BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bab penutup, bab ini akan memaparkan simpulan dari penelitian ini dengan membahas temuan dari hasil analisis bab sebelumnya. Dalam bab ini akan dipaparkan pula keterbatasan-keterbatasan dari penelitian ini yang dapat dijadikan sebagai kesempatan penelitian di masa yang akan datang. Dampak bisnis dari penelitian ini pun akan disinggung di bagian akhir bab.
5.1 Diskusi Penelitian ini bertujuan yang melakukan pengukuran terhadap efek keterkenalan merk (brand familiarity), dalam konteks co-branding, pada minat beli konsumen dan sikap konsumen terhadap produk hasil co-branding dan brand atau merk yang terlibat dalam co-branding, di Indonesia, pada produk es krim sebagai industri yang diteliti. Jika dilihat dari tujuan penelitiannya, maka sifat dari penelitian ini adalah causal research atau penelitian sebab-akibat, yaitu penelitian yang menguji apakah suatu variabel dapat menyebabkan variabel lain berubah. Dengan demikian, maka eksperimen digunakan sebagai metode penelitiannya. Data hasil eksperimen yang dilakukan kepada 131 orang responden menghasilkan temuan-temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian ini sebelumnya. Pertanyaan penelitian pertama menanyakan bagaimana dampak keterkenalan merk (brand familiarity) dalam co-branding pada perilaku konsumen, khususnya 62
63
pada minat beli dan sikap konsumen terhadap produk hasil co-branding. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa brand familiarity atau keterkenalan merk ternyata memang mampu membawa efek terhadap sikap konsumen terhadap merk dan minat belinya. Ketika suatu merk terkenal berkolaborasi dengan merk terkenal lainnya dalam bentuk co-branding, khususnya ingredient branding, maka sikap konsumen terhadap produk hasil co-branding sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan skor sikap konsumen yang paling tinggi pada kondisi eksperimen yang menggambarkan situasi kolaborasi antara familiar main brand dengan familiar co-brand. Hal yang sama ditemukan pada minat beli konsumen terhadap produk hasil co-branding yang juga paling tinggi atau terbaik ketika familiar main brand berkolaborasi dengan familiar co-brand. Selain itu, ditemukan bahwa jika unfamiliar main brand berkolaborasi dalam bentuk ingredient branding dengan unfamiliar co-brand, maka sikap konsumen dan minat beli konsumen terhadap produk hasil co-branding pun terendah atau terburuk. Dengan demikian, maka temuan ini sejalan dengan attitude accessibility theory, yang menyatakan bahwa konsumen akan cenderung mengakses sikap yang paling menonjol atau kuat terhadap suatu brand (Fazio 1986). Lebih jauh lagi, hanya informasi yang paling menonjol dan penting saja yang akan dipertimbangkan sehingga akibatnya adalah brand yang lebih dikenal cenderung memainkan peran yang kuat dalam pembentukan sikap terhadap produk hasil co-branding (Fazio, 1989). Artinya, evaluasi atas brand yang berkolaborasi dalam co-branding akan secara otomatis ditransfer kepada produk hasil co-branding (co-branded product) jika stimulus brand yang berkolaborasi tersebut dirasa cukup kuat. Temuan ini pun sejalan
64
dengan pendapat Park et al. (1996), bahwa tujuan co-branding adalah untuk melakukan pemindahan asosiasi positif dari brand utama (main brand atau primary brand) kepada brand yang baru masuk dalam suatu industri tertentu (co-brand atau secondary brand) - sama persis seperti yang dikemukan oleh Keller (1998). Hal sebaliknya juga berlaku ketika brand mitra/co-brand memiliki masalah dengan mutu dan/atau citra, maka efek negatif dapat diduga akan timbul. Dengan demikian, ketika kedua brand yang berkolaborasi sama-sama merupakan brand yang terkenal, maka sikap dan minat beli konsumen terhadap produk hasil kolaborasinya pun akan terimbas melalui asosiasi positifnya, dan demikian pula sebaliknya.
Hal ini
dibuktikan dengan diterimanya H1a, H1b, H2a, dan H2b penelitian ini. Terkait dengan pertanyaan penelitian kedua, yaitu bagaimana dampak keterkenalan merk (brand familiarity) dalam co-branding pada perilaku konsumen, khususnya pada minat beli dan sikap konsumen terhadap main brand dan co-brand, pasca strategi co-branding, temuan dari penelitian ini pun mampu memberi jawaban dan dukungan pada pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini mampu membuktikan bahwa keterkenalan merk (brand familiarity) dalam co-branding dapat mempengaruhi minat beli dan sikap konsumen terhadap main brand dan co-brand pasca strategi co-branding. Ketika merk utama yang terkenal (familiar main brand) berkolaborasi dengan merk mitra yang tidak terkenal (unfamiliar co-brand), merk mitra justru mendapat manfaat darinya. Hal ini ditunjukkan dengan semakin positifnya minat beli dan sikap konsumen terhadap unfamiliar co-brand pasca strategi co-branding, yang dibuktikan oleh diterimanya H1c dan H2c. Temuan ini sejalan dengan penelitian empiris yang dilakukan oleh Simonin dan Ruth (1998),
65
menyimpulkan bahwa ketika brand utama (main brand) dari suatu co-branding adalah brand yang lebih terkenal, maka main brand tersebut memiliki pengaruh yang lebih kuat pada sikap konsumen terhadap brand mitra (co-brand), daripada jika main brand tersebut kurang terkenal. Selain itu, ditemukan pula bahwa jika sebuah merek terkenal (familiar main brand) berkolaborasi dengan merk mitra yang tidak terkenal (unfamiliar co-brand), ternyata hal ini tidak akan merusak citra merk utama tersebut. Artinya, ketidakterkenalan merk mitra tersebut tidak akan merambat berimbas kepada merk utama. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berubahnya minat beli dan sikap konsumen terhadap familiar main brand tidak mengalami perubahan pasca strategi co-branding, yang dibuktikan dengan diterimanya H1d dan H2d. Temuan ini juga sesuai dengan yang pengujian empiris yang dilakukan oleh Washburn et al. (2000), yang menemukan bahwa brand yang cukup kuat (terkenal, memiliki ekuitas tinggi, dan sebagainya) tidak akan terlalu merugi ketika berkolaborasi dengan brand mitra (cobrand) yang lemah.
5.2 Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian Selanjutnya Sebagaimana halnya dengan penelitian-penelitian lain, tentu saja penelitian ini tidak luput dari keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan penelitian yang pertama adalah penelitian ini tidak menggunakan waktu tunggu seperti yang ada pada longitudinal study untuk lebih mendekati realitanya. Sebagaimana diketahui bahwa metode eksperimen memiliki kekuatan dalam internal validity, tetapi lemah dalam hal external validity. Salah satu cara untuk mememperkuat external validity adalah pada
66
aplikasi skenario yang lebih mendekati kenyataan. Dalam hal ini, waktu jeda, misal dengan memberikan jarak dari pengumpulan data pertama dan kedua pada responden yang sama, akan dapat membantuk mendekatkan eksperimen ini dengan kenyataan. Waktu dan sumber daya yang terbatas menghambat peneliti untuk dapat menyempurnakan penelitian ini dengan membawa aspek longitudinal study. Kelemahan penelitian yang kedua adalah pada metode sampling yang lazim digunakan di banyak penelitian saat ini, convenience sampling. Dengan convenience sampling, terdapat kecenderungan homogenitas sampeL responden. Walaupun demikian, dalam kenyataannya, memang sulit untuk menggunakan probability sampling dalam penelitian ini. Keterbatasan wilayah geografis juga berkontribusi pada kehomogenan sampel. Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini memberikan peluang kepada penelitian selanjutnya. Salah satunya tentu saja dengan memasukkan efek waktu jeda (longitudinal study) untuk memperkuat kesamaannya dengan dunia nyata. Selain itu, akan menarik jika penelitian selanjutnya menggunakan pengukuran perilaku yang sebenarnya (behavioral action) dan bukan sekedar pengukuran subyektif yang didasarkan pada pendapat responden saja (behavioral intention). Bentuk pengukuran perilaku sebenarnya bisa diwujudkan dalam bentuk berapa banyak konsumen yang benar-benar bersedia membeli produk hasil co-branding tersebut. Tentu saja hal ini mengharuskan bentuk eksperimen yang melibatkan produk nyata, bukan hanya berdasarkan skenario. Peluang penelitian lain tersedia dalam bentuk co-branding yang berbeda. Penelitian ini menggunakan bentuk ingredient branding, sehingga co-brand biasanya
67
hanya terlibat sebagai pemasok ingredient produk saja. Ada berbagai macam bentuk co-branding yang dapat dijadikan sebagai variasi dari penelitian ini, yang memungkinkan peneliti lain melakukan lanjutan penelitian ini. Selain itu, peluang penelitian juga dapat dilakukan pada kategori produk yang lebih bersifat highinvolvement, atau produk yang menuntut konsumen terlibat dalam pengambilan keputusan yang lebih rumit. Penelitian lintas budaya, yaitu membandingkan respon konsumen dari dua budaya yang berbeda, juga merupakan peluang penelitian yang menarik untuk ditindaklanjuti.
5.3 Dampak Bisnis Penelitian ini memberikan hasil – hasil temuan yang sangat berguna bagi para manajer, para pelaku pemasaran (marketers), dan seluruh divisi dalam perusahaan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan melakukan kerja sama khususnya kerja sama dalam bentuk co-branding. Dengan adanya temuan dalam penelitian ini, diharapkan para manajer dan pelaku pemasaran dapat lebih bijak untuk melakukan kerja sama dalam bentuk co-branding. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh James (2005), bahwa dalam melakukan co-branding harus mempertimbangkan dengan matang apa yang menjadi nilai dari brand masing – masing, jika tidak dipertimbangkan dengan baik atau jika tidak menjalankannya dengan tepat, maka strategi co-branding dapat berakibat sebuah konsekuensi yang negatif. Kurang lebih sama seperti yang disampaikan oleh Helmig et al., (2008) bahwa dalam co-branding yang menjadi kekurangan paling potensial adalah resiko kesalahan dalam kontrol masing – masing brand yang kemudian berpengaruh pada pandangan konsumen
68
terhadap brand tersebut. Kedua hal ini sama persis dengan yang disampaikan oleh Keller (1998) bahwa alasan utama melakukan co-branding sebenarnya adalah untuk memindahkan asosiasi positif dari main brand ke co-brand dan juga sebaliknya, maka ketika main brand ataupun co-brand tidak memiliki asosiasi positif yang dapat dipindahkan satu sama lain, maka dapat dikatakan strategi co-branding yang dilakukan telah gagal.