BAB IV PEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN BAGI WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA
A.
Kepastian hukum dalam pemilikan satuan rumah susun bagi warga negara asing di Indonesia Menurut Kepala Urusan Umum dan Kepegawaian Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, yang menjadi dasar dan kepastian hukum dalam pemilikan satuan rumah susun bagi warga negara asing secara jelas telah dijabarkan dalam PP No. 41 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia, begitu juga dengan status perolehan hak yang dapat dimiliki oleh warga negara asing. Menurutnya, UU dan PP yang mengatur tentang pemilikan hunian tempat tinggal bagi orang asing sudah mampu melindungi kepentingan warga negara Indonesia di negaranya sendiri, hal tersebut terlihat dari kemanfaatannya yang sudah tercapai.1 Munculnya PP No. 41 tahun 1996 sebagai aturan tentang pemilikan hunian bagi orang asing di Indonesia merupakan langkah antisipasif yang di lakukan Pemerintah sebagai upaya menanggapi adanya fenomena globalisasi dunia yang membawa dampak bagi mobilitas manusia dari berbagai negara di Indonesia. Maksud dari adanya PP ini adalah untuk lebih menjamin kepastian hukum dalam kemungkinan pemilikan rumah tempat tinggal bagi orang asing di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun. Dengan demikian pemilikan rumah tersebut tidak menyimpang dari tujuan, yaitu sekedar dukungan yang wajar bagi penyelenggara
1
Hasil wawancara dengan Kepala Urusan Umum dan Kepegawaian Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 20 April 2010.
usahanya dan tidak semata-mata bagi kepentingan orang asing itu, tetapi lebih dapat memberikan manfaat atau kontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Adapun kepastian hukum dalam pemilikan hunian tempat tinggal bagi orang asing yaitu berupa sertipikat kepemilikan atas tanah dan bangunan. Sertipikat tersebut digunakan sebagai alat bukti kepemilikan yang sah yang dapat dipunyai oleh orang asing tersebut yang sebelumnya telah didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. PP tersebut ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 tahun 1996 dan No. 8 tahun 1996. Dalam rangka pemilikan hunian rumah oleh orang asing menurut PP No. 41 Tahun 1996 dapat dipastikan bahwa akan dilakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah beserta rumah oleh orang asing yang bersangkutan. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perbuatan hukum termasuk di atas, baik mengenai subyek hukumnya ( orang asing ), mengenai cara memperoleh hak/ rumah maupun mengenai batasan rumah/ hak yang akan diperoleh serta kewajiban orang asing yang telah memperoleh rumah di Indonesia.2 Kepemilikan hunian tempat tinggal bagi warga negara asing perolehan hak atas tanahnya dibatasi dengan status “Hak Pakai” atau “Hak Sewa" dan hanya diperbolehkan memiliki satu rumah untuk hunian tempat tinggal. Namun, karakter hukum dari bangunan yang dibangun diatas tanah hak sewa atau hak pakai mengandung kelemahan karena sifatnya hanya sementara dan tidak memperoleh kekuasaan mutlak atas hak tanahnya. Hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi pemerintah dalam upaya melindungi kepentingan nasional dan kepentingan bangsa Indonesia. Dalam hal ini keberadaan 2
Indonesia, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 110-2871, butir 1.
orang asing di Indonesia sifatnya hanya sementara, untuk itu dalam perolehan hunian tempat tinggal di Indonesia terdapat beberapa batasan-batasan. Dengan adanya kesempatan orang asing untuk memperoleh hunian tempat tinggal di Indonesia, hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing Indonesia dalam menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Di sisi lain, banyaknya orang asing yang memerlukan tempat tinggal akan
meningkatkan
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di bidang pembangunan perumahan dan akan menambah pemasukan devisa dari orang asing yang membeli rumah. Jika kita pelajari UU No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, maka hukum kita memungkinkan orang-orang atau badan-badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia memiliki satuan rumah susun, yang dalam hal ini jika orang asing tersebut memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama di atas mana bangunan gedungnya berdiri. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada prinsipnya orang asing dan badan hukum asing diharapkan dapat pula mendukung deregulasi yang dikeluarkan Pemerintah di bidang penanaman modal asing, yang memberikan izin investasi modal asing antara 30 sampai 60 tahun. Dengan penanaman modal jangka panjang akan banyak orang asing yang perlu tinggal cukup lama di Indonesia sehingga pemilikan rumah akan lebih menguntungkan bagi mereka daripada menyewa atau mengontrak. 3
B.
Upaya penangulangan penyelundupan hukum dalam pemilikan satuan rumah susun Arus globalisasi dan perdagangan bebas yang melanda dunia saat ini menyebabkan aspek dan pola hidup masyarakat dunia berubah terutama masyarakat Indonesia. Mudahnya orang asing masuk ke Indonesia membawa dampak yang cukup besar bagi 3
Hutagalung, Arie S, Condominium dan Permasalahannya, ( Depok : Badan Penerbit FHUI, 2002 ), edisi kedua, hal. 99.
perubahan hukum yang ada. Hal itu terjadi karena adanya desakan masyarakat akan kepastian hukum dan jaminan akan hukum di Indonesia baik bagi WNI maupun bagi WNA. Dalam hal ini permasalahan yang timbul dalam perubahan hukum itu adalah sejauh mana bisa sesuai dengan perubahan tersebut dan bagaimana tatanan hukum itu agar tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat. Di samping itu, sejauh mana masyarakat dapat mengikat diri dalam perkembangan hukum agar ada keserasian antara masyarakat dan hukum supaya melahirkan ketertiban dan ketentraman yang diharapkan. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan pada hukum modern sebagai lawan dari hukum tradisional.4 Namun, hukum sudah menjadi bahan refleksi sejak dahulu kala, maka kegiatan berpikir tentang hukum tidak dapat bertolak dari titik nol. Artinya, pemikiran tentang hukum merupakan lanjutan pemikiran hukum pada zaman dahulu. Beberapa pemilikan hukum tersebut melampaui generasi dan zamannya, hal tersebut merupakan wujud pemberontakan terhadap dominasi wacana arus utama yang tidak mampu lagi menjelaskan dan menjawab berbagai kebutuhan kemanusiaan akan hukumnya. 5 Dalam kaitannya dengan pembaruan hukum di Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) tahun 1993 mengamanatkan Pembangunan Jangka Panjang ( PJP ) II dalam rangka memantapkan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, pembangunan hukum diarahkan untuk menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintah dan penyelenggaraan pembangunan nasional, didukung oleh aparatur hukum yang bersih, berwibawa, penuh pengabdian, sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan sesuai kemanusiaan, serta
4
Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, ( Jakarta : Kencana Prenada Media, 2009 ), cetakan ketiga, hal. 63-64. 5
Rahardjo, Satjipto, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, ( Yogyakarta : Genta Publishing, 2009 ), hal. v-vi.
yang professional, efisien dan efektif, dilengkapi dengan sarana dan prasarana hukum yang memadai, serta mengembangkan masyarakat yang sadar akan hukum.6 Salah satu upaya hukum yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 42 UUPA khususnya terkait dengan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian bagi warga negara asing, disamping untuk secara tidak langsung “mencegah” upaya-upaya penyelundupan hukum yaitu dengan menerbitkan PP No.41 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia yang diikuti oleh peraturan pelaksananya.7 Selain itu bentuk upaya yang dilakukan Pemerintah sebagai usaha untuk menghindari adanya penyelundupan hukum pemilikan hunian bagi orang asing, khususnya di Kantor Pertanahan yaitu dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam meneliti berkaitan dengan permohonan sertipikat yang masuk, peningkatan kemampuan dalam bentuk pelatihan dan peningkatan pengetahuan di bidang penyidikan bekerjasama dengan kepolisian unit reserse serta pendidikan dan pelatihan teknis untuk petugas loket ( berhubungan langsung dengan masyarakat pemohon ).8 Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum yakni dengan membuat aturan kejelasan tentang sanksi yang berkaitan dengan adanya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh beberapa oknum termasuk WNA dan WNI berupa UUPA Pasal 26 ayat 2 tentang pemindahan hak secara tidak langsung. Dalam hal ini pemerintah sudah berupaya semaksimal mungkin dalam mengeluarkan peraturan-peraturan untuk kenyamanan WNA tersebut tanpa melupakan keamanan dalam arti kepemilikan penguasaan tanah. Dalam upaya menyesuaikan 6
Manan, Abdul, op, cit., hal 65-66.
7
Sumardjo, Maria S. W, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan bagi WNA dan Badan Hukum Asing, ( Jakarta : Kompas, 2008 ), cetakan kedua, hal. 2-3. 8
Hasil wawancara dengan Kepala Urusan Umum dan Kepegawaian Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 20 April 2010.
dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat, kerangka hukum tanah Indonesia kedepan diharapkan mampu mengakomodir dan memenuhi rasa keadilan bagi rakyat dan selalu menjaga konsistensinya sehingga tujuan hukum tanah Indonesia dapat tetap tercapai