BAB III SUKU DAYAK NGAJU DAN RITUAL “NYADIRI” A.
Gambaran Umum Kota Palangka Raya
1.
Sejarah Pembentukan Kota Palangka Raya Sejarah pembentukan Kota Palangka Raya merupakan bagian integral dari
pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, Lembaran Negara Nomor 53 Tahun berikut penjelasannya (Tambahan Lembaran Negara Nomor 1284) berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957, yang selanjutnya disebut Undang-undang Pembentukan Daerah Swantara Provinsi Kalimantan Tengah.120 Undang-undang tersebut, merupakan perubahan Undang-undang No.25 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah-daerah swantantra Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, dalam Pasal 2 ayat 1, Undang-undang tersebut berbunyi demikian: “Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah adalah Pahandut. Untuk sementara waktu Pemerintah Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah berkedudukan di Banjarmasin”.121
Sesudah Undang-undang Darurat tersebut ditetapkan maka pada tanggal 17 Juli 1957 jam 10.17 menit telah diletakan tiang pertama Ibu Kota Propinsi Kalimantan Tengah oleh Presiden RI. Hal ini disaksikan oleh masyarakat Kalimantan Tengah, pejabat-pejabat sipil dan militer tingkat Kalimantan dan Kalimantan Selatan/Kalimantan Tengah, serta 6 orang termasuk Menteri PUT (Pekerjaan Umum dan Tenaga) Ir. Pangeran Mochamad Noor dan para Corps Diplomatik serta para wartawan dalam dan luar negeri yang memprakarsai pendirian dan pembangunan Ibu Kota Palangka Raya. Ir. Pangeran Moch. Noor adalah Gubernur RI yang pertama di Kalimantan yang 120
Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya., Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010., (Palangka Raya: Badan Pusat Statistik, 2010), xxxix. 121 Nila Riwut (Peny.)., Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur.,36.
berkedudukan di Yogyakarta dari tahun 1945 sampai dengan 1949, yang memang telah mempunyai rencana dan cita-cita membuka Kalimantan termasuk Kalimantan Tengah.122 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des.52/12/2-206, tanggal 22 Desember 1959 telah ditetapkan untuk memindahkan tempat kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangka Raya terhitung tanggal 20 Desember 1959.123
Selanjutnya, Kecamatan Kahayan Tengah yang
berkedudukan di Pahandut secara bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain mempersiapkan Kotapraja Palangka Raya. Kahayan Tengah ini dipimpin oleh Asisten Wedana, yang pada waktu itu dijabat oleh J.M. Nahan.124 Peningkatan secara bertahap Kecamatan Kahayan Tengah tersebut, lebih nyata lagi setelah dilantiknya Bapak Tjilik Riwut sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Desember 1959 oleh Menteri Dalam Negeri, dan Kecamatan Kahayan Tengah di Pahandut dipindahkan ke Bukit Rawi. Pada tanggal 11 Mei 1960, dibentuk pula Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangka Raya yang dipimpin oleh J.M. Nahan. Selanjutnya sejak tanggal 20 Juni 1962 Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangka Raya dipimpin oleh W. Coendrad dengan sebutan Kepala Pemerintahan Kotapraja Administratif Palangka Raya.125 Perubahan,
peningkatan
dan
pembentukan
yang
dilaksanakan
untuk
kelengkapan Kotapraja Administratif Palangka Raya dengan membentuk 3 (tiga) Kecamatan, yaitu: (1). Kecamatan Palangka di Pahandut; (2) Kecamatan Bukit Batu di 122
Ibid. Ibid. 124 Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya., Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010., xxxix. 125 Ibid.,xl. 123
Tangkiling; (3) Kecamatan Petuk Katimpun di Marang Ngandurung Langit. Selanjutnya pada awal tahun 1964, Kecamatan Palangka di Pahandut dipecah menjadi 2 (dua) Kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Pahandut di Pahandut; (2) Kecamatan Palangka di Palangka Raya. Sehingga Kotapraja Administratif Palangka Raya telah mempunyai 4 (empat) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Kampung, yang berarti ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan untuk menjadi satu Kotapraja yang otonom sudah dapat dipenuhi. Serta dengan disahkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1965, Lembaran Negara Nomor 48 Tahun 1965 yang menetapkan Kotapraja Administratif Palangka Raya, maka terbentuklah Kotapraja Palangka Raya yang otonom.126 Kotapraja Palangka Raya yang otonom tersebut, diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 17 Juni 1965 dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah menyerahkan Anak Kunci Emas (seberat 170 gram) melalui Menteri Dalam Negeri kepada Presiden Republik Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan selubung papan nama Kantor Walikota Kepala Daerah Kotapraja Palangka Raya yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi Kota Palangka Raya.127 2.
Letak Geografis Secara geografis, Kota Palangka Raya terletak pada: 113°30´ - 114°07´ Bujur
Timur dan 1°35´ - 2°24´ Lintang Selatan. Wilayah administratif Kota Palangka Raya terdiri atas 5 (lima) wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Pahandut, Sebangau, Jekan Raya, Bukit Batu dan Rakumpit yang terdiri dari 30 (tiga puluh) Kelurahan dengan batas-batas sebagai berikut: (1) Sebelah Utara: Kabupaten Gunung Mas; (2) Sebelah Timur: Kabupaten Gunung Mas; (3) Sebelah Selatan: Kabupaten Pulang Pisau; (4) Sebelah Barat: Kabupaten Katingan.128 126
Ibid., xl-xli. Ibid., xlii. 128 Ibid., 3 127
Kota Palangka Raya mempunyai luas wilayah 2.678,51 Km² (267.851 Ha) di bagi ke dalam 5 (lima) Kecamatan yaitu Kecamatan Pahandut, Sabangau, Jekan Raya, Bukit Batu, dan Rakumpit dengan luas masing-masing 117,25 Km², 583,50 Km², 352,62 Km², 572,00 Km², dan 1.053,14 Km². Luas wilayah sebesar 2.678, 51 Km² dapat dirinci sebagai berikut: (1) Kawasan Hutan: 2.485,75 Km²; (2) Tanah Pertanian: 12,65 Km²; (3) Perkampungan: 45,54 Km²; (4) Areal Perkebunan: 22,30 Km²; (5) Sungai dan Danau: 42,86 Km²; (6) Lain-lain: 69,41 Km².129 3.
Pemerintahan Kota Palangka Raya membawahi 5 (lima) daerah Kecamatan yang terdiri dari
30 Kelurahan. Berdasarkan hasil pemilu tahun 2009 di Kota Palangka Raya, jumlah suara untuk Anggota DPRD Kota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh suara terbesar pertama kemudian diurutan kedua Partai Demokrat (PD), dan ketiga adalah Partai Golongan Karya (Golkar). Sedangkan untuk partai-partai lainnya jumlah suara yang dikumpulkan tidak lebih dari 7 (tujuh) ribu suara.130 Sedangkan untuk Anggota DPRD Kota, dari 25 kursi yang tersedia, komposisinya 16% (4 orang) diisi oleh PDI Perjuangan, 12% (3 orang) PD dan Golkar, 8% (2 orang) oleh Gerindra, PAN dan PKS, sisanya diperebutkan oleh Hanura, PKPI, PKB, PDP, PPP, PDS, PBB, PBR dan Partai Buruh masing-masing 4% (1 orang).131 Berdasarkan data Pegawai Negeri Sipil/Calon Pegawai menurut tingkat pendidikannya maka dapat diurutkan, yaitu: (1) SD: Laki-laki berjumlah 87 orang, Perempuan berjumlah 10 orang. Jumlah keseluruhan 97 orang atau 1,58%; (2) SMP: Laki-laki berjumlah 84 orang, Perempuan berjumlah 17 orang. Jumlah keseluruhan 101 orang atau 1,77%; (3) SMU: Laki-laki berjumlah 739 orang, Perempuan berjumlah 129
Ibid. Ibid., 27. 131 Ibid. 130
1.150 orang. Jumlah keseluruhan 1.889 orang atau 30,74%; (4) Diploma I: Laki-laki berjumlah 25 orang, Perempuan berjumlah 104 orang. Jumlah keseluruhan 129 orang atau 2,10%; (5) Diploma II: Laki-laki berjumlah 196 orang, Perempuan berjumlah 842 orang. Jumlah keseluruhan 1.038 orang atau 16,89%; (6) Diploma III/Sarjana Muda berjumlah 207 orang, Perempuan berjumlah 379 orang. Jumlah keseluruhan 586 orang atau 9,54%; (7) Diploma IV/Sarjana: Laki-laki berjumlah 975 orang, Perempuan berjumlah 1.201. Jumlah keseluruhan 2.176 orang atau 35,41%; (8) S2/Strata Dua: Laki-laki berjumlah 65 orang, Perempuan 64 orang. Jumlah keseluruhan 129 orang atau 2,10%; (9) S3/Starata Tiga: -.132 4.
Penduduk Jumlah penduduk Palangka Raya tahun 2009 ada 200.998 orang, 50,73%
perempuan dan 49,27% laki-laki. Berdasarkan luas wilayah dibanding dengan jumlah penduduk yang ada, kepadatan penduduk Palangka Raya tergolong jarang, di mana ada hanya sekitar 75 orang per km perseginya.133 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin: (1) Pahandut: Laki-laki berjumlah 36.333 orang, Perempuan berjumlah 37.461 orang; (2) Sabangau: Laki-laki berjumlah 7.185 orang, Perempuan 6.551 orang; (3) Jekan Raya: Laki-laki berjumlah 47.649 orang, Perempuan berjumlah 50.907 orang; (4) Bukit Batu: Laki-laki berjumlah 6.247 orang, Perempuan berjumlah 5.553 orang; (5) Rakumpit: Laki-laki berjumlah 1.624 orang, Perempuan berjumlah 1.488 orang; (6) Palangka Raya: Laki-laki berjumlah 99.038 orang, Perempuan berjumlah 101.960 orang.134
132
Ibid., 29. Ibid., 55. 134 Ibid., 56. 133
5.
Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas SDM.
Gambaran umum keadaan pendidikan di Kota Palangka Raya antara lain tercermin dari jumlah prasarana pendidikan (sekolah) menurut strata yaitu pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi menunjukan peningkatan. Sedangkan rasio murid terhadap guru belum ideal di mana rata-rata seorang guru menangani tidak lebih dari 11 orang murid untuk tingkat pendidikan dasar dan tingkat pendidikan lanjutan menengah serta atas.135 Banyaknya sekolah, ruang kelas, murid dan guru menurut jenis sekolah: (1) TK: Sekolah 103, Kelas 318, Guru 466 orang, dan Murid 4.668 orang; (2) SD: Sekolah 105, Kelas 797, Guru 1.543 orang, dan Murid 20.370 orang; (3) SLB: Sekolah 2, Kelas 20, Guru 35 orang, dan Murid 261 orang; (4) SMP: Sekolah 41, Kelas 340, Guru 836 orang, dan Murid 7.689 orang; (5) SMA: 21 Sekolah, Kelas 196, Guru 581 orang, dan Murid 6.970 orang; (6) SMK: Sekolah 15, Kelas 219, Guru 364 orang, dan Murid 3.330 orang.136 6.
Kesehatan Di bidang kesehatan pembangunan prasarana kesehatan untuk masyarakat
seperti Puskesmas, Posyandu, Pos obat desa dan rumah bersalin dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rasio dokter (Dokter Umum) per jumlah penduduk hingga tahun 2009 relatif belum ideal karena seorang dokter harus menangani lebih dari 6.484 orang. Pada tahun 2009 jumlah tenaga kerja kesehatan di Kota Palangka Raya yang terdiri atas dokter, bidan, pengatur rawat, apoteker, dan tenaga teknis lainnya sebanyak 364 orang.137
135
Ibid., 77. Ibid., 79. 137 Ibid., 77. 136
Jumlah Rumah Sakit, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu dirinci menurut Kecamatan: (1) Pahandut: Rumah Sakit 3, Puskesmas 2, Puskesmas Pembantu 12; (2) Sabangau:
Puskesmas 1, Puskesmas Pembantu 3; (3) Jekan Raya: Puskesmas 4,
Puskesmas Pembantu 17; (4) Bukit Batu: Puskesmas 1, Puskesmas Pembantu 9; (5) Rakumpit: Puskesmas 1, Puskesmas Pembantu 5.138 Banyaknya tenaga kesehatan dirinci menurut Kecamatan: (1) Kecamatan Pahandut: Dokter Umum 10, Dokter Gigi 3, Bidan 42, Perawat 36, Asisten Apoteker 4, Tenaga Teknis 3. Jumlah tenaga kesehatan 98 orang; (2) Kecamatan Sabangau: Dokter Umum 4, Dokter Gigi 1, Bidan 13, Perawat 7, Asisten Apoteker 1. Jumlah tenaga kesehatan 26 orang; (3) Kecamatan Jekan Raya: Dokter Umum 15, Dokter Gigi 9, Bidan 68, Asisten Apoteker 68, Tenaga Teknis 8. Jadi jumlah tenaga kesehatan 184 orang; (4) Kecamatan Bukit Batu: Dokter Umum 2, Dokter Gigi 1, Bidan 11, Perawat 23, Tenaga Teknis 1. Jadi jumlah tenaga kesehatan 38 orang; (5) Kecamatan Rakumpit: Bidan 10, Perawat 7, Asisten Apoteker 1. Jadi jumlah kesehatan 18 orang.139 B.
Suku Dayak Ngaju dan Sistem Kepercayaannya.
1.
Kebaradaan Suku Dayak Ngaju Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu suku yang mendiami daerah aliran
sungai Kahayan, Kapuas, Katingan, Rungan, dan Mentaya. Sebutan Ngaju secara etimologis mengandung makna hulu, atau orang yang datang dari hulu. Dan penamaan ini biasanya dilekatkan pada masyarakat Dayak Ngaju didasarkan pada daerah aliranaliran sungai yang ditempati oleh masyarakat Dayak Ngaju. Biasanya disebut oloh Kahayan (orang Kahayan), karena menempati daerah sungai Kahayan, oloh Katingan (orang Katingan) menempati daerah sungai Katingan, oloh Kapuas (orang Kapuas)
138 139
Ibid., 116. Ibid., 117.
menempati daerah sungai Kapuas, oloh Rungan (orang Rungan) menempati daerah sungai Rungan dan oloh Mentaya (orang Mentaya) menempati daerah sungai Mentaya. Pada umumnya disebut oloh-oloh Ngaju (orang-orang Ngaju).140 Menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju mendiami daerah sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Rungan-Manuhing, Barito, dan Katingan. Suku Bakumpai merupakan suku Dayak Ngaju yang beragama Islam. Suku Bakumpai banyak mendiami sepanjang Sungai Barito, di Tumbang Samba sungai Katingan, di sepanjang sungai Mahakam bagian tengah, diantaranya di Long Iram. Selain itu bahasa Dayak Ngaju telah lama menjadi lingua franca (bahasa persatuan) suku Dayak di Kalimantan Tengah, walaupun akhir-akhir ini setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, bahasa Indonesia mulai menggantikannya. Peranan bahasa Dayak Ngaju menjadi penting untuk daerah Kalimantan Tengah berkat usaha Zending (badan misi) baik dari Jerman dan Belanda yang telah memilih bahasa Dayak Ngaju dalam penyebaran agama, antara lain dengan menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Dayak Ngaju.141 Suku Dayak di Kalimantan terbagi dalam 7 (tujuh) sub suku dan 405 (empat ratus lima) sub suku. Proses pewarisan tradisi dan budaya dilaksanakan secara lisan karena tidak dikenalnya aksara. Di sini setiap suku memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan keyakinannya. Namun pada dasarnya konsep pemahaman yang mereka yakini dapat dikatakan tidak jauh berbeda. Salah satu yang dapat dijadikan pegangan terdapat dalam paham Kaharingan, keyakinan asli yang dimiliki oleh suku Dayak, penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan. Di sini paham Kaharingan hanya mengakui satu Allah Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir dari segala kejadian, 140
Anne Schiller., Religion and Idenitity in Central Kalimantan: The Case of Ngaju Dayaks., dalam Robert L. Wizeller., Indigenous Peoples and The State: Politics, Land, and Ethnicity in The Malayan Peninsula & Borneo., (New Haven: Yale University Asia Studies, 1997), 185-186. 141 Nila Riwut (Peny.)., Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur.,18-20.
yang mereka sebut Ranying Pohotara Jakarang Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan atau Ranying Hatalla (Tuhan).142 2.
Beberapa Konsepsi Suku Dayak Ngaju
2.1.
Tuhan dan Roh-roh di Sekitarnya Dalam sistem kepercayaan suku Dayak Ngaju mereka mengakui
bahwa Tuhan yang transenden ialah Ranying Hatalla Langit, Raja Tuntung Matanandau, Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan atau yang biasa dikenal dengan istilah Ranying Mahatalla. Selain dari Ranying Mahatalla, orang Ngaju juga mengenal Tuhan yang lain yang sifatnya lembut dan ramah yaitu Jata. Apabila Ranying Mahatalla dikenal sebagai Ilah yang mempunyai sifat -sifat kejantanan, maka Jata mempunyai sifat sifat kewanitaan atau feminin. Demikianlah maka s ifat-sifat keras, panas, kuat, tangguh, tahan uji, dan segala sifat yang dahsyat semuanya adalah bagian dari Ranying Mahatalla, sedangkan sifat -sifat lemah lembut, peramah dingin, pengasih dan suka damai adalah bagian dari Jata. 143 Kedua-duanya merupakan k esatuan bagaikan suami -istri seperti yang digambarkan dalam agama Ngaju oleh Scharer. Berhubung Ranying Mahatalla bersemayam di dunia atas, sedangkan Jata
di dunia bawah
maka kesatuan mereka itu juga merupakan kesatuan kosmos yang utuh dan lengkap. Di dal am dan oleh diri mereka, langit dan bumi itu telah dijadikan dan dipersatukan. Kesatuan antara keduanya itulah yang menjadi sumber tata tertib alam semesta dalam pengertian mikro. Itulah sumber hukum dan adat yang berlaku dalam masyarakat Ngaju baik
142 143
Ibid., 488. Hermogenes Ugang., Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran., 32.
perorangan pun bagi kelompok orang banyak. Karena itu bilamana adat, yang adalah hukum yang berlaku dalam masyarakat dilanggar oleh anggota atau anggota-anggota tertentu masyarakat, maka itu merupakan penodaan citra hidup persatuan yang ada. 144 Selain percaya ak an Tuhan, suku Dayak Ngaju juga memercayai bahwa di alam sekitarnya terdapat roh -roh yang berkeliaran. Bagi orang Ngaju, kehadiran yang sedemikian bukanlah dalam artian kehadiran dari Ranying Mahatalla, melainkan kehadiran “massa –rakyat” dari Ranying Mahatalla yang tak tepermanai banyaknya bergentayangan di udara dan berkeliaran di bumi baik di darat maupun di air. Ranying Mahatalla sendiri tetap transenden, tinggal di alam atas dan menyerahkan semua urusan di bawah kepada para utusannya yang terdiri d ari Raja-raja. Diantara sekian banyak Raja -raja yang dikenal, ada lima yang tercatat dalam buku Scharer
yaitu Raja Pali, Raja Untung, Raja Sial, Raja
Hantuen dan Raja Puru atau Raja Peres. Raja-raja tersebut tidak lain adalah roh-roh yang menurunkan sifat -sifat khas dari Ranying Mahatalla sesuai dengan nama masing -masing. 145 Raja Pali ia dipandang selaku ilah kilat, yang bertindak apabila terjadi pelanggaran adat atau hukum -hukum Pali (hukum tabu). Biasanya ia ambil
bagian dalam
memberikan
persidangan -persidangan hukum
keputusannya
dengan
perantaraan
Kepala
adat
serta
Adat
yang
menguasai persidangan adat itu beserta para pembantunya yang disebut Mantir. Raja Untung nama lengkapnya adalah “ Raja Mandurut Bulau,
144 145
Ibid., 33. Ibid., 37.
Kanaruhan Batuang Hintan, Raja Balawang Bulau Kanaruhan (Raja pembuat
emas
dan
pagar
intan,
Pangeran
pencipta
intan,
Raja
berpintukan emas berpagarkan intan). Dari namanya sudah nampak bahwa ia sumber rejeki, kekayaan dan kemakmuran. Raja Sial ia disebut juga “Tamang Tarai Bulan, Tambun Pantun Garantung” (Tambon, si pemukul
bulan
tembaga
dan
pemain
gong).
Fungsinya
ialah
mendatangkan segala kengerian dan kekejaman. Kecelakaan, kerugian dan
juga
mendatangkan
kematian.
Tempat
tinggalnya
pun
sudah
menunjukan kengerian yang dahsyat, yang disebut “Handut Nyahu, Kereng Tatabat Kilat ” (Gunung guntur, bukit berbendungan kilat). Raja Hantuen di dalam nyanyian balian ia disebut “Raja Haramaung Batulang Buno, Balikur Talawang” (Raja harimau bertulang tombak, bertulang belakang perisai). Ia dilihat selaku sumber kerusuhan yang menggangu dan merusak manusia. Dengan memperalatkan manusia hidup yang disebut
selaku
keturunan hantuen,
ia
menganggu manusia
dengan
meminum darah manusia. Raja Peres ia dipandang selaku segala macam sumber segala penyakit. Peres berarti penyakit, dan terutama penyakit menular. Apabila terjadi semacam epidemi, maka sumbernya dilihat tidak lain dari Raja Peres. 146 Semua Raja-raja tersebut, tinggal di alam atas kecuali Raja Puru atau Raja Peres yang tinggal di sebuah pulau ditengah -tengah tasik dunia (tasik Jalayan ). Sebagai utusan -utusan atau wakil -wakil Ranying yang masing-masing mempunyai kekhususan dalam jabatan dan fungsinya, mereka itu menjelajah alam semesta dari alam atas (langit) ke alam 146
Fridolin Ukur., Tantang-Djawab Suku Dayak., (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1971), 31.
bawah
(bumi).
Sebagai
tenaga -tenaga
fungsional
Ranying
mereka
bergerak senantiasa di udara bahkan hadir dimana -mana. Roh-roh bergentayangan ini, walaupun mempunyai profesi yang berbeda -beda, namun tidaklah independen satu dari ya ng lain melainkan sama -sama takluk di bawah Ranying Mahatalla. Ranying adalah sumber dari segala sesuatu (kekuasaan, kebaikan, kejahatan, keindahan, keburukan dan segala macam sifat positif dan negatif), sedangkan Raja -raja bawahannya adalah para pelaksana dari segala kodrat Ilahi tertinggi itu. Adapun Raja raja yang membawahi Ranying, masing-masing mempunyai massa rakyat yang tidak terpermanai banyaknya di atas bumi dan di bawah bumi. Di atas bumi dan di bawah bumi, massa rakyat roh -roh yang tidak terpermanai banyaknya itu terbagi pula atas unit -unit sesuai pembagian alam setempat misalnya menurut desa, sungai, pegunungan, lembah, bukit, lautan dan pulau. 147 2.2.
Alam/Dunia Menurut F. Ukur, alam terbagi atas dua bagian. Alam atas disebut
dalam istilah Dayak Ngaju “Tasik Tabenteram Bulau, Laut Babandan Intan” (Danau kemilau emas, laut berjembatankan intan). Keilahian yang mendiami alam-atas tersebut memiliki sekurang -kurangnya empat buah nama, diantaranya ada dua buah yang murni Dayak, sedangkan yang lainnya
memperlihatkan
adanya
pengaruh
Hinduisme dan Islam. 148
147 148
Hermogenes Ugang., Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran., 37-38. Fridolin Ukur., Tantang-Djawab Suku Dayak., 50.
luar
seperti
pengaruh
Nama-nama
tersebut
ialah:
Pertama,
Bungai
atau
Tingang,
keduanya adalah nama burung yang sama, merupakan burung sakti dalam mythologi Dayak berkelamin jantan. Burung sakti ini melambangkan keilahian di alam -atas. Kedua, Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing
Kabanteran
Bulan
(Raja
penjuru
matahari,
Pangeran
kelengkapan bulan). Ketiga, Mahatara yang didalam nyanyian balian biasanya
disebut
“Ranying
Mahatara
Langit” .
Di
sini
nampak
kemungkinan pengaruh dari Hinduisme, yang erat sekali dengan dua patah kata yang dikenal sekali, yakni Maha Batara. Di dalam bahasa suku Ot Danum, Ia disebut Pohotara. Keempat, Mahatala yang dalam bahasa sesehari sering disebut sebagai Hatalla, Lahatala atau Alatala. Nama memperlihatkan adanya pengaruh Islam yang mempergunakan nama Allah-ta-Ala. Walaupun terjadinya pengambil -alihan istilah atau nama untuk keilahian dari berbagai agama lain, namun karakter dari Ilah ilah dari agama lain itu sama sekali tidak punya pengaruh ke dalam konsep kepercayaan suku Dayak Ngaju. 149 Untuk alam bawah suku Dayak Ngaju mengenal istilah tersebut dengan “Basuhun Bulau, Saramai Rabia ” (Sungai emas, pengaliran segala kekayaan). Keilahian yang mendiami alam bawah ini disebu t: Pertama, Tambon, sebangsa naga atau ular sakti yang menurut mythologi Dayak melambangkan keilahian berjenis kelamin betina. Kedua, Bawin Djata Balawang Bulau (Perempuan Djata berpintukan permata). Di dalam bahasa sehari -hari Ia dipanggil Djata. Sedangkan dalam bahasa suku
149
Ibid., 27-28.
Dayak Ma‟anyan disebut Diwata. Di sini kita menemui pengaruh dari Hinduisme yang terlihat dalam kata Deva atau Devata. 150 2.3.
Manusia Menurut Kisah Penciptaan dalam kehidupan masyarakat Dayak Ngaju,
manusia laki-laki yang pertama ialah Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, Sahawung Tangkuran Hariran yang keluar dari kayu Bungking Kayu Erang Tingang dan ia (manusia laki-laki pertama) menggunakan Banama Panjang Pahalempei Laut (kapal berukuran besar) dengan menggunakan Banama tersebut, maka ia segera ke pantai dan terdampar di sebuah tebing batu. Selanjutnya manusia perempuan pertama tercipta dari cahaya yang berada di dalam Kumpang Duhung dan manusia perempuan pertama ini dinamai Ranying Hatalla (Tuhan) sebagai Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun dan ia
(manusia perempuan pertama)
menggunakan Lasang Bangkirai Bahenda Sambung. Dari pertemuan antara Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, Sahawung Tangkuran Hariran dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun, maka akhirnya keduanya bersepakat untuk hidup bersama dan tinggal di Lasang Bangkirai Behenda Sambung.151 Setelah kedua manusia laki-laki dan perempuan tersebut bersepakat untuk hidup bersama, maka Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun mengalami dua belas kali keguguran/pendarahan. Dari keguguran/pendarahan yang dialami oleh manusia perempuan tersebut menjelma menjadi berbagai macam peres (penyakit) dan berbagai macam makhluk gaib, baik yang tinggal di air, darat dan udara. Makhluk-makhluk gaib inilah yang bisa mengganggu kehidupan manusia.152 Setelah dua belas kali mengalami keguguran, atas kehendak Ranying Hatalla diadakanlah 150
Ibid. Nila Riwut (Peny.)., Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur., 516-517. 152 Ibid., 519-523. 151
upacara perkawinan diantara keduanya. Dan setelah proses perkawinan dilaksanakan barulah, Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan mengalami kehamilan sempurna. Setelah semuanya lengkap, sempurna dan saatnya telah tiba untuk dilahirkan ke dunia, maka bayi akan lahir disertai kekuatan dan ke-Maha Kuasaan Yang Maha Agung. Saat itu pula Ia datang dan menyatu dalam diri sang bayi. Ia berwujud bayangan dari sinar suci Ranying Hatalla yang menyatu padanya dan disebut hambaruan (roh).153 Setelah kandungan berusia sembilan bulan, sembilan hari, lahirlah tiga bayi, kembar tiga, semuanya laki-laki. Kemudian kedua orang tunya menyampaikan korban suci untuk memohon berkat kepada Ranying Hatalla sebagai tanda syukur. Mereka melaksanakan upacara nahunan yaitu upacara pemberian nama bagi ketiga bayi yang baru lahir dengan cara mengoleskan darah hewan korban pada ketiganya. Nama ketiga bayi tersebut: Pertama, Raja Sangen; Kedua, Raja Sangiang; dan Ketiga, Raja Buno.154 Suatu ketika terjadi kesalah-pahaman di antara ketiga bersaudara ini. Akibat kesalahan tersebut ketiganya mendapat hukuman dari ayahnya berupa pemisahan tempat tinggal. Raja Sangiang diperintahkan naik ke alam atas yang kemudian turunannya menjadi penduduk Pantai Sangiang. Menjadi perantara komunikasi Ranying Hatalla dengan manusia. Raja Sangen diperintahkan untuk tetap tinggal di tempat, mendiami “Batu Nindan Tarung” dan menjadi sumber segala kisah kepahlawanan.155 Sedangkan anak ketiga yaitu Raja Buno dan keluarganya diturunkan oleh Ranying Hatalla ke Pantai Danum Kalunen dengan kendaraan Palangka Bulau Lambayung Nyahu yang bercahaya cemerlang. Akan tetapi, sebelum Ranying Hatalla menurunkan Raja Buno ke Pantai Danum Kalunen, Ranying Hatalla menyuruh mereka melaksanakan Tiwah Suntu (contoh ritual Tiwah) di Lewu Bukit Batu Nindan Tarung, sebagai contoh yang harus 153
Ibid., 524. Ibid., 525. 155 Ibid., 495. 154
dilaksanakan oleh Raja Buno dan turunannya apabila kelak saatnya tiba mereka kembali datang menyatu pada Ranying Hatalla.156 C.
Ritual “Nyadiri” Dalam Kehidupan Suku Dayak Ng aju
1.
Mitologi Ritual Nyadiri Pada zamannya hiduplah Antang Pitih dan indang (bahasa Dayak halus untuk
'ibu'). Keluarga ini sangatlah miskin, rumah tempat tinggalnya jauh dari ukuran rumah layak huni, bahkan untuk persoalan makan pun hanya satu kali sehari. Persoalan kemiskinan inilah yang selalu dikeluhkan oleh Antang Pitih, dia bertanya kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan) kenapa kehidupan keluarganya tidak seberuntung keluarga lainnnya.157 Segala keluhan dan permohonan Antang Pitih didengar oleh Ranying Hatala Langit. Sampai akhirnya oleh Ranying Hatalla, Antang Pitih diberikan talenta Tamat Mimpi. Artinya Antang Pitih diberi talenta melalui mimpi, apapun yang dimimpikan Antang Pitih selagi tidur, maka esok harinya akan menjadi kenyataan. Selama 7 tahun, 7 bulan dan 7 hari, selama itulah mimpi Antang Pintih selalu menjadi kenyataan. Bila Antang Pitih bermimpi mendapat ikan yang banyak maka esok harinya ketika Antang Pitih mencari ikan maka ia memperoleh ikan yang banyak.158 Suatu ketika Antang Pitih bermimpi dia mati dan akan dijemput oleh malaikat maut. Sebagai seorang Tamat Mimpi, Antang Pitih sangat memahami bakal yang terjadi pada dirinya. Kata Antang Pitih, "pasti matei aku tuh..." (pasti mati aku ini). Setelah mendengar penuturan mimpi anaknya, maka ibunya menyarankan Antang Pitih meminta pendapat atau mencari jalan keluar yang terbaik kepada suami-istri Tatu Kalaya Henda (orang sakti). 156 157
Ibid., 529. http://historyroemahboenga.blogspot.com/2011/03/manyadiri-preventif-mara-bahaya.html
Di tengah perjalanannya Antang Pitih dikejutkan oleh suara orang ramai-ramai menebang kayu dengan riuh gembiranya. Dalam hati Antang Pitih bertanya-tanya, "ada apa ya? Kok ramai sekali orang menebang kayu di tengah hutan..." Dengan setengah berteriak Antang Pitih bertanya, "oi... pahari narai gawin ketun je rami tutu hikau neweng kayu?" (oi... ada apa gerangan kerjaan kalian ramai menebang kayu di situ?) Maka dijawab, "ikei tuh lagi manampa raung Antang Pitih, halemei kareh ikei duan ie dan namean hung raung tuh." (kami ini ramai-ramai membuat peti mati buat Antang Pitih, sore nanti kami jemput dia dan memasukkannya dalam peti mati ini.) Entah berapa lama, sampailah Antang Pitih di tempat tinggal Tatu Kalaya Henda. Dengan wajah layu kecapean, bertanya ia kepada istri Tatu Kalaya Henda, "kueh bue, mbi?" (di mana kakek, nek?) "Tege endau hikau, tau tiruh hung kamar baun hikau buem te." (ada tadi di situ, mungkin kakek tidur di kamar depan.) Tambah bingung Antang Pitih, hendak membangunkan kakek Tatu Kalaya Henda jadi takut, pikirnya sudahlah pulang saja, pasrah biar mati saja. Pulanglah dia dari rumah Tatau Kalaya Henda tanpa memperoleh hasil sesuai perintah ibunya. Tetapi ketika berjalan pulang, teringatlah Antang Pitih dengan ucapan para orang-orang halus tadi, maka berbaliklah Antang Pitih kembali ke rumah Tatu Kalaya Henda, dengan harapan siapa tahu kakek tadi sudah bangun. Beberapa saat terdengar suara Tatu Kalaya Henda bangun dan bertanya kepada instrinya, "eweh je dumah endau?" (siapa yang datang tadi?) "Antang Pitih," jawab istrinya. "Narai jalana maja kue dan kueh Antang Pitih tuh?" (apa tujuan Antang Pitih datang, dan di mana yang bersangkutan sekarang?) "Dia aku katawa narai jalanan langsung buli, tapi ampin Antang Pitih te kilau tege masalah." (entahlah apa tujuannya langsung pergi, tetapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi dengan Antang Pitih.) "Tawang ku sebab je mawi Antang Pitih, ie te nupi arep ah matei dan setiap je inupi te
pasti terjadi, awi Antang Pitih te inenga awi Ranying Hatalla Langit, talenta Tamat Nupi, makanya ie paham kapehe atei tagal nupi te." (tahu saya penyebabnya, Antang Pitih itu mimpi dia mati dan mimpi itu benar-benar akan terjadi, sebab Antang Pitih diberi talenta Tamat Mimpi oleh Tuhan, makanya ia sakit hati takut meninggal.) Tanya istri Tatu Kalaya Henda, "kenampi kuam dohop Antang Pitih kau?" (bagaimana cara menolong Antang Pitih?) "Narai je kahali, te Antang Pitih mupu ije kalawas humbang, nyuhu indu manampa ancak ije gawang helang puting ah, palus indu ngarakup behas manempe akan manjadi tepung, tepung te hapa manampa 'Patung Sadiri', duan tanteluh manuk due kabawak ije manta ije masak, je manta hapa manyaki Antang Pitih dan je masak andak hung ancak te, palus nampa kea sipa roko, dan mintih behas hambaruan. Te ancak dan Patung Sadiri hantuk telu kali hung takuluk Antang Pitih duan hambarua, palus ancak te agah akan tumbang jalan kubur palus mantehau hambaruan Antang Pitih. Salamat Antang Pitih bara pampatei."
Artinya: Supaya Antang Pitih mencari 1 ruas bambu untuk dibuatkan ancak (wadah) dengan ukuran lebih kurang 30 cm persegi, lalu ibunya mengambil beras secukupnya dan ditumbuk menjadi tepung beras untuk membuat Patung Sadiri, kemudian ambil 2 butir telur ayam, 1 butir mentah 1 butir lainnya direbus matang, sesudah itu lalu dibuatkan pinang sirih serta dipilih butir beras secukupnya yang disebut behas hambaruan. Kemudian Ancak yang sudah dibuat, di isi dengan patung sadiri, telur matang, dan sirih pinang, serta behas hambaruan. Tahapan selanjutnya ancak tersebut didoakan dengan meletakkan di kepala Antang Pitih sebanyak 3 kali, agar patung sadiri tadi mengganti tubuh Antang Pitih. Setelah selesai maka ancak sadiri (tempat segala syarat-syarat Nyadiri) tadi diantarkan ke daerah pekuburan, selanjutnya dipanggilah roh Antang Pitih untuk pulang. Maka selamatlah Antang Pitih dari kematian. Antang Pitih yang dari tadi mendengar penuturan Tatu Kalaya Henda,
berucap, "kalute lah bue, tarima kasih ih ara." Lalu Antang Pitih bergegas pulang melaksanakan ritual Nyadiri sebagaimana cerita Tatu Kalaya Henda tadi.159 2.
Kepercayaan Suku Dayak Ngaju Terkait Ritual Nyadiri Menurut sistem kepercayaan suku Dayak Ngaju, apabila ada orang yang
beragama Kaharingan meninggal, maka sebelum dilaksanakannya ritual Tiwah, suku Dayak Ngaju memercayai bahwa liau (roh) orang tersebut masih belum sampai ke tempat Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Intan Hakarangan Lamiang (sorga). Akan tetapi, liau orang tersebut hanya sampai di Bukit Pasahan Raung (tempat penantian sementara). Lalu setelah ritual Tiwah, dilaksanakan barulah roh tersebut sampai ke Sorga. Akibat lamanya masih belum terlaksananya ritual Tiwah, maka rohroh tersebut dapat menegur atau memperingati kerabatnya yang hidup. Biasanya peringatan ini dilihat dalam bentuk datangnya kecelakaan, penyakit, dan yang serupa itu, selaku pertanda bahwa roh orang mati itu memperingati kerabatnya, supaya mempersembahkan makanan atau sesegera melaksanakan upacara kematian lengkap untuknya.160 Hal yang demikian juga yang dikemukakan oleh Yohanson B. Tanggalung bahwa sebelum dilaksanakan upacara Tiwah, maka roh orang yang telah meninggal itu hanya sampai di Bukit Pasahan Raung Kereng Daring Penda Lunuk dan roh-roh ini pula yang sewaktu-waktu bisa datang untuk menemui anak, cucu, maupun keluarganya di Pantai Danum Kalunen (dunia) dalam bentuk mimpi dan sekaligus mengajak roh orang yang masih hidup untuk pergi ke dunia orang mati. Akibatnya, maka orang yang
159 160
Ibid. Fridolin Ukur., Tantang-Djawab Suku Dayak., 50.
bermimpi itu bisa menjadi sakit dan layau hambarua (kehilangan semangatnya). Salah satu cara untuk menyembuhkannya ialah dengan dilakukan ritual Nyadiri.161 3.
Tahapan-tahapan Pelaksanaan Ritual Nyadiri
3.1.
Persiapan Syarat-syarat Ritual Nyadiri Apabila ada orang bermimpi bertemu dengan roh orang yang telah meninggal
(nupi hasupa liau dengan liau) dan membawa roh orang yang hidup tersebut ke dunia orang mati (lewu liau), dan orang yang hidup tadi menjadi sakit (layau hambarua), maka dilaksanakanlah ritual Nyadiri. Menurut Yohanson B. Tanggalung (oloh paham Nyadiri) pelaksanaan ritual Nyadiri, antara orang-orang yang paham ritual Nyadiri satu dengan yang lain berbeda cara pelaksanaan. Semuanya itu disesuaikan dengan kepercayaannya, serta tata cara yang diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju itu sendiri. Sebagai contoh, ada yang langsung menggunakan tawur/behas tawur162 untuk sampai ke dunia orang mati dan sekaligus menolong mengambil roh orang yang masih hidup. Sebagian lagi ada yang menggunakan behas tawur sebagai perantara untuk memanggil Patahu163 guna menolong mengambil roh orang yang masih hidup yang tersesat di dunia orang mati.164 Dalam tataran praktik, meskipun terdapat perbedaan tata cara pelaksanaannya ritual, akan tetapi hakikatnya atau pun tujuan ritualnya sama, yakni: “sebagai ritual
161
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung (orang tua paham ritual Nyadiri), Palangka Raya: 1 Februari 2012. 162 Dalam sistem kepercayaan suku Dayak Ngaju, tawur/behas tawur tadi berubah menjadi tujuh perempuan. Lih. Isabella Jeniva., Fungsi Tarian Manasai Dalam Upacara Pakanan Sahur Parapah Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah., Tesis, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana: 2010), 76 163 Patahu merupakan leluhur atau nenek moyang suku Dayak yang memiliki kesaktian dan kekuasaan dari Ranying Hatalla. Patahu hidup di Pantai Danum Sangiang. Untuk tiap-tiap daerah yang masingmasing terdapat Patahu, maka nama Patahu yang satu berbeda dengan Patahu yang lain. Misalnya Patahu di desa Pahawan berbeda namanya dengan Patahu yang ada di Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Patahu tidak dapat dilihat oleh manusia secara kasat mata, tetapi manusia dapat memanggilnya dengan perantaraan beras yang ditaburkan. Dalam ritual Nyadiri, Patahu ini juga yang akan menolong manusia unuk mengambil roh orang yang sakit dari dunia orang mati. Wawancara Yohanson B, Tanggalung, (Palangka Raya: 01 Januari 2012 164 Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya, 01 Pebruari 2012)
ganti diri dari orang yang sakit.” Dalam hal ini, pengganti diri orang yang sakit disebut hampatung sadiri. Mengingat adanya perbedaan tata cara pelaksanaan ritual Nyadiri dalam kehidupan suku Dayak Ngaju, maka penulis memilih Bapak Yohanson B. Tanggalung sebagai informan kunci dalam melakukan penelitian ini. Selian itu alasan pemilihan informan primer, supaya informasi yang diterima tidak mengalami kesimpangsiuran. Untuk melakukan ritual Nyadiri, maka ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni:165 a.
Nyiru (alat penampi beras) dan potongan daun pisang berbentu k segi panjang. Diperlukan sebagai alas untuk menyimpan syarat -syarat ritual.
b.
Hampatung sadiri. Hampatung sadiri dibuat dari indu henda (kunyit). Dari kunyit
tersebut
dibuatlah
hampatung
henda
yang
menyerupai
manusia.
Dipercayai bahwa hampatung henda yang mirip dengan manusia tersebut sebagai ganti ( tangkiri) dari orang yang sakit. Hampatung henda tersebut diserahkan kepada Tatu Kalaya Henda yang menjaga Bukit Pasahan Raung Kereng Daring Penda L unuk sebagai ganti diri orang yang sakit. Selanjutnya dibuat juga hampatung punduk apui (patung yang dibuat dari sisa pembakaran kayu bakar). Hampatung punduk apui di sini berfungsi sebagai api penerang (singah) dari Patahu untuk menuju Tatu Kalaya Henda dan sekaligus untuk menakuti roh penganggu si sakit yang tidak mau memberikan roh (bulau hambaruan ) dari orang yang sakit. Hal ini terjadi, apabila segala syarat -syarat dari ritual Nyadiri telah lengkap,
165
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 01 Februari 2012).
tetapi roh pengganggu tidak mau menyerahkan roh si s akit kepada Patahu. c.
Mangkuk Tambak Behas Mangkuk tambak behas biasanya diisi dengan beras. Di dalam
mangkuk tambak behas yang sudah diisi dengan beras, biasanya diisi dengan behas hambaruan , duit singah , giling pinang (pinang) dan rukun tarahan (rokok). Behas hambaruan merupakan tempat roh (hambaruan) orang yang sakit itu pulang atau kembali. 166 Behas hambaruan terdiri dari 7 (tujuh) butir beras . Harus dipilih dari beras-beras yang tidak bercacat ( galis). Selanjutnya behas hambaruan tersebut dibungkus dalam kain putih. Ditempatkan di dalam mangkuk tambak behas . Kebehasilan ritual Nyadiri ditentukan pada tanda yang terdapat pada behas hambaruan yang tidak bercacat tersebut. Tanda berhasilnya ritual Nyadiri yang terdapat dalam behas hambaruan ialah hariten (hampir terbelah) pada bagian tengah dan barintih/nanteluh ( tanda putih) di dalam behas hambaruan . 167 Giling Pinang (pinang) dan Rukun Tarahan (rokok) merupakan sarana persembahan Patahu tempat di mana kita meminta tolong serta disimpan di tambak behas. Selain itu pula, juga disediakan giling pinan dan rukun tarahan yang khusus dipersembahkan kepada roh orang yang telah meninggal. Duit Singah berupa uang logam. Menurut Basir Uwak D. Linj un, duit singah berfungsi sebagai alat penukar apabila terdapat kekurangan
166 167
Wawancara, Basir Uwak D. Linjun, (Palangka Raya: 04 Pebruari 2012). Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya, 06 Pebruaru 2012).
dari syarat-syarat yang diantarkan oleh Patahu kepada Tatu Kalaya Henda dalam proses pelaksanaan ritual Nyadiri. 168 Itu artinya apabila terdapat kekurangan dari syarat -syarat yang diantarkan oleh Patahu maka akan dibeli dengan menggunakan duit singah . d.
Peteng Tekang Hambaruan Berupa lilis, lamiang (merjan), emas, yang dikenakan pada bagian
lengan sebelah kanan dari orang yang melaksanakan ritual Nyadiri. Apabila uang biasanya dibungkus dengan kain putih dan dikenakan pada bagian lengan orang yang melaksanakan ritual Nyadiri. Peteng tekang hambaruan pada orang yang melaksanakan ritual Nyadiri berfungsi sebagai penguat semangat dan keyakinan dari orang yang melaksanakan ritual supaya terhindar dari hal -hal sifatnya mistik. 169 Peteng tekang hambarua n juga diikatkan pada lengan sebelah kanan dari si sakit. Karena orang yang sakit tersebut rohnya dalam keadaan lemah ( balemu hambarua ), maka diperlukan peteng tekang hambaruan dalam proses pelaksanaan ritual sampai dengan selesainya proses pelaksanaan ritual. e.
Dupa/Kemenyan. Berfungsi
sebagai
pengasapan
syarat-syarat
ritual
Nyadiri.
Dengan tujuan supaya segala doa dan harapan bagi kesembuhan si sakit sampai kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan). Dan dikabulkan oleh Ranying Hatalla Langit . f.
168 169
Tampung Tawar
Wawncara, Basir Uwak D. Linjun, (Palangka Raya: 04 Pebruari 2012). Wawancara, Basir Sika, (Palangka Raya: 04 Pebruari 2012).
Merupakan
lambang
penyucian
diri,
manusia
terbebas
dari
pengaruh-pengaruh jahat, baik secara lahir maupun batin. Dan dipercaya berfungsi sebagai pendingin atau penet ralisir bagi si sakit. Media yang digunakan untuk melaksanakan tampung tawar ialah daun pandan, air, pewangi atau parfum, dan sebutir telur ayam kampung. g.
Katupat Terdiri dari 3 (tiga) ketupat sebagai persembahan kepada kepada
roh
yang
mengganggu
dipersembahkannya
katupat
si
sakit .
sebagai
Di yakini
makanan
bagi
bahwa orang
dengan mati
di
dunianya dan si sakit, terlepas dari gangguan roh orang yang telah meninggal. h.
Behas Tawur Behas tawur merupakan beras yang berwarna kuning. Karena
sudah dicampur dengan kunyit dan bisa juga dicampur dengan kikisan emas. Dalam ritual Nyadiri beras digunakan sebagai perpanjangan tangan manusia untuk menyampaikan segala isi hati, niat, keinginan dari manusia yang melaksanakan ritual Nyadiri tersebut kepada Patahu yang dianggap mampu menolong dalam proses pelaksanaan ritual Nyadiri. 170 Dalam sistem kepercayaan suku Dayak Ngaju, beras berasal dari Pantis Kambang Kabanteran Bulan , Lelak Lumpung Matanandau . Penguasa atau roh yang ada pada beras/padi adalah roh Putir Selung Tamanang dan Raja Angking Langit . Keduanya merupakan pembantu terdekat Ranying Hatalla. Beras telah terlebih dahulu diturunkan ke bumi sebelum
170
Wawncara, Basir Uwak D. Linjun, (Palangka Raya: 04 Pebruari 2012).
manusia pertama diturunkan. Itulah sebabnya beras mampu menyambung nafas manusia, menjadi makanan pokok manus ia. 171 i.
Telor ayam kampung (Tanteluh Manuk Darung Tingang ) Berfungsi sebagai persembahan bagi roh yang mengganggu si
sakit dalam proses pelaksanaan ritual Nyadiri. Selain beberapa kelengkapan ritual Nyadiri tersebut di atas, maka diperlukan juga beberapa bagian dari organ tubuh orang yang sakit untuk pelaksanaan proses ritual Nyadiri, biasanya berupa: j.
Kikisan dari kuku tangan maupun kuku kaki dari orang yang
sakit. Baik itu kuku tangan sebelah kiri maupun kanan si sakit, demikian juga halnya dengan kuku kaki si sakit. Kikisan kuku jari sebelah kanan diletakan persis pada jari tangan kanan patung sadiri, sedangkan bagian kaki
persis
diletakan
pada
bagian
kaki
dari
patung
sadiri
yang
merupakan simbol dari orang yang sakit. k.
Diambil rambut 1 (satu) helai dari orang yang sakit dengan cara
dicabut dari si sakit. Selanjutnya diletakan persis pada bagian patung sadiri. Menurut Yohanson B. Tanggalung, rambut sehelai yang diambil dari orang yang sakit tidak boleh diambil dengan cara digunting. Karena apabila diambil dengan cara digunting, maka dapat menyebabkan umur pendek (tau manampa kapandak umur ) dari orang yang sakit. Rambut sehelai ini diletakan persis pada bagian kepala patung sadiri. 172 l.
Kemudian diambil sedikit sobekan kain baju maupun celana dari
si sakit. Untuk sobekan kain baju, diletakan persis pada bagian tubuh
171 172
Nila Riwut (Peny.)., Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur.,202-203. Wawancara, Yohanson Tanggalung, (Palangka Raya: 02 Februari 2012).
patung sadiri. Selanjutnya untuk sobekan kain celana persis diletakan pada bagian kaki dari orang yang sakit. Setelah selesai tahap persiapan s yarat-syarat ritual Nyadiri, maka lengkaplah segala persyaratan ritual Nyadiri. Serta dipercayai bahwa hampatung sadiri tadi telah menyerupai orang yang sakit . 3.2.
Pelaksanaan Ritual Nyadiri Dalam proses pelaksanaan ritual Nyadiri, maka langkah yang
pertama dilakukan ialah mengasapi ( menggaru manyan ) syarat-syarat ritual Nyadiri dengan dupa. Dengan tujuan, supaya doa -doa (papat pamang) yang disampaikan oleh orang yang melaksanakan ritual Nyadiri sampai kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan). Serta dikabulkan oleh Ranying Hatalla dengan dengan dibantu oleh roh yang dipercaya oleh Ranying Hatalla untuk menolong orang yan g sakit. Bunyi doa tersebut demikian: Ehem behas...nggaru manyanku ikau behas tawur, injamku bitim tuh karena ikau je paling sakti, paling kuasa, paling jaya, ije tantai tuntung nyaman ikei pantai danum kalunen tambing tahaseng ikei luwuk kampungan bunu. Ela ikau tarewen matei, ela ikau heran tuh aku minjam ikau je sakti, ije jaya, ije kuasa tuh. Dohop dengam, ikau hajamban auhku tuh, aku laku dohop dengam ikau manyampai anu... (si roh tempat kita meminta tolong) hapan lasang kilat panangkaje andau, ikau tuh harus capat mangguang uluh tuh. Tau-tau ikau nuntung peteh, pandai-pandai ikau nambing nyaman ikei luwuk kampungan bunu tuh.173
artinya: wahai beras, kudupai engkau, ku pakai rohmu karena engkaulah yang paling sakti, paling kuasa, paling jaya yang selalu menjadi perpanjangan suara dan nafas kami yang tinggal di dunia ini. Janganlah engkau terkejut, janganlah engkau heran, sekarang ku paka i engkau yang sakti, yang jaya, dan yang berkuasa. Minta tolong, melalui pesanku ini, engkau menemui Patahu dengan memakai kendaran yang 173
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 02 Pebruari 2012).
secepat kilat (lasang kilat panangkaje andau ), engkau harus dengan segera menemui Patahu. Pandai-pandai engkau menyampa ikan pesan, pandai-pandai engkau menjadi perpanjangan pesan kami manusia yg hidup di dunia ini. Setelah dilaksanakannya proses mendupai atau mengasapi syarat s yarat ritual dan disertai dengan doa, maka setelah itu diletakanlah s yarat-syarat ritual di hadapan si sakit. Lalu si sakit, mendoakan dalam hatinya. Demikian bunyi doanya: Te ika u ela sa ma sin d e ika u m en g g a n g g u a k u n d a i. I ka u mu s ti men g g a n g g u i e to h . To h iye g a n t i ta n g k i rin g ku sa ma b a ra la mb a ra n b a la u sa mp a i tu n ju k p a in g ku , sa ma ku ru s ta wa s, sa ma ku ta k p a n d erku d en g a n jetu h . Ika u n ya lu h u n g ja d i a rep ku . Ro h a yu n g ku tu h m en je lma je te, ja d i i ka u n d a i je a ka n p a ka t l ia u a n u ... te. 174
Artinya: Mulai dari sekarang jangan lagi engkau mengganggu aku lagi. Engkau harus mengganggu patung sadiri ini, patung sadiri ini sebagai ganti diriku, dari ujung rambut sampai ujung kaki sama persis, sama bentuk tubuh, patung sadiri ini sama cara bicaraku. Patung sadiri menjadi diriku. Rohku menjelma kepada patung sadiri, mulai sekarang engkaulah (patung sadiri) yang akan menjadi teman dari roh anu...(roh orang
mati). Setelah itu meludah persis pada patung sadiri sebagai
simbol darah daging si sakit ( oloh balemo hambarua ). Setelah langkah tersebut selesai, maka langkah selanjutnya ialah orang yang melaksanakan ritual Nyadiri mengangkat segala syarat -syarat ritual yang sudah ada dalam alat penampi beras ( nyiru) persis di atas kepala si sakit. Lalu oleh orang yang melaksanakan ritual nyadiri mendoakan keselamatan bagi si sakit, dengan kata -kata sebagai berikut: 174
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 03 Pebruari 2012).
Buli batu junjun jakat liang lambaran balau. Toh liau anu...ela ndai ikau mengganggu anu...toh. Toh ikau nduan hampatung jetuh je akan gantin tangkiri anu...toh, jetuh je nduam, akan pakat kawalmu, akan dengam je melai lewu liau kanih. Ikau je melai silan kanih, hilan kanih ih. Ela ikau mengganggu anu...toh hindai. Mahantuk 3 (hantelu) kali. Palus nulak hapan lenge sambil. 175
Artinya: Pulanglah roh anu... masuk melalui lembaran-lembaran rambut. Sekarang roh anu...(roh yang mengganggu), jangan lagi engkau mengganggu anu...(si sakit). Sekarang ambilah patung ini sebagai ganti dari anu...(si sakit), patung ini yang engkau ambil, sebagai temanmu, dan sekaligus untuk menemanimu di dunia orang mati sana. Engkau yang tinggal dan diam di dunia orang mati, di sana saja engkau berada. Jangan lagi engkau mengganggu anu... (si sakit) ini lagi. Setelah itu selesai, maka disentuhkanlah segala syarat-syarat ritual Nyadiri ke atas kepala si sakit sebanyak 3 (tiga) kali. Lalu si sakit mendorong dengan tangan kiri segala syarat-syarat ritual nyadiri yang ada di dalam alat penampi beras (nyiru). Dengan di dorong dengan tangan kiri, maka diyakini bahwa segala sakit-penyakit, sial, dan segala ancaman mara bahaya yang mengancam si sakit akan dijauhkan dari si sakit.176 Selanjutnya orang yang melaksanakan ritual Nyadiri membawa segala syaratsyarat ritual Nyadiri ke luar rumah. Biasanya ke alam terbuka (petak) yang tidak dilihat oleh orang. Setelah itu, di alam terbuka orang yang melaksanakan ritual Nyadiri mendoakan keselamatan bagi si sakit, sambil menaburkan beras kuning ke arah persyaratan ritual Nyadiri. Adapun doanya berbunyi: Toh liau anu...ikau nduan anu...toh. Sama kurus tawas tanjang tanga. Terai ndai ikau ganggu anu..te. Toh iye ganti tangkiri, nduan jetuh bagian aim. Toh iye panginan. Toh iye bahatam.177
175
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 03 Pebruari 2012) . Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 04 Pebruari 2012) 177 Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 04 Pebruari 2012). 176
Artinya: Ini roh anu...(roh yang mengganggu), kamu ambil anu...(patung sadiri) ini. Sama bentuk tubuhnya dengan si sakit. Sudahlah engkau mengganggu anu...(si sakit). Patung sadiri Ini sebagai gantinya ambil ini sebagai bagianmu. Ini persembahan untukmu. Ini untuk kamu bawa pulang ke tempatmu. Persembahan di sini berupa ketupat, telor, sirih pinang, rokok yang khusus dipersembahkan bagi roh orang yang telah meninggal. Hampatung sadiri tadi diserahkan kepada roh yang mengganggu si sakit, sebagai ganti diri si sakit. Sebagai teman bagi orang yang telah meninggal tersebut di dunia orang mati. Dalam dunia nyata, maka orang yang melaksanakan ritual Nyadiri yang menyerahkan segala persembahan kepada roh orang yang meninggal. Akan tetapi dalam dunia transenden, maka Patahu lah yang membawa serta menyerahkan segala syarat-syarat dengan segala kelengkapannya kepada Tatu Kalaya Henda yang menjaga Bukit Pasahan Raung Kereng Daring Penda Lunuk (tempat penantian sementara untuk orang yang mati). Lalu Tatu Kalaya Henda lah yang menanyakan kepada roh-roh yang tinggal di Bukit Pasahan Raung, roh siapa yang telah membawa roh orang yang hidup ke dalam dunia orang mati. Sampai akhirnya segala syarat tersebut di terima oleh roh orang yang meninggal baik itu persembahan maupun patung sadiri sebagai ganti dari orang yang sakit.178 Apabila liau (roh) orang yang meninggal tersebut tidak mau menyerahkan roh orang yang hidup tersebut kepada Patahu, maka hampatung panduk apui (patung yang terbuat dari sisa kayu bakar) yang akan menakuti roh yang mengganggu si sakit dengan api. Di sini dipahami bahwa hampatung panduk apui dapat menjadi api dan berfungsi untuk menakuti roh yang mengganggu si sakit. Sampai akhirnya roh yang mengganggu
178
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 05 Pebruari 2012).
menyerahkan roh si sakit kepada Patahu untuk dibawa pulang.179 Setelah itu segala syarat dilepaskan di alam terbuka (melai hunjun petak). Adapun syarat yang diambil oleh orang yang melaksanakan ritual nyadiri untuk dibawa pulang ialah: behas tambak dan behas hambaruan. Setelah proses itu selesai, selanjutnya yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan ritual Nyadiri ialah memanggil roh orang yang sakit untuk pulang. Dan yang ikut membantu mengantarkan roh orang yang sakit itu ialah Patahu. Biasanya doa yang disampaikan oleh orang yang melaksanakan ritual nyadiri tersebut berbunyi: Kuruk...hambaruan anu...buli. Kuruk...hambaruan anu...buli. Buli huang behas bungkus hatimpung. Balaku hariten halawu benteng, barintih halawu upun tundu. Kuruk hambaruan anu...buli. Kuruk...hambaruan anu...buli. Terai ndai ikau nyaranta awi liau anu...te. Kuruk hambaruan anu...buli, kuruk...hambaruan anu...buli.180
Artinya: Pulanglah roh anu...(si sakit). Pulanglah roh anu...(si sakit). Pulang ke dalam beras yang sudah dibungkus menjadi satu. Minta tanda hariten dan barintih pada bagian behas hambaruan. Pulanglah roh anu...(si sakit), pulanglah roh anu...(si sakit). Sudahlah engkau diganggu oleh roh anu...(roh yang menganggu) itu. Pulanglah roh anu...(si sakit), pulanglah roh anu...(si sakit). Setelah itu orang yang melaksanakan ritual Nyadiri pulang ke rumah orang yang sakit. Akan tetapi sebelum masuk ke dalam rumah si sakit, maka orang yang melaksanakan ritual Nyadiri bertanya kepada orang yang berada di dalam rumah. Bunyi kalimat pertanyaannya ialah: Ui...uluh huma en barigas ndai iye nah? Dia ndai iye balasut badarem haban pehe? Halalu uluh huang huma tumbah “barigas ndai iye, mangat ndai iye nanjung netei, mangat ndai iye satiar bauusaha, bagawi lius.181
179
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 05 Pebruari 2012). Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 06 Pebruari 2012). 181 Wawancara, Yohanson B. Tanggalung, (Palangka Raya: 06 Pebruari 2012) 180
Artinya: Ya...orang yang di dalam rumah, sudah sehatkah orang yang sakit itu? Tidakah ia panas demam lagi? Lalu disahuti oleh orang yang ada di dalam rumah dengan “dia (orang yang sakit) sudah sehat, sudah bisa berjalan ke sana ke mari, dia juga sudah enak untuk beruasaha dan bekerja. Lalu orang yang melaksanakan ritual Nyadiri, masuk ke dalam rumah si sakit. Setelah itu membuka (behas hambaruan), apabila terdapat tanda hariten atau barintih pada behas hambaruan maka ritual Nyadiri dapat dikatakan berhasil. Selanjutnya orang yang melaksanakan ritual Nyadiri menaburkan behas hambaruan di atas kepala orang yang sakit, sambil berkata: Kuruk hambaruam bara junjun kare purun jakat liang lambaran balau, buli hayak panekang paniring uhat, buli hayak aseng panjang manarik langit manyame ambu barajur hawun, buli hayak tuah rajaki, buli hayak untung ukur, buli hayak aseng panjang, buli hayak isi daha, buli tulang uhatmu kilau junjun helu, terai ndai ikau balasut-badarem, haban pehe, nupi nyaranta, dan sebagai te. Kuruk...hambaruam buli, kuruk...hambaruam buli, kuruk...hambaruam buli, buli hayak aseng panjang manarik langit manyame ambu. Sanang mangat ndai ikau belom melai Pantai Danum Kalunen toh. Sahi..182.
Artinya: Pulanglah rohmu masuk ke melalui lembaran rambut, pulang bersama segala rejekimu, pulang bersama keberuntunganmu, pulang bersama nafas kehidupan yang panjang, pulang bersama darah dan daging, pulang tulang dan uratmu seperti sedia kala, berhenti engkau sudah panas demam, sakit, mimpi buruk yang selalu mengganggu, dan sebagainya. Pulanglah rohmu, pulanglah rohmu, pulanglah rohmu, pulang bersama dengan nafas panjang. Hidup nyamanlah engkau di dunia ini. Selesai. Setelah semua tahapan itu selesai dilaksanakan, maka tahapan yang terakhir ialah mengoleskan tampung tawar
yang berfungsi untuk menetralisir atau
mendingingkan si sakit supaya pulih seperti sedia kala. Dalam pelaksanaan tampung tawar, biasanya disertai dengan doa-doa bagi kesembuhan orang si sakit. Setelah semua itu selesai, maka orang yang sakit terlepas dari segala sakit-penyakit, roh pengganggu 182
Wawancara, Yohanson B. Tanggalung (Palangka Raya: 06 Pebruari 2012).
dan kelemahan fisik lainnya. Dengan demikian, maka orang yang dilaksanakan ritual Nyadiri siap untuk hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Bahkan menurut Noprida, yang pernah melakukan ritual Nyadiri apabila sebelumnya dia seringkali bermimpi bertemu dengan roh orang mati dan seringkali merasakan perasaan yang tidak enak, setelah dilaksanakannya ritual Nyadiri dia tidak pernah lagi merasakan sakit dan bermimpi bertemu dengan roh yang telah meninggal.183
183
Wawancara, Noprida, (Palangka Raya: 07 Pebruari 2012).