BAB V
Kesimpulan
Ihwal jungkir-balik dalam Rafilus adalah persoalan ruang (spasial) cerita. Dari pemeriksaan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap Rafilus diperoleh bukti-bukti bahwa persoalan jungkir-balik dalam novel BD ini terletak pada ruang cerita novel. Berdasarkan uji materi yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, pendekatan spasial terhadap Rafilus mampu menjawab terkait persoalan utama penelitian, yakni jungkir-balik dunia novel BD. Jungkir-balik dalam Rafilus berkenaan dengan cara pandang subjek(subjek) atas dunia (cerita). Subjek(-subjek) yang dimaksudkan di sini adalah tokoh-tokoh dalam novel. Jika dalam penelitian-penelitian sebelumnya disebutkan bahwa Rafilus dianggap sebagai cerita yang aneh, absurd, tidak masuk akal dll., maka dalam penelitian ini dibuktikan bahwa yang absurd bukan terletak pada cerita novel. Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa jungkir-balik dunia cerita terletak padan persepsi (perceived), konsepsi (conceived) dan pengalaman atau pemahaman (lived-experienced) tokoh-tokoh di dalam novel tersebut. Ketiga dimensi tersebut merupakan trikotomi dari teori produksi ruang imajiner Henri Lefebvre. Namun untuk sampai pada analisis ruang dalam novel, terlebih dahulu peneliti memeriksa tata ruang novel Rafilus. Dari sorotan terhadap struktur novel, didapatkan bukti bahwa tata ruang yang dianut oleh novel Rafilus adalah tata ruang chaos. Pada mulanya konsep chaos merupakan cabang dari konsep sistem (the systems theory), sebuah teori yang memahami dunia bearda
117
dalam hukum yang teratur. Pada perkembangannya suatu sistem ternyata menunjukkan suatu dinamika di dalam dirinya (system dynamics), dinamika inilah yang kemudian disebut sebagai teori chaos (chaos theory). Teori ini merupakan sebuah konsep berkenaan dengan perilaku sistem yang tidak teratur (yang acak, random dan dinamis). Rafilus yang dikaji dalam penelitian ini memiliki tata ruang chaos dikarenakan unsur-unsur dalam novel tidak menunjukkan suatu keteraturan, misalnya alur novel yang melingkar. Alur novel yang melingkar mengindikasikan jika cerita Rafilus ini tidak berkembang, tidak maju atau beku. Pendek kata, ceritanya meruang. Oleh sebab itulah pendekatan spasial model Lefebrean relevan digunakan dalam penelitian ini. Dalam dimensi spasial (keruangan) Lefebvrean, sebuah dunia diyakini tidak hadir (exist) sebagaimana dirinya (objektif/otonom). Dunia sebagai suatu realitas ruang merupakan dunia yang diproduksi oleh subjek-subjek. Di sinilah letak sosiologi dari teori ini. Dalam Rafilus, seperti dijabarkan di atas (bab ketiga), tokoh Rafilus dianggap aneh (tubuhnya seperti besi dan bukan daging). Anggapan itu ternyata merupakan anggapan yang berasal dari tokoh Tiwar, Munandir dan Pawestri. Setelah ketiga tokoh tersebut dipetakan dalam kategori spasial Lafebvrean, tampak bahwa permasalahan utama novel bukan terletak pada Rafilus. Rafilus aneh, dia mati dua kali, tubuhnya seperti besi dll. merupakan persepsi, konsepsi serta pemaknaan Tiwar (terutama), Munandir dan Pawestri dalam melihat sosok Rafilus. Sedangkan jungkir-balik berkenaan dengan dimensi spasial tokoh-tokoh cerita di dalamnya, yaitu bagaimana tokoh-tokoh cerita memandang dunia, dan
118
bukan sebaliknya. Cara pandang subjek terhadap dunia menentukan tampilan dunia yang digambarkan. Artinya, aneh atau normal, absurd atau logis dsb. merupakan produksi (perceived, conceived, dan lived-experienced) dari subjeksubjek yang berkaitan dengan persoalan pokok novel, dalam hal ini tokoh Rafilus. Cerita Rafilus tumbuh dari gagasan cipta baru dalam melihat realitas kemanusiaan. Realitas yang dimaksudkan adalah kehidupan manusia sebagai rangkaian insiden; Rafilus bayi dibuang ibunya ke panti asuhan, tidak pernah dicintai oleh perempuan, dan hidupnya berakhir tatkala sebuah lokomotif menabrak mobilnya—bahkan, ketika mayatnya hendak diantarkan ke pemakaman, ambulans yang mengangkut jenasahnya ditabrak oleh kereta api; Tiwar meskipun seorang berada (punya mobil pribadi) tak lepas dari insiden, dia impoten sehingga Pawestri berpaling kepada Rafilus; Munandir yang miskin ditimpa kemalangan demi kemalangan, mulai dari anak-anaknya yang selalu meninggal saat masih bayi, lalu istrinya, dan berujung pada dirinya yang tabrak kereta api; demikian juga dengan Pawestri, meskipun dia berhasil meniti karir, menjadi wanita kampong yang mandiri, nyatanya insiden demi insiden menggerogoti dirinya—dia tidak mendapatkan pendidikan yang diimpikannya, sudara/saudarinya pergi dan melimpahkan beban menjaga dan merawat orang tua mereka kepada dirinya. Dari penggambaran itu, diketahui jika manusia tidak berdaya atas dirinya. Manusia selalu dibatasi oleh kekuatan supranatural (entah Tuhan atau alam) yang berada di luar dirinya. Budi Darma menyebut kekuatan supranatural tersebut sebagai takdir, dan takdir itulah yang absurd. Kehidupan (manusia dan alam) adalah sesuatu yang tak terpahami atau absurd (tidak logis) karena kehidupan selalu dibatasi oleh
119
takdir dari kehidupan itu sendiri. Dalam kondisi demikian, untuk mengutip pernyataan Toda, (kehidupan) manusia seakan-akan serba salah, terkapar di tengah kemungkinan-kemungkinan ganda, di tengah kemungkinan ”ada pilihan” dan ”tidak ada pilihan”, di tengah ”panggilan untuk hidup dan bahagia” dan sekaligus juga ”panggilan untuk susah derita dan kematian”. Kesan tragik makin mendalam oleh kenyataan bahwa setelah dianugerahi akal, ternyata manusia tidak bisa mengandalkan anugerah akal budi tersebut untuk menyelamatkan diri. Hidup tampak serba irrasional, serba tak terpahami. Ada keinginan untuk mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya di balik realitas yang tampak itu, ada keinginan untuk menjamah dengan pengalaman dan akal, namun hasilnya ternyata mengecewakan: hidup tetap absurd. Oleh sebab itulah, Budi Darma memilih imaji ”sebatang kara” sebagai wadah pembiasan terbaik dari posisi dan status tokoh dalam kesadaran eksistensial. Tiwar, Munandir, Pawestri dan tentu juga Rafilus merupakan barisa manusia yang hidup sebatang kara. Status sebatang kara itu demikian akut, sehingga ketika masing-masing mencoba keluar dari dunia wingit mereka, mereka gagap. Mereka gagal membangun dunia sosial. Kegagalan mereka membangun hubungan dengan sosialnya, menyebabkan keanehan-keanehan—tanpa pernah sadar—bahwa yang aneh justru mereka sendiri, cara pandang, pemahaman, pemaknaan mereka terhadap dunia. Oleh sebab itulah, Tiwar menyebut Rafilus sebagai manusia besi, Munandir mengira Rafilus adalah manusia baja, dan Pawestri yakin jika Rafilus adalah patung besi.
120
Realitas tampak aneh dikarenakan cara pandang mereka yang bermasalah, yang jungkir-balik. Dari dunia yang jungkir-balik itu, dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa realitas bagi manusia-manusia dalam Rafilus adalah subjektif. Dunia tidaklah objektif namun bergantung pada dunia masing-masing subjek. Realitas sebagai suatu pengalaman merupakan suatu pengalaman badaniah (embodied experience). Pengalaman badaniah ini lalu ditangkap oleh akal budi dalam bentuk konsep-konsep. Artinya, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari suatu pengalaman yang bersifat ketubuhan, karena rangsangan yang tersimpan di dalam memori. Pengetahuan tersebut terpatri dalam masing-masing subjek. Sehingga realitas subjektif akan selalu berbenturan dengan dengan realitas subjek(-subjek) yang lain. Benturan tersebut yang menyebabkan timbulanya keanehan-keanehan, dalam novel ini berkenaan dengan tokoh Rafilus. Jika Rafilus dibandingkan dengan novel-novel Iwan Simatupang, misalnya, didapatlah kesimpulan jika cerita(-cerita) Budi Darma ini bisa dikatakan lebih maju, lebih baru. Dalam novel-novel Iwan pembaca akan ditunjukkan oleh akrobatik tokoh-tokoh super (de God-mens atau de mens-God) seperti sosok Kresna, Gatot Kaca, Bima dll. Oleh sebab itu tokoh-tokoh tersebut wajar (tidak aneh) jika berhari-hari tidak makan atau jatuh dari tingkat sekian dan tidak lecet atau cedera. Dalam novel-novel Budi, cerita menjadi aneh tanpa perlu menjadi manusia super. Manusia-manusia biasa sudah tampak aneh (absurd) karena realitas mereka pada dasarnya sudah absurd.***
121