- 92 -
BAB V ANALISIS
A.
Penegakan Hukum Keimigrasian
Penegakan hukum (law enforcement) keimigrasian dalam hal ini tindak pidana keimigrasian merupakan salah satu unsur terpenting dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana keimigrasian. Penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini dilakukan dengan 2 (dua) cara atau prosedur, yaitu tindakan administratif dan pro justisia (proses peradilan), hal ini memberikan ruang terhadap pihak imigrasi dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian untuk melakukan tindak administratif melalui proses pendeportasian dan proses peradilan tindak pidana keimigrasian. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (14) dan (16) Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian, di mana: Pasal 1 angka (14)
Tindakan Keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan. Pasal 1 angka (16)
Pengusiran atau pendeportasian adalah tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia karena keberadaannya tidak dikehendaki. Pengaturan masalah tindakan keimigrasian secara yuridis normatif diatur dalam Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan Pasal 43 ayat (1) dan (2), di mana: Pasal 42 ayat (1)
Tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan yang berbahaya dan patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, atau tidak menghormati atau menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 93 -
Pasal 42 ayat (2)
Tindakan keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. Pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keberadaan; b. Larangan untuk berada disuatu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia; c. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia; d. Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia atau penolakan masuk ke wilayah Indonesia. Pasal 43 ayat (1)
1) Keputusan mengenai tindakan keimigrasian harus disertai dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). 2) Setiap orang asing yang dikarenakan tindakan keimigrasian dapat mengajukan keberatan kepada Menteri. Penegakan hukum keimigrasian merupakan tahapan atau kegiatan setelah dilakukannya kegiatan pengawasan keimigrasian dalam hal ini penerapan prinsip “selective policy” terhadap orang asing. Kegiatan pengawasan yang dilakukan tidak hanya saat orang asing tersebut masuk, namun juga selama mereka berada di wilayah Indonesia dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di wilayah Indonesia. Pengawasan keimigrasian
meliputi penegakan hukum keimigrasian baik yang bersifat
administratif dan tindak pidana keimigrasian. Di dalam penegakan hukum keimigrasian diatur mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan keimigrasian yang akan menjalankan tugas dan wewenang menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Secara sederhana tindakan keimigrasian dan pro justisia hanya dapat dilakukan kedua penegakan hukum ini pada orang asing yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana keimigrasian, namun untuk warga negara Indonesia haruslah dilakukan tindakan pro justisia, maka proses tindakan keimigrasian tidak dikenal pada penegakan hukum terhadap warga negara Indonesia.Pengaturan terhadap pengawasan dalam hal ini terhadap orang asing diatur secara yuridis normatif di dalam Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, di mana:
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 94 -
Pasal 40, dijelaskan
Pengawasan orang asing dilaksanakan dalam bentuk dan cara: a. Pengumpulan dan pengolahan data orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia; b. Pendaftaran orang asing yang berada di wilayah Indonesia; c. Pemantauan, pengumpulan, dan pengolahan bahan keterangan dan informasi mengenai kegiatan orang asing; d. Penyusunan daftar nama-nama orang asing yang tidak dikehendaki masuk atau keluar wilayah Indonesia; dan e. Kegiatan lainnya. Penegakan hukum merupakan upaya menyediakan perlindungan secara individual agar perilaku yang dilakukan dijalan dengan perilaku yang teratur dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana dikemukan oleh Edward Eldefonso, Alan Coffey, dan James Sullivan: 82 The philosphy of law enforcement has been presented as it developed historically in terms of providing personal safety for individuals who permit their behavior to be regulated by society. An additional aspect of criminal law enforcement insociety was discussed as an outgrowth of the qcquisition of property rights – such rights creating a demand for society to provide property security. As in the discussion of the nature of criminal law in the preceding chapter, enforcement of criminal law was examined in terms of the funtion of maintaining an orderly society. The evolution of enforcement was shown to include the use of punishment. Punishment, how ever, was treated as a changing concept in terms of the consequences for law violation – punishment seemingly being replaced by the concept of rehabilitation. The various roles of legal punishment, retaliation, justice, deterrence, and rehabilitation were presented ... The historical development of specific police traditions was traced through England and the United States with emphasis placed on the centralizing trends and organizational styles. The impact of selective enforcement was also considered. The influence of “consequences” for law violations was presented as a subtle, yet significant, influence on the relationship between criminal law and its enforcement. Hal ini memperlihatkan penegakan hukum merupakan upaya melindungi hak individu di dalam sebuah masyarakat yang teratur dengan mengunakan alat pemaksa berupa hukuman atau tindakan guna menyeimbangkan keadaan akibat adanya
82
Edward Eldefonso, Alan Coffey, dan James Sullivan, Police And The Criminal Law, California, Goodyear Publishing Company, Inc, 1972, hlm. 29.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 95 -
pelanggaran ataupun tindak kejahatan. Ada 2 (dua) hal yang sangat berkaitan di dalam penegakan hukum, yaitu hukum pidana (criminal law) dan penegakan hukum. Pemikiran mengenai proses penegakan hukum dapat juga di lihat apa yang dikemukakan oleh A.C Germann, Frank D. Day, dan Robert R.J. Gallati, di mana: 83 The legislators frame and construct the law; attorney study, interpret, and present the law; and judges make final interpretations and applications of the law and impose sanctions. But, the law enforcement officer applies the law immediately, gives it efectiveness, and executes the law indirect personal fashion; the role, therefore, is on extreme sensitivity. As we look about us we observe the conduct of our fellowman, and judge that it is good or bad as it promotes or is contrary to the end of man the goals of society. Bad conduct which is contraty to the laws of God we term sin; bad conduct which is contrary to the laws of man we term crime. Thusm a sin may or may not be a crime – for sinful bad conduct, such rudeness, gossiping, or sloth, is not necessarily illegal or criminal. Hal ini memperlihatkan di dalam penegakan hukum diperlukan sebuah proses penegakan hukum yang cepat, efektif dan meletakkan hukum dengan tepat, bersifat mengatur dan akan menyebabkan berbagai kondisi yang tidak nyaman (sensitif). Penegakan hukum merupakan sebuah proses yang menuntut penegak hukum menjalankan hukum dengan efektif dan berdampak untuk keadaan yang diinginkan dan diharapkan dalam sebuah masyarakat (community). Pemaparan lain yang dapat dijadikan bahan pemikiran adalah pendapat dari sacipto Rahardjo, di mana: Tidak benar kalau dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan aksi atau kegiatan yang datar-datar saja. Memang benarm bahwa di abad ke-19, di saat kejayaan analytical juriprudence (Inggris) ataurechtsdogmatiek (Belanda) penegakan hukum itu dirumuskan sebagai subsumsi otomat, atau pencet tombol mesin otomat. Itu memang pikiran hukum yang dominan di abad itu, sehingga hakim itu hanya boleh menjadi mulut undang-undang (la bouche de la loi), tidak boleh lebih dan kurang daripada itu. Penegakan hukum diibaratkan menarik garis lurus dari dua titik. Apabila dikatakan bahwa “penegakan hukum bukan soal keberanian”, sebetulnya pendapat itu masih merujuk pada pikiran hukum di abadke-19 yang amat positivistik, legalistik, dan dogmatis. Kita sudah hidup di abad ke-21, bahkan ke-20 saja sudah terjadi perubahan-perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang 83
A.C. Germann, Frank D. Day, dan Robert R.J.Gallati, Introduction To Law Enforcement And Criminal Justice, Illinois, Charles C. Thomas Pulisher, 1981, hlm 22.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 96 -
lebih luas dan kontekstual. Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang sempit dan dicerahkan oleh tujuan-tujuanhukum yang lebih luas. Sudah sejak dekade-dekade awal abad ke-20 muncul aliran hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kita sudah dicerahkan oleh pemikiran hukum yanglebih luas dan kontekstual seperti dilakukan oleh sociological jurisprudence dan behavioral jurisprudence. Sebelum kita bergerak lebih jauh dalam penegakan hukum dalam hal ini penegakan hukum keimigrasian agar dapat sesuai dengan pemikiran yuridis normatif dan keilmuan serta kondisi realitas (nyata) di lapangan. Maka penulis akan berusaha untuk memaparkan terlebih dahulu kasus yang berkaitan dengan penegakan hukum keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara asing, yakni Elena Aleksandrarovia Leskova (EAL) yang berkewarganegaraan Rusia dan XU JIAWEI (XJ) yang berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Pada diri Elena Aleksandrarovia Leskova yang di mana dalam analisis ini akan disebut EAL (untuk memudahkan penyebutan inisial) di dalam proses pro justisia yang dilakukan oleh pihak Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat (di mana pihak Imigrasi dalam hal Kantor Imigrasi mengenakan EAL pada tindak pidana keimigrasian), pada Berita Acara Tersangka yang dilakukan pada Senin tanggal 13 November 2006, memperlihatkan EAL; yang bertempat tanggal lahir di Khabarovsk Rusia 24 Juli 1980; dengan Nomor Paspor 0737428 yang dikeluarkan negara Rusia; dan berdomisili di Apartemen Mandala Jakarta Barat; sebagaimana berikut ini: a. Dijelaskan EAL diperiksa sehubungan dengan dugaan izin keimigrasiannya habis masa berlaku dan masih berada di Indonesia melampui 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin keimigrasian yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. 84 b. Dalam EAL datang dan tinggal di Indonesia mengunakan visa wisata 16 (enam belas) hari pada tanggal 25 Agustus 2005; dan masa berlaku izin tinggal EAL
84
Republik Indonesia, Pasal 52 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian: “Orang asing yang izin keimigrasiannya habis berlaku dan masih berada dalam wilayah Indonesia melampaui 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin yang diberikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau didenda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).”
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 97 -
semesti habis berlaku sampai dengan 9 September 2005; hingga tanggal 12 November 2006 yang bersangkutan EAL tidak pernah memperpanjang izin tinggalnya kembali pada pihak keimigrasian; meskipun di dalam paspor yang bersangkutan terdapat Exit Permit Only dengan Nomor: 2K19M0780-E tertanggal 26 Mei 2006 tapi tidak dipergunakan yang bersangkutan untuk keluar dari wilayah Indonesia. c. Dalam proses pengawasan keimigrasian yang bersangkutan ditangkap oleh pihak Kantor Imigrasi Klas I Jakarta Barat, yang bersangkutan ditangkap dan dilakukan proses pemeriksaan dalam berita acara pemeriksaan (pro justisia) atas tindak pidana keimigrasian. d. Dalam Berita Acara Pemeriksaan tersebut, yang bersangkutan EAL tetap pada keterangan apa yang diberikan dan menyetujui Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa. Dalam penegakan hukum keimigrasian ini juga dilakukan pemeriksaan terhadap 3 (tiga) orang saksi yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan EAL dalam keterangan saksi (bukti) tersebut telah melanggar Pasal 52 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Ketiga orang saksi, yaitu: 1) Ferdy Sumanto, yang membenarkan adanya tindak pidana keimigrasian dalam Berita Acara Pemeriksaan pada hari Senin tanggal 20 November 2006; 2) Erry Saderi Djajamandala, yang membenarkan adanya tindak pidana keimigrasian dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 20 November 2006; dan 3) Chandra Hernawan, yang membenarkan adanya tindak pidana keimigrasian dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 20 November 2006. Selanjutnya dalam Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 460/PEN/PID/2007/PN.JKT.BAR pada tanggal 21 Februari 2007, yang menetapkan persetujuan kepada penyidik: Kepala Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat mengenai penyitaan paspor Kebangsaan Rusia Nomor: 0737428 atas nama ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA berdasarkan Berita Acara Penyitaan tanggal 14 November 2006. Dalam proses pro justisia selanjutnya dilakukan pengiriman berkas perkara dalam Sampul Berkas Perkara Nomor: W7.Fb.IL.02.01-2.7066 tanggal 27 November 2006 dan Surat Pengiriman Berkas
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 98 -
Perkara Tersangka ELENA ALEKSANDROVNA dengan Nomor: W7.Fb.IL.02.012.7116 tanggal 09 Maret 2007 oleh Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat pada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat dengan diketahui Polres Metro Jakarta Barat pada Satuan Reserse dan Kriminal selaku Koordinator dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Jakarta Barat, di mana agar dilakukan proses penuntutan oleh pihak kejaksaan pada yang bersangkutan EAL pada sidang peradilan dalam hal ini tindak pidana keimigrasian. Pada tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh XU JIAWEI, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan pada hari Rabu, tanggal 15 November 2006, memperlihatkan Xu JIAWEI; yang memiliki Nomor Paspor: G18432902; tempat dan tanggal lahir Liaoning 24 Juli 1979; dengan alamat Apartemen Pesona Bahari Mangga Dua; diperiksa sehubungan dengan keberadaannya kembali di
wilayah
Indonesia secara tidak sah karena pernah diusir atau dideportasi dan namanya masuk dalam daftar penangkalan sejak tanggal 24 Juli 2006 sampai dengan tanggal 24 Juli 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; dapat dilihat sebagaimana berikut ini: 85 a. Adanya Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F-773.IL.01.03 Tahun 2006 tentang Penangkalan Bersifat Keimigrasian atas nama XU JIAWEI yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 2006 yang berlaku selama 1 (satu) tahun dan Surat Pemberitahuan Penangkalan atas nama XU JIAWEI Cs untuk seluruh Kepala Kantor Imigrasi di Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Imigrasi pada tanggal 24 Juli 2006. Pada saat itu juga telah dikeluarkan Keputusan Kepala Kantor Imigrasi Klas I Jakarta Barat Nomor: W7-FB.IL.02.012818 Tahun 2006 yang menetapkan tindakan keimigrasian Kepala Kantor Imigrasi Klas I Jakarta Barat pada XU JIAWEI.
85
Republik Indonesia, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian: “Orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau yang pernah diusir atau dideportasi dan berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah, dipidana dengan pidana penjara pling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)”.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 99 -
b. Adanya pengakuan dari yang bersangkutan telah dilakukan penolakan izin masuk oleh Petugas Imigrasi Soekarno Hatta dengan Cap Penolakan Nomor: 146/DD?VIII/2006 pada tanggal 26 Agustus 2006 dan telah dilakukan pengantian Paspor oleh yang bersangkutan dengan Paspor Lama Nomor: G04866712 pada Paspor Baru Nomor: G18432902. c. Dalam Berita Acara Pemeriksaan tersebut yang bersangkutan tetap pada keterangan dan jawabannya dan menyetujui Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat. Dalam penegakan hukum keimigrasian ini juga dilakukan pemeriksaan terhadap 3 (tiga) orang saksi yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan XJ dalam keterangan saksi (bukti) tersebut telah melanggar Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Ketiga orang saksi, yaitu: 1) Andrianus Tonny Budijaya, yang membenarkan adanya tindak pidana keimigrasian dalam Berita Acara Pemeriksaan pada hari Senin tanggal 22 November 2006; 2) Ferdi Sumanto, yang membenarkan adanya tindak pidana keimigrasian dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 22 November 2006; dan 3) Untung Budiman, yang membenarkan adanya tindak pidana keimigrasian dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 22 November 2006. Selanjutnya telah dilakukan Berita Acara Penyegelan Barang Bukti pada hari Rabu tanggal 15 November 2006 dan Berita Acara Penyitaan terhadap Barang Bukti pada Rabu tanggal 15 November 2006 dengan Surat Perintah Penyitaan Nomor: W7.Fb.IL.02.01.2.5963 pada Rabu 15 November 2006. Adanya, Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 3133/PEN/PID/2007/PN.JKT.BAR pada tanggal 27 November 2006, yang menetapkan persetujuan kepada penyidik: Kepala Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat mengenai penyitaan paspor Kebangsaan RCC Nomor: CJ4468088 atas nama XU JIAWEI yang dikeluarkan tanggal 16 November 2006. Dalam proses pro justisia selanjutnya dilakukan pengiriman berkas perkara dalam Sampul Berkas Perkara Nomor: W7.Fb.IL.02.01-2.7234 tanggal 30 November 2006 dan Surat Pengiriman Berkas Perkara Tersangka XU JIAWEI dengan Nomor: W7.Fb.IL.02.01-2.7116 tanggal 09 Maret 2007 oleh Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat pada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat dengan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 100 -
diketahui Polres Metro Jakarta Barat pada Satuan Reserse dan Kriminal selaku Koordinator dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Jakarta Barat, di mana agar dilakukan proses penuntutan oleh pihak kejaksaan pada yang bersangkutan XJ pada sidang peradilan dalam hal ini tindak pidana keimigrasian. Secara umum, dapat dilihat ternyata pilihan penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini penegakan hukum ke arah proses justisia ternyata tidaklah menjadi pilihan bagi pihak imigrasi, dalam perkembangannya ternyata pihak imigrasi lebih banyak menjadikan tindakan keimigrasian sebagai pilihan dalam penegakan hukum keimigrasian, banyak kendala-kendala yang dipaparkan oleh pihak imigrasi dalam hal ini lebih memilih tindakan keimigrasian dibandingkan dengan pro justisia (proses peradilan). Sifat efesiensi dan efektifitas yang lebih cepat apabila dilakukan dengan tindakan keimigrasian dibandingkan menggunakan tindakan pro justisia, minimnya sumber daya manusia dalam proses penyidikan tindak pidana keimigrasian dalam hal ini sumber daya manusia Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian, minimnya literatur dan tata administrasi penyidikan dalam proses pro justisia sehingga menyebabkan titik lemah dalam referensi hukum dan peraturan perundang-undangan dalam hal ini hukum pidana dan hukum acara pidana, kompleksitas kegiatan dalam hal ini pelayanan dan pengawasan serta pemberian fasilitas keimigrasian (izin masuk dan izin tinggal) menyebabkan kegiatan pro justisia tidak menjadi pilihan dan sering sekali diabaikan, belum adanya kebijakan yang strategis dan garis-garis komitmen yang jelas dan tegas dalam penegakan hukum keimigrasian, minimnya sarana dan prasarana dalam pilihan pro justisia, kurangnya koordinasi dan komitmen bersama oleh para penegak hukum (dalam hal ini pihak-pihak yang terkait dalam sistem peradilan pidana), dan masih banyak hal lainnya yang menyebabkan pro justisia (proses peradilan) tidaklah menjadi pilihan bagi pihak imigrasi. Penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini tindak pidana keimigrasian sudah cukup jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Selain itu tindak pidana keimigrasian tidaklah dilakukan oleh warga negara asing saja namun juga melibatkan atau dilakukan dengan jelas oleh warga negara Indonesia sendiri (hal ini sedikit ataupun banyak) akan sangat berpengaruh
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 101 -
terhadap penegakan hukum keimigrasian. Dalam Bab VII Ketentuan Pidana UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992, jelas diuraikan bahwa pelaku tindak pidana keimigrasian tidaklah hanya dilakukan oleh warga negara asing namun juga disebutkan di sana “setiap orang” yang jelas menunjukkan warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana keimigrasian dapat dijerat dalam ketentuan pidana keimigrasian. Di dalam perkembangannya juga banyak ditemukan bahwa tindak pidana keimigrasian tidaklah dilakukan oleh warga negara asing saja namun juga melibatkan warga negara Indonesia, dan hingga sampai saat ini penegakan hukum di bidang keimigrasian pada warga negara Indonesia masihlah sangat minim. Apabila kita melihat penegakan hukum keimigrasian pada 2 (dua) kasus yang melibatkan warga negara asing tersebut dapatlah diuraikan bagaimana proses penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini sesuai dengan pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Sebelum bergerak lebih jauh dapatlah kita lihat bahwa dalam proses pro justisia (proses peradilan) di bidang keimigrasian dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS dalam hal ini PPNS Imigrasi. Di dalam proses penegakan hukum terdapat 2 (dua) kegiatan yang harus dilakukan oleh penegak hukum, yaitu: proses penyelidikan dan penyidikan. Di mana, dalam Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapatlah dijelaskan: Pasal 1 angka 1, pengertian tentang Penyidik: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 1 angka 2, pengertian Penyidikan: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 102 -
Pasal 1 angka 3, pengertian Penyidik Pembantu: Penyidik Pembantu adalah pejabat kepolisisan negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 angka 4, pengertian Penyelidik: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Pasal 1 angka 5, pengertian Penyelidikan: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Selain itu dalam penegakan hukum keimigrasian yang harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berkaitan dengan 2 (dua) kasus di atas dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 1 ayat (14), (15), (19), (20), (21), (24), (25), (26), (27) Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapatlah dijelaskan:
Pasal 1 angka 14, dijelaskan pengertian Tersangka: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatan dan keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 1 angka 15, dijelaskan pengertian Terdakwa: Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Pasal 1 angka 16, dijelaskan pengertian Penyitaan: Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 103 -
Pasal 1 angka 19, dijelaskan pengertian Tertangkap tangan: Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak: ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Pasal 1 angka 20, dijelaskan pengertian Penangkapan: Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 angka 21, dijelaskan pengertian Penahanan: Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 angka (24), dijelaskan pengertian Laporan: Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Pasal 1 angka (26), dijelaskan Saksi: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Pasal 1 aangka (27), dijelaskan Keterangan Saksi: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Penyelidikan
merupakan
tindakan
tahap
pertama
permulaan
dalam
penyidikan, sehingga penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 104 -
dari fungsi penyidikan. Maka sebelum dilakukan tindakan penyidikan dilakukan terlebih
dahulu
penyelidikan
oleh
pejabat
penyelidikan
dengan
maksud
mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakuakn penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan “tindakan pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, sebelum ada KUHAP dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dipergunakan perkataan opsporning atau orderzoek dalam peristilahan Inggris disebut investigation, namun pada masa HIR pengertian pengusutan atau penyidikan selalu dipergunakan secara kacau, di mana tidak adanya kejelasan fungsi pengusutan (opspornig) dengan penyidikan, sehingga sering menimbulkan ketidaktegasan antara penyelidikan dan penyidikan . Dalam perkembangannya penegasan pengertian ini sangat berguna untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum, di mana dengan penegasan dan pembedaan antar penyelidikan dan penyidikan: a. Adanya tahapan untuk menghindari cara-cara penegak hukum yang tergesagesa seperti banyak dijumpai pada masa lalu (banyak aparat penegak hukum menganggap sepele nasib orang yang diperiksa. b. Adanya tahapan penyidikan untuk menguranggi yang lebih bersifat manusiawi dalam melakukan penegakan hukum. Apabila dapat dilihat dengan seksama, di mana motivasi dan tujuan penyelidikan merupakan tuntutan dan tanggung jawab pada aparat penegak hukum untuk mengindari tindakan penegakan hukum merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam proses penyelidikan sebelum melangkah pada tindakan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan haruslah terlebih dahulu dilakukan terlebih dahulu upaya mengumpulkan fakta dan bukti sebagai landasan tindakan selanjutnya dalam proses penyidikan. Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi penyidik untuk bertindak hati-hati sebab apabila kurang hatihati melakukan penyelidikan akan berakibat fatal, di mana pada tingkat penyidikan yang akan menyeret tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan ke muka sidang “Praperadilan”. Sebagaimana yang digariskan di dalam KUHAP,
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 105 -
memberikan hak kepada tersangka ataupun terdakwa untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang berlawanan dengan hukum. Hal inilah yang mendorong pemikiran, di mana sangatlah beralasan untuk tidak melanjutkan penyelidikan ke tingkat penyidikan, apabila fakta dan bukti belum memadai yang dimiliki oleh pihak penyidik. Langkah yang baik, apabila dilakukan penghentian atau masih tetap dibatasi pada usaha mencari dan menemukan kelengkapan fakta, keterangan dan barang bukti agar memadai untuk melanjutkan penyidikan. Sikap yang digambarkan dengan penyelidikan dapat menjurus ke arah yang merugikan ketertiban dan kepentingan masyarakat, apabila syarat dan pembatasan tersebut terlampaui sempit diartikan oleh aparat penyidik. Posisi sikap yang terlampaui hati-hati, berarti membiarkan para pelaku tindak pidana dan penjahat berkeliaran sesuka hati, namun tidaklah sikap seperti ini yang dikehendaki dalam pembatasan dan persyaratan penyelidikan. Apakah yang dikehendaki dalam proses penyelidikan adalah ketertiban haruslah terus ditegakkan dan dijamin, namun posisi sebaliknya dalam menegakkan ketertiban itu haruslah diperlihatkan tindakan pada sasaran yang tepat baik dari sisi hukum, pelaku, hak asasi manusia dan dari sudut hukum pembuktian (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pihak yang berwenang dalam melakukan penyelidikan sebagaimana di atur dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatas adalah polisi Negara Republik Indonesia, di mana penyelidikan adalah “monopoli” tunggal Polri, di mana kemanggulan fungsi dan wewenang penyelidikan ini bertujuan untuk: i) menyederhanakan dan memberian kepastian hukum kepada masyarakat tentang siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan; ii) menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum sehingga tidak lain terjadi tumpah tindih seperti yang dialami pada masa HIR; iii) efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan apabila ditangani oleh beberapa instansi, dari sisi orang yang diselidiki tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan, dalam segi waktu dan tenaga akan jauh lebih efektif dan efisien. Fungsi dan wewenang penyelidik dapat
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 106 -
dilihat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana fungsi dan wewenang berdasarkan hukum aparat penyelidik adalah: a) menerima laporan atau pengaduan, b) mncari keterangan dan barang bukti, c) menyuruh berhenti orang yang dicurigai, d) tindakan lain menurut hukum. Dalam hal kewenangan
berdasar
perintah
penyidik,
penyelidik
dapat
melakukan:
a)
penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan; b) pemeriksaan dan penyitaan surat; c) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d) membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. Langkah selanjutnya adalah kewajiban dalam prosespenyelidikan, di mana penyelidik mempunyai kewajiban membuat dan menyampaikan laporan (laporan tertulis). Proses penyelidikan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, memiliki kharakteristik yang sama dengan karakteristik kegiatan pengawasan keimigrasian pada orang asing dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, di uraikan: Pasal 40, dijelaskan bentuk dan cara Pengawasan orang asing: Pengawasan orang asing dilaksanakan dalam bentuk dan cara: a. Pengumpulan dan pengolahan data orang asing yang masuk atau keluar wilayah Indonesia; b. Pendaftaran orang asing yang berada di wilayah Indonesia; c. Pemantauan, pengumpulan, dan pengolahan bahan keterangan dan informasi mengenai kegiatan orang asing; d. Penyusunan daftar nama-nama orang asing yang tidak dikehendaki masuk atau keluar wilayah Indonesia; dan e. Kegiatan lainnya. Pasal 41, dijelaskan Pelaksanaan Pengawasan orang asing: Pelaksanaan pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dilakukan Menteri dengan koordinasi bersama Badan dan Instansi Pemerintah yang terkait.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 107 -
Kondisi dan langkah pengawasan orang asing ini dilakukan untuk menjamin kemanfaatan dan melindungi berbagai kepentingan nasional yang melahirkan prinsip: tata pengawasan, tata pelayanan atas masuk dan keluar orang ke dan dari wilayah Indonesia sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Langkah pengawasan terhadap orang asing, dalam hal ini pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip yan bersifat selektif politik (seletive policy). Di mana prinsip ini didasarkan, hanya orang-orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa, dan Negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan baik terhadap rakyat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang diizinkan untuk masuk atau keluar wilayah Indonesia. Aspek pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian ini tidaklah terlepas dari sifat Indonesia yang berpulau-pulau, mempunyai jarak yang dekat bahkan berbatasan dengan beberapa negara tetangga. Di mana pada tempat-tempat tersebutlah terdapat lalu lintas tradisional masuk dan keluar baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing negara tetangga. Hal inilah yang mendorong untuk meningkatkan pelayanan dan memudahkan pengawasan orang asing dan warga negara Indonesia dapat diatur perjanjian lintas batas dan diusahakan perluasan tempat-tempat pemeriksaan imigrasi, untuk menghindari masuk atau keluar wilayah Indonesia di luar tempat pemeriksaan imigrasi. Dalam rangka menunjang tetap terpeliharanya stabilitas dan kepentingan nasional, kedaulatan negara, keamanan, dan ketertiban umum, dan kewaspadaan terhadap segala dampak negatif yang timbul akibat perlintasan orang antar negara, keberadaan, dan kegiatan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia inilah yang menjadikan landasan dasar dilakukannya pengawasan terhadap orang asing dan tindakan keimigrasian (penegakan hukum di bidang keimigrasian di luar pro justisia (peradilan) dengan cepat, teliti dan terkoordinasi, tanpa mengabaikan keterbukaan dalam memberikan pelayanan terhadap orang asing terkait. Apabila kita dapat lihat kembali pada
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 108 -
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dalam:
Pasal 40, Huruf c mengenai Pemantauan: Yang dimaksud dengan pemantauan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui secara dini setiap peristiwa yang diduga mengandung unsurunsur pelanggaran keimigrasian. Pasal 41, mengenai Koordinasi: Yang dimaksud dengan koordinasi bersama Badan atau Instansi Pemerintah yang terkait, adalah bahwa pada dasarnya pengawasan orang asing menjadi tanggung jawab Menteri c.q Pejabat Imigrasi . Mekanisme pelaksanaannya harus dilakukan dengan mengadakan koordinasi dengan Badan atau Instansi Pemerintah yang bidang tugasnya menyangkut orang asing. Badan atau instansi tersebut, antara lain Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan Keamanan, Departemen Tenaga Kerja, Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Intelijen Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia. Koordinasi pengawasan orang asing dilakukan secara terpadu, terutama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal yang berkaitan dengan pendaftaran orang asing dan kewajiban bagi orang asing yang telah memperoleh izin tinggal untuk melapor pada Kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat tinggalnya atau tempat kediamannya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam rangka penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini terhadap warga negara asing dalam hal ini penegakan hukum keimigrasian yang berupa tindakan keimigrasian (di luar pro justisia) memerlukan koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Secara karakteristik proses dan kegiatan, kegiatan penyelidikan memiliki karakteristik proses dan kegiatan yang sama dengan proses dan kegiatan pengawasan keimigrasian di dalam penegakan hukum di bidang keimigrasian. Apabila kita melihat kasus pro justisia di atas, dapat dilihat adanya tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh Xu Jiawei (RRC) dalam hal kembali masuk ke wilayah Indonesia meskipun nama yang bersangkutan masuk ke dalam daftar penangkalan. Sebelum bergerak lebih jauh, secara yuridis normatif pengaturan pencegahan dan penangkalan di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 109 -
Keimigrasian, diatur dalam Pasal 1 ayat (12) dan (13) Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, di mana:
Pasal 1 ayat (12), dijelaskan pengertian Pencegahan: Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Pasal 1 ayat (13), dijelaskan pengertian Penangkalan: Penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
Dalam hal ini orang asing dikarenakan alasan-alasan tertentu seperti sikap bermusuhan terhadap rakyat dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk sementara waktu dapat dilakukan penangkalan masuk ke wilayah Indonesia. Sebagaimana prinsip “selective policy” yang mengatur secara selektif izin tinggal bagi orang asing sesuai dengan maksud dan tujuannya berada di Indonesia. Berkaitan denga warga negara Indonesia berlaku prinsip bahwa setiap warga negara Indonesia berhak masuk tau keluar wilayah Indonesia, namun demikian hakhak tersebut tidaklah merupakan sesuatu yang tidak dapat dibatasi, dikarenakan untuk alasan-alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu warga negara Indonesia dapat dicegah keluar dari wilayah Indonesia dan dapat ditangkal masuk ke wilayah Indonesia. Namun, dikarenakan penangkalan pada dasarnya ditujukan pada orang asing, maka penangkalan terhadap warga negara Indonesia hanya dikenakan dalam keadaan yang sangat khusus, dimana penangkalan terhadap warga negara Indonesia hanya dikenakan terhadap mereka yang telah meninggalkan Indonesia, atau tinggal menetap atau telah menjadi penduduk negara lain dan melakukan tindakan atau sikap bermusuhan terhadap Negara atau Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penangkalan terhadap warga negara Indonesia dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa dengan masuknya
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 110 -
mereka ke wilayah Indonesia akan dapat menimbulkan ancaman terhadap diri atau keluarganya. Mengingat pencegahan dan penangkalan berhubungan dengan hak seseorang untuk melakukan perjalanan (berpergian) maka keputusan pencegahan dan penangkalan haruslah mencerminkan dan mengingat prinsip-prinsip negara yang berdasarkan atas hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kembali,
pada
permasalahan proses pro justisia (penegakan hukum keimigrasian), dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan penyidikan, dalam hal ini penyidikan yang dilakukan oleh pejabat pegawai negeri “tertentu” (PPNS Imigrasi) yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penydikan , titik penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta menemukan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Perbedaan proses dan kegiatan penyelidikan dan penyidikan di dalam penegakan hukum menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ini, dapat dilihat: a. Dari sisi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota” Polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenang berada di bawah pengawasan penyidik. b. Wewenangnya memiliki keterbatasan, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana (berdasarkan perintah penyidik dapat melakukan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengaturan Penyidik Pegawai Negari Sipil (PPNS) imigrasi diatur dalam Pasal 47 ayat (1), (2), dan (3) Bab VII Penyidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, hal ini terkait erat dengan ketentuan pidana yang ada di dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dalam
penegakan hukum keimigrasian haruslah tetap mengacu pada koridor hukum yang
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 111 -
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana yang dijelaskan:
Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah: 1) pejabat polisi negara Republik Indonesia; 2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 6 ayat (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagai dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pasal 7 ayat (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk untuk didegardan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 7 ayat (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penydik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) an ayat (2) , penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Selanjutnya dapatlah kita
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 112 -
lihat kedudukan dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan: a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil kedudukannya berkoordinasi dengan penyidik Polri dan dalam pengawasan penyidik Polri. b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. (Pasal 107 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). c. PPNS tertentu harus melaporkan pada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, apabila dalam penyidikan itu oleh PPNS ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya pada penuntut umum (pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). d. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum dimana penyerahan dilakukan PPNS melalui penyidik Politik (Pasal 107 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Salah satu hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan oleh PPNS untuk menyuruh dilakukannya penyempurnaaan dan apakah penyidik Polri dapat melakukan sendiri penyempurnaan hasil penyidikan PPNS, tentunya dapat dilakukan di mana penyidik Polri dapat meneliti hasil penyidikan PPNS. Koordinasi dan pengawasan perlu dilakukan untuk menghindari pengembalian berkas oleh penuntut umum (Pasal 110 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). e. Apabila PPNS melakukan menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan pada penyidik Polri, pengertian penyidikan itu harus dilaporkan. Pada pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya PPNS cukup memberitahukan atau melaporkannya pada penyidik Polri, tidak perlu harus dilakukan oleh penuntut umum, maka penyidik Polri yang harus menyampaikannya pada penuntut umum. Berbeda dengan penghentian penyidikan, selain harus diberitahukan oleh PPNS pada penyidik Polri namun juga harus disampaikan pada penuntut umum.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 113 -
Secara garis besar mengenai pemberian kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, landasan pokok kewenangan, dan fungsi kewenangan dapat dilihat dalam 3 (tiga) tabel mengenai Kedudukan PPNS Dalam Penyidikan di bawah ini:
Skema Pertama: Kedudukan PPNS Dalam Penyidikan
Kewenangan Penyidikan Kepada PPNS
Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 mengenai PPNS Ekonomi; Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 3 Tahun 1989 mengenai PPNS Tindak Pidana Telekomunikasi; Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 mengenai PPNS Tindak Pidana Merek; Undang-Undang Paten Nomor 6 Tahun 1989 mengenai PPNS Tindak Pidana Paten; Undnag-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 mengenai PPNS Tindak Pidana Pasar Modal; dan lain-lain.
Landasan Pokok Kewenangan PPNS
Fungsi Dan Kewenangan PPNS
Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP : PPNS tertentu oleh Undang-Undang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan.
Pada prinsipnya Fungsi dan Kewenangan PPNS sama dengan Penyidik Polri: 1) Melakukan upaya Paksa berupa: pengkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. 2) Membuat BAP sesuai dengan Ketentuan Pasal 75 yang meliputi pembuatan BAP atas semua tindakan: BAP pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemasukan rumah, pemeriksaan saksim pemeriksaan tempat kejadian (TKP), pelaksanaan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), BAP pelaksanaan lain sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Pasal 7 ayat (2) KUHAP: Batas kewenangan sesuai dengan lingkup yang diberikan Undang-Undang yang menjadi dasar pelaksanaan tugas PNS yang bersangkutan diluar itu tidak berwenang melakukan penyidikan.
(Kewenangan PPNS terbatas pada LEX SPECIALIS)
Skema Kedua: Kedudukan PPNS Dalam Penyidikan
Hubungan Fungsi dan Kedudukan PPNS dengan Penyidik Polri
Perbedaan Pendapat Antara Menkeh dan Kapolri
Pendirian Mahkamah Agung
Landasan hubungan merujuk pada ketentuan: 1) Pasal 7 ayat (2) KUHAP: tidak bersifat sub ordinat dan bersifat koordinasi (PPNS dibawah koordinasi penyidik Polri). 2) Pasal 107 KUHAP: PPNS berada di bawah pengawasan penyidik Polri dalam sistem; i) penyidik Polri memberi petunjuk kepada PPNS (Pasal 107 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), ii) PPNS melaporkan penyidikan kepada penyidik Polri (Pasal 107
Berdasarkan Surat Menteri Kehakiman kepada Menteri Keuangan tanggal 15 Juli 1986 Nomor MPW.07.3.762, yang berpendapat: Pemberitahuan penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan PPNS langsung kepada penuntut umum dan pada penyidik Polri cukup (tembusan). Pendirian Kapolri sesuai dengan surat yang disampaikan kepada KAMARI tanggal 29 September 1986 Nomor Polisi B/4753/X?86, dimana: i) pelaksanaan penyidikan PPNS mutlak berada di bawah koordinasi Polri, ii) PPNS harus memberitahu dimulainya
Pendirian Mahkamah Agung ditegaskan dalam Fatwa tanggal 7 April 1990 Nomor KMA/114/IV/1990: Setelah selesai melakukan penyidikan, PPNS harus menyerahkan secara nyata hasil penyidikan kepada penyidik Polri. Selanjutnya, penyidik Polri harus menyerahkan hasil penyidikan atau berkas perkara kepada penuntut umum. Maka PPNS tidak boleh langsung kepada penuntut umum, harus lebih dahulu disampaikan kepada Polri, penyidik Polri yang menyampaikan pada penuntut umum, dan penuntut umum melimpahkan pada pengadilan.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 114 -
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), iii) PPNS menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
penyidikan kepada penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), iii) penyampaian hasil penyidikan PPNS kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Skema Ketiga: Pendapat Dan Pendirian Mahkamah Agung Mengenai Aparat Penyidik Dalam Perairan Indonesia Dituangkan dalam SEMA Nomor: 3/1990 Tanggal 16 April 1990
Landasan Yuridis 1)
2)
3)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985: Perikanan Di Perairan Indonesia; Pasal 1 ayat (1), aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan di perairan Indonesia merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983: tentang ZEE Indonesia; Pasal 14 ayat (1), aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan di ZEE adalah perwira TNI AL yang ditunjuk Pangab. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1960: tentang perairan Indonesia, Pasal 1 ayat (1), yang disebut perairan Indonesia: laut wilayah Indonesia dan perairan pedalaman Indonesia.
Rumusan Semua UndangUndang Jelas Rumusan semua Pasal Undang-Undang yang jadi landasan yuridis tentang aparat penyidik di Perairan Indonesai: a. Clear Outline atau Plain Meaning = jelas makna pengarisannya, b. Oleh karena itu: tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut, baik berupa Pelenturan, Perluasan (extend) atau Pengembangan (to anlarge), c. Dengan demikian: ketentuan yang mengatur aparat Penydidik TNI AL dianggap Eksepsional atas Pasal 6 KUHAP.
Kesimpulan Pendapat Mahkamah Agung a.
b. c.
Perwira TNI AL yang berwenang penuh melakukan penyidikan atas pelanggaran ketentuan UndangUndang Nomor 9 Tahun 1985 yang terjadi di Laut Wilayah Indonesia; Kewenangan itu meliputi Perairan Pedalaman Indonesia; Kewenangan itu dilakukan berdasar Mandat Undang-Undang (mandatory statute) secara Eksepsional atas ketentuan Pasal 6 KUHAP.
Skema 1, skema 2 dan skema 3 memperlihatkan bahwa Penyidikan Penyidik Polri tetap menghormati ketentuan pidana ataupun penyidikan yang dilakukan Penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ataupun Penyidik TNI AL selama penyidikan yang dilakukan untuk penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang yang mengaturnya (Lex Specialis). Namun di dalam proses masuk ke dalam sistem peradilan tindak pidana dalam hal ini penegakan hukum (pro justisia) tetap adanya koridor yang mengatur dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 115 -
Hukum Acara Pidana, di mana penyidik Polri lah yang melakukan pengajuan penyerahan berkas kepada penuntut umum untuk dimajukan (penuntutan) ke depan sidang pengadilan dalam hal ini sidang pengadilan terhadap pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tersebut. Hal ini dapat juga dilihat dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian pada Penjelasan Pasal demi Pasal pada Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, di mana diuraikan sebagaimana berikut ini:
Pasal 47 ayat (1), dijelaskan: Tindak pidana keimigrasian dalam undang-undang ini merupakan tindak pidana umum.
Pasal 47 ayat (2), dijelaskan: Pemberian wewenang kepada Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil dalam ayat in, sama sekali tidak mengurangi wewenang Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk menyidik tindak pidana keimigrasian. Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pemberian petunjuk dan bantuan tersebut, antara lain meliputi hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan taktik penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan labolatorium. Oleh karena itu, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sejak awal harus memberitahukan tentang penyidikan yang sedang dilakukan kepada Penyidik Penjabat Polisi Negara Republik Indonesia. Setelah itu, hasil penyidikan berupa berkas perkara, tersangka dan barang bukti disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara, untuk kepentingan penuntut umum. Pelaksanaan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, terutama ketentuan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, yaitu antara lain Pasal 32, 33, 34, 35, 36, 37 dan Pasal 107. Selain itu hal tersebut. wewenang Penyidik Pejabat Pegawai Negeri untuk menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ayat ini termasuk menerima pengaduan tentang tindak pidana keimigrasian. Khusus mengenai wewenang menangkap dan menahan tersebut dalam huruf b ayat ini hanya digunakan dalam hal-hal yang sangat perlu.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 116 -
Sebelum bergerak lebih jauh, dapatlah terlebih dahulu dilihat penguraian pasal-pasal yang menjelaskan tugas dan wewenang Penyidik Pengawai Negeri Sipil yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penguraian pasal-pasal yang menjelaskan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ini penting untuk memperjelas tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam lingkup keimigrasian yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penegakan hukum di bidang keimigrasian. Pasal-pasal yang mengatur tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut, sebagaimana diuraikan berikut ini:
Pasal 32 Bagian Ketiga tentang pengeledahan: Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan pengeledahan rumah atau pengeledahan pakaian atau pengeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 33, dijelaskan tata cara atau prosedur pengeledahan: 1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan pengeledahan rumah yang diperlukan. 2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. 3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. 4) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau mengeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau pengghuni rumah yang bersangkutan.
Pasal 34, dijelaskan dijelaskan kembali tata cara atau prosedur pengeledahan: 1. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 117 -
dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan pengeledahan: a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. di tempat tindak pidana melakukan atau terdapat bekasnya; d. di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. 2. Dalam hal penyidik melakukan pengeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Pasal 35, dijelaskan dalam hal tertangkap tangan: Kecuali tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki: a. ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permustawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, atau Dewan Perwakilan Daerah; b. tempat di mana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan; c. ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan. Pasal 36, dijelaskan pengeledahan di luar daerah hukum: Dalam hal penyidik harus melakukan pengeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka pengeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana pengeledahan itu dilakukan. Pasal 37, waktu penangkapan: 1. Pada waktu menangkap tersangka, penyidik harusnya hanya berwenang mengeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. 2. Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud atau dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang mengeledah pakaian dan atau mengeledah badan tersangka.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 118 -
Pasal 107, tindak lanjut laporan dan pengaduan: 1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. 2. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) haruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada pasal 6 ayat 91)huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a. 3. Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a. Berkaitan dengan penegakan hukum terhadap ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA
yang
berkewarganegaraan
Rusia
dan
XU
JIAWEI
yang
berkewarganegaraan RRC telah menunjukkan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sehingga penegakan hukum pro justisia (proses peradilan) telah berjalan dalam sistem peradilan pidana dengan disetujuinya tindakan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang keimigrasian yang menghadirkan pelaku pelanggaran atau tindak pidana keimigrasian ke muka sidang pengadilan tindak pidana umum dengan proses penyidikan diarahkan oleh penyidik Polri dan dilakukan penuntutan oleh penuntut umum, hal ini dapat di lihat pada vonis pengadilan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat kepada kedua warga negara asing tersebut. Secara umum penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini seperti yang disampaikan di atas, masih tidaklah menjadi pilihan utama oleh jajaran imigrasi baik yang berada di pusat Direktorat Jenderal Imigrasi dan pada jajaran imigrasi di daerah pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dan pada Kantor Imigrasi. Pada Direktorat Jenderal Imigrasi dalam hal ini Direktorat Penindakan Keimigrasian tidak memperlihatkan upaya penegakan hukum yang maksimal dalam hal ini penegakan hukum pro justisia atau proses peradilan, penegakan hukum yang dilakukan oleh Direktorat Penindakan Keimigrasian hanya dilakukan dalam tindakan keimigrasian yang secara langsung hanya berpengaruh pada warga negara asing tidak
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 119 -
berkaitan langsung terhadap warga negara Indonesia, meskipun dalam kapasitas ketentuan pengaturan yuridis normatif banyak tindak pidana keimigrasian baik yang kasat mata ataupun tidak kasat mata juga dilakukan oleh warga negara Indonesia, seperti bertindak sebagai sponsor fiktif (sebagai penjamin masuk, kedatangan dan tinggal serta aktivitas warga negara asing di wilayah Indonesia), memberikan perlindungan, menyembunyikan, memberi pemondokan, memberikan pekerjaan, pada warga negara asing yang melakukan tindak pidana keimigrasian (pernah dideportasi dan masuk kembali, berada di wilayah Indonesia dengan tidak sah, dan izin keimigrasiannya habis berlaku). Selain itu warga negara Indonesia juga dapat terlibat dalam pengunaan Surat Perjalanan Republik Indonesia yang dipalsukan, pernah dicabut dan dibatalkan, memberikan data yang tidak benar dalam memperoleh Surat Perjalanan Republik Indonesia, memiliki dan mengunakan Surat Perjalanan Republik Indonesia lebih dari satu (ganda).
Tabel V.1 Rekapitulasi Pelanggaran Keimigrasian Dari Seluruh UPT di Indonesia Periode Januari 2008
No.
1.
Warga negara asing
61 orang
Warga Negara Indonesia
-
Jenis pelanggaran/tindak pidana keimigrasian
Tindakan keimigrasian
Keterangan
Pasal 24, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 50, Pasal 52
Detensi dan Pendeportasian
Dimasukkan dalam rumah detensi guna menunggu pendeportasian kembali ke negara asal dan namanya dimasukkan ke dalam daftar cekal (cegah dan tangkal).
Sumber: Direktorat Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 120 -
Tabel.V.2 Rekapitulasi Pelanggaran Keimigrasian Dari Seluruh UPT di Indonesia Periode Februari 2008
No.
1.
Warga negara asing
147 orang
Warga Negara Indonesia
-
Jenis pelanggaran/tindak pidana keimigrasian
Tindakan keimigrasian
Keterangan
Pasal 24, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 Pasal 50, Pasal 52
Detensi dan Pendeportasian
Dimasukkan dalam rumah detensi guna menunggu pendeportasian kembali ke negara asal dan namanya dimasukkan ke dalam daftar cekal (cegah dan tangkal).
Sumber: Direktorat Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi
Tabel.V.3 Rekapitulasi Penegakan Hukum Keimigrasian Tindakan pro justisia Dari Seluruh UPT di Indonesia
No.
1.
2.
Warga negara asing
Warga Negara Indonesia
Jenis pelanggaran/tindak pidana keimigrasian
Tindakan keimigrasian
Keterangan
Bensen Josephus Wilhemus warga negara Belanda
-
Pasal 52 dan Pasal 53 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian
Berkas perkara telah P 21 (diterima dan diajukan ke sidang peradilan), Surat Kejati DKI Jakarta Nomor: 1509/0.1.4/Epp.2/03/2008 Tersangka telah diserahkan ke Kejati DKI melalui korwas PPNS tanggal 2 April 2008
Tersangka dimasukkan dalam penahanan di Rumah Detensi Keimigrasian sambil menunggu proses peradilan pidana
Abdul Nizam Bin Abdul Shukor warga negara Malaysia
Pasal 52 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Berkas perkara telah selesai dan dikirim ke Kejaksaan Tinggi DKI melalui korwas PPNS Polda Metro Jaya dan sekitarnya (belum P. 21)
Tersangka dimasukkan dalam penahanan di Rumah Detensi Keimigrasian sambil menunggu proses peradilan pidana
Berkas
Tersangka dimasukkan dalam penahanan di Rumah Detensi Keimigrasian
3.
perkara
telah
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 121 -
Othman Bin Muhammad Harias warga negara Malaysia
Pasal 52 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Sumber: Direktorat Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi
selesai dan dikirim ke Kejaksaan Tinggi DKI melalui korwas PPNS Polda Metro Jaya dan sekitarnya (belum P.21)
sambil menunggu proses peradilan pidana
Tabel.V.4 Rekapitulasi Pelanggaran Keimigrasian Pada Subdirektorat Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi
No.
Warga negara asing
1.
Mustapa Toumi berkewarganegaraan Aljazair
2.
Mohammad Qaisar
Warga Negara Indonesia yang
-
Jenis pelanggaran/tindak pidana keimigrasian Pasal 52 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian
Pasal 52 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
3.
Richard Bassey kewarganegaraan Nigeria
Pasal 52 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Tindakan keimigrasian
Keterangan
Penyusunan berkas perkara untuk diajukan pro justisia
Tersangka dimasukkan dalam penahanan di Rumah Detensi Keimigrasian sambil menunggu proses peradilan pidana
Penyusunan berkas perkara untuk diajukan pro justisia
Penyusunan berkas perkara untuk diajukan pro justisia
Tersangka dimasukkan dalam penahanan di Rumah Detensi Keimigrasian sambil menunggu proses peradilan pidana Tersangka dimasukkan dalam penahanan di Rumah Detensi Keimigrasian sambil menunggu proses peradilan pidana
Sumber: Direktorat Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi
Dari beberapa tabel pemaparan di atas memperlihatkan penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini penegakan hukum keimigrasian yang bersifat pro justisia tidaklah menjadi pilihan bagi jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi. Penegakan hukum
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 122 -
keimigrasian juga hanya lebih dititikberatkan pada pelanggaran atau tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara asing namun tidak pada warga negara Indonesia. Hal ini merupakan sebuah realitas keadaan penegakan hukum keimigrasian di Indonesia di mana penegakan hukum yang dilakukan lebih banyak dilakukan dengan tindakan administratif keimigrasian, yang salah satu tindakan administratif keimigrasian yang dilakukan berupa tindakan pendeportasian dan penempatan yang bersangkutan pada Rumah Detensi Imigrasi untuk menunggu kesiapan dan proses pengusiran yang bersangkutan untuk kembali ke negara asal. Penegakan hukum keimigrasian dengan mengunakan pendeportasian merupakan pilihan bagi setiap jajaran imigrasi saat ini, hal ini tentunya menjadi pertanyaan besar bagi jajaran imigrasi, di mana tidak semua tindak pidana keimigrasian yang terjadi semuanya dilakukan oleh warga negara asing namun juga melibatkan warga negara Indonesia. Apabila dibandingkan secara umum, dengan tingkat mobilitas dan tingkat warga negara asing yang tinggal dan beraktivitas di Indonesia saat ini tentunya tidak sebanding dengan tingkat kejahatan yang harus ditegakkan oleh jajaran imigrasi baik yang berada di pusat maupun di daerah. Apalagi penegakan hukum terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana keimigrasian tersebut tidak secara langsung ataupun tidak langsung juga melibatkan warga negara Indonesia. Penegakan hukum yang dilakukan oleh jajaran imigrasi masih bersifat diskriminatif dalam hal ini masih memberikan penekanan pada tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara asing di Indonesia, namun penegakan hukum pada tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara Indonesia baik yang dilakukan secara perorangan (individual) ataupun kelompok tidak pernah menjadi skala prioritas penegakan hukum oleh jajaran imigrasi. Penegakan hukum yang dilakukan pada warga negara asing juga hanyalah sebatas pada penegakan hukum yang berupa tindakan adminitratif keimigrasian, penempatan pada Rumah Detensi Imigrasi dan proses pendeportasian. Penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini penegakan hukum pada ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahaun 1992 tentang Keimigrasian dan apabila masuk dalam proses penegakan hukum keimigrasian dalam hal ini ketentuan yang diatur dalam Undang-
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 123 -
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidaklah menjadikannya pilihan utama dalam penegakan hukum keimigrasian, inilah yang menjadikan eksistensi hukum keimigrasian baik secara subtansi, sumber daya penegakan hukum dan budaya masyarakat pada ketaat hukum keimigrasian menjadi tidak terwujud secara nyata dan ideal.
B.
Sistem Peradilan Pidana Pada Hukum Keimigrasian
Dalam perkembangannya kasus tindak pidana keimigrasian yang melibatkan ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA yang berkewarganegaraan Rusia dan XU JIAWEI yang berkewarganegaraan RRC telah diputuskan vonis pengadilan dalam hal ini vonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat, di mana: Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada ELENA ALEKSANROVNA LESKOVA, sebagaimana berikut ini: 1. Berdasarkan Putusan Nomor: 352/PID/2007/PT.DKI tertanggal 30 Juli 2007, menyatakan Terdakwa ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA telah terbukti secara sah menyakinkan bersalah melakukan pidana”orang asing yang izin keimigrasiannya habis masa berlaku dan masih berada di wilayah Indonesia melampaui 60 (enam puluh) haridari batas waktu izin yang diberikan (over stay)”. 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana selama 6 (enam) bulan 15 (lima belas) hari. 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurang seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan. 5. Memerintahkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah paspor Rusia dengan Nomor: 0737428, dikembalikan kepada Kepala Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat. 6. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah).
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 124 -
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga diuraikan, dengan: 1. Adanya Akte Permintaan Banding Nomor: 1363/Pid.B/2007/PN.JKT.BAR tanggal 6 Agustus 2007, di mana pihak Penuntut Umum mengajukan permintaan banding atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap Putusan Pengadilan
Negeri
Jakarta
Barat
Nomor:
1363/Pid.B/2007/PN.JKT.BAR
tertanggal 30 Juli 2007. 2. Permintaan banding yang dilakukan oleh Penuntut Umum, telah ajukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk diajukan pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pihak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah mempertimbangkan untuk mengambil alih pertimbangan Hakim Tingkat Pertama tersebut untuk diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding.
Sedangkan pada XU JIAWEI, telah diberikan Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sebagaimana berikut ini: 1. Berdasarkan Putusan Nomor: 824/PID/2007/PN. JKT.BRT tertanggal 30 juli 2007, menyatakan Terdakwa XU JIAWEI telah terbukti secara sah menyakinkan bersalah melakukan pidana berada di wilayah Indonesia secara tidak sah dan pernah dideportasi dan berada kembali di wilayah Indonesia secar tidak sah. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa XU JIAWEI dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). 3. Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan RUTAN. 5. Memerintahkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah pasor Kebangsaan RRC Nomor: G.18432902, dan 1 (satu) buah kartu kedatangan Nomor: 4468088 kepada Kepala Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Barat. 6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah).
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 125 -
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat ini merupakan sebuah langkah penegakan hukum keimigrasian dalam sebuah sistem peradilan tindak pidana, dalam hal ini sistem peradilan pada tindak pidana keimigrasian. Dalam hal ini dapat dilihat pengadilan pidana, keputusan pengadilan dalam tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang terdakwa warga negara asing tetaplah dalam koridor ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sama dengan ketentuan yang diatur oleh tindak pidana umum lainnya. Penegakan hukum di bidang keimigrasian haruslah mengikuti proses administrasi peradilan pidana yang berlaku dan berjalan pada penegakan hukum pada tindak pidana umum. ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA dan XU JIAWEI haruslah tunduk pada proses peradilan tindak pidana yang telah diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Seorang tersangka dalam tindak pidana umum, dalam hal ini tersangka dalam tindak pidana keimigrasian akan mengalami proses pemeriksaan oleh penyidik (penyidikan) oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau PPNS Imigrasi, setelah berkas pemeriksaan penyidikan telah siap melalui koordinator pengawasan PPNS atau penyidik Polri berkas tersebut diserahkan pada Penuntut Umum setelah berkas perkara tersebut diterima dan layak untuk dilakukan penuntutan pada sidang peradilan maka berkas akan diklasifikasikan sebagai berkas pemeriksaan yang siap dilakukan penuntutan di muka sidang peradilan (P. 21), namun apabila dalam perkembangannya telah dilakukan pemeriksaan ternyata terdapat beberapa perbaikan maka berkas pemeriksaan akan dikembalikan pada PPNS di bidang imigrasi (P.19) melalui penyidik Polri, setelah dilakukan berbagai langkah perbaikan terhadap berkas pemeriksaan maka berkas pemeriksaan tersebut dapat diajukan kembali pada Penuntut Umum untuk diajukan ke muka sidang peradilan. Setelah dilakukan sidang peradilan dengan berpedoman pada ketentuan yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Prosedur dan adminitrasi peradilan pidana pada tindak pidana keimigrasian akan mengikuti prosedur dan adminitrasi peradilan pada tindak pidana umum.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 126 -
Setelah dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan dan telah dilakukan penuntutan dalam berkas perkara dalam hal ini berkas perkara pada tindak pidana keimigrasian, mendengarkan pembelaan dari terdakawa, pemeriksaan saksisaksi, dan hal-hal lain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka terdakwa tindak pidana keimigrasian akan dijatuhkan dakwaan sesuai dengan keputusan Hakim pengadilan yang dijatuhkan dengan berbagai pertimbangan yang didapatkan oleh Hakim pengadilan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam sidang peradilan dalam hal ini sidang peradilan pidana di bidang tindak pidana keimigrasian. Sebagai sebuah peradilan pidana menuntut adanya mekanisme kerja pengadilan untuk menanggulangi kejahatan dengan mengunakan dasar pendekatan sistem peradilan tindak pidana keimigrasian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Remington dan Ohlin:
“Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara yang efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”. Hal ini memperlihatkan di dalam sebuah sistem peradilan pidana tidaklah murni sebagai sebuah interaksi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan semata namun juga harus melihat praktik administrasi yang terjadi di dalamnya dan sikap tingkah laku sosial yang muncul di dalam perjalanan atau berlangsungnya proses tersebut. Peraturan perundang-undangan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur proses dalam sistem peradilan pidana, selain itu diperlukan hal lainnya, seperti praktik administrasi peradilan pidana yang baik. Praktik administrasi peradilan pidana menuntut praktik administrasi peradilan baik dalam tingkat pemeriksaan perkara pidana (Undang-Undang Nomor 9 Tahun
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 127 -
1992 tentang Keimigrasian) oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang keimigrasian, praktik administrasi penyidik Polri, praktik administrasi Penuntut Umum (Kejaksaan), praktik administrasi peradilan (dari tingkatan Pengadilan Negari, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), hingga pada akhirnya proses eksekusi dan pertanggungjawaban keputusan dari pihak pengadilan oleh pihak Penuntut Umum pada praktik administrasi Lembaga Pemasyarakat dalam sebuah lingkup sistem peradilan pidana. Hal lain yang terkadang tidak pernah diperhatikan dengan seksama yang turut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi sistem peradilan pidana adalah sikap dan tingkah laku sosial yang muncul atau terjadi dalam sebuah proses peradilan tindak pidana. Sikap dan tingkah laku sosial ini terkait erat dengan sikap mental dan tingkah laku atau perbuatan dari aparat penegak hukum dalam satu lingkup sistem peradilan pidana, selain itu sikap mental dan tingkah laku sosial masyarakat turut menentukan implikasi dalam sebuah proses dalam interaksi pada sistem peradilan tindak pidana berjalan secara baik dan benar serta memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pengembalian nilai-nilai yang dilanggar atau hilang akibat perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Apabila penegakan hukum di bidang keimigrasian menjadi pilihan dalam penegakan hukum keimigrasian memerlukan tidak hanya peraturan perundangundangan yang mengatur tindak pidana keimigrasian itu saja, sebagai sebuah rujukan yuridis normatif untuk melaksanakan peradilan tindak pidana keimigrasian dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan perundang-undangan yang dilanggar atau dalam hal ini tindak pidana keimigrasian yang telah diperbuat oleh tersangka atau terdakwa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Praktik administrasi dalam peradilan tindak pidana dalam hal ini tindak pidana keimigrasian haruslah memberikan pengaturan ataupun proses administrasi yang jelas dan terpadu dalam memberikan kepastian hukum pada tersangka dan terdakwa dalam sebuah sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian. Proses administrasi yang baik dan benar serta terpadu tidaklah merupakan faktor utama dalam sebuah sistem peradilan pidana, namun tanpa proses administrasi yang benar
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 128 -
maka sistem peradilan yang dijalankan akan berjalan sia-sia di mana tersangka dan terdakwa mengalami berbagai dampak ketidakjelasan administrasi yang menunjang proses perkaranya di muka sidang pengadilan hingga pada saat tersangka atau terdakwa menjalankan vonis atau pidananya kelak. Dakwaan yang dijatuhkan pada ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC haruslah merupakan sebuah dakwaan pidana yang lahir atas sebuah sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian yang merupakan hasil interaksi antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dalam hal ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan proses administrasi peradilan pidana yang tepat, cepat dan terarah. Hal penting lain yang diperlukan untuk dihadirkan dalam sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian adalah sikap dan tingkah laku sosial dalam hal ini tidak saja menuntut sikap dan tingkah laku masyarakat di dalam sebuah sistem peradilan tindak pidana di bidang keimigrasian, namun keberadaan sikap dan tingkah laku tersebut haruslah dicerminkan pada pihakpihak yang berhubungan erat dalam sebuah sistem peradilan tindak pidana di bidang keimigrasian, yaitu: Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang keimigrasian, penyidik Polri, Penuntut Umum, Hakim di dalam Pengadilan Negeri, Tinggi, dan Mahkamah Agung, serta pihak Lembaga Pemasyarakat. Hal ini diperkuat oleh pemikiran Hagan, 86 yang membedakan, pengertian antara “criminal justice process” dan “criminal justice system”. Pada criminal justice process
merupakan setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan
seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana, sedangkan pada criminal justice system merupakan interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Hal ini sangatlah berkaitan dengan proses dan berjalannya sebuah peradilan tindak pidana dalam sebuah sistem peradilan pidana, untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan serta ketertiban seorang yang diajukan atas perbuatan pidana yang ia lakukan 86
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Abolisionisme, Bandung, Penerbit Binacipta, 1996, hlm. 14.
Perspektif
Eksistensialisme
dan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 129 -
haruslah mendapat 2 (dua) tahapan dan interkoneksi antara criminal justice process dan criminal justice system, seorang tersangka tidak mungkin maju ke dalam tahapan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya sebelum ia menjalani proses pemeriksaan oleh penyidik dalam proses penyidikan atau seseorang pelaku tindak pidana serta merta tanpa proses penyidikan dan penuntutan ke muka sidang pengadilan tiba-tiba langsung mendapatkan vonis atau dakwaan hukum dalam sebuah peradilan pidana. Apabila kondisi ini dapat bersama-sama kita lihat hampir sama dengan fenomena yang terjadi saat ini di mana penyidik tindak pidana bertindak sebagai Hakim yang dapat menentukan nasib dan vonis seseorang itu bersalah atau tidak bersalah sehingga terjadi tindakan pengelapan perkara atau penghentian perkara yang sebenarnya layak untuk dilakukan proses pengadilan, penuntut umum mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan) yang sebenarnya tersangka berhak untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum di muka pengadilan, dan banyak lagi realitas keadaan yang dapat menjadi cerminan hancurnya criminal justice process di dalam sebuah sistem peradilan di Indonesia. Seseorang yang inggin mendapatkan penentuan pidana yang ia lakukan haruslah menjalankan tahapantahapan yang dia jalani agar proses tersebut menghadirkan sikap check and ballance antar pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah sistem peradilan pidana. Pada criminal justice system, terdapat interkoneksi sebuah jembatan atau hubungan atau keterkaitan yang bersifat konsisten dalam setiap keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh komponen-komponen terkait dalam sebuah sistem peradilan tindak pidana. Berkaitan dengan Dakwaan yang dijatuhkan pada ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC tersebut, memperlihatkan sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian menghadirkan tahapan-tahapan (criminal justice process) dan interkoneksi (criminal justice system). Hal ini dapat dilihat pada kedua warga negara asing pelaku tindak pidana keimigrasian tersebut mengikuti setiap tahapan dalam sebuah sistem peradilan tindak pidana di bidang keimigrasian, di mana keduanya menjalani pemeriksaan penyidikan oleh PPNS di bidang keimigrasian, dengan koordinasi dan pengawasan oleh penyidik Polri, dan proses pengajuan penuntutan ke depan sidang pengadilan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 130 -
oleh penuntut umum, sidang pengadilan tindak pidana di bidang keimigrasian oleh Hakim dan penjatuhan vonis atau pidana, eksekusi pidana oleh jaksa dan menjalani proses pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk menjalankan sebuah sistemm peradilan pidana yang menghadirkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum mutlak dijalankan criminal justice process dan criminal justice system yang kedua-duanya dilaksanakan dengan keadaan yang seiring dan sejalan. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Mardjono, 87 sistem peradilan pidana adalah adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari badan-badan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut: a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah tegak dan yang bersalah dipidana; c) Mengusahakan agar masyarakat yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Hal ini memperlihatkan di mana sistem peradilan pidana yang dilakukan oleh pihak aparat penegak hukum yang dimulai dari proses penyidikan hingga proses pemasyarakatan yang dilaksanakan lembaga pemasyarakat memiliki tujuan yang bersifat preventif dan refresif dalam, untuk mencegah dan menanggulangi. Tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang secara langsung ataupun tidak langsung akan menyebabkan korban baik dalam korban dalam sisi materiil ataupun moril. Kondisi yang tidak seimbang dan tidak teratur seperti ini tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hukum haruslah ditegakkan dan masyarakat yang menjadi korban haruslah segera mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, serta masyarakat yang belum menjadi korban haruslah mendapatkan perlindungan guna mencegah kejahatan tersebut terulang kembali. Tindak pidana atau kejahatan yang terjadi bisa saja tidak dilakukan oleh orang yang sama namun kadangkala tindak pidana atau kejahatan yang terjadi dapat terulang dengan motif yang sama namun dengan pelaku yang berbeda dan dengan korban yang berbeda.
87
Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Pada Kejahatan Dan Penegakkan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Nesar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hlm. 1.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 131 -
Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum haruslah memberikan sebuah ruang akan tegaknya keadilan dan kepastian hukum dengan menyelesaikan kasus kejahatan atau tindak pidana yang terjadi sehingga pelaku yang melakukan tindak pidana atau kejahatan tersebut benar-benar merupakan pelaku dalam tindak pidana yang dilakukan olehnya serta pelaku tersebut dapat dipidana setimpal dengan tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan olehnya. Salah satu sisi yang menurut Penulis, sampai saat ini belum mendapatkan ruang yang menjadi penekanan maksimal dari aparat penegak hukum adalah poin yang ketiga, yaitu mencegah masyarakat yang pernah melakukannya tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah ia lakukan. Aparat penegak hukum, dimulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, hingga Lembaga Pemasyarakatan masih menekannya penegakan hukum yang dilakukan lebih pada mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan menyelesaikan kasus yang terjadi sehingga masyarakat mendapat keadilan dan kepastian hukum. Penekanan dari sistem peradilan tindak pidana yang mengusahakan agar masyarakat yang pernah melakukannya tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Sistem penegakan hukum yang terjadi sampai saat ini tidak memberikan ruang pencegahan dan penanganan agar masyarakat tidak mengulangi lagi perbuatannya. Berkaitan
dengan
Dakwaan
yang
dijatuhkan
pada
ELENA
ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC tersebut, memperlihatkan bahwa tujuan penegakan hukum dalam hal ini hukum pidana keimigrasian yang memiliki tujuan agar mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan yang telah dilakukan oleh keduanya. Pada persidangan terdakwa, ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA terbukti di dalam pengadilan telah melakukan tindak pidana keimigrasian dalam hal ini Pasal 52 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian: “Orang asing yang izin keimigrasiannya habis berlaku dan masih berada dalam wilayah Indonesia melampaui 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin yang diberikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)”.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 132 -
Secara garis besar tindak pidana yang dilakukan oleh ALEKSANDROVNA LESKOVA awalnya, datang dari Rusia ke wilayah Indonesia dengan menggunakan visa wisata dengan Paspor Rusia Nomor: 0737428 atas nama ELENA ALEKSANDROVNA yang dikeluarkan oleh Khabarovk, Rusia tertanggal 24 Mei 2004. Berdasarkan bukti, dalam hal ini paspor yang bersangkutan telah diberikan izin tinggal di wilayah Indonesia oleh Kedutaan Besar Indonesia di Khabarovsk selama 16 (enam belas) hari, yaitu: dari tanggal 25 Agustus 2005 sampai dengan tanggal 9 September 2005, namun yang bersangkuta setelah jangka waktu 16 (enam belas) hari, yang bersangkutan tidak memperpanjang izin tinggalnya atau setidak-tidaknya meninggalkan Indonesia melainkan yang bersangkutan tetap tinggal di wilayah Indonesia secara ilegal dalam hal ini yang bersangkutan telah tinggal dan beraktivitas di Indonesia dengan tanpa izin tinggal dalam hal yang bersangkutan telah melanggar Pasal 52 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Hal ini dapat diketahui sebagai sebuah tindak pidana keimigrasian, setelah pihak imigrasi dalam hal ini Kantor Imigrasi Klas I Jakarta Barat melakukan pengawasan keimigrasian (penyelidikan) pada beberapa tempat di wilayah hukum Jakarta Barat dan menemukan yang bersangkutan dan meminta yang bersangkutan menunjukkan identitas dan paspor yang bersangkutan sebagai bukti kewarganegaraan. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan dengan bukti permulaan yang cukup yang bersangkutan telah tinggal di wilayah Indonesia melampaui batas waktu tinggal 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin tinggal di Indonesia atau telah overstay selama 14 (empat belas) bulan. Proses selanjutnya setelah dilakukan pengawasan keimigrasian dan ternyata terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana keimigrasian Pasal 52 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992, maka dilakukanlah penegakan hukum di bidang keimigrasian dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian segera melakukan penyidikan dan berkoordinasi dengan penyidik Polri untuk mengajukan berkas perkara pada Penuntut Umum untuk diajukan ke muka sidang pengadilan, yang di mana setelah dijatuhkan vonis pengadilan atau pidana pada yang bersangkutan, pihak Kejaksaan akan melakukan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 133 -
eksekusi pidana pada yang bersangkutan untuk dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan guna menjalani proses pidana. Sistem peradilan pidana yang dialami oleh yang bersangkutan ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA juga mencegah agar masyarakat dalam hal ini diwakili oleh negara tidak menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan, dengan yang bersangkutan tinggal di wilayah Indonesia dengan ilegal dan tanpa izin tinggal akan mengakibatkan kerugian negara dalam hal ini yang bersangkutan dengan melawan hukum tidak membayar biaya izin tinggalnya di wilayah Indonesia, dana pembayaran yang semustinya menjadi pemasukan dana untuk negara dalam hal ini Pendapatan Negara Bukan Pajak tidak ada. Negara dan masyarakat akan menjadi korban dalam hal ini merugikan keuangan negara, secara perhitungan yang tidak kasat mata bagaimana warga negara asing yang melakukan di wilayah Indonesia hampir dari beberapa persentase jumlahnya melakukan tindak pidana yang sama seperti yang dilakukan oleh ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA tentunya negara dan masyarakat akan menjadi korban dalam hal ini dirugikan akan terus menerus meningkat, hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan prinsip pengembalian pada keteraturan dan ketentraman pada keadaan semula mutlak harus dilakukan dalam penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian. Hal lain yang perlu dicermati adalah kegiatan atau aktivitas yang bersangkutan di wilayah Indonesia secara langsung ataupun tidak langsung dapat diduga akan menimbulkan kerugian baik materiil atau moril atau korban pada negara dan masyarakat. Sikap memberikan efek jera (shock therapy) mutlak dilakukan dalam penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana pada yang bersangkutan, dan mencegah adanya tindak pidana lainnya yang dilakukan oleh warga negara asing yang tinggal dan beraktivitas di Indonesia. Penegakan hukum dalam hal ini penegakan hukum di bidang keimigrasian juga hendaknya memberikan keadilan dan kepastian hukum pada masyarakat, di mana masyarakat dalam hal ini warga negara asing dan warga negara Indonesia mendapatkan keadilan (tindak pidana keimigrasian yang terjadi di wilayah Indonesia tidak dibiarkan begitu saja untuk tidak dilakukan penegakan hukumnya) dan mendapat kepastian hukum (yang bersangkutan telah
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 134 -
menjalani criminal justice process dan criminal justice system). Adanya efek jera di mana masyarakat dalam hal ini yang bersangkutan, warga negara asing yang lain, dan warga negara Indonesia tidak ataupun perlu berpikir kembali untuk mengulangi tindak pidana keimigrasian di masa yang akan datang. Hal sama ditemukan pada XU JIAWEI warga negara RRC, telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana keimigrasian berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, di mana yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana keimigrasian Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian: “Orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau yang pernah diusir atau dideportasi dan berada di wilayah Indonesia secara tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).” Yang bersangkutan XU JIAWEI warga negara RRC menjalani sistem peradilan tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh penegakan hukum di dalam sistem pengendalian kejahatan dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Bertitik-tolak tujuan tersebut, Mardjono 88 mengemukakan 4 (empat) komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system, apabila keterpaduan dalam bekerjanya sistem tidak dilakukan, akan diperkirakan adanya 3 (tiga) kerugian, yaitu: a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama. b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana).
88
Di dalam tulisan lain Mardjono juga mengemukakan, yaitu dalam : Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994, hlm. 84-85, di mana sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, “menanggulangi” diartikan sebagai “mengendalikan” kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 135 -
c. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Kerja sama dalam membentuk integrated criminal justice system tidaklah mudah untuk dilakukan dalam sebuah sistem peradilan pidana, apabila keterpaduan dan kerja sama tidak dilakukan agar mendatangkan kerugian yang salah satunya yang diakibatkan kesulitan untuk melakukan intropeksi dan mengukur kemampuan dan keberhasilan pada diri sendiri pada Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan baik dalam criminal justice process ataupun criminal justice system. Di dalam sebuah proses penyidikan pihak penyidik Polri sudah seharusnya melakukan tindakan penyidikan yang tidak hanya baik dan benar dalam proses penyidikan semata namun juga memperhatikan aspek subtansi, isi ataupun bobot dalam kegiatan penyidikan yang dilakukannya. Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri sudah seharusnya tidak lagi hanya sekedar benar dan tepat secara materiil atau undang-undang semata, namun juga secara formil (proses pelaksanaan dan kegiatan) agar ketika sistem peradilan pidana bergerak dari penyidik Polri kepada penuntut umum tetap konsisten dan berkesinambungan. Setelah berkas perkara hasil dari sebuah proses penyidikan oleh penyidik Polri tersebut diterima oleh Kejaksaan, pihak Kejaksaan untuk segera memeriksa berkas hasil dari proses penyidikan apakah sudah layak, benar, dan sesuai dengan koridor hukum acara yang benar. Pihak Kejaksaan sebaiknya juga melakukan koreksi sendiri (internal) di dalam pihak Kejaksaan untuk mencegah berbagai kesalahan ataupun penyimpangan ketika berkas perkara tersebut akan dihadirkan dalam sidang peradilan. Pasal sidang pengadilan, Hakim pun hendaknya selalu melakukan intropeksi pada saat awal hingga vonis atau pidana dijatuhkan agar Hakim juga hendaknya tidak saja melihat ketentuan yuridis normatif yang ada namun senantiasa melihat hal-hal lain yang memperkuat adanya keadilan dan kepastian hukum pada sebuah sidang pengadilan. Pada saat proses sistem peradilan pidana bergerak pada Lembaga Pemasyarakatan hendaknya Lembaga Pemasyarakatan juga melakukan interopeksi
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 136 -
dan perbaikan terhadap internal di dalam Lembaga Pemasyarakat agar integrated criminal justice system dalam berjalan dengan tertib, teratur guna mencapai kepastian hukum dan keadilan pada korban kejahatan atau tindak pidana, tersangka atau terdakwa, masyarakat dan negara. Hal lain yang harus menjadikan pemikiran agar keterpaduan dalam bekerja sama dalam sistem peradilan sebagai sebuah tujuan adalah guna mencegah kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap intansi (sebagai sebuah sub sistem dari sistem peradilan pidana) dan kurang jelasnya pembagian tanggung jawab pada setiap instansi yang mengakibatkan efektivitas secara menyeluruh di dalam sebuah sistem peradilan pidana tidak terjadi. Terhadap pandangan munculnya tiga kerugian apabila keterpaduan pada 4 (empat) komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) atas sebuah integrated criminal justice system
tidak terjadi,
hendaknya kita dapat melihat pendapat yang diutarakan oleh Romli Atmasasmita, sebagaimana berikut ini: 89 “Pengertian sistem pengendalian dalam batasan tersebut di atas merupakan bahasa manajemen yang berarti mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan (mengekang). Dalam istilah tersebut terkandung aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sedangkan apabila sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement maka di dalamnya terkandung aspek hukum yang menitikberatkan kepada rasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum (certainty). Di lain pihak, apabila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan pada kegunaan (espediency). Dari pandangan ini dapat dilihat aspek manajemen juga diperlukan dalam upaya menanggulangi kejahatan, apabila kita berbicara dengan manajemen paling tidak secara umum ada 4 (empat) komponen di dalamnya, yaitu: Planning, Operating, Leading, and Controling: perencanaan, pelaksanaan, kepemimpinan, dan pengawasan mutlak dilakukan untuk mengendalikan, menguasai, atau melakukan pengekangan terhadap kejahatan. Dalam pelaksanaan manajemen pada upaya penanggulangan 89
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 15.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 137 -
kejahatan atau tindak pidana, aspek manajemen dalam dimulai dari proses atau kegiatan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik Polri, lalu dilanjutkan pada proses penuntutan oleh Kejaksaan di muka sidang pengadilan, proses pengadilan pada tindak pidana yang terjadi hingga proses pidana pada Lembaga Pemasyarakatan. Aspek manajemen dapat dilakukan secara internal (ke dalam) oleh setiap institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) dan secara keseluruhan dalam satu sistem peradilan pidana guna mewujudkan sebuah integrated criminal justice system. Apabila aspek manajemen secara internal dan eksternal (antar institusi penegakan hukum penegak hukum) diharapkan proses Planning, Operating, Leading, and Controling dalam sebuah sistem peradilan pidana akan terwujud dan menimbulkan efek jera dan mewujudkan keadilan dan kepastian hukum di dalam masyarakat. Merujuk pada pendapat Romli Atmasasmita kembali, di mana apabila sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum (law enforcement) maka di dalamnya mengandung aspek yang menitikberatkan kepada rasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya penanggulangan kejahatan dan memberikan kepastian hukum. Kejahatan ataupun tindak pidana yang terjadi dengan dilakukan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana haruslah dapat menemukan dan memidanakan pelaku kejahatan, melindungi dan memulihkan korban akibat perbuatan kejahatan dan tindak pidana, melindungi masyarakat lain agar terhindar dari perbuatan kejahatan atau tindak pidana pelaku atau menjadi korban kejahatan atau tindak pidana, menghindari pelaku mengulangi kejahatan atau tindak pidana lanjutan, menghindari motif atau pola kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tindak pidana digunakan oleh masyarakat lain yang menganggap adanya celah hukum di dalam undang-undang atau sistem peradilan pidana yang ada, dan memberikan atau mengembalikan keteraturan (ketertiban) di dalam masyarakat, memberikan kepastian hukum dan keadilan. Dalam aspek rasioanalisasi peraturan perundang-undangan di dalam menaggulangi kejahatan dan memberikan kepastian hukum, peraturan perundangundangan yang hanya merupakan hukum yang bersifat tertulis (law from the book)
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 138 -
haruslah dapat direalisasikan baik secara materiil ataupun formil. Institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Lembaga Pemasyarakat) merupakan institusi yang diatur, diberi kewenangan dan tanggung jawab oleh peraturan perundang-undangan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut terwujud dan hadir secara nyata. Peraturan perundang-undangan yang ada tidaklah hanya merupakan sebuah kerangka pemikiran yang bersifat ideal semata (das sein) namun haruslah menghadirkan realisasi melalui rasionalisasi peraturan perundangundangan yang ada menjadi kerangka perbuatan yang bersifat realistis (das sollen). Sistem penegakan hukum juga mengandung aspek sosial yang menitikberatkan pada kegunaan (espediency), maka institusi penegak hukum juga memiliki tujuan untuk menghadirkan kesejahteraan pada masyarakat, di mana penegakan hukum yang dilakukan institusi penegakan hukum melalui sistem peradilan mencegah kerugian ataupun penyelewengan dalam hal-hal yang bersifat materiil ataupun inmateriil di dalam masyarakat. Salah satu perumpamaan,
sistem penegakan hukum yang didasari pada
kegunaannya untuk menghadirkan kesejahteraan pada masyarakat, dapat kita lihat pada upaya penegakan hukum yang dilakukan meminimalisir kerugian ataupun penyimpangan pada pendapatan ataupun keuangan negara, apabila pendapatan atau keuangan negara yang semestinya digunakan untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat ternyata tidak digunakan. Sistem penegakan hukum memberikan perlindungan dan kepastian hukum guna mencegah dari berbagai kejahatan ataupun tindak pidana yang dilakukan pada pendapatan dan keuangan negara. Apabila pendapatan dan keuangan negara benar-benar dapat dilakukan secara maksimal dan menghadirkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud maka hukum dapat mencegah dampak sosial dari kejahatan ataupun tindak pidana yang terjadi. Negara Indonesia pernah mengalami peristiwa kerusuhan pada bulan Mei tahun 1998, di mana hukum menjadi hilang, kerusuhan sosial dan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) terjadi. Secara singkat: a) aspek manajemen digunakan untuk mengendalikan, menguasai, dan mengekang dalam penanggulangan kejahatan atau tindak pidana yang terjadi; b) aspek hukum yang menekankan pada
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 139 -
rasionalisasi peraturan perundang-undangan untuk menanggulangi kejahatan atau tindak pidana dan bertujuan mencapai kepastian hukum; c) aspek kegunaan untuk melaksanaan mencegah dampak sosial dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada vonis atau pidana yang dijatuhkan pada ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC tersebut, diharapkan penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian menekankan ketiga aspek tersebut di atas. Aspek manajemen dalam sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian, di mana penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana di bidang keimigrasian yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat mengendalikan, menguasai dan mengekang kejahatan atau tindak pidana di bidang keimigrasian yang terjadi. Jajaran imigrasi dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang keimigrasian dapat mengunakan aspek manajemen dalam melakukan proses penyidikan agar berkas perkara yang diajukan pada penuntut umum (Kejaksaan) dengan koordinasi penyidik Polri dapat berjalan dengan baik dan lancar serta terdapat konsistensi penanganan dalam penegakan hukum di bidang keimigrasian (UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian) dengan aturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Aspek manajemen yang dijalankan dengan mengunakan prinsip-prinsip manajemen Planning, Operating, Leading, dan Controling akan memberikan efisiensi dan efektifitas di dalam penegakan hukum di bidang keimigrasian. Pencapaian efisiensi dan efektifitas di dalam melakukan penegakan hukum di bidang keimigrasian melalui sistem peradilan pidana sangatlah diperlukan, hal ini disebabkan tugas dan fungsi keimigrasian tidaklah hanya berkaitan dengan penegakan hukum semata, namun juga berkaitan erat dengan pengawasan, pelayanan dan sebagai fasilitator pembangunan sehingga tugas dan fungsi yang sedemikian banyak dilakukan institusi imigrasi dapat berjalan secara menyeluruh dan simultan, dan tugas dan fungsi yang ada tersebut berkiatan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Aspek hukum, berhubungan erat dengan rasionalisasi peraturan perundangundangan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 140 -
dalam upaya menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi guna mencapai kepastian hukum, di mana kepastian hukum bagi korban, masyarakat, negara dan pada akhirnya pada pelaku kejahatan atau tindak pidana keimigrasian. Rasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian merupakan tugas dan fungsi dari seluruh jajaran keimigrasian, apabila penegakan hukum yang menjadi pilihan dalam hal ini pro justisia maka penegakan hukum dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Aspek kegunaan apabila kita melihat pada vonis yang diterima oleh ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC tersebut, menunjukkan adanya aspek kegunaan dalam hal ini dapat mencegah kerugian negara akibat perbuatan kedua warga negara asing tersebut, di mana kedua warga negara asing tersebut telah tinggal dan beraktivitas di wilayah Indonesia tanpa izin tinggal (ilegal), melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, tinggal melebihi batas waktu yang diizinkan yang pada akhirnya tidak menaati ketentuan untuk membayar izin tinggal dan membayar kepengurusan administrasi keimigrasian yang diatur dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Apabila kedua warga negara asing ini taat akan peraturan perundang-undangan maka Pendapatan Negara Bukan Pajak di bidang keimigrasian dapat tercapai sehingga hasil dari Pendapatan Negara Bukan Pajak di bidang keimgrasian tersebut dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pencegahan sosial (social defence) yang dapat dihasilkan dari penegakan hukum di bidang keimigrasian pada ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC tersebut adalah memberikan efek jera (shock therapy) pada warga negara asing lainnya yang berencana, melakukan, dan terus menerus melakukan perbuatan kejahatan dan tindak pidana di bidang keimigrasian. Sebagai sebuah perbandingan mengenai sistem peradilan pidana, dapatlah kita lihat pada sistem peradilan pidana Amerika Serikat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Walker yang mengemukakan paradigma dominan dalam sistem
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 141 -
peradilan pidana Amerika Serikat. Di mana perpektif sistem di dalam sistem peradilan Amerika Serikat adalah administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai kasus kriminal dari petugas yang berwenang dalam kerangka interelasi antar aparatur penegak hukum. Pendekatan sistem ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah membentuk upaya pembaharuan hukum pidana selama lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun di Amerika Serikat dengan upaya, antara lain: a. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan. b. Mengembangkan koordinasi berbagai komponen peradilan pidana. c. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum. Dari ketiga upaya inilah, diharapkan sistem peradilan pidana dapat berjalan secara baik dan optimal. Upaya efektivitas sistem penanggulangan kejahatan, memberikan arahan untuk melakukan proses penanggulangan kejahatan melalui sistem peradilan pidana haruslah dilakukan dengan secara efisien sehingga menghadirkan kecepatan, keteraturan dan ketepatan dalam upaya menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi. Upaya efektivitas dalam menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat ini mutlak diperlukan guna menciptakan kepastian hukum, keadilan dan keteraturan, yang tentunya di dalam mewujudkan efektivitas penanggulangan kejahatan ini tidaklah dapat dilakukan oleh satu instansi saja, namun memerlukan koordinasi berbagai komponen peradilan pidana, yaitu di mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Upaya efektivitas penanggulangan kejahatan dan koordinasi penegakan hukum ini, memerlukan adanya pengawasan dan pengendalian dalam pengunaan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum agar mencegah berbagai penyimpangan kekuasaan aparatur penegak hukum. Berkaitan dengan pengawasan dan pengendalian kekuasaan oleh aparatur penegak hukum hendaklah kitamerujuk pada Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. Di dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana terdapat pasal-pasal yang mengutamakan pengendalian
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 142 -
kejahatan (crime control model) yang mengutamakan efisiensi dalam pengendalian kejahatan oleh aparatur penegak hukum. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah mengaturnya, yang dapat diawali tahap ajudikasi pada kewenangan penyidik Polri dalam Pasal 102 hingga Pasal 136 pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; tahap penuntutan yang dilakukan Penuntut Umum yang diatur dalam Pasal 137 hingga Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; dan pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang diatur dalam Pasal 145 hingga Pasal 232 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah diatur hak-hak penegak hukum; dalam penangkapan telah diatur dalam Pasal 16 hingga 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hak untuk menahan Pasal 20 hingga Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; hak penggeledahan telah diatur dalam Pasal 32 hingga Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga telah diatur tentang hak-hak tersangka yaitu dalam Pasal 95 hingga Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu mengenai ganti kerugian dan rehabilitas, selain itu di dalam Bab VI Pasal 50 hingga Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mendapatkan hak untuk mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, hak untuk diajukan kepada Penuntut Umum, dan hak untuk perkaranya segera diajukanke pengadilan untuk diadili, hak untuk mempersiapkan pembelaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum atau hak untuk mendapatkan penasehat hukum, dan hak tersangka untuk menuntut ganti rugi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHP ini, di samping mengandung teori crime control model juga mengandung teori due process model. Dalam Bab I mengenai ketentuan Umum Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana perihal Pra
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 143 -
Peradilan, yaitu wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan. c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penegakan hukum di bidang keimigrasian melalui proses sistem peradilan pidana haruslah memeperhatikan apa-apa hak dan kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegak hukum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) imigrasi dalam melakukan proses penyidikan hingga pengajuan ke muka sidang pengadilan haruslah merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam penegakan hukum di bidang keimigrasian melalui sistem peradilan pidana, tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana keimigrasian memiliki hak yang sama sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berkaitan dengan ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC yang telah dijatuhkan vonis atau dakwaan sebagai pelaku tindak pidana keimigrasian Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian haruslah tetap juga memperhatikan hakhak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di dalam sebuah sistem peradilan pidana juga memerlukan terjalinnya sebuah jaringan (network) peradilan, sebagaimana menurut pendapat Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang mengunakan hukum materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksana pidana. 90 Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks
90
Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 16-17.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 144 -
sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa benaca berupa ketidakadilan. Di mana sistem peradilan pidana di Indonesia berlangsung melalaui 3 (tiga) komponen dasar sistem. Pertama, subtansi, merupakan hasil produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berlaku mengantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 Nomor 44), serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas sehari-harinya. Kedua, struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatn. Ketiga, kultur atau budaya, yaitu kultur merupakan penggerak atau bensin dari sistem peradilan pidana. Di dalam sistem peradilan pidana terdapat kontruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia yang di dalamnya terdapat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Lembaga Pemasyarakatan), tersangka atau terdakwa, penasehat hukum, dan korban, yang semuanya satu dengan yang lainnya berkaitan. Secara singkat dapat dilihat, pemeriksaan perkara pidana di Indonesia secara normatif (subtansi) menunjuk kepada peraturan induk yang termaktub dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), beserta aturan lain yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Di mana tahapan pemeriksaan dalam aturan tersebut, antara lain: a. Tahap Penyelidikan b. Tahap Penyidikan c. Tahap Penuntutan d. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan e. Upaya hukum biasa dan luar biasa f. Pelaksanaan putusan pengadilan Tahap pemeriksaan telah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pada prinsipnya memberikan kewenangan tertentu kepada lembaga atau institusi penegak hukum ( yang bersifat administratif dan birokratis) untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 145 -
tersangka dalam proses pemeriksaan. Pada kondisi ini, peradilan pidana memiliki kekuasaan luar biasa besar, di mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Persoalannya, sejauh mana tugas pemeriksaan perkara dilaksanakan seperti harapan banyak pihak ditujukan terhadap peradilan untuk mampu memberilan perlindungan terhadap masyarakat. Hal ini terkait erat dengan kecenderungan yang selama ini muncul, di mana selama ini peradilan pidana lebih bersifat
formil,
administratif
dan
birokratis
semata.
Kondisi
yang
lebih
mengutamakan formilitas, administratif dan birokratis merupakan konsekuensi dari semakin superioritasnya peradilan dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan fungsi administrasi peradilan untuk menanggulangi kejahatan. Sebaiknya kita kembali lagi pada pendapat yang disampaikan oleh sacipto Rahardjo, hal ini disebabkan oleh pengaruh kontinental. Dalam administrasi keadilan tampak lebih menonjol pendekatan administrasi daripada hukum, yaitu lebih memikirkan tentang efisiensi kerja lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses mengadili tersebut. Pendekatan administrasi tersebut beberapa dekade terakhir didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau rancangan sistem. Lebih jauh, terkait dengan administrasi keadilan sacipto Rahardjo mengemukakan: “Administrasi keadilan pidana keadaannya cukup berbeda. Salah satu ciri pembeda yang menonjol adalah, bahwa dalam administrasi ini badan-badan yang terlibat cukup banyak dan oleh karena itu benar-benar membutuhkan pengelolaan yang seksama. Badan-badan yang terlibat adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Masalah yang paling rumit adalah bagaimana kita mengorganisasikan badan-badan ke dalam satu kesatuan kerja, sedang masing-masing mempunyai wewenang dan tugas yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut mungkin belum berarti apa-apa, tetapi apabila diingat, bahwa semua badan itu mengurusi orang yang sama, yaitu tersangka, terdakwa atau terhukum, maka keadaannya bisa lain. Apabila misalnya masingmasing badan itu memegang teguh birokrasinya, maka efisiensi dari administrasinya dapat sangat menganggu”. Hal ini sangat terkait erat dengan vonis terhadap ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dan XU JIAWEI warga negara RRC, di mana terdakwa ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi. Terdakwa menempuh jalur banding ke Pengadilan Negeri DKI
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 146 -
Jakarta diakibatkan merasa dirugikan atas penahanan yang diterimanya pada saat proses pemeriksaan hingga sampai sidang pengadilan, di mana penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) imigrasi tidak menguranggi masa vonis atau dakwaan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sebagaimana penahanan-penahanan penegak hukum yang lainnya (di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur pengurangan masa tahanan terdakwa terhadap vonis atau dakwaan Hakim). Pada saat pemeriksaan EAL, PPNS imigrasi melakukan penahanan yang bersangkutan pada Rumah Detensi Imigrasi, dalam hal ini Rumah Detensi Imigrasi DKI Jakarta.
C.
Penegakan Hukum Keimigrasian Dengan Rumah Detensi Imigrasi
Pengajuan
banding
oleh
terdakwa
ELENA
ALEKSANDROVNA
LESKOVA warga negara Rusia terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Barat Nomor: 352/PID/2007/PT.DKI tanggal 1 November 2007 dibuat dalam Akte Permintaan Banding Nomor 1363/Pid.B/2007/PN.JKT.BAR 6 Agustus 2007. Terdakwa ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA merasa bahwa dakwaan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi dirinya, ia merasa masa penahanan dirinya oleh Kantor Imigrasi Jakarta Timur tidak otomatis menguranggi masa pidana dirinya sehingga yang terhitung sebagai pengurangan masa pidananya hanya pada saat dirinya ditahan oleh Penuntut Umum hingga Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Negeri DKI Jakarta: 1. Penuntut Umum sejak 24 April 2007 sampai dengan 13 Mei 2007. 2. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat sejak tanggal 3 Mei 2007 sampai dengan 1 Juni 2007. 3. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat 2 Juni 2007 sampai dengan 31Juli 2007.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 147 -
4. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sejak tanggal 6 Agustus 2007 sampai dengan 4 September 2007. 5. Perpanjangan penahanan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta sejak tanggal 5 September 2007 sampai dengan 3 November 2007. Sebelum kita bergerak jauh dalam menganalisis penegakan hukum keimigrasian dengan Rumah Detensi Imigrasi, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu hak dan kewenangan penahanan pada institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembahasan mengenai penahanan sangatlah penting untuk dilakukan pembahasan terlebih dikarenakan penahanan dalam sistem peradilan pidana tidaklah hanya merupakan kewenangan dari penyidik Polri saja namun juga menyangkut instansi penegak hukum lainnya, seperti apa yang telah dialami oleh terdakwa ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia dalam menghadapi penegakan hukum di bidang keimigrasian melalui peradilan. Pengertian penahanan, seperti yang penulis uraikan di atas, dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 21, dalam pasal ini menjelaskan semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan dan telah diseragamkannya istilah penahanan bagi seluruh intitusi penegak hukum. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi ketika HIR masih berlaku, di mana membedakan dan mencampur adukkan antara: a) penangkapan, b) penahanan sementara, dan c) tahanan sementara. Ketiga jenis penahanan ini, dalam istilah Belanda disebut dengan: de vardachte aan te houden yang tertuang dalam Pasal 60 ayat (1) HIR yang berarti “menangkap tersangka”, dalam proses penahanan sementara digunakan istilah voorlpige aan houding yang tertuang pada Pasal 62 ayat (1) HIR, serta dalam perintah penahanan digunakan istilah zijin gevangen houding bevelen. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana semua istilah tersebut telah disederhanakan sehingga tidak dijumpai lagi kekacauan dalam pengertian penangkapan dengan penahanan sementara atau tahanan sementara. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga tidak ada lagi kekacauan mengenai wewenang yang berhubungan dengan penahanan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 148 -
sementara dan tahanan sementara, yang dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah batas wewenang penahanan yang tegas, yakni penangkapan yang wewenangnya telah diberikan pada penyidik, dengan batas waktunya hanya 1 (hari) dan diwajibkan adanya surat tugas dan surat perintah penangkapan. Hal ini sangatlah berbeda dengan HIR yang memberikan wewenang penangkapan baik kepada Polri dan Jaksa dengan waktu 10 (sepuluh) hari dapat dilakukan penangkapan tanpa surat perintah, demikian juga halnya dalam penahanan. Secara sederhana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya dikenal istilah “penahanan” yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi penegak hukum dan masing-masing institusi penegak hukum memiliki batas waktu yang ditentukan secara “limitatif”. Pada Pasal 20 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana, dijelaskan tujuan penahanan: Pasal 20 ayat (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Pasal 20 ayat (2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Pasal 20 ayat (3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di penetapannya berwenang melakukan penahanan.
sidang
pengadilan
dengan
Mengenai tingkat kepentingan penyidikan, pada dasarnya ditentukan oleh adanya realitas diperlukannya pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara objektif, bergantung pada kebutuhan Penyidik untuk menyelesaikan fungsi pemeriksaan penyidikan yang tuntas dan sempurna sehingga penyidikan benar-benar dapat mencapai hasil pemeriksaan yang akan diteruskan kepada Penuntut Umum, yang dipergunakan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 149 -
sebagai dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Hal ini berarti apabila pemeriksaan penyidikan sudah cukup maka penahanan tidak diperlukan lagi, kecuali ada alasan lain untuk tetap menahan tersangka. Pada penetapan penahanan oleh Pengadilan dengan didasarkan pada kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dasar dilakukannya penahanan, meliputi: a) dasar hukum, b) keadaan, c) syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan penahanan. Di mana antara yang satu dengan yang lainnya saling terkait satu dengan yang lainnya, apabila dari salah satu unsur tersebut di atas tidak ada maka tindakan penahanan kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak dikualifikasikan sebagai tindakan yang tidak sah (ilegal). Misalnya, yang dapat terpenuhi hanya unsur landasan hukm atau yang sering disebut sebagai landasan objektif, apabila tidak didukung unsur keperluan atau yang sering disebut dengan unsur subjektif, yang tidak dikuatkan dengan unsur syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, penahanan yang dilakukan tanpa landasan objektif dan landasan subjektif akan memunculkan kesewenang-wenangan dan tidak menampilkan prinsip relevansi dan urgensi. Berdasarkan Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai dasar hukum atau unsur objektif, di mana tidak terhadap semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa. Baik secara “umum” maupun secara “terinci” terhadap kejahatan yang bagaimana pelakunya dapat dikenakan penahanan. Dasar unsur yuridis atau normatif penahanan dapat dilihat pada Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dijelaskan: Pasal 21 ayat (4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum pidana, pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordon-nantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), pasal 1, pasal
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 150 -
2 dan pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (UndangUndang Nomor 8 Drt Tahun 1955, Lembarab Negara Tahun 1955 Nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Hal ini memperlihatkan pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun ke atas yang diperkenankan dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Apabila ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal tindak pidana yang dilanggar di bawah 5 (lima) tahun, secara objektif (yuridis normatif) tersangka atau terdakwa tidak boleh dikenakan penahanan. Tindak pidana yang signifikan ancaman hukumannya lebih dari 5 (lima) tahun adalah kejahatan terhadap nyawa yang diatur mulai dari pasal 338 dan seterusnya dalam Bab XIX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di samping aturan umum yang disebutkan di atas, penahanan juga dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana yang disebutkan pada pasal KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, sekalipun ancaman hukumannya kurang dari 5 (lima) tahun. Hal ini didasarkan pada pertimbangan, pasal-pasal tindak pidana tersebut dianggap mempengaruhi kepentingan dan ketertiban masyarakat secara umum dan ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khususnya. Pengaturan alasan penahanan yang dilandasi unsur kekhawatiran, yang menitikberatkan pada keperluan penahanan dari sisi subjektivitas tersangka atau terdakwa dan sekaligus dari segi subjektivitas penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana: Pasal 21 ayat (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Seluruh keadaan yang “mengkhawatirkan” di sini, seperti: a) tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, b) merusak atau menghilangkan barang bukti, c) akan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 151 -
mengulangi tindak pidana, merupakan penilaian yang bersifat subjektif. Misalnya, tersangka diketahui membeli tiket ke luar negeri, tersangka memiliki paspor ganda, yang pada akhirnya secara langsung ataupun tidak langsung sangat terkait erat dengan penilai subjektif seseorang. Hal yang harus menjadi perhatian dalam penahanan haruslah memenuhi prinsip: a) tersangka atau terdakwa “di duga keras” sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan, b) dugaan yang keras itu didasarkan pada “bukti yang cukup”. Selain itu, syarat penahanan berbeda dengan syarat penangkapan dan syarat penahanan. Pada penangkapan haruslah didasarkan pada “bukti permulaan yang cukup” sedangkan pada penahanan didasarkan pada “bukti yang cukup”. Hal ini menunjukkan syarat bukti penahanan lebih tinggi kualitasnya dari pada penangkapan, dan berkaitan dengan syarat “bukti yang cukup” tidaklah sama dengan “bukti yang cukup’ di dalam sidang pengadilan, maka “bukti yang cukup” haruslah diproporsionalkan sesuai dengan taraf pemeriksaan. Di mana penyidikan dapat dianggap cukup bukti apabila telah ditemukan penyidik batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke muka pengadilan, sesuai dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana:
Pasal 184 ayat (1) dan ayat (2) 1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; 2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal ini sangatlah penting di dalam melakukan kegiatan penahanan terhadap tersangka ataupun terdakwa oleh institusi penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana, di mana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 981 tentang hukum Acara Pidana memiliki sistem pengawasan terutama pengawasan yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa, penasehat hukum tersangka atau terdakwa, dan keluarga tersangka arau terdakwa melalui Pra Peradilan yang berwenang untuk menentukan sah tidaknya
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 152 -
penahanan serta tuntutan ganti rugi apabila penahanan dinyatakan tidak sah oleh Pra Peradilan. Tata cara penahanan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), di mana: Pasal 21 ayat (2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan dan penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwa serta tempat ia ditahan. Pasal 21 ayat (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan pada keluarganya. Di dalam proses penahanan terdapat berbagai jenis penahanan yang di mana pada saat HIR, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tidak dikenal berbagai jenis penahanan. Pada waktu HIR dahulu, hanya diatur jenis penahanan berdasarkan instansi yang melakukannya, seperti tahanan polisi, tahanan jaksa, dan tahanan hakim. Namun di dalam UndangUndang nomor 8 Tahun 1981 telah diperkenalkan klasifikasi jenis penahanan. Klasifikasi penahanan diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana: Pasal 22 ayat (1) Jenis penahanan dapat berupa: a. penahanan rumah tahanan negara b. penahanan rumah c. penahanan kota. Pasal 22 ayat (2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 153 -
Pasal 22 ayat (3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajibakn bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. Pasal 22 ayat (4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 22 ayat (5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan. Salah satu permasalahan yang muncul ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diberlakukan berkaitan dengan pembangunan penyediaan Rumah Tahanan Negara yang memerlukan biaya pembangunan yang sangat besar. Maka untuk sementara, dalam upaya memenuhi penyediaan Rutan dalam waktu singkat, maka di dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana: Penjelasan Pasal 22 ayat (1) Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit, dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain. Pemerintah dalam hal ini, Departemen Kehakiman yang saat ini bernama Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, menyikapi tidak dapat berlanjutnya keadaan tersebut apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomo 27 Tahun 1983, yang semakin mendesak pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan, dikarenakan di dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 telah menertibkan, pada setiap kabupaten atau kotamadya dibentuk sebutan Rutan (Rumah Tahanan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 154 -
Negara). Pada prinsipnya, apabila dianggap perlu dapat didirikan cabang Rutan di luar ibu kota kabupaten, seperti pada suatu kecamatan tertentu. Hal ini ditempuh karena untuk mendirikan Rutan tidaklah dapat didirikan dalam waktu singkat sedangkan kebutuhan akan Rutan tidaklah dapat diabaikan. Pemerintah melalui Departemen Kehakiman mengambil langkah untuk mengalihkan beberapa Lembaga Pemasyarakatan yang ada menjadi Rutan, pada tanggal 16 Desember 1983 telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.04.UM.01.60 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu Sebagai Rutan, dalam Keputusan Menteri Kehakiman tersebut mempunyai Lampiran, yaitu: a. Lampiran I: berisi daftar Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rutan. b. Lampiran II: berupa daftar Lembaga Pemasyarakatan yang disamping dipergunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan, beberapa ruangannya ditetapkan sebagai Rutan. Dengan memperhatikan Lampiran I dan II Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, maka hampir terpenuhinya ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 27, yang mengharuskan adanya Rutan (Rumah Tahanan Negara) pada setiap ibu kota kabupaten. Hal ini diambil untuk memenuhi pengadaan Rutan yang representatif dalam waktu singkat dengan jalan mengalihkan beberapa Lembaga Pemasyarakatan. Mengenai pengaturan tentang siap saja yang dapat ditempatkan dalam Rutan dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo. Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04.UM.01.06 Tahun 1983: Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung; dan semua tahanan berada dan ditempatkan dalam Rutan tanpa kecuali, tetapi tempat tahanan dipisahkan berdasarkan: a) jenis kelamin, b) umur, dan c) tingkat pemeriksaan. Sebagaimana dalam penegasan Pasal 19 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 serta Pasal 1 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 155 -
yang dimaksud: Rutan adalah tempat tahanan tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan. Menurut Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, Rumah Tahanan Negara dipimpin oleh Kepala Rutan, yang mengatur tata tertib Rutan berdasarkan pedoman yang ditentukan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh Kepala Rutan, antara lain: 1. Mencatat penerimaan tahanan dalam buku register daftar tahanan berdasarkan tingkat pemeriksaan. Ini berarti dalam Rutan terdapat buku register tahanan penyidikan; penuntutan; dan pemeriksaan pengadilan. Di dalam buku register, tahanan didaftarkan sesuai dengan status tingkat pemeriksaan yang sedang dijalaninya. 2. Kepala Rutan tidak boleh menerima tahanan tanpa disertai surat penahanan yang sah. Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Kepala Rutan dilarang untuk menerima tahanan jika tidak disertai surat penahanan yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah secara yuridis bertanggung jawab atas penahana. Setiap Kepala Rutan menerima tahanan, lebih dahulu melakukan penelitian tentang: a) surat dasar penahanan b) mencocokkan identitas tahanan 3. Pengeledahan badan atau barang dilakukan menurut Pasa 3 ayat (2) dan (3) serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.
Penahanan Rumah, di mana penahanan dilakukan di rumah “tempat tinggal” atau “rumah kediaman” tersangka atau terdakwa. Selama tersangka atau terdakwa berada di dalam rumah, dia harus “diawasi”. Tujuan utama diadakan pengawasan adalah untuk menghindari terjadinya sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan. penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ke arah tujuan inilah pengawasan dilakukan; karena hal itu sifat pengawasan penahanan rumah merupakan daya upaya tindakan pengawasan untuk menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pun pemeriksaan di
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 156 -
sidang pengadilan. Pada penahanan kota, pelaksanaan penahanan kota dilakukan di kota tempat kediaman tersangka atau terdakwa. Pengertian kota dalam pasal tersebut meliputi pengertian “desa” atau “kampung” sebab apabila pengertian kota ditafsirkan secara sempit, pengaturan penahanan kota hanya berlaku untuk warga negara yang tinggal di kota saja. Pada penahanan kota, pengawasan yang dilakukan berbeda dengan pengawasan yang dilakukan pada penahanan rumah. Pengawasan tidak dilakukan secara langsung namun pada waktu-waktu tertentu tahanan kota melakukan pelaporan secara berkala hingga masa penahanannya berakhir. Berkaitan dengan terdakwa ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA warga negara Rusia yang mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta akibat penempatan yang bersangkutan pada Rumah Detensi Imigrasi dalam proses penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi tidak dapat menguranggi pidana yang bersangkutan. Hal ini merupakan dasar pemikiran yang sangat penting menurut penulis sebagai upaya perbaikan penegakan hukum keimigrasian di masa yang akan datang melalui pro justisia. Pengaturan Rumah Detensi Imigrasi dapat juga berfungsi sebagai cabang Rutan agar penahanan yang bersangkutan dapat mengurangi pidana tersangka atau terdakwa pada saat vonis atau dakwaan hakim di pengadilan. Selama ini pilihan penegakan hukum di bidang keimigrasian lebih difokuskan pada tindakan keimigrasian semata namun pilihan pada proses pengadilan tidak pernah menjadi pilihan jajaran imigrasi, salah satu penyebab pilihan ini oleh jajaran imigrasi menurut penulis secara langsung ataupun tidak langsung dipilih akibat rumitnya administrasi pemeriksaan, kurang efektifnya proses pemeriksaan penyidikan apabila tersangka atau terdakwa apabila dilakukan penahanan di tempat lain, efisiensi waktu, biaya, sarana dan prasarana apabila proses penahanan tersangka ditaruh atau dititipkan pada tempat lain, dan lain-lainnya. Menurut pendapat penulis sangatlah penting untuk dikaji oleh jajaran imigrasi untuk mengambil tindakan untuk menjadikan Rudenim, selain menjalankan fungsi Rudenim sebagai tempat menunggu bagi para pelaku pelanggaran keimigrasian untuk dipulangkan ke negara asal, Rudenim juga sebagai cabang Rutan untuk lebih menciptakan efisiensi dan efektifitas di dalam penegakan hukum di bidang
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 157 -
keimigrasian melalui proses pengadilan. sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03 tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Pengertian Rutan atau Rumah Tahanan Negara diatur dalam Pasal 1 Bab I Bagian Pertama mengenai kedudukan, tugas, dan klasifikasi Rumah Tahanan Negara Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.04-PR.07.03 tahun 1985 , di mana:
Pasal 1 ayat (1), dijelaskan: Rumah Tahanan Negara untuk selanjutnya dalam keputusan ini disebut Rutan adalah untuk pelaksanaan teknis di bidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Pengaturan tugas Rutan pada Pasal 2, dijelaskan: Rutan mempunyai tugas melaksanakan perawatan terhadap tersangka atau terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan fungsi Rutan pada Pasal 3, dijelaskan: Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada Pasal 2, Rutan mempunyai fungsi: a. melakukan pelayanan tahanan b. melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Rutan c. melakukan pengelolaan Rutan d. melakukan urusan tata usaha. Sedangkan pengaturan Cabang Rutan diatur pada Bab V mengenai Cabang Rutan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03 tahun 1985 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, di mana:
Pasal 22 , dijelaskan: Apabila dipandang perlu menteri Kehakiman dapat membentuk Cabang Rutan di dalam wilayah kecamatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Cabang Rutan dipimpin oleh seorang kepala.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 158 -
Pasal 23, dijelaskan: Cabang Rutan mempunyai tugas melakukan tugas dan fungsi Rutan di daerah hukum Cabang Rutan yang bersangkutan Pasal 24, dijelaskan: Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada Pasal 23, Cabang Rutan mempunyai fungsi: a. melakukan pelayanan tahanan dan pengelolaan Cabang Rutan b. melakukan pemeliharaan keamanan dan pengelolaan Cabang Rutan c. melakukan urusan tata usaha. Pasal 25, dijelaskan: Sususnan organisasi Cabang Rutan terdiri dari: a. Sub seksi pelayanan tahanan dan pengelolaan Cabang Rutan b. Petugas pengamanan Cabang Rutan. Pasal 26, dijelaskan: 1) Sub seksi pelayanan tahanan dan pengelolaan Cabang Rutan mempunyai tugas melakukan pengadministrasian dan perawatan mempersiapkan pemberian bantuan hukum dan penyuluhan, memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan serta mengurus keuangan, perlengkapan, rumah tinggal dan kepegawaian Cabang Rutan. 2) Petugas pengamanan Cabang Rutan mempunyai tugas memelihara keamanan dan ketertiban Cabang Rutan. 3) Petugas tata usaha mempunyai tugas melakukan surat menyurat dan kearsipan. Penempatan tersangka tindak pidana keimigrasian pada Rumah Detensi Imigrasi dalam proses penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang keimigrasian tentunya mempunyai berbagi tujuan, salah satunya adalah guna mempermudah proses pengawasan dan adanya efisiensi waktu pemeriksaan atau penyidikan dan efektifitas penegakan hukum keimigrasian. Hal terkait erat dengan keberadaan tersangka di Rumah Detensi Imigrasi haruslah tunduk pada aturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan hal tersebut menurut pendapat penulis haruslah dilakukan sebuah pemikiran yang strategis kedepan, bagaimana penempatan tersangka tindak pidana keimigrasian pada Rumah Detensi Imigrasi dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 159 -
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Urgensi penempatan
tersangka
tindak
pidana
keimigrasian
pada
kasus
ELENA
ALEKSANDROVNA LESKOVA didasarkan pertimbangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi memiliki hak dan kewenangan yang sama dengan penyidik Polri. Sebagai perbandingan, pada kasus tindak pidana bea dan cukai pihak Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai melakukan penahanan pada tersangka pada Rumah Tahanan Negara, hal ini setidaknya dikarenakan pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak mempunyai sarana dan prasarana untuk melakukan penahanan. Hal ini berbeda dengan pihak Direktorat Jenderal Imigrasi yang memiliki Rumah Detensi Imigrasi yang dapat digunakan sebagai sarana penempatan baik tahanan yang akan dilakukan tindakan keimigrasian dan tahanan tersangka tindak pidana keimigrasian. Apabila Rumah Detensi Imigrasi dapat dijadikan Cabang Rumah Tahanan Negara (Rutan), setidaknya dengan dikeluarkannya Keputusan
Menteri
untuk membentuk Rumah Detensi Imigrasi selain berfungsi sebagai Rumah Detensi Imigrasi juga berfungsi sebagai Cabang Rumah Tahanan Negara maka diharapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat dilaksanakan dengan optimal. Selain itu, penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian dapat memberikan tujuan hukum yang menghadirkan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum. Apabila kita melihat kembali, pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tetang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 91 Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum huruf 2, dijelaskan: Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan.
91
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Indonesia Tahun 1999 Nomor 68.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 160 -
Pada Pasal 2 ayat (1) Bab II Syarat Kepangkatan dan Pengangkatan Penyidik, dijelaskan: Penyidik adalah: 1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. 2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. Di dalam pasal-pasal Peraturan Pemeritah ini memperlihatkan adanya Rutan dan penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian apabila kita juga melihat ketentuan Pasal 47 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, di mana adanya kewenangan penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian untuk melakukan penahanan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana keimigrasian, namun tidak dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian di mana penahanan tersebut akan dilakukan, hanya disebutkan kewenangan sebagaimana di maksud dalam ayat (2) Pasal 47 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dilaksanakan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana telah disebutkan di atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur adanya 3 (tiga) kriteria penahanan: a) Rutan, b) Rumah, dan c) kota. Hal ini memberikan gambaran secara jelas bahwa penahanan yang dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian haruslah melakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara, namun secara teknis operasional proses penahanan yang dilakukan pada Rutan terhadap pelaku tindak pidana keimigrasian pada proses penyidikan, tidak berjalan secara efektif dan efisiensi. Ada beberapa penyebab yang ditemukan secara teknis operasional di lapangan, seperti kapasitas Rutan yang tidak memadai, urgensi dan kepentingan penyidikan, faktor keamanan dan ketertiban di dalam Rutan, adanya proses administrasi yang rumit, dan hal-hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan untuk dijadikannya Rumah Detensi Imigrasi selain berfungsi sebagai rumah detensi bagi warga negara asing yang akan dilakukan tindakan keimigrasian dan memiliki fungsi sebagai Cabang Rumah
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 161 -
Tahanan Negara. Pada peraturan pemerintah pelaksanaan KUHAP tesebut juga diatur tentang penjelasan mengenai pengaturan tentang Rumah Tahanan Negara, di mana: a. Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. b. Tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umum, dan tingkat pemeriksaan. c. Dibuatnya daftar tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaannya dan penggolongannya. d. Kepala Rutan tidak dapat menerima tahanan dalam Rutan jika tidak disertai surat penahanan yang sah yang dikeluarkan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. e. Setiap bulan Kepala Rutan membuat daftar mengenai tahanan yang disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM RI dengan tembusan pada pejabat yang bertanggung jawab pada tahanan dan Kakanwil Departemen Hukum dan HAM RI. f. Kepala Rutan memberitahukan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu sesuai dengan tingkat pemeriksaan mengenai tahanan yang hampir habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya. g. Kepala Rutan demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya. h. Dalam hal tertentu tahanan dapat diizinkan meninggalkan Rutan untuk sementara dan untuk keperluan itu harus izin dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu. i. Pada Rutan ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh Menteri guna memelihara dan merawat kesehatan tahanan. j. Tahanan yang diizinkan keluar selama berada di luar Rutan dikawal dan dijaga petugas Kepolisian. k. Izin kunjungan bagi penasehat hukum, keluarga dan lain-lainnya diberikan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu sesuai dengan tingkat pemeriksaannya. l. Pengaturan mengenai hari, waktu kunjungan, dan persyaratannya, ditetapkan oleh Kepala Rutan. m. Dalam yang melakukan penahan adalah hakim pengadilan tinggi dan hakim agung, wewenang pemberian izin kunjungan dilimpahkan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya terdapat Rutan tempat tersangka atau terdakwa ditahan n. Rutan dikelola oleh Departemen Hukum dan HAM o. Tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Dalam perkembangannya institusi penegak hukum dalam hal ini institusi yang terlibat dalam sistem peradilan pidana dengan didasarkan pada Undang-Undang
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 162 -
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah juga melakukan pembentukan Cabang Rutan, di mana urgensi pembentukan Cabang Rutan diperlukan untuk proses pemeriksaan dalam berbagai tingkat pemeriksaan, seperti penyidik Polri juga membentuk Cabang Rumah Tahanan Kepolisian dan Cabang Rutan Kejaksaan yang semuanya dilakukan guna mempermudah dan mempercepat proses penyidikan ataupun penuntutan agar berkas perkara tersangka dapat segera diajukan ke muka persidangan. Keberadaan Cabang Rutan di dalam penegakan hukum keimigrasian sangatlah penting adanya, Cabang Rutan yang akan berada pada Rumah Detensi Imigrasi yang sampai saat ini telah ada pendiriannya akan membuat penegakan hukum di bidang keimigrasian akan menjadi lebih efektif dan efisien yang pada akhirnya akan memberikan pencapaian pada tujuan hukum itu sendiri, menghadirkan keteraturan dan ketenteraman, menghadirkan keadilan, dan menghadirkan kepastian hukum. Rumah Detensi Imigrasi yang didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.01.PR.07.04 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Detensi Imigrasi dan Cabang Rutan yang didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara Dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara akan menjadikan penegakan hukum keimigrasian, baik melalui tindakan keimigrasian dan proses peradilan akan dapat menjadikan penegakan hukum keimigrasian menjadi lebih efektif dan efisien. Di mana Cabang Rumah Tahanan Negara akan menjadikan penegakan hukum dalam proses peradilan, dalam hal penyidikan oleh PPNS di bidang keimigrasian menjadi lebih cepat, tepat dan terpadu dan Rumah Detensi Imigrasi dalam hal tindakan keimigrasian menjadi lebih cepat, tepat, dan efisien. Persoalan-persoalan yang sering muncul dalam proses penyidikan tindak pidana keimigrasian, yang semustinya dapat ditekan guna menghadirkan sebuah integrategrated criminal justice system menjadi tidak terjadi. Adanya egoisme sektoral dan setiap institusi penegakan hukum dalam menangani perkara menjadi dapat dihindari. Keberatan dari ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA melalui
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 163 -
proses peninjauan kembali atas vonos atau pidana Hakim Pengadilan Negari Jakarta Barat, memperlihatkan sebagian kecil permasalahan yang akan terus muncul dan makin menumpuk di dalam penegakan hukum keimigrasian di Indonesia. Hal ini tidaklah boleh terjadi. Korban lemahnya sistem administrasi peradilan pidana dan sistem peradilan pidana haruslah dapat diminimalisir, sehingga pelaku-pelaku tindak pidana keimigrasian seperti pada kasus ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut, kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merupakan sebuah dasar pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum. Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tentang Hukum Acara Pidana memiliki ciri kodifikasi dan unifikasi di dalamnya dengan didasarkan pada Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 145 dengan jelas dan tegas menyatakan Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtsstaat). Hal ini menunjukkan Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dengan didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di dalam pelaksanaannya, memerlukan penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia meskipun hak dan kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak dapat ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan lembaga kemasyrakatan baik di pusat maupun di daerah. Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merupakan upaya pembangunan dan pembaharuan hukum dengan jalan menyempurnakan perundang-undangan serta upaya kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dan pembaharuan di dalam hukum
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 164 -
acara pidana memiliki tujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan dapat mencapai tingkatan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia, ketertiban, dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kasus yang dialami oleh ELENA ALEKSANDROVNA LESKOVA dan yang pada akhirnya menghadirkan kasus-kasus lain yang sama tidaklah semestinya akan terjadi kembali. Penempatan seorang tersangka kasus tindakan keimigrasian di dalam Rumah Detensi Imigrasi yang tidak dapat menguranggi pidana yang bersangkutan pada vonis Hakim tidaklah boleh terjadi kembali. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian yang memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan melaksanakan penegakan hukum pada ketentuan pidana keimigrasian pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian haruslah didasarkan pada ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kompleksitas dan kerumitan di dalam pelaksanaan penegakan hukum di bidang keimigrasian melalui sistem peradilan pidana haruslah dapat dihindari, sehingga proses peradilan pidana yang melibatkan sistem birokrasi yang rumit dapat dihindari dengan mengunakan ketentuan yang diatur di dalam hukum pula. Efisiensi dan efektifitas di dalam penegakan hukum di bidang keimigrasian mutlak diperlukan. Kesimpangsiuran nasib seorang tersangka keimigrasian yang ditempatkan pada sebuah tempat yang belum memiliki pengaturan secara hukum yang melihat hak dan kewajiban seseorang tersangka di dalam hukum seharusnya tidak boleh terjadi. Kasus-kasus yang muncul sebagai akibat rumitnya birokrasi atau yang lebih tepatnya belum adanya payung hukum pengaturan, dalam hal ini payung hukum tersebut dilahirkan pula melalui birokrasi pada akhirnya akan menimbulkan ketidaksamaan perlindungan yang akan diberikan kepada tersangka, sehingga
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 165 -
mengalami penderitaan lebih dari yang dapat diterima oleh dirinya. Sebagaimana yang pendapat dari Sacipto Rahardjo: 92 “Dalam usaha pengelolaan proses yang demikian itu kita benar-benar dibantu oleh ilmu manajemen. Ilmu yang biasa diterapkan terhadap proses produksi barangbarang ini sangat memikirkan masalah efisiensi. Suatu hal juga dibutuhkan dalam administrasi keadilan yang cukup kompleks tersebut. Sekarang orang biasa berbicara mengenai penaganan secara sistemik. Juga dalam hal pengelolaan sistem keadilan di bidang hukum pidana ini penanganan sistemik sudah mulai dicoba untuk diterapkan. Pengelolaan dengan cara demikian bertolak dari prosesproses tersebut sebagai satu kesatuan. Sebagai akibatnya maka semua badan yang terlibat di dalamnya harus menerima kedudukannya sebagai sub sistem dari sistem yang besar. Taruhan yang dihadapi adalah, bahwa fungsi dari administrasi keadilan hendaknya mampu menyediakan tatanan yang mempu menyelesaikan masalah kejahatan secara adil.” Dengan mengutip pandangan La Patra, sacipto Rahardjo mengatakan bahwa kemampuan untuk menyelesaikan daftar bekerjanya pengadilan adalah sebagai berikut: 93 a. Memastikan bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif. b. Memastikan bahwa rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif. c. Menciptakan kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar. d. Memungkinkan pemrosesan suatu perkara dengan kecepatan terukur. e. Mengurangi sampai minimum beban dipundak pihak-pihak yang berpekara. f. Mengurangi sampai minimum beban dari pihak-pihak lain. g. Mengurangi sampai minimum ongkos-ongkos perkara. Hal ini memperlihatkan kebutuhan untuk pengaturan Rumah Detensi Imigrasi dan juga sebagai Cabang Rumah Tahanan Negara bersifat penting, tersangka yang ditempatkan di dalam Rumah Detensi Imigrasi pada saat ini sebagai upaya mempercepat proses penyidikan oleh PPNS di bidang keimigrasian haruslah juga melihat pada sisi hak asasi manusia tersangka tersebut. Sebagaimana diuraikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai acuan dasar penegakan hukum keimigrasian melalui proses peradilan dalam pelaksanaannya 92
Sacipto Rahardjo, Ibid., hlm. 186-187. Sacipto Rahardjo, Ibid., hlm. 186-187. Lihat juga: J.W. La Patra, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington, Mass: Lecington Books, 1978, hlm. 65.
93
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 166 -
dengan dihayati, diamalkan, dan dilaksanakannya Hak Asasi Manusia. Di dalam Bab Keempat mengenai Hak Memperoleh Keadilan pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana:
Pasal 17 Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan, permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Pasal 18 1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana dilakukannya. 3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. 4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap. 5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 19 Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apa pun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah. Tiada seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Hal ini memperlihatkan upaya pelaksanaan ketentuan yang ada dan diatur secara yuridis normatif dalam hal ini penegakan hukum keimigrasian pada Undang-
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008
- 167 -
Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan aturan dasar ketentuan acara yang mengatur hak dan kewenangan PPNS di bidang keimigrasian dalam melaksanakan ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana haruslah turut memperhatikan Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan dan realisasi ketentuan hukum yang diatur di dalamnya. Keberadaan Rumah Detensi Imigrasi dan pembentukan fungsi lain Rumah Detensi Imigrasi selain sebagai Rumah Detensi Imigrasi juga sebagai Cabang Rumah Tahanan Negara yang turut juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merupakan sebuah perhormatan institusi penegakan hukum terhadap Hak Asasi Manusia yang dimiliki tersangka tersebut baik itu warga negara asing ataupun warga negara Indonesia. Meskipun di dalam perkembangannya warga negara asing merupakan posisi yang paling dominan dalam penegakan hukum keimigrasian dalam hal tindakan keimigrasian dan kadang kala dilakukan melalui proses peradilan, namun tidaklah mungkin tindak pidana keimigrasian turut melibatkan secara langsung ataupun tidak langsung warga negara Indonesia di dalam perbuatan pelanggaran, kejahatan, dan tindak pidana yang dilakukannya, hal inilah yang harusnya menjadi sebuah pemacu bagi jajaran di Imigrasi agar tidak hanya melaksanakan penegakan hukum keimigrasian lebih diorientasikan pada warga negara asing semata.
Universitas Indonesia Penegakan Hukum..., R.Agung Wibowo, Program Pascasarjana, 2008