BAB IV ANALISIS KUMPULAN PUISI LAUTAN JILBAB KARYA EMHA AINUN NADJIB DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAMI
Pada dasarnya perasaan manusia yang paling dalam, termasuk nafsu dan hasrat merupakan pedoman penting, dan manusia berhutang amat banyak pada kekuatan emosi karena dengan adanya kekuatan emosilah manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi.1 Bimbingan terhadap perasaan dapat berupa penjelasan-penjelasan, dan keterangan. Tetapi penjelasan tidak memberikan saluran bahkan kadang-kadang merupakan bendungan, kecuali dengan cara-cara yang bijaksana; tetapi itupun seringkali sukar untuk dilaksanakan puber, sering kali merupakan person yang tertutup. Menyalurkannya ke dalam bidang kesenian merupakan salah satu cara yang paling sehat: seni tari, seni musik, khususnya seni sastra puisi. Puisi merupakan kesenian yang mempunyai nilai tersendiri yaitu berupa nilai otonom (bukan berarti terpisah dari nilai kehidupan), kecuali sebagai hiburan puisi juga mempunyai nilai kehidupan yang besar, karena dapat memperhalus dan memperkaya batin manusia. Seorang seniman dapat memilih tema mulai dari cinta kasih sesama manusia, kebobrokan moral, kepincangan sosial, kebengisan manusia, perjuangan manusia, dan hubungan dengan mahluk yang maha tinggi (Tuhan). Semua tema tersebut dapat diolah dengan bagus agar dapat mengena pada sasaran (audiensi). Sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, sastra juga mampu menjadi wakil dari zamannya, karena sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan kebudayaan maupun peradaban dari setiap situasi, masa ataupun zaman saat sastra itu dihasilkan. Dalam situasi demikian berarti terdapat pengaruh timbal balik antara sastra sebagai perekam dan pemapar unsur-unsur
1
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj T Hermaya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) hlm. 4
56
57
sosiokultural yang akan memberi manfaat mengembangkan sikap kritis pembaca dalam mengamati perkembangan zamannya.2 Sebagaimana bidang dan disiplin lain dalam kebudayaan masyarakat, karya sastra memiliki kemungkinan kontribusinya sendiri. Tradisi ilmu menanamkan kepada manusia disiplin untuk mengenali, memilih, meyakini, dan memelihara yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah. Tradisi moral/etik/religi menumbuhkan pengetahuan, penghayatan dan pemesraan terhadap nilai kebaikan. Adapun tradisi estetika, dimana sastra merupakan salah satu pemeran, sarana atau pemandunya, menanamkan ke dalam kejiwaan manusia dan masyarakat: gagasan, taste dan pendalaman tentang segala sesuatu yang indah, lembut dan mesra.3 Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).4 Dari gambaran ini dapat diaksentuasikan beberapa tipe pengertian yang erat hubungannya dengan maksud dari karya sastra, kemudian mencoba memberikan intepretasi tentang hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Berbicara tentang kepribadian tentunya tak lepas dari pembahasan pendidikan itu sendiri. Terkait dengan hubungan antara sastra (dalam hal ini puisi) dan psikologi, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya. Kedua, karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang. Ketiga, masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen2
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1991), Cet. 2,
hlm. 63 3
Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 53 4 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 90
58
elemen yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup di dalamnya: pesan utama, peminatan, gelora jiwa, kesenangan dan ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan dan koherensi terhadap kepribadian.5 Dari faktor yang keempat dapat penulis memberikan pandangan bahwa puisi dalam hal ini memberikan sebuah tatanan nilai yang lahir dari gaya bahasa dan struktur penulisannya, serta memunculkan amanat yang sangat mendalam sehingga memunculkan gelora jiwa (kedalaman indera), menumbuhkan minat yang berupa semangat, kesenangan dan yang terakhir akan memunculkan cermin kepribadian dalam kehidupan. Ini berarti bahwa puisi mampu memberikan pendidikan psikologi serta mempunyai kesinambungan emosi dalam menentukan kepribadian seseorang. Beberapa disiplin ilmu seperti menulis, menggambar, menyalin, memperagakan, bermain musik, dan sastra merupakan salah satu sumber inspirasi yang mampu menimbulkan rasa estetika (keindahan) dan unsur pendidikan. Hal itu disebabkan oleh adanya unsur kesenangan dan kegembiraan yang ada di dalamnya.6 Tahap-tahap proses pendekatan pembentukan nilai ini lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana seseorang itu menerima nilai yang berasal dari luar kemudian menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kedalam dirinya. Tentunya hal ini tak lepas dari pendidikan psikologi yang mana sangatlah mempengaruhi
perubahan
seseorang
dalam
aplikasi
perilakunya
di
lingkungannya. Nilai-nilai tersebut akan membentuk kepribadian seseorang berkaitan dengan baik buruknya perilaku. Berkaitan dengan itu suatu nilai dapat diterima oleh seseorang karena nilai itu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya, dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang memungkinkan seseorang mampu merasakan diri dalam konteks hubungannya dengan lingkungannya. Hubungan yang dimaksud dalam pembicaraan ini adalah 5
Albertine Minderop, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indinesia, 2010). hlm. 61-62 6 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik Anak Lewat Cerita, (Jakarta, Mustaqim, 2003), hlm. 19
59
pendekatan yang mampu menanamkan nilai-nilai di dalam hati seseorang agar terwujud suatu tatanan kepribadian yang baik. Pendidikan dalam arti luas adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya,7 dengan penjelasan dari Ahmad tafsir bahwa yang dimaksud dengan pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Termasuk bimbingan oleh kebudayaan dimana seni atau karya sastra ada di dalamnya. Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.8 Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Muhamad Athijah Al-Abrasy bahwa metode pendidikan dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan petunjuk, tuntunan, nasihat, dimana hal itu bisa mendorong orang untuk berbudi pekerti tinggi dan menghindari hal-hal tercela dan dapat pula secara tidak langsung, atau dengan menggunakan media-media seperti karya sastra atau seni.9 Habiburrahman El Shirazy, penulis Ayat-Ayat Cinta sebagaimana dimuat Suara Merdeka menyatakan: bukan hanya sastra, bahkan komik pun punya peran dalam membentuk watak suatu bangsa. Para budayawan Amerika telah menyadari hal tersebut. Melalui komik, mereka menciptakan tokoh-tokoh heroik seperti Superman, Batman, dan Spiderman. Tokoh fiktif itu telah membentuk watak bangsa Amerika yang superior. Reproduksi watak superior bangsa Amerika itu masih kental hingga kini, tercermin dari arogansi George Bush.10 Bukankah salah satu keajaiban al-Qur’an yang menjadi pemikat pembacanya adalah karena ungkapan atau gaya bahasa yang dipakai sangat menawan. Al-Qur’an dalam mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya banyak menggunakan “kisah”. Setiap kisah dalam al-Qur’an menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.11
7
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspekif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), Cet.2, hlm. 25 8 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspekif Islam., hlm. 25 9 Muhammad Athijah Al-Abrasiy, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. gani, “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 111-112 10 Suara Merdeka, 22 September 2005, hlm. 10 11 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. 22, hlm.17
60
Sastra adalah salah satu metode menyampaikan pesan kepada manusia melalui puisi dan kisah. Dalam pendekatan ini secara garis besar pendidik diharapkan mampu melakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Menciptakan situasi kehidupan sosial, dalam hal ini pelajar dihubungkan dengan lingkup sosial yang memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan pilihan dan merasakan akibat dari pilihan itu bagi dirinya dan masyarakat. 2. Memberi kesempatan bagi pelajar berdasarkan pengalamannya untuk merenungkan dan memikirkan berbagai konsekuensi dari apa yang diterimanya dan yang tidak diterimanya suatu nilai dalam kehidupan masyarakat dimana pribadi pelajar itu berada. 3. Memberi kesempatan kepada pelajar untuk merasakan faedah dari diterimanya suatu nilai dalam hubungannya dengan kehidupan bersama. 4. Mendorong pelajar, melalui pemberian penghargaan dan pujian untuk mengamalkan nilai yang telah dipahami dan mulai diterima.12 Lautan Jilbab sebagai salah satu bentuk karya sastra puisi memberikan banyak nilai yang mampu membentuk psikologi kepribadian para pembacanya untuk mengilhami tentang fenomena-fenomena lingkungan pada saat itu serta diharapkan dapat diaplikasikan dalam wujud kehidupan sosial yang mempunyai kepribadian yang islami, karena menurut Emha Ainun Nadjib puisi Lautan Jilbab yang dibuatnya ini tidak mengekang siapa saja untuk menginterpretasikannya. Jika dilihat dari penyair dan karya puisinya, dalam pandangan peneliti, ada beberapa tipologi (komponen) kepribadian dalam Islam yang diterapkan penyair terhadap pembaca, di antaranya, tipologi kepribadian ammarah, tipologi kepribadian lawwamah, dan tipologi kepribadian mut}ma’innah. Pendapat bahwa tiga istilah itu merupakan komponen kepribadian antara lain pernah diungkapkan oleh M. Dawam Rahardjo. Dalam buku Ensiklopedi AlQur’an, Rahardjo menegaskan bahwa Al- Nafs al- Ammarah adalah dorongan 12
Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu (Kumpulan tentang Pemikiran dan Usaha Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan Nasional), (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 151
61
dasar dalam diri manusia untuk memenuhi apa yang diinginkannya. Al- Nafs alMut}ma’innah adalah dorongan yang ada dalam diri manusia untuk mengikuti nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam komunitas individu itu. Sementara Al- Nafs al- Lawwamah adalah komponen yang mengkompromikan dorongan pemuasan diri dan dorongan mengikuti nilai-norma masyarakat. Lebih lanjut, Rahardjo membandingkan konsep di atas dengan pandangan Sigmund Freud. Secara simplisistis, Rahardjo memandang bahwa Al- Nafs al- Ammarah sebanding dengan id (lapisan psikis yang paling dasar dan bergerak sesuai dengan prinsip kesenangan.), Al- Nafs al- Mut}ma’innah sebanding dengan superego (aspek moral kepribadian dan mampu membedakan yang benar dan yang salah serta cenderung memilih yang benar), dan Al- Nafs al- Lawwamah sebanding dengan ego (aspek psikologis manusia dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan baik dengan dunia (realita) dan berprinsip “kenyataan atau realitas” ). Penafsiran yang kedua mengungkapkan bahwa tiga istilah yaitu Al- Nafs al- Ammarah, Al- Nafs al- Lawaamah, dan Al- Nafs al- Muthmainnah merupakan gambaran tingkatan aktual jiwa manusia. Manusia telah memiliki jiwa yang lengkap dengan komponen akal-qalbu-nafsu. Dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini, komponen-komponen tersebut bisa jadi bertumbuh kembang, artinya seseorang menyucikan dan mengembangkan jiwanya. Sebaliknya, komponenkomponen tersebut bisa mengalami kemandulan bila jiwa tidak dikembangkan. Dikatakan oleh M. Quraish Shihab bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, sesuai kecerahan dan kegelapan, yaitu nafs Al- Mut}ma’innah (yang tenang), nafs Al- Lawwamah (yang selalu mengecam dan menyesali kesalahan), dan nafs alAmmarah bi al- Su’ (yang mendorong manusia ke arah negatif).13 Dari teori tentang komponen (tipologi) kepribadian di atas, berikut akan peneliti uraikan satu per satu tipe tersebut dalam puisi Lautan Jilbab terutama dari delapan judul puisi yaitu 1) Putih, Putih, Putih, 2) Penyangga ‘Arsy 3) Bahasa
13
H. Fuad Nashori, Potensi- Potensi Manusia Seri Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet.II, hlm.122-124
62
Kambing Hitam, 4) Cahaya Aurat, 5) Berjiwa Telaga, 6) Merawat Rahasia, dan 7) Di Awang Uwung disertai uraian keseluruhan puisi maupun dari bait-baitnya.
A. Tipologi Kepribadian Ammarah Tipe kepribadian ini dicapai seseorang yang didominasi oleh nafsunya. Akal melayani nafsu dan qalbu dalam keadaan tak berdaya atau berpenyakit (qalbun maridh) bahkan dikunci mati (qalbun mayyit). Ketika seseorang menjauh dari Allah dan mendekati perbuatan-perbuatan yang maksiat, maka ia berada dalam situasi yang kacau balau (al-nafs alammarah). Dalam al-Qur’an telah di jelaskan:
ِ ﺴ ﻣﺎرةٌ ﺑِﺎﻟَـ ْﻔﺲ َﻷن اﻟﻨ ِﺮئ ﻧَـ ْﻔ ِﺴﻲ إوﻣﺎ أُﺑـ ِ ﰊ َﻏ ُﻔن ر ِﰊ إﻻ ﻣﺎ رِﺣﻢ رِﻮء إ ﴾53﴿ ﻴﻢ ُ َ ََ ٌ ٌ ﻮر َرﺣ َ ََ َ َ َ َ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha penyayang (Q.S Yusuf, 12:53) Kumpulan puisi Lautan Jilbab terutama dalam judul Bahasa Kambing Hitam seolah memberikan gambaran sisi negatif manusia dengan segala perilaku yang menyimpang dari tatanan nilai di masyarakat. Dalam puisi ini Emha Ainun Nadjib mengibaratkannya dengan konotasi bahasa kambing hitam: Seseorang, dari beribu jilbab, berkata Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata Tabir belum dikuakkan Hijab belum disingkap seluruhnya Ruh tak bicara kecuali hanya kepada dirinya Bicaralah dengan bahasa badan Dengan bahasa kehidupan yang bersahaja Perhitungan sejarah belum selesai Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap Bicaralah dengan bahasa keringat Bahasa got dan selokan Dusun-dusun suram dan sawah ladang Yang entah siapa sekarang pemiliknnya
63
Anak-anak antri cari sekolah dan kerja Dendam kepada kesempitan, terusir dan Tertepikan Pasar yang sumpeg, dikangkangi monopoli Jilbab-jilbab bertaburan tidak di langit tinggi Melainkan di bumi, tanah-tanah becek Teori pembangunan yang aneh Kemajuan yang menipu Jilbab-jilbab terserimpung di kubangan sejarah Melayani cinta palsu dan kecurigaan Cekikan yang samar Dan tekanan yang tak habis-habisnya Jilbab-jilbab dikambinghitamkan Bicaralah dengan bahasa kambing hitam! Untuk mempermudah pemahaman, peneliti deskripsikan sebagai berikut: Seseorang, dari (kaum) beribu jilbab (perempuan), berkata(:) (perintah) Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum (sepenuhnya) sempurna. Ini (adalah) dunia (yang) nyata Tabir (rahasia) belum (juga) dikuakkan (dibuka) Hijab (tutup) belum (juga) disingkap (secara) seluruhnya Ruh tak (tidak pula) bicara (,) kecuali hanya kepada dirinya (ruh) (perintah) Bicaralah dengan (memakai) bahasa badan Dengan (perumpamaan) bahasa kehidupan yang bersahaja Perhitungan sejarah (hidup) belum selesai Ini (dunia) bukan (padang) mahsyar, padang (yang) sunyi (dan) senyap Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa keringat Bahasa (perumpamaan) got dan selokan Dusun-dusun (yang) suram dan sawah ladang Yang entah siapa sekarang pemiliknya (dusun-dusun, sawah dan ladang) Anak-anak antri (kesulitan) cari (mencari) sekolah dan kerja Dendam kepada kesempitan (kesengsaraan), terusir dan Tertepikan (hina) (kondisi) Pasar yang (terasa) sumpeg, dikangkangi (dikuasai) monopoli
64
Jilbab-jilbab (kaum perempuan) bertaburan (menyebar) tidak (berada) di (atas) langit (yang) tinggi Melainkan di (bawah) bumi, tanah-tanah (yang) becek (rendah) Teori pembangunan yang aneh Kemajuan yang menipu Jilbab-jilbab terserimpung (tersesat) di kubangan (tempat yang hina) sejarah Melayani cinta palsu dan kecurigaan Cekikan (kebiri) yang samar (nampak kasat mata) Dan tekanan yang tak habis-habisnya Jilbab-jilbab (kaum perempuan) dikambinghitamkan Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa kambing hitam! (perumpamaan kambing hitam) Puisi yang berjudul Bahasa Kambing Hitam di atas jika secara intrinsik tidak dipisahkan dari bait per bait, namun menjadi satu kesatuan utuh dalam keseluruhan larik. Ada 29 larik yang dalam struktur rimanya berakhir indah, seperti pada tiga larik awal. Seseorang, dari beribu jilbab, berkata Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata Tabir belum dikuakkan Keindahan rima yang lahir dari empat larik pertama tersebut mampu menjadikan suatu gambaran cerita yang sangat komunikatif, karena secara langsung terjadi unsur cerita yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Rima-rima yang saling terkait tersebut mampu menimbulkan irama yang sangat mendayu saat diucapkan. Untuk memahami pertalian makna yang saling berkait pada larik satu dengan larik berikutnya maka dibutuhkan penanda yang mampu mengaitkan kata satu dengan kata selanjutnya sehingga menjadi kesatuan utuh. Kutipan puisi di atas memberikan isyarat perintah bahwa “Seseorang, dari beribu jilbab, berkata” merupakan suatu ungkapan perumpamaan kaum perempuan yang penggambarannya sebagai “beribu
65
jilbab” dengan nada tinggi berkata “ Bicaralah dengan bahasa badan!” bahasa badan ini bisa saja berupa anggota badan yang tidak hanya mulut yang berbicara, namun hati ataupun indera yang lain pada diri manusia. Kalimat ini ditulis dengan tanda seru (!), seolah perintah yang benar-benar penting karena bahasa badan adalah bahasa kejujuran setelah mulut terbiasa berbohong. “Sunyi belum (sepenuhnya) sempurna. Ini (adalah) dunia (yang) nyata” mengisyaratkan pada sunyi yang belum sempurna. Ini artinya bahwa dunia ini benar-benar nyata dan belum sempurna (akhir dari dunia/kiamat). ”Tabir (rahasia) belum (juga) dikuakkan (dibuka)” menyambung dari kalimat diatas bahwa dunia yang nyata adalah di mana tabir/rahasia hidup belum dibuka untuk dimintai pertanggungjawabannya, “Hijab (tutup) belum (juga) disingkap (secara) seluruhnya” salah dan benar ataupun hijab belum seluruhnya diketahui. “Ruh tak (tidak pula) bicara (,) kecuali hanya kepada dirinya (ruh)” dan ruh hanya berputar pada dirinya sendiri, berbicara kepada dirinya yang menyatu pada jasad seseorang. “(perintah) Bicaralah dengan (memakai) bahasa badan” sebuah repetisi (pengulangan) kalimat yang berupa perintah “bicaralah” setidaknya mempunyai maksud bahwa bahasa badan ini dirasa memang sangatlah penting, “Dengan (perumpamaan) bahasa kehidupan yang bersahaja” perumpamaan bahasa kehidupan yang bersahaja, merujuk pada nilai-nilai kehidupan yang madani dan penuh makna, “Perhitungan sejarah (hidup) belum selesai” bahwa hidup belum sepenuhnnya selesai ataupun sejarah masih bisa dirubah untuk meneruskan ke masa depan, “Ini (dunia) bukan (padang) mahsyar, padang (yang) sunyi (dan) senyap” penegasan kembali bahwa sang wanita berbicara tentang realitas dunia yang benar-benar nyata dan bukan padang mahsyar, padang yang sunyi senyap (alam barzah). “Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa keringat” perintah berbicara yang ketiga ini merupakan bentuk repetisi bahasa yang diungkapkan dengan objek yang berbeda, perintah berbicara dengan menggunakan bahasa keringat, maksud dari bahasa keringat ini adalah simbol bahasa
66
dalam
pola
kehidupan
manusia
dari
segala
aspek,
“Bahasa
(perumpamaan) got dan selokan” aspek yang di tampakkan adalah aspek kehidupan dalam perumpamaan “got dan selokan” yaitu sisi kehidupan pinggiran manusia yang penuh dengan segala keterbatasan dalam dunia yang keras, “Dusun-dusun (yang) suram dan sawah ladang, yang entah siapa sekarang pemiliknya” suatu kondisi masyarakat yang begitu memprihatinkan, tidak tahu siapa yang memiliki dan ini akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, ketika ladang dan sawah semakin hilang oleh kerakusan penguasa kemudian dijadikannya pabrik-pabrik sebagai lahan industri, “Anak-anak antri (kesulitan) cari (mencari) sekolah dan kerja, Dendam kepada kesempitan (kesengsaraan), terusir dan tertepikan (hina)” sebuah realitas pendidikan di mana anak-anak di negeri ini kesulitan untuk mengenyam bangku sekolahan, serta makin sempitnya lapangan kerja bagi para pemuda, terlalu sering kesulitan meraja hingga muncul rasa dendam terhadap kemiskinan, “(kondisi) Pasar yang (terasa) sumpeg, dikangkangi (dikuasai) monopoli” pada bidang ekonomi, pemilihan kata “sumpeg” berarti suatu kondisi yang terbelit sistem yang begitu menjerat, perdagangan yang penuh dengan monopoli perdagangan dan hanya menguntungkan para penguasa. “Jilbab-jilbab (kaum perempuan) bertaburan (menyebar) tidak (berada) di (atas) langit (yang) tinggi” yakni tidak berperilaku sesuai dengan normanorma yang berlaku sebagai fitrahnya wanita. Karena norma-norma ini dianggap agung, jadi dalam bahasanya “tidak di langit tinggi”, “Melainkan di (bawah) bumi, tanah-tanah (yang) becek (rendah)” melainkan derajatnya begitu rendah, bahkan teramat rendah seperti tanahtanah becek yang selalu mengibarkan aib di masyarakat, perilaku yang ini seperti halnya tindak asusila yang lebih merendahkan harkat martabat kaum perempuan. “Teori pembangunan yang aneh, kemajuan yang menipu” kondisi di atas digambarkan sebagai cermin pembangunan yang begitu aneh, mengingat kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum
67
perempuan tidak dihiraukan oleh kaum berjilbab (perempuan), “Jilbabjilbab terserimpung (tersesat) di kubangan (tempat yang hina) sejarah, Melayani cinta palsu dan kecurigaan” kaum perempuan telah benar-benar tersesat dalam kehinaan yang begitu rendah dalam perjalanan sejarah manusia, dengan keluar dari fitrahnya yang hanya sebagai tumbal kaum laki-laki hidung belang yang hanya memberikan cinta palsu dan sesaat. Sehingga dalam perjalanan cintanya dirundung oleh kecugiaan, “Cekikan (kebiri) yang samar (nampak kasat mata), dan tekanan yang tak habishabisnya” ia (kaum perempuan) dalam realita kehidupan sebenarnya mengalami penyiksaan yang menyakitkan dan tekanan yang tak habishabisnya. Siksaan ini akibat perbuatan yang ditimbulkan dari perbuatannya di
dunia.
“Jilbab-jilbab
(kaum
perempuan)
dikambinghitamkan”
kepribadian yang buruk ini disimpulkan dengan tuduhan-tuduhan bahwa kaum perempuan dijadikan objek kesalahan dan segala perilakunya selalu dikambinghitamkan, “Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa kambing hitam!” perintah untuk berbicara pada kaum perempuan dengan bahasa kambing hitam. Tipologi kepribadian ammarah yang termaktub dalam puisi di atas adalah sebuah gambaran realitas hidup umat manusia, yang menyinggung mereka kaum perempuan (beribu jilbab) dengan perintah untuk berbicara dengan bahasa badan, bahwa relitas kebobrokan moral yang terjadi adalah benar-benar nyata dalam bahasa kehidupan ummat di era modern, di mana kebenaran dipandang sebagai angan-angan semata. Ketika manusia jauh dari kebenaran yang terjadi adalah ketidakjelasan latar belakang diri manusia, bobroknya moral akibat ulah manusia sendiri, kondisi ekonomi yang sarat dengan monopoli juga merupakan hasil dari hawa nafsu manusia yang selalu mengikuti nafsunya dan jauh dari cahaya Tuhan (nur Ilahi). Sehingga yang terjadi adalah ank-anak keluarga kurang mampu yang
kesulitan
mengenyam
bangku
pendidikan,
para
pemuda
pengangguran dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Semuanya akibat dari nafsu keduniaan manusia (nafs al-ammarah).
68
Sementara gambaran tentang kepribadian kaum perempuan yang seolah hilang dari peradaban manusia, adalah ketika mereka telah terjerumus dalam jurang kenistaan sehingga tidaklah khayal bahwa kondisi ini disebut-sebut dalam puisi ini sebagai sebuah (teori pembangunan yang aneh dan kemajuan yang menipu), tatkala kaum perempuan telah menjauhi hakikat sebagai seorang wanita, dengan menerjang norma-norma susila yang menjadi fitrah kaum hawa. Perilaku-perilaku tersebut seperti perempuan yang hanya mengikuti syahwatnya dengan menjual dirinya hanya untuk kepuasan serta demi mencari kekayaan dengan cara menjual diri, memberikan tubuhnya kepada laki-laki hidung belang, sebatas melayani cinta palsu dan penuh dengan kecurigaan. Realiatas hidup seperti inilah yang kemudian mereka (kaum berjilbab) menjadi manusia yang selalu dikambinghitamkan dan selalu disalahkan. Maksud dari puisi di atas secara ekstrinsik menggambarkan sisi kehidupan sosial kaum perempuan yang mana di dalam Islam perilaku sehari-hari dalam masyarakat sangatlah diperhatikan terutama dalam masalah berpakaian. Dalam hal ini Muhammad Ibn Muhammad Ali berpendapat bahwa wanita-wanita Islam memainkan peranan yang tidak kalah pentingnya dari laki-laki, tetapi mereka harus tetap di dalam penutup. Dengan ini kemuliaan dan kehormatan mereka terpelihara, selamat dari fitnah, selamat dari godaan, dan kesucian hidup pun dapat dipelihara di dalam masyarakat.14 Pendidikan kepribadian Islam berperan penting dalam pembentukan kepribadian wanita-wanita Islam, karena tanpa pendidikan kepribadian seseorang seakan-akan tidak ada yang mengarahkan, membina dan mendidik sehingga tidak akan mencapai sebagai sosok manusia yang baik dan sempurna (insan kamil). Jadi dengan pendidikan kepribadian Islam manusia dapat pribadinya menjadi sosok pribadi yang bermoral,
14
Muhammad Ibn Muhammad Ali, Hijab Risalah tentang Aurat, (Jakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 12
69
berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak citra diri.
B. Tipologi Kepribadian Lawwamah Tipe kepribadian ini terjadi ketika qalbu yang masih beriman, akal maupun nafs secara bergantungan mendominasi jiwa seseorang. Jika seseorang menyadari kekurangannya dan kesalahannya, ia mencoba memperbaiki diri namun masih saja banyak kemaksiatan
yang
dilakukannya, maka ia berada dalam situasi yang tidak berkepastian (alnafs al- lawwamah). Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa:
ِ ـ ْﻔ﴾ َوَﻻ أُﻗْ ِﺴ ُﻢ ﺑِﺎﻟﻨ1﴿ َﻻ أُﻗْ ِﺴ ُﻢ ﺑِﻴَـ ْﻮِم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣ ِﺔ ﴾2﴿ ﻮ َاﻣ ِﺔ ﺲ اﻟﻠ Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). Q.S Al- Qiyyamah, 75:1-2 Bait puisi yang setidaknya memberikan gambaran mengenai tipologi kepribadian lawwamah adalah puisi yang berjudul Cahaya Aurat berikut: Ribuan jilbab berwajah cinta Membungkus rambut, tumbuh sampai ujung kakinya karena hakekat cahaya Allah lalah terbungkus di selubung rahasia siapa bisa menemukan cahaya? lalah suami, bukan asal manusia jika aurat dipamerkan di Koran dan di jalanan Allah mengambil kembali cahayaNya Tinggal paha mulus dan leher jenjang Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada Para lelaki yang memelototkan mata Hanya menemukan benda
Jika wanita bangga sebagai benda
70
Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia Luntur manusianya, tinggal syahwatnya.
Puisi yang berjudul Cahaya Aurat
di atas terdiri atas empat
(empat) bait yang saling terkait satu bait dengan bait selanjutnya. Pada bait pertama terdiri atas 5 (lima larik) serta pada bait-bait selanjutnya berisi 4 (empat) larik pada setiap baitnya. Pada tiap bait menunjukkan pertalian makna yang sangat berkait antara larik satu dengan larik yang lain. Pertalian makna tersebut dapat dipahami dengan menggunakan penanda sebagai berikut. Ribuan (bentuk) jilbab (adalah) berwajah cinta (indah) Membungkus (seluruh) rambut, (yang) tumbuh sampai (dengan) ujung kakinya karena hakekat (sebenarnya) cahaya (petunjuk) Allah lalah terbungkus di selubung (tersembunyi) rahasia
Maksud bait puisi di atas adalah gambaran ribuan (bentuk) jilbab (adalah) berwajah cinta yang penuh dengan keindahan, yang membungkus (seluruh) rambut (yang) tumbuh sampai (dengan) ujung kakinya. Karena hakekat (sebenarnya) cahaya (petunjuk) Allah ialah terbungkus di selubung yang (tersembunyi) dan rahasia. Ini berarti petunjuk Allah adalah suatu rahasia yang tak dapat dilihat oleh mata (bersifat rahasia).
Siapa (yang) bisa menemukan cahaya? lalah (seorang) suami, bukan (hakekat) asal manusia jika aurat dipamerkan di (dalam) Koran dan di (sepanjang) jalanan (maka) Allah (akan) mengambil kembali cahayaNya (Allah)
71
Siapa (yang) bisa menemukan cahaya Allah, Dialah (seorang) suami, serta bukan (hakekat) asal manusia jika aurat dipamerkan di (dalam) koran dan dipamerkan di (sepanjang) jalan. (Maka) jika demikian adanya Allah akan mengambil kembali cahayaNya (cahaya/petunjuk Allah) Jika wanita (yang) bangga sebagai (sebuah) benda (maka) (ia) Turun ke tingkat (posisi) batu derajat kemakhlukannya (wanita) Jika lelaki terbius (tergoda) oleh keayuan dunia (maka) Luntur manusianya (lelaki), (lalu) (tersisa) tinggal syahwatnya (lelaki).
Maksudnya jika ada wanita (yang) bangga sebagai (sebuah) benda, (maka) (ia) turun ke tingkat (posisi) batu (lebih rendah dari asal mula penciptaanya yaitu tanah) derajat kemakhlukannya (wanita). Jika lelaki terbius (tergoda) oleh keayuan dunia, (maka) luntur manusianya (lelaki), (lalu) (tersisa) tinggal syahwatnya (lelaki).
Secara ekstrinsik puisi di atas menggambarkan betapa besar anugerah yang diberikan Allah kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan. Betapa tidak saat Allah menciptakan keindahan bagi seorang wanita, pada kalimat “Ribuan jilbab berwajah cinta, membungkus rambut, tumbuh sampai ujung kakinya” diciptakannya jilbab sebagai wujud keindahan seorang wanita yang membungkus rambut, tumbuh sampai kepada ujung kakinya. Anugerah inilah yang kemudian menjadi ibarat bahwa petunjuk Allah tersirat di balik sesuatu yang begitu rahasia. Menurut memperlihatkan
peneliti, kehidupan
Islam jiwa
bukanlah
sebuah
seseorang/dimensi
sistem di
yang
dalamnya,
sementara mengabaikan tubuhnya, aspek eksternalnya. Sebaliknya Islam memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dan menyatakan diri sebagai totalitas kehidupannya, menunjukkan bahwa
72
muslim
haruslah
menjadi
seorang
muslim
yang
sesungguhnya,
merefleksikan ajaran-ajaran Islam, hukum-hukum Allah bagi manusia, dengan keseluruhan keberadaannya. Ini jelas meliputi penampilan dan pakaian, dasar pemikiran yang telah kita lihat adalah tampil sederhana di depan umum. Jilbab bukan merupakan sebuah aspek yang terisolasi dalam kehidupan wanita muslim, namun harus sesuai dan menguatkan sistem sosial yang Islami, khususnya konsep Islam tentang kewanitaan. Seperti halnya dengan pakaian wanita dalam peradaban barat. Demikian pula halnya dengan pakaian wanita muslim dan pandangan hidup. Jilbab bukanlah hanya sekedar baju yang menutupi tubuh, namun yang lebih penting adalah sesuatu yang harus dijaga oleh wanita muslim, yaitu jiwa dan kesadarannya setiap saat untuk berlaku sebagai tirai dari haya’ antara dirinya sendiri dengan laki-laki yang dengannya ia melakukan kontak. Dengan
begitu
ini
menyangkut
totalitas
sopan
santun
dan
kesederhanaannya dalam perilaku adab, bicara dan penampilannya. Berkaitan dengan tipologi kepribadian lawwamah ini, Allah memberikan pertanyaan “siapa bisa menemukan cahaya?”siapa bisa menemukan petunjuk Allah, maka ialah seorang suami yang mampu menjaga martabatnya sebagai suami. Suami yang bukan mengumbar aibnya beserta aib isterinya di muka umum. Jika itu dilakukan “Allah mengambil kembali cahayaNya” Allah tak segan-segan mengambil kembali hidayahNya. Gambaran ini setidaknya tersirat bahwa di dalam diri manusia tersembunyi akal dan nafsu yang silih berganti mendominasi jiwanya. Terkadang sisi positif pada jiwa manusia menuntun untuk berlaku baik dan disenangi Allah, kadang pula melakukan hal-hal negatif dengan menuruti hawa nafsunya saja sehingga mengakibatkan ia jauh dari Allah. Perintah Allah yang berhubungan dengan masalah jilbab atau busana muslimah adalah sebagai berikut : 1. Surat al-Ahzab ayat 59 :
73
ِ ﻦ ِﻣ ْﻦ ﲔ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َ ﻳُ ْﺪﻧ ِ ﻴﻤﺎ ً ﻪُ َﻏ ُﻔ ًﻮرا َرﺣاﻟﻠ
ِ ِ ِ ِ َ ِوﺑـﻨَﺎﺗ ﲔ َ ﻚ َوﻧ َﺴﺎء اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ ََ ﻳـُ ْﻌَﺮﻓْ َﻦ ﻓَ َﻼ ﻳـُ ْﺆ َذﻳْ َﻦ َوَﻛﺎ َن
ِ ﻚ َ ﱯ ﻗُ ْﻞ ِﻷ َْزَواﺟ ِ َﻬﺎ اﻟﻨﻳَﺎأَﻳـ ِ ﻚ أ َْد َﱏ أَ ْن َ ﻦ َذﻟ َﺟ َﻼﺑِﻴﺒِ ِﻬ (59 : )اﻻﺣﺰاب
Artinya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (Qs. Al-Ahzab : 59) Dalam ayat ini Allah SWT dalam memerintahkan kepada perempuan-perempuan untuk berjilbab secara syar’i memulainya dengan menyuruh istri-istri nabi dan putri-putrinya. Ini memberi petunjuk bahwa mereka adalah wanita-wanita panutan yang menjadi ikutan semua wanita sehingga mereka wajib berpegangan adab syar’i untuk diikuti oleh wanita-wanita lainnya, karena dakwah itu tidak akan membuahkan suatu hasil melainkan apabila da'inya memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. 2. Surat al-‘Araf ayat 26 :
ِ ﻳﺎﺑ ِﲏ ءادم ﻗَ ْﺪ أَﻧْـﺰﻟْﻨﺎ ﻋﻠَﻴ ُﻜﻢ ﻟِﺒﺎﺳﺎ ﻳـﻮا ِري ﺳﻮآﺗِ ُﻜﻢ وِر ـ ْﻘ َﻮىﺎس اﻟﺘ ً َ ْ ْ َ َُ ً َ ْ ْ َ َ َ ََ َ َ َ ُ َﻳﺸﺎ َوﻟﺒ ِ ِ ِ ﻚ ِﻣﻦ ءاﻳ (26 : ﻛ ُﺮو َن )اﻻﻋﺮف ﺬ َ ُﻬ ْﻢ ﻳ ِﻪ ﻟَ َﻌﻠﺎت اﻟﻠ َ ذَﻟ َ َ ْ َ ﻚ َﺧْﻴـٌﺮ ذَﻟ Artinya : Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Qs. Al‘Araf : 26) Dengan
ayat
ini
Allah
menegaskan
bahwa
Islam
menjadikan pakaian itu untuk manusia dengan maksud untuk dijadikan penutup aurat dan perhiasan diri. Dengan pakaian ini
74
berbeda antara manusia dengan hewan. Jadi kalau ada pakaian yang tidak dapat menutupi aurat sebagai baju bagi wanita yang tidak memakai lengan/tidak dapat menutupi punggung/celana pendek bagi pria yang membuka paha, semua itu belum dinamakan pakaian menurut hukum Islam. Dalam kehidupan bermasyarakat individu tidak dapat melepaskan dirinya dari keterkaitan sosial, maka diperlukan adanya etika pergaulan antara pria dan wanita yang apabila dua jenis manusia yang berbeda itu jika bertemu dalam kondisi yang bebas mereka akan melakukan sesuatu yang melanggar norma. Dari gambaran mengenai kepribadian wanita dalam masyarakat
khususnya
dalam
berpakaian,
peneliti
sedikit
menegaskan bahwa sebenarnya isyarat Allah tersebut mengandung dua konsekwensi yang pertama adalah kewajiban berjilbab mempunyai konteks moral agama dan menghindarkan diri dari perilaku menyimpang sebagai wanita muslim, dan yang kedua makna pakaian itu sendiri di tengah-tengah masyarakat yang majemuk mempunyai korelasi budaya dan keamanan bagi seorang wanita. Jilbab merupakan cerminan wanita terhormat yang menjaga kehormatan dirinya sendiri dan juga menghormati orang lain. Wanita yang berjilbab akan terhindar dari beberapa gangguan antara lain adalah : 1.
Menjauhkan wanita dari laki-laki jahil
2.
Membedakan antara wanita yang berakhlak mulia dan yang berakhlak kurang mulia.
3.
Mencegah timbulnya fitnah birahi pada kaum laki-laki
4.
Memelihara kesucian agama.
Jadi dapat peneliti simpulkan bahwa perilaku wanita dalam berjilb seperti yang digambarkan dalam bait puisi yang berjudul Cahaya Aurat ini adalah bentuk-bentuk kepribadian Lawwamah seorang wanita dalam
75
kehidupannya sehari-hari. Analisis peneliti ini sesuai dengan isi puisi yang mencontohkan betapa seorang wanita dianggap hina karena mengikuti nafsunya dan hanya menggunakan akal dalam cara berpakaian. Padahal dalam Islam telah banyak dijelaskan dan diatur secara terperinci mengenai etika-etika seorang muslimah dalam hal berpakaian khususnya dalam berjilbab. Puisi selanjutnya berjudul Merawat Rahasia. Puisi ini juga berkaitan dengan tipologi kepribadian lawwamah menurut analisis peneliti. Puisi ini sebenarnya terdiri atas (lima) bait dalam keseluruhan puisi. Namun peneliti hanya memparkan satu bait puisi pada bait pertama dengan alasan satu bait pertama ini mengandung makna keseluruhan puisi di semua baitnya. Pada bait pertama berisi 4 (empat) larik. Wanita yang memamerkan pahanya Hendaklah jangan tersinggung Kalau para lelaki memandanginya Sebab demikianlah hakekat tegur sapa
Untuk lebih mudah memahaminya, peneliti deskripsikan penanda berikut dengan maksud lebih memupermudah dalam mencari pertalian makna pada tiapan larik. Wanita yang memamerkan pahanya Hendaklah jangan (merasa) tersinggung Kalau para lelaki (akan) memandanginya (paha) Sebab (yang) demikianlah (adalah) hakekat tegur sapa
Maksud dari bait puisi di atas pada larik pertama “ wanita yang memamerkan pahanya” adalah sebuah ungkapan yang mencerminkan kepribadian wanita yang memperlihatkan/memamerkan bentuk pahanya (auratnya) maka “Hendaklah jangan (merasa) tersinggung” hendaklah tidak perlu merasa tersinggung ataupun marah “Kalau para lelaki (akan) memandanginya (paha)” jika kaum laki-laki akan memandangi aurat
76
wanita tersebut. Hal ini adalah hakikat hukum sebab akibat yang pasti terjadi dalam setiap keadaan,. Jika Allah menciptakan laki-laki dan wanita, maka dari keduanya akan timbul rasa suka. Kata.“sebab (yang) demikian (adalah) hakekat tegur sapa” merupakan hukum sebab akibat dunia ini. Petikan dari puisi di atas menggambarkan secara detail bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) memiliki nafsu, akal dan hati. Kecenderungan kepribadian lawwamah ini dalam bait puisi sangatlah nampak. Ketika qalbu/hati wanita tidak digunakan dalam bahasa tubuh kesehariannya, maka yang terjadi adalah perilaku negatif dalam hal berpakaian yang begitu mencolok dan menimbulkan birahi bagi siapa saja yang melihat, khususnya para kaum lelaki. Ini terjadi bila wanita dalam bersikap hanya menggunakan akal dan nafsu semata, sehingga keluar dari fitrah wanita. Dampak negatif dari terbukanya aurat wanita ini kiranya semua orang sudah maklum. Dampak jangka pendek adalah menimbulkan rangsangan atau syahwat pada pria yang melihatnya, sedangkan dampak jangka panjang adalah dapat merubah tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal masalah pakaian dan perhiasan, Islam juga memberikan beberapa prinsip tertentu bagi manusia laki-laki, seperti pantas, cukup mengikuti mode, sopan dan gagah. Semua bentuk pakaian laki-laki yang tidak sesuai dengan ketentuan itu tidak dibolehkan dalam Islam. Dan pakaian yang dapat menimbulkan kesombongan terhadap pemakainya, menjatuhkan gengsi dan merangsang, amat tidak dibolehkan lagi. Manusia harus memakai perhiasan yang memang ia perlu memakainya dan sesuai dengan dirinya, jika suatu perhiasan tidak pantas dipakai oleh seseorang, maka sebaiknya ia tidak memakainya, karena hal itu akan menjatuhkan gengsinya di pandangan orang lain, apalagi ia seorang muslim.15 Sedangkan pada puisi Di Awang-Uwung ini banyak sekali menggambarkan tipologi kepribadian Lawwamah yang sangat beragam. 15
Mammudah Abdalati, Islam Suatu Kepastian, (Jakarta: Media Da’wah,1983), hlm. 241
77
Karena puisi ini membahaskan dengan gamblang kepribadian umat manusia dari berbagai sudut pandang. Singkat kata dapat dipilah mengenai sisi negatif ataupun positif perilaku seseorang dalam puisi ini dan unsurunsur yang mengaitkan antara nafsu-akal-hati pada diri manusia. Lihatlah jilbab-jilbab itu. Ada yang nekad hendak menguak kabut sejarah. Ada yang hanya sibuk berdoa saja. Ada yang tiap hari berunding bagaimana membelah tembok di hadapannya. Ada yang berjam-jam merenungkan warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy. Ada yang berduyun-duyun menyerbu wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Ada yang sekedar bergaya. Ada yang mengepalkan tangan dan seperti hendak memberontak. Ada yang menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Ada yang tak menoleh ke kiri ke kanan karena terlalu erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan. Lihatlah, apakah kau tahu mereka ini generasi jilbab dari jaman apa? Untuk mempermudah pemahaman berikut peneliti deskripsikan sebagai berikut : Lihatlah (kumpulan) jilbab-jilbab (kaum wanita) itu. Ada yang nekad hendak (ingin) menguak kabut (buram) sejarah. Ada yang hanya sibuk (melakukan) berdoa saja. Ada yang (se) tiap hari berunding bagaiamana (cara) membelah tembok (yang ada) di hadapannya. Ada yang berjam-jam merenungkan (tentang) warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy. Ada yang berduyun-duyun menyerbu wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Ada yang (hanya) sekedar bergaya. Ada yang mengepalkan tangan dan seperti hendak memberontak. Ada yang menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Ada yang tak menoleh ke kiri (atau) ke kanan karena terlalu
78
erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan. Lihatlah, apakah kau tahu mereka ini generasi jilbab dari jaman apa? Bait puisi di atas dapat difahami sebagaimana kata kunci pada larik pertama, “Lihatlah (kumpulan) jilbab-jilbab (kaum wanita) itu” mengisyaratkan pada tema wanita dengan segala tingkah lakunya “di sana” adalah suatu tempat yang entah di bumi mana, tapi gambaran ini mencakup secara umum kondisi masyarakat tertentu. “Ada yang nekad hendak (ingin) menguak kabut (buram) sejarah” pada kondisi pertama terlihat kaum wanita yang dengan semangat ingin menguak kabut sejarah. Maksudnya kurang lebih tentang wanita yang dengan segala kemampuan terbatas berambisi melakukan pekerjaan yang tak semestinya dilakukan oleh wanita. Serta pada larik berikutnya “Ada yang hanya sibuk (melakukan) berdoa saja. Ada yang (se) tiap hari berunding bagaiamana (cara) membelah tembok (yang ada) di hadapannya” Sebuah isyarat lain tentang perilaku wanita yang memang taat beragama. Pada larik, “Ada yang hanya sibuk (melakukan) berdoa saja” merupakan wujud kepatuhan seorang wanita. “Ada yang (se) tiap hari berunding bagaiamana (cara) membelah tembok (yang ada) di hadapannya” maksudnya kurang lebih adalah bagaimana seorang wanita yang ingin keluar dari derajad kemakhlukan/fitrahnya. Berkaitan dengan pemahaman larik di atas secara ekstrinsik Bakr bin Abdullah Abu Zaid menuliskan bahwa jika seorang wanita berada di dalam rumahnya, maka dinding rumahnya bisa dijadikan hijab baginya dari lelaki asing yang masuk ke dalam rumahnya. Jika ia berada di luar rumahnya, maka ia harus menutup seluruh jasadnya dari lelaki asing dengan kain jilbab dan kerudungnya.16 Dari pendapat tersebut peneliti sedikit menambahkan bahwasanya “tembok di hadapannya” berarti “hijab” yang mampu menyembunyikan rahasia wanita terhadap para 16
Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Menjaga Kesucian Wanita Muslimah, (Rembang: Pustaka Anisa, 2004), hlm. 35
79
lelaki asing (bukan mahramnya) yang ingin masuk ke dalam rumahnya. Namun di sisi yang lain ada juga wanita yang hanya memikirkan trend dan warna jilbab apa yang cocok baginya, pada larik “Ada yang berjam-jam merenungkan (tentang) warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy”. Jilbab merupakan busana muslimah yang digunakan wanita untuk menutupi keindahan bentuk tubuh wanita. Mengenai model jilbab atau busana muslimah tidak ditentukan secara terinci. Mode adalah usaha yang bertujuan untuk menciptakan dan memberi bentuk baru terhadap pakaian wanita agar dapat sesuai dengan selera-selera pemakainya sebagai warga masyarakat yang berkebudayaan modern, yang dikerjakan oleh ahli-ahlinya yang telah dipersiapkan dan dididik dalam lapangan itu sebelumnya. Namun pada realitas kehidupan wanita zaman sekarang kebanyakan wanita hanya memmentingkan mode ataupun trend jilbab semata tanpa memperhatikan madharat yang muncul darinya. Sebuah kepribadian muslim yang teramat memprihatinkan dan hanya mengikuti nafsu semata. Pada sisi lain digambarkan mengenai symbol pribadi wanita yang banyak menjajakan tubuhnya di warung-warung gelap/warung remangremang yang di zaman sekarang lebih dikenal dengan tempat-tempat prostitusi. Tepatnya pada larik “Ada yang berduyun-duyun menyerbu wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka” sebuah bahasa ungkap yang cukup dalam menggambarkan tentang suatu tempat yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Dalam bahsa puisi tempat-tempat seperti itu sudah lebih dahulu ada sebelum mereka lahir. “Ada yang tak menoleh ke kiri (atau) ke kanan karena terlalu erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan”. Suatu keadaan di mana sangat gambalang digambarkan tentang kepribadian wanita yang hanya mengukiti hawa nafsunya. Fragmen yang dimunculakan dalam larik puisi di atas adalah ketika wanita tak lagi menghiraukan aturan-aturan di masyarakat serta norma-norma agama, yang terjadi adalah kebobrokan moral generasi muda, terutama para kaum wanita. Kondisi yang demikian
80
menurut hemat peneliti, terjadinya banyak kasus yang di masyarakat kita perilaku-perilaku wanita yang hanya mengikuti perkembangan zaman dalam berpenampilan mengakibatkan banyak ancaman bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Sementara Hasan Langgulung menyebut beberapa alasan yang mengakibatkan adanya keharusan bagi wanita untuk memakai pakaian tertutup alasan pertama antara lain adalah alasan filosofis yang berpusat pada kecenderungan ke arah kerahiban dan perjuangan melawan kenikmatan dalam rangka melawan nafsu manusiawi, namun yang pasti ditetapkan oleh agama Islam bentuk pakaian tertutup, baik tertutup secara keseluruhan maupun sebagian. Alasan yang kedua memakai pakaian tertutup adalah demi keamanan. Alasan ketiga penyebab lahirnya pakaian tertutup adalah karena untuk menghalangi wanita keluar rumah adalah alasan ekonomi.17 Pemakai jilbab dengan cara dan model jilbab yang dipakai dapat dicakup oleh ancaman di atas, jika niat dan tujuan memilih mode atau cara memakainya mengundang perhatian dan popularitas. Di sisi lain, perlu dicatat bahwa peringatan di atas bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang bersih dan indah. Seorang sahabat Nabi SAW bertanya bahwa, “Bila ada seseorang yang senang pakaiannya indah, alas kakinya indah, apakah itu termasuk kesombongan ?” Nabi SAW menjawab, “ sesungguhnya
Allah
maha
indah
(dan)
menyenangi
keindahan.
Keangkuhan adalah menolak yang haq dan melecehkan manusia” (HR. AtTirmidzi) antara lain melalui pakaian yang dipakainya. Itu semua, selama tidak disertai dengan rasa angkuh, berlebihan, atau melanggar norma agama. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada puisi awang-uwung di atas dijelaskan tentang perilaku wanita di berbagai sudut kehidupan. Jiwa wanita yang lebih mendominasi akal dan nafsu semata, sehingga akibatnya 17
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al-Hurra, 1986), hlm. 101-102
81
terjadi satu bentuk sikap yang keluar dari norma agama serta norma yang berlaku di masyarakat, lebih-lebih merugikan diri sendiri. C. Tipologi Kepribadian Mut}ma’innah Tipe kepribadian ini dicapai seseorang bila qalbunya yang sehat (qalbun salim) yang berisi keimanan yang aktif mendominasi jiwa seseorang; akal dalam keadaan mendukung qalbu, dan nafsu dikendalikan oleh qalbu. Ia adalah gambaran jiwa yang telah menyatu dengan Allah SWT, dapat mengetahui, mengamalkan, menghayati perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Dikarenakan potensi positif manusia dan ditambah bahwa aksi-aksi manusia di dunia ini positif, maka jiwa itu berada dalam keadaan yang tenang (al- mut}ma’innah). Al- Qur’an menjelaskan bahwa:
ِ ِ ﻚر ِ ِ ِِ ﴾28﴿ ًﺔاﺿﻴَﺔً َﻣ ْﺮ ِﺿﻴ َ ﴾ ْارﺟﻌﻲ إ َﱃ َرﺑ27﴿ ُﺔﺲ اﻟْ ُﻤﻄْ َﻤﺌﻨ ُ ـ ْﻔﺘُـ َﻬﺎ اﻟﻨﻳَﺎ أَﻳـ ﴾30﴿ ﱵِ ﴾ َو ْاد ُﺧﻠِﻲ َﺟﻨ29﴿ ﻓَ ْﺎد ُﺧﻠِﻲ ِﰲ ِﻋﺒَ ِﺎدي Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhaiNya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S Al- Fajr, 89:27-30) Bait puisi yang berjudul Putih, Putih, Putih ini sedikit banyak menggambarkan betapa mulianya kepribadian mut}ma’innah di sisi Allah Sesuai dengan yang di firmankan Allah SWT di atas. Puisi ini terdiri atas 37 larik yang terkumpul dalam satu bait. Di antara larik satu dengan yang lain saling terkait dalam penggalian maknanya. Meratap bagai bayi Terkapar bagai si tua renta Di padang Mahsyar Di padang penantian Di depan pintu gerbang janji penantian Saksikan beribu-ribu jilbab Hai! Bermilyar-milyar jilbab! Samudera putih Lautan cinta kasih Gelombang sejarah
82
Pengembaraan amat panjang Di padang Mahsyar Menjelang hari perhitungan Seribu galaksi Hamparan jiwa suci Bersujud Memanggil Allah, satu-satunya nama Bersujud Putih, putih, putih Bersujud Menyeru belaian tangan kekasih Bersujud Dan alam raya Jagat segala jagat Bintang-bintang dan ruang kosong Mendengar panggilan itu Dengan telinga ilmu seratus abad: - Wahai jiwa bening! wahai mut}ma’innah Kembalikan kepada Tuhanmu Dengan rela dan direlakan Masuklah ke pihakKu Masukilah sorgaKu Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa! Wahai telaga Yang hening Hingga tiada! Untuk lebih mudah memahami puisi di atas, peneliti deskripsikan penanda untuk memahami pertalian maknanya sebagai berikut: Meratap bagai bayi (yang suci) Terkapar (tertidur) bagai (seorang) si tua renta Di (dalam) padang Mahsyar Di padang penantian Di depan pintu gerbang janji penantian Saksikan beribu-ribu jilbab Hai! Bermilyar-milyar jilbab! Samudera (berwarna) putih Lautan cinta (dan) kasih Gelombang sejarah
83
Pengembaraan (yang) amat panjang Di (dalam) padang Mahsyar Menjelang hari perhitungan Seribu galaksi Hamparan jiwa (yang) suci Bersujud Memanggil (nama) Allah, (Ialah) satu-satunya nama Bersujud Putih, putih, putih Bersujud Menyeru (dengan) belaian tangan kekasih Bersujud Dan alam raya Jagat segala jagat Bintang-bintang dan ruang kosong Mendengar panggilan itu Dengan telinga ilmu seratus abad: -
Wahai jiwa (jiwa) bening!
Wahai (jiwa) mut}ma’innah Kembalikan (lah) kepada Tuhanmu Dengan (hati) rela dan direlakan Masuklah ke (dalam) pihakKu Masukilah sorgaKu Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa! Wahai telaga Yang hening Hingga tiada! Larik pertama diawali dengan sebuah perumpamaan “Meratap bagai bayi, terkapar bagai si tua renta” adalah bentuk ratapan seorang hamba yang (dalam perumpamaannya) seperti bayi. Ratapan itru merupakan bentuk penghambaan kepada sang kholiq sang pencipta jagad
84
raya.“Di (dalam) padang Mahsyar, di padang penantian di depan pintu gerbang janji penantian, saksikan beribu-ribu jilbab” merupakan gambaran tentang kehidupan setelah hari kiamat karena menyebutkan padhang mahsyar yang merupakan suatu tempat dikumpulkannya manusia setelah kiamat. Pada kalimat “saksikan beribu-ribu jilbab” ini adalah sebuah perintah di mana di padang mahsyar Allah SWT mengumpulkan mereka kaum berjilbab. Pada larik, “Hamparan jiwa (yang) bersujud, Memanggil
(nama) Allah,
suci,
(Ialah) satu-satunya nama”
disebutkan kata “jiwa suci” yang berarti jiwa yang putih, dan terhindar dari dosa-dosa besar. Jiwa suci ini setidaknya merujuk pada “qalbun salim” atau hati yang selamat dari dosa. Jiwa ini selanjutnya disebut sebagai Al nafs al Mut}ma’innah (jiwa yang tenang/hening). “Bersujud” berarti jiwa tersebut melakukan sujud dengan menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT, “Putih, putih, putih” merujuk pada beribu-ribu jilbab yang mempunyai jiwa mut}ma’innah dan suci “Bersujud” melakukan sujud kepada Allah SWT “Menyeru (dengan) belaian tangan kekasih” melafldz seruan dengan kasih sayang Allah yang diberikan kepadanya. Kemudian dengan sujud dari jiwa yang suci ini mengisyaratkan pada panggilan yang didengar oleh Allah SWT dan Allah menjawab sujud para hamba yang beriman tersebut serta menyeru melalui kalimat “Wahai jiwa (jiwa) bening! “wahai (jiwa) mut}ma’innah”” isyarat panggilan kepada setiap jiwa yang terbebaskan dari segala dosa semasa hidupnya, “Kembalikan (lah) kepada Tuhanmu Dengan (hati) rela dan direlakan, masuklah ke (dalam)pihakKu, masukilah sorgaKu, wahai jiwa,wahai yang telah jiwa! wahai telaga Yang hening, hingga tiada!” ”Bait puisi
ini sesuai dengan ayat Al-qur’an tentang nafs
Mut}ma’innah yaitu:
ِ ِ ﻚر ِ ِ ِِ ًﺔاﺿﻴَﺔً َﻣ ْﺮ ِﺿﻴ َ ﴾ ْارﺟﻌﻲ إ َﱃ َرﺑ27﴿ ُﺔﺲ اﻟْ ُﻤﻄْ َﻤﺌﻨ ُ ـ ْﻔﺘُـ َﻬﺎ اﻟﻨﻳَﺎ أَﻳـ ﴾30﴿ ﱵِ ﴾ َو ْاد ُﺧﻠِﻲ َﺟﻨ29﴿ ﴾ ﻓَ ْﺎد ُﺧﻠِﻲ ِﰲ ِﻋﺒَ ِﺎدي28﴿
85
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhaiNya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S Al- Fajr, 89:27-30) Ayat di atas mempunyai maksud tentang panggilan Allah kepada setiap jiwa yang suci, panggilan untuk kembali kepada Allah dengan membawa jiwa yang suci dan diridhai, artinya setelah manusia menjalani kehidupan di dunia dengan segala aturan Allah yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an, maka di kehidupan selanjutnya (kehidupan setelah mati) Allah SWT telah mempersilahkan mereka ke dalam golongan kekasih Allah yaitu golongan penghuni surga. Golongan-golongan ini adalah mereka yang selama hidup di dunia mempunyai hati yang selamat (Qalbun salim) dengan selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Golongan orang yang dalam bahasa puisi “jiwa yang telah jiwa” serta “jiwa telaga” yaitu jiwa yang telah benar-benar menjiwai dan menyatu dengan Allah dan ibarat sebuah telaga yang bening dan suci. Selanjutnya
pada
puisi
yang
berjudul
Penyangga
‘Arsy
memaparkan betapa mulianya ribuan jilbab (kaum wanita) di mata Allah SWT, karena disebut-sebut sebagai barisan ummat yang selalu terjaga dari tidur. Beribu jilbab itu tidak lain adalah mereka (kaum berjilbab) yang selalu mengedepankan nafs mut}ma’innahnya. Berikut bait puisi yang berjudul Penyangga ‘Arsy : O, beribu jilbab! O, lautan! Bergerak ke cakrawala Lautan penyangga ‘Arsy Beribu jilbab perawat peradaban Barisan ummat terjaga dari tidur Pergi berduyun memasuki diri sendiri Lautan jilbab Bersemayam di jagat mut}ma’innah Bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta Biarkan air mata mengucur
86
Tapi jangan menangis Duka membelit-belit Tapi kalian tak bersedih Kuman apa yang kalian sandang Dari tangan sejarah? Dari abad yang tak kenal diri sendiri? Tangan kalian mengepal Memukul-mukul dada Amarah kalian menggumpal Namun jiwa lembut bagai ketiadaan O, lautan jilbab Bergerak ke janji Tuhan Dengan mulut bisu mengajarkan keabadian. Puisi tersebut terdiri atas 10 (sepuluh) bait dengan jumlah larik yang sangat sedikit, yaitu rata-rata dua larik dalam tiap baitnya. Untuk lebih memudahkan pemahaman, peneliti deskripsikan sebagai berikut: O, (golongan) beribu jilbab! O, (seperti) lautan! Bergerak ke (atas) cakrawala
Barisan ummat (yang) terjaga dari tidur (nya) Pergi berduyun (dan) memasuki diri sendiri
Lautan jilbab Bersemayam di (dalam) jagat mut}ma’innah Bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta
Biarkan air mata (saja) mengucur Tapi jangan (lah) menangis
87
Duka (yang) membelit-belit Tapi kalian (beribu jilbab) tak bersedih
Kuman apa yang kalian sandang Dari tangan sejarah? Dari abad yang tak (pernah) kenal diri sendiri?
Tangan kalian mengepal Memukul-mukul dada
Amarah kalian menggumpal Namun jiwa (tetap) lembut bagai (kan suatu) ketiadaan
O, lautan jilbab Bergerak ke (dalam) janji Tuhan Dengan mulut (yang) bisu (lalu) mengajarkan (tentang) keabadian.
Maksud puisi di atas adalah alangkah mulianya para kaum berjilbab (kaum wanita) yang mempunyai jiwa mut}ma’innah, pada petikan kata, “O, beribu jilbab!, O, lautan!, Bergerak ke cakrawala” sebuah kekaguman yang dinyatakan dalam bentuk kalimat terbang ke atas cakrawala yang teramat tinggi. Ini bisa pula berarti derajat yang tinggi. Selanjutnya pujian-pujian itu berlanjut pada larik “Lautan penyangga ‘Arsy, beribu jilbab perawat peradaban” maksudnya ‘Arsy merupakan tempat yang paling tinggi dan ribuan jilbab ini menjadi penghuni yang merawat peradaban. Pada petikan kata, “Lautan jilbab, bersemayam di jagat mut}ma’innah, bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta” mempunyai maksud lautan jilab ini adalah golongan wanita-wanita yang berjiwa mut}ma’innah serta selalu menjaga keimanan kepada Allah dan selalu meninggalkan perbuatan buruk. Bahkan di saat duka menyelimuti dengan berbagi cobaan yang diberiakan Allah kepadanya, iapun tak
88
menangisinya, karena kesabaran yang begitu luar biasa. Hal ini sesuai dengan petikan kata, “Biarkan air mata mengucur, tapi jangan menangis, duka membelit-belit, tapi kalian tak bersedih” saat Ammarah datang melingkupi diri iapun tak pernah meronta dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh mulia hati wanita ini seperti petikan puisi, “Amarah kalian menggumpal, namun jiwa lembut bagai ketiadaan” Maka pada penutup/bait terakhir puisi ini menggambarkan betapa nikmat Allah yang diberikan kepada hamba wanita yang selalu beriman kepadanya dengan menuju surga yang merupakan janji Allah SWT di Akhirat dengan segala keabadian “O, lautan jilbab, bergerak ke janji Tuhan, dengan mulut bisu mengajarkan keabadian”. Sebenarnya petikan puisi di atas pada sisi ekstrinsiknya juga mengajarkan tentang hikmah mencintai Allah dengan jiwa yang suci sebagai wujud keimanan kita kepada Allah SWT. Kepribadian inilah yang selanjutnya dalam teori psikologi kepribadian disebut sebagi tipologi kepribadian mut}ma’innah, karena konsep qalbun salim adalah hati yang selamat dan selalu menganggap Allah sebagai kekasihnya serta ia dikatakan telah benar-benar ihsan.
Dalam Islam, ajaran cinta kepada
Allah bukan hal yang baru karena sejak semula Rasulullah telah mengajarkan ajaran cinta tersebut. Cinta adalah perasaan
yang
menenangkan hati dan mendamaikan kalbu. Cinta dapat ditingkatkan mencapai puncaknya dan puncak segala cinta adalah cinta kepada yang mencinta yaitu Allah. Al Junaid berkata: "Cintalah kecenderungan hati" Artinya hati seorang cenderung kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah.18
18
Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi. Terj. Nasir Yusuf, (Bandung: PT. Pustaka, 1985), hlm 150.