BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN
Membahas pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i tentang "niat dalam berwudhu" tentunya melahirkan konsekuensi adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat) antar ulama. Sebagai analisis penulis akan mengemukakan beberapa hal yang menjadi hasil penelitian, berupa persamaan dan perbedaan pendapat kedua Imam dan pendekatan alat bantu istinbath hukum.
A. Persamaan dan Perbedaan Dalam masalah yang penulis bahas, antara Imam Hanafi dan Imam Syafi'i terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Sebagaimana uraian di atas kita ketahui bahwa Imam Hanafi tidak mensyaratkan adanya niat dalam berwudhu. Seseorang yang membasuh wajah, kedua tangan, kepala, dan kaki dalam rangka hendak melakukan ibadah itu sudah tergolong wudhu. Berbeda dengan Imam Syafi'i yang berpendapat bahwa niat menduduki posisi terpenting dalam setiap amal ibadah, termasuk wudhu yang penulis teliti. Menurut Imam Syafi'i, tidaklah sah thaharah tanpa adanya niat. Perbedaan pendapat kedua Imam tersebut pada dasarnya berangkat dari argumen yang memang berbeda. Imam Hanafi memandang nash Alquran yang berbicara tentang wudhu hanya mengajarkan bagaimana teknis (kaifiyat) berwudhu. Firman Allah SWT. tersebut:
ِ َّ ِ الصالةِ فَا ْغ ِسلُوا وجوى ُكم وأَي ِدي ُكم إِ ََل الْمرافِ ِق وامسحوا بِرء وس ُك ْم َّ ين َآمنُوا إِذَا قُ ْمتُ ْم إِ ََل ْ َ َْ ْ َ ُُ َ يَا أَيُّ َها الذ ُُ ُ َ ْ َ ََ ِ ْ َوأ َْر ُجلَ ُكم إِ ََل الْ َك ْعب )6: …(املائده. ْي ْ َ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. AlMaidah: 6) Ayat tersebut tidak ada menyinggung perlunya berniat secara khusus untuk berwudhu. Dalam Imam Hanafi amal ibadah yang sifatnya cabang sudah cukup di dalam niatnya mengamalkan Islam secara keseluruhan. Kecuali itu, Imam Hanafi memandang tidak ada hadits shahih yang secara jelas menunjuk kepada kefardhuan niat dalam setiap amal ibadah. Hadits tentang urgensi niat yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khaththab merupakan hadits ahad yang tidak bisa dijadikan landasan hukum secara qath'i. Sedangkan Imam Syafi'i, dalam mazhab yang beliau bangun kedudukan niat merupakan sesuatu yang paling asasi dari setiap amal ibadah. Hadits yang sama merupakan hadits shahih yang dijadikan landasan hukum. Setidaknya di samping perbedaan yang cukup tajam, Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i pada dasarnya melihat kepada nash yang sama hanya saja dari sudut pandang (yakni metode istinbath) yang berbeda.
B. Pendekatan Alat Bantu Istinbath Hukum Kembali dikemukakan bahwa nash Alquran yang berbicara langsung masalah wudhu adalah QS. Al-Maidah ayat 6. Dalam melakukan penelitian terhadap interpretasi teks yang dilakukan para ulama, tentunya memerlukan telaah terhadap tafsir ayat bersangkutan.
Syeikh Syihab al-Din Sayyid Mahmud al-Alusi seorang mufassir bermazhab Hanafi menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul Tafsir Ruuh al-Ma'ani jilid 4 sebagai berikut:
{ إِذَا قُ ْمتُ ْم إِ ََل الصالة } أي إذا أردمت القيام إليها واالشتغال هبا
1
Makna ayat "…apabila kamu hendak mengerjakan shalat…" berarti jika kamu berkeinginan melaksanakan shalat atau menyibukkan diri dengannya. Beliau melanjutkan,
، وفائدتو اإلجياز والتنبيو على أن من أراد العبادة ينبغي أن يبادر إليها حبيث ال ينفك الفعل عن اإلرادة 2 جيوز أن يكون املراد إذا قصدمت الصالة: وقيل Redaksi singkat dan peringatan tersebut mengandung pelajaran bahwa barangsiapa yang ingin melakukan suatu ibadah seyogyanya dia segera melaksanakan tanpa memisahkan antara fi'il (perbuatan) dan iradah (keinginan). Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah "jika kamu meng-qashad (menyengaja) akan shalat. Tidak jauh berbeda dengan penafsiran Imam 'Abd al-Allah ibn Ahmad Abu alBarakat al-Nasafi lebih dikenal dengan nama al-Nasafi seorang mufassir lain yang juga bermazhab Hanafi. Dalam kitabnya yang berjudul Madarik al-Tanzil wa Haqa'iq alTa'wil atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Nasafi, beliau mengemukakan:
{ وى ُك ْم } أي إذا أردمت القيام إَل الصالة كقولو َ { يَأَيُّ َها الذين ءَ َامنُواْ إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِ ََل الصالة فاغسلوا ُو ُج فعرب عن إرادة الفعل بالفعل ألن الفعل مسبب عن، ت القرءان } أي إذا أردت أن تقرأ القرآن َ ْفَِإ َذا قَ َرأ 3
1
اإلرادة فأقيم املسبب مقام السبب ملالبسة بينهما طلباً لإلجياز
Syihab al-Din al-Alusi, Ruuh al-Ma'ani fii Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa al-Sab' al-Matsani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz 5, hal. 102. 2
Ibid.
Makna QS. Al-Maidah ayat 6 tersebut adalah jika kamu berkeinginan untuk melaksanakan shalat. Sama seperti firman Allah yang artinya "jika kamu membaca Alquran" maknanya "jika kamu hendak membaca Alquran" (QS. al-Nahl: 98). Keinginan melakukan di sini membicarakan tentang pekerjaannya, karenanya pekerjaan itu disebabkan oleh adanya keinginan (terlebih dahulu). Sesuatu yang menjadi objek sebab didudukan pada posisi sebab dikarenakan hubungan erat keduanya sebagai tuntutan dari redaksi singkat tersebut. Menurut Imam al-Syaukani, ada dua hal yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut yakni niat dan membaca Basmalah. Akan tetapi dua hal ini ada dalam keterangan al-Sunnah, oleh karena itu ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut sudah terkandung konsep niat.4 Pandangan jumhur mufassirin pada dasarnya tidak berbeda bahwa ayat tersebut merupakan landasan kewajiban berwudhu ketika hendak shalat dalam keadaan berhadas (tidak suci). Oleh karena itu maka wajib berwudhu terlebih dahulu. Dr. Wahbah alZuhayli mengemukakan sebuah kesimpulan para mufassir sebagai berikut:
يا أيها الذين أمنوا إذا أردمت القيام إَل الصالة وأنتم حمدثون – وىذا القيد ثبت يف السنة النبوية – فعليكم وإذا كان, فإذا كان مريد الصالة حمدثا وجب عليو الوضوء, إذ ال يقبل اهلل صالة بغري طهر, بالوضوء 5 متواضئًا فهو مندوب Hai orang-orang yang beriman jika kalian ingin melaksanakan shalat sedangkan kalian dalam keadaan berhadas—batasan ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW—maka wajiblah bagi kalian berwudhu. Maka jika orang yang hendak shalat tersebut berhadas wajiblah baginya berwudhu. Sedangkan apabila orang tersebut telah dalam kondisi berwudhu terlebih, maka hukumnya mandub (dianjurkan) untuk berwudhu kembali—jika hendak mengerjakan shalat tersebut.
3
Abd al-Allah ibn Ahmad Abu al-Barakat al-Nasafi, Madarik al-Tanzil wa Haqa'iq al-Ta'wil, Jilid 1 hal. 276 dikutip dari CD Program Maktabah al-Syamilah edisi ke-2 dalam http://wwww.waqfeya.net/shamela. 4 Muhammad ibn 'Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid 2, hal. 28 5
Wahbah al-Zuhayli Al-Tafsir al-Munir fii al-Aqidah wa al-Syari'ah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Juz 5, hal. 102
Seperti halnya yang dikemukakan dalam mazhab Imam Hanafi, Wahbah juga menyebutkan dalam tafsirnya bahwa berdasarkan ayat tersebut tampak fardhu (kewajiban) dalam berwudhu itu hanya ada empat macam. Yakni membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kaki sampai kedua mata kakinya.6 Tidak ada disebutkan tentang niat dan kedudukannya. Beralih kepada nash Alquran yang berkaitan dengan pentingnya keikhlasan dalam amal. Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5:
ِ ِ ِ ِالزَكاةَ وذَل ِ ِِ : ين الْ َقيِّ َم ِة (املائده َّ يموا َ َ َّ الصالةَ َويُ ْؤتُوا َ َوَما أُم ُروا إِال ليَ ْعبُ ُدوا اللَّوَ ُمُْلص ُ ِّين ُحنَ َفاءَ َويُق ُ كد َ ْي لَوُ الد
)٥
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Penulis tidak menemukan adanya penafsiran para ulama yang mengacu kepada kedudukan niat. Akan tetapi, mengomentari ayat tersebut, al-Syaukani mengatakan: 7
وىذه اآلية من األدلة الدالة على وجوب النية يف العبادات؛ ألن اإلخالص من عمل القلب
Ayat tersebut termasuk dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya niat dalam setiap amal ibadah. Karena ikhlas itu merupakan bagian dari aktivitas hati.
Beralih kepada pendekatan hadis, kebanyakan ulama berargumen kepada hadis sahih yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab ra. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:
6
Ibid., hal. 103.
7
Muhammad ibn 'Ali al-Syaukani, op.cit., Jilid 5 hal. 676
ِ ٍد َِخبَ ر ْ َحدَّثَنَا َ َي ق َ َال َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن ق َ َالزبَ ِْري ق ُّ ي َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن ُّ صا ِر ُّ ااُ َمْي ِد َ ْال َحدَّثَنَا َْ َ بْ ُن َسعيد األَن َ ْ ال أ ِ ِ ِ ُ اص اللَّيِي ي ُق ِ ِ ِ َّ َاا اب َر ِض َي اللَّوُ َعْنوُ َعلَى ْ ت عُ َمَر بْ َن ُ ول َ ْع َ َّ ْ يم الت َّْيم ُّي أَنَّوُ َ َ َع ْل َق َمةَ بْ َن َوقَّ ٍد َ ُحمَ َّم ُد بْ ُن إبْ َراى ِ َّال بِالنِّ ي ِ َ ال َِ عت رس ِ ات َوإََِّّنَا لِ ُك ِّل ْام ِر ٍد َما نَ َوى ُ إََِّّنَا اْأل َْع َم: ول ُ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق َ ول اللَّو ُ َ ُ ْ َ َالْمْن َِرب ق 8 ِ ِ ِ ٍد ِ ِ ِ ِ ِ ْ َفَمن َكان اجَر إلَْيو َ ت ى ْ َرتُوُ إ ََل ُدنْيَا يُصيبُ َها أ َْو إ ََل ْامَرأَة يَْنك ُح َها فَ ِه ْ َرتُوُ إ ََل َما َى َْ Al-Humaidi Abdullah bin Zubair menceritakan bahwa Sufyan mengatakan Yahya bin Sa'id al-Anshari menceritakan bahwa Muhammad bin Ibrahim al-Taimi menceritakan bahwa Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata: Aku mendengar Umar bin Khaththab saat di atas mimbar mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya amal ibadah itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan dunia atau karena ada wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahny6a tersebut hanya bagi apa yang diniatkannya (untuk hijrah). Untuk menelaah lebih jauh tentang kandungan hadits di atas penulis mencoba memperhatikan apa yang dilakukan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam memberikan komentar sebagai berikut. Al-Khaubi berpendapat bahwa hadits di atas mengisyaratkan bahwa niat itu bermacam-macam seperti halnya amal yang beraneka ragam. Begitu juga dengan tujuan seseorang apakah untuk keridhaan Allah semata, tercapainya apa yang dijanjikan, maupun untuk memelihara diri dari ancaman-ancaman Allah SWT.9 Dari penjelasan al-Khaubi tersebut menunjukkan bahwa masing-masing amal ibadah menuntut adanya niat yang tersendiri sesuai jenis ibadah yang dimaksud. Ada sejumlah besar riwayat yang menunjukkan tersendirinya pembahasan tentang niat tersebut. Singkatnya, niat itu sendiri terletak di dalam hati sedangkan amal perbuatan terkait dengan aktivitas lahiriyah sehingga pembahasannya pun di bedakan. 8
9
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail ibn Ibrahim al-Bukhari, loc.cit., h. 2
Al-Hafizh Syihab al-Din Ahmad ibn „Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih alBukhari. (Beirut, Dar al-Ma'rifah, 1379 H ), Jilid 1, hal. 12.
Terlebih lagi urgensi niat itu kembali kepada keikhlasan seseorang.10 Al-Nawawi mengemukakan bahwa niat itu adalah kesengajaan bertindak, yakni berupa tekad yang betul-betul kuat. Sedangkan al-Kirmani menambahkan bahwa tekad yang kuat tersebut hanya merupakan pelengkap kesengajaan itu saja.11 Al-Baidhawi mengatakan, “Niat adalah ungkapan tergeraknya hati pada apa yang dipandangnya sebagai tujuan berupa memperoleh manfaat (kabaikan) maupun menghindarkan diri dan harta dari bahaya. Agama mengkhususkan niat sebagai kehendak yang menuju kepada perbuatan demi mencari ridha Allah dan menjunjung tinggi hukum-Nya. Niat dalam hadis tersebut lebih kepada makna secara bahasa. Kemudian timbul pernyataan "tidak ada amal kecuali dengan niat”, bukanlah maksudnya menafikan amalnya padahal bisa saja amal itu terjadi tanpa
niat,
akan
tetapi
yang
dinafikan
adalah
hukum
sah-tidaknya
dan
kesempurnaannya”.12 Ibu Hajar kembali mengemukakan:
والذين مل يشرتطوىا قدروا كمال, الذين اشرتطوا النية قدروا صحة األعمال: وقال ابن دقيق العيد ويف ىذا الكالم. ورجح األول بأن الصحة أك ر لزوما للحقيقة من الكمال فاامل عليها أوَل, األعمال وأما املقاصد, وليس ااالف بينهم يف ذلك إال يف الوسائل, إهبام أن بعض العلماء ال يرى باشرتاط النية 13
ومن مث خالف اانفية يف اشرتاطها للوضوء, فال اختالف بينهم يف اشرتاط النية هلا
Ibnu Daqiq mengatakan bahwa kelompok yang mensyaratkan niat dalam setiap amal ibadah menganggapnya sebagai sesuatu yang berpengaruh pada sah-tidaknya amal, sedangkan kelompok yang tidak mensyaratkan niat menganggap niat itu hanya sebagai kesempurnaan amal saja. Akan tetapi, lanjutnya, pendapat yang 10
Ibid.
11
Ibid., hal. 13
12
Ibid.
13
Ibid., hal. 14.
lebih rajih (kuat) pendapat yang pertama, karena pada kenyataannya kriteria sahnya suatu amal lebih banyak tuntutan kelazimannya dari pada kesempurnaan amal tersebut, sehingga membawa pendapat kepada hal itu lebih utama. Dalam hal ini pula terdapat bias (ketidakjelasan) bahwa sebagian ulama ada yang tidak mensyaratkan ada niat. Padahal sebenarnya ikhtilaf yang terjadi antara mereka hanyalah dalam hal media amal itu saja. Sedangkan terhadap tujuan (amal) mereka sepakat disyaratkannya niat. Terhadap hal itulah ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat. Di dalam Syarah al-Nawawi li Shahih Muslim, Imam al-Nawawi (seorang ulama besar mazhab Syafii) mengatakan hadits tentang niat di atas mengandung pengertian bahwa amal itu akan dinilai berdasarkan niatnya. Tidak akan dinilai amal apabila tanpa niat.14 Lebih lanjut secara tegas beliau menjelaskan:
وكذلك الصالة والزكاة, دليل على أن ال هارة وىي الوضوء والغسل والتيمم ال تصح إال بالنية: وفيو 15 وأما إزالة الن اسة فاملشهور عندنا أهنا التفتقر إَل نية. والصوم وااج واالعتكاف وسائر العبادات Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa taharah (bersuci) berupa wudhu, mandi, dan tayammum tidaklah sah kecuali dengan niat. Demikian juga dengan shalat, zakat, puasa, haji, i'tikaf, dan semua jenis ibadah lainnya. Adapun menghilangkan najis, menurut pendapat yang lebih populer dalam mazhab kami (Syafi'i) tidaklah diperlukan adanya niat tersebut. Terlepas dari landasan penafsiran ayat dan penjelasan hadits yang dilakukan para ulama di atas, kita dapat menelaahnya melalui metode istinbath hukum dan dasar pemikiran ulama mazhab. Dari analisis penulis di atas terlihat bahwa sikap ulama mazhab Hanafi dalam menafsirkan ayat tentang wudhu langsung mengacu kepada halhal yang fardhu (rukun), berupa membasuh wajah, kedua tangan, kepala, dan kaki sampai mata kaki. Tidak ada pembahasan khusus mengenai niat, karena memang 14
Imam Abu Zakariya al-Nawawi, Syarh al-Nawawi li Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya alTurats al-'Arabi, 1392 H), Juz 13, hal. 54. Dikutip dari CD Maktabah Alfiyyah li al-Sunnah alNabawiyyah. 15
Ibid.
sebagaimana kita ketahui terdahulu bahwa Imam Hanafi sendiri tidak menganggap niat dalam berwudhu sebagai sesuatu yang fardhu (rukun). Padahal, Imam al-Syaukani secara lebih objektif mengatakan, ketika menafsirkan ayat tentang niat (QS. AlBayyinah: 5) bahwa dalam Islam kedudukan niat sebagai sesuatu yang wajib dalam setiap amal ibadah.16 Terhadap hadits sahih tentang niat, Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi yang memberikan komentar terhadap hadits tersebut secara gamblang mengemukakan bahwa ada banyak riwayat yang menunjukkan pentingnya niat. Bahkan lebih tegas Imam Nawawi menjelaskan bahwa di dalam hadis tersebut terkandung wajibnya niat dalam setiap amal ibadah termasuk wudhu. Selain itu, hal ini dapat dipahami karena Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Nawawi merupakan muhaddits besar bermazhab Syafi'i. Terakhir penulis mencoba melihat ikhtilaf kedua mazhab yang diteliti ini melalui sudut pandang metode istinbath hukumnya. Imam Hanafi yang berpendapat ketidakwajiban niat, mendasarkan pendapatnya kepada ayat Alquran surat al-Maidah ayat 6 yang memang tidak ada menyinggung masalah niat, tetapi langsung kepada teknis pelaksanaan wudhu. Ini sesuai dengan urutan pertama metode istinbath beliau yang berpegang kepada Alquran. Ayat tersebut dinilai sudah cukup jelas bagaimana kewajiban seseorang ketika hendak shalat untuk berwudhu seperti yang ditegaskan oleh ayat. Imam Hanafi juga menganggap tidak ada hadits yang secara jelas memerintahkan untuk berniat ketika berwudhu. Terlebih di dalam mazhab Hanafi, “niat untuk wudhu” sebenarnya sudah tercakup di dalam niat untuk mendirikan shalat. 16
Muhammad ibn 'Ali al-Syaukani, loc.cit., h. 676
Sebelumnya kita juga ketahui ciri khas Imam Hanafi adalah dominasi aspek ijtihadi dalam menggali ketentuan-ketentuan hukum fikih. Beliau akan lebih memilih ketentuan hukum yang secara rasional dapat diterima selama tidak bertentangan dengan nash secara umum. Beliau hanya akan menggunakan hadits yang benar-benar sahih yang berbicara langsung tentang permasalahan yang dibahas. Cara beristinbath Imam Hanafi adalah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang ada dibelakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum. Sedangkan untuk masalahmasalah yang tidak ada nashnya beliau gunakan Qiyas, istihsan dan urf.17 Cukuplah dari situ kita melihat betapa Imam Hanafi mengyajikan fikih rasional dan fleksibel, tanpa harus berbelit-belit dalam memahami nash. Sehingga tidak mengherankan jika kesimpulan berbeda dengan mazhab lain, di mana ketentuan hukumnya tidaklah disyaratkan berniat ketika hendak berwudhu. Artinya sah wudhu tanpa niat. Meskipun demikian, bukan berarti Imam Hanafi menolak adanya niat. Di dalam kitab al-Binayah Syarh al-Hidayah karya al-Allamah Badruddin Abu Muhammad al„Aini al-Hanafi, disebutkan bahwa bagi orang yang berwudhu dianjurkan (mustahab) untuk berniat thaharah, lebih jauh kedudukannya sunah dalam mazhab kami (Hanafi). Hal ini karena niat untuk thaharah sendiri lebih umum daripada niat untuk berwudhu. Maka jika seseorang hendak membersihkan pakaian, badan maupun tempat untuk shalat dari segala najis, mustahab baginya karena adanya sabda Nabi yang bersifat umum “Sesungguhnya amal ibadah itu dengan niat”. Jikalau ia tidak berniat maka hal itu
17
Ahmad Djazuli, op.cit. hal :127
tidaklah berpengaruh pada rusaknya amal tersebut.18 Berbeda dengan tayammum karena tanah (debu) yang digunakan pada dasarnya bukanlah benda yang dapat menyucikan sehingga perlu berniat.19 Di dalam kitab Tabyinul Haqa’iq, sebuah kitab fikih bermazhab Hanafi juga disebutkan di antara adab-adab wudhu adalah menghimpunkan antara niat di hati, apa yang diucapkan, dan mengucap Basmalah ketika membasuh setiap anggota wudhu.20 Artinya demi kesempurnaan wudhu itu sendiri kedudukan niat memang diakui bahkan disebut sebagai sesuatu yang sunnah untuk dikerjakan. Imam Hanafi sebanarnya juga mengakui istilah qashad (menyengaja) untuk ibadah, dan itu sudah cukup karena sudah termasuk ketika seseorang berniat untuk mengerjakan agama Islam secara keseluruhan. Di sinilah letak perbedaannya yang sangat mendasar, di mana Imam Hanafi tidaklah mengingkari niat sama sekali. Beliau hanya tidak menjadikannya sebagai syarat yang fardhu untuk dikerjakan sebelum masuk kepada aktivitas wudhu tersebut. Keinginan untuk shalat itu sendiri tampaknya juga berupa “niat” namun tanpa aturan khusus dalam mazhab beliau. Meskipun demikian, menanggapai perbedaannya dengan tayammum, penulis menilai ada ketidakkonsistenan beliau dalam hukum. Padahal tayamum dan wudhu sama-sama pekerjaan thaharah yang diatur langsung oleh Alquran dan hadis.
18
Badruddin Abu Muhammad al-'Aini, Al-Binayah Syarh al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 1, hal. 173. 19
Ibid, hal. 175
20
Utsman al-Zayla'i, Tabyin al-Haqa'iq Syarh Kanz al-Daqa'iq. Juz 1, hal. 21. Dalam CD Program Maktabah al-Syamilah edisi ke-2 dalam http://wwww.waqfeya.net/shamela.
Imam Syafi‟i berdasarkan metode istinbath-nya, jelas sekali mengacu kepada nash Alquran dan hadits shahih bahwa tidak akan sah suatu amal tanpa niat. Penafsiran ayat, seperti yang disebutkan Imam al-Syaukani sendiri, mengandung makna disyaratkannya niat dalam setiap amal ibadah. Lebih lagi dengan penjelasan hadits yang diberikan para ulama jelas bagaimana kedudukan niat dalam mazhab Syafi‟i. Demikian pula dalam pembahasan para ahli ushul fikih mazhab Syafi‟i ada yang disebut dengan kaidah “segala aktivitas sangat ditentukan apa yang menjadi tujuannya” ) ( األمور بمقاصدها , lebih lanjut kaidah menjelaskan bagaimana pentingnya kedudukan dalam ibadah. Selain itu, apabila kita memperhatikan kepada kebanyakan fatwa-fatwa Imam Syafi‟i terlihat betapa ciri khas fikih beliau sangat berhati-hati (ikhtiyat) dalam memutuskan hukum. Selama Alquran dan hadits memberikan penjelasan sahih beliau akan tetap berpegang kepada dua hal terpenting dalam dasar istinbath hukumnya tersebut. Akhirnya jelaslah ketetapan hukumnya wajib niat di setiap amal ibadah termasuk wudhu.