BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tahap Pelaksanaan Penelitian Dalam pengambilan data-data untuk kepentingan penelitian ini, peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, observasi, alat perekam berupa ponsel, kamera untuk dokumentasi, dan kertas dan bolpoin untuk mencatat. Adapun tahapan yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap persiapan, meliputi: a. Pengajuan judul kepada dosen mata kuliah Bimbingan Penulisan Skripsi. b. Observasi lokasi penelitian sebagai modal awal data lapangan untuk mendapatkan subyek. c. Pembuatan proposal penelitian. d. Konsultasi proposal kepada dosen pembimbing. e. Melakukan ujian proposal. f. Mengurus
surat
perizinan
penelitian
kepada
pihak
bersangkutan. g. Menjajaki dan menilai keadaan lapangan. h. Membangun hubungan yang baik dengan subyek penelitian. i. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
28
yang
2. Tahap pelaksanaan, meliputi: a. Memahami latar belakang penelitian dan persiapan diri. b. Melakukan wawancara kepada subyek penelitian. c. Menggali data penunjang melalui dokumen-dokumen. 3. Tahap penyelesaian, meliputi: a. Menyusun kerangka hasil penelitian. b. Menyusun laporan akhir penelitian dengan selalu berkonsultasi kepada dosen pembimbing. c. Ujian pertanggungjawaban hasil penelitian di depan dewan penguji. d. Penyampaian laporan hasil penelitian kepada pihak yang terlibat.
B. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi Berdirinya Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi tidak lepas dari serangkaian peristiwa yang diawali dengan datangnya seorang musafir bernama Gus Rofi' Mahmud, salah satu putra ulama' besar KH. Mahmud Dahlan dari Rembang yang kemudian atas ridho Allah beliau menjadi pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi hingga sekarang. Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi didirikan pada tanggal 14 Agustus 1988 atau 1 Muharam 1409 H. Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan oleh para tokoh masyarakat di atas sebidang tanah seluas 205 m2, yang merupakan tanah wakaf dari H. Zainuri atau
29
Bapak Pairi. Nama Al Fadholi diambil dari guru pengasuh, yaitu Syeikh Abul Fadhol bin Abdus Syakur Senori Tuban Jawa Timur. Pada tanggal 27 Desember 1991 dibentuklah Yayasan Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi yang diajukan kepada Notaris Pramu Haryono, SH. Pada hari selasa tanggal 31 Desember 1991, Yayasan Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi secara resmi dengan akte notaris: 144/BH/PPDUA/XII/91. Sejak itu Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi melaksanakan kegiatan dan programnya sesuai dengan kelembagaannya, dan mengelola lembaga-lembaga yang bernaung di bawahnya, seperti: a. Madrasah Diniyah Darul Ulum Al Fadholi b. Koperasi Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi c. Lembaga Pengabdian Masyarakat Al Fadholi d. Panti Asuhan Anak Yatim Piatu dan Anak Terlantar di Al Fadholi 5. e. Taman Kanak-Kanak Al Fadholi Model Laboratorium KSDP Universitas Negeri Malang. Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Fadholi sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berbasis pesantren yang memili dua fungsi, yakni fungsi taffaquh fiddin (pengajaran, pemahaman, dan pendalaman ajaran Islam) dan fungsi yang kedua adalah indzar (menyampaikan dan mendakwah ajaran Islam kepada masyarakat). 2. Gereja Santa Perawan Maria Dari Gunung Karmel Gereja yang dibangun pada 28 Oktober 1934 ini merupakan Gereja Kathedral bertipikal Belanda asli. Lokasinya terletak di Jl. Guntur No. 2
30
Malang. Gereja ini pernah direnovasi pada 27 Juli 2002. Awalnya Gereja Ini bernama Santa Tereshia kemudian berganti nama Santa Maria Bunda Carmel pada 1961. Kathedral berarti pusat atau area yang berada di tengah-tengah Gereja, atau bisa dikatakan juga kalau Kathedral juga Area Keuskupan Utama. Kathedral Ijen termasuk salah satu Kathedral terindah di Indonesia. Sebelumnya di kota Malang hanya ada satu gereja katolik, yaitu Gereja Hati Kudus Yesus di Kayutangan yang dibangun sejak tahun 1905. Dikarenakan banyaknya umat yang beribadah dan pelayanan pada satu gereja tidak mencukupi, maka Msgr. Clemens van der Pas O. Carm membangun Gereja Katolik Jawa di Jl. Semeru pada tahun 1929 (dan sekarang menjadi Gereja Kristen Kalam Kudus). Gereja Kathredal yang dirancang oleh arsitek L. Estourgie dan dibangun oleh pemborong NV Bouwundig Buerau Siten en Louzada ini dilakukan peletakan batu pertama pada tanggal 11 Februari 1934 dan pada tanggal 28 Oktober 1934 diresmikan dan dipersembahkan kepada Santa Theresia. 3. Pura Bhuvana Kerta Pura yang berdiri Pura Bhuvana Kertha merupakan tempat ibadah umat Hindu tertua ketiga di Malang (didirikan sejak tahun 1957). Terletak di Lanud Angkatan Udara Abdurrahman Saleh, Singosari Malang. Keberadaan dan eksistensi Pura Bhuvana Kertha ini sangat berarti dan
31
diperhitungkan oleh pemuka agama, pemerintah daerah setempat dan masyarakat Hindu di Malang khususnya. Pada tahun 1957, diawali dari kehadiran tokoh rohaniwan Hindu Ida Pedanda Made Kemenuh, Ida Pedanda Oka Telaga dan Ida Pedanda Wayan Sidemen yang bertemu dengan Keluarga Pelajar Bali Indonesia (KBBI). Pertemuan ini difasilitasi oleh tokoh umat Hindu di Malang yaitu JBAF Major Polak (keempat tokoh tersebut sudah almarhum). Dari pertemuan tersebut tercetus ide pembangunan tempat suci Hindu (pura) di Malang, kemudian terpilih lokasi pura yang sangat strategis di Lanud Angkatan Udara Abdurrahman Saleh, Singosari Malang
C. Profil Subyek Dalam proses pengambilan subyek, peneliti meminta bantuan kepada pihak-pihak yang ada di lokasi penelitian. Dengan kriteria pemilihan subyek yang telah disebutkan, yaitu penganut agama yang faham terkait pengetahuan agama mereka, peneliti mendapatkan subyek berdasarkan rekomendasi dari beberapa orang yang ada di lokasi penelitian. Adapun yang kemudian menjadi subyek dalam penelitian ini adalah: 1. Identitas Subyek I a. Inisial
: MS
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Suku Bangsa
: Jawa
d. Agama
: Islam
32
e. Pekerjaan
: Pengasuh PP. Darul Ulum Al Fadholi
2. Identitas Subyek II a. Inisial
: SY
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Suku Bangsa
: Jawa
d. Agama
: Kristen (Katolik)
e. Pekerjaan
: Pastur di Gereja Santa Perawan Maria Dari
.
Gunung Karmel
3. Identitas Subyek III a. Inisial
: PN
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Suku Bangsa
: Bali
d. Agama
: Hindu
e. Pekerjaan
: Pandita di Pura Bhuvana Kertha
D. Paparan Data Penelitian Prosedur dalam sebuah penelitian selalu dilakukan dengan prosedural. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penemuan hasil penelitian. Proses pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi. Data yang telah diperoleh dalam penelitian lapangan diolah sampai menemukan temuan dalam penelitian. Pengolahan dilakukan dari hasil wawancara ini kemudian ditranskrip untuk menjadi verbatim, kemudian diambil pernyataan-pernyataan yang
33
mengarah pada konsep kontrol diri yang menjadi fokus penelitian ini. Temuan-temuan yang telah didapatkan dalam hasil penelitian tersebut akan dianalisis terlebih dahulu sebelum dilakukan pembahasan. Adapun data yang dimaksud adalah data yang berhubungan dengan konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu berdasarkan teori Averil dan konsep kontrol diri umat beragama berdasarkan perspektif penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu, kemudian data yang sudah terkumpul dianalisis agar mendapat gambaran yang jelas sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Konsep kontrol diri berdasarkan perspektif penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu. Subyek dalam penelitian ini adalah penganut dari agama Islam, Kristen, dan Hindu. Subyek merupakan orang yang dianggap memahami tentang keilmuan yang ada dalam agama Islam, Kristen, dan Hindu, dan mampu menjelaskan konsep kontrol diri berdasarkan agama yang mereka anut. Subyek yang pertama adalah MS, seorang penganut agama Islam. subyek merupakan seorang ustadz dan salah satu pengasuh di Pondok Pesantren Darul Ulum Al Fadholi. Subyek MS memiliki pengalaman mengajar di Pondok Pesantren Darul Ulum selama lebih kurang 7 tahun, dan merupakan salah satu alumni dari Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri.
34
Subyek yang kedua penganut agama Kristen (Katolik), yakni SY. Subyek SY yang berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah ini sejak kecil memang sudah bertekad untuk melayani umat dengan terus belajar tentang ajaran agama Kristen (Katolik). Saat ini subyek SY menjadi pastur atau romo yang ditugaskan di Gereja Santa Perawan Maria Dari Gunung Karmel (Kathedral) Malang. Subyek yang ketiga, PN merupakan penganut agama Hindu. Sebelum menjadi seorang pandita, subyek PN berpangkat kapten yang ditugaskan di Makassar. Hingga suatu saat, subyek PN mendapatkan perintah untuk masuk di sekolah persiapan pendeta Hindu. Tahun 2000, subyek PN ditahbiskan menjadi pandita, dan mulai ditugaskan di Pura Bhuvana Kertha Singosari Malang. Dari masing-masing penjelasan, terdapat beberapa konsep kontrol diri para penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu. Hal ini disebabkan oleh pemahaman dan ajaran yang terdapat di dalam agama Islam, Kristen, dan Hindu. Begitu juga dengan subyek, subyek memiliki gambaran sendiri tentang konsep kontrol diri sesuai agama subyek. Adapun gambaran konsep kontrol diri menurut subyek MS, SY, dan PN adalah sebagai berikut: 1. Bagi penganut agama Islam, ukuran seseorang yang memiliki kontrol diri adalah karena selalu memaklumi orang lain dan berusaha tawakkal dengan meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan izin dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh subyek:
35
Saya kira, karena kita selalu memaklumi orang lain. (MS:31) Yakin kira-kira. (MS:33) Kepasrahan, iya. Yakin bahwa apa yang menjadi peristiwa apapun adalah izinnya dari Allah. (MS:35a) Ketauhidan, kepasrahan, ketawakkalan itu insya Allah sangat besar pengaruhnya. (MS:35b) Di samping itu, ukuran seseorang yang memiliki kontrol diri berdasarkan perspektif
agama
Kristen adalah terbiasa
dalam
menimbang perkara, sesuai kebenarannya, dan bersifat obyektif. Obyektif adalah permasalah bukan dengan dasar suka atau tidak suka, namun karena kebenaran. Mana yang memang benar, dan mana yang memang salah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan subyek: Orang biasanya memiliki kontrol diri itu pertama, orang terlatih. Artinya dia terlatih, terbiasa untuk menimbang-nimbang perkara. (SY:16a) Jadi menimbang perkara itu, ini yang penting, ini yang tidak penting. Bukan berdasarkan suka atau tidak suka, tapi berdasarkan kebenaran. (SY:16b) Orang yang punya kontrol diri akan mengambil keputusan bukan berdasar suka atau tidak suka, tapi berdasarkan kebenaran. Jadi orang mampu untuk bersikap obyektif, bukan subyektif. (SY:16c) Dalam agama Hindu, ukuran seseorang memiliki kontrol diri adalah ketika seseorang memiliki pengetahuan dan kecerahan hati, karena ketika seseorang tidak memiliki kecerahan, maka ia tidak akan mampu mengontrol diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Memang harus memiliki pengetahuan, kalau di kita namanya denane. Denane ini kecerahan hati, sesudah itu pengetahuan, itu yang perlu. Jadi dua itulah. Jadi pengetahuan sangat menentukan. Kalau kita tidak punya pengetahuan, kita tidak akan bisa
36
mengontrol diri. Maka dari itu, pengetahuan sangat penting dimiliki. Kemudian kecerahan hati… (PN:18) Iya, kecerahan. Kalau kecerahan hati tidak ada, ini juga tidak akan berfungsi. Kontrol dirinya tidak akan berfungsi, karena kan percuma, tidak ada keheningan, semau gue kan jadinya? (PN:20) 2. Ukuran kontrol diri bagi diri subyek MS sebagai penganut agama Islam adalah memiliki pendirian yang kuat, tidak mudah terombangambing, dan memiliki pertimbangan yang matang, serta selalu memegang syari’at. Hal ini seperti yang diungkapkan subyek: Ya kita stabil, artinya nggak gampang terombang ambing, nggak gampang ikut marah kalau ada orang marah misalkan. Kalau orang ikut ke sana ya ikut ke sana. Tapi dia tahu sesuatu itu harus apa, dan tahu harus bagaimana. (MS:41) Ya. Ukuran ini tadi, syari’at. (MS:43) Menurut subyek SY sebagai penganut agama Kristen, ukuran kontrol diri bagi subyek adalah dapat menempatkan posisi orang lain secara obyektif. Seperti yang diungkapkan subyek: Sebenarnya sih tidak ada bedanya, hanya masalahnya belajar menempatkan orang lain secara obyektif saja. Kebetulan seorang pastur itu kan berhadapan dengan banyak orang, dan belajar filsafat itu tujuannya untuk mencari kebenaran. (SY:18) Sebagai penganut agama Hindu, subyek PN memiliki ukuran kontrol diri sendiri, yaitu subyek selalu memegang ajaran Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Panca Srada, dan selalu berusaha mengendalikan pikiran. Ini yang diungkapkan oleh subyek sebagai berikut: Kalau saya Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, itu yang saya pakai sangat-sangat. Terus dasa sila. (PN:22)
37
Iya, dipakai semua. Terus Panca Srada, lima keyakinan. (PN:24a) Dan jangan mengumbar pikiran. Pikiran harus dikendalikan. (PN:24b) 3. Hal-hal yang membuat seseorang memiliki kontrol diri, menurut subyek MS sebagai penganut agama Islam adalah adanya kepasrahan dan tidak ambisius. Seperti yang diungkapkan oleh subyek: Ya kira-kira kepasrahan itu ya. Tawakkal, trus tidak berambisi yang neko-neko. (MS:47) Selanjutnya menurut penganut agama Kristen, subyek SY menjelaskan hal-hal yang dapat membuat seseorang memiliki kontrol diri, yakni rendah hati, sikap menghargai orang lain, menjunjung tinggi tata nilai kehidupan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh subyek: Kerendahan hati adalah bagian juga dari kontrol diri, karena seseorang yang rendah hati akan mempunyai kontrol yang baik, dan dengan rendah hati orang bisa menghargai orang lain. (SY:8b) Ya, kemudian kita diajak melihat lebih dalam, yaitu tata nilai ya. Tata nilai, nilai kehidupan yang harus dijunjung tinggi. Kalau orang tahu tata nilai yang harus dijunjung tinggi. (SY:20a) Umpamanya katakanlah, nilai dan hak orang lain. Jadi misalnya Mbak punya hp bagus, maka saya tidak boleh mengambilnya. Saya harus menghormati hak-hak orang. (SY:20b) Menghormati itu menempatkan bahwa orang itu bernilai. Jadi lebih dalam dari itu, orang mempunyai penghormatan, penghargaan kepada tata nilai kehidupan. (SY:20c) Kemudian subyek PN sebagai penganut agama Hindu menjelaskan bahwa hal-hal yang membuat seseorang memiliki kontrol diri adalah dengan ajaran Tri Kaya Parisuda. Seperti yang telah dikatakan oleh subyek:
38
Oya, yang paling pertama itu berpikir yang baik, berkata yang baik, berbuat yang baik, nah itu. Tri Kaya Parisuda itu. Jadi semua tergantung dari pikiran ini. (PN:28) 4. Cara mendapatkan kontrol diri Cara yang digunakan untuk mendapatkan kontrol diri menurut subyek MS sebagai penganut agama Islam, adalah dengan menambah pengetahuan dengan cara membaca, melakukan tafakkur (proses berpikir), dan muhasabah (introspeksi). Hal ini diperkuat dengan pernyataan subyek: Kalau saya, ya karena baca-baca. Kemudian berpikir apapun yang terjadi kenapa kok begini-begini. Direnungi. (MS:49) Nah, peristiwa ini kira-kira ada apa? Ini direnungi, Mbak. (MS:51) Dari pernyataan subyek SY sebagai penganut agama Kristen, cara untuk mendapatkan kontrol diri adalah dengan membangun relasi yang baik dengan alam, manusia, dan Tuhan. Membangun relasi dengan manusia artinya selalu menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain. Sesuai yang dinyatakan oleh subyek: Kalau orang yang mampu mengontrol diri berarti juga akan merasa nyaman dan damai. Karena apa? Karena relasi yang baik dengan alam, relasi yang baik dengan manusia, relasi yang baik dengan Tuhan, itu membuahkan damai. (SY:22a) Lalu menghormati. Menghormati berarti bahwa saya menahan diri memperlakukan orang sewenang-wenang, atau memperlakukan orang tidak adil. (SY:22b) Selain itu, subyek PN sebagai penganut agama Hindu menjelaskan cara untuk mendapatkan kontrol diri adalah dengan cara mengurangi makan. Hal ini diperkuat pernyataan subyek:
39
Dari makan, jadi tidak tiga kali lagi tapi dua kali seharinya. (PN:30) 5. Kesulitan yang dihadapi dalam proses mendapatkan kontrol diri menurut subyek MS sebagai penganut agama Islam menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi oleh seseorang dalam proses mendapatkan kontrol diri adalah tergantung dari pemahaman. Jika pengetahuan yang diterima sesuai, maka akan menjadi mudah. Seperti yang telah dikatakan subyek: Ya tergantung. Tergantung pemahaman seseorang aja. (MS:53) Itu apa ya, ketika saya membaca buku kemudian saya cocok, lah itu mudah. (MS:55) Sedangkan penganut agama Kristen, subyek SY menyatakan bahwa usaha untuk mendapatkan kontrol diri bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini seperti yang diungkapkan subyek: Kalau orang ditanya, pengen apa? Pengennya bahagia, kan begitu. Tetapi yang damai, yang bahagia itu kan bukan datang dari langit, itu kan harus ada usaha. Usaha itu kan mesti ada korban. (SY:24a) Membangun relasi dengan orang barangkali susah, karena pertama kali saya harus membangun kepercayaan. (SY:24b) Dan itu memang harus ada korban, korban apa? Korban pengendalian diri, tidak mau melukai hati orang, tidak mau merendahkan orang, kata-katanya harus dijaga supaya saya tetap menjaga dan menghormati orang itu, dan apa yang saya buat tidak merendahkan martabat orang itu. (SY:24c) Jadi orang mau memelihara relasi, terus-menerus, dijaga itu bukan soal gampang. Dengan prinsip begini, yang baik itu tidak mudah, tapi kalau mau berbuat dosa, itu paling gampang. (SY:24d)
40
Hal lain yang selanjutnya diungkapkan oleh penganut agama Hindu yaitu subyek PN, mengatakan bahwa kesulitan yang dialami seseorang dalam mendapatkan kontrol diri tergantung pada kebiasaan, dan subyek sendiri tidak mengalami kesulitan. Karena subyek cenderung mengingat Tuhan. Seperti yang telah dinyatakan oleh subyek: Kalau menurut saya pribadi, itu tergantung dari kebiasaan sebenarnya. (PN:36a) Karena kita selalu berterimakasih kepada Tuhan, kita bisa mengabdikan diri kepada Beliau begitu. Itu yang memberikan kekuatan kepada kita semua. Jadi semua ini adalah Tuhan yang memberi. (PN:36b) Hal ini diperkuat dengan pernyataan subyek yang lain, yang kemudian dijadikan prinsip oleh subyek: Karena guru Pandita, profesor saya pernah mengatakan, apapun yang kamu alami pada waktu pemujaan, jangan sampai mengubah pemujaan itu, jadi apapun alasannya. Jadi kalau perlu matipun di situ, kamu akan masuk surga. (PN:40) Dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa kontrol diri berdasarkan perspektif penganut agama Islam lebih banyak dipengaruhi oleh syari’at, sikap tawakkal, dan tafakkur. Dalam perspektif Kristen, kontrol diri dipengaruhi oleh pendidikan moral, di mana inti dari pendidikan moral adalah menempatkan orang lain di posisi yang selayaknya. Rendah hati, menghargai hak dan martabat orang lain, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Menurut perspektif penganut agama Hindu, kontrol diri dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu, seperti
41
Panca Srada, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Tri Kaya Parisuda, dan kemampuan mengendalikan pikiran. 2. Konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu berdasarkan teori Averil. Kontrol diri berdasarkan teori Averil merupakan hasil kontribusi dari aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Aspek-aspek tersebut adalah kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan
mengantisipasi
peristiwa
atau
kejadian,
kemampuan
menafsirkan peristiwa atau kejadian, dan kemampuan mengambil keputusan. Untuk kepentingan penelitian, akan digunakan seluruh aspekaspek ini karena sesuai dengan kebutuhan penelitian. Untuk mengetahui kosenp kontrol diri umat beragama, yakni penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu yang didasarkan pada aspek-aspek yang terdapat dalam kontrol diri berdasarkan teori Averil, maka dilakukan wawancara mengenai hal tersebut. Adapun hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: a. Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan mengontrol perilaku menjadi salah satu aspek yang melatarbelakangi dan membangun kontrol diri. Menurut subyek MS, kemampuan perilaku adalah perwujudan atau bentuk syari’at yang dilakukan secara sadar oleh seseorang. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh subyek: Kalau kita sebagai orang Islam itu kan sudah apa ya, semacam petunjuk. Ya petunjuknya ya syari’at itu, Rasulullah. Ketika apa
42
yang kita lakukan barometernya, alat ukurnya adalah syari’at dilakukan dengan penuh kesadaran, bukan keterpaksaan. (MS:2) Di samping itu, kemampuan mengontrol perilaku menurut subyek SY adalah didasari oleh pendidikan moral, dan pendidikan moral ini terdapat pada ajaran agama. Pendidikan moral merupakan bentuk dari sikap menghargai orang lain, meliputi hak dan martabat dan menempatkan orang lain pada posisi yang terhormat. Menghargai orang lain merupakan inti dari kontrol diri. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh subyek: Pengetahuan tentang moral itu dipengaruhi oleh pendidikanpendidikan. Pada intinya, pendidikan moral itu ada pada ajaran agama. (SY:2a) …moral bersumber pada penghormatan terhadap manusia, dengan hak asasi manusia, dengan martabatnya yang harus dihormati, sehingga pengetahuan seperti itu mampu membuat orang menjadi mampu untuk menahan diri. (SY:2c) Menahan diri itu apa artinya? Menempatkan orang lain secara terhormat, menempatkan pribadi lain secara terhormat. Itu inti dari kontrol diri. (SY:2d) Selanjutnya, kemampuan mengontrol perilaku menurut subyek PN memiliki hubungan dengan karakter dan sifat manusia, karena di dalam diri manusia terdapat dua unsur, yaitu ego dan budi. Sedangkan alat kontrol yang sudah ada di dalam diri seseorang, yaitu satwa yang menunjukkan keluhuran budi seseorang, rajas yang berarti keaktifan seseorang itu tinggi, namun kadang-kadang masih dibarengi dengan sifat sombong, dan tamas yang berarti kemalasan atau kebodohan.
43
Inilah tiga alat kontrol dalam diri manusia yang harus diseimbangkan, namun sebenarnya nilai satwa harusnya lebih besar dibandingkan rajas dan tamas. Hal ini seperti yang dikatakan oleh subyek: Kontrol diri ada hubungannya dengan karakter kita, dengan sifat kita juga. (PN:2a) Karena dalam hal ini manusia terdiri dari ego, ego itu akan menyebabkan kita emosi, dan budi. Budi akan menyebabkan kita menjadi baik. (PN:2b) Nah, di sini ada yang namanya kontrol. Ini sudah menjadi kontrol dalam manusia semuanya. Ada yang namanya satwa, ada yang namanya rajas, dan ada yang namanya tamas. Nah, kalau ini nanti bekerja seimbang, manusia kontrolnya akan baik. Jadi satwa itu akan menunjukkan ke budi luhurnya. Rajas itu keaktifannya tinggi, namun kadang-kadang sok pamer, sok kekuasaan. Nah, kalau tamas ini sifatnya malas, bodoh. Jadi sebagai manusia harus kita seimbangkan, sehingga mampu mengontrol dirinya dengan cepat. (PN:2c) b. Kemampuan mengontrol stimulus Menurut subyek MS, kemampuan mengontrol stimulus berarti tidak mempersoalkan emosi negatif yang muncul, misalkan marah. Karena menurut subyek MS, marah bukanlah suatu cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Itu kan emosi ya, ketika kita mau marah, marah itu kan menurut saya orang yang tidak punya solusi, sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, yang ada dia ala kadarnya, ndak tahu harus bagaimana. Kalau saya sih, orang bisa aja marah tapi tidak akan menyelesaikan masalah, memperkeruh, dan menyakiti diri kita sendiri. Diri kita sakit, orang lain sakit. (MS:6)
44
Menurut subyek SY, kemampuan mengontrol stimulus adalah cara mengungkapkan dorongan cinta kasih kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Stimulus itu kan soal cara, daya dorong, maka kemudian ada istilah, stimulus itu kalau dalam istilah moral, itu kan ungkapan yang didasari kasih sayang. (SY:4a) Dalam rangka menghargai orang lain, maka stimulus itu sebenarnya adalah cara mengungkapkan afeksi kepada orang lain. Afeksi itu memberikan dorongan, memberikan dukungan, memberikan satu penilaian positif agar orang itu maju, dan orang itu menjadi berkembang. (SY:4b) Selanjutnya menurut subyek PN, kemampuan mengontrol stimulus tergantung dari karakter seseorang, seberapa kemampuan diri seseorang dan dari besarnya masalah yang ada. Hal ini seperti yang diungkapkan subyek: Sesuai dengan karakter seseorang, sejauh mana kita mendapatkan benturan emosi, dan tergantung kemampuan kita. (PN:4a) Jadi itu ya, sejauh kita menerima tekanan-tekanan dari luar. (PN:4b) c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian Kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian menurut subyek MS ialah memaklumi ketida ada orang yang memunculkan emosi negatif, misalnya marah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan subyek: Misalnya marah. Saya tahu, orang marah itu sebetulnya ada sebab, tidak serta merta begitu kan? Ada peristiwa atau apa sehingga membuat dia marah, kenapa? Kalau saya sebagai orang yang dimarahi, ya maklum aja. Orang itu kan penuh keterbatasan ya? Orang kurang bisa mengontrol dirinya, orang terlalu memaksakan kehendak sehingga ketika seseorang tidak sesuai
45
dengan apa yang dia kehendaki, marah jadinya. Jadi misalkan pada saat itu, saya akan santai saja dan akan saya ajak diskusi, tapi di saat yang lain. (MS:9) Kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian menurut subyek SY memiliki unsur adanya pengalaman, mampu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, dan mengenal kelebihan serta kelemahan yang ada dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Pertama, orang harus belajar dari pengalaman, dan orang juga harus mampu untuk mengembangkan abstraksinya. Abstraksi itu cara berpikir kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. (SY:6a) Kedua, orang belajar untuk mengenal kecenderungankecenderungan pibadinya sendiri, kelemahan-kelemahannya. (SY:6b) Selanjutnya, menurut subyek PN
yang dimaksud dengan
kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian, yaitu di dalamnya dibutuhkan ajaran Tri Kaya Parisuda. Di mana seseorang harus berpikir yang baik, berkata yang baik, dan berbuat yang baik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan subyek: Kalau mengantisipasi kejadian, pertama ya Tri Kaya Parisudha. Berpikir yang baik, berkata yang baik, berbuat yang baik. Nah, itu nanti kita kembangkan. (PN:6a) Jadi itu ya, berpikir yang baik, berkata yang baik, berbuat yang baik. Itu sebenernya untuk mengantisipasi. (PN:6b) d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian Dalam
menafsirkan
peristiwa
atau
kejadian,
subyek
MS
mengatakan bahwa kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian
46
setiap orang berbeda, tergantung dari tingkat pengetahuannya ketika menghadapi masalah. Dalam hal ini diperkuat dengan pernyataan subyek: Sebetulnya orang itu tidak harus memaksakan orang lain harus mengerti, karena orang itu kan macem-macem ya, tingkat ketegasannya, wacananya, kecerdasannya. Dalam menghadapi sesuatu orang itu tidak harus selalu sama. (MS:17) Menurut subyek SY, kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian berarti kemampuan seseorang dalam menganalisa aspek dan faktor dari suatu peristiwa. Jika terdapat peristiwa yang baik, maka yang dicari adalah aspek yang melatarbelakangi, dan jika terdapat peristiwa buruk, maka yang dicari adalah faktor yang membuat peristiwa menjadi tidak baik. Sehingga nantinya hal tersebut dijadikan sebagai pengalaman di masa depan. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Menafsirkan berarti orang menganalisa, melihat. Tergantung peristiwa itu peristiwa baik, atau peristiwa buruk. Kalau itu peristiwa baik, biasanya kita akan mencoba melihat peristiwa itu dengan segala macam aspeknya. (SY:8a) Kalau ini adalah peristiwa buruk, maka kita lihat juga faktorfaktor apa saja yang ada. Lihat, dan jadikan itu sebagai pengalaman. (SY:8b) Selanjutnya menurut subyek PN, kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian memiliki artinya yang sama dengan memprediksi sesuatu atau peristiwa. Dalam memprediksi peristiwa inilah, seseorang harus melihat kejadiannya terlebih dahulu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh subyek:
47
Karena menafsirkan ini kan memprediksi sesuatu. (PN:8a)
sama
dengan
memprediksi,
Jadi kita harus melihat kejadiaanya dulu, baru kita bisa menafsirkan. (PN:8b) e. Kemampuan mengambil keputusan Kemampuan mengambil keputusan yang dimiliki seseorang, menurut MS adalah sebagai bentuk kemandirian dan terbentuk karena adanya proses latihan. Seperti yang diungkapkan subyek: Itu ada karena proses latihan ya, Mbak. Mungkin dari kecil sudah dilatih. Jadi itu sarat dengan kemandirian seseorang. (MS:27) Kemampuan
mengambil
keputusan
menurut
subyek
SY,
dibutuhkan informasi sebagai bahan pertimbangan. Informasi yang diperoleh dapat diperoleh berdasarkan pengalaman, nasihat orang lain, atau dengan membaca buku, serta berkaca pada pengalaman orang lain. Informasi tersebut bisa didapatkan sebanyak-banyaknya, sehingga seseorang tidak ragu-ragu terhadap keputusan yang dibuatnya. Karena orang yang mengalami keraguan tidak diperbolehkan mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Saat menghadapi suatu masalah yang penting, maka orang perlu mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya untuk menjadi bahan pertimbangan. (SY:10a) Itu bisa dicari dengan berdasar pengalaman, kalau masih belum cukup ya bisa dicari dengan meminta nasihat orang, bisa juga dicari dalam kaitannya dengan buku-buku atau pengalaman orang lain, atau belajar dari pengalaman orang lain. Itu memang dibutuhkan informasi lengkap atau cukup untuk menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. (SY:10b) Ya tentu, karena lebih mengedepankan rasional. Maka logika juga berjalan baik. (SY:12a)
48
Maka itu, logika sangat dibutuhkan. Maka itu butuh tenang, dan pada saat orang mengambil keputusan, orang tidak boleh mengambil keputusan saat ragu-ragu. (SY:12b) Selanjutnya, menurut subyek PN dalam mengambil keputusan harus ada tahap-tahap yang dilewati. Tahap-tahap tersebut meliputi adanya program, kemudian perencanaan, dan yang terakhir adalah memutuskan suatu hal. Tahap-tahap tersebut merupakan tahap yang ada dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek: Kalau kita mengambil keputusan, kita ada langkah-langkah. Umpamanya satu contoh ya, program dulu. Dari program kita seleksi kemudian masuk perencanaan, karena pertimbanganpertimbangan segala macem. Nah, setelah itu baru keputusan kita ambil. Keputusan kita ambil disesuaikan dengan kemampuan maksimum yang ada dalam diri kita. (PN:12a) Jadi memang ada tahap-tahapnya, dan kita tidak bisa lepas dari tahap-tahap itu. (PN:12b) Memang sangat dibutuhkan. Kontrol diri sangat dibutuhkan pada waktu kita mengambil keputusan, dan mengambil keputusan juga akan mempengaruh kontrol diri kita. (PN:14)
3. Temuan Penelitian Konsep Kontrol Diri Umat Beragama (Studi Komparasi Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu) Berdasarkan temuan penelitian yang diperoleh tentang konsep kontrol diri umat beragama berdasarkan perspektif penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu, maka temuan-temuan tersebut dapat diformulasikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
49
Tabel 4. 1. Temuan Penelitian Konsep Kontrol Diri Berdasarkan Perspektif Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu No. 1.
Penganut Agama Islam
Aspek Ukuran seseorang yang memiliki kontrol diri
Ukuran kontrol diri bagi diri subyek
Hal-hal yang membuat seseorang memiliki kontrol diri Bagaimana seseorang mendapatkan kontrol diri
Kesulitan dalam proses mendapatkan kontrol diri
2.
Kristen
Ukuran seseorang yang memiliki kontrol diri
Ukuran kontrol diri bagi diri subyek
Hal-hal yang membuat seseorang memiliki kontrol diri
Bagaimana seseorang mendapatkan kontrol diri
50
Keterangan Orang yang memiliki kontrol diri adalah yang bisa memaklumi orang lain, yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah ketetapan Allah, dan tawakkal. Ukuran kontrol diri bagi diri subyek adalah mempunyai pendirian yang kuat dan pertimbangan yang matang, serta selalu memegang syari’at. Hal-hal yang dapat membuat seseorang memiliki kontrol diri adalah tawakkal, dan tidak ambisius. Subyek mendapatkan kontrol diri dengan menambah pengetahuan dengan cara membaca, melakukan tafakkur (proses berpikir) dan muhasabah (introspeksi diri). Subyek menilai bahwa ketika mendapakan kontrol diri akan lebih mudah ketika pengetahuan yang diterima sesuai dengan pemahaman seseorang. Ukuran seseorang memiliki kontrol diri adalah terbiasa dalam menimbang perkara, sesuai kebenarannya dan bersifat obyektif. Ukuran kontrol diri yang dimiliki subyek adalah dapat menempatkan orang lain secara obyektif. Hal-hal yang dapat membuat seseorang memiliki kontrol diri adalah rendah hati, sikap menghargai orang lain, dan menjunjung tinggi tata nilai kehidupan. Tata nilai kehidupan di sini berarti menghormati hak yang dimiliki orang lain. Cara seseorang mendapakan kontrol diri adalah dengan membangun relasi yang baik dengan alam, manusia, dan
Kesulitan dalam proses mendapatkan kontrol diri
3.
Hindu
Ukuran seseorang yang memiliki kontrol diri Ukuran kontrol diri bagi diri subyek
Hal-hal yang membuat seseorang memiliki kontrol diri Bagaimana seseorang mendapatkan kontrol diri Kesulitan dalam proses mendapatkan kontrol diri
51
dengan Tuhan yang bertujuan untuk membuahkan kedamaian. Membangun relasi yang baik dengan manusia berarti selalu menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain. Tujuan manusia hidup adalah bahagia, dan kebahagiaan tidak datang tiba-tiba, namun harus ada usaha. Begitu juga dengan mendapatkan kontrol diri, dan usaha untuk mendapatkannya tidaklah mudah. Ukuran seseorang memiliki kontrol diri adalah memiliki pengetahuan dan kecerahan hati. Ukuran kontrol diri bagi diri subyek adalah selalu memegang Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Panca Srada, dan selalu mengendalikan pikiran. Hal yang dapat membuat orang memiliki kontrol diri adalah dengan adanya Tri Kaya Parisuda. Subyek melatih diri untuk mendapatkan kontrol diri dengan cara mengurangi makan. Kesulitan yang dihadapi dalam mendapatkan kontrol diri menurut subyek tergantung dari kebiasaan dan subyek tidak merasa kesulitan mencapai kontrol diri karena subyek cenderung selalu mengingat Tuhan.
Tabel 4. 2. Temuan Penelitian Konsep Kontrol Diri Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu Berdasarkan Teori Averil No.
Aspek
1.
Kemampuan mengontrol perilaku
2.
Kemampuan mengontrol stimulus
3.
Kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian
Islam - Perwujudan atau bentuk dari petunjuk (syari’at) yang dilakukan secara sadar oleh manusia.
- Tidak akan mempersoalkan emosi negatif yang muncul.
-
Memaklumi ketika ada orang yang memunculkan emosi negatif, seperti marah.
52
Penganut Agama Kristen - Didasari oleh pendidikan moral yang berasal dari ajaran agama sebagai bentuk penghormatan kepada manusia.
- Cara mengungkap kan dorongan kasih sayang kepada orang lain. - Kemampuan seseorang dalam mengantisipasi peristiwa berdasarkan pengalaman. - Mampu memikirkan kemungkinan yang bisa terjadi. - Mengenal kelebihan serta kelemahan
Hindu - Kontrol diri memiliki hubungan dengan karakter dan sifat manusia. - Karena dalam diri manusia memiliki dua unsur, yaitu ego dan budi. - Untuk kontrol sendiri, dalam diri manusia terdapat tiga alat kontrol, satwa, rajas, dan tamas. - Tergantung dari kemampuan diri seseorang, dan tergantung dari besarnya masalah yang ada. - Dalam kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian dibutuhkan ajaran Hindu, yakni Tri Kaya Parisuda.
4.
Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian
5.
Kemampuan mengambil keputusan
-
Kemampuan menafsirkan peristiwa setiap orang berbeda, tergantung dari tingkat pengetahuannya ketika menghadapi masalah. - Merupakan bentuk kemandirian seseorang terbentuk karena adanya proses latihan.
yang ada pada dirinya. - Kemampuan seseorang menganalisa aspek dan faktor dari suatu peristiwa.
- Untuk mengambil keputusan, dibutuhkan informasi sebagai bahan pertimbangan. Informasi tersebut dapat diperoleh dari pengalaman, nasihat orang lain, dan membaca buku.
- Kemampuan menafsirkan peristiwa adalah sama artinya dengan memprediksi.
- Terdapat langkahlangkah dalam mengambil keputusan, mulai dari program, perencanaan, dan membuat keputusan.
Tabel 4. 3. Temuan Penelitian Perbandingan Konsep Kontrol Diri Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu Berdasarkan Teori Averil No. 1.
Agama Islam
Konsep Kontrol Diri Memegang syari’at Tawakkal Yakin akan ketetapan Allah Tafakkur (proses berpikir) Muhasabah (introspeksi)
2.
Kristen
Tidak ambisius Kebiasaan menimbang perkara (problem solving) Obyektif Menjunjung tinggi tata nilai 53
Keterangan Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan mengontrol stimulus Kemampuan mengambil keputusan Kemampuan mengontrol perilaku
3.
Hindu
kehidupan Menghargai orang lain Rendah hati Membangun relasi yang baik dengan Tuhan, manusia, dan alam Pengetahuan Kecerahan hati Mengendalikan pikiran Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Panca Srada, Tri Kaya Parisuda(religious value)
Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan mengontrol perilaku Kemampuan mengontrol stimulus -
E. Analisis dan Pembahasan Pada sub-bab pembahasan ini akan membahas secara mendetail mengenai temuan penting dalam penelitian di lapangan. Beberapa temuan ini merupakan bagian dari fokus penelitian, yaitu konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu. Pada poin sebelumnya telah disajikan paparan data dan temuan-temuan penelitian yang diperoleh, yaitu mengenai konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu. Dalam pembahasan analisis hasil penelitian ada tiga tema yang akan ditampilkan, yaitu (a) konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu, (b) konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu berdasarkan teori Averil, dan (c) perbandingan konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu berdasarkan Averil. Ketiga tema tersebut akan dibahas sebagai berikut: 1. Konsep Kontrol Diri Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu Konsep kontrol diri umat beragama yang dilihat dari perspektif agama Islam, Kristen, dan Hindu memiliki aspek tersendiri. Untuk penganut agama Islam, konsep kontrol diri memiliki aspek memegang syari’at,
54
sikap tawakkal, dan selalu melakukan tafakkur (proses berpikir) dan muhasabah (introspeksi), dan yakin akan ketentuan dari Allah. Dalam surat Maryam ayat 96 sudah disebutkan bahwa orang yang memegang syari’at akan menjadikan dirinya memiliki rasa kasih sayang pada umat lain (Syirazi, 2004: 154). Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maaha Pemurah akan menanamkan di antara mereka rasa kasih sayang. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 30 yang artinya: Pada hari kiamat, kepada tiap-tiap diri dikemukakanlah kebaikan yang telah dikerjakan dan pula keburukan yang telah diperbuatnya. Ia ingin supaya diantara id dengan keburukan itu ada jarak yang jauh. Allah memperingatkan kamu semua akan kewajibanmu terhadap Allah sendiri. Ayat di atas menjadi analisis muhasabah yang ada di penganut agama Islam. Dengan adanya muhasabah tersebut, seseorang akan menjadi memiliki kontrol diri. Dalam hal ini jelas sekali bagi setiap manusia yang berakal dan suka menggunakan akalnya bahwa Allah SWT. Maha Mengetahui segala perbuatan dan akhirnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sehingga dengan adanya muhasabah, seseorang akan menilai dirinya, mengevaluasi, dan berusaha mempertanggungjawabkan perbuatan baik maupun buruk.
55
Konsep kontrol diri yang dimiliki oleh penganut agama Kristen mempunyai aspek kebiasaan menimbang perkara (problem solving), obyektif, menghargai hak dan martabat orang lain, rendah hati, dan menjunjung tinggi tata nilai kehidupan, dan membangun relasi yang baik dengan Tuhan, manusia, dan alam. Sesuai dengan yang dikemukakan Shawn dan Constanzo (dalam Ghufron & Risnawita, 2011: 25) mengemukakan bahwa dalam mengatur kesan ada beberapa elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu konsep diri dan identitas sosial. Asumsi dalam teori membentuk kesan bahwa seseorang termotivasi untuk membuat dan memelihara harga diri setinggi mungkin sehingga harus berusaha mengatur kesan diri sedemikian rupa untuk menampilkan identitas sosial yang positif. Jadi dalam dalam menampilkan identitas sosial positif, penganut agama Kristen memunculkannya dengan sikap menghargai orang lain sebagai salah satu hal yang melatarbelakangi adanya kontrol diri. Sedangkan konsep kontrol diri penganut agama Hindu memiliki aspek ajaran agama atau religious value (Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Panca Srada, dan Tri Kaya Parisuda) dan kemampuan mengendalikan pikiran. Sesuai dengan yang dinyatakan di dalam Bhagavadgita: Nirmana moha jila sanga dosa adhyatma mitya wiwintha kancah dwandwair wiwuktah sukha dukha.
56
Yang memiliki arti jika ingin menjadi pribadi yang mulia, maka kita harus melepaskan duniawi dengan memegang ajaran-ajaran agama (Nirmala, 2014). 2. Konsep Kontrol Diri Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu Berdasarkan Teori Averil Averil (dalam Adeonalia, 2002: 37) menyebutkan aspek-aspek yang terdapat dalam kontrol diri antara lain: a. Kemampuan mengontrol perilaku Dalam hal ini perilaku sangat penting peranannya sehingga apabila perilaku seeorang tidak terkontrol maka dapat terjadi perilaku yang menyimpang, meskipun kemampuan mengontrol perilaku pada tiap-tiap individu berbeda. b. Kemampuan mengontrol stimulus Kemampuan mengontrol stimulus juga menjadi salah satu aspek dari kontrol diri karena dalam kehidupan seseorang terdapat berbagai macam stimulus yang diterima. Dari berbagai macam stimulus yang masuk tersebut individu harus mempunyai kemampuan untuk mengontrol stimulus-stimulus tersebut, yaitu dengan memilah stimulus yang mana yang harus diterima dan stimulus yang harus ditolak. c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa Individu dalam menghadapi suatu masalah atau suatu peristiwa harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi asalah tersebut agar tidak menjadi masalah yang semakin besar dan rumit.
57
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa Individu juga harus mempunyai kemampuan untuk menafsirkan peristiwa, artinya individu harus dapat mengartikan semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, sehingga individu dapat dengan mudah untuk menjalani peristiwa tersebut dan dapat memikirkan langkah-langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. e. Kemampuan mengambil keputusan Dalam setiap peristiwa pasti ada sesuatu yang harus diputuskan. Setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk mengambil suatu keputusan yang baik, dimana keputusan yang diambil tersebut baik untuk diri individu sendiri maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya, juga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Berdasarkan temuan penelitian pada penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu, menunjukkan bahwa aspek-aspek dalam teori Averil terdapat pada kontrol diri seseorang. Hal tersebut tergambar dari beberapa pernyataan subyek yang menjelaskan bahwa kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian, kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian, dan kemampuan mengambil keputusan dapat berpengaruh dalam kontrol diri seseorang. Namun di samping itu, terdapat aspek-aspek lain yang ada pada penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu. Aspek-aspek yang tidak
58
terdapat di dalam teori Averil menurut penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu adalah sebagai berikut: 1. Penganut Agama Islam Penganut agama Islam mengatakan bahwa memegang syari’at merupakan hal yang paling dirasa penting dalam memiliki kontrol diri. Karena dengan memegang syari’at, seseorang akan menerima segala ketetapan Allah. Seperti yang dijelaskan oleh Al Ghazali (dalam Addimasyqi, 1975: 613) bahwa latihan untuk menahan diri adalah dengan jalan meresapkan pandangan ketauhidan atau dengan kesdaran bahwa Allah senang sekali melihat manusia menahan diri. 2. Penganut Agama Kristen Penganut
agama
Kristen
menyebutkan
bahwa
hal-hal
yang
dimaksudkan dalam kontrol diri adalah pendidikan moral. Pendidikan moral adalah serangkaian nilai yang dapat diterima dalam konteks kebudayaan yang berlaku. Nilai-nilai individual dan standar moral itulah yang akan mendorong komitmen seseorang untuk melakukan tindakan, sehingga terjadinya perubahan perilaku. Pendidikan akan dapat membantu seseorang untuk memiliki moral yang baik, sehingga mereka bertindak dengan caracara yang lebih diterima dan lebih produktif baik secara personal maupun sosial. Dalam Komariah (2011: 2) yang terpenting dari ungkapan moralitas yang sesungguhnya ialah:
59
a. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat yang timbul dari hati sendiri, bukan paksaan dari luar. b. Rasa tanggungjawab atas tindakan itu. c. Mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. 3. Penganut Agama Hindu Penganut agama Hindu menyebutkan bahwa ajaran Tri Kaya Parisuda merupakan hal yang mendasari adanya kontrol diri. Sedangkan satwa, rajas, dan tamas merupakan alat kontrol utama dalam diri seseorang. Nilai-nilai agama adalah etika prinsip didirikan pada tradisi agama, teks dan keyakinan.
Berbeda dengan nilai-nilai pribadi, berbasis
agama nilai-nilai didasarkan pada kitab suci dan norma-norma agama itu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan dalam kitab Regveda Sukta 10 “wahai Tuhan yang layak dipuja, Engkau merupakan pengendali kereta
untuk menuntun kami
di
sepanjang jalan kebajikan,
menguntungkan, jujur, berkuasa, dan mujarab” (Nirmala, 2014). 3. Perbandingan Konsep Kontrol Diri Penganut Agama Islam, Kristen, dan Hindu Berdasarkan Averil Dari hasil yang didapatkan, ternyata teori Averil tidak seluruhnya terdapat pada konsep kontrol diri penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu. Berdasarkan temuan penelitian, konsep kontrol diri umat beragama yang dikomparasikan dengan teori Averil, maka terdapat 2 (dua) aspek kontrol diri dari teori Averil ini pada penganut agama Islam, yaitu
60
kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian dan kemampuan mengontrol perilaku. Yang termasuk pada aspek kemampuan menafsirkan peristiwa atau perilaku adalah tafakkur (proses berpikir) dan muhasabah (introspeksi). Hal ini merujuk dalam makna kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian. Individu juga harus mempunyai kemampuan untuk menafsirkan peristiwa, artinya individu harus dapat mengartikan semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, sehingga individu dapat dengan mudah untuk menjalani peristiwa tersebut dan dapat memikirkan langkah-langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Di mana dalam kemampuan menafsirkan peristiwa ini dibutuhkan pemikiran tentang suatu kejadian yang dilakukan dengan proses berpikir, dan memikirkan langkah-langkah agar tidak terjadi suatu pengalaman yang buruk dengan jalan introspeksi. Sedangkan dalam kemampuan mengontrol perilaku disebutkan, tidak ambisius. Hal ini seperti yang menjadi arti dari kemampuan mengontrol perilaku, yaitu perilaku sangat penting peranannya sehingga apabila perilaku seeorang tidak terkontrol maka dapat terjadi perilaku yang menyimpang, meskipun kemampuan mengontrol perilaku pada tiap-tiap individu berbeda. Pada penganut agama Kristen terdapat 3 (tiga) aspek, yaitu kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengambil keputusan.
61
Yang termasuk dalam kemampuan mengontrol perilaku adalah menjunjung tinggi tata nilai kehidupan, menghargai orang lain, rendah hati, membangun relasi yang baik dengan Tuhan, manusia, dan alam. Selanjutnya, yang termasuk ke dalam aspek kemampuan mengontrol stimulus adalah kebiasaan menimbang perkara (problem solving). Konsep ini dimasukkan ke dalam aspek kemampuan mengontrol dengan dalih bahwa kemampuan mengontrol stimulus adalah karena dalam kehidupan seseorang terdapat berbagai macam stimulus yang diterima. Dari berbagai macam stimulus yang masuk tersebut individu harus mempunyai kemampuan untuk mengontrol stimulus-stimulus tersebut, yaitu dengan memilah stimulus yang mana yang harus diterima dan stimulus yang harus ditolak. Obyektif,
termasuk
ke
dalam
aspek
kemampuan mengambil
keputusan. Dalam setiap peristiwa pasti ada sesuatu yang harus diputuskan. Setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk mengambil suatu keputusan yang baik, dimana keputusan yang diambil tersebut baik untuk diri individu sendiri maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya, juga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan pada konsep kontrol diri penganut agama Hindu terdapat 2 (aspek), yaitu kemampuan mengontrol perilaku dan kemampuan mengontrol stimulus. Yang termasuk pada kemampuan mengontrol perilaku adalah kecerahan hati, di mana kecerahan hati digunakan agar seseorang dalam
62
melakukan sesuatu sesuai dengan aturan yang ada. Selanjutnya yang termasuk
dalam
aspek
kemampuan
mengontrol
stimulus
adalah
mengendalikan pikiran. Bahwa berbagai macam stimulus yang masuk ke dalam diri individu, individu individu harus mempunyai kemampuan untuk mengontrol stimulus-stimulus tersebut, yaitu dengan memilah stimulus yang mana yang harus diterima dan stimulus yang harus ditolak. Di sinilah kemudian dibutuhkan pengendalian pikiran dalam menerima stimulus tersebut. Kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian dan mengambil keputusan tidak terdapat pada penganut agama Islam. Begitu juga dengan penganut agama Kristen, tidak terdapat kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian dan kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian. Sedangkan pada penganut agama Hindu, tidak terdapat kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian, kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian, dan kemampuan mengambil keputusan. Artinya, pada penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu sama-sama tidak terdapat aspek kemampuan mengantisipasi peristiwa atau kejadian. Namun pada penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu, ketiganya sama-sama memiliki aspek kemampuan mengontrol perilaku.
63