BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG IV.1
Metode Analisis
Untuk mengetahui kebutuhan akan ruang terbuka hijau dalam upaya menurunkan tingkat pencemaran oleh kendaraan bermotor maka lingkup analisis yang akan dilakukan meliputi proyeksi bangkitan dan tarikan perjalanan, analisis beban pencemaran dari kendaraan bermotor dan analisis kualitas udara berdasarkan indeks standar pencemaran udara (ISPU). Berikut ini akan disajikan gambaran mengenai metode terpilih yang digunakan dalam kajian ini.
IV.1.1 Metode Analisis Proyeksi Bangkitan dan Tarikan Perjalanan Pada kajian ini metode analisis proyeksi bangkitan dan tarikan perjalanan di Kota Tangerang didasarkan pada hasil studi Tatralok Kota Tangerang 2006. Studi Tatralok Kota Tangerang 2006 disusun berdasarkan model transportasi perangkat lunak (software) komputer EMME/2 versi 8.00. Prosedur pemodelan pada studi ini dilakukan melalui 4 tahapan pengembangan, yaitu :
Perkiraan jumlah produksi dan tarikan perjalanan yang dibangkitkan oleh pola tata guna lahan.
Melakukan estimasi arah asal tujuan perjalanan dengan menganalisis kondisi eksisting yang terjadi saat ini beserta besaran-besaran lalu lintas yang akan dibangkitkan.
Melakukan asumsi terhadap moda yang akan digunakan.
Melakukan proses pembebanan (assignment) terhadap jaringan jalan
A.
Periode Analisis
Periode analisa proyeksi yang dikaji pada Tatralok Kota Tangerang 2006 merupakan rentang waktu peramalan kebutuhan perjalanan. Pengembangan sistem transportasi disusun berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kota Tangerang yang mempertimbangkan hasil analisis survei lapangan mengenai pola perjalanan serta kecenderungan perkembangannya. Penekanan pengembangan 63
sistem transportasi adalah pada sistem jaringan jalan serta perangkat pendukung dalam pengaturan lalu-lintas yang mencakup pengelolaan lalu lintas, angkutan umum, angkutan barang dan angkutan air.
Rencana pengembangan sistem transportasi pada Tatralok Kota Tangerang 2006 tersebut disusun berdasarkan skenario pengembangan jaringan jalan untuk periode analisis (lima) tahunan yaitu :
Skenario tahun 2005 – 2010 (2010), adalah skenario jangka pendek yang dikaji
berdasarkan
kecenderungan
perkembangan
Kota
Tangerang,
pertumbuhan parameter sosial-ekonomi lainnya dan kondisi jaringan jalan eksisting, jaringan jalan yang sedang dibangun dan rencana jaringan jalan yang akan dibangun sampai tahun 2010.
Skenario tahun 2010 – 2015 (2015), adalah skenario jangka panjang yang disusun berdasarkan pada RTRW Kota Tangerang 2010. Sistem jaringan transportasi mengikuti struktur daerah yang diarahkan pada RTRW tersebut.
B.
Lingkup Wilayah Analisis
Wilayah yang akan di analisis diseleksi berdasarkan faktor-faktor berikut:
Menggunakan wilayah administrasi yang relatif tidak terlalu besar (kelurahan atau gabungan beberapa kelurahan) sebagai dasar pengamatan dan tinjauan pergerakan dengan bentuk pola asal tujuan perjalanan di seluruh Kota Tangerang yang termasuk pada kajian yang bersifat internal.
Di luar wilayah administratif Kota Tangerang dianggap sebagai wilayah kajian eksternal yang dijadikan sebagai suatu titik asal atau tujuan perjalanan yang berasal dan menuju Kota Tangerang.
C.
Pengembangan Sistem Zona dan Sistem Jaringan
Pada Tatralok Kota Tangerang 2006, pengembangan sistem zona diterapkan untuk seluruh wilayah Kota Tangerang yang kemudian dibagi menjadi beberapa sub daerah yang disebut zona yang memiliki sebuah pusat zona. Pusat zona dianggap sebagai titik awal pergerakan lalulintas dari zona tersebut dan titik akhir pergerakan lalulintas yang menuju ke zona tersebut.
64
Daerah atau zona yang merupakan zona eksternal dianggap kurang atau sedikit berpengaruh terhadap pergerakan arus lalu lintas di dalam daerah kajian, sedangkan zona internal memiliki pengaruh sangat besar terhadap sistem pergerakan lalu lintas di dalam daerah kajian.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mengembangkan pembagian zona adalah letak geografis, tata guna lahan, jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat, kepemilikan kendaraan dan ketersediaan akses dari masing-masing zona. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan pola perjalanan di suatu daerah.
Pembagian wilayah menjadi zona-zona yang lebih kecil menggunakan dasar pertimbangan sebagai berikut: Keseragaman tata guna lahan: menjadi dasar dalam membagi wilayah menjadi beberapa zona sehingga dapat diketahui karakteristik perjalanan tiap zona pada kondisi penggunaan lahan tertentu. Pembagian zona didasarkan pada keseragaman tata guna lahan akan memudahkan dalam proses analisis bangkitan perjalanan seperti kawasan perumahan, industri, perdagangan, fasilitas umum dan sebagainya. Ketersediaan akses: merupakan faktor dominan dalam pembagian zona karena akses dari dan ke zona lainnya akan memberikan mempengaruh terhadap hubungan
antar
zona.
Sistem
jaringan
jalan
akan
mempengaruhi
mempengaruhi penentuan zona terutama keterkaitan dengan aksesibilitas. Ketersediaan data: Pembagian zona juga mempertimbangkan ketersediaan data yang telah dibuat oleh pihak atau intansi tertentu sebagai dasar dalam pengumpulan data. Data tentang kependudukan, tenaga kerja, kepemilikan kendaraan dan lain-lain biasanya tersedia pada lingkup wilayah kecamatan atau kelurahan/desa sehingga perlu dipertimbangkan pembagian zona kecil atas dasar pembagian wilayah administrasi terkecil. Keseragaman luas area: Luas antara satu zona dengan zona lainnya yang berada di dalam daerah kajian sedapat mungkin diupayakan tidak terlalu jauh berbeda sehingga bangkitan perjalanan dari tiap zona tersebut nilainya tidak
65
berbeda jauh antara satu zona dengan zona lainnya. Pertimbangan rinci dalam menentukan luas area adalah: - kawasan dengan kepadatan penduduk/tingkat aktifitas yang relatif tinggi pembagian zona relatif lebih rinci yang dapat terdiri dari kelurahan - kawasan dengan kepadatan penduduk relatif rendah dipertimbangkan sebagai zona-zona yang lebih besar dalam sistem pembagian zona
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola perjalanan serta dasar-dasar pertimbangan pembagian zona, maka pada Tatralok Kota Tangerang 2006, wilayah Kota Tangerang dibagi menjadi 78 zona lalulintas yang terdiri dari 38 zona internal di kota Tangerang serta 18 zona eksternal yang mewakili pergerakan dari/menuju Kota Tangerang. Tabel IV.1 Pembagian Zona Internal Bangkitan-Tarikan Perjalanan dan Guna Lahan Per Kelurahan di Kota Tangerang Zona Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8
Tangerang Tangerang Karawaci Karawaci Neglasari Tangerang Tangerang Tangerang
9
Karawaci
10 11 12 13 14 15 16
Cibodas Periuk Periuk Neglasari Neglasari Batuceper Cipondoh
17
Pinang
18 19 21 22 23 24
Pinang Cibodas Jatiuwung Jatiuwung Jatiuwung Jatiuwung
Kelurahan Sukarasa, Sukaasih Sukasari, Babakan Pabuaran, Bugel, Gerendeng, Margasari, Sumur Pancing Pasar Baru, Pabuaran Tumpeng, Nambo Jaya, Koang Jaya Karang Sari, Karang Anyar Tanah Tinggi Buaran Indah Cikokol, Kelapa Indah Cimone, Karawaci, Karawaci Baru, Nusa Jaya, Bojong Jaya, Cimone Baru Cibodas, Cibodas Baru, Cibodas Sari Gebang Jaya, Sangiang Jaya Periuk, Periuk Jaya Neglasari, Mekar Sari Kedaung, Kedaung Wetan, Selapanjang Jaya Batu Sari, Batu Jaya Poris Plawad, Poris Plawad Utara, Poris Plawad Indah Cipete, Panunggangan Utara, Pakojan, Panunggangan Timur Panunggangan Selatan Panunggangan Barat Gandasari Manis Jaya Gembor, Alam Jaya Pasir Jaya, Jatake
Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006 *)
Keterangan:
1. Permukiman 2. Komersial 3. Industri
66
Guna Lahan*) 1,2 1,2 1,3 1,3 1,2,3 1,2 1,2 1,2,3 1,2,3 1,2,3 1,2,3 1,3 1 1,3 1,3 1,2,3 1,2 1,3 1 1,2 1,3 1,3 1,3
Tabel IV.1 Pembagian Zona Internal Bangkitan-Tarikan Perjalanan dan Guna Lahan Per Kelurahan di Kota Tangerang (lanjutan) Zona Kecamatan 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Kelurahan
Benda Benda
Bandara Belendung, Pajang, Jurumudi, Jurumudi Baru Batu Ceper, Kebon Besar, Poris Gaga Baru, Poris Gaga, Batuceper Poris Jaya Cipondoh Cipondoh, Cipondoh Indah Pinang Kunciran Jaya, Narogtog Pinang Kunciran, Pinang, Sudimara Pinang, Kunciran Indah Cipondoh Gondrong, Ketapang, Petir, Kenanga Cipondoh Karang Mulya, Parung Jaya, Pondok Bahar Karang Pondok Pucung, Karang Tengah, Ds Karang Timur, Ds tengah Padurenan Sudimara Barat, Sudimara Selatan, Sudimara Timur, Ciledug Sudimara Jaya, Tajur Larangan Larangan Utara, Larangan Indah, Gaga, Larangan Selatan Larangan Cipadu, Kreo Selatan, Cipadu Jaya, Kreo Ciledug Paninggilan Utara, Paninggilan, Parung Serab Cibodas Jati Uwung, Uwung Jaya Jatiuwung Keroncong
Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006 *)
Keterangan:
1. Permukiman 2. Komersial 3. Industri
67
Guna Lahan*) 1,2 1,2,3 1,2,3 1 1 1 1 1 1 1,2 1 1 1 1,3 1,3
Keterangan: Klasifikasi Guna Lahan
Pemukiman, Industri
Pemukiman
Pemukiman, Komersial, Industri
Pemukiman, Komersial
Zona
21
ZONA 1
1
22
2
23
3
24
4
25
5
26
6
27
6 7
7
28
8
8
29
9
30
10
31
10
11
32
11
12
33
12
2
3
4 5
9
13
13
34
14
35
15
36
16
37
17
38
18
39
19
14 15 16
17
68
18 19 21 22 23
Kelurahan ZONA Sukarasa 24 Suka Asih Sukasari 25 Babakan Pabuaran 26 Sumur Pacing Bugel Margasari Gerendeng Sukajadi 27 Pabuaran Tumpeng Pasar Baru Koang Jaya Karang Sari 28 Karang Anyar Tanah Tinggi 29 Buaran Indah Cikokol Kelapa Indah 30 Karawaci Bojong Jaya Karawaci Baru Nusa Jaya Cimone Cimone Jaya Cibodas Cibodasari Cibodas Baru Sangiang Jaya Gebang Raya Periuk Periuk Jaya Neglasari Mekarsari Kedaung Baru Selapajang Jaya Kedaung Wetan Batu Jaya Batusari Poris Plawad Poris Plawad Utara Poris Plawad Indah Cipete Pakojan Indah Pan. Utara Pan. Selatan Pan. Barat Gandasari Manis Jaya Alam Jaya Gembor
31
32
33
34
35
36
37 38 39
Kelurahan Jatake Pasir Jaya Benda Belendung Pajang Jurumudi Jurumudi Baru Batuceper Kebon Besar Poris Gaga Baru Poris Gaga Poris Jaya Cipondoh Makmur Cipondoh Cipondoh Indah Kunciran Jaya Neroktog Pinang Sudimara Pinang Kunciran Kunciran Indah Gondrong Kenanga Petir Ketapang Pondok Bahar Karang Mulya Parung Jaya Pondok Pucung Karang Tengah Karang Timur Pedurenan Sudimara Barat Sudimara Timur Tajur Sudimara Jaya Sudimara Selatan Larangan Selatan Larangan Utara Larangan Indah Gaga Cipadu Kreo Cipadu Jaya Kreo Selatan Paninggilan Parung Serab Paninggilan Utara Uwung Jaya Jatiuwung Keroncong
D.
Metode Proyeksi Permintaan Perjalanan
Model proyeksi bangkitan perjalanan (trip generation) yang digunakan dalam Tatralok Kota Tangerang 2006 didasarkan pada penggunaan tingkat perjalanan (trip rate) yang dikembangkan dari
survei lalu lintas dan analisis potensi
wilayah. Semua matriks asal-tujuan dikonversikan ke dalam satuan mobil penumpang menggunakan faktor ekivalensi mobil penumpang (emp). Faktor emp yang digunakan adalah sesuai standar dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI).
Pada studi tersebut metode yang digunakan dalam pemodelan adalah regresi linier. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produksi dan atraksi perjalanan di Kota Tangerang adalah jumlah penduduk dan tata guna lahan.
Tabel IV.2 Model Produksi dan Atraksi Perjalanan Kota Tangerang. Produksi Atraksi Y : 0,007 penduduk + 440,32 Penduduk: 7 perjalanan / 1000 orang Komersil: 27,62 perjalanan/hektar Industri: 5,70 perjalanan/hektar Perjalanan dalam satuan mobil penumpang Angkutan Y : 0,044 penduduk + 679,90 Penduduk: 68 perjalanan / 1000 Umum orang Komersil: 25,78 perjalanan/hektar Industri: 29,36 perjalanan/hektar Perjalanan dalam penumpang Barang Y : 0,001 penduduk + 50,36 Penduduk: 4 perjalanan / 1000 orang Ringan Komersil: 3,48 perjalanan/hektar Industri: 0,23 perjalanan/hektar Perjalanan dalam satuan mobil penumpang Barang Komersil : 2,74 perjalanan/hektar Komersil: 2,20 perjalanan/hektar Berat Industri : 1,08 perjalanan/hektar Industri: 1,00 perjalanan/hektar Perjalanan dalam satuan mobil Perjalanan dalam satuan mobil penumpang penumpang Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006 Jenis Pribadi
Sedangkan pada zona eksternal, prakiraan permintaan perjalanan di masa datang mengacu kepada hasil survei lalu lintas secara seri beberapa tahun pada ruas-ruas jalan di gerbang Kota Tangerang.
Berdasarkan hasil survei lalu lintas pada
69
masing-masing kelompok kendaraan, seperti kendaraan pribadi dengan sepeda motor, angkutan umum dan angkutan barang, dapat disimpulkan sebagai berikut (Tatralok Kota Tangerang 2006): 1. Sepeda motor dengan pertumbuhan 18% per tahun 2. Mobil penumpang pribadi dengan pertumbuhan 5% per tahun 3. Angkutan umum terutama angkutan kota dengan pertumbuhan 0% per tahun 4. Angkutan barang dengan pertumbuhan 3% per tahun
E.
Pengembangan Skenario Jaringan Transportasi
Dalam Tatralok Kota Tangerang 2006 dikembangkan beberapa skenario pengembangan jaringan transportasi dalam periode perencanaan jangka pendek (2010) dan periode perencanaan jangka panjang (2015). Skenario yang dikembangkan, adalah skenario do-nothing, yaitu skenario tanpa melakukan apapun terhadap sistem transportasi, dan skenario do-something; merupakan skenario yang melakukan berbagai tindakan untuk mengakomodasikan kebutuhan perjalanan di masa yang akan datang.
Pengembangan skenario jaringan transportasi yang dilakukan pada Tatralok Kota Tangerang 2006 tidak mempertimbangkan adanya pengelolaan kebutuhan perjalanan (travel demand management) sehingga pengembangan skenario jaringan transportasi hanya didasarkan pembangunan fisik infrastruktur jalan yang meliputi aspek-aspek berikut ini:
peningkatan kapasitas jaringan jalan
penambahan kapasitas jaringan jalan
redefinisi beberapa simpul utama
Perencanaan Jangka Pendek (2005 – 2010) Pengembangan skenario jangka pendek didasarkan pada konsep efisiensi prasarana. Dengan konsep tersebut maka skenario jangka pendek dikembangkan dengan menerapkan alternatif do-nothing untuk melihat pengaruh pertumbuhan lalu-lintas terhadap prasarana dan alternatif do-something sesuai dengan arahan
70
RTRW Kota Tangerang dan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Tangerang. 1. Skenario do-nothing yang mengikuti sistem jaringan jalan eksisting disusun sebagai pembanding skenario do-something. Pengembangan skenario ini didasarkan pada pertimbangan kemampuan kondisi sistem jaringan jalan yang ada untuk menampung pertumbuhan lalu-lintas yang diprakirakan akan terjadi pada tahun 2010. 2. Skenario do-something: skenario ini didasarkan pada kondisi jaringan (prasarana & sarana) eksisting untuk mengakomodasi berbagai skenario pertumbuhan pada tahun rencana (tahun 2010). Skenario do-something ini dikembangkan lagi dalam 3 skenario berbeda dengan pengembangan sistem jaringan transportasi yang berbeda pula. Skenario do-something 1: Pada skenario ini dilakukan peningkatan beberapa koridor eksisting dengan pelebaran jalan, perbaikan geometrik dan persimpangan untuk meningkatkan kapasitas jalan dan persimpangan. Koridor-koridor yang ditingkatkan didasarkan pada rencana pembangunan Pemerintah Kota Tangerang, , antara lain; - Pelebaran Jl. Maulana Hasanuddin: 2 arah 2 lajur menjadi 2 arah 4 lajur. - Pelebaran Jl. Halim Perdanakusuma: 2 arah 2 lajur menjadi 2 arah 4 lajur. - Pelebaran Jl. Husein Sastranegara: 2 arah 2 lajur menjadi 2 arah 4 lajur. - Pembangunan jalan tembus antara Jl. Husein Sastranegara dan Jl. Bandara Cengkareng di Rawa Bokor 1 arah 2 lajur. - Pembangunan jalan baru sisi utara Jalan Tol Jakarta-Tangerang antara Jl. Kyai Hasyim Ashari 2 arah 4 lajur. - Pembangunan underpass pada persimpangan Jl. HOS. Cokroaminoto, Jl. Raden Saleh dan Jl. Raden Fattah - Pembangunan fly over pada persimpangan Jl. Sudirman, Jl. Kyai Hasyim Ashari dan Jl. Veteran. Skenario do-something 2: Pada skenario ini dilakukan penambahan terhadap jaringan jalan do-something 1, yaitu pembangunan jalan baru di sisi utara jalan Tol Jakarta – Tangerang (Merak), dari Jl. Kyai Hasyim Ashari – sampai dengan Puri.
71
Skenario do-something 3: Skenario ini sama dengan Skenario do-something 2, dengan menambah pembangunan jalan batas kota km 11 koridor utaraselatan, mulai dari Jl. Kyai Hasyim Ashari sampai dengan Jl. Daan Mogot.
Analisis pengembangan skenario jangka pendek menunjukkan bahwa skenario do-something 3 menghasilkan kinerja terbaik karena membangkitkan jumlah kendaraan/jam dan kendaraan/ km terendah dengan kecepatan tertinggi. Hasil analisis masing-masing skenario dapat dibandingkan pada tabel berikut.
Tabel IV.3 Kinerja Jaringan Jalan Kota Tangerang 2010 Berdasarkan Skenario No. Skenario Kendaraan/jam Kendaraan/km Kecepatan (km/jam) 1 DN-2010 91.878 991.123 11 2 DS-1 (2010) 89.652 982.265 11 3 DS-2 (2010) 88.654 979.507 11 4 DS-3 (2010) 68.546 940.012 14 Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006
Perencanaan Jangka Panjang (2010 – 2015) Skenario pengembangan jaringan jalan jangka panjang juga mengikuti pola jaringan jalan yang ada. Pengembangan skenario jangka panjang dilakukan untuk membantu program pengembangan jaringan jalan dengan mengacu pada rencanarencana pengembangan jaringan jalan yang tertuang dalam
RTRW kota.
Alternatif-alternatif skenario do-something pengembangan jaringan yang akan dikembangkan, disajikan dalam tabel matrik skenario pengembangan jaringan jalan berikut ini.
72
Tabel IV.4 Skenario Rencana Jaringan Jalan 2015 Skenario Komponen Pengembangan Jaringan Skenario Awal Jangka Panjang 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 (2015) 1A Do-something 1 1B 2A Do-something 2 2B 3A Do-something 3 3B 4A Skenario 3B (2015) 4B Skenario 4B (2015) 5A 5B 6 Do-something 3 7A 7B Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006 Catatan 0 :Pembangunan CBD (Central Business District) 1 :Pembangunan jalan tol sisi barat bandara (2 arah 6 lajur) 2 :Pembangunan jalan tol sisi selatan-timur bandara (2 arah 6 lajur) 3 :Jalan penghubung Jl. Pembangunan I–Mauk / Kutabumi (2 arah 6 lajur) 4 :Jalur barang kawasan Jatiuwung (2 arah 6 lajur) 5 :Jalan batas kota antara Tol Jakarta Merak–Jl. Daan Mogot (2 arah 6 lajur) 6 :Jalan batas kota antara Jl. Daan Mogot- Jl. Husein Sastranegara (2 arah 6 lajur) 7 :Jalan baru sisi bandara antara Jl.Pembangunan I– Jl.Husein Sastranegara (2 arah 6 lajur) 8 :Frontage Tol Jakarta Merak antara Jl. Gatot Subroto–Jl. Thamrin (2 arah 6 lajur) 9 :Frontage Tol Jakarta Merak antara Jl. Thamrin– Jl. Kyai Hasyim Ashari (2 arah 6 lajur) 10:Frontage Tol Jakarta Merak antara Jl. Kyai Hasyim Ashari-Puri (2 arah 6 lajur) 11:Jalan tengah kota koridor utara-selatan antara Bandara– Jl. Kyai Hasyim Ashari (2 arah 6 lajur) 12:Jalan baru koridor barat-timur antara Jl. Kyai Hasyim Ashari–batas kota km11 (2 arah 6 lajur)
Hasil pemodelan dengan skenario pengembangan jaringan sistem transportasi tersebut menunjukkan bahwa kinerja terbaik dihasilkan oleh Skenario 7A. Rincian kinerja sistem jaringan transportasi berdasarkan masing-masing skenario disajikan pada tabel berikut.
73
Tabel IV.5. Kinerja Jaringan Jalan Kota Tangerang 2015 Berdasarkan Skenario No. Skenario Kendaraan/jam 1 Do Nothing (2015) 323.410 2 1A 302.400 3 1B 314.563 4 2A 314.124 5 2B 317.219 6 3A 310.161 7 3B 308.796 8 4A 310.161 9 4B 308.796 10 5A 313.708 11 5B 320.724 12 6 323.989 13 7A 265.768 14 7B 304.229 Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006
Kendaraan/km 1.814.304 1.817.766 1.836.422 1.824.325 1.824.942 1.811.265 1.809.132 1.811.265 1.809.132 1.817.058 1.815.339 1.811.598 1.794.205 1.926.045
Kecepatan (km/jam) 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 6
IV.1.2 Metode Analisis Beban Pencemar dari Kendaraan Bermotor Jenis pencemar yang akan dianalisis adalah pencemar udara yang diemisikan oleh kendaraan bermotor yang menentukan nilai ISPU, yaitu karbonmonoksida (CO), Sulfur dioksida (SO2), partikulat (PM10) dan nitrogen dioksida (NOx). Analisis beban pencemar dilakukan dengan menggunakan metode bottom-up dengan menghitung panjang perjalanan kendaraan bermotor (VKT): -
Daerah studi dibagi menjadi zona, lalu panjang perjalanan kendaraan bermotor di tiap zona dihitung secara terpisah untuk ruas jalan-jalan utama (mayor) dan jalan-jalan kecil (minor)
-
Metode ini memerlukan data yang lebih rinci; termasuk volume lalu lintas dan matriks OD yang diperoleh dari simulasi model perencanaan transportasi.
A.
Metode Analisis Beban Emisi pada Jalan Mayor
Beban Pencemar pada jalan mayor (utama) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: ,
,
…….(14)
dimana: -
VKTb,c
mayor
= panjang perjalanan kendaraan bermotor kategori b dan
berbahan bakar c pada ruas jalan utama -
Qb,c = volume lalu lintas kendaraan bermotor kategori b dan berbahan bakar c
-
L = panjang ruas jalan utama
74
B.
Metode Analisis Beban Emisi pada Jalan Minor
Analisis beban emisi kendaraan bermotor pada jalan minor dilakukan berdasarkan formula berikut ini: ,
,
,
……(15)
dimana: -
VKTb,c
minor
= panjang perjalanan kendaraan bermotor kategori b dan
berbahan bakar c pada ruas jalan kecil -
Qb,c
OD
= volume lalu lintas kendaraan bermotor kategori b dan berbahan
bakar c dari matriks OD -
Lb,c
trip
= rata-rata panjang perjalanan kendaraan bermotor kategori b dan
berbahan bakar c tiap trip Sedangkan untuk menghitung panjang perjalanan antar zona (inter-intra dan intra-inter) di daerah kota, digunakan persamaan sebagai berikut:
……(16)
dimana:
a
= luas daerah (km2)
LT
= total panjang jalan utama (km)
U
= total panjang jalan kecil (km)
Untuk menghitung panjang perjalanan lalu lintas di dalam zona itu sendiri (intraintra) maka digunakan persamaan berikut ini: ……(17) C.
Metode Distribusi Beban Emisi Secara Spasial
Distribusi beban emisi secara spasial dapat dilakukan dengan 2 metode berikut: Metode 1: Metode ini digunakan apabila panjang perjalanan kendaraan bermotor sudah dihitung untuk tiap zona (metode bottom-up), sehingga beban pencemar dapat dihitung dengan mengalikan panjang perjalanan pada tiap zona dengan faktor emisi yang merupakan fungsi dari kecepatan kendaraan bermotor.
75
Metode 2 (Suhadi dkk., 2006): Panjang perjalan total dianggap sebagai penjumlahan dari panjang perjalanan dari sumber garis dan sumber area. Panjang perjalanan di suatu ruas jalan dapat dikategorikan sebagai sumber garis apabila data volume lalu lintasnya diketahui. Sehingga panjang perjalanan kendaraan bermotor pada ruas jalan tersebut dapat diperoleh dari hasil perkalian panjang ruas jalan terhadap data volume lalu lintas tersebut. Ruas jalan yang diketahui data volume lalu lintasnya ini dikenal juga dengan istilah ruas jalan mayor. Kemudian panjang perjalanan dari ruas jalan yang tidak diketahui data volume lalu lintasnya, dikategorikan sebagai sumber area. Pada kajian ini akan dilakukan analisis beban pencemar berdasarkan Metode 2. Untuk jalan-jalan mayor maka beban emisi dianggap berasal dari sumber garis yang dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan dengan panjang perjalanan dan faktor emisinya. Sedangkan untuk jalan-jalan minor sumber pencemar dianggap sebagai sumber area. Beban emisi suatu zona merupakan penjumlahan antara sumber garis dan sumber area.
IV.1.3 Metode Analisis Konsentrasi Pencemar di Atmosfir Secara Spasial Berdasarkan kajian pada Study on Air Quality in Jakarta, Indonesia Future Trends, Health Impacts, Economic Value and Policy Options (ADB, September 2002) maka perhitungan mengenai konsentrasi pencemar di atmosfir dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini: Jumlah zona: zona yang digunakan merupakan zona bangkitan dan tarikan Pengaruh angin: konsentrasi pencemar di atmosfir akan dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin Asumsi ketinggian pencampuran pencemar di atmosfir yang diasumsikan berdasarkan stabilitas atmosfir suatu wilayah
∑
76
……(18)
Dimana:
A
: Persentase angin tenang
E
: Total emisi masing-masing jenis pencemar di setiap zona
Q
: Kecepatan angin
CT
: Konsentrasi total masing-masing jenis pencemar
I
: Jumlah arah angin (16 arah angin)
IV.1.4 Metode Analisis Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Analisis ISPU didasarkan pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara. ISPU dianalisis dengan merubah nilai konsentrasi pencemar di atmosfir menjadi angka nyata ISPU. Perhitungan untuk mengkonversi konsentrasi pencemar menjadi angka nyata ISPU didasarkan pada formula berikut ini:
……..(19) Dimana: I
= Angka nyata ISPU
Ia
= ISPU batas atas
Ib
= ISPU batas bawah
Xa
= Ambien batas atas
Xb
= Ambien batas bawah
Xx
= Konsentrasi pencemar di atmosfir
Berdasarkan angka nyata ISPU maka kualitas udara di suatu wilayah diklasifikasikan menjadi:
kategori baik rentang 0 sampai 50 dengan warna hijau;
kategori sedang rentang 51 sampai 100 dengan warna biru;
kategori tidak sehat rentang 101 sampai 199 dengan warna kuning;
kategori sangat tidak sehat rentang 200 sampai 299 dengan warna merah;
kategori berbahaya rentang 300 sampai 500 dengan warna hitam;
77
Analisis ISPU dilakukan dengan mengambil tiga luasan RTH yang berbeda pada masing-masing skenario. Tingkat penerapan RTH tersebut diklasifikasi menjadi: 1. Luas RTH Eksisting: diperoleh berdasarkan analisis peta digital Kota Tangerang yang dihasilkan dari kegiatan Pengembangan Data dan Informasi Lingkungan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang tahun 2007 dengan menggunakan perangkat lunak Arc-GIS. 2. Luas RTH Maksimal: merupakan luasan RTH yang masih mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan lahan kosong yang ada. Lahan kosong ini merupakan lokasi-lokasi dimana RTH masih memungkinkan untuk dikembangkan. 3. Luas RTH 30% dari Luas Area: Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota.
IV.1.5 Metode Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau didasarkan pada korelasi antara beban emisi yang diterima oleh suatu zona dengan kemampuan penyerapan zat pencemar di atmosfir oleh ruang terbuka hijau. Sebenarnya tidak ada hasil penelitian yang secara khusus dapat menyatakan berapa kemampuan penyerapan suatu jenis tanaman terhadap suatu jenis zat pencemar di udara. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang akan mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menyerap zat pencemar. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap potensi reduksi zat pencemar dan umur tanaman adalah jenis tanaman, kerimbunan dan ketinggian tanaman, jumlah emisi karbon, suhu, kecepatan angin, kepadatan dan ketinggian bangunan (Kaule, 2000 dalam Penghijauan sebagai Pereduksi CO2 di Perumahan: Balitbang DPU 2005).
Dalam studi ini, kebutuhan luasan RTH akan dilakukan dengan mengasumsikan bahwa seluruh RTH yang ada di Kota Tangerang merupakan hutan kota. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, disebutkan bahwa Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang
78
bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat yang berada di dalam wilayah perkotaan. Dengan karakteristik pepohonan yang rapat dan kompak tersebut maka hutan kota akan memiliki kemampuan penyerapan zat pencemar yang paling tinggi dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya yang dapat diterapkan di suatu kota. Hal ini merupakan dasar diambilnya asumsi mengenai bentuk RTH yang diterapkan di Kota Tangerang.
Bila dari hasil analisis diperoleh temuan bahwa hutan kota dengan luasan tertentu tidak mampu menyerap zat pencemar dari kendaraan bermotor untuk menghasilkan kualitas udara yang sehat, maka dapat dipastikan bahwa dengan luas yang sama, jenis RTH lainnya yang memiliki kerapatan dan kompaksitas yang lebih rendah tidak akan mampu menyediakan kualitas udara yang lebih baik.
Tabel IV.6 Kemampuan Serapan Gas oleh Daun dan Mikroorganisme Tanah pada Hutan Kota (µg/m2/jam) Jenis Pencemar Serapan oleh Lantai Hutan Serapan oleh Tajuk Pohon Karbon- monoksida 1,9 x 104 2,6 x 103 2 Nitrogen-oksida 2,0 x 10 2,3 x 103 4 Ozon 1,0 x 10 6,2 x 104 Peroksi-asetil-nitrat 1,2 x 103 Belerang- dioksida 7,7 x 106 4,1 x 104 Sumber: U.S Protection Agency (1976) dalam Dahlan (2004):114
Konsentrasi zat pencemar yang harus diserap oleh hutan kota diperoleh dengan menghitung selisih antara beban emisi yang dihasilkan pada masing-masing zona dengan beban emisi yang masih dapat diterima oleh suatu zona, yaitu beban emisi yang menghasilkan nilai ISPU maksimal 50 (kategori baik). Untuk zona yang memiliki kebutuhan RTH yang terlalu tinggi bila ditargetkan mencapai nilai ISPU 50, maka kemudian target diturunkan menjadi nilai ISPU 100 (kategori sedang). Selisih ini merupakan dasar dalam perhitungan luasan hutan kota minimal yang diperlukan untuk mencapai target nilai ISPU untuk mencapai kualitas udara yang sehat di Kota Tangerang.
79
IV.2
Pembahasan Analisis Kebutuhan RTH di Kota Tangerang
Kota Tangerang terbagi menjadi 13 kecamatan , dan masing-masing kecamatan terbagi lagi dalam beberapa kelurahan yang banyaknya tergantung pada luas dan kepadatan di masing-masing kecamatan tersebut.
Berdasarkan kajian pada Tata Transportasi Lokal Kota Tangerang tahun 2005 maka wilayah Kota Tangerang dibagi dalam beberapa zona yang disajikan pada tabel berikut ini. Zona ini disusun untuk melakukan analisis mengenai bangkitan dan tarikan perjalanan di Kota Tangerang. Besaran
zona didasarkan pada
wilayah administrasi kelurahan dan karakteristik tertentu seperti: a. Luas wilayah b. Ada tidaknya suatu pusat kegiatan di sub wilayah tersebut
80
21 23
BATUCEPER
22
27
15 25
26
28
Mekarsari Karangsari Karanganyar Kedaung Baru Kedaung Wetan Selapajang Jaya Keroncong Pasir Jaya Jatake Gandasari Gembor Alam Jaya Manis Jaya Batuceper Kebon Besar Poris Gaga Baru Poris Gaga Poris Jaya
1.34200 2.33200 2.40800 1.10200 1.50000 2.24300 1.93800 5.03200 1.49900 2.90200 4.65080 1.42400 1.61000 1.51110 1.65820 1.54450 1.66200 2.29340
Batusari
1.71330
Batu Jaya
1.71330
Benda
3.56670
Belendung
2.61920
Pajang
0.39950
Jurumudi
2.32090
Jurumudi Baru
2.05450
Cipondoh
2.52050
Cipondoh Indah
1.13930
KECAMATAN
(km2) 3.51190 4.74000
4.84500 1.93800
12
10
11
19 38
6.53100 2.90200 6.07480
30
1.61000
8.66920
29 18
17 3.42660 3.56670
7.39410
Kelurahan
Luas Kelurahan (km2)
PERIUK
JATIUWUNG
24
2.16990
ZONA
CIBODAS
14
Neglasari
Luas Zona
PINANG
NEGLASARI
5
39
BENDA
Luas Kelurahan (km2)
13
CIPONDOH
Kelurahan
KARANG TENGAH
ZONA
33
32
4.92760
Periuk
2.34300
Periuk Jaya Gebang Jaya Sangiang Jaya Cibodas Cibodas Baru Cibodassari Panunggangan Barat Jatiuwung Uwung Jaya Kunciran Pinang Sudimara Kunciran Indah Kunciran Jaya Narogtog Panunggangan Selatan Cipete Panunggangan Utara
2.43300 1.15080 1.89000 1.49000 0.87500 0.99200 3.14170 1.10000 2.01160 1.35340 1.50680 1.39730 1.83960 3.76490 1.66440 1.40160 2.17210 1.80460
Pakojan
1.68200
Panunggangan Timur
3.00340
Pondok Pucung
1.18930
Karang Tengah
2.27090
Karang Timur
1.10400
Padurenan
1.10400
Karang Mulya
2.27250
Parung Jaya
1.34810
Pondok Bahar
1.55470
Cipondoh Makmur
1.26780
Larangan Utara
1.25730
Gondrong
1.69720
Larangan Indah
1.05520
Ketapang
1.85500
Gaga
1.18660
35 31
LARANGAN
KECAMATAN
Tabel IV.7 Luas Zona Bangkitan-Tarikan Perjalanan di Kota Tangerang
6.49470 Petir
1.28440
Kenanga
1.65810
Larangan Selatan
0.95420
Cipadu
1.35830
Kreo Selatan
1.30450
Cipadu Jaya
1.09120
Poris Plawad
1.75610
Poris Plawad Utara
2.94980
Poris Plawad Indah
1.78180
Kreo
1.19000
Cimone
1.09900
Paninggilan Utara
1.06230
Karawaci
1.45900
Paninggilan
1.20220
Karawaci Baru
0.52900
Parung Serab
1.28690
Nusa Jaya
0.55900
Sudimara Barat
1.06760
Bojong Jaya
1.39900
Cimone Jaya
0.79900
Pabuaran
3
4
CILEDUG
37 5.84400
3.35700 3.14170 3.11160
6.09710
5.42930 1.40160
8.66210
5.66820
5.17530
4.94400
3.55140
1.09000
Sudimara Timur
0.80500
0.74900
Sudimara Jaya
0.81500
Bugel
0.82900
Tajur
1.44000
Gerendeng
0.72900
Sukarasa
1.29520
Margasari
1.09900
Sukaasih
0.62170
6
Tanah Tinggi
2.33130
2.33130
7
Buaran Indah
1.99460
1.99460
Sumur Pacing
0.45000
Sukajadi
0.51300
Pasar Baru
2.05800
Pabuaran Tumpeng
0.69900
Nambo Jaya
0.68900
Koang Jaya
2.06000
Sumber:
34
1
4.36900
2
5.21760
1.91690
Cikokol
2.33140
Kelapa Indah
2.33130
Sukasari
2.42200
Babakan
2.45780
8
5.50600
4.66270
4.87980
4. Kecamatan Jatiuwung Dalam Angka, Tahun 2003
1. Larangan dalam Angka, 2002
5. Kecamatan Pinang dalam Angka, 2002
2. Monografi Kecamatan Ciledug, 2006 3. Monografi Kelurahan, 2003
6. Kecamatan Neglasari Dalam angka Tahun 2001 7. Kecamatan Tangerang Dalam Angka, Tahun 2003
81
3.04080
Sudimara Selatan
TANGERANG
KARAWACI
9
6.48770
(km2) 4.77600
4.45330
36 16
Luas Zona
IV.2.1 Bangkitan dan Tarikan Perjalanan di Kota Tangerang Dari data sekunder yang diperoleh pada Review Tatralok Kota Tangerang 2006 (Dinas Perhubungan Kota Tangerang, 2006), maka diperoleh data mengenai total bangkitan dan tarikan di Kota Tangerang yang disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel IV.8 Volume Bangkitan-Tarikan Perjalanan Kota Tangerang, 2006 (SMP) No.
Kelurahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Sukarasa Suka Asih Sukasari Babakan Pabuaran Sumur Pacing Bugel Margasari Gerendeng Sukajadi Pabuaran Tumpeng Pasar Baru Koang Jaya Karang Sari Karang Anyar Tanah Tinggi Buaran Indah Cikokol Kelapa Indah Karawaci Bojong Jaya Karawaci Baru Nusa Jaya Cimone Cimone Jaya Cibodas Cibodasari Cibodas Br Sangiang Jaya Gebang Ry Periuk Periuk Jaya Neglasari Mekarsari Kedaung Baru Selapajang Jy Kedaung Wtn Batu Jaya Batusari Poris Plw Poris Plawad Utara Poris Plawad Indah Cipete Pakojan Ind Pan. Utara Pan. Selatan Pan. Barat Gandasari Manis Jaya Alam Jaya Gembor
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Kecamatan Tangerang Tangerang Tangerang Tangerang Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Neglasari Neglasari Tangerang Tangerang Tangerang Tangerang Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Karawaci Cibodas Cibodas Cibodas Periuk Periuk Periuk Periuk Neglasari Neglasari Neglasari Neglasari Neglasari Batuceper Batuceper Cipondoh Cipondoh Cipondoh Pinang Pinang Pinang Pinang Cibodas Jatiuwung Jatiuwung Jatiuwung Periuk
ZONA
Total Bangkitan & Tarikan (SMP)
1 2
3
4,234 4,219
1,803
4
2,356
5
2,325
6 7
644 3,064
8
6,268
9
1,957
10
4,269
11
1,247
12
1,916
13
1,956
14
1,069
15
1,200
16
1,565
17
1,839
18 19 21 22
4,622 2,450 1,428 1,282
23
1,801
No.
Kelurahan
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101
Jatake Pasir Jaya Benda Belendung Pajang Jurumudi Jurumudi Br Batuceper Kebon Besar Poris Gaga Baru Poris Gaga Poris Jaya Cipondoh Makmur Cipondoh Cipondoh Ind Kunciran Jaya Neroktog Pinang Sudimara Png Kunciran Kunciran Ind Gondrong Kenanga Petir Ketapang Pondok Bahar Kr. Mulya Parung Jy Pondok Pucung Kr. Tengah Kr. Timur Pedurenan Sudimara Brt Sudimara Tmr Tajur Sudimara Jy Sudimara Sel Larangan Selatan Larangan Ut Larangan Ind Gaga Cipadu Kreo Cipadu Jaya Kreo Selatan Paninggilan Parung Serab Paninggilan Ut Uwung Jaya Jatiuwung Keroncong
Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006
82
Kecamatan Jatiuwung Jatiuwung Benda Benda Benda Benda Benda Batuceper Batuceper Batuceper Batuceper Batuceper Cipondoh Cipondoh Cipondoh Pinang Pinang Pinang Pinang Pinang Pinang Cipondoh Cipondoh Cipondoh Cipondoh Kr. Tengah Kr. Tengah Kr. Tengah Kr. Tengah Kr. Tengah Kr. Tengah Kr. Tengah Ciledug Ciledug Ciledug Ciledug Ciledug Larangan Larangan Larangan Larangan Larangan Larangan Larangan Larangan Ciledug Ciledug Ciledug Cibodas Cibodas Jatiuwung
ZONA
Total Bangkitan & Tarikan (SMP)
24
3,528
25
777
26
1,138
27
2,259
28
1,766
29
808
30
985
31
1,026
32
1,264
33
2,906
34
2,870
35
1,722
36
1,321
37
1,077
38
904
39
1,332
Hasil pemodelan pada Tatralok Kota Tangerang 2006 digunakan untuk menghitung total volume kendaraan pada setiap zona. Penerapan skenario pengembangan sistem jaringan jalan menghasilkan volume kendaraan yang berbeda untuk setiap periode analisis. Penerapan skenario do-something pada periode analisis yang berbeda ternyata cukup signifikan dalam menurunkan volume perjalanan. Volume kendaraan pada masing-masing zona tersebut dihitung dan hasilnya disajikan pada table berikut ini.
Tabel IV.9 Perbedaan Volume Kendaraan Kota Tangerang untuk Setiap Periode Analisis dan Skenario Pengembangan (SMP) ZONA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
2006 4,234 4,219 2,167 2,984 1,620 644 3,064 6,268 1,957 4,269 1,247 1,916 1,956 1,317 1,924 1,565 1,839 1,766 2,450 1,428 1,282 1,801 3,528 777 1,138 2,259 1,119 808 985 1,026 1,264 2,906 2,870 1,722 1,321 1,077 904 1,332
Volume Kendaraan (smp) DN2010 DS2010 DN2015 6,274 6,366 3,206 3,148 3,586 1,400 7,647 7,647 9,770 6,499 2,145 2,637 1,850 1,690 2,433 2,894 2,811 2,146 5,215 2,489 2,333 3,119 5,702 1,098 1,741 3,646 1,475 1,263 1,665 1,689 2,152 3,921 4,013 2,967 2,888 1,419 1,888 1,536
4,681 4,749 2,392 2,348 2,675 1,044 5,705 7,647 7,289 4,849 1,600 1,967 1,380 1,261 1,815 2,159 2,097 1,601 3,891 1,857 1,741 2,327 5,702 1,054 1,454 2,720 1,100 942 1,242 1,260 1,606 2,925 2,994 2,214 2,155 1,059 1,409 1,146
12,931 22,819 5,662 5,107 4,946 4,335 11,460 7,647 17,673 8,895 4,191 4,289 3,389 3,430 3,559 6,624 6,747 2,531 5,940 2,715 2,942 3,119 5,702 2,016 3,738 8,820 3,319 2,556 4,483 4,559 3,586 8,459 6,637 5,062 4,948 2,188 2,292 1,952
DS2015 10,626 18,752 4,652 4,197 4,064 3,562 9,417 7,647 14,523 7,310 3,444 3,525 2,785 2,819 2,925 6,624 5,544 2,080 4,881 2,231 2,418 2,563 5,702 1,657 3,072 7,248 2,727 2,100 3,684 4,559 2,947 6,951 5,454 4,340 4,456 1,798 1,883 1,604
Sumber: Tatralok Kota Tangerang(2006) dan Perhitungan (2008)
84
IV.2.2 Analisis Beban Emisi Kendaraan Bermotor Hasil pemodelan dalam Tatralok Kota Tangerang 2006 kemudian diuraikan kembali hingga diketahui komposisi masing-masing jenis kendaraan di setiap zona sehingga beban emisi yang diterima oleh masing-masing zona dapat diketahui. Proyeksi beban emisi kendaraan bermotor ini dilakukan berdasarkan skenario do-nothing pada masing-masing periode dan skenario do-something yang memiliki kinerja terbaik. Tabel IV.10 Perkiraan Volume Bangkitan dan Tarikan Perjalanan 2010 (SMP) Zona 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Pribadi Angkutan Umum Angkutan Barang Barang Berat Produksi Atraksi Produksi Atraksi Produksi Atraksi Produksi Atraksi 2.472 2.516 99 307 400 480 0 0 1.606 2.058 126 859 839 878 0 0 1.652 1.653 290 300 357 262 57 31 1.484 770 219 405 463 512 159 88 1.288 1.234 210 213 251 266 82 64 216 355 123 152 186 226 109 33 1.588 1.414 142 202 258 250 39 28 2.940 2.545 170 435 578 642 187 150 3.919 3.208 376 807 567 556 185 152 2.167 2.311 326 455 424 652 92 72 515 442 292 253 278 252 59 54 903 365 204 121 430 373 119 122 202 1.189 161 171 66 48 12 1 257 649 321 278 65 68 42 10 361 425 142 129 219 241 68 62 877 525 236 346 363 354 110 83 845 614 200 202 428 326 142 54 296 594 84 233 374 372 118 75 2.542 1.764 113 104 336 232 79 45 731 339 143 329 370 348 110 119 463 614 95 284 336 310 122 109 808 818 177 154 423 513 96 130 1.376 1.982 160 139 999 1046 0 0 301 625 52 63 36 31 0 0 263 346 299 328 222 283 0 0 344 737 301 325 743 766 214 216 430 370 188 187 151 149 0 0 469 443 124 71 75 81 0 0 415 424 253 256 160 157 0 0 493 434 214 234 158 156 0 0 1.121 490 192 122 96 131 0 0 1.492 1.236 298 336 263 296 0 0 1.137 1.966 305 273 175 157 0 0 1.313 770 306 300 138 140 0 0 1.217 810 308 271 148 134 0 0 392 559 182 123 67 96 0 0 487 486 41 36 335 308 94 101 344 277 32 47 315 340 82 99
Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006
85
Tabel IV.11 Perkiraan Volume Bangkitan dan Tarikan Perjalanan 2015 (SMP) Zona 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Pribadi Angkutan Umum Angkutan Barang Barang Berat Produksi Atraksi Produksi Atraksi Produksi Atraksi Produksi Atraksi 5.293 4.642 406 1.518 606 466 0 0 9.220 8.066 233 4.371 419 510 0 0 2.005 1.634 1.201 1.341 458 359 83 118 1.071 718 969 1.849 550 369 188 149 904 1.412 909 980 302 262 99 78 1.386 1.324 360 727 280 258 0 0 2.049 2.263 560 1.151 340 292 0 0 3.897 3.425 675 1.861 669 551 208 174 6.330 5.158 1.576 3.902 95 69 281 232 2.525 2.722 1.172 1.023 554 552 207 140 620 525 1.177 1.374 164 103 114 114 1.101 438 891 974 250 244 194 197 242 1.455 654 801 103 134 0 0 308 787 1.671 599 25 32 4 4 438 515 552 703 97 149 80 72 2.433 1.999 977 735 161 139 97 83 2.487 2.086 826 477 527 344 0 0 361 729 307 364 335 206 118 111 2.858 1.955 441 168 322 196 0 0 891 409 549 380 123 122 119 122 671 836 290 563 175 140 131 136 1.161 1.135 803 1.140 265 444 265 211 2.017 2.699 707 1.425 148 257 408 359 369 770 346 455 41 35 0 0 431 620 1.256 786 233 293 67 52 2.184 2.257 1.200 1.988 249 301 337 304 548 657 855 968 148 143 0 0 966 881 489 101 52 67 0 0 1.439 1.427 855 527 121 114 0 0 1.579 1.472 710 572 115 111 0 0 1.614 790 783 155 146 198 0 0 2.582 2.341 1.274 1.527 379 356 0 0 1.662 2.624 1.299 522 244 286 0 0 1.817 1.102 1.162 762 107 112 0 0 1.737 1.181 1.108 447 209 266 0 0 473 676 656 146 84 153 0 0 588 584 285 508 95 32 97 103 417 334 196 433 167 183 119 103
Sumber: Tatralok Kota Tangerang 2006
Emisi kendaraan bermotor dihitung berdasarkan data primer yang diperoleh dari traffic counting yang dilakukan pada penyusunan Review Sistem Transportasi Kota Tangerang Tahun 2007 pada beberapa ruas jalan utama, yaitu : 1. Jl. Gatot Subroto
5. Jl. Moch. Toha
2. Jl. HOS Cokroaminoto
6. Jl. Daan Mogot
3. Jl. Imam Bonjol
7. Jl. KS. Tubun
4. Jl. Suryadharma
86
Klasifikasi
jenis kendaraan pada traffic counting dibedakan berdasarkan jenis
kendaraan sebagai berikut: 1. Light vehicle (mobil pribadi, angkot, angkutan barang sedang) 2. Heavy vehicle (bis, angkutan barang berat) 3. Motorcycle 4. Unmotorized vehicle
Dari hasil survei traffic counting tersebut, diperoleh komposisi kendaraan bermotor di ruas jalan mayor tersebut adalah sebagai berikut: Tabel IV.12 Presentase Komposisi Kendaraan Bermotor Hasil Survei LV HV MC UM Jalan 22.94 4.96 70.12 1.97 Gatot Subroto 19.56 2.31 77.28 0.85 HOS Cokroaminoto 37.92 4.00 53.83 4.24 Imam Bonjol 31.16 5.59 59.40 3.85 Suryadharma Moch Toha 22.61 3.16 70.83 3.39 Daan Mogot 45.15 4.67 50.18 KS Tubun 28.04 12.05 59.91 Sumber: Analisis, 2008
Komposisi
kendaraan bermotor tersebut dijabarkan lagi untuk mengetahui
jumlah unit setiap jenis kendaraan karena akan menentukan jenis bahan bakar dan emisi yang dikeluarkan. Presentasi masing-masing kelas dibagi dengan presentase sebagai berikut: Tabel IV.13 Komposisi Setiap Jenis Kendaraan Komposisi/ Jenis Kendaraan Pribadi 60% Umum HV LV Umum 25% Barang Barang 15% Sumber: Review Sistem Transportasi Kota Tangerang 2007
40% 60%
Pada Kajian Review Sistem Transportasi Kota Tangerang tahun 2007 digunakan konversi dari unit kendaraan ke SMP dengan besaran sebagai berikut. Tabel IV.14 Nilai Konversi dari Unit Kendaraan ke SMP Mobil Motor Angkutan Umum Barang Sedang Barang Berat 1.00 0.50 1.50 1.30 2.00 Sumber: Review Sistem Transportasi Kota Tangerang 2007
87
Untuk jalan-jalan yang tidak memiliki data traffic counting maka estimasi jumlah unit setiap jenis kendaraan diperoleh dari data volume lalulintas dalam SMP yang terdapat pada Review Sistem Transportasi Kota Tangerang Tahun 2007. Diasumsikan bahwa jalan mayor yang tidak memiliki data traffic counting memiliki komposisi kendaraan bermotor yang sama dengan jalan mayor yang memiliki data traffic counting bila berada pada kelurahan atau zona yang sama. Perhitungan Beban Emisi Kendaraan Bermotor pada jalan minor dilakukan berdasarkan metode bottom-up yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti volume lalu lintas, luas area dan panjang total jalan minor pada satu zona.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka komposisi jenis kendaraan dapat di ketahui pula sehingga estimasi beban pencemar yang dihasilkan dapat dianalisa berdasarkan jenis kendaraan.
Dengan memperhatikan peta-peta berikut ini nampak bahwa volume perjalanan meningkat secara signifikan walaupun telah dilakukan perbaikan kinerja sistem jaringan transportasi. Hal ini secara langsung akan meningkatkan beban emisi pencemar di setiap zona. Tabel IV.15 di bawah ini menunjukkan perbandingan jumlah unit kendaraan/ jam pada setiap zona.
88
Gambar IV.3 Perbandingan Kenaikan Volume Kendaraan pada Masing-masing Periode Analisis dan Skenario Pengembangan Jaringan Jalan Keterangan:
Satuan: SMP 0 - 1,000 1,001 - 2,000 2,001 - 3,000 3,001 - 4,000 4,001 - 5,000 5,001 - 6,000 6,001 - 7,000 7,001 - 8,000
Tahun 2006
Skenario Do-nothing Tahun 2010
Skenario Do-nothing Tahun 2015 Keterangan:
Satuan: SMP 0 - 1,000 1,001 - 2,000 2,001 - 3,000 3,001 - 4,000 4,001 - 5,000 5,001 - 6,000 6,001 - 7,000 7,001 - 8,000
Tahun 2006
Skenario Do-something Tahun 2010
Sumber: Analisis, 2008
89
Skenario Do-something Tahun 2015
Jenis pencemar yang diperhitungkan dalam analisis ini adalah karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), partikel (PM10), dan SO2 dengan pertimbangan bahwa keempat jenis pencemar ini dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan merupakan pencemar yang akan mempengaruhi kualitas udara di suatu area yang dinyatakan dalam Indeks Standar Pencemaran Udara.
Hasil analisis beban emisi akan dibandingkan antara setiap periode analisis berdasarkan skenario do-nothing dan do-something dengan kinerja terbaik. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penerapan masing-masing skenario terhadap beban emisi untuk setiap jenis pencemar pada setiap zona. Perbedaan pertambahan beban emisi untuk masing-masing jenis pencemar di setiap zona terjadi karena adanya perbedaan komposisi kendaraan.
Dari hasil analisa terlihat bahwa untuk masing-masing jenis pencemar, beban tertinggi di terima oleh zona yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi kendaraan pada masing-masing zona yang memiliki besaran faktor emisi yang berbeda pula. Jenis kendaraan yang berbeda akan menghasilkan komposisi jenis pencemar yang berbeda. Sebagai contoh, satu unit angkutan barang berat akan memberikan beban emisi CO2 terbesar dibandingkan dengan satu unit jenis kendaraan bermotor lainnya. Namun untuk jenis pencemar CO, justru satu unit mobil pribadi yang akan memberikan beban emisi CO tertinggi karena memiliki faktor emisi tertinggi untuk pencemar CO (faktor emisi = 40). Dengan demikian beban emisi di setiap zona untuk satu jenis pencemar tertentu, selain dipengaruhi oleh volume kendaraan, juga sangat dipengaruhi oleh komposisi jenis kendaraan bermotor di zona tersebut.
90
ZO NA
Tabel IV.15 Jumlah Unit Kendaraan pada Masing-masing Skenario 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Mobil Pribadi 3,018 1,092 1,497 1,503 3,023 913 986 787 1,096 787 1,630 851 577 1,146 659 754 467 656 568 2,355 2,350 803 739 500 1,058 742 599 926 1,176 870 948 544 592 619 816 508 895 1,066
Motor 9,145 3,737 5,239 5,261 10,891 6,149 6,893 4,869 8,013 4,869 5,729 2,843 1,830 3,935 4,222 5,470 1,690 4,190 3,031 14,803 20,503 3,911 4,458 1,957 4,247 2,751 2,074 4,412 6,003 4,057 8,026 2,709 3,340 3,696 6,293 2,231 7,334 9,579
2006 Angkutan Umum 983 286 398 400 822 236 256 201 287 201 435 219 143 301 166 192 112 165 140 637 635 206 188 121 276 189 149 240 309 224 246 134 147 154 209 124 231 279
Angkutan Sedang 686 249 327 328 620 214 228 190 249 190 352 202 150 259 165 184 128 165 148 491 490 193 181 135 242 181 154 217 265 206 221 143 152 158 196 136 211 244
Angkutan Berat 389 68 111 112 271 86 99 63 119 63 103 36 12 61 22 31 3 21 13 243 219 131 35 7 55 27 14 73 110 65 50 10 15 18 37 7 45 62
Mobil Pribadi 3,926 1,045 1,970 2,310 4,318 755 1,091 606 1,110 439 1,336 517 330 1,129 434 591 229 387 400 4,456 5,001 994 552 171 1,516 1,024 368 885 1,385 745 839 197 317 414 742 211 816 1,065
Motor 12,275 3,819 7,017 8,042 15,656 7,475 9,945 5,803 10,740 4,093 4,847 1,843 1,134 4,127 4,628 6,528 1,117 4,768 4,199 20,236 22,338 3,800 5,292 1,430 6,137 3,851 1,514 5,193 8,032 4,457 10,337 2,492 3,417 4,209 8,833 2,217 10,031 13,328
DO-NOTHING 2010 Angkutan Angkutan Umum Sedang 1,158 920 330 292 512 432 573 616 1,283 1,177 213 303 292 680 249 284 344 427 181 233 470 616 175 197 81 57 431 331 174 140 229 170 141 192 158 104 182 122 1,270 985 1,413 1,046 342 391 196 292 146 153 429 453 173 232 83 211 274 168 343 398 311 157 323 227 73 60 134 235 164 245 297 251 98 78 323 202 387 251
Angkutan Berat 453 125 176 221 401 157 146 131 213 101 174 57 18 90 32 46 124 32 19 375 421 105 92 29 108 60 53 110 188 104 74 15 55 59 55 10 67 91
Mobil Pribadi 3,137 739 1,403 1,657 3,060 534 780 430 787 416 1,299 491 269 819 310 421 161 275 290 3,171 3,536 711 393 124 1,092 745 264 630 987 529 594 174 227 297 530 153 580 755
DO-SOMETHING 2010 Angkutan Angkutan Umum Sedang 6,589 963 743 3,140 235 210 3,260 364 310 6,930 409 447 7,843 912 847 7,218 151 220 9,203 208 501 5,674 179 207 5,557 245 311 2,893 160 191 6,216 435 518 636 159 167 1,373 58 41 4,921 309 238 5,511 126 102 6,143 166 123 759 102 141 4,061 114 75 3,537 134 90 10,355 905 705 7,495 1,000 743 1,687 246 285 10,288 141 214 2,105 108 114 3,849 309 330 2,412 124 170 1,120 59 155 4,582 196 120 3,452 284 247 8,445 224 112 10,398 232 163 2,204 62 50 2,532 97 174 3,393 119 181 7,484 215 183 2,779 72 57 7,677 233 145 9,262 278 180
Motor
Sumber: Analisis, 2008
91
Angkutan Berat 319 89 124 158 282 112 103 94 152 92 156 52 13 64 23 32 91 22 13 266 297 76 67 22 77 43 39 78 133 74 52 11 40 43 39 7 47 64
Mobil Pribadi 6,809 2,358 3,810 4,229 10,198 1,512 2,065 1,174 2,200 475 1,784 540 577 2,301 835 1,371 678 743 684 8,810 9,937 1,715 1,048 283 2,593 1,569 646 1,687 2,524 1,446 1,843 291 579 1,010 1,483 373 1,591 2,111
Motor 25,161 8,484 13,712 14,981 36,162 15,141 19,395 11,507 21,607 4,308 6,191 1,909 2,030 8,425 9,361 13,911 2,920 9,394 7,528 40,320 45,559 7,398 10,369 2,534 11,057 6,312 2,788 10,197 15,324 8,852 21,836 5,121 6,694 9,406 17,832 4,080 19,942 26,797
DO-NOTHING 2015 Angkutan Angkutan Umum Sedang 2,113 1,397 796 522 1,279 784 1,467 938 3,216 1,756 542 368 938 425 502 268 990 568 286 148 1,039 370 393 142 296 101 1,054 550 592 204 553 243 405 94 363 189 515 212 3,292 1,486 3,207 2,039 1,045 525 670 303 619 105 1,014 648 393 311 312 127 737 347 1,046 578 871 268 740 360 161 51 280 229 443 330 943 411 267 103 815 325 878 490
Angkutan Berat 934 209 339 404 826 298 429 232 441 107 209 61 37 206 66 95 59 66 39 743 871 189 172 60 224 82 76 223 367 198 153 32 84 54 114 21 137 188
Mobil Pribadi 5,803 1,938 3,131 3,475 8,381 1,242 1,697 965 1,807 1,169 4,125 1,364 474 1,891 686 1,199 662 611 562 7,240 8,166 1,409 861 233 2,131 1,289 531 1,386 2,074 1,188 1,515 475 476 830 1,219 306 1,307 1,735
DO-SOMETHING 2015 Angkutan Angkutan Umum Sedang 20,676 1,823 1,200 6,972 654 429 11,268 1,051 644 12,311 1,206 771 29,717 2,643 1,443 303 12,442 446 15,938 771 350 9,456 413 220 17,756 813 467 11,476 452 271 14,941 1,593 816 4,980 579 294 1,668 243 83 6,924 866 452 7,693 487 168 11,649 505 210 2,715 400 91 7,720 299 155 6,187 423 175 33,134 2,705 1,221 2,636 1,675 37,439 6,080 858 432 8,521 550 249 2,082 509 86 9,086 833 532 5,187 323 256 2,291 257 104 8,379 606 285 12,593 859 475 7,274 716 220 17,944 608 296 4,209 198 87 5,501 230 188 7,730 364 271 14,654 775 337 3,353 220 85 16,388 670 267 22,021 722 403
Motor
Angkutan Berat 768 172 278 332 679 245 353 191 363 229 401 129 30 169 54 78 57 54 32 610 715 155 142 49 184 67 63 183 301 163 126 26 69 45 93 17 143 220
A.
Beban Emisi oleh Gas Karbonmonoksida (CO)
Beban emisi gas karbon monoksida (CO) merupakan beban emisi tertinggi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor di Kota Tangerang. Pada periode analisis yang sama, sebagian besar menunjukkan bahwa beban emisi CO akan lebih besar pada skenario do-nothing. Pada periode analisis 2010, Zona 9 dengan guna lahan permukiman, komersial dan industri, menjadi wilayah penerima beban emisi CO tertinggi. Namun pada periode analisis 2015, penerima beban emisi CO tertinggi adalah Zona 2 yang merupakan daerah permukiman dan komersial. Gambar IV.4 Perbandingan Beban Emisi CO/ Zona pada Setiap Skenario 1,000 900 800 700
kg/jam
600 500 400 300 200 100 0
1
6
7
8
2
39
24
21
23
22
27
15
25
26
28
31
16
37
34
9
3
4
12
11
10
19
38
13
5
14
30
29
18
17
33
32
35
36
ZONA 2006
CO (kg/jam)
ZONA Skenario 2006 DN2010 DS2010 DN2015 DS2015
DN2010
DS2010
DS2015
1
6
7
8
2
39
24
21
23
22
27
15
25
26
28
31
16
37
34
9
3
4
12
11
10
19
231.7 286.9 223.6 518.0 437.1
4.4 128.4 91.0 294.2 241.8
77.2 143.0 102.9 262.9 216.0
81.6 357.6 258.2 625.3 513.9
37.7 340.1 242.8 884.0 726.5
61.5 206.0 145.4 414.9 340.9
99.2 336.8 241.9 608.8 500.3
124.8 172.1 122.2 331.7 272.6
137.6 195.0 139.6 364.3 299.4
262.4 72.2 66.3 79.2 174.7
51.4 207.5 195.3 314.9 614.9
175.4 62.8 49.6 72.9 84.1
226.9 81.7 70.1 134.1 110.2
12.1 201.2 146.9 407.4 334.8
132.0 163.5 116.1 324.8 266.9
144.1 183.1 130.0 406.2 349.1
87.2 145.6 105.7 393.9 389.3
150.2 123.1 87.7 232.6 191.2
237.4 141.4 102.9 238.5 196.0
21.6 442.7 318.4 836.2 687.1
99.7 290.9 206.5 561.3 461.3
121.3 124.6 90.9 170.0 139.7
26.5 303.7 215.1 599.4 492.5
49.1 75.4 54.2 133.0 109.3
75.6 174.3 126.3 283.1 232.7
16.9 188.7 139.1 247.2 203.1
Sumber: Analisis, 2008
92
DN2015
38 93.5 56.1 40.6 89.8 73.8
13
5
14
30
29
18
17
33
32
35
36
110.4 155.4 110.4 300.9 247.3
41.7 144.3 104.1 231.0 189.8
159.5 284.2 201.2 564.9 464.2
201.2 289.1 204.4 619.8 509.4
44.4 109.5 81.5 215.3 189.9
10.9 59.0 41.5 121.5 99.8
55.2 96.0 68.4 214.1 175.9
28.6 289.6 208.9 567.4 466.3
26.0 110.0 79.7 196.6 161.6
54.6 238.8 170.5 455.1 374.6
12.3 265.3 188.5 522.5 430.3
B.
Beban Emisi oleh Gas Sulfurdioksida (SO2)
Sama halnya dengan beban emisi oleh gas CO, maka pada periode analisis yang sama, sebagian besar menunjukkan bahwa beban emisi SO2 akan lebih besar pada skenario do-nothing.
Pada periode analisis 2010, Zona 16 menjadi wilayah penerima beban emisi SO2
tertinggi. Namun pada periode analisis 2015, penerima beban emisi SO2 tertinggi adalah Zona 2 yang merupakan daerah permukiman dan komersial. Gambar IV.5 Perbandingan Beban Emisi SO2/ Zona pada Setiap Skenario 14.00
12.00
kg/jam
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
1
6
7
8
2
39
24
21
23
22
27
15
25
2006
SO2 (kg/jam)
ZONA Skenario 2006 DN2010 DS2010 DN2015 DS2015
1 5.1 6.0 4.8 10.1 8.7
6
7
0.4 2.7 1.9 5.0 4.1
1.2 2.4 1.7 4.4 3.6
8
2
1.7 6.7 4.9 11.2 9.2
0.8 6.8 4.9 12.5 10.3
39 1.0 3.0 2.1 5.2 4.3
26
28
31
16
24 1.8 7.0 5.1 9.1 7.5
21 2.7 3.1 2.2 4.4 3.6
23 2.2 4.2 3.0 6.7 5.5
22 5.0 1.8 1.5 1.6 2.6
27 1.4 6.8 5.7 7.0 11.2
15 2.8 2.7 2.0 2.9 2.7
37
34
ZONA
DN2010
25 4.2 1.0 0.8 2.2 1.8
26 0.4 4.0 2.9 7.8 6.4
28 1.5 1.9 1.4 3.7 3.1
31 1.9 2.1 1.5 3.9 3.4
9
16 1.3 8.5 6.3 6.8 6.7
37 1.7 1.2 0.9 2.4 1.9
Sumber: Analisis, 2008
93
3
4
12
11
10
DS2010
34 3.0 1.5 1.1 2.9 2.4
19
38
13
5
14
30
DN2015
9 0.4 6.9 5.0 11.7 9.7
3
4
1.1 4.6 3.3 9.2 7.5
1.5 4.9 3.6 7.1 5.8
12 1.7 4.3 3.1 7.5 6.1
11 0.6 1.8 1.3 2.8 2.3
10 2.3 3.2 2.3 5.1 4.2
29
18
17
33
32
35
36
DS2015
19 0.4 2.7 2.0 3.2 2.6
38 1.1 1.8 1.3 1.7 1.4
13 1.5 2.1 1.5 4.5 3.7
5 1.4 2.5 1.8 4.3 3.5
14 2.4 4.2 3.0 8.5 7.0
30 3.9 2.9 2.1 5.7 4.7
29 1.2 1.4 1.1 2.2 2.1
18 0.2 0.5 0.3 1.0 0.8
17 1.3 1.5 1.1 2.4 2.0
33 0.4 3.8 2.7 7.5 6.2
32 0.4 1.3 0.9 2.2 1.8
35 0.8 2.4 1.8 4.6 4.1
36 0.9 2.6 1.8 5.2 4.8
C.
Beban Emisi oleh Gas Natriumdioksida (NO2)
Distribusi beban emisi NO2 memiliki pola yang tipikal dengan beban emisi oleh gas sulfurdioksida (SO2). Pada periode analisis 2010, Zona 16 juga menjadi wilayah penerima beban emisi tertinggi. Sama halnya dengan beban emisi oleh gas sulfurdioksida (SO2), pada periode analisis 2015, penerima beban emisi NO2 tertinggi .
Gambar IV.6 Perbandingan Beban Emisi NO2/ Zona pada Setiap Skenario 16 14 12
kg/jam
10 8 6 4 2 0 1
6
7
8
2
39
24
21
23
22
27
15
25
26
28
31
16
37
34
9
3
4
12
11
10
19
38
13
5
14
30
29
18
17
33
32
35
18
36
17
33
32
35
36
6.3 6.8 4.9 11.4 9.3
1.9 17.5 12.8 35.0 28.7
1.9 6.1 4.4 10.5 8.7
3.8 11.5 8.3 21.5 19.0
3.9 12.0 8.5 24.0 21.8
ZONA 2006
NOx (kg/jam)
ZONA Skenario 2006 DN2010 DS2010 DN2015 DS2015
DN2010
DS2010
9.26
1
6
7
8
2
39
24
21
23
22
27
15
25
26
28
31
16
37
34
9
3
4
12
11
10
19
24.4 28.8 23.3 47.7 40.9
1.9 12.6 9.0 24.4 20.1
6.0 11.5 8.3 21.5 17.7
7.9 32.2 23.3 54.3 44.6
3.7 32.7 23.5 63.0 51.7
4.8 13.5 9.6 23.9 19.6
8.5 31.5 23.0 41.3 33.9
13.1 13.7 9.9 20.2 16.6
10.7 18.7 13.6 30.3 24.9
23.8 7.9 6.5 7.2 11.6
6.5 30.8 26.0 33.2 54.0
13.7 12.0 9.2 13.2 12.6
20.2 5.3 4.2 10.9 9.0
1.7 19.0 13.7 37.4 30.7
6.9 8.9 6.4 17.6 14.5
8.6 9.9 7.1 19.0 16.7
6.0 36.7 27.3 33.3 33.1
7.8 5.7 4.1 11.0 9.0
13.8 7.3 5.3 13.8 11.4
1.7 33.3 24.0 57.8 47.5
5.2 22.5 16.1 44.3 36.4
6.9 22.2 16.4 32.3 26.6
7.4 19.6 14.1 34.4 28.2
2.6 7.9 5.8 12.8 10.5
10.0 15.2 11.1 24.6 20.2
2.0 13.6 10.0 16.2 13.4
Sumber: Analisis, 2008
94
DN2015
38 4.9 8.0 5.9 8.1 6.7
13
5
14
30
29
6.8 10.1 7.2 21.1 17.3
6.6 11.7 8.5 20.1 16.5
11.9 19.8 14.1 39.9 32.8
18.6 13.7 9.8 26.9 22.1
5.5 6.8 5.2 10.5 10.2
0.8 2.3 1.6 4.8 3.9
D.
Beban Pencemaran oleh Partikulat (PM10)
Berbeda dengan beban emisi dari gas pencemar, pada seluruh periode analisis, beban emisi tertinggi untuk partikulat diterima oleh Zona 9 yang memiliki guna lahan sebagai permukiman, komersial dan industri.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya volume
kendaraan angkutan barang sedang dan angkutan barang berat yang memiliki faktor emisi paling tinggi untuk PM10. Gambar IV.7 Perbandingan Beban Emisi PM10/ Zona pada Setiap Skenario 16 14 12
kg/jam
10 8 6 4 2 0 1
6
7
8
2
39
24
21
23
22
27
15
25
26
28
31
16
37
34
9
3
4
12
11
10
19
38
13
5
14
30
29
18
17
33
32
35
36
33
32
35
ZONA 2006
PM10 (kg/jam)
ZONA Skenario 2006 DN2010 DS2010 DN2015 DS2015
1 4.9 5.8 4.4 11.1 9.3
6
7
0.2 2.7 1.9 5.5 4.5
1.5 2.6 1.8 4.9 4.0
8
2
1.7 6.8 4.9 12.0 9.9
0.7 6.7 4.8 15.2 12.5
39 1.2 4.5 3.2 8.9 7.3
DN2010
24 1.8 7.6 5.5 13.8 11.3
21 2.4 4.0 2.9 7.3 6.0
23 2.6 4.7 3.4 8.9 7.3
22 5.0 1.9 1.7 2.0 3.9
27 1.1 5.4 4.8 7.1 12.3
15 3.3 1.9 1.4 2.3 2.3
DS2010
25 4.4 1.3 1.0 2.5 2.0
26 0.4 4.0 2.9 8.2 6.7
28 2.8 3.3 2.3 6.7 5.5
31 3.1 3.6 2.6 7.7 6.5
16 1.7 6.3 4.7 7.6 7.5
37 3.1 2.4 1.7 4.7 3.8
Sumber: Analisis, 2008
95
34 4.8 2.7 2.0 4.9 4.0
DN2015
9
3
0.4 8.3 6.0 15.6 12.9
2.1 5.4 3.8 10.9 8.9
4
12
2.5 3.3 2.4 5.4 4.4
1.2 6.5 4.6 12.7 10.4
11 1.0 1.9 1.4 3.5 2.9
10 2.2 3.3 2.4 5.6 4.6
9.26
19 0.4 3.0 2.2 3.9 3.2
38 1.9 1.4 1.0 1.9 1.6
13 2.4 3.1 2.2 6.2 5.1
5
14
30
1.1 2.9 2.1 5.1 4.2
2.9 5.9 4.2 11.9 9.7
4.0 5.8 4.1 12.1 9.9
29 1.0 2.1 1.5 4.1 3.5
18 0.2 1.2 0.8 2.4 2.0
17 1.2 2.1 1.5 4.2 3.4
0.4 5.9 4.3 12.0 9.8
0.5 2.2 1.6 4.0 3.3
0.9 4.7 3.4 9.2 7.8
36 0.5 5.2 3.7 10.4 9.0
IV.2.3 Analisa Kualitas Udara di Kota Tangerang dengan ISPU Beban pencemar yang diterima oleh suatu wilayah gambaran mengenai
belum bisa memberikan
sehat atau tidaknya kualitas udara di wilayah tersebut.
Untuk mengetahui layak tidaknya kualitas udara di suatu wilayah diperlukan analisa mengenai indeks standar pencemaran udara. ISPU dihitung berdasarkan konsentrasi suatu jenis zat pencemar yang ada di atmosfir wilayah tersebut.
Perhitungan konsentrasi zat pencemar di atmosfir dilakukan dengan asumsi yang diambil berdasarkan data pemantauan kualitas udara ambient di Kota Tangerang pada tahun 2007 (Status Lingkungan Hidup Kota Tangerang, Dinas Lingkungan Hidup 2007), bahwa: 1. Pencampuran pencemar terjadi hingga ketinggian 1,5 km di atas tanah 2. Jumlah angin tenang sebesar 13% 3. Kecepatan angin rata-rata sebesar 1,8 km/jam
Analisis konsentrasi zat pencemar di masing-masing zona menunjukkan bahwa hanya beban emisi dari jenis pencemar CO yang memiliki konsentrasi yang cukup tinggi yang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas udara di Kota Tangerang. Sedangkan jenis pencemar lain seperti SO2, PM10, dan NOx memiliki konsentrasi yang cukup rendah sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai ISPU. Dengan demikian analisa kualitas udara di Kota Tangerang yang dilakukan berdasarkan ISPU hanya akan mempertimbangkan faktor konsentrasi CO di atmosfir.
Berdasarkan analisis mengenai konsentrasi zat pencemar maka dapat dilakukan perhitungan nilai ISPU. Nilai ISPU diperoleh dengan memperhitungkan penyerapan zat pencemar oleh hutan kota yang didasarkan pada
klasifikasi
luasan RTH, yaitu luas RTH eksisting, luas RTH 30% dan luas RTH maksimal. Hasil analisis peta digital yang menunjukkan luas RTH berdasarkan masingmasing klasifikasi tersebut disajikan pada Tabel IV.15 berikut ini.
96
ZONA
Tabel IV.16 Analisis Luasan RTH Eksisting, RTH Maksimal dan RTH 30% PRESENTASE LUAS PER ZONA (%) RTH LAHAN LAHAN EKSISTING KOSONG MAKSIMAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
4.90 5.77 0.00 20.41 5.61 8.23 6.37 6.19 2.04 0.27 4.25 2.60 12.89 7.95 2.36 1.13 19.16 11.37 6.59 6.65 0.34 5.35 9.40 3.40 1.46 2.76 2.25 4.30 -
0.30 2.76 6.15 4.50 41.09 6.26 10.84 17.65 2.57 0.37 1.15 0.00 29.79 13.54 20.04 6.28 39.65 23.87 7.41 2.27 0.60 3.22 32.86 12.62 14.64 51.30 30.30 22.05 29.86 20.01 21.61 13.71 19.26 23.86 0.07
5.20 8.53 6.15 24.90 46.70 14.49 17.21 23.85 4.60 0.37 1.15 0.27 34.04 16.13 32.93 14.23 42.01 23.87 7.41 2.27 1.73 22.38 44.23 19.21 21.29 51.64 35.64 31.45 33.26 21.48 24.37 15.96 19.26 28.16 0.07
LUAS PER ZONA (Ha) LUAS RTH LAHAN RTH ZONA EKSISTING KOSONG MAKSIMAL 191.69 487.98 436.90 550.60 474.00 233.13 199.46 466.27 584.40 335.70 304.08 477.60 351.19 484.50 342.66 648.77 866.21 140.16 314.17 290.20 161.00 607.48 653.10 356.67 739.41 866.92 492.76 542.93 609.71 649.47 517.53 566.82 521.76 445.33 494.40 355.14 311.16 193.80
9.39 28.13 0.02 112.36 26.59 19.18 12.70 28.88 11.90 1.31 14.91 12.59 44.16 51.59 20.45 7.38 68.33 84.06 57.14 32.76 1.83 32.61 61.05 17.60 8.30 14.41 10.02 15.26 -
0.57 13.47 26.85 24.75 194.78 14.59 21.62 82.31 15.00 1.23 3.51 0.00 104.63 65.58 68.68 40.75 343.47 33.46 23.28 13.79 3.93 11.49 243.00 109.38 72.15 278.53 184.71 143.21 154.56 113.44 112.77 61.05 95.21 84.75 0.13
1.97 4.97 4.43 5.76 5.21 2.48 2.17 4.90 5.89 3.36 3.05 4.78 3.85 5.01 3.76 6.63 9.08 1.64 3.22 2.90 1.61 6.10 6.55 3.79 7.84 8.86 5.14 5.95 6.45 6.81 5.51 5.88 5.46 4.61 5.14 3.83 3.11 1.94
RTH 30% 57.51 146.394 131.07 165.18 142.2 69.939 59.838 139.881 175.32 100.71 91.224 143.28 105.357 145.35 102.798 194.631 259.863 42.048 94.251 87.06 48.3 182.244 195.93 107.001 221.823 260.076 147.828 162.879 182.913 194.841 155.259 170.046 156.528 133.599 148.32 106.542 93.348 58.14
Sumber: Analisis, 2008
Pemetaan ISPU dilakukan dengan mengikuti ketentuan dari Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara sebagai berikut: Tabel IV.17 Kategori ISPU Warna
Nilai ISPU 0 – 50 51 -100 101 - 200 201 – 300 >300
Kategori Baik Sedang Tidak Sehat Sangat Tidak Sehat Berbahaya
Sumber: Kep. Bapedal 107/1997
Dari gambar berikut dapat dilihat bahwa pada periode analisis yang sama, terjadi perbaikan ISPU jika diterapkan skenario do-something. Semakin panjang periode analisis, semakin tinggi jumlah zona yang masuk kategori tidak sehat. Penerapan klasifikasi luasan RTH yang berbeda tidak selalu membawa pada ISPU yang lebih baik.
97
DS-2010
DN-2010
DS-2010
DN-2010
2006
Gambar IV.8 Perbandingan Sebaran Nilai ISPU dengan Variabel Luasan RTH dan Skenario Pengembangan Jaringan Jalan Luas RTH Eksisting Luas RTH Maksimal Luas RTH 30% Area
Sumber: Analisis, 2008 Keterangan: : Kategori Baik : Kategori Sedang : Kategori Tidak Sehat : Kategori Sangat Tidak Sehat : Kategori Berbahaya
98
IV.2.4 Analisa Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Beban emisi pencemar yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor menyebabkan penurunan kualitas udara yang cukup signifikan di Kota Tangerang. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk menurunkan tingkat pencemaran di Kota Tangerang, untuk beberapa zona diperlukan ruang terbuka hijau dengan presentase luasan yang sangat tinggi. Bahkan untuk zona tertentu yang memiliki volume bangkitan dan tarikan yang cukup tinggi, presentase kebutuhan akan RTH dapat mencapai lebih dari 50% luas zona itu sendiri.
Pada tahun 2006, hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mencapai nilai ISPU 50 (kategori baik) ada 3 zona dari total 38 zona yang memiliki presentase kebutuhan RTH lebih dari 50% luas zona itu sendiri. Kebutuhan ini semakin meningkat pada periode analisis yang lebih panjang. Penerapan skenario dosomething dengan kinerja jaringan jalan terbaik pada tahun 2010 dan 2015, cukup signifikan dalam menurunkan kebutuhan akan RTH.
Tabel IV.18 Jumlah Zona dengan Klasifikasi Presentase Kebutuhan RTH % Luas RTH 0-30 31-50 >50 >50 % Luas RTH 0-30 31-50 >50 >50
TARGET ISPU 50 (KATEGORI BAIK) 2006 DN2010 DS2010 DN2015 34 21 33 11 1 6 2 1 3 11 3 26 TARGET ISPU 100 (KATEGORI SEDANG) 2006 DN2010 DS2010 DN2015 36 36 37 22 2 2 1 16
DS2015 12 3 23 DS2015 27 1 10
Sumber: Analisis, 2008
Kemudian dicoba untuk menurunkan target ISPU dari nilai 50 (kategori baik) menjadi nilai ISPU 100 (kategori sedang). Hasil analisis menunjukkan bahwa bahkan pada tahun 2006 saja sudah terdapat 2 zona yang membutuhkan luasan lahan untuk RTH sebesar lebih dari 50% dari luas zona itu sendiri. Kebutuhan ini semakin meningkat sepanjang periode analisis walaupun telah diterapkan skenario do-something pada jaringan jalan.
99
Dari kedua target nilai ISPU yang akan dicapai tersebut, kemudian dilakukan pemilahan zona mana saja yang memungkinkan untuk mencapai target ISPU kategori baik dan zona mana saja yang hanya mampu mencapai target ISPU kategori sedang. Analisis dilakukan dengan metode tumpang susun peta target nilai ISPU dan luasan RTH yang dibutuhkan.
Zona yang memiliki kebutuhan luas RTH >50% tetapi hanya mampu mencapai target nilai ISPU kategori sedang, memiliki makna bahwa untuk mengatasi masalah pencemaran udara di zona tersebut tidak dapat hanya dicapai dengan RTH saja. Hal ini disebabkan sangat kecilnya kemungkinan untuk melakukan pengembangan RTH di suatu zona hingga lebih dari 50%. Kota Tangerang yang saat ini termasuk pada kategori kota metropolitan karena berpenduduk lebih dari 1 juta orang, tentunya memiliki prioritas yang lebih tinggi untuk menyediakan ruang bagi aktivitas lain seperti permukiman dan komersial sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembangan RTH hingga lebih dari 50% luas area untuk mencapai standar kualitas udara yang sehat akan sulit diterapkan. Apalagi bila mengamati ketersediaan lahan yang ada saat ini, maka kemungkinan pengembangan luas RTH akan tampak semakin sulit dilakukan. Hal ini disebabkan dari 38 zona yang dianalisis, hanya ada 5 zona yang memiliki presentase lahan kosong lebih dari 30% yang mungkin dimanfaatkan untuk pengembangan RTH, yaitu Zona 5, Zona 17, Zona 26, Zona 29, dan Zona 30. Mayoritas zona memiliki lahan kosong kurang dari 10% dari luas area (18 zona) dan ada 7 zona yang memiliki lahan kosong sebesar 10-20% dan 8 zona yang memiliki lahan kosong sebesar 20-30% dari luas area.
100
Gambar IV.9 Perbandingan Kebutuhan Luas RTH untuk Mencapai Target Nilai ISPU Keterangan: Kebutuhan Luas RTH (%) 0 - 30 31 - 50 > 50
Target Nilai ISPU 0-50
: Baik
50-100: Sedang
Tahun 2006
Skenario Do-nothing Tahun 2010
Skenario Do-nothing Tahun 2015 Keterangan: Kebutuhan Luas RTH (%) 0 - 30 31 - 50 > 50
Target Nilai ISPU 0-50
: Baik
50-100: Sedang
Tahun 2006
Skenario Do-something Tahun 2010
Sumber: Analisis, 2008
101
Skenario Do-something Tahun 2015
IV.2.5 Analisis Faktor Dominan dalam Peningkatan Kualitas Udara Setelah melakukan berbagai analisis di atas, maka kesimpulan utama yang bisa diambil adalah bahwa beberapa zona di Kota Tangerang akan mengalami masalah pencemaran udara di masa yang akan datang. Masalah ini terutama diakibatkan oleh tingginya produksi bangkitan dan tarikan perjalanan. Hal ini ditandai dengan zona yang memiliki ISPU kategori sangat tidak sehat.
Perlu digarisbawahi bahwa perhitungan nilai ISPU yang dilakukan pada studi ini hanya mempertimbangkan emisi dari kendaraan bermotor. Pada kenyataannya sumber emisi pencemaran udara masih banyak jenisnya, baik dari sumber domestik maupun industri. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan banyaknya industri di Kota Tangerang, maka dapat diperkirakan bahwa beban emisi nyata yang diterima oleh setiap zona jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil analisis pada studi ini.
Maka untuk mengatasi permasalahan kualitas udara yang rendah di Kota Tangerang, perlu dianalisis faktor apa yang paling berpengaruh terhadap baikburuknya kualitas udara sehingga dapat diambil langkah yang tepat dalam memecahkan masalah tersebut. Perlu diketahui apakah luasan RTH dapat memberikan pengaruh yang cukup berarti atau ada hal lain yang justru lebih memiliki peran dalam peningkatan kualitas udara di Kota Tangerang. Untuk mengetahui hal tersebut akan dibahas mengenai keterkaitan guna lahan dengan kualitas udara, pengaruh pengembangan RTH dan pengaruh pengembangan skenario jaringan jalan terhadap peningkatan kualitas udara.
102
A. Keterkaitan Guna Lahan dengan Kualitas Udara di Kota Tangerang Analisis keterkaitan guna lahan dengan kualitas udara di Kota Tangerang dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) antara peta guna lahan dengan peta perubahan nilai ISPU. Guna lahan masing-masing zona dianggap tetap, sehingga diasumsikan tidak aka nada perubahan guna lahan pada selama periode analisis. Nilai ISPU menjadi variabel yang akan dianalisis. Nilai ISPU yang diambil adalah nilai ISPU selama periode analisis dengan skenario pengembangan do-nothing. Skenario do-something tidak diambil untuk dianalisis karena penerapan skenario do-something berarti ada intervensi oleh variabel lain yaitu pengembangan jaringan jalan, sehingga keterkaitan nilai ISPU secara langsung dengan guna lahan akan sulit diamati.
Berdasarkan hasil analisis, dari 38 zona yang dibentuk ada 11 zona memiliki guna lahan permukiman, 8 zona dengan guna lahan permukiman dan komersial, 11 zona dengan guna lahan permukiman dan industri serta 11 zona dengan guna lahan campuran (permukiman, komersial dan industri). Selama periode analisis, terjadi perubahan nilai ISPU pada masing-masing kategori guna lahan. Perubahan tersebut disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel IV.19 Perubahan Jumlah Zona Terhadap Nilai ISPU selama Periode Analisis Berdasarkan Kategori Guna Lahan GUNA LAHAN 2006 ISPU
I
sehat sedang tidak sehat sangat tidak sehat berbahaya Jumlah Zona
11 11
I, II
I, III
5 2 1
9 1
-
1
8
11
GUNA LAHAN 2010
I, II, III 8 8
I
I, II 6 5
11
GUNA LAHAN 2015
I, III
I, II, III
3 4 1
5 5 1
5 3
8
11
-
8
Sumber: Analisis, 2008 Keterangan: I = Permukiman, II = Komersial, III = Industri
103
I
I, II 2 4 5
11
I, III
2 1 3 2
3 3 4 1
8
8
I, II, III 2 4 2 8
Gambar IV.13 Perbandingan Perubahan Presentase Nilai ISPU pada Zona dengan Guna Lahan Tertentu Permukiman Permukiman, Komersial Permukiman, Industri Permukiman, Komersial, Industri 0%
13%
0%
0%
0%
9%
0%
0%
9%
2006
25% 62%
82%
100%
100%
0% 0%
0%
0%
13%
0%
9%
0%
0%
37%
46%
DN-2010
45% 55%
0%
0%
0%
38%
45%
62%
50%
0%
0% 18%
25%
0%
9%
25%
27%
0% 25%
25%
DN-2010
46% 12%
36%
27%
38%
50%
Sumber: Analisis, 2008 Keterangan: : Kategori Baik : Kategori Sedang : Kategori Tidak Sehat : Kategori Sangat Tidak Sehat : Kategori Berbahaya
107
37%
Perubahan nilai ISPU pada zona yang memiliki guna lahan permukiman cukup signifikan dan secara keseluruhan jumlah zona dengan kategori ISPU yang lebih buruk selalu meningkat dengan rincian sebagai berikut: Seluruh zona memiliki kategori ISPU hijau pada tahun 2006 (100%). Jumlah zona kategori ISPU hijau ini menurun sebesar 36% pada tahun 2010 manjadi 55% dan terus menurun menjadi 18% pada tahun 2015. Pada tahun 2010 jumlah zona kategori biru bertambah menjadi 45% dan terjadi penurunan jumlah zona kategori hijau menjadi 55% .Seluruh zona dengan ISPU kategori biru berubah menjadi kategori kuning pada tahun 2015, ditambah dengan 1% zona kategori hijau yang langsung menurun menjadi zona kategori kuning. Zona kategori hijau hanya tersisa 18% pada tahun 2015. Hingga tahun 2015 tidak ada zona dengan guna lahan permukiman yang memiliki ISPU dengan kategori merah (sangat tidak sehat)
Frekuensi perubahan nilai ISPU pada zona yang memiliki guna lahan permukiman dan komersial lebih tinggi dan secara keseluruhan jumlah zona dengan kategori ISPU yang lebih buruk selalu meningkat dengan rincian sebagai berikut: Sebesar 24% zona dengan kategori ISPU hijau pada tahun 2006 (67%) berubah menjadi nilai ISPU kategori biru pada periode analisis berikutnya sehingga diperoleh perubahan presentase zona kategori biru dari 25% pada 2006 menjadi 50% pada tahun 2015 Dapat disimpulkan bahwa pertambahan jumlah zona kategori biru berasal dari zona ISPU kategori hijau. Seluruh zona dengan ISPU kategori kuning tahun 2006 tidak mengalami perubahan ISPU menjadi lebih buruk pada tahun 2010, tetapi pada tahun 2015 seluruhnya berubah menjadi zona kategori merah (berbahaya) bahkan beberapa zona kategori biru ada yang melonjak langsung berubah menjadi kategori merah (12%) sehingga total zona kategori merah mencapai 25%. Pad tahun 2015 mayoritas zona yang memiliki guna lahan permukiman dan komersial memiliki kualitas udara dengan kategori ISPU kuning (tidak sehat) yaitu sebesar 38%.
108
Pada guna lahan permukiman dan industri, frekuensi perubahan nilai ISPU pada lebih rendah dibandingkan dengan guna lahan permukiman dan komersial dengan rincian sebagai berikut: Seluruh zona dengan ISPU hijau pada tahun 2006 (27%) berubah menjadi zona dengan ISPU biru pada tahun 2015 (37%). Pada tahun 2015, jumlah zona dengan ISPU biru menurun disebabkan oleh terjadinya peningkatan zona dengan nilai ISPU yang lebih buruk (ISPU kuning atau ISPU merah) Zona dengan ISPU kategori hijau terus menurun jumlahnya selama periode analisis yang disebabkan adanya peningkatan zona dengan nilai ISPU yang lebih buruk. Ada sedikit pengecualian dalam guna lahan permukiman dan industri ini yaitu pada tahun 2010 justru ada satu zona yang memiliki kategori ISPU merah mengalami perbaikan nilai ISPU menjadi kategori kuning. Jumlah zona dengan ISPU merah terbentuk kembali pada tahun 2015 tetapi dengan jumlah yang sama yaitu sebesar 9% (satu zona). Mayoritas zona memiliki kualitas udara tidak sehat (kuning) yaitu sebesar 37%.
Pada guna lahan permukiman, komersial dan industri (campuran), frekuensi perubahan nilai ISPU lebih rendah dibandingkan dengan guna lahan permukiman dengan rincian sebagai berikut: Seluruh zona memiliki ISPU kategori hijau pada tahun 2006 berubah 38% menjadi zona dengan ISPU biru pada tahun 2010 sehingga hanya tersisa 62% zona dengan ISPU kategori hijau. Jumlah zona dengan kategori ini terus menurun menjadi 25% pada tahun 2015. Zona dengan ISPU kategori kuning (tidak sehat) baru terbentuk pada tahun 2015 sebesar 25%, lebih sedikit dibandingkan dengan zona yang memiliki guna lahan permukiman yaitu sebesar 46%.
Dari uraian diatas diperoleh gambaran bahwa zona dengan guna lahan permukiman saja dan zona dengan guna lahan campuran (permukiman, komersial dan industri) merupakan zona yang memiliki ISPU dengan kategori yang paling baik, hal ini ditandai dengan tidak terbentuknya zona dengan kategori merah (sangat tidak sehat) hingga tahun 2015. Zona dengan guna lahan campuran
109
merupakan zona yang mengalami paling sedikit penurunan kualitas udara karena selain tidak memiliki zona kategori merah hingga akhir periode analisis, juga memiliki zona dengan ISPU kategori kuning lebih sedikit (25%) dibandingkan dengan zona dengan guna lahan permukiman yang juga tidak membentuk zona dengan ISPU kategori merah, tetapi memiliki lebih banyak zona dengan ISPU kategori kuning (46%).
Dengan demikian hasil analisis menunjukkan adanya indikasi bahwa guna lahan permukiman dan komersial merupakan zona yang paling cepat mengalami penurunan kualitas udara, yang kemudian diikuti oleh zona dengan guna lahan permukiman dan industri. Hal ini kemungkinan besar disebabkan tingginya aktivitas yang terjadi pada kedua jenis kategori guna lahan tersebut sehingga mobilitas penduduk di daerah dengan guna lahan tersebut juga tinggi. Tingginya mobilitas penduduk menyebabkan kenaikan penggunaan kendaraan yang meningkatkan beban emisi. Pada akhirnya aktivitas yang tinggi ini menyebabkan penurunan kualitas udara yang nyata.
Zona dengan guna lahan permukiman memiliki kemungkinan yang lebih kecil terhadap penurunan kualitas udara. Hal ini disebabkan aktivitas yang terjadi di daerah permukiman tidak terlalu tinggi sehingga mobilitas menjadi rendah. Mobilitas rendah mengakibatkan penggunaan kendaraan juga rendah sehingga beban emisi tidak terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas udara tidak terjadi terlalu cepat.
Hal yang menarik terjadi pada zona dengan guna lahan campuran. Aktivitas yang terjadi pada guna lahan campuran sebenarnya cukup tinggi sehingga seharusnya penurunan kualitas udara terjadi dengan cepat pula. Namun dari hasil analisis diperoleh bahwa justru zona dengan guna lahan campuran paling sedikit mengalami penurunan kualitas udara. Hal ini ditandai dengan presentase zona dengan ISPU kategori kuning yang paling kecil (25%) dan zona dengan ISPU kuning ini baru terbentuk pada tahun 2015, seperti yang terjadi pada zona dengan guna lahan permukiman yang memiliki aktivitas lebih rendah. Ada indikasi
110
bahwa dengan guna lahan campuran, walaupun aktivitas yang terjadi cukup tinggi, namun tidak seluruh mobilitas penduduk
menyebabkan terjadinya
peningkatan pemakaian kendaraan bermotor. Kemungkinan besar, jarak yang tidak terlalu jauh untuk melakukan seluruh aktivitas dan menggunakan berbagai fasilitas karena bisa diperoleh pada satu zona (permukiman, komersial, industri) maka kebutuhan perjalanan tidak perlu lagi diakomodir dengan kendaraan bermotor.
B. Pengaruh RTH terhadap Peningkatan Kualitas Udara Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah RTH memang memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan kualitas udara di Kota Tangerang. Perbaikan ISPU diharapkan terjadi dengan adanya peningkatan luasan RTH dari luas eksisting menjadi luas maksimal dan akhirnya luas 30% dari area suatu zona. Tingkat pengaruh RTH terhadap peningkatan kualitas udara dilakukan dengan menghitung frekuensi terjadinya perbaikan ISPU dari satu kategori yang lebih buruk ke kategori yang lebih baik pada suatu zona.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada masing-masing skenario, penerapan luasan RTH yang berbeda-beda menyebabkan terjadinya perbaikan nilai ISPU hanya sebanyak 14 kali dari total 380 peluang kejadian atau hanya sebesar 3,68%. Perlu diingat bahwa jenis RTH yang digunakan dalam analisis ISPU ini adalah hutan kota yang memiliki daya serap tertinggi terhadap pencemar di udara. Pada kenyataannya sangat tidak mungkin mengembangkan seluruh RTH di suatu kota dalam bentuk hutan kota, sehingga tingkat penyerapan pencemar aktual akan lebih rendah dibandingkan dengan hasil analisis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh RTH terhadap peningkatan kualitas udara juga akan semakin rendah.
111
ZONA
Tabel IV.20 Perbandingan Nilai ISPU dengan Variabel Klasifikasi Luas RTH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
NILAI ISPU 2006 EKSISTING MAKSIMAL 150.59 7.33 25.78 19.90 8.58 42.17 18.25 3.68 25.43 18.24 6.20 34.49 36.57 54.70 13.24 6.63 8.76 6.07 48.60 208.32 25.59 16.88 67.19 5.09 28.65 9.15 35.99 22.78 4.85 5.34 50.74 13.31 2.81 46.75 33.96 35.83
150.48 6.66 24.28 18.81 39.53 13.95 3.05 25.34 17.96 6.20 27.22 33.27 49.81 11.71 2.93 4.26 48.60 208.32 25.04 16.74 66.40 2.01 25.07 28.60 17.40 0.46 45.46 9.96 40.92 33.96 35.81
30% 141.83 1.41 18.45 17.56 2.62 36.41 12.44 18.11 10.92 28.20 29.88 50.53 7.86 1.43 41.27 204.02 18.27 9.84 64.54 22.95 1.91 29.97 17.75 44.09 6.54 40.48 26.64 28.51
DN 2010 EKSISTING MAKSIMAL 197.06 77.34 75.23 20.59 33.02 60.21 79.47 85.14 85.09 58.67 28.00 71.78 48.97 65.65 17.56 23.41 11.95 47.53 67.86 67.00 50.65 36.27 58.00 21.21 27.98 25.44 35.87 22.72 52.28 29.56 23.19 57.36 29.95 60.04 60.64 38.10 20.36 128.73
196.96 76.67 73.73 19.50 22.99 58.69 76.83 80.83 84.46 58.58 27.72 71.78 41.69 62.34 12.67 21.88 2.27 41.70 66.05 67.00 50.65 35.72 57.85 20.42 19.96 22.36 32.30 10.20 44.89 24.18 15.90 52.48 24.67 56.69 55.94 32.28 20.36 128.71
30% 188.31 71.43 67.90 18.25 27.07 54.90 73.70 79.33 78.27 51.35 20.68 64.52 42.68 58.96 13.38 18.03 5.20 40.20 60.54 59.68 43.33 28.95 50.95 18.56 23.43 19.73 30.17 15.48 46.26 24.53 16.70 50.40 23.30 53.27 53.32 31.83 13.04 118.27
EKSISTING
DS 2010 MAKSIMAL
186.57 54.81 53.41 13.67 23.45 42.08 56.72 61.05 61.07 42.53 20.13 50.81 34.49 46.28 13.21 16.46 8.35 33.45 50.03 47.56 46.54 25.97 41.58 17.52 19.68 23.85 25.00 16.87 36.58 20.33 16.57 41.28 21.61 42.71 43.08 26.85 14.74 84.80
143.61 54.13 51.91 12.57 13.42 40.55 54.08 56.75 60.44 42.44 19.85 50.81 27.22 42.98 8.32 14.93 27.63 48.22 47.56 46.54 25.42 41.43 16.73 11.66 20.77 21.42 4.35 29.18 14.95 9.28 36.39 16.34 39.36 38.38 21.03 14.74 84.78
30% 134.96 48.89 46.09 11.33 17.50 36.76 50.95 55.24 54.24 35.21 12.81 43.56 28.21 39.59 9.03 11.08 1.60 26.13 42.71 40.24 39.22 18.65 34.53 14.87 15.13 18.14 19.30 9.63 30.56 15.30 10.08 34.31 14.97 35.94 35.76 20.58 7.42 77.48
DN 2015 EKSISTING MAKSIMAL 278.90 219.58 164.53 29.90 53.69 157.98 167.66 171.47 187.40 95.30 49.43 159.62 156.34 144.45 20.88 66.65 27.35 97.95 88.91 141.64 55.61 67.76 107.21 37.81 59.48 39.43 72.85 44.72 119.38 68.38 42.10 118.22 50.99 121.31 127.73 72.97 32.62 242.28
278.85 219.19 162.39 28.81 43.66 155.80 163.88 165.31 186.50 95.21 49.15 159.62 88.50 139.73 15.99 65.12 17.67 92.12 87.10 141.64 55.61 67.21 107.00 37.02 51.46 36.35 69.28 32.20 108.82 63.00 34.81 111.24 45.71 116.53 121.02 67.15 32.62 242.27
30%
DS 2015 EKSISTING MAKSIMAL
275.29 216.10 154.07 27.56 47.74 150.39 159.42 163.16 177.65 87.97 42.11 149.25 89.49 134.90 16.70 61.27 20.60 90.63 81.58 131.18 48.29 60.44 98.00 35.16 54.93 33.72 67.15 37.48 110.78 63.36 35.60 108.27 44.34 111.64 117.27 66.70 25.30 237.97
250.86 195.44 127.57 23.69 43.88 121.67 129.74 132.88 146.23 78.31 40.62 123.51 78.52 110.91 24.59 65.86 22.37 80.49 73.06 108.75 132.29 55.68 86.27 30.24 48.38 78.53 59.58 39.45 93.09 58.44 34.45 92.59 41.78 94.49 98.35 59.78 26.81 216.92
250.82 194.48 125.42 22.59 33.85 119.49 125.97 126.73 145.34 78.22 40.34 123.51 71.25 106.19 19.70 64.32 12.70 74.67 71.25 108.75 132.29 55.13 86.13 29.45 40.36 75.45 56.00 26.93 85.70 53.06 27.16 87.71 36.50 91.15 93.65 53.95 26.81 216.91
30% 247.26 186.99 117.11 21.34 37.93 114.08 121.50 124.58 136.48 70.99 33.30 113.15 142.49 101.35 20.41 60.48 15.63 73.17 65.74 98.81 121.83 48.36 79.23 27.59 43.84 72.82 53.88 32.21 87.08 53.41 27.95 85.63 35.13 87.72 91.03 53.50 19.48 212.61
Sumber: Analisis, 2008 C. Pengaruh
Pengembangan
Skenario
Jaringan
Jalan
terhadap
Peningkatan Kualitas Udara di Kota Tangerang Pada uraian sebelum terlihat bahwa pengembangan skenario jaringan jalan dapat menurunkan volume perjalanan di suatu zona. Peningkatan volume perjalanan dengan penurunan kualitas udara belum tentu memiliki keterkaitan yang erat karena beban emisi masih dipengaruhi oleh faktor lain seperti panjang perjalanan dan komposisi jenis kendaraan. Dengan demikian perlu dianalisa apakah pengembangan skenario jaringan jalan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan kualitas udara. Tingkat pengaruh pengembangan skenario jaringan jalan terhadap peningkatan kualitas udara dilakukan juga dengan menghitung frekuensi terjadinya perbaikan ISPU dari satu kategori yang lebih buruk ke kategori yang lebih baik pada suatu zona.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan klasifikasi luasan RTH
dan
periode analisis yang sama, perubahan skenario dari do-nothing menjadi dosomething menghasilkan perbaikan nilai ISPU dengan frekuensi sebanyak 60 kali dari total 228 peluang kejadian atau sebesar 26,3%. Artinya pengembangan
112
skenario jaringan jalan memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap peningkatan kualitas udara.
Memang ada beberapa zona yang justru mengalami penurunan kualitas udara setelah diterapkannya skenario do-something, namun jumlah ini cukup rendah yaitu hanya 3 kali kejadian atau sebesar 1,3% dari seluruh peluang kejadian. Pada beberapa zona, pengembangan skenario do-something memang menurunkan volume perjalanan tetapi ada beberapa yang zona justru mengalami peningkatan volume perjalanan akibat adanya pengembangan jaringan jalan baru di zona tersebut. Peningkatan volume perjalanan inilah yang menyebabkan terjadinya penuruna kualitas udara pada zona tertentu.
Tabel IV.21 Perbandingan Nilai ISPU dengan Variabel Skenario Pengembangan Jaringan Jalan ZO N
A
NILAI ISPU DN 2010
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
197.06 77.34 75.23 20.59 33.02 60.21 79.47 85.14 85.09 58.67 28.00 71.78 48.97 65.65 17.56 23.41 11.95 47.53 67.86 67.00 50.65 36.27 58.00 21.21 27.98 25.44 35.87 22.72 52.28 29.56 23.19 57.36 29.95 60.04 60.64 38.10 20.36 128.73
RTH EKSISTING
RTH MAKSIMAL
DS 2010 DN 2015 DS 2015 DN 2010
DS 2010
186.57 54.81 53.41 13.67 23.45 42.08 56.72 61.05 61.07 42.53 20.13 50.81 34.49 46.28 13.21 16.46 8.35 33.45 50.03 47.56 46.54 25.97 41.58 17.52 19.68 23.85 25.00 16.87 36.58 20.33 16.57 41.28 21.61 42.71 43.08 26.85 14.74 84.80
278.90 219.58 164.53 29.90 53.69 157.98 167.66 171.47 187.40 95.30 49.43 159.62 156.34 144.45 20.88 66.65 27.35 97.95 88.91 141.64 55.61 67.76 107.21 37.81 59.48 39.43 72.85 44.72 119.38 68.38 42.10 118.22 50.99 121.31 127.73 72.97 32.62 242.28
250.86 195.44 127.57 23.69 43.88 121.67 129.74 132.88 146.23 78.31 40.62 123.51 78.52 110.91 24.59 65.86 22.37 80.49 73.06 108.75 132.29 55.68 86.27 30.24 48.38 78.53 59.58 39.45 93.09 58.44 34.45 92.59 41.78 94.49 98.35 59.78 26.81 216.92
196.96 76.67 73.73 19.50 22.99 58.69 76.83 80.83 84.46 58.58 27.72 71.78 41.69 62.34 12.67 21.88 2.27 41.70 66.05 67.00 50.65 35.72 57.85 20.42 19.96 22.36 32.30 10.20 44.89 24.18 15.90 52.48 24.67 56.69 55.94 32.28 20.36 128.71
143.61 54.13 51.91 12.57 13.42 40.55 54.08 56.75 60.44 42.44 19.85 50.81 27.22 42.98 8.32 14.93 0 27.63 48.22 47.56 46.54 25.42 41.43 16.73 11.66 20.77 21.42 4.35 29.18 14.95 9.28 36.39 16.34 39.36 38.38 21.03 14.74 84.78
Sumber: Analisis, 2008
113
RTH 30%
DN 2015 DS 2015 DN 2010 DS 2010 DN 2015 278.85 219.19 162.39 28.81 43.66 155.80 163.88 165.31 186.50 95.21 49.15 159.62 88.50 139.73 15.99 65.12 17.67 92.12 87.10 141.64 55.61 67.21 107.00 37.02 51.46 36.35 69.28 32.20 108.82 63.00 34.81 111.24 45.71 116.53 121.02 67.15 32.62 242.27
250.82 194.48 125.42 22.59 33.85 119.49 125.97 126.73 145.34 78.22 40.34 123.51 71.25 106.19 19.70 64.32 12.70 74.67 71.25 108.75 132.29 55.13 86.13 29.45 40.36 75.45 56.00 26.93 85.70 53.06 27.16 87.71 36.50 91.15 93.65 53.95 26.81 216.91
188.31 71.43 67.90 18.25 27.07 54.90 73.70 79.33 78.27 51.35 20.68 64.52 42.68 58.96 13.38 18.03 5.20 40.20 60.54 59.68 43.33 28.95 50.95 18.56 23.43 19.73 30.17 15.48 46.26 24.53 16.70 50.40 23.30 53.27 53.32 31.83 13.04 118.27
134.96 48.89 46.09 11.33 17.50 36.76 50.95 55.24 54.24 35.21 12.81 43.56 28.21 39.59 9.03 11.08 1.60 26.13 42.71 40.24 39.22 18.65 34.53 14.87 15.13 18.14 19.30 9.63 30.56 15.30 10.08 34.31 14.97 35.94 35.76 20.58 7.42 77.48
275.29 216.10 154.07 27.56 47.74 150.39 159.42 163.16 177.65 87.97 42.11 149.25 89.49 134.90 16.70 61.27 20.60 90.63 81.58 131.18 48.29 60.44 98.00 35.16 54.93 33.72 67.15 37.48 110.78 63.36 35.60 108.27 44.34 111.64 117.27 66.70 25.30 237.97
DS 2015 247.26 186.99 117.11 21.34 37.93 114.08 121.50 124.58 136.48 70.99 33.30 113.15 142.49 101.35 20.41 60.48 15.63 73.17 65.74 98.81 121.83 48.36 79.23 27.59 43.84 72.82 53.88 32.21 87.08 53.41 27.95 85.63 35.13 87.72 91.03 53.50 19.48 212.61