BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
A. Penyajian Data Di dalam penyajian dan analisis data ini terdapat responden-responden sebagai sumber data yang terbagi kepada dua kategori, yakni yang pertama dari PPN kota Banjarmasin. Dan yang kedua yakni dari kalangan ulama yang terdaftar dalam kepengurusan MUI Kota Banjarmasin. 1. Responden I: a. Identitas responden Nama
: Ismail,S.Ag
Usia
: 42 tahun
Pendidikan:S1 Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAINAntasari Banjarmasin Pekerjaan
: PNS
Jabatan
: Kepala KUA Kecamatan Banjarmasin Timur
Alamat:Jl. Sultan Adam Komp. Mahligai RT 12 No.19 Kel. Sungai Jingah Banjarmasin b. Deskripsi data Adapun menurut sikap dan pendapat responden yang pertama ini mengenai tema yang penulis teliti ialah bahwasanya wali merupakan salah satu
43
44
dari rukun nikah setelah calon mempelai pria dan calon mempelai wanita, kemudian disusul dengan dua orang saksi serta ijab dan qabul. Apabila dihadapkan pada situasi yang demikian, masalah wali ini pertama-tama yang perluditelusuri dari seorang calon mempelai wanitanya ialah siapa yang menjadi wali atas dirinya tadi. Apakah ayah kandungnya sendiri, apabila tidak ada maka perwalian jatuh kepada kakeknya yakni ayahnya ayah dari calon mempelai wanita tadi. Apabila tidak dapat dihadirkan juga,misalnya sudah meninggal dunia. Maka hak wali berpindah kepada saudara laki-laki seayah seibu. Wali nasab ini biasanya ialah kakak kandung si calon mempelai wanitanya maupun adik kandungnya. Namun apabila hanya ada adik kandungnya saja misalnya, dalam hal ini yang dihubungkan dengan pasal 18 ayat (2) poin c PMA Nomor 11 Tahun 2007 tersebut. Yang menyebutkan “baligh, sekurang-kurangnya 19 tahun” ini merupakan ketidakselarasan dengan hukum fikih. Hal seperti ini jarang terjadi selama beliau yang menangani pencatatan nikah di Kecamatan Banjarmasin Timur. Pernikahan kedua mempelai pria dan wanita tadi akan tetap dilaksanakan meskipun wali nasab adik kandung calon mempelai wanita tadi berusia dibawah usia menurut ketentuan PMA Nomor 11 Tahun 2007 itu. Dengan alasan karena di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sudah menyebutkan salah satu syarat wali yakni baligh ini dengan “aqil baligh”. Tidak disebutkan di dalamnya batasan usia bagi wali nikah. Mengacupada mazhab Imam Syafi‟i bahwa seseorang itu pada usia 15 tahun rata-rata sudah mengalami
45
bermimpi dan keluar air mani, disusul tanda-tanda membesarnya suara dan timbul jakun di lehernya. Maka seseorang itu sudah disebut “mukalaf”, ia sudah wajib melaksanakan shalat, puasa, zakat dan kewajiban-kewajiban ibadah lainnya dan telah dibebani tanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Dengan tidak menunggu seseorang itu sampai usia 19 tahun, pernikahan sudah dapat dilaksanakan dengan ketentuan syari‟at Islam dan pernikahannya sah. Menurut beliau lagi, apabila peraturan ini diterapkan pada masyarakat di Banjarmasin ini khususnya, tentu akan cukup mempersulit mereka yang akan melangsungkan pernikahan. Tentu calon mempelai wanita harus menunggu adik kandungnya tersebut mencapai usia 19 tahun. Karena hak perwalian belum boleh berpindah ketingkatan selanjutnya. Dan akan menghambat kedua calon mempelai untuk melaksanakan perintah Allah swt dan sunnah Rasulullah saw guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 2. Responden II: a. Identitas responden Nama
: Drs. H. Aziz Nazar
Usia
: 46 tahun
Pendidikan
:S1 Fakultas Syariah Jurusan Qadha IAIN antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS
Jabatan
: Kepala KUA Kecamatan Banjarmasin Selatan
46
Alamat
: Jl. Bumi Mas Raya Komp. Bumi Handayani 3 RT. 30 No. 20 Banjarmasin Selatan
b. Deskripsi data Sikap dan pandangan responden yang kedua terhadap tema yang penulis angkat ialah hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi keberlangsungan akad nikah pada kantor KUA Kecamatan Banjarmasin Selatan. Pernikahan tetap dilaksanakan meskipun PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 18 ayat (2) untuk poin c tersebut dicantumkan untuk mengatur usia bagi wali nikah bagi mempelai perempuan. Karena jelas dari awal sudah mengamalkan kriteria-kriteria balighnya seseorang itu berdasarkan hukum fikih. KHI (Kompilasi Hukum Islam) hanya menyebutkan bahwa salah satu syarat bagi wali nasab untuk pernikahan itu adalah aqil baligh. Tidak disebutkan batas usia bagi seorang wali seperti yang telah dicantumkan di dalam PMA tersebut. 19 tahun dalam ketentuan PMA ini menurut beliau adalah apabila bagi seorang laki-laki yang belum bermimpi ataupun belum ada tanda-tanda baligh, maka “sekurang-kurangnya 19 tahun” ini sebagai ketentuan atau patokan bolehnya seseorang (nasab) itu menjadi wali dalam pernikahan. Adapun apabila kurang dari itu maka pernikahan tetap sah yang penting seseorang tadi berusia masih dibawah 19 tahun telah baligh yakni sudah mengalami mimpi dan keluarnya air mani. Mengenai hal itu tentu jarang sekali terjadi di dalam masyarakat. Kalaupun ada tentu PMA ini tidak menjadi hal yang memberatkan, karena PPN KUA Banjarmasin Selatan sebelumnya sudah menerapkan hukum fikih. Dan apabila PMA ini diterapkan di dalam masyarakat,
47
tentu akan menjadi masalah yang akan cukup menyulitkan calon pengantin yang ingin melaksanakan akad nikah secara sah menurut ketentuan agama Islam dan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia khususnya undang-undang yang mengatur perkawinan bagi umat Islam di Indonesia. 3. Responden III: a. Identitas responden Nama
: Khairullah, SHI, MH
Usia
: 34 tahun
Pendidikan
: S2 Ilmu Hukum Unlam Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS
Jabatan
:Penghulu Fungsional KUA Kecamatan Banjarmasin Selatan
Alamat
: Kelayan Besar 2 RT 27 Banjarmasin Selatan
b. Deskripsi data Adapun sikap dan pendapat menurut responden ketiga ini berkenaan dengan wali nikah dibawah usia 19 tahun berdasarkan PMA No. 11 tahun 2007 pasal 18 ayat (2) poin c yang menetapkan bahwa baligh itu sekurang-kurangnya 19 tahun tersebut adalah harus bijak dalam menyikapi terhadap peraturan itu. Dengan melihat kepada dasar atau sumber bagaimana peraturan itu ditetapkan, apa yang menjadi patokan dan acuan pemerintah dalam mencantumkan usia sekurang-kurangnya 19 tahun tersebut, mazhab siapa yang dijadikan sandaran sebagai sumber hukumnya.
48
Sama halnya dengan responden sebelumnya yaitu bapak kepala KUA Banjarmasin Selatan, aqil baligh tidak ditentukan oleh batasan usia seseorang. Apabila dikaitkan dengan PMA No.11 Tahun 2007 pasal 18 ayat (2) poin c dengan kalimat “baligh, sekurang-kurangnya 19 tahun” ini tentu harus lebih cermat dalam memilah-milah supaya tidak terjadi kejanggalan dalam pelaksanaan akad nikah. Seseorang yang berusia 19 tahun ini tentu bukan untuk usia seorang ayah kandung calon mempelai wanita, bukan pula kakek maupun pamannya. Kemungkinan terbesar adalah saudara kandung laki-laki atau adik sebagai wali aqra>b, keponakan laki-laki dan adik sepupu laki-lakinya sebagai wali ab‟a>d. Mereka yang diamanahi untuk menjadi wali dalam akad nikah harus sudah memenuhi kriteria dari ketentuan atau syarat menjadi seorang wali. Adapun syarat-syarat wali, yakni beragama Islam, baligh, berakal, tidak dipaksa, terang lelakinya, adil (bukan fa>si>q), tidak sedang ihram haji, tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah, dan tidak rusak pikirannya karena tua dan sebagainya. Oleh karena itu baligh sebagai syarat bagi wali ini tidaklah ada penyebutan usia minimal. Ulama fikih pun mempunyai pendapat yang bervariasi mengenai usia balighnya seseorang. Mayoritas ulama mazhab Imam Syafi‟I dan Hanbali menyebutkan seseorang dikatakan baligh apabila sudah berusia 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Imam Hanafi, usia baligh adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan.
49
Pada masyarakat wilayah kecamatan Banjarmasin Selatan wali nikah yang berusia 19 tahun ataupun dibawahnya sangatlah jarang ditemukan. Sekalipun ada, tentulah PPN Kecamatan Banjarmasin Selatan ini lebih menerapkan hukum fikih. Peraturan tersebut kemungkinan hanya merupakan patokan untuk seseorang yang belum pernah mengalami fase baligh beserta tanda-tandanya, akan tetapi ditentukan dengan 19 tahun. Dengan tujuan bahwa seseorang itu dapat dikatakan sudah dewasa dan mampu bertindak atau cakap hukum. Mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Apabila peraturan itu diterapkan pada masyarakat, tentulah setiap PPN atau kepala KUA maupun penghulu fungsional memiliki pegangan atau pedoman untuk menentukan apakah seseorang itu boleh menjadi wali dalam pernikahan atau tidak tanpa melihat apakah sudah berusia 19 tahun. Karena KHI juga hanya menyebutkan “aqil baligh” pada syarat wali nikah. Pada bagian ketiga yaitu wali nikah yang disebutkan didalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 19 yakni “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Seterusnya pada pasal 20 ayat (1) menyebutkan “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh”. Dengan ketentuan tersebut di atas, maka PMA yang menyebutkan kembali baligh itu sekurang-kurangnya 19 tahun tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja. 4. Responden IV:
50
a. Identitas Responden Nama
: Drs. H. M. Arifin, HM
Usia
: 53 tahun
Pendidikan
:S1 Fakultas Syariah Jurusan Qadha IAIN Antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS
Jabatan
: Kepala KUA Kecamatan Banjarmasin Tengah
Alamat
: Jl. Perona I Gang Mayasari I RT 16 RW 02 Pemurus Baru
b. Deskripsi data Menurut beliau, kalimat tambahan sekurang-kurangnya 19 tahun tersebut merupakan aturan yang dibuat Menteri Agama untuk menyamaratakan atau mematok batasan usia untuk wali nikah dalam perkawinan. Namun bukan berarti di bawah 19 tahun itu tidak bisa menjadi menjadi wali, karena usia bukanlah patokan seseorang beranjak dalam fase baligh. Dan beliau pernah menikahkan beberapa pasangan calon pengantin dengan salah satu rukunnya yaitu wali (nasab) yang di bawah umur menurut PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 18 ayat (2) poin ke-3 ini akan tetapi sah menurut hukum fikih. Menurut beliau hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena para ulama fikih telah menetapkan usia baligh seseorang. Menurut beliau lagi, dapat dilihat pada pelajar SMP kelas 3 pun telah memasuki fase baligh, dan usia mereka antara 15-17 tahun. Dalam pengalamannya beliau menemui seseorang tersebut ketika menjadi wali nikah di KUA banjarmasin Utara.
51
Pada KUA Kecamatan Banjarmasin Tengah ini juga ada sekitar 2 pelaksanaan akad nikah yang wali nasabnya di bawah usia 19 tahun. Batasan usia 19 tahun ini bukan mutlak menjadi pegangan setiap PPN dalam menjalankan aktifitas pencatatan nikah, bisa saja di bawah dari itu pelaksanaan akad nikah tetap dilangsungkan. Apabila seorang laki-laki yang dimintai kesediaannya sebagai wali nikah karena nasabnya tersebut belum mengalami tanda-tanda baligh seperti yang disebutkan oleh responden-responden sebelumnya, maka batasan atau patokan “sekurang-kurangnya 19 tahun” ini adalah sebagai pembolehan terhadap salah satu rukun nikah ke-3 dalam pelaksanaan akad nikah yaitu wali dari calon mempelai perempuan. Inisiatif ini merupakan kebijakan pemerintah dalam mengatur efektifitas dan efisiensi pencatatan nikah. Akan tetapi hal tersebut pada waktu sekarang ini belum bisa menjadi peraturan yang mutlak diberlakukan karena peraturanperaturan sebelumnya sudah mengatur tentang hal ini. Seperti Kompilasi Hukum Islam kemudian di atasnya lagi ada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia. Dilihat dari faktor-faktor balighnya seseorang itu, harus diperhatikan juga bagaimana seseorang itu dalam bertindak, bersikap, dan cara berpikirnya. Apakah ia sudah layak atau pantas dalam keberlangsungan akad nikah sebagai wali atau belum. Dalam hal ini diperlukan pertimbangan-pertimbangan oleh seorang PPN dalam menentukan seseorang itu sebagai wali nikah sebelum hari pelaksanaan akad nikahnya supaya tidak ada kejanggalan dikemudian hari.
52
Pembatasan usia 19 tahun tersebut kurang efektif apabila diterapkan pada masyarakat, karena kebanyakan pasangan calon pengantin di sekitar kecamatan Banjarmasin Tengah ini menginginkan waktu yang cepat dan tepat dalam pelaksanaan akad nikah dihari pernikahannya. Untuk menjalankan syari‟at Islam ini dengan tujuan mempermudah bukan malah mempersulit sehingga terciptanya hubungan yang harmonis satu sama lain. Dan ketika ditemui wali nasabnya berusia di bawah 19 tahun, maka sangat diperlukan kecermatan untuk kehati-hatian dalam memutuskan siapa yang berhak menjadi wali. Kemudian misalnya lagi tidak ditemukan lagi wali nasab bagi calon mempelai wanitanya selain saudara kandungnya, padahal ia sudah baligh namun belum berusia 19 tahun. Maka hak perwaliannya tidak bisa berpindah kepada wali yang kelompok kekerabatannya lebih jauh karena masih ada adik laki-lakinya tadi. Oleh karena itu, dari pihak KUA kecamatan Banjarmasin Tengah khususnya tetap melaksanakannya dengan ketentuan yang sudah ada jauh sebelum PMA ini diberlakukan pada bidang pencatatan nikah. 5. Responden V: a. Identitas reponden Nama
: Ahmad Syarkani
Usia
: 55 tahun
Pendidikan
: S1 Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS
53
Jabatan
:Penghulu Fungsional KUA Kecamatan Banjarmasin Tengah
Alamat
: Jl. Teluk Tiram Barat RT 01 RW 34 Banjarmasin
b. Deskripsi data Adapun menurut reponden yang keempat ini sama halnya dengan sikap dan pendapat responden yang pertama. Yakni tetap melaksanakan pernikahan kedua calon mempelai selama rukun nikah terpenuhi. Ketetapan usia 19 tahun bagi wali nikah pada peraturan tersebut harus ditelusuri terlebih dahulu, apakah pemerintah menetapkan kebijakan tersebut untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat atau tidak. Juga bagaimana dampak yang ditimbulkan kebijakan tersebut apabila diterapkan pada masyarakat. Khususnya di kecamatan Banjarmasin Tengah, hal tersebut jarang sekali terjadi. Kalaupun ada, para PPN lebih memberlakukan hukum fikih. Imam Syafi‟i mengatakan 15 tahun seseorang sudah mencapai baligh, demikian pula Imam Hanafi mengatakan 18 tahun seseorang itu bisa dikatakan baligh. Mengacu pada konsep baligh itu sendiri yang diyakini bahwa tidak adanya ketentuan umur didalamnya. Fase baligh bagi laki-laki ditandai dengan pernah bermimpi kemudian keluar air mani, membesarnya suara dan lain sebagainya yang mengiringi pertumbuhan seseorang itu, itupun dapat terjadi antara usia 14 atau 15 tahun sampai 17 tahun. Juga bagi perempuan antara 12 sampai 16 tahun bisa dikatakan baligh ditandai dengan haidh yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah datang bulan. 6. Responden VI: a. Identitas responden
54
Nama
: Syamsuri, S. Ag, M.H.I
Usia
: 37 tahun
Pendidikan
:S1 Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah IAIN Antasari Banjarmasin,S2 Pascasarjana Filsafat Islam, konsentrasi Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS
Jabatan
: Kepala KUA Kecamatan Banjarmasin Utara
Alamat
: Jl.AMD Besar RT 35 Pekapuran Raya Banjarmasin Timur Banjarmasin
b. Deskripsi data Dalam pandangan serta sikap terhadap persoalan yang berhubungan dengan penulis teliti. Menurut beliau hal tersebut tidak disebutkan dalam hukum fikih. Ulama menyebutkan salah satu syarat wali dalam nikah adalah aqil baligh tidak menyebutkan berapa usia seseorang tersebut. Di dalam KHI pasal 20 ayat (1) disebutkan “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh”. Wali adalah ayah kandung calon pengantin perempuan pihak yang bertindak sebagai pihak yang melakukan ijab, atau mengikrarkan pernikahan. Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi‟iyyah dan dilengkapi dengan mazhab Adz-Dzahiriyah sepakat untuk menjadikan posisi wali sebagai
55
salah satu rukun dari rukun-rukun sebuah akad nikah. Dan bahwa tanpa adanya wali, maka sebuah akad pernikahan menjadi tidak sah hukumnya. Sedangkan pendapat yang agak berbeda adalah pendapat Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa wali tidak termasuk rukun nikah. Melainkan menjadi syarat dalam rukun nikah.Sebenarnya dalam kenyataannya nyaris hampir tidak ada bedanya bila wali tidak dimasukkan dalam rukun nikah atau dimasukkan ke dalam syarat nikah. Tetap saja nikah itu tidak sah bila tidak ada walinya, sebagai syarat sah nikah. Sebab yang namanya syarat itu sebagaimana disebutkan di atas, nyaris sama kedudukannya dengan rukun, yaitu bila tidak terpenuhi, maka nikah itu tidak sah. Akan tetapi dalam keadaan yang disebutkan dalam pasal 18 ayat (2) poin ketiga tersebut, berkaitan dengan seorang wali yang bukan ayah dari calon pengantin wanita tentunya. Karena usia yang berada pada masa remaja yang mengalami namanya baligh, maka pada pelaksanaan pernikahannya sudah dianggap sah. Kalau diurutkan peraturan-peraturan yang telah berlaku di Indonesia, dimulai dengan KHI kemudian di atasnya UUD No. 1 Tahun 1974, kemudian fikih yang di dalamnya terdapat ijtihad-ijtihad ulama dalam mengatur tata aturan yang bersifat realistis terhadap kemaslahatan umat manusia. Di antara ketiganya seiring sejalan dalam mengatur ketetapan bahwa baligh itu sudah cukup merupakan syarat bagi wali. Tidak perlu dibatasi dengan ketentuan usia yang akan cukup menyulitkan atau menghambat pelaksanaan akad nikah.
56
7. Responden VII: a. Identitas responden Nama Usia Pendidikan
: H. Rahmat Andy W, S. Ag : 36 tahun : S1 Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta
Pekerjaan Jabatan
: PNS : Penghulu Fungsional KUA Kecamatan Banjarmasin Utara
Alamat
: Jl. Bumi Mas Komp. Bumi Mas 5 RT 6 No. 82 Banjarmasin Timur, Banjarmasin
Menurut responden yang satu ini mengenai pasal 18 ayat (2) PMA No. 11 Tahun 2007 tersebut ialah hal tersebut tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, juga tidak ada penghapusan terhadap peraturan yang sudah ada dan yang telah lama dijalankan oleh semua pencatatan nikah. Peraturan ini dibuat agar menyelaraskan usia bagi seorang wali nikah dilihat dari pendewasaan seseorang itu. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, apabila seseorang itu telah mengalami fase baligh maka nikah bagi kedua mempelai sah menurut syariat Islam. Semua KUA di 5 kecamatan di Banjarmasin ini tentu melakukan hal yang sama. Peraturan ini tidak akan menjadi kendala bagi semua PPN dalam melaksanakan akad nikah. Karena tidak akan ada sanksi apabila peraturan ini tidak dijalankan.
57
Kalau calon mempelai wanita itu hanya mempunyai wali saudara laki-laki kandung yang sudah baligh namun belum mencapai 19 tahun, tentu akan sangat memberatkan baginya jika menunggu saudaranya tersebut sampai usia 19 tahun. Padahal hak perwalian tidak boleh berpindah kepada wali ab‟a>d bahkan wali hakim. Dan sepasang calon pengantin ini telah siap akan segala sesuatunya untuk melangsungkan akad nikah serta untuk bersatu dalam ikatan pernikahan untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat yang telah dijanjikan Allah swt dan RasulNya. Dari kalangan masyarakat awam pun tidak begitu saja dapat langsung menerima peraturan baru ini, memerlukan sosialisasi yang berkesinambungan agar dapat diterima ditengah-tengah masyarakat. Tentunya bukan saja dalam wilayah kecamatan Banjarmasin Utara ini, akan tetapi juga Kecamatan-kecamatan lainnya bahkan kabupaten lainnya, provinsi serta merata ke seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia. 8. Responden VIII: a. Identitas responden Nama
: M. Yusran
Usia
: 50 tahun
Pendidikan
: S1 Fakultas Syariah Jurusan Peradilan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya
Pekerjaan Jabatan
: PNS : Kepala KUA Kecamatan Banjarmasin Barat
58
Alamat
: Jl. Pramuka Komp. DPRD Tk. I RT 29 No. 1 Banjarmasin
b. Deskripsi data Responden yang satu ini cukup tegas dalam menyikapi dan menunjukkan pendapatnya terhadap peraturan yang menjadi objek penulis angkat dalam skripsi ini. Yakni tidak berbeda dengan responden-responden sebelumnya, pernikahan tetap akan dilaksanakan meskipun wali bagi mempelai wanita tersebut belum mencapai usia 19 tahun tetapi sudah mengalami baligh, yakni bagi laki-laki ditandai dengan pernah bermimpi kemudian keluar air mani, membesarnya suara, timbulnya buah jakun pada permukaan lehernya dan lain sebagainya yang mengiringi pertumbuhan seseorang itu. Beliau tidak pernah menemui hal seperti itu selama menjabat sebagai kepala di KUA kecamatan Banjarmasin Barat, berkenaan dengan hak perwalian ini hanya berkisar pada wali nasab biasa atau beberapa kali wali hakim yang sudah barang tentu dengan usia di atas 19 tahun. Tetapi dalam menyikapinya, sama seperti kepala-kepala KUA lainnya. Kebijakan atas peraturan ini kemungkinan terjadi kekeliruan, baik itu dari pengetikan jumlah usia, maupun penetapan yang tidak ada dasarnya dalam hukum fikih. Khusus untuk kecamatan Banjarmasin Barat ini dari pihak KUA belum pernah ada akan hal seperti ini. Berdasarkan apa peraturan ini dimuat beliau belum mengetahuinya, yang jelas fikih sudah mengatur semuanya dan tidak menyebutkan berapa jumlah usia yang menjadi syarat baligh itu sendiri dalam wali nikah.
59
Apabila peraturan ini diterapkan pada masyarakat tentu akan terjadi kesulitan yang berkepanjangan. Disamping harus menunggu terlebih dahulu seorang wali nasab itu sampai 19 tahun, juga tidak akan bisa mengetahui bagaimana nantinya pasangan calon pengantin tersebut dikemudian hari. Dalam hal ini sudah jelas-jelas Islam senantiasa memberi kemudahan di setiap sendisendi syariat dalam mengayomi umat pada kehidupan sehari-hari. 9. Responden IX: a. Identitas responden Nama
: Drs. H. Hasan Basri
Usia
: 53 tahun
Pendidikan
:S1 Fakultas Syariah Jurusan Qadha IAIN Antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS / Penghulu Fungsional
Jabatan
: Wakil Kepala KUA Kecamatan Banjarmasin Barat
Alamat
:Jl. Sepakat RT 33 No. 66 Pemurus Dalam Kec. Banjarmasin Selatan, Banjarmasin
b. Deskripsi data Sebagai responden terakhir dari kategori PPN yang penulis temui untuk dimintai sikap serta pendapatnya berkaitan dengan usia wali nikah ini juga mengungkapkan hal yang sama seperti para kepala dan penghulu fungsional sebelum-sebelumnya.
60
Tidak ada unsur mengikat pada peraturan tersebut, karena selama ini pada kenyataannya pihak KUA tetap menggunakan hukum fikih yang diadopsi menjadi Kompilasi Hukum Islam. Dan dalam pelaksanaannya pun telah berjalan sebagaimana biasanya saja. Tidak ada perubahan yang mencolok dan setiap KUA kemungkinan besar melaksanakan hal yang sama. Adapun dalam hukum fikih sudah jelas tidak ada menyebutkan berapa usia baligh bagi wali nikah. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan salah satu syaratnya adalah aqil baligh. Ketika dalam penerawangannya kepada pasal 18 ayat (2) ini beliau mengatakan bahwa baligh disini tetap baligh seperti termaktub di dalam hukum fikih, kemudian kelanjutannya pada kalimat “sekurang-kurangnya 19 tahun” itu adalah sebagai keterangan apabila seseorang itu pada masa usia remajanya antara sebut saja 15 sampai 17 tahun bahkan sampai 18 tahun misalnya belum ada tandatanda baligh, baik itu bermimpi maupun membesarnya suara. Maka usia 19 tahun ini sebagai patokan seseorang tersebut dapat dijadikan sebagai wali nikah. Namun sebelum itu sangat perlu untuk menelusuri nasab dari calon mempelai wanitanya, untuk mengetahui yang lebih jelasnya mengenai siapa yang akan menjadi wali nantinya. Dan apabila tidak ada juga selain saudara kandungnya atau adiknya tersebut tetapi masih berusia di bawah 19 tahun namun telah baligh, maka ia berhak menjadi wali nasab dari calon mempelai wanita tadi. Adapun efektifitasnya dalam kehidupan masyarakat di Banjarmasin ini khususnya tidak semudah yang dibayangkan. Sebelum dilakukan penerapannya pun akan terjadi kesulitan dalam pensosialisasiannya. Masyarakat tidak begitu
61
saja menerimanya dipandang dari tingkat pendidikan dan pengetahuannya yang beragam. Sedangkan para PPN yang bekerja untuk masyarakat adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan nantinya terjadi sikap protes dari kalangan masyarakat kepada pembuat peraturan itu sendiri. Karena tidak ada masyarakat manapun yang mau urusannya dipersulit yang menyangkut kemaslahatan kehidupan sebagai warga negara dan satu umat yaitu Islam. 10. Responden X: a. Identitas responden Nama
: Drs. H. Asmara Saibi
Usia
: 54 tahun
Pendidikan
: S1 Fakultas Syariah Jurusan Peradilan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya
Pekerjaan
: - Wartawan - Guru MA Datu Syubban Sei. Lulut - Wakil Ketua MUI Kota Banjarmasin
- Pimpinan Redaksi Serambi Ummah Alamat : Jl. Sei Lulut RT 04 Gang Karya Mandiri No. 225, Kabupaten Banjar b. Deskripsi data Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari pedoman wawancara yang penulis ajukan kepada responden ini, awalnya beliau belum mengetahui adanya
62
PMA No. 11 Tahun 2007 mengenai pencatatan nikah ini, khusunya mengenai pasal 18 ayat (2) tersebut. Akan tetapi setelah penulis coba menyampaikan sedikit poin-poin yang berkaitan dengan masalah yang sedang penulis teliti. Dan akhirnya beliau mau menyampaikan pendapatnya terhadap peraturan ini. Sama halnya dengan responden-responden sebelumnya, ketentuan baligh seseorang itu bukan dilihat dari usia, akan tetapi dilihat dari kedewasaan seseorang itu setelah mengalami masa-masa baligh itu sendiri. Karena kedewasaan itu identik dengan rasa tanggung jawab. Mampunya bertindak atau cakap dalam bertindak secara hukum, baik itu hukum positif maupun syariat Islam. Dan apabila ia diamanahi untuk menjadi wali dalam pernikahan meskipun belum berusia 19 tahun itu tidak mengapa. karena aqil baligh yang sebenarnya itu tidak melihat kepada usia, bisa seseorang itu sudah baligh pada usia 15, 16 ataupun 17 tahun. Dalam hal ini bisa saja pemerintah ingin megeneralisir peraturan menjadi 19 tahun bagi wali dari calon mempelai wanita. Apabila wali yang ada hanya yang berusia di bawah 19 tahun, apakah hak perwalian berpindah kepada wali hakim, tentu tidak. Karena masih ada wali nasab, dan itu yang harus diutamakan. Dan tidak langsung berpindah kepada wali hakim, harus melalui wali ab‟adnya terlebih dahulu. Dan apabila tidak ditemukan juga, maka dengan beberapa ketentuan hak perwalian diserahkan kepada wali hakim. Perlu adanya pemikiran ulang kembali mengenai peraturan ini. Menurut beliau lebih menekankan baligh itu tergantung pada pendewasaan seseorang,
63
bukan pada pencapaian usia seseorang. Dan peraturan tersebut menurut beliau lagi cukup menyusahkan masyarakat kita pada umumnya. Kalau ditinjau dari segi hukum fikih, tentu dilihat kembali kepada para ulama yang memberikan pandangannya berdasarkan ijtihad juga menyebutkan balighnya seseorang itu juga mempunyai variasi dalam usia. Tidak ada pembatasan usia baligh dalam hukum Islam. Seandainya peraturan ini diterapkan pada masyarakat, hal ini akan menyusahkan dan bukan mempermudah. Kalau bisa peraturan ini diubah saja menjadi yang mudah, karena dilihat kepada masyarakat itu sendiri lebih menginginkan kemudahan. Dan tambahnya lagi kalau bisa nikah itu tanpa dihadirkan wali. Namun itu semua sudah menjadi ketentuan hukum Islam yang harusditaati. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah sebaiknya tetap mengacu pada syariat Islam dan ada kemudahan di dalamnya. Supaya bisa dengan mudah diterima di tengah-tengah masyarakat. 11. Responden XI: a. Identitas responden Nama
: Dr. H. Syaifullah Abdussamad, Lc. MA
Usia
: 55 tahun
Pendidikan
: S3 al-Azhar Kairo, Mesir
Pekerjaan
: Dosen S2 IAIN Antasari Banjarmasin
Alamat
: Jl. Bumi Mas Komp. Bumi Ayu RT 8 No. 70
64
b. Deskripsi data Adapun pendapat mengenai PMA No. 11 Tahun 2007 Pasal 18 ayat (2) poin ketiga menurut ulama ini yakni bahwasanya peraturan yang dibuat pastilah ada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Pemerintah khususnya menteri agama tidak begitu saja membuat kebijakan untuk mengatur dan menyelaraskan kemaslahatan umat. Di dalam kitab fikih karangan Wahbah Zuhaily, yakni Fiqh Islamy wa adillatuhu. Syarat-syarat wali nikah ialah baligh, berakal dan merdeka, Islam, lakilaki, adil, dan ar-Rusyd (cerdas/pintar). Misalnya saja ulama seperti Imam Hambali lebih mengutamakan kemaslahatan dalam berijtihad. Salah satu kemungkinannya kebijakan pemerintah ini dalam menetapkan suatu kebijakan adalah sebagai bentuk standarisasi bagi umat Islam yang ingin melaksanakan akad nikah yang menjadi sunnah Rasulullah saw. Bila dilihat dari poin yang menyebutkan “ar-ru>syd” yang artinya cerdas/pintar tersebut untuk peraturan itu tidaklah bertentangan dengan hukum fikih. Karena yang dimaksud disini yakni kemampuan atau kecakapan seseorang dalam berpikir dan bertindak secara hukum. Kata“ar-ru>syd” ini berkaitan dengan usia dewasa dan dewasa. Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki
65
kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan. Sedangkan sisi lain dari anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing. Bahkan dalam istilah ilmu ushul fiqh pun ada dikatakan bahwa h}u>kmu>al-qa>dhi>atau hukum dari seorang hakim atau pemerintah itu lebih diutamakan ketimbang hukum fikih itu sendiri karena sebab memandang kepada yang kemaslahatan untuk umat. Berarti masyarakat bisa dikatakan harus tunduk kepada kebijakan dari pemerintah tersebut. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaannya mengikuti hukum fikih saja yakni mengacu pada ijtihad-ijtihad ulama fuqaha yaitu apabila seorang wali itu berusia 15 sampai 17 tahun maka nikahnya sah-sah saja. Pada pendewasaan itu sendiri terdapat istilah“kamaalu al-ahliyyah”, maksudnya ialah kesempurnaan individual untuk menunjang kecakapan seseorang itu berpikir dan bertindak secara hukum. Dan untuk KUA yang bidangya adalah menangani hal-hal yang berhubungan dengan nikah, bimbingan atau penyuluhan pernikahan terhadap masyarakat tentu harus melihat keadaannya terlebih dahulu bila dikaitkan dengan peraturan ini. Bila memungkinkan menjalankan peraturan ini, maka hendaklah dilaksanakan sebijaksana mungkin. Dan apabila tidak, maka tidak apa. Sebagai
66
tambahan, pada ayat al-qur‟an yang artinya “taatilah Allah, taatilah Rasulullah dan ulil amri (pemimpin) di antaramu”. Di dalam ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) adalah dalam rangka ketaatan kepada Rasulullah serta kepada Allah swt. Karena “laa thaa’ata li makhluuqin li ma’shiyyata al-khaaliq”, yakni tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam rangka bermaksiat kepada sang Pencipta. 12. Responden XII: a. Identitas responden Nama
: Drs. KH. Iberahim Hasani
Usia
: 73 tahun
Pendidikan
: Sarjana S1
Pekerjaan
: - Pensiunan PNS - Dosen tetap FAI UNISKA - Komisi Fatwa MUI Provinsi Kalimantan Selatan dan Dewan Pertimbangan MUI Kota Banjarmasin
Alamat
: Jl. Bawang Putih No. 141 RT 25 Kelurahan Kuripan Gatot Subroto Kota Banjarmasin
b. Deskripsi data Pendapat menurut ulama yang satu ini cukup berbeda dari respondenresponden lainnya. Yakni bahwa peraturan menteri agama tersebut telah melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang untuk mengutamakan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Ijtihad itu terbagi kepada dua,
67
yakni ijtihad fa>rd}i dan ijtihad ja>ma>‟i. Maka peraturan ini termasuk kepada ijtihad ja>ma>‟i. Karena telah ditetapkan bersama-sama oleh pemerintah dengan pelbagai alasan dan faktor-faktor yang kuat tentunya. Khususnya pada PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 18 ayat (2) poin ketiga ini, beliau sependapat dan mendukung atas peraturan tersebut. Pasalnya menurut beliau kedewasaan seseorang itu relatif, karena usia baligh ini mendukung kejiwaan seseorang tersebut. Baligh itu ditandai dengan bermimpi basah atau keluar sperma dari kemaluan laki-laki, membesarnya suara, dan tumbuh h}u>lqu>m atau jakun di leher laki-laki, serta haidh bagi perempuan. Namun bisa saja dalam fase baligh ini pendewasaannya itu belum maksimal. Karena kerelatifannya tadi, maka harus dengan sesuatu yang lebih meyakinkan. Misalnya kecerdasannya, maupun kecakapannya dalam berpikir dan bertindak secara hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam. Adapun usia baligh antara 15-17 tersebut masih dalam tahap pendewasaan yang dimulai dari tanda-tanda baligh tadi. Fakta zhahir pada peraturan tersebut adalah ketidakraguan dalam menentukan siapa yang berhak untuk menjadi wali nikah. Seperti yang pernah dikatakan oleh Sayidina Umar r.a, “nahnu nahkumu bizawahir” yang maksudnya ialah “kami menentukan suatu hukum itu dengan kejelasan atau dengan sesuatu yang nampak”. Memang sudah jelas dalam hukum fikih disebutkan syarat wali ialah aqil dan baligh, tidak ada penyebutan usia berapa seseorang itu berhak menjadi wali. Maka hubungannya lagi dengan peraturan tadi ialah bahwa pemerintah lebih
68
mengutamakan suatu kehati-hatian dalam menerapkan kaidah-kaidah fikih untuk menuju kemaslahatan umat. Jadi pada dasarnya, beliau telah memberikan pandangan yang berbeda dari responden-responden sebelumnya bahwa beliau lebih mendukung dan sependapat dengan PMA tersebut. Alasannya, yang pertama ialah relatifnya kedewasaan seseorang untuk menentukan seseorang itu dianggap mampu untuk berpikir dan bertindak secara hukum yang dibebankan kepadanya. Kedua, peraturan tersebut ialah hasil ijtihad ja>ma>‟i yakni hasil pemikiran dari ulama fuqaha Indonesia bersama-sama menteri agama dalam pertimbangan-pertimbangan yang matang tanpa mengabaikan hukum fikih yang telah dianut selama ini. Ketiga, PMA itu dibuat dan ditetapkan oleh menteri agama atau yang dikenal dengan istilah “ulil amri”. Maka seperti yang diketahui, mentaati ulil amri sama halnya mentaati Rasulullah saw, dan mentaati Rasulullah saw berarti mentaati Allah swt. Untuk KUA khusus di wilayah Banjarmasin ini. Mereka yang menangani perihal yang berkaitan dengan pernikahan, maka boleh saja tetap melaksanakan akad nikah apabila wali dari mempelai wanitanya berusia di bawah 19 tahun karena melihat kepada balighnya. Tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dan dilihat dari berbagai sudut pandang yang jelas. Harapan beliau ialah lebih baik menerapkan PMA ini, karena hasil ijtihad ja>ma>‟i tadi. Dan ijtihad merupakan juga sebuah jihad, maksudnya ialah ijtihad berarti bersungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu dan jihad juga bersungguhsungguh dalam melakukan sesuatu.dan mentaati ulil amri merupakan ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
69
13. Responden XIII: a. Identitas responden Nama
: H. Abdul Hamid Jaelani
Usia
: 61 tahun
Pendidikan
: Sarjana S1 Fakultas Dakwah Tebu Ireng
Pekerjaan
: Pensiun
Alamat
:Jl. Veteran Km 5,5 RT 04 No 45 Gang Gustisman Kel.
Sei.
Lulut
Kec. Banjarmasin
Timur,
Banjarmasin b. Deskripsi data Adapun opini yang beliau paparkan ialah bahwa wali adalah orang yang bertanggung jawab atas sah atau tidaknya akad nikah. Oleh sebab itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali, tetapi harus memenuhi syarat-syarat wali seperti yang diketahui bersama yaitu; berakal, baligh, Islam, laki-laki, adil, merdeka, tidak boleh ma>hju>r „ala>ih, gugur hak kewaliannya karena sa>fi>h (dungu). Baligh pada laki-laki ditandai dengan pernah bermimpi kemudian keluar air mani, membesarnya suara dan lain sebagainya yang mengiringi pertumbuhan seseorang itu, itupun terjadi bisa antara usia 14 atau 15 tahun sampai 17 tahun. Juga bagi perempuan antara 12 sampai 16 tahun bisa dikatakan baligh ditandai dengan haidh yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah datang bulan.
70
Wali pada pernikahan ini adalah untuk wali aqrab bagi calon mempelai wanita, maka tidak boleh berpindah hak perwaliannya kepada wali ab‟a>d kalau masih ada wali aqra>b. Berkenaan dengan pasal 18 ayat (2) poin ketiga PMA No. 11 Tahun 2007 ini, dalam pandangannya beliau mengatakan bahwa ketentuan baligh ini tidak ditentukan oleh usia. Dalam KHI saja hanya disebutkan aqil dan baligh, apalagi hukum fikih. Dan ketika suatu KUA dihadapkan pada kenyataan ini, tidak menunggu seorang wali itu sampai usia 19 tahun apabila ia telah baligh dan kalau ia satu-satunyawali nasab yang tersisa dan tidak mewakilkan kepada wali hakim yakni qadhi, kepala KUA, ataupun penghulu fungsionalnya. Semua peraturan itu seyogyanya untuk kemaslahatan umat, bukannya untuk mempersulit umat. Dan peraturan yang baru ini tidak menasakh (menghapus) peraturan lama, seperti KHI dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, baik peraturan lama maupun peraturan yang baru sama-sama merupakan produk ulil amri. Jadi, dengan menjalankan peraturan lama pun juga dianggap mentaati ulil amri. 14. Responden XIV: a. Identitas responden Nama
: Drs. H. Rusdiansyah Asnawi, SH
Usia
: 72 tahun
Pendidikan
: Sarjana S1 Syariah IAIN dan S1 Hukum
Pekerjaan
: Anggota Dewan Penasihat MUI Kota Banjarmasin
71
Alamat
:Jl. Simpang Gatot Subroto 04 / Jl. Cengkeh No. 34 Banjarmasin Timur, Banjarmasin
b. Deskripsi data Adapun tanggapan beliau terhadap tema yang penulis angkat dalam skripsi ini ialah PMA tersebut hanya peraturan, yakni dalam pelaksanaannya yang menangani perihal pernikahan sudah sejak lama menerapkan produk hukum Islam yang berlaku di Indonesia, yakni KHI atau Kompilasi Hukum Islam. Rukun nikah dari mazhab Imam Syafi‟i ialah sebagai berikut: 1. calon mempelai laki-laki 2. calon mempelai perempuan 3. wali dari mempelai perempuan 4. dua orang saksi, dan 5. ijab qabul Sama seperti beberapa responden sebelumnya bahwasanya tidak ada penyebutan batas usia bagi seorang wali nikah. Salah satu syaratnya hanya baligh, yaitu bagi laki-lakiditandai dengan pernah bermimpi kemudian keluar air mani, membesarnya suara dan lain sebagainya yang mengiringi pertumbuhan seseorang itu, itupun terjadi bisa antara usia 14 atau 15 tahun sampai 17 tahun. Juga bagi perempuan antara 12 sampai 16 tahun bisa dikatakan baligh ditandai dengan haidh yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah datang bulan. Ketika melihat pada masyarakat apabila ada terjadi wali nasab yang menjadi wali tetapi belum mencapai 19 tahun, sedangkan ia sudah baligh. Maka nikah bagi kedua mempelai itu sah saja. Karena kalau saat-saat seperti ini
72
menunggu wali itu berusia 19 tahun, hal tersebut akan mempersulit dan muncul anggapan aturan itu tidak mengutamakan kemasalahatan masyarakat. 15. Responden XV: a. Identitas responden Nama
: Prof. Dr. Ahmadi Hasan, MH
Usia
: 55 tahun
Pendidikan
: Sarjana S3 Ilmu Hukum UII Jogyakarta 2007
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Syariah
Alamat
: Bumi Jaya No. 35 RT 10 Pemurus Baru, Banjarmasin
b. Deskripsi data Adapun menurut beliau terhadap PMA No. 11 Tahun 2007 ini khususnya pasal 18 ayat (2) ialah bahwa poin ketiga mengenai “baligh, sekurang-kurangnya 19 tahun” ialah hanya merupakan sebuah bentuk kebijakan, bukan menafikan peraturan maupun syariat yang sudah ada. Namun dalam pelaksanaannya sama halnya tergantung dari pejabat yang membidangi pernikahan, yaitu KUA. Menurut beliau pribadi, apabila dihadapkan pada kenyataannya kalau ada pernikahan yang walinya di bawah usia 19 tahun, pernikahan itu tetap sah karena yang jelas wali telah aqil dan baligh.Dan sebenarnya peraturan itu bertujuan baik, yakni benar-benar melihat apakah seseorang yang ditunjuk sebagai wali itu telah siap dengan perilakunya yang menginjak tahap kedewasaan. Karena apabila meskipun seseorang itu telah mencapai usia 19 tahun, tetapi kurang akalnya atau
73
mempunyai penyakit kejiwaan ketika akad nikah akan dilaksanakan, maka ia tidak berhak menjadi wali. Pada ayat (4) pasal 18 tersebut, yakni “kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai Wali Nasab, Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal”. Dalam hal ini kita lihat apabila calon mempelai wanita benar-benar tidak ada lagi mempunyai wali selain saudaranya yang tidak memenuhi syarat sebagai wali, baik belum baligh maupun usianya telah mencapai 19 tahun. Maka ayat (4) tersebut mengaturnya. Akan tetapi tetap saja hukum fikih yang diutamakan, karena tidak ada penyebutan jumlah usia untuk ketentuan baligh sebagai salah satu syarat wali nikah. 16. Responden XVI: a. Identitas responden Nama
: Drs. H. Irhamsyah Safari
Usia
: 49 tahun
Pendidikan
: Sarjana S1 Fakultas Syariah Jurusan Perdata Pidana Islam
Pekerjaan
: Sekretaris Umum MUI Kota Banjarmasin
Alamat
: Komp. HKSN Permai Blok B-9/398 RT 28 Alalak Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin
b. Deskripsi data
74
Adapun pendapat beliau sebagai responden ketujuh setelah penulis temui disela-sela waktu sibuk kerjanya mengatakan bahwasanya di dalam Islam menyebutkan usia balighnya seseorang itu berbeda-beda ketika dihubungkan dengan undang-undang keormasan. Di dalam keormasan baligh itu 16 tahun, sedangkan dalam Islam baligh itu ditandai dengan mimpi dan tidak dsebutkan atau ditetapkan menurut umurnya. Sedangkan PMA, Peraturan Menteri Agama mengacu pada usia. Mungkin kerangka pikiran tersebut dianalogikan kepada usia sekolah dasar 6 tahun dimulai ketika usia 6 tahun, ditambah sekolah menengah pertama 3 tahun, dan menengah atas 3 tahun, jumlahnya 18 tahun. Kemudian masuk keperguruan tinggi menginjak 19 tahun ia dianggap dewasa dan telah baligh tentunya. Kalau pada kenyataannya dihadapkan pada pernikahan yang walinya di bawah 19 tahun menurut ketentuan PMA tersebut. Jika seseorang tersebut telah memiliki keterampilan ketika dalam keadaan telah baligh, misalnya ia mampu menjadi imam shalat di mushalla dan lainnya maka mengapa tidak untuk menjadi wali pernikahan. Kalau melihat kembali pada PMA, mungkin ketentuan itu bisa ditoleransikan. Padahal pada usia nikah bagi calon pengantin saja ada dispensasi. Apabila mengacu pada peraturan menteri agama tersebut, usia wali belum mencapai 19 tahun maka ia tidak bisa dipakai menjadi wali. Jadi apabila usia nikah saja ada dispensasi,maka bagi wali pun harus ada dispensasi pula. Dengan tujuan mempercepat pelaksanaan pernikahan. Pendapat beliau apabila peraturan itu diberlakukan di masyarakat, harus dilihat keadaan masyarakat tersebut. Kebanyakan pada masyarakat itu selalu ada
75
hukum adat yang berlaku, dan khususnya di Banjarmasin ini sudah turuntemurunhukum fikih telah menjadi hukum adat yang diberlakukan. Sedangkan peraturan menteri agama yang menetapkan baligh sekurangkurangnya 19 itu adalah sebuah kehati-hatian. Misalnya usia sekolah dari menengah memasuki menengah atas itu biasanya usia yang masih labil, jadi dengan kehati-hatian itu melihat kepada pelaksanaan akad nikah yang bisa dikatakan peristiwa yang sakral di dalam agama Islam. Dan apabila walinya tidak memenuhi syarat, maka nikahnya tidak sah. 17. Responden XVII: a. Identitas responden Nama
: Sarmiji Asri, M. HI
Usia
: 47 tahun
Pendidikan
: Sarjana S2 IAIN Antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: PNS/Sekretaris MUI Kota Banjarmasin
Alamat
:Jl. Belitung Darat RT 35 No. 27 Gang Inayah, Banjarmasin
b. Deskripsi data Adapun pendapat beliau ketika penulis temui pada kesempatan yang telah lalu mengenai PMA No. 11 Tahun 2007 tersebut ialah harus mempunyai solusi dalam menetapkan peraturan. Khusunya pada pasal 18 tersebut setelah ayat (2) menyebutkan syarat wali nasab, disebutkan pada ayat (3) yakni “untuk melaksanakan pernikahan Wali
76
Nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu, Pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.” Kemudian ayat (4) dikatakan “kepala KUA Kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai Wali Nasab, Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal”. Sedangkan pada ayat (3) dan (4) hanya menyebutkan pengganti atau yang berhak menjadi wali apabila wali nasabnya tidak memenuhi syarat. Kalau melihat kepada mayoritas ulama mazhab berpendapat, tidak sah pernikahan tanpa wali. Kecuali mazhab Hanafi, pernikahan tanpa wali itu sah. Sebenarnya pada mazhab Hanafi wali dalam pernikahan juga diperlukan, akan tetapi bukan bagian yang begitu penting. Alasannya yakni apabila perempuan yang hendak menikah itu belum dewasa, jadi wajar ia memerlukan wali. Dan kalau sudah dewasa, maka boleh tanpa wali dalam pernikahan. Atau bisa dikatakan seorang perempuan yang sudah dewasa itu bisa menikahkan dirinya sendiri, bahkan Imam Hanafi memberi solusi yakni apabila perempuan tadi tidak lagi mempunyai wali nasab atau wali aqrab maupun wali ab‟ad, maka ia boleh berwali hakim atau Penghulu atau juga kepala KUA. Di dalam kitab al-Umm, Imam Syafi‟i mensyaratkan wali nikah itu merdeka atau bukan budak , muslim, dewasa yakni dalam bahasa ilmu fikih adalah baligh dan aqil atau berakal. Apabila dalam PMA tadi dikatakan usia wali nasab yang di bawah 19 tahun itu tidak sah, lalu bagaimana jika seseorang itu masih berusia 17 atau 18 tahun namun sudah mengalami baligh. Maka menurut beliau pribadi adalah sah. Bahkan bagi saksi pun apabila usianya antara 17 dan 18 tetapi sudah aqil baligh, maka pelaksanaan pernikahannya pun juga sah.
77
Menurutnya lagi, menteri agama hanya membatasi usia bukan membatasi aqil balighnya. Kalau diperhatikan, boleh saja seseorang itu telah berusia 19 tahun tetapi gila, maka ia tidak boleh menjadi wali nikah. Jadi, tidak ada jaminan bahwa menteri agama dalam mematok usia bagi wali nikah itu apakah seseorang itu sehat akalnya atau tidak. Yang jelas terserah berapapun umur itu, namun ia telah memasuki fase aqil baligh dan sehat akalnya. Jika dalam kenyataannya ditemui hal seperti ini dalam masyarakat, seorang calon pengantin wanitanya hanya memiliki wali nasab saudara kandungnya saja yang masih berusia di bawah 19 tahun, dan sudah sangat ingin melaksanakan pernikahan maka harus ada solusi, yakni dispensasi bagi wali nikah untuk yang masih di bawah 19 tahun. Dispensasi itu misalnya seseorang yang di bawah usia 19 tahun tadi yang menjadi wali karena aqil balighnya, ataupun yang menjadi wali adalah wali hakim kalau wali nasab tidak diakui oleh menteri agama di dalam peraturan tadi. Kalau dipikirkan secara radikal, lebih baik mengikuti mazhab Imam Hanafi saja, yakni nikah tanpa wali itu sah kalau peraturan menteri agama itu terlalu mengekang atau menyusahkan. Dan beliau cukup praktis dalam memberikan pandangan, yakni boleh saja berpindah mazhab selama ada mazhab yang membolehkan dalam rangka mencari kemudahan. Alasannya ialah pada peristiwa Rasulullah mengutus Muaz Ibn Jabal untuk menjadi gubernur di Yaman, dalam pesannya Rasulullah menyampaikan “Yassiruu walaa tu’assiruu, wabasysyiruu walaa tunaffiruu”, yang artinya ialah
78
“permudahlah dan jangan mempersulit, dan sebarkan berita gembira dan janganlah menakut-nakuti”. 18. Responden XVIII: a. Identitas responden Nama
: Drs. H. Murjani Sani, M. Ag
Usia
: 59 tahun
Pendidikan
: Sarjana S2 Jurusan Filsafat Islam (Tasawuf) IAIN Antasari Banjarmasin
Pekerjaan
: Dosen / Ketua MUI Kota Banjarmasin / Ketua BAZNAS Kota Banjarmasin
Alamat
:Jl. Pekapuran Raya RT 13 Gang Seroja No. 5 Banjarmasin
Setelah dilakukan wawancara dengan responden yang satu ini mengenai PMA No. 11 Tahun 2007 khususnya pasal 18 ayat (2) poin ketiga, beliau mengatakan bahwasanya menteri agama dalam mematok usia wali nikah adalah berdasarkan kedewasaan. Karena pada usia 19 tahun tersebut adalah pencapaian kematangan berpikir dan bertindak seseorang. Tidak berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya terhadap peraturan ini, bahwa untuk laki-laki usia baligh ditandai bermimpi kemudian keluar air mani dan haidh untuk perempuan. Kisaran usia mereka antara 10, 11, 12, 13, 14, 15 tahun dan seterusnya. Kemudian yang menjadi dasar pendapat ialah sama halnya dari beberapa responden sebelumnya. Jadi pada intinya ialah hukum fikih hanya mengatur baligh itu ditandai dengan keadaan seseorang itu telah mengalami fase
79
baligh seperti yang disebutkan sebelumnya sedangkan PMA menetapkan usia 19 tahun itu adalah untuk kedewasaan. Jadi dalam pelaksanaannya pun menurut beliau ialah sah saja wali tadi belum mencapai 19 tahun karena kita melihat dari balighnya tadi. Dan lagi pula dalam pelaksanaan pernikahan tersebut wali itu hanya melafalkan sebuah kalimat yang sudah ditentukan, sehingga wali yang belum mencapai 19 tahun dan sudah baligh itu pun mampu melakukannya. Maka, tidak perlu harus menunggu wali tersebut baru berusia 19 tahun kalau kedua mempelai sudah siap akan segala sesuatunya dalam melaksanakan akad nikah. Meskipun ayat (3) dan (4) pada pasal 18 tersebut memberikan jalan atau alternatif untuk menanggulangi terhadap ayat (2) apabila tidak terpenuhi, solusinya ialah kembali kehukum fikih. Seandainya pada kenyataannya dihadapkan pada peristiwa nikah yang walinya di bawah usia 19 tahun, maka saran beliau kepada PPN yang menangani berbagai hal ihwal pernikahan adalah mereka seyogyanya sebijak mungkin dalam menetapkan yang berhak menjadi wali.
B. Analisis Data Memperhatikan data yang telah dikemukakan pada hasil penelitian dari dua kategori respondenbaik itu dari PPN maupun ulama yang terdaftar juga menjadi para pengurus sekaligus komisi fatwa di MUI Kota Banjarmasin pada bab ini. Maka penulis membahas hasil penelitian yang telah penulis uraikan pada poin penyajian data yaitu dalam bab IV ini menjadi 4 bagian. Hal ini didasarkan
80
pada jenis kategori responden, pendidikan, serta analisis pendapat maupun sikap terhadap PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 18 ayat (2) poin ketiga yakni ketentuan baligh bagi wali nikah (nasab). 1. Jenis Kategori Responden Dari faktor jenis kategori yang telah penulis dapat dari wawancara dapat kita bagi menjadi 2 bagian yaitu: a. Kalangan PPN (Pegawai Pencatat Nikah) Para PPN kota Banjarmasin terbagi menjadi 5 kecamatan, dan tiap kecamatan penulis mewawancarai masing-masing 2 responden yakni kepala KUA dan penghulu fungsionalnya. Kecuali pada KUA kecamatan Banjarmasin Utara hanya terdapat satu orang responden. Dan dapat diuraikan pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 Responden dari Kalangan PPN (Pegawai Pencatat Nikah) No. KUA Kecamatan
PPN
1
Banjarmasin Utara
a) Kepala KUA: Syamsuri, S. Ag, M.H.I b) Penghulu fungsional: H. Rahmat Andi W, S. Ag a) Kepala KUA: Drs. H. M. Arifin, HM b) Penghulu fungsional: Ahmad Syarkani
2
Banjarmasin Tengah
3
Banjarmasin Barat
a) Kepala KUA: M. Yusran b) Penghulu fungsional: Drs. H. Hasan Basri
4
Banjarmasin Selatan
5
Banjarmasin Timur
a) Kepala KUA: Drs. H. Aziz Nazar b) Penghulu fungsional: Khairullah, SHI, MA a) Kepala KUA: Ismail, S. Ag
b. Kalangan MUI Kota Banjarmasin
81
Adapun dari kalangan MUI Kota Banjarmasin terdapat 9 orang reponden dengan nama-nama dalam tabel sebagai berikut ini: Tabel 4.2 Responden dari Kalangan Ulama Kota Banjarmasin No. Nama
Jabatan
pada
MUI
Kota
MUI
Kota
Banjarmasin 1
Drs. H. Asmara Saibi
Wakil
ketua
Banjarmasin 2
Dr. H. Syaifullah abdussamad, Lc, MA
Ketua komisi fatwa MUI Kota Banjarmasin
3
Drs. KH. Iberahim Hasani
Komisi Fatwa MUI Provinsi Kalimantan Selatan dan Dewan Pertimbangan
MUI
Kota
Fatwa
MUI
Banjarmasin 4
H. Abdul Hamid Jaelani
5
Drs. H. Rusydiansyah Asnawi, SH
Ketua
Bidang
Provinsi Kalimantan Selatan 6
Prof. Dr. Ahmadi Hasan, MH
Bidang hukum dan peraturan daerah MUI Kota Banjarmasin
7
Drs. H. Irhamsyah Safari
Sekretaris Umum MUI Kota Banjarmasin
8
Sarmiji Asri, M. HI
Sekretaris
MUI
Kota
Banjarmasin 9
Drs. H. Murjani Sani, M. Ag
Ketua MUI Kota Banjarmasin
2. Pendidikan Responden Dari 18 orang responden di atas terbagi dalam 3 bagian dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Responden
82
No. Tingkat pendidikan
Responden
1
I, II, IV, V, VII, VIII, IX, X, XII, XIII, XIV
Strata 1 (S. 1)
dan XVI 2
Strata 2 (S. 2)
III, VI, XVII dan XVIII
3
Strata 3 (S. 3)
XI dan XV
3. Analisis Sikap dan Pendapat Hasil dari studi terhadap sikap dan pendapat masing-masing PPN dan Ulama Banjarmasin mengenai poin ketiga pasal 18 ayat (2) PMA No. 11 Tahun 2007 yakni “baligh, sekurang-kurangnya 19 tahun” tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.4 Ringkasan Analisis Hasil Wawancara Dengan Responden No. Responden 1
Setuju: XI,
Alasan 1. Ketentuan usia 19 tahun tersebut merupakan kebijakan
XII
dan XV
untuk mengatur dan menyelaraskan kemaslahatan umat. Di dalam kitab fiqh karangan Wahbah Zuhaily, yakni Fiqh Islamy wa Adillatuhu. Disebutkan syarat-syarat wali nikah ialah baligh, berakal dan merdeka, Islam, laki-laki, adil, dan ar-Rusyd (cerdas/pintar). Bila dilihat dari poin yang menyebutkan “ar-rusyd” yang artinya cerdas/pintar tersebut untuk peraturan itu tidaklah bertentangan
dengan
hukum
fikih.
Karena
yang
dimaksud disini yakni kemampuan atau kecakapan seseorang dalam berpikir dan bertindak secara hukum.
83
Tabel Lanjutan 4.4 No. Responden
Alasan 2. Ar-rusyd ini berkaitan dengan usia dewasa dan dewasa. Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. 3. Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan. Sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing. 4. peraturan
menteri
agama
pertimbangan-pertimbangan
tersebut yang
telah
melalui
matang
untuk
mengutamakan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. 5. Ijtihad itu terbagi kepada dua, yakni ijtihad fardhi dan ijtihad jama‟i. Maka peraturan ini termasuk kepada ijtihad jama‟i. 2.
Tidak Setuju: I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XIII, XIV, XVI, XVII
1. Peraturan
Menteri
Kemungkinan
Agama
kerangka
mengacu
berpikirnya
pada hal
usia.
tersebut
dianalogikan usia sekolah dasar 6 tahun dimulai ketika usia 6 tahun, ditambah sekolah menengah pertama 3 tahun, dan menengah atas 3 tahun, jumlahnya 18 tahun.
84
Tabel Lanjutan 4.4 No. Responden
Alasan Kemudian masuk keperguruan tinggi menginjak 19 tahunia dianggap dewasa dan telah baligh tentunya. 2. Apabila mengacu pada peraturan menteri agama tersebut, usia wali belum mencapai 19 tahun maka ia tidak bisa dipakai menjadi wali. Jadi apabila usia nikah saja ada dispensasi, maka bagi wali pun harus ada dispensasi pula guna mempercepat pelaksanaan pernikahan. 3. sah saja wali tadi belum mencapai 19 tetapi sudah baligh. Karena dalam pelaksanaan pernikahan tersebut wali itu hanya melafalkan sebuah kalimat yang sudah ditentukan, sehingga wali yang belum mencapai 19 tahun dan sudah baligh itu pun mampu melakukannya. Maka, tidak perlu harus menunggu wali tersebut sampai berusia 19 tahun. 4. syarat-syarat wali yang termuat di dalam buku pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN) ialah beragama Islam, baligh, berakal, tidak dipaksa, terang lelakinya, adil (bukan fasiq), tidak sedang ihram haji, tidak dicabut haknya
dalam
menguasai
harta
bendanya
oleh
pemerintah, dan tidak rusak pikirannya karena tua dan sebagainya.
Dari tabel ringkasan analisis hasil wawancara dengan para responden di atas, dapat dilihat bahwa PPN sebagai pelaksana undang-undang perkawinan di Indonesia bagi yang beragama Islam khususnya di wilayah kota Banjarmasin secara terbuka menyampaikan pendapatnya kepada penulis mengenai pasal 18
85
ayat (2) poin c PMA No. 11 tahun 2007. Hasilnya, mereka secara tidak langsung sepakat untuk tidak melaksanakan peraturan tersebut dengan kemungkinan beberapa faktor di bawah ini: a. peraturan tersebut
tidak mudah diterapkan
di
wilayah kota
Banjarmasin. b. Peraturan sebelumnya sudah menjadi „urf atau adat kebiasaan masyarakat.
Misalnya
KHI
(Kompilasi
Hukum
Islam),
isi
ketentuannya sesuai dengan hukum Islam. c. Peraturan tersebut sifatnya tidak mengikat, sehingga tidak sanksi bagi PPN yang tidak menerapkan ketentuan tersebut maupun tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan. Adapun dari kalangan ulama kota Banjarmasin, sebagian besar berpendapat bahwa peraturan tersebut bersifat sunat saja. Yakni apabila pernikahan yang walinya berusia di bawah 19 tahun akan tetapi sudah baligh maka pernikahannya tetap sah. Karena hukum Islam tidak menyebutkan adanya standarisasi usia bagi wali nikah, asalkan sudah baligh dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai wali dalam pernikahan. Selanjutnya dari ulama yang setuju dengan peraturan tersebut mengaitkan usia 19 tahun merupakan fase seseorang mencapai kematangan psikis maupun cara berpikirnya. Sesuai dengan istilah yang disebutkan dalam ilmu ushul fiqh,
86
yakni ahliyatul ada>‟ (kemampuan berbuat) yaitu kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya.54 Pada prinsipnya kemampuan berbuat (ahliyatul ada’) seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal dan kesempurnaan akal seseorang itu diukur dengan kedewasaannya. Sebab kedewasaannya itu menunjukkan bahwa akalnya telah sempurna.55 Ketika seseorang akan melaksanakan pernikahan maka harus dipenuhi rukun nikahnya, karena rukun nikah wajib dipenuhi agar pernikahan itu sah menurut hukum Islam dan hukum yang berlaku di Negara Indonesia dan kemungkinan terjadinya permasalahan di kemudian hari. Adapun rukun nikah adalah sebagai berikut: a. Calon mempelai laki-laki. b. Calon mempelai perempuan. c. Wali dari calon mempelai perempuan. d. Dua orang saksi. e. Ijab qabul.56 Syarat-syarat yang disebutkan dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah pasal 18 ayat (2)tersebut sejalan dengan keyakinan hukum yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang berbeda adalah pada poin ke-3 tedapat tambahan kalimat “berumur sekurang-kurangnya 19 tahun”. Hal ini 54
Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1993), h. 165 55 Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Ibid, h. 167 56 Ahmad Rofiq, Op.Cit, h. 71
87
menimbulkan anggapan bahwa seorang wali nasab yang telah baligh tetapi belum berusia 19 tahun, maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Hak perwaliannya gugur dan berpindah kepada wali nasab lain yang telah berusia 19 tahun. Implikasinya, jika wali nasab yang belum berusia 19 tahun itu tetap menikahkan (menjadi wali dalam suatu pernikahan), maka tentunya akad nikahnya menjadi tidak sah, karena tidak memenuhi syarat. Hal seperti itu harus disikapi sebijaksana mungkin oleh PPN yang menangani pencatatan pernikahan di KUA. Dalam pasal tersebut, syarat-syarat selain baligh sejalan dengan keyakinan hukum yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang berbeda dan terlihat kontroversi adalah keterangan tambahan mengenai syarat baligh, yakni kata kalimat tambahan “berumur sekurang-kurangnya 19 tahun” tersebut terlihat begitu berani untuk berbeda dari pemahaman kebanyakan masyarakat, yang meyakini bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 15 tahun. Sebelum terbitnya PMA Nomor 11 Tahun 2007, ketentuan usia 19 tahun hanya diberlakukan bagi calon pengantin laki-laki dan saksi. Dengan kata-kata tambahan tersebut terlihat adanya upaya untuk memberikan kepastian hukum mengenai usia baligh. Tampaknya pemerintah ingin konsisten menerapkan usia ideal 19 tahun bagi semua pihak yang melakukan akad nikah (kecuali calon pengantin wanita). Dengan hal itu pula pemerintah telah melakukan distorsi: pengalihan makna dari baligh ke dewasa. Distorsi yang mungkin disengaja untuk tujuan
88
maslahat. Bisa jadi, pemerintah berkeinginan agar wali nasab jangan sampai dilakukan oleh anak-anak, yang menurut perundang-undangan yang berlaku tidak sah melakukan suatu tindakan hukum. Namun, dengan kebijakan itu, ditakutkan bukan maslahat yang didapat, tetapi akan berdampak menyulitkan umat. Ditambah lagi, pendefinisian anak-anak dan dewasa dalam perundangundangan yang berlaku di Indonesia tidak sama. Perundang-undangan yang satu berbeda dengan yang lainnya. UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 1, menyebutkan bahwa, “Anak di bawah umur adalah seseorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Sementara UU Anti Pornografi dan Pornoaksi memberikan batasan, “Anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 12 (dua belas) tahun; sedangkan Dewasa adalah seseorang yang telah berusia 12 (dua belas) tahun keatas.” Dalam dunia hukum (positif), dewasa juga dikenal dengan istilah legal age, yaitu usia yang menurut hukum memenuh syarat untuk diberi hak dan kewajiban hukum tertentu. Legal ageyang berlaku di Indonesia juga berbedabeda. Legal ageuntuk menikah di Indonesia adalah 15 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria (KUHPdt), legal age untuk menikah bagi orang Islam adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), dan legal age untuk dimintai tanggung jawab pidana adalah 8 tahun (UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak).
89
Dalam nash (al-Qur‟an dan Hadis) maupun dalam kitab-kitab fikih ditemukan beberapa istilah mengenai fase usia (kedewasaan) manusia. Istilahistilah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mumayyiz (tamyiz); yaitu fase kesadaran intelektual. Pada fase ini manusia mulai paham akan lingkungan. Ia mulai dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk; apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh; juga memahami akan hak dan kewajiban. Al-Qur‟an menyebut fase ini dengan ba>la>ga al-h}u>lu>mseperti dalam surat Al-Nur ayat 59:
ِ ِ ِ َّ ِ ِّي اللَّوُ لَ ُك ْم آيَاتِِو ْ ال ِمْن ُك ُم ُ َوإِ َذا بَلَ َغ األطْ َف َ ين ِم ْن قَ ْبل ِه ْم َك َذل ُ ك يُبَ ن ْ اْلُلُ َم فَ ْليَ ْستَأْذنُوا َك َما َ استَأْ َذ َن الذ ِ ِ )٥٩( يم ٌ يم َحك ٌ َواللَّوُ َعل Artinya: “dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”57 2. Baligh, yaitu fase kematangan biologis. Pada fase ini manusia mengalami kematangan secara fisik. Seluruh kelengkapan tubuh orang dewasa mulai ada. Bulu-bulu halus mungkin mulai tumbuh, seiring perkembangan hormon, suarapun berubah. Fase ini, dalam al-Qur‟an disebut sebagai balaga al-nikah (usia nikah), seperti dalam surat Al-Nisa ayat 6:
ِ ِ وىا إِ ْسَرافًا َ ُاح فَِإ ْن آنَ ْستُ ْم مْن ُه ْم ُر ْش ًدا فَ ْادفَعُوا إِلَْي ِه ْم أ َْم َوا ََلُ ْم َوال تَأْ ُكل َ َوابْتَ لُوا الْيَتَ َامى َح ََّّت إذَا بَلَغُوا الن َك ِ وبِ َدارا أَ ْن يكْب روا ومن َكا َن َغنِيًّا فَ ْليست ع ِفف ومن َكا َن فَِقريا فَ ْليأْ ُكل بِالْمعر وف فَِإذَا َدفَ ْعتُ ْم إِلَْي ِه ْم ْ ََ ْ ْ َْ َ ْ ََ َُ َ ً َ ُْ َ ْ َ ً )٦( أ َْم َوا ََلُ ْم فَأَ ْش ِه ُدوا َعلَْي ِه ْم َوَك َفى بِاللَّ ِو َح ِسيبًا 57
Departemen agama, Op.Cit, h. 499
90
Artinya: “dan ujilahanak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya. Dan janganlah kamu memakannya(harta anak yatim)melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”58 Rusyd; yaitu fase kematangan psikologis. Pada fase ini, bukan saja secara fisik-biologis sudah matang, melainkan juga telah matang dari emosi dan pengendalian diri. Ia akan bertindak setelah diperhitungkan dengan matang akibat yang akan ditimbulkannya. Ada dua istilah yang disebutkan dalam al-Qur‟an bagi fase ini, yaitu balaga asyuddah dan istawa, sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 14:
ِ ِِ )١٤ ( ِّي ُ َولَ َّما بَلَ َغ أ َ ْما َو ِع ْل ًما َوَك َذل َ ك ََْن ِزي الْ ُم ْحسن ْ َشدَّهُ َو ً استَ َوى آتَْي نَاهُ ُحك Artinya: “dan
setelah dia(Musa) cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan
ke- padanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”59 Hukum Islam menetapakan kedewasaan seseorang dengan dua jalan. Yakni:
58
Departemen Agama, Ibid, h. 100 Departemen Agama, Opcit, h. 388
59
91
1) Ditetapkan dengan adanya ciri-ciri khas kedewasaan. Seperti menstruasi bagi wanitaatau ihtilam (keluar sperma) baik bagi laki-laki maupun perempuan. 2) Ditetapkan dengan tercapainya umur tertentu. Apabila ciri-ciri kedewasaan tersebut di atas tidak didapatkan pada seseorang, karena ia mendapat gangguan jasmaniah, maka kedewasaan itu dapat ditetapkan dengan tercapainya umur tertentu. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat apabila seorang laki-laki telah mencapai umur 18 tahun dan seorang perempuan telah mencapai umur 17 tahun, maka mereka adalah orang dewasa. Sedang ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah menetapkan kedewasaan seorang laki-laki maupun perempuan dengan tercapainya umur 15 tahun. Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan pase-pase yang ditempuh oleh seorang sejak lahir sampai dewasa ada 3 pase.60 a). Ma>rh{a>la>h in‟ida>mu>l idra>k (pase tidak mempunyai kesadaran). Pase ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai umur 7 tahun. Dalam ma>rh{a>la>h ini seorang anak ditetapkan belum mempunyai kesadaran dalam bertindak. Seorang anak dalam ma>rh{a>la>h ini disebut gha>iru> mu>ma>yyiz. Sebenarnya ketamyizan seorang anak itu tidak dapat dipastikan dengan tercapainya umur ini. Sebab adakalanya seorang anak sudah mumayyiz sebelum ia mencapai umur 7 tahun dan adakalanya sesudah mencapai 7 tahun, mengingat kondisi jasmani dan iklim daerah tempat anak itu
60
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ul Jina’il Islamy, Juz 1, (Darul „Arubah, 1963), h. 600-602
92
berada. Namun demikian para fuqaha menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyizan seorang anak demi keseragaman hukum. Apabila anak gha>iru> mu>ma>yyiz melakukan tindak pidana, maka ia tidak dipidana. Ia tidak dijatuhi hukum qishash bila membunuh, tidak dipotong tangannya bila mencuri, dan tidak pula dihukum ta‟zir bila ia melukai atau menganiaya seseorang. Akan tetapi, dalam lapangan hukum perdata, ia tetap diminta pertanggungjawaban lewat walinya bila ia membuat kerugian kepada orang lain. Walinyalah yang harus melaksanakan pertanggungjawaban perbuatanyang dilakukan oleh anak gha>iru> mu>ma>yyiz yang berada di bawah perwaliannya. Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syari‟at, seperti shalat, puasa dan haji, dipandang belum sah. b). Ma>rh{a>la>h al Idra>kud dh{a>if (pase kesadaran lemah). Pase ini dimulai sejak anak berumur 7 tahunsampai umur 15 tahun. Anak dalam ma>rh{a>la>h ini disebut anak mu>ma>yyiz. Anak mu>ma>yyiz tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Misalnya bila ia mencuri ia tidak boleh dijatuhi hukum potong tangan, bila ia membunuh tidak dapat dijatuhi hukum qishash, akan tetapi ia dapat dijatuhi hukum pidana pengajaran, misalnya ditempatkan di suatu asrama yang khusus untuk anak-anak nakal dan lain sebagainya. Dalam soal perdata ia disamakan dengan anak gha>iru mu>ma>yyiz. Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syariat seperti shalat, puasa dan haji, perbuatannya dipandang sah. Hanya saja kalau perbuatan tersebut rusak atau batal ia tidak wajib memperbaikinya.
93
c). Ma>rh{a>la>h al Idra>kut Ta>mm (pase kesadaran sempurna) pase ini dimulai sejak seorang berumur 15 tahun sampai meninggal dunia. Dalam ma>rh{a>la>h ini seorang disebut dewasa dan karenanya ia sudah mempunyai pertanggungjawaban yang penuh, baik dalam lapangan hukum pidana, perdata maupun dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan. Setiap manusia itu mempunyai ahli>ya>tul wuju>b (kepantasan menerima hak dan kewajiban)baik ia laki-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun belum dewasa, baik sehat maupun gila dan biarpun ahli>ya>tul wuju>b itu na>qis (kurang sempurna) maupun ka>mil (sempurna). Orang dewasa itu mempunyai ahli>ya>tul ada>‟ (kemampuan bertindak) yang sempurna. Akan tetapi ahli>ya>tul ada>‟ ini kadang-kadang berhadapan dengan hal-hal yang dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali, atau menguranginya atau tidak dapat menghilangkan atau menguranginya, tetapi hanya merubah sebagian hukum dari tindakan tersebut. Hal-hal
yang
menghalangi
kemampuan
bertindak,
yang
disebut
„Awa>ri>dh{u>l ahli>ya>h itu ada dua macam. Yakni “S{a>ma>wi>yah dan K>a>s{a>bi>yah”. Yang disebut halangan S{a>ma>wi>yah ialah hal-hal yang berada di luar usaha dan ikhtiyar manusia. Halangan s{a>ma>wi>yah itu ada 10 macam. Yakni: a. Keadaan belum dewasa, b. Sakit gila, c. Kurang akal,
94
d. Keadaan tidur, e. Pingsan, f. Lupa, g. Sakit, h. Menstruasi, i. Nifas dan j. Meninggal dunia. Yang disebut halangan ka>sa>bi>yah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan ka>sa>bi>yah itu ada 7 macam. Yakni: a. Boros, b. Mabuk, c. Bepergian, d. Lalai, e. Bergurauan (main-main), f. Bodoh (tidak mengetahui) dan g. Terpaksa (ikrah)61 Dari paparan di atas jelaslah bahwa secara nash, baligh tidak bisa disamakan dengan dewasa. Oleh karena itu, jelas pula bahwa pemerintah (termasuk kita) telah melakukan kekeliruan, yang harus segera ditebus dengan perubahan dan perbaikan.
61
Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Op.Cit. h. 170-171
95
Hukum memang tidak harus tunduk kepada keinginan masyarakat. Tetapi banyak terjadi, aturan perundang-undangan tidak dapat diterapkan dengan baik karena tidak sejalan dengan keyakinan kebanyakan masyarakat (seperti tentang sahnya thalak harus di depan hakim, dll). Karena agar hukum berwibawa, perundang-undangan dilaksanakan dengan suka cita oleh masyarakat, pembuatan peraturan perundang-undangan harus pula memperhatikan mazhab masyarakat. Memang benar bahwa posisi wali dalam (akad) pernikahan begitu penting. walaupun demikian, tidaklah perlu mengubah makna nash untuk mengejar nilai ideal. karena nikah adalah ibadah, maka syarat-syarat, rukun, kewajiban, sunnahsunnahnya, dan kaifiyyahnya harus tetap dijaga agar sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.