BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN KETUHANAN AL-GHAZĀLĪ DAN SUHRAWARDĪ A. Perbedaan Pemikiran Al-Ghazâlî dan Suhrawardî. Salah satu obyek
kajian metasifika adalah pembahasan tentang
Tuhan. Dalam hal ini, terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh para filosuf untuk menyebut Tuhan, Plato menamakan Tuhan dengan Kebaikan Tertinggi, Aristoteles Penggerak Pertama, sementara plotinus menyebutnya Yang Satu. Para filsuf muslim juga mempunyai penyebutan yang beragam: Al-Kindî menyebut Tuhan dengan Yang Benar Pertama, Yang Benar Tunggal, menurutnya, Tuhan adalah Pencipta, Bukan Penggerak, Al-Farabî menyebut Tuhan sebagai Akal yang selalu berpikir tentang diri-Nya, Tuhan adalah Wujud Pertama, sementar Ibn Sina menyebut Tuhan dengan Wajib alWujûd.1 Dalam Islam, Allah Adalah pencipta Alam semesta, posisi-Nya paling tinggi di atas makhluk-Nya seperti halnya Sang pencipta pasti lebih tinggi dari ciptaan-Nya. Allah tidak dalam satu kesatuan dengan makhluk (wahdah al-wujûd) tidak menyatu dengannya dan tidak bersemayam di dalamnya. Pembuat sepeda tidaklah menyatu dengan sepeda buatannya; tidak pula berada dalam sepeda itu, melainkan berada di atas lebih tinggi dari buatannya.2 Kajian tentang ketuhanan banyak dijadikan perdebatan ilmiah oleh para pemikir Islam dan Barat, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, dan merupakan perdebatan sepanjang masa dalam sejarah kehidupan manusia yang tidak akan pernah berakhir. Adalah Al-Ghazâlî dan Suhrawardî pemikir Islam yang mengkaji tentang ketuhanan. Al-Ghazâlî mengikuti tradisi ulama kalam Al-Asy’ari, dalam menetapkan wujûd Tuhan, beliau menggunakan 1
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, ( Yogjakarta: LkiS, 2005), h.
221-222 2
Musthafa Mahmud, Islam sebuah Kajian filosofis, Terj, Mustolah Maufur(Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1997), h. 77
92
93
dalil wujûd Tuhan atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat AlQur`ân sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, melalui perenungan ayat Al-Qur’an dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujûd Tuhan melalui Esistensi Tuhan. Eksistensi dan esensi Tuhan adalah adalah eksistensi segala sesuatu.3 Islam menunjukkan wujûd Tuhan melalui dalil aqlî dan ia mempertentangkan wujûd Allah dengan wujûd makhluk. Wujûd Allah adalah qadîm, sedangkan wujûd makhluk adalah hadîts (baru). Wujûd hadîts membutuhkan sebab penggerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya, sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan digerakkan, sedangkan jika wujûd Allah hadîts, tentu akan membutuhkan sebab musabab seperti itu juga, dan itu mustahil. Karena eksistensi Tuhan adalah eksistensi yang disebut wajib al-wujûd.4 Penyebutan Tuhan sebagai Yang Pertama terkait dengan wujûd segala sesuatu, bahwa segala sesuatu adalah hasil dari ciptaan-Nya. Sementara penamaan Allah sebagai Yang Akhîr terkait dengan tujuan akhir dari para sufi, yakni Tuhan: para sufi adalah musafir yang melangkah setahap demi setahap menuju kepada-Nya, oleh karena itu menurut Al-Ghazâlî, Tuhan adalah Transenden dan juga Immanen,
pencipta, Penyebab Pertama dari
semua wujûd, dan Hikmah Abadi. Tuhan adalah sumber cahaya, yang merupakan syarat utama bagi adanya kehidupan, gerak dan keindahan. Adapun Suhrawardî dalam pemikirannya tentang ketuhanan identik dengan kata Isyraqiyah yang berarti cahaya. Pemikirannya tentang cahaya salah satunya
dipengaruhi
oleh
pemikiran
Al-Ghazâlî.
Isyraqiyah
adalah
pengetahuan melalui pertolongan dimana manusia harus menyesuaikan dirinya dengan alam semesta dan menjaga, merawat kelestarian alam yang
3
Mulla Sadra, Manifestasi-Manifestasi Illahi, Terj, Irwan Kurniawan, (Jakarta: Sadra Press, 2011), h. 21 4 Ibid, h. 23
94
mana merupakan tempat di mana manusia hidup.5 Adapun
perbedaan
pemikiran kedua tokoh tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya adalah: 1. Al-Ghazâlî menjelaskan bahwa alam semesta itu baharu (Hudust) dan yang qadim hanyalah Allah, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadimnya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan, dan ini berarti bertentangan dengan ajaran Al-Quran
yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah
yang
menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).6 Sedangkan Suhrawardî mengatakan bahwa alam ini qadim sesuai dengan qadim-nya Allah sebagai pencipta. Suhrawardî mengembangkan prinsip emanasi menjadi teori pancaran (Iluminasi), pancaran cahaya bersumber dari sumber pertama yang disebut Nûr al-‘Anwâr, pancaran dari sumber pertama
akan
berjalan
terus
sepanjang
sumbernya
tetap
eksis.
Konsekuensinya, alam semesta akan selalu ada selama Tuhan ada, dan ini menimbulkan paham adanya dualisme ke –qadim-an (alam dan Tuhan). Akan tetapi Suhrawardî menegaskan bahwa antara Tuhan dan alam adalah dua hal yang berbeda sama sekali. dalam hal ini, ia mengumpamakan hubungan antara lampu dan sinarnya; lampu sebagai sumber cahaya jelas berbeda dari sinar yang dihasilkannya.7 2. Menurut Al-Ghazâlî alam semesta tercipta dari ketiadaan, diciptakan oleh Tuhan, bukan sebagaimana yang dikemukakan oleh para filosof peripatetik bahwa alam ini emanasi dari Tuhan, limpahan Tuhan. Dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, hal ini dianggap menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut Al- Ghazâlî, dunia
5
Amroeni Drajat, op.cit., h. 222 Imam Al- Ghazali, Penyelamat Jalan Sesat, h. 20 7 Syihab ad-Din Yahya as-Suhrawardi, Hikmah al-Isyraqiyyah: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri, Terj, (Yogyakarta: Islamika,2003), h, xv 6
95
diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an, tiada menjadi ada karena Tuhan menciptakannya. Bahkan, Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma) tetapi juga “materi” dan “waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.8 Sedangkan Suhrawardî berpendapat bahwa alam semesta ini tercipta dari pancaran (illuminasi) Tuhan. Alam semesta dicipta dari cahaya pertama, Suhrawardî terpengaruh dengan pemikiran filosof peripatetik bahwa alam ini dicipta dari materi pertama, tidak tercipta dari ketiadaan. Sudah ada bahan dari alam semesta yaitu materi pertama.9 3. Secara teologi Al-Ghazâlî mengikuti teologi Asy’ariyah yang mendapat pengaruh dari para gurunya dan terbukti dari serangan yang Al-Ghazâlî lancarkan kepada para filosof yang bercorak rasionali yang identik kepada Mu’tazilah dan mengkritik aliran Bathiniyyah sebagaimana yang tertera dalam karyanya Al-Munqidz min al-Dhalâl yang mana aliran Bathiniyyah adalah kelompok dari Syi’ah. Sedangkan Suhrawardî mengikuti, atau corak teologinya dekat dengan Syi’ah yang mana keduanya merupakan teologi Islam yang masih eksis sampai sekarang.
Kalau dalam dunia
Sunni filsafat bisa dikatakan mati suri setelah serangan Al-Ghazâlî melalui karyanya Tahâfut al-Falâsifah, yang mana pengaruh ajaran tasawuflah yang di ambil oleh umat Islam Sunni sampai sekarang. Berbeda dengan filsafat dalam dunia Syi’ah, filsafat berkembang subur sampai sekarang. Hal ini tidak lepas dari sosok Suhrawardî yang merupakan tokoh filsafat di dunia Syi’ah, bisa dikatakan Al-Ghazâlî adalah tokoh filosof Sunni dan Suhrawardî adalah tokoh filosof syi’ah. 4. Al-Ghazâlî dilihat dari kehidupan sejarahnya termasuk orang yang skeptis, bisa dilihat dari perjalanan hidupnya yang mencoba mempelajari ilmu kalam yang marak pada waktu itu untuk mencari kebenaran yang hakiki tetapi Al-Ghazâlî tidak menemukannya di dalam ilmunya para
8
Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah: kerancuan para filosof, Terj, Ahmad Maimun (Bandung: Marja, 2010) 9 Aroeni Drajat, op.cit, h. 179
96
mutakallimin tersebut, kemudian Al-Ghazâlî mempelajari filsafat, ilmu yang menjadi pegangan para filosof akan tetapi Al-Ghazâlî juga belum mendapatkan apa yang dia inginkan kemudian mempelajari
ajaran
Bathiniyyah menurut Al-Ghazâlî terdapat kejanggalan dan kesalahan yang banyak dalam aliran ini kemudian ia
mendalami tasawuf, melakukan
amalan-amalan dalam ajaran kaum sufi, melakukan riyadhah dan akhirnya Al-Ghazâlî menemukan apa yang ia cari di dalam tasawuf. Sedangkan Suhrawardî
dalam
pengembaraan
intelektualnya
dimulai
dengan
mempelajari ushul fiqh, fiqh, filsafat, teologi kemudian belajar tasawuf. kecerdasannya memberikan kemudahan dalam
setiap ilmu yang dia
pelajari dalam usia yang relatif muda, Suhrawardî dapat menguasai berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi karena memegang teguh keyakinannya akhirnya Suhrawardî meninggal dengan sangat mengenaskan. 5. Al-Ghazâlî dalam menjelaskan eksistensi Tuhan banyak menggunakan sifat-sifat yang ada dalam Al-Qur’an yaitu mengambil dari nama-nama Tuhan yang ada sembilan puluh sembilan (asmâ’ al-husnâ). Sedangkan Suhrawardî identik dengan menggunakan simbol-simbol cahaya; Cahaya Segala Cahaya (Nûr al-Anwâr), Cahaya Terdekat (nûr al-‘aqrab), Cahaya Agung (nûr al-‘akram) dan Cahaya Mulia (nûr al-‘azhîm). Suhrawardî terpengaruh dari pemikiran Al-Ghazâlî dan zoroaster yang sering menggunakan simbol antara cahaya dan kegelapan akan tetapi Suhrawardî tidak terpengaruh secara keseluruhan dalam pemikiran Suhrawardî antara cahaya dan kegelapan adalah sebagai hubungan antara eksistensi dan non eksistensi antara materi dan immateri sedangkan dalam ajaran Zoroaster cahaya dan kegelapan mengandung arti pertentangan atau peperangan abadi keduanya. Dalam pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Hikmah alisyraq yang diperkenalkan oleh Suhrawardi memperkenalkan kita pada satu hal; untuk memperoleh kebenaran dari pancaran-Nya, kita harus menjadi “cahaya” bagi diri kita sendiri. Caranya, kita mesti mengenal bahwa secara esensial kita diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi rasionalitas dan
97
spiritualitas, untuk mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Bahwa “diri” kita adalah cahaya, atau cerminan dari cahaya-nya, akhirnya tidak perlu diragukan lagi. Dengan “diri yang bercahaya” ini, barulah kita dapat memeluk kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tak habis-habisnya memberi kedamaian di buka bumi. Filsafat iluminasi kerangka dalam membicarakan tentang wujûd tidak dapat dipisahkan dari penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya. Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri, Ia ada, karena ketiadaannya merupakan kegelapan, semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala cahaya (nŭr al-Anwar). Tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala cahaya” adalah Tuhan. Suhrawardi membagi realitas atas tipe cahaya dan kegelapan, realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Keseluruhan alam adalah tingkatan-tingkatan penyinaran dan tumpahan Cahaya Pertama yang bersinar di mana-mana, sementara ia tetap tidak bergerak dan sama tiap waktu. Sebagaimana term yang digunakan oleh Suhrawardi, cahaya yang ditompang oleh dirinya sendiri disebut nŭr al-mujarrad. Jika cahaya bergantung pada sesuatu yang lain disebut nŭr al-‘ardi. Sedangkan dari sisi lain keterkaitannya dengan hal yang bersifat supra rasional, Al-Ghazali memandang bahwa inner potensial yang dimiliki oleh manusia, terutama akal dan qalb mempunyai fungsi yang vital terhadap cara pandang seseorang terhadap masalah ketuhanan, Al-Ghazali sendiri pernah mengalami perjalanan intelektual dengan berpindah-pindah dari teologi, filsafat ke batiniyyah dan akirnya sampai pada sufi. Ia menyadari bahwa akal tidak akan mampu menangkap hakekat-hakekat yang bersifat intuitif atau disebut
98
juga dengan al-dzawq. Dengan intuisi hakekat tidak hanya dimengerti, tetapi juga dihayati dan dirasakan keberadaannya, dengan intuisi-lah keyakinan yang tertinggi dapat dicapai yang dalam hal ini akal hanya dapat membawa manusia kepada pengetahuan argumentatif, sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang betul-betul sampai kepada Tuhan. Pandangan Al-Ghazâlî tersebut pada dasarnya tidak menganggap bahwa akal tidak mempunyai arti sama sekali. Justru pada hakikatnya dari pandangan Al-Ghazâlî dapat diartikan bahwa potensi akal justru mempunyai peranan yang sangat penting sekali dalam peranannya untuk memahami dunia fenomena. Dunia fenomena yang dikehendaki adalah tanda-tanda yang memperlihatkan keberadaan Tuhan dengan cara mengamati tanda-tanda (ayatayat) baik yang tersurat, yakni berupa wahyu dan yang tersirat berupa alam ciptaan-Nya. Wahyu dalam hal ini menjadi sebuah sumber pengetahuan keagamaan dan ilmu-ilmu agama, sedangkan alam ciptaan-Nya menjadi tempat mengkaji berbagai fenomena yang menghasilkan ilmu-ilmu non agama untuk mengetahui Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta ilmu yang berasal dari wahyu (ilmu-ilmu agama) dan yang berasal dari alam nyata, akal mempunyai peranan. Dari sini dapat diambil titik temu yang mendasar dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Suhrawardî lebih mengganggap bahwa eksistensi keberagaman wujŭd didasari dengan pancaran cahaya yang mutlak yakni cahaya ketuhanan yang dipancarkan langsung terhadap hal-hal yang bersifat materi dan immateri. Sedangkan Al-Ghazâlî di sisi lain memandang bahwa qalb yang dimiliki oleh manusia juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mensinergiskan semua daya yang terdapat dalam diri manusia, termasuk hal terpenting yang mempunyai peran vital dalam hal ini adalah fungsi akal dan qalb yang selalu mencermati berbagai fenomena mengenai ketuhanan.
99
B. Persamaan Pemikiran Al-Ghazâlî dan Suhrawardî. 1. Menurut Al-Ghazâlî dan Suhrawardî Tuhan adalah Pencipta alam semesta, sumber dari segala yang ada, semuanya berasal dari Tuhan. Tuhan penyebab pertama maka dari itu Tuhan mereka bahwa Tuhan adalah kekal (qadim), semua yang ada di alam semesta ini adalah
karena kehendak Tuhan.
Keduanya sepakat bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan, Al-Ghazali dan Suhrawardî sepakat bahwa Tuhan tidak hanya transenden tetapi juga immanen. Transenden karena indera tidak mampu menangkap wujûd Tuhan yang tidak terlihat oleh mata telanjang, immanen karena alam ini sebagai tanda-tanda adanya Tuhan dapat diketahui melalui panca indera. 2. Menurut Al-Ghazâlî dan Suhrawardî hahekat wujud Tuhan sebagaimana dalam Al-Qur’an surat An-Nur [24] ayat 35, bahwa hakekat segala sesuatu adalah Cahaya, Tuhan adalah cahaya. Suhrawardî terpengaruh dari pemikiran Al-Ghazâlî dalam karyanya Miskat al-‘Anwâr, dimana wujûd yang hakiki adalah Cahaya, esensi dari Cahaya pertama. Tuhan memberikan pancaran (Illumination) yang tetap, di mana cahaya itu termanifestasikan dan membawa segala sesuatu menjadi maujûd, yang juga memberikan kehidupan bagi mereka dengan cahaya-cahayanya. Segala sesuatu di dunia ini berasal
dari pancaran cahaya esensi-Nya, begitu pula dengan
kesempurnaan dan keindahan adalah anugerah-Nya.10 3. Al-Ghazâlî maupun Suhrawardî, keduanya mengkritik pendapat filosof peripatetik, bahkan Al-Ghazâlî menyerang para filosof peripatetik dan mengkafirkannya. Al-Ghazâlî melontarkan kritik luar biasa kerasnya terhadap pemikiran filosof peripatetik, Al-Ghazâlî menjelaskan kesalahan para filosof beserta doktrin-doktri mereka. Sebelumnya ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru selama dua tahun, setelah
dihayati
dengan seksama, kemudian ia menuangkannya dalam bukunya dan mengelompokkan mereka dalam tiga kelompok yaitu: filosof materialis, 10
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera hati, 2006).
100
filosof naturalis dan filosof ketuhanan. Adapun dalam bidang ketuhanan, sebagaimana yang ada dalam buku Tahâfut Al-falâsifah, Al-Ghazâlî memandang para filosof sebagai ahl-al-bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah. Sedangkan Suhrawardî melancarkan kritik terhadap sejumlah pemikir peripatetik, baik kritik terhadap sejumlah teori pengetahuan maupun ontologi mereka. 4. Para filosof Peripatetik mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang umum dan tidak mengetahui hal-hal yang khusus. Menurut Al-Ghazâlî dan Suhrawardî, Tuhan mengetahui segala apa yang dilakukan makhluknya, dimanapun dan kapan pun tidak bisa lepas dari pengetahuan Tuhan. Baik yang umum maupun hal yang khusus semuanya dalam pengetahuan Tuhan. Sebagaimana konsep Tuhan dalam al-Qur’an adalah Maha Kuasa, Allah juga Maha Berkehendak, tidak ada yang dapat lepas dari kekuasaan-Nya. Alam semesta sepenuhnya tergantung kepada-Nya. Eksistensi alam secara total setiap saat bergantung kepada Iradah-Nya secara langsung. Segala sesuatu di alam ini setiap saat berada dalam kekuasaan-Nya. Dialah yang menyebabkan dan menciptakan segala perubahan dan pergerakan. 5. Al-Ghazâlî dan Suhrawardî keduanya merupakan tokoh muslim yang besar, yang tidak cepat puas terhadap ilmu-ilmu yang didapat, terbukti dari ilmuilmu yang dikuasai keduanya dan banyaknya karya-karya yang mereka hasilkan. Al-Ghazâlî dan Suhrawardî keduanya juga mempunyai karya yang menjadi sandaran dalam bidangnya masing-masing dan sama-sama mempunyai magnum opus yang sangat berpengaruh sampai sekarang. AlGhazâlî mempunyai kitab Ihyâ’‘Ulûm Ad-Dîn setelah pengembaraan intelektualnya yang panjang dan melelahkan dari satu keyakinan menuju kekeyakinan yang lain dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, akhirnya AlGhazâlî mendapat pertolongan Tuhan setelah lama mengalami keraguan dengan mengarang kitab Ihyâ’ ‘Ulûm Ad-Dîn yang menjadi pegangan kaum Sunni terutama di kalangan pesantren di Indonesia sampai saat ini. Suhrawardî mempunyai Hikmah Al-‘Isyrâq, yang mempengaruhi pemikir
101
Islam dikalangan Syi’ah, selanjutnya menyebar ke dunia Barat dan berkembang di kalangan Islam Syi’ah sampai sekarang. 6. Al-Ghazâlî dan Suhrawardî keduanya sama-sama senang mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari ilmu. Al-Ghazâlî memperoleh pendidikan dasar di kota Tus, kemudian meneruskan ke Naisabur kepada Imam Al-Juwaini (478 H/1085 M), kemudian pergi ke Nizham Al-Mulk Baghdad dan ke Makkah. Sedangkan Suhrawardî Pendidikannya dimulai di Marâgha-sebuah kota yang kemudian menjadi terkenal karena lahirnya Nasîrudin Al-Thûsî (1201-1274 M) di bawah bimbingan Majd Al-Din Al-Jîlî, dalam bidang fiqh dan teologi. Selanjutnya pergi ke Isfahân untuk lebih mendalami studinya pada Zahîr Al-Dîn Qârî dan Fakhrudin Al-Mardinî. Suhrawardî juga mengembara ke Persia, Anatolia, Syiria, dan berakhir di Aleppo.11
C. Kelebihan Pemikiran Al-Ghazâlî dan Suhrawardî 1. Kelebihan-kelebihan dalam pola pemikiran Al-Ghazâlî a. Al-Ghazâlî merupakan seorang ulama’ besar, tokoh besar Islam yang banyak menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antara lain fiqih, ushul fiqh, logika, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, bisa dilihat dari berbagai karya yang Al-Ghazâlî tulis. Setelah beliau meninggal pun karya-karyanya banyak dijadikan rujukan, dipelajari hingga sekarang. Ajarannya menjadi bahan acuan yang sangat penting dalam mencari kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, ajaran ketuhanannya menganjurkan untuk mencari bekal di dunia dan bekal di akhirat. Hidup ini tidak hanya untuk dunia, sekedar mencari materi tetapi diluar itu ada yang lebih berharga lagi yaitu mencari kebahagiaan yang sejati yang berada di akhirat.
11
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis,Terj, Suharsono, Jamaluddin, (Yogyakarta: CIIS Press, 1991), h. 70
102
b. Al-Ghazâlî
adalah
seorang filosof Islam
yang telah memberikan
hidupnya untuk mempelajari berbagai disiplin keilmuan dan telah banyak menghasilkan karya-karya yang
tak ternilai harganya bagi
perkembangan pemikiran Islam, dalam perjalanan hidupnya, senantiasa mengabdikan dirinya untuk menggeluti ilmu-ilmu pengetahuan, menegakkan ajaran Islam, dan mencari hakekat dari kebenaran yang sejati. Berpindah pindah dari inderawi, ke akal dan sampai ke pada intuisi. Pengetahuan tidak hanya inderawi dan akal, lebih dari itu intuisi lebih unggul dari keduanya yang menghantarkan kepada kebenaran yang sejati yaitu Tuhan. c. Al-Ghazâlî mendapat gelar Hujat-al-Islâm karena keberanian dalam membela aliran Sunni dan mempertahankan ajarannya, kekritisannya mempelajari aliran-aliran yang ada pada waktu itu, kemudian membantah ajaran-ajaran mereka mulai dari bidang aliran kalam, fiqh, tasawuf sampai aliran gurunya
dengan
filsafat. Al-Ghazâlî juga diberi gelar oleh
gelar
bahr
muqhriq
(samudera
yang
menenggelamkan), karena banyaknya ilmu yang di kuasainya.12 d. Magnum opus Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, merupakan karya terbesar Al-Ghazâlî setelah perjalanan intelektual dan spiritualnya mencapai pada titik ke keragu-raguan yang sangat hebat, sampaisampai Al-Ghazâlî sakit parah. Melalui Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn ajaranajaran Al-Ghazâlî menyebar luas ke dunia Islam sejak dulu hingga sekarang. Kecenderungan menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama ajaran Islam, Imam Al-Ghazâlî menyajikan tasawuf yang mana dulu tasawuf bernuansa mistis ditangan Al-Ghazâlî tasawuf
lebih bisa
diterima oleh orang awam yang bertumpu pada Al-Qur’an dan Hadits . Kitab Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn
di Indonesia dalam dunia
pesantren
karyanya ini menjadi rujukan pokok untuk membentuk moral umat Islam.
12
Zulkarni Jahya,op.cit.,, h.70
103
2. Kelebihan-kelebihan dalam pola pemikiran Suhrawardî a. Suhrawardî
berhasil
mensintesiskan
pendekatan
burhani
dan
pendekatan irfânî dalam pemikiran yang solid dan holistik, berbeda dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat illuminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif sebagai dasar bagi penalaran rasional. Disini pengalaman mistik memiliki arti penting bagi pencarian kebenaran, melalui pengalaman tersebut seseorang dapat secara langsung menyaksikan kebenaran sejati (al-haq), yang tidak bisa diperoleh dengan cara yang sama melqalui pendekatan apa pun. b. Suhrawardî adalah tokoh yang pemikirannya identik dengan cahaya, ia seorang filosof yang paling serius memanfaatkan simbol cahaya untuk menjelaskan tentang Tuhan. Tuhan adalah Cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati. Jika dihubungkan dengan cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas cahaya (Nûr al-Anwâr). Ia adalah sumber dari segala cahaya, di mana semua cahaya lainnya berasal atau mendapat pancaran dari Sumber cahaya, segala sesuatu yang ada di dunia ini menurut Suhrawardî terdiri dari cahaya dan kegelapan. c. Berhasil mengembangkan teori emanasi pemikiran kaum peripatetik, dalam teori illuminasi Suhrawardî berbeda dengan teori emanasi tidak hanya dalam istilah-istilahnya yang berbeda tetapi juga dala struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Ibnu Sina menyebut Tuhan dengan Wâjib al-wujûd, Suhrawardî menyebut-Nya (Nûr al-Anwâr). Cahaya adalah sumber bagi cahaya yang lainnya dan al-Ghani dilihat dari kemandirian-Nya yang absolut dari alam sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakîr ( berbanding dengan mumkîn al-wujûd), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan. d. Suhrawardî berhasil membangun dan menghidupkan kembali filsafat Persia kuno, ajaran tasawuf dan filsafat yang merupakan satu akar
104
rumpun berasal dari Tuhan. Suhrawardî tidak mempersoalkan perbedaan antara pengetahuan dari Barat maupun dari Timur, tidak masalah berasal dari aliran namapun dan asal pengetahuan, terbukti ia mempelajari semua ilmu baik dari Yunani, Persia, Islam, dll yang kesemuanya menurut Suhrawardî berasal dari Tuhan yang sama.13 e. Suhrawardî adalah Guru besar illuminasi, beliau melanjutkan tradisi filsafat peripatetik dan menyempurnakannya. Selain mempelajari filsafat peripatetik dan menguasainya, Suhrawardî juga mengkritik ajaran filsafat paripatetik Islam sebagaimana Al-Kindî, Al-Farabî, dan Ibnu Sina yang pemikiran filsafatnya, berguru, berakar dari Yunani dari tokoh Plato dan Aristoteles. Tidak hanya Filsafat Islam dan Yunani Suhrawardî Juga mengembangkan ajaran hikmah Persia Kuno, dalam ajaran zoroaster membedakan antara gelap dan terang. 14 f. Suhrawardî mempunyai Pengaruh besar pada pemikiran filosofis masa berikutnya. Pengaruhnya membawa kemajuan di kalangan dunia Islam belahan timur Islam, yaitu yang menganut aliran Syi’ah melalui Suhrawardî yang kemudian di lanjutkan oleh murid-muridnya. Filsafat Islam tumbuh berkembang pesat sampai sekarang dengan tradisi keilmuannya bersaing dengan pengetahuan dari Barat. Di sisi lain dikalangan Islam Sunni yang mana tradisi filsafat mengalami mati suri setelah serangan Al-Ghazâlî terhadap para tokoh Filsafat Islam seperti Al-Kindî, Al-Farabî dan Ibnu Sina. Islam Sunni lebih menganut ajaran tasawufnya Al-Ghazâlî dengan model tarekat sufi yang menjamur dikalangan Sunni.15 g. Suhrawardî menggunakan istilah-istilah atau lambang yang berbeda dari kebanyakan orang-orang pahami, seperti Barzah, tidak berkaitan dengan persoalan kematian. Akan tetapi istilah ini adalah ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan. Timur (Masyriq) 13
Amroeni Drajat, op.cit. h. 14 Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam, (Bandung:Mizan, 2003), h. 544 15 Ibid, h. 546 14
Terj
105
dan Barat (Maghrib), juga tidak berhubungan dengan letak geografis, tetapi berlandaskan pada penglihatan horisontal yang memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi duniawi, sedangkan Barat adalah Dunia kegelapan atau materi duniawi Barat tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan. Timur yang sebenarnya ialah apa yang ada dibalik langit yang terlihat dan yang di atasnya. Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa Dalam kajian Filsafat Islam Suhrawardî dikenal karena kontribusinya yang sangat besar dalam mencetuskan aliran iluminasi sebagai kelanjutan dari aliran peripatetik dalam filsafat, walaupun dia masih dipengaruhi oleh para filsuf sebelumnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sebagian bangunan Filsafat Islam ini dikatakan kelanjutan dari filsafat Yunani. Selain itu pemikiran Suhrawardî dalam filsafat yang paling menonjol adalah usahanya untuk menciptakan ikatan antara tasawuf dan filsafat. Dia juga terkait erat dengan pemikiran filsuf sebelumnya seperti Abu Yazid Al Busthami dan Al Hallaj, yang jika diruntut ke atas mewarisi ajaran Hermes, Phitagoras, Plato, Aristoteles, Neo Platonisme, Zoroaster dan filsuf-filsuf Mesir kuno. Kenyataan tersebut secara tidak langsung mengindikasikan ketokohan dan pemikirannya dalam filsafat.
106
D. Kekurangan pemikiran Al-Ghazâlî dan Suhrawardî Setelah membaca dan memahami
pemikiran kedua tokoh di atas
penulis belum bisa menemukan kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemikiran keduanya. Penulis menganggap Al-Ghazậlî dan Suhrawardî adalah dua tokoh yang luar biasa, penguasaan yang sangat mendalam dalam berbagai keilmuan sehingga
sangat sulit bagi penulis mengoreksi kekurangan-
kekurangan pemikiran kedua tokoh tersebut dan terlalu dangkal dan sedikitnya pengetahuan penulis dalam menguasai pemikiran-pemikiran mereka. Penulis hanya bisa menjelaskan kekurangan-kekurangan mereka dalam bentuk yang sederhana, kalau ibarat buah masih sebatas kulitnya belum bisa sampai pada buahnya, pemikirannya karena keluasan pengetahuan kedua tokoh ini. Adapun kekurangan Al-Ghazậlî dan Suhrawardî yang penulis ketahui hanya sebatas luarnya saja yaitu sebagai berikut. 1. Pemikiran Al-Ghazâlî lebih dekat dengan konsep kaum sufi di mana dalam batasan
tertentu
memandang
dunia
hanyalah
sementara
yang
mengesampingkan kehidupan dunia dan hanya memfokuskan kehidupan akhiratnya, sehingga dalam kondisi yang seperti ini seakan menjadi benih kemunduran di kalangan umat Islam. 2. Al-Ghazâlî mudah mengkafirkan lawan-lawannya yang tidak sependapat dengan pemikirannya, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang filsafat. hal ini dituangkannya dalam buku karangannya yang berjudul Tahâfut al-falâsifah, Al-Ghazâlî tidak hanya mengkritik para filosof tetapi Al-Ghazâlî dengan berani mengkafirkan para filosof berkaitan dengan ketuhanan. 3. Konsep ketuhanan Al-Ghazâlî kurang begitu berani menjelaskan tentang Tuhan, konsep ketuhanannya hanya mendasarkan pada Asma’ al-Husnâ yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Disini pemikiran Al-Ghazali berusaha berhati-hati dalam menjelaskan tentang keberadaan Tuhan agar tidak terlalu jauh terlibat dalam pembahasan tentang Tuhan. 4. Al-Ghazâlî kurang bersosialisasi, cenderung menutup diri dapat dilihat di akhir khususnya di saat-saat terakhir, sering melakukan uzlah sehingga
107
meninggalkan keluarga dan umatnya, sehingga lebih condong kepada ibadah amaliah dari pada akliayah, membawa pengaruh kepada umat Islam untuk lebih sering melakukan ibadah dan menganggab dunia ini tidak begitu penting, bukan kehidupan yang sebenarnya karena kehidupan yang sebenarnya adalah akirat. 5. Suhrawardî ajarannya terlalu rumit dan sangat sulit untuk dipahami, teori penciptaan alam semesta yang terpengaruh pemikiran peripatetik dengan konsep cahaya sangat sulit untuk dipahami. Simbol atau nama yang digunakan tidak biasa yang dipakai dalam ajaran Islam Sunni. Terlalu tingginya bahasa yang digunakan, mengakibatkan orang awam sulit untuk memahami pemikirannya. Apalagi dalam setiap karyanya terlalu berbelitbelit terbukti dengan terlebih dahulu Suhrawardî menjelaskan pemikiranpemikiran yang mempengaruhinya seperti pemikiran filosof peripatetik. 6. Suhrawardî kurang dapat menjaga emosinya, dan mudah dijebak oleh lawan-lawan debatnya, terkena tipu daya para fuqaha yang tidak suka dengan kehadiran Suhrawardî pada waktu itu. Suhrawardî dalam memegang keyakinannya membawa mengalami kematian yang tidak sewajarnya yaitu digantung. 7. Corak pemikiran Suhrawardî yang dekat Syiah dan Tasawufnya bercorak falsafi menjadikan pemikiran dan ajarannya kurang begitu diminati dan diterima oleh kalangan Sunni. Dalam sejarahnya hubungan antara Sunni dan Syiah kurang harmonis, para pendukung aliran Sunni dan Syi’ah sering terjadi gesekan, pertentangan, sedangkan mayoritas umat islam menganut aliran Sunni yang mengikuti tasawufnya Al-Ghazâlî, lebih menekan pada ajaran amalan ibadah dari pada berfilsafat. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pola pemikiran kedua tokoh lebih mengarah pada sisi-sisi kerangka berpikirnya. Di satu sisi Al-Ghazâlî lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat ukhrawi dengan mengesampingkan teori kasab dalam aplikasinya. Sedangkan Suhrawardî dipandang terlalu sulit dalam mengemukakan konsep berpikirnya, terutama mengenai konsep cahaya. Dalam hal ini Suhrawardi ternyata berusaha
108
memadukan konsep-konsep yang dahulu pernah ada dan berusaha menyempurnakannya, meskipun pada kenyataannya masih banyak hal yang belum tersingkap dalam proses penyempurnaannya.
E. Relevansi Pemikiran Ketuhanan Al-Ghazalî dan Suhrawardî Para tokoh Islam baik yang sezaman dengan Al-Ghazâlî atau setelahnya sangat tertarik dengan pemikiran Al-Ghazâlî, yang mana dalam konsep-konsepnya banyak dijadikan rujukan oleh tokoh-tokoh Islam setelahnya. Sebagai seorang pengkritik kepada filosof beliau juga tidak terlepas dari perdebatan sebagai seorang ahli falsafah. Contohnya Ibn Rusyd yang menulis sebuah buku berjudul "Tahâfut at-Tahâfut" sebagai serangan balas terhadap dakwaan Al-Ghazâlî yang menentang pemikiran filsafat. Walau bagaimanapun perkara ini dianggap sebagai suatu kebiasaan para ilmuan mendatangkan hujah dan dalil terhadap perselisihan pendapat di kalangan mereka. Perbedaan pemikiran juga berlaku terhadap pemikiran Plato yanga mana teori-teori falsafahnya dikritik dan disempurnakan oleh muridnya, Aristoteles. Sudah menjadi hal yang wajar kritik mengkritik pemikiran dan pendapat dalam dunia ilmiah. Perkembangan pemikiran Al-Ghazâlî bermula dari latar belakang kehidupan dan kondisi sosial pada waktu itu. Awal pendidikan dari guru-guru beliau membentuk berbagai pengalaman dan peningkatan terhadap ilmu pengetahuannya. Al-Ghazâlî membagi aliran filsafat dalam Islam, menguraikan pertentangan terhadap filsafat peripatetik terutama aspek metafisika para filosof paripatetik dalam karyanya Al-Muqîz min al-Dhalâl,dan Tahâfut Al-Falâsifah.16 Pemikiran
seseorang
dipengaruhi
oleh
tokoh-tokoh
pemikir
sebelumnya, dan kemunculannya reaksi dari perkembangan yang ada begitu juga dengan Al-Ghazâlî yang berhaluan Sunni dan Suhrawardî yang condong kepada Syi’ah. Pemikiran Al-Ghazâlî membawa pengaruh kepada pemikiran 16
lihat Al-Muqîz min al-Dhalâl,dan Tahâfut Al-Falâsifah
109
manusia di Timur maupun di Barat, baik umat Islam maupun non-Islam, tidak hanya mengaruhi dalam hal pemikiran tetapi juga dalam hal perilaku keagamaan dan sosial. Agama Islam mengawali keimanan terhadap Tuhan dengan kesaksian Syahadat dalam lafal “Lâ ilâha illâ Allâh” yang diterjemahkan ke dalam lima kali sehari dan setiap adzan; bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah saja, Allah lebih besar dari segala sesuatu secara mutlak.17 Begitu juga dengan pemikiran Al-Ghazâlî dan Suhrawardî, bahwa Allah swt adalah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, selain-Nya adalah sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Kalimat tersebut sesungguhnya mengandung nilai spiritual yang tinggi bagi manusia, manusia mengemban tugas untuk menyembah Tuhan, mengesakan Allah, dengan mengatakan tiada Tuhan selain Allah swt. Tuhan dalam pandangan Al-Ghazâlî adalah Tuhan yang mengetahui segala hal-hal yang partikular dalam kehidupan manusia, Tuhan yang selalu mengetahui apa yang dilakukan makhluk dalam persoalan-persoalan kehidupannya sehari-hari, mulai dari masalah jodoh, rizki hingga menentukan kapan dan di mana makhluk itu meninggal. Manusia dalam relasinya dengan Tuhan adalah manusia yang tidak terlepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan. Manusia yang dalam konsep seperti ini adalah manusia yang tidak punya kebebasan mutlak, ia meyakini determinasi-determinasi yang mengekang nalar dan potensi-potensinya yang ada dalam diri manusia. Tuhan Al-Ghazâlî adalah Tuhan yang mengetahui segala sesuatu, sampai pada halhal yang belum terjadi Tuhan telah mengetahui.18 Pengetahuan Tuhan dalam pandangan Al-Ghazâlî tidaklah sama dengan pengetahuan makhluk yang hanya sekedar mengetahui, tetapi pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan yang mutlak. Tuhan mengetahui bahwa kelak Ipin akan kaya, atau suatu saat Upin akan menjadi miskin. Pengetahuan Tuhan disini berarti Tuhan telah menetapkan takdir Upin akan 17
Musthafa Mahmud, op.cit., h. 47 Imam Al-Ghazali, kitab Ihya’ ‘Ulûmuddîn juz I
18
110
menjadi miski dan Ipin akan menjadi kaya. karena Tuhan yang menetapkan takdir semua makhluk yang ada di alam semesta ini. Takdir semua makhluk sudah tertulis di lauh al-makhfûd, di sini makhluk di tempatkan pada posisi lemah, yang membutuhkan makhluk lain untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-harinya. Allah menciptakan perbuatan untuk makhluk dan perbuatan makhluk merupakan perolehan (kasab) dari Tuhan. Kalau makhluk berkuasa untuk melakukan tindakan dan perbuatan maka dia juga berkuasa untuk tidak melakukan tindakan yang sebelumnya telah diketahui oleh Tuhan. Kalau ini terjadi maka pengetahuan Tuhan bisa terbukti bisa pula tidak, karena tergantung pada subyek yang memiliki kuasa tadi. Maka subyek selain Tuhan haruslah tidak berkuasa atas tindakan-tindakannya, agar pengetahuan Tuhan tentang apa yang akan terjadi adalah pengetahuan yang mutlak, sehingga kekuasa untuk menetapkan hanyalah milik Tuhan semata. Kekuasaan atau kemampuan yang ada pada hamba adalah sifat yang dimiliki oleh hamba dan merupakan makhluk ciptaan Allah swt, dan bukan usaha milik hamba.19 Serangan Al-Ghazâlî terhadap aliran Mu’tazilah dan para filosof memberi dampak kepada umat Islam akan bahaya dari penggunaan akal, sehingga umat Islam setelahnya sampai umat sekarang terpengaruh dari ajaran Al-Ghazâlî dari penerus-penerusnya yaitu golongan sunni bahwa dunia ini akan menjauhkan kepada Tuhan. Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan harus memperbanyak ibadah, konsep Tuhan Al-Ghazâlî tidaklah berarti konsep yang semata-mata digagas oleh Imam Ghazâlî tetapi juga mencakup pemikiran-pemikiran Teologis dari Imam Asy'ari, dan para pemikir teolog Asy’ariyah, ini karena pemikiran-pemikiran teologis mereka relatif sama, untuk tidak mengatakan persis sama. Pemikiran ketuhanan Al-Ghazâlî juga merambah ke pemahaman tentang Al-Quran qadim atau huduts. Suatu debat klasik antara para teolog Mu'tazilah dan Asy'ariyah tentang apakah Al-Quran diciptakan oleh Tuhan 19
Imam Al-Ghazali, Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam,(Surabaya: Risalah Gusti 1999), h. 45
111
(sehingga dipandang sebagai Makhluq) dalam periode waktu kenabian Muhammad atau dia abadi (qadim) bersama keabadian Tuhan, abadi karena Al-Qur'an adalah Kalam Tuhan yang mewujud dari ilmu Tuhan yang abadi dan tak bermula bersama ketidak bermulaan Tuhan.20 Keimanan dan pemikiran yang di ajarkan Al-Ghazâlî sebenarnya menyuruh kepada kita manusia, umat Islam untuk kritis dan mau menggunakan akal dan hatinya untuk mencari hakekat yang sebenarnya yaitu Tuhan sebagaimana Al-Ghazâlî mengkritisi para mutakalimin, filosof, ahli bathiniyah dan fuqaha sampai akhirnya Al-Ghazâlî menemukan apa yang beliau cari yaitu Tuhan melalui jalan tasawuf. Pandangan Al-Ghazâlî sebagaimana dalam kitab Munqîdz min ad-dhalâl bahwa tanpa pertolongan Tuhan manusia tidak akan mampu untuk mengubah hidup yang dialami oleh manusia, disini Al-Ghazâlî menceritakan kisahnya setelah keraguan yang mendalam sampai-sampai beliau sakit, kemudian pertolongan Allah datang kepadanya. Hal itulah yang mempengaruhi keyakinannya tentang Tuhan, bahwa kekuasaan Tuhan di atas segala-galanya, tanpa pertolongan Tuhan kita semua sebagai makhluk tidak akan bisa apa-apa.21 Filsafat Suhrawardî merupakan bentuk rekonsiliasi dan sintesis dari beberapa pandangan filosofis yang sebelumnya dengan menggunakan landasan logika dan dzauq. Pemikiran Suhrawardî memberikan harmonisasi kehidupan karena perpaduan akal dan rasa. Dan memberi fungsi filosofi dan spiritual dalam memaknai kehidupan ditengah globalisasi budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Alam adalah manifestasi kesempuranan Tuhan, karena Tuhan menciptakan semesta, adalah untuk memuji diri-Nya sendiri, melihat keagungan-Nya melalui kreasi-kreasi yang diciptakanNya, hingga tak ada satupun dari mereka-ciptaan Tuhan-yang tidak memiliki hikmah (manfaat). Apapun wujŭd di alam semesta ini, mereka adalah manifestasi Tuhan yang perlu di syukuri, di hargai, dan di jaga. Substansi benda yang
20
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), h. 74. 21 lihat Munqîdz min ad-dholâl
112
bukan cahaya, bagaimanapun juga merupakan manifestasi Sumber Cahaya, walau itu hanya sedikit benda tersebut mendapatkan cahaya, cahaya terus memancar dan itu yang menghubungkan eksistensinya dengan Sang Maha Wujŭd. Tuhan dalam pandangan Suhrawardî adalah, Yang Maha Esa dan penentu segala yang ada di alam semesta ini, kehendak Tuhan membuat kehendak-kehendak kita terarah kepada tujuan yang kita sadari sebagai tujuan yang tidak berpihak pada kepentingan kita sendiri. Tuhan adalah faktor penentu dalam kehidupan yang memungkinkan proposisi atau putusan tidak hanya menjangkau fakta esensial tetapi lebih jauh lagi menjangkau nilai esensi dan nilai eksistensi. Tuhan adalah pencipta alam semesta, kesadaran yang ada pada kita masing-masing bersifat individual, menjadi bersifat universal pada diri Tuhan. Rahmat yang ada pada kita bersifat parsial, sedangkan Rahmat Tuhan meliputi semua, tanpa Tuhan, tidak akan ada alam semesta. Kehendak-Nya tiada batas, tidak ada yang mampu menghalanghalangi-Nya ketika Tuhan berkehendak. Alam ini akan ada selama Tuhan itu ada sebagaimana cahaya dengan sinarnya, sinar adan ada selama cahaya itu masih ada. Hubungan manusia tidak saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan semua makhluk, dan hubungan-hubungan ini memberikan visi kepada manusia untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis sesuai dengan hukum Tuhan yang ada di dunia. Potensi yang ada pada manusia dapat memunculkan inspirasi untuk mengubah dunia di sekelilingnya agar sesuai dengan kehendak Allah swt. Allah menciptakan manusia menjadi hamba yang mengabdi kepada Allah dalam arti luas, sesuai dengan eksistensi manusia itu sendiri bagaimana manusia mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, manusia akan memiliki keunggulan dari manusia yang lain, selama manusia itu mau melatih kemampuan yang ada
113
dalam diri manusia tersebut, sehingga manusia tersebut bisa dikategorikan dalam khalîfah Tuhan di Bumi. Manusia yang berjiwa bersih selalu menepati janjinya terhadap Allah (Yang Maha Kuasa), tidak pernah merusak perjanjian dengan Allah dalam melaksanakan semua perintah Allah secara amanah, serta berupaya membina diri untuk selalu mendekatkan diri, meningkatkan kualitas diri untuk lebih dekat lagi kepada Allah. Karakter manusia sebagai hamba yang merupakan makhluk yang lemah dalam bahasa Suhrawardi al-fakîr, sangatlah mustahil bagi manusia untuk hidup dengan tidak membutuhkan bantuan makhluk lainnya. Tuhan sebagai Yang maha Kaya (al-ghanî), yang tidak butuh terhadap siapapun dan tidak butuh kepada apapun, dan Tuhan telah menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan oleh makhluk-Nya. Ketuhanan Al-Ghazâlî dan Suhrawardî menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala-galanya, mewajibkan semua makhluk untuk menempatkan patuh dan kepada Allah semata. Sikap tawakkal merupakan bentuk dari ikhtiar dan usaha yang keduanya terjalin erat dan merupakan mekanisme terpadu dalam kerangka kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa dan Agung. Pemikiran Al-Ghazâlî dan Suhrawardî mengajarkan kesadaran mendalam bahwa Allah selalu ada disamping manusia. Karena itu segala sesuatu yang dilakukan manusia Tuhan mengetahuinya karena Tuhan tidak tidur dan Tuhan adalah Maha Mengetahui dengan Ilmunya. Ѕеlаmа ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, mempercayai saja ke-Esaan Allah, hanya mengucapkan dengan lisan tanpa mengamalkan dengan perbuatan, kurang dalam pengamalan, dengan demikian belum bisa dikatakan orang itu sudah bertauhid secara sempurna. Keyakinan terhadap Tuhan akan membentuk keimanan yang sempurna, hal ini tercermin dalam ibadah kepada Tuhan dan perbuatan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus аdа kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen. Manusia dalam beraktifitas, energi keimanan akan mewarnai bentuk aktifitas
114
tersebut. Artinya semakin steril dan kuat energi keimanan itu akan semakin kuat mempengaruhi tingkah laku. Wujud keimanan kepada Tuhan dalam kehidupan yaitu sebagaimana terlukiskan dalam hati, pikiran, perkataan dan perilaku kehidupan dengan mentransformasikan keimanan kepada Allah, melalui berhubungan dengan makhluk Tuhan dan beribadah kepada Tuhan. Keimanan kepada Allah dapat dirasakan dengan nyata jika kita senantiasa menyadari bahwa Allah bersama kita. Kita berusaha menjaga perkataan dan perilaku dari hal-hal buruk. Sebagaimana dalam pandangan Suhrawardî, bahwa dalam semesta ini tidak hanya terdapat cahaya dan kegelapan tetapi juga batas diantara cahaya dan kegelapan itu sendiri. Relevansi pemikiran antara kedua tokoh tersebut lebih memandang bahwa keberadaan Tuhan merupakan dzat yang wajib adanya secara mutlak, meskipun kenyataannya keduanya memandang substansi Tuhan dari berbagai sudut
pandang.
Misalnya
saja
Al-Ghazâlî
lebih
menitik
beratkan
pandangannya pada unsur-unsur yang tersingkap mengenai ketuhanan, sebagaimana ungkapannya dalam misykat al-anwar diungkapkan bahwa substansi Tuhan adalah cahaya di atas cahaya dalam hal ini Al-Ghazâlî lebih mengedepankan sisi abstrak dari perwujudan Tuhan yang diaktualisasikan dalam bentuk cahaya. Selain itu Tuhan juga immanen, sangat dengan yang maujûd, Maha dekat dengan hamba-hamba-Nya, lebih dekat dari urat leher hamba-Nya itu sendiri, dan mengetahui setiap sesuatu. Allah Maha Suci dari perubahan dan perpindahan, tidak bertempat pada-Nya segala kejadian dan tidaklah mempengaruhi-Nya segala yang ada. Tuhan senantiasa dalam segala sifat kebesaran dan senantiasa dalam sifat kesempurnaan, tidak membutuhkan kepada penambah kesempurnaan lagi. Adapun Suhrawardî dalam memandang dzatiyah Tuhan tidak jauh beda dengan apa yang telah diungkapkan oleh Al-Ghazîlî, dia memandang Tuhan dengan menyodorkan konsepnya al-Isyraq (pancaran cahaya Tuhan). Sedikit banyak konsep yang dipaparkan oleh Suhrawardî mengadopsi dari pola pemikiran Al-Ghazâlî. Sudut pandang dalam memandang substansi
115
Tuhan dalam ranah perwujudan Nŭr Illahiyah berupa pancaran sinar yang dapat menyinari hal-hal yang bersifat materi dan immateri. Selain itu sisi kesamaan keduanya dalam memamndang keberadaan Tuhan dibuktikan dari teori yang mereka ungkapkan bahwa keberadaan Tuhan merupakan dzat yang berupa transenden dan immanen. Dalam arti lain bisa disimpulkan bahwa keberadaan Tuhan adalah wujŭd dan maujŭd, Tuhan ada tapi keberadaan Tuhan tidak mampu jika dilihat hanya dengan indera manusia, karena fakir dan lemahnya manusia. Tuhan adalah Al-Ghanî, Tuhan Maha Kaya yang dapat mewujudkan segala hal, dan tidak membutuhkan apapun dari yang lainnya. Suhrawardî terpengaruh pemikiran Al-Ghazâlî tentang cahaya dalam Miskat Al-Anwâr, bahwa Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya dalam istilah Suhrawardî Tuhan adalah Cahaya segala cahaya. Sedangkan Suhrawardî adalah tokoh yang paling serius yang menggunakan istilah cahaya, semua yang ada terkait dengan istilah cahaya, alam semesta berasal dari pancaran sumber cahaya yaitu Tuhan. Suhrawadî lebih berani dalam memaparkan konsep cahaya pemikirannya dalam metodologi, ontologi dan kosmologi.