BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI
A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan adanya hubungan dan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka menjaga jenis manusia di muka bumi sebagai khlifah yang bertugas memakmurkan bumu ini, dan memanfaatkan potensi alam dengan sebaik-baiknya sampai batas waktu yang ditentukan-Nya. Manusia membutuhkan kestabilan dan ketenangan dalam kehidupan rumah tangganya yang mungkin dapat diwujudkan melalui keberadaan kawan hidup yang menjadi pembantu dan penguat dirinya. Suami istri dapat menemukan ketenangan dengan pasangannya, saling membantu meringankan beban dan penderitaan hidup, dan saling merasakan cinta dan kasih sayang. Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Pernikahan juga menjaga jiwa manusia dan memenuhi kebutuhan seksualnya sesuai aturan Allah SWT. Pernikahan menjaga keluarga dari kerusakan sosial dan perzinaan., sehingga garis keturunan yang sah tetap terjaga dan terpelihara kehormatannya. Selain untuk melestarikan keturunan, pernikahan dalam Islam juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus
45
46
untuk membentuk keluarga sakinah, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan. Dalam hal pernikahan ini, Islam memperbolehkan kepada seorang lakilaki untuk beristri lebih dari seorang (poligami) dengan perempuan yang disukai. Hal itu tercantum dalam surat An-Nisa’ (4): 3 yang menyatakan bahwa
(٣) ﺎﻉﺑﺭﺛﹸﻼﺙﹶ ﻭﻰ ﻭﺜﹾﻨﺎﺀِ ﻣ ﺍﻟﻨِّﺴ ﻣِﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢﺎ ﻃﹶﺎﺏﻮﺍ ﻣﻜِﺤﻓﹶﺎﻧ Artinya: “…maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…”. (QS An-Nisa’: 3)52 Mengawini perempuan lebih dari seorang, menurut hukum Islam diperbolehkan sebagai pintu darurat dengan dibatasi paling banyak adalah empat orang istri
sebagaimana yang disebutkan dalam Surat An-Nisa’ di atas.
Sedangkan kebolehan poligami ini hanyalah bersifat darurat atau kondisi terpaksa. Hukum Islam mewajibkan berlaku adil bagi pelaku poligami terhadap para isteri-isterinya dan anak-anak mereka baik dalam memenuhi urusan keduniawian lahir maupun bathin, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain tanpa membedakan istri yang satu dengan istri yang lainnya. Namun apabila suami khawatir berbuat dzalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka semua, maka diharamkan bagi mereka untuk berpoligami dan cukuplah ia beristri satu saja.
52
Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 19
47
Pernyataan adil dalam berpoligami itu tidak ditentukan batasan minimal dalam suatu pengadilan, tetapi hal itu ditentukan dengan kesediaan / keikhlasan istri yang akan dimadu / poligami tersebut. Baik itu masalah nafkah maupun tempat tinggal. Apabila ada seorang suami yang akan melakukan poligami, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang telah ditentukan dalam UndangUndang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Klausul kebolehan poligami di dalam Undang-Undang ini sebenarnya hanyalah pengecualian.. Suami yang akan berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan, dan izin itu harus diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. UndangUndang Perkawinan Pasal 4 menyebutkan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Alasan ini memang bisa dibenarkan sebab salah tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi hak-hak pasangannya termasuk menyalurkan hasrat biologis terhadap pasangannya, maka dengan tidak dapatnya istri melayani suaminya dapat dikategorikan dalam isteri yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, ini berarti hak-hak suami dalam rumah tangga tidak terpenuhi.
48
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Alasan ini adalah semata-mata berdasarkan alasan kemanusiaan sebab bagi suami tentu saja akan selalu menderita lahir batin selama hidupnya apabila hidup bersama dengan istri yang keadaannya demikian. Oleh karena itu poligami dianggap solusi yang tepat daripada menceraikan istrinya yang sedang dalam penderitaan dan membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari seorang suami. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan ini adalah alasan yang wajar, sebab memperoleh keturunan adalah merupakan salah satu tujuan dari perkawinan itu sendiri. Adapun alasan-alasan seorang suami untuk berpoligami yaitu : -
Jika suami beristeri seorang perempuan mandul, sedang ia sangat mengharapkan anak kandung, termasuk kemaslahatan mereka (suami istri). Hendaknya suami menetapkan istri pertamanya kemudian mengawini perempuan lain.
-
Jika isteri telah tua dan telah mencapai usia tidak haid lagi. Kemudian suami berkeinginan mempunyai anak dan ia mampu memberikan nafkah kepada lebih dari seorang istri, mampu menjamin kebutuhan anakanaknya dan pendidikan mereka.
-
Jika suami merasa tidak cukup hanya mempunyai seorang istri, demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak zina) karena kapabilitas
49
seksualnya memang mendorong untuk berpoligami, sedang si istri kebalikannya. Pada putusan ini terdapat sedikit kekurangan di mana hakim tidak memperhatikan ketiga syarat alternatif seperti yang tersebut di atas. Padahal salah satu dari ketiga syarat alternatif tersebut harus terpenuhi apabila suami mengajukan permohonan poligami. Dalam hal jika istri mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hal ini dibuktikan bahwa sang istri memang tidak mempunyai cacat badan bahkan masih bisa melayani pelanggan yang membeli kerangnya, jika dia mempunyai cacat badan atau penyakit maka dengan sendirinya sang suami bisa mengetahui karena dia yang tinggal bersamanya, suaminya pasti akan mengetahui keadaan / kondisi kesehatan isterinya. Selain itu istri juga dapat melahirkan keturunan, itu dibuktikan dengan kesaksian Safina yang merupakan buah hati dari pemohon dan termohon. Dalam hal isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, karena isteri sering merasa kelelahan dan sering menolak diajak kumpul oleh suaminya bukanlah alasan mutlak untuk dapat berpoligami. Kemungkinan isteri memang merasa kelelahan karena seharian bekerja sebagai penjual kerang dan kurang istirahat. Ada dua alasan alternatif dalam mengatasi krisis tersebut, antara lain ; 1. Bercerai secara ma‘ruf atau baik-baik, namun biasanya dalam prakteknya sangat dilematis. Antara pemohon dan termohon tidak bertengkar, tidak
50
bermusuhan, dan tidak bertentangan, bahkan mempunyai satu tujuan membina keluarga serta sama-sama menginginkan keturunan. Tetapi adakalanya sulit untuk menceraikan termohon atau termohon yang minta diceraikan. Di samping itu, jika perceraian alternatif ini dilakukan, maka akan terjadi kemadaratan / kerusakan yang baru. Padahal dalam kaidah hukum tidak membenarkan melakukannya, yaitu mencari kemaslahatan, dan meninggalkan kemadlaratan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh, yaitu :
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ Artinya: “Menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan”53 Madaratnya bagi perempuan adalah sulit mengganti suaminya karena ketidakmampuannya bertindak sebagai isteri, pada akhirnya isteri trauma dan stress mengatasi penderitaan hidupannya. 2. Merelakan suaminya untuk menikah lagi, sebagai kemungkinan inilah alasan yang terakhir dan satu-satunya. Memang alasan ini sangat berat bagi pihak isteri. Dalam kondisi ini diperlukan kesadaran, ketabahan, dan lapang dada bagi isteri karena dalam perkara ini dia sendiri harus mengakui telah sering merasa kelelahan dan sering menolak ketika diajak kumpul oleh suaminya. Alternatif ini merupakan solusi yangt baik, seandainya diterima dengan lapang hati bila dibandingkan dengan alternatif yang pertama.
53
Imam Masbukin, Qawaid al-Fiqhiyah, h. 25
51
Selain itu perhatian hakim terhadap segi kemaslahatan para pihak, agar mereka tidak masuk ke dalam bahaya. Demi kemaslahatan para pihak itu sendiri dan menjauhkan gunjingan dari masyarakat, maka Pengadilan Agama Pasuruan mengabulkan permohonan izin poligami dengan menimbang apabila permohonan poligami tersebut tidak dikabulkan, maka bisa jadi pemohon akan melakukan perbuatan-perbuatan kotor (berzina) dengan mantan istrinya tersebut. Dalam hal ini Pengadilan setelah mendengar istri yang bersangkutan untuk berpendapat bahwa cukup alasan bagi suami untuk beristri lebih dari seorang, memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami). Dengan demikian, melihat upaya yang telah dilakukan Majelis Hakim Pengadilan Agama Pasuruan dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan persetujuan istri, dapat dikatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Pasuruan telah memenuhi aturan dan tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang izin poligami, yaitu pasal 3, 4, 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 40 sampai dengan 44 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan pasal 55 sampai dengan 59 Kompilasi Hukum Islam. Adapun Pengadilan Agama dapat mengabulkan permohonan seorang lakilaki untuk beristri lebih dari seorang, apabila telah memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
52
a. Adanya persetujuan istri atau istri-istri yang terdahulu. Hakim dapat meminta persetujuan dari pihak isteri baik secara tertulis maupun secara lisan di depan sidang pengadilan. Tetapi Hakim biasanya langsung mendengar pernyataan pihak isteri secara lisan di depan sidang Pengadilan, hal ini guna untuk menghindari pemalsuan surat persetujuan oleh pihak suami apabila persetujuan itu secara tertulis. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Hakim dapat mengukur jumlah nominal kekayaan yang ada pada pihak suami secara umum (obyektif) pada saat surat permohonannya diajukan, baik berdasarkan asli surat keterangan penghasilan suami yang diketahui kepala Desa setempat atau surat-surat keterangan lainnya yang dapat diterima oleh Pengadilan. Jadi kepastian yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu penilaian hakim berdasarkan kekayaan yang ada pada pemohon pada saat permohonan diajukan, bukan kepastian yang bersifat mutlak.
53
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka. Hakim dapat meminta surat pengakuan atau surat pernyataan bahwa suami akan mengaku berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan apabila pada suatu saat suami menyimpang dari isi surat pernyataan yang telah dibuatnya, maka secara otomatis isteri dapat menuntutnya ke Pengadilan. Dalam perkara poligami di Pengadilan Agama Pasuruan yang penulis bahas ini, syarat-syarat kumulatif seperti yang tersebut di atas telah dipenuhi oleh pemohon. Untuk hal persetujuan dari istri tersebut bahwa berdasarkan surat bukti asli surat Pernyataan tidak keberatan untuk dimadu yang dibuat oleh isteri pertama tertanggal 4-10-2007, di atas kertas bermaterai yang dipersidangan ternyata isinya telah diakui kebenarannya oleh termohon (isteri), maka dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa syarat adanya persetujuan dari istri dalam hal poligami sebagaimana pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974 itu bisa diberlakukan, karena hakim juga harus memperhatikan manfaat hukum apabila izin poligami pemohon dikabulkan. Menurut penulis bahwa persyaratan adanya izin istri dalam poligami merupakan upaya dari pengadilan untuk mempertemukan keinginan suami dalam berpoligami (beristri lebih dari seorang) sesuai keinginan dan persetujuan istri.
54
Dan juga mencerminkan asas pernikahan Islam sebagai ikatan yang kokoh untuk membentuk keluarga sebagai dasar pembentukan umat dengan konsep sakinah mawaddah dan rahmah. Dan dengan adanya izin istri dalam berpoligami diharapkan bisa menjaga keharmonisan rumah tangga dan menghindari konflik antara suami istri atau antara istri yang satu dengan istri-istri yang lain. Dalam hal kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak telah dibuktikan dipersidangan bahwa pemohon yang berprofesi sebagai nelayan dengan penghasilan Rp. 1.500.000,- setiap bulan ditambah dengan penghasilan menyewakan perahu yang sehari Rp. 25.000,setiap perahu dan juga penghasilan dari sawah seluas 1 ha, hal ini dikuatkan pula dengan keterangan beberapa saksi. Maka Majelis Hakim berpendapat bahwa pemohon mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya. Sedang syarat adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil, hal ini dibuktikan pemohon dengan membuat surat pernyataan di atas kertas bermaterai bahwa pemohon akan sanggup untuk berlaku adil. Jadi menurut penulis dari keseluruhan alasan-alasan maupun syarat-syarat seorang suami berpoligami, kemungkinan hakim hanya berpedoman bahwa adil merupakan syarat utama dalam poligami, dan hakim sah-sah saja menilai bahwa alasan isteri yang kelelahan dan sering menolak diajak suaminya kumpul itu
55
dianggap sebagai isteri yang tidak dapat menjalankannya sebagai isteri, sehingga pengadilan mengabulkan izin suaminya tersebut. Mengenai dasar hukum yang digunakan hakim, menurut penulis hal ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum materiil atau perundang-undangan perkawinan yang berlaku.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Sebagaimana diketahui dalam keterangan di atas, bahwa seorang hakim dalam mengadili dan menyelesaikan perkara hendaklah ia mempunyai dasar serta pertimbangan, apakah perkara tersebut masuk dalam wewenangnya atau tidak. Dalam hal poligami, Islam telah membenarkan adanya poligami tersebut disertai dengan syarat-syarat yang tidak mudah. Dalam kenyataan atau realita di masyarakat, praktek poligami banyak yang menyimpang dari aturan Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara poligami di Pengadilan Agama Pasuruan, di mana pemohon mengajukan permohonan untuk menikah lagi dengan perempuan lain, di mana perempuan tersebut adalah mantan istrinya yang perkawinannya telah dibatalkan. Sebagai bentuk rasa tanggung jawab terhadap mantan istrinya yang sedang hamil, maka pemohon mengajukan permohonan izin poligami. Pengadilan Agama Pasuruan dalam memberikan izin poligami didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan terhadap bahaya yang ditimbulkan apabila tidak diberi izin poligami dan manfaat yang diambil apabila permohonannya ditolak,
56
karena bila Pengadilan tidak memberikan izin poligami kepada suami, maka perempuan tersebut selalu dilanda keresahan yang dapat mempengaruhi kesehatan janin yang dikandungnya. Karena sebagai seorang dokter, dia merasa berkewajiban untuk melindungi kehidupan manusia sejak janin, dan perlindungan ini tidak hanya secara medis tapi juga secara hukum. Begitu juga dengan status anak yang dilahirkan, meskipun dalam Undang-Undang disebutkan bahwa status anak tersebut tetap anak mereka berdua, tapi akan menjadi beban moral tersendiri bagi sang anak apabila dia tidak mempunyai seorang ayah semenjak kecil. Selain itu, untuk mencegah terjadinya perzinahan, meskipun perkawinannya telah dibatalkan, tetapi ternyata antara pemohon dan mantan istrinya masih tinggal serumah. Dengan demikian pendapat Majelis Hakim yang memilih memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang telah dibatalkan perkawinannya apalagi dalam keadaan hamil 7 bulan akan jauh lebih baik bermanfaat untuk sebuah perlindungan dan kepastian hukum sudah sesuai dengan syari’at Islam. Mengenai perkara apakah diizinkan atau tidak diizinkannya pemohon untuk berpoligami, menurut penulis keduanya mengandung resiko. Karena itu, apabila ada dua pilihan yang mengandung resiko, maka menurut kaidah ushul fiqh yang dipilih ialah yang resiko (mad}a>rahnya) paling ringan :
ﺍﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻣﻔﺴﺪﺗﺎﻥ ﺭﻭﻋﻲ ﺍﻋﻈﻬﻤﺎ ﺿﺮﺭﺍ ﺑﺎﺭﺗﻜﺎﺏ ﺍﺧﻔﻬﺎ
57
Artinya : “Jika terdapat dua perkara yang membahayakan dan tidak ada jalan yang menghindari kedua-duanya, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar mad}a>rahnya, dengan dikerjakan yang lebih ringan mad}a>rahnya.”54
Oleh karena itu, putusan Majelis Hakim dalam memberi izin poligami kepada pemohon dengan pertimbangan-pertimbangan hukum seperti yang tersebut di atas sudah tepat dan benar, karena sudah memilih masalah yang resikonya paling ringan dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku serta hukum syar’I dalam Islam. Adapun tentang tidak adanya persetujuan dari istri dalam perkara permohonan poligami ini, tetapi hakim tetap mengabulkan permohonan pemohon. Hal ini tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum utama dalam Islam tidak menyebutkan adanya beberapa alasan untuk berpolilgami termasuk izin istri sebagai syarat untuk poligami, tetapi AlQuran hanya mensyaratkan untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa>’(4): 3
ﺛﹸﻼﺙﹶﻰ ﻭﺜﹾﻨﺎﺀِ ﻣ ﺍﻟﻨِّﺴ ﻣِﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢﺎ ﻃﹶﺎﺏﻮﺍ ﻣﻜِﺤﻰ ﻓﹶﺎﻧﺎﻣﺘﻘﹾﺴِﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻴ ﺃﹶﻻ ﺗﻢﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘﻭ ﻮﻟﹸﻮﺍﻌﻰ ﺃﹶﻻ ﺗﻧ ﺃﹶﺩ ﺫﹶﻟِﻚﻜﹸﻢﺎﻧﻤ ﺃﹶﻳﻠﹶﻜﹶﺖﺎ ﻣ ﻣﺓﹰ ﺃﹶﻭﺍﺣِﺪﺪِﻟﹸﻮﺍ ﻓﹶﻮﻌ ﺃﹶﻻ ﺗﻢ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘﺎﻉﺑﺭﻭ Artinya: “Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. 54
Imam Masbukin, Qawaid al-Fiqhiyah, h. 76
58
Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. AnNis>a’(4):3)55 Masalah izin istri dalam poligami memang tidak ada dipersyaratkan secara syar’i dan tidak ada dalil yang menetapkan keharusannya. Masalah ini sebenarnya berangkat dari kesadaran prinsip Mu’a>syarah bil Ih}san yakni perlakuan baik terhadap keluarga, prinsip musyawarah dan prinsip ‘an tara>d}in yakni saling rid}a dalam keluarga sebagai kunci terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Jadi, dengan demikian sebaiknya bila ingin menjalani kehidupan poligaminya secara sakinah, hendaklah memusyawarahkan hal itu dengan istri meskipun tentunya bila alasan poligami tersebut secara syar’i. Bahkan dapat pula didorong desakan kondisi kebutuhan darurat dan memenuhi kriteria poligami, maka penolakan istri tanpa alasan yang syar’i, rasional dan realistis dapat menjurus kepada pengingkaran ayat. Namun sebaliknya, bila ternyata suami yang ingin poligami tetapi tidak memenuhi kriteria untuk menikah poligami dan tidak baik secara realistis dan syar’i , maka pendapat istri dan musyawarahnya mutlak wajib didengar dan dipertimbangkan karena prinsip dan semangat syari’at Islam adalah menghilangkan mud}arat dan kez}oliman.
55
Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 19