Belanda dimana hal tersebut kurang efektif untuk menunjukkan eksistensi kemerdekaan RI. Sri Sultan yang selalu rutin mengikuti siaran-siaran luar negeri melalui radio mengetahui bahwa akan diadakan Sidang Umum Dewan Keamanan PBB untuk membahas masalah persengketaan Indonesia dengan Belanda. Sri Sultan kemudian berinisiatif agar dilakukan suatu serangan yang mengejutkan dan secara psikologis dapat meningkatkan semangat juang TNI serta pejuang yang lain. Serangan tersebut juga bertujuan agar pihak internasional, khususnya PBB mengetahui bahwa RI masih tegak berdiri, tidak seperti yang dipropagandakan oleh Belanda bahwa RI dan TNI telah hancur. Gagasan Sri Sultan tersebut diwujudkan oleh Letkol Soeharto, selaku Komandan WK III
101
Yogyakarta dengan memimpin serangan gerilya yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Jadi disini sangat jelas bahwa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan, dan Letkol Soeharto sebagai pelaksanan teknis dengan persetujuan Panglima Besar Soedirman. Serangan Umum 1 Maret 1949 membawa dampak yang luar biasa. Anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang berada di Yogyakarta sewaktu terjadi serangan tersebut telah mengetahui bahwa propaganda Belanda tidaklah benar, bahkan TNI masih mampu memojokkan posisi tentara Belanda meski hanya beberapa jam saja menduduki Kota Yogyakarta. Berita mengenai keberhasilan TNI yang berhasil menguasai Kota Yogyakarta yang hanya beberapa jam tersebut segera dikirim oleh Sri Sultan melalui pemancar radio milik AURI yang ada di Gunung Kidul. Berita tersebut dikirimkan menuju Bukit Tinggi, kedudukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang kemudian dikirimkan ke Sidang Dewan Keamanan PBB setelah sebelumnya melalui perwakilan di India. PBB bereaksi keras atas hal tersebut dan segera memerintahkan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Peristiwa ini sangat menguatkan posisi RI di dunia internasional serta mengembalikan kewibawaan TNI. Desakan terhadap Belanda untuk membebaskan pemimpin-pemimpin RI yang ditawan pun semakin kuat. Hal tersebut kemudian membawa kepada suatu perundingan yang dikenal dengan Perundingan Roem Roijen. Perundingan ini menyepakati pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Pada masa ini Presiden Soekarno memberikan wewenang kepada Sri Sultan untuk mengatur pengembalian Pemerintahan RI di Yogyakarta. Wewenang
102
ini ditetapkan dalam Penetapan Presiden RI tertanggal 1 Mei 1949. Dengan adanya penetapan ini maka Sri Sultan berhak menggunakan segala alat pemerintahan untuk mengatur pegembalian pemerintahan RI. Setelah pasukan Belanda berangsur-angsur ditarik dari Yogyakarta, kemudian Sri Sultan mengumandangkan Proklamasi 30 Juni 1949. Proklamasi ini bermaksud agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan sebelum rombongan Presiden dan Wakil Presiden tiba di Yogyakarta. Sri Sultan yang sejatinya adalah seorang pewaris tahta Kerajaan Yogyakarta telah membuktikan kesetiannya terhadap Republik Indonesia. Kebenciannya terhadap penjajah Belanda telah mencapai klimaksnya pada saat penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda di Istana Merdeka Jakarta pada tanggal 27 Desember 1949. Kini cita-cita para penguasa Kerajaan Mataram yang pada masamasa dahulu bertekad untuk mengusir penjajah terkabul pada saat Sri Sultan HB IX berkuasa di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.