BAB III SOLUSI BISNIS
Untuk meminimasi tingginya frekuensi sejumlah cacat pada stasiun kerja Winding dalam pembuatan produk Ballast TB 210, maka diperlukan suatu alat pengendalian kualitas yang mampu meminimasi jumlah cacat tersebut yang terjadi pada perusahaan saat ini. Dalam bab ini akan dibahas mengenai alternatif untuk menyelesaikan masalah dan analisis pemecahan masalah dari metoda yang dipilih.
3.1.
Alternatif Solusi
Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi perusahaan saat ini terdapat alternatif solusi yang dapat diimplementasikan. Siklus P(Plan)-D(Do)-C(Check)A(Act) merupakan langkah-langkah yang diperkenalkan oleh Edwards Deming pada tahun 1960 an untuk menggambarkan logika dasar dari perbaikan proses berbasis data (Pande, 2002): 1. Plan Meninjau berbagai isu dan kesenjangan yang ada pada kinerja saat ini, mengumpulkan data mengenai masalah-masalah kunci dan merencanakan sebuah implementasi uji coba terhadap solusi yang paling potensial. 2. Do Melaksanakan rencana yang telah ditetapkan tersebut. 3. Check Mengukur hasil-hasil uji coba untuk mengetahui apakah hasil yang dimaksudkan sedang tercapai. 4. Act Berdasarkan solusi uji coba dan evaluasi, perbaiki dan tingkatkan solusi untuk membuat penyempurnaan. Terdapat model penyempurnaan yang lebih teliti/detail dari Siklus PDCA yaitu dalam Metode Six Sigma berbasis statistika yang merujuk pada siklus perbaikan proses melalui 5 fase yaitu : Define (Tentukan), Measure (Ukur), Analyze
45
(Analisa), Improve (Tingkatkan) dan Control (Kendalikan). Fase DMAIC sebenarnya merupakan penyempurnaan dari siklus orisinil PDCA, akan tetapi fase DMAIC dapat diterapkan baik pada usaha perbaikan proses maupun perancangan/perancangan ulang proses.
3.2.
Analisis Solusi Bisnis
Salah satu alat pengendalian kualitas yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perusahaan saat ini yaitu metode peningkatan kualitas Six Sigma melalui fase DMAIC. Six Sigma dapat dikatakan sebagai metode yang berfokus pada proses dan pencegah cacat (defect). Pencegahan cacat dilakukan dengan cara mengurangi variasi yang ada dalam setiap proses dengan menggunakan teknikteknik statistika yang sudah dikenal secara umum. Oleh karena itu dalam penelitian ini masalah yang menimbulkan dampak biaya akibat cacat yang terbesar akan dicari faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan (defect) dengan menggunakan metode Six Sigma. Sehingga kegagalan yang terjadi dapat dikendalikan dan jumlahnya dapat dikurangi dan pada akhirnya dapat dihilangkan.
3.2.1. Define Tahap Definisi (Define Phase) merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu mendefinisikan beberapa hal yang terkait dengan kriteria pemillihan proyek Six Sigma.
3.2.1.1.Identifikasi Masalah / Cacat Produk Berikut ini adalah data jumlah cacat yang terjadi untuk setiap proses dalam pembuatan produk Ballast TB 210 yang diterima dari bagian produksi untuk perioda Semester 1 tahun 2008. Data Jumlah cacat untuk setiap proses dapat disajikan pada tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1 Data Jumlah Cacat Pada Setiap Proses Produksi Ballast TB-210 No.
46
Proses
Jumlah Cacat
Jumlah Produksi
(Unit)
(Unit)
Presentase Kecacatan (%)
58629
0.65
1
Winding
382
2
Packing
147
33075
0.44
3
Assembling
116
50080
0.23
Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 3.1 di atas, maka data tersebut dapat dilihat dalam bentuk grafik Histogram pada Gambar 3.1 berikut ini.
382
400 350
Jumlah Cacat
300 250
147
200
116
150 100 50 0 Winding
Packing
Assembling
Gambar 3.1 Grafik Histogram Jumlah Cacat Untuk Setiap Proses
Pemilihan proyek Six Sigma yang akan dilakukan terhadap PT. Nikkatsu yaitu berdasarkan kebijakan perusahaan dalam menekan sejumlah cacat untuk proses yang menghasilkan kecacatan dengan jumlah dan presentase terbesar. Masalah yang akan diprioritaskan yaitu proses yang memiliki presentase jumlah cacat paling tinggi yaitu pada proses winding yaitu sebesar 0.65%. Berikut ini adalah data jumlah cacat pada stasiun kerja winding yang diterima selama selama perioda Semester 1 tahun 2008 yang sebelumnya sudah ditampilkan pada tabel 2.2.
Tabel 3.2 Data jumlah cacat proses Winding No.
Jenis Cacat
Proses
(Masalah) - Lost - Kawat Miring
Winding 1
- Gemuk - Putus Awal - Putus Akhir - Bobbin Cacat (Bolong) - Kawat Terjepit
Total Cacat (Unit) Total Produksi (Unit) Presentase (%)
Total
Bulan keJanuari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
persemester
28 0 5 3 0 3 0 39 5753 0.68
35 5 3 2 0 0 0 45 6350 0.71
15 0 2 0 0 0 0 17 5100 0.33
43 20 0 0 0 0 0 63 12326 0.51
52 15 0 2 5 0 2 76 9480 0.80
93 30 7 1 0 6 5 142 19620 0.72
266 70 17 8 5 9 7 382 58629 0.65
Berdasarkan data yang ada dalam Tabel 3.2 di atas, maka data tersebut dapat dilihat kembali dalam bentuk grafik Histogram pada Gambar 3.2 berikut ini.
47
300
Jumlah Cacat
250 200 150 100 50
Jenis cacat
0 Lost
Kawat
Gemuk
M iring
Kawat
Putus
Putus
Bobbin
Awal
Akhir
Cacat Terjepit (Bolong)
Gambar 3.2 Grafik Histogram Jenis dan Jumlah Cacat Proses Winding
Agar pelaksanaan proyek Six Sigma dapat lebih terfokus maka pemilihan proyek Six Sigma dalam proses winding yaitu dengan memprioritaskan jenis cacat yang memiliki persentase jumlah cacat paling tinggi yang sekaligus diasumsikan sebagai jenis cacat yang paling bermasalah yang dapat dilihat pada Gambar 3.3 di bawah ini.
Presentase Kecacatan
120 100 80 60 40
Jenis Cacat
20
Kumulatif presentase
0 Lost
Kawat M iring
Gemuk
Putus
Putus
Bobbin
Kawat
Awal
Akhir
Cacat
Terjepit
(Bolong)
Gambar 3.3 Diagram Pareto Jenis dan Presentase Jumlah Cacat
3.2.2. Measure Tahap ini merupakan tahap operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Fase Measure membantu dalam memahami kondisi sekarang dari suatu proses sebelum kita mengidentifikasi perbaikan yang akan dilakukan. tahapan yang akan dilakukan dalam tahap Measure, yaitu: Melakukan pemetaan
48
performansi proses winding melalui Peta Kendali (Control Chart), Melakukan perhitungan kemampuan proses (Cp dan Cpk), Memilih atau menentukan karakteristik kualitas CTQ (Critical To Quality) dan Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, dan/atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal proyek Six Sigma.
3.2.2.1. Peta Kendali (Control Chart) Peta kendali dibuat untuk mengetahui performansi kualitas proses winding. Dalam peta akan terlihat perubahan dari waktu ke waktu tapi tidak menunjukkan penyebab penyimpangan. Peta kendali yang akan digunakan adalah peta kendali p, dimana bagan p digunakan untuk bagian yang ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi. Bagan p merupakan rasio dari banyaknya barang yang tidak sesuai terhadap total barang yang diperiksa dengan jumlah pemeriksaan berbeda-beda untuk setiap perioda.
Tabel 3.3 Data perhitungan proporsi cacat Lost pada proses Winding No.
Tanggal Inspeksi
Jumlah Yang
Jumlah Yang
Diperiksa
ditolak
(ni)
(Pi)
Proportion per-Perioda 0.01125
UCL
LCL
P bar
0.01148
0
0.00474
1
2 Juni 2008
978
11
2
3 Juni 2008
925
5
0.00541
0.01148
0
0.00474
3
4 Juni 2008
935
7
0.00749
0.01148
0
0.00474
4
5 Juni 2008
916
4
0.00437
0.01148
0
0.00474
5
6 Juni 2008
923
3
0.00325
0.01148
0
0.00474
6
9 Juni 2008
947
7
0.00739
0.01148
0
0.00474
7
10 Juni 2008
938
3
0.00320
0.01148
0
0.00474
8
11 Juni 2008
915
2
0.00219
0.01148
0
0.00474
9
12 Juni 2008
927
4
0.00431
0.01148
0
0.00474
10
13 Juni 2008
959
5
0.00521
0.01148
0
0.00474
0.01148
0
0.00474 0.00474
11
16 Juni 2008
930
4
0.00430
12
17 Juni 2008
935
6
0.00642
0.01148
0
13
18 Juni 2008
948
7
0.00738
0.01148
0
0.00474
14
19 Juni 2008
935
3
0.00321
0.01148
0
0.00474
15
20 Juni 2008
934
4
0.00428
0.01148
0
0.00474
16
23 Juni 2008
910
2
0.00220
0.01148
0
0.00474
17
24 Juni 2008
945
5
0.00529
0.01148
0
0.00474
18
25 Juni 2008
935
3
0.00321
0.01148
0
0.00474
19
26 Juni 2008
938
3
0.00320
0.01148
0
0.00474
20
27 Juni 2008
907
2
0.00221
0.01148
0
0.00474
21
30 Juni 2008
940
3
0.00319
0.01148
0
0.00474
49
Contoh perhitungan: 1. N bar = Total jumlah produk yang diperiksa (∑ ni) / jumlah pemeriksaan (k) = 19620 / 21 = 934,2857 2. P bar = Total jumlah produk yang ditolak (∑ Pi) / Total jumlah produk yang diperiksa (∑ni) = 93 / 19620 = 0,00474
3. Proporsi cacat per perioda = Jumlah yang ditolak (Pi) / Jumlah yang diperiksa (ni) = 11 / 978 = 0,01125 4. UCL = P bar + 3 √ Pbar x (1-Pbar) / n bar = 0,00474 + 3 √ 0,00474 x (1-0,00474) / 934,2857 = 0,01148 5. LCL = P bar - 3 √ Pbar x (1-Pbar) / n bar = 0,00474 - 3 √ 0,00474 x (1-0,00474) / 934,2857 = -0,00572 ≈ 0 Gambar 3.4 berikut merupakan bagan kendali p yang digunakan untuk mengetahui performansi kualitas proses winding untuk jenis cacat Lost yang merupakan jenis cacat yang mempunyai frekuensi terbesar diantara jenis cacat lainnya pada proses winding.
50
P-Chart for Lost Defect 0.01400 0.01200
Proportion
0.01000 0.00800 0.00600 0.00400 0.00200 0.00000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 13 14 15 16 17 18 19
2
21
Sam ple Num ber
Proportion Per-perioda
UCL
LCL
P bar
Gambar 3.4 Bagan kendali p untuk jenis cacat Lost
Dari gambar 3.4 di atas diketahui bahwa proporsi cacat yang terjadi untuk bulan Juni masih terkontrol dan berada dalam batas atas dan bawah. Akan tetapi untuk perioda ke 1 pada tanggal 2 juni 2008 proporsi cacat yang terjadi mendekati batas atas pada peta kontrol p , maka untuk perioda tersebut harus segera ditanggulangi melalui pengendalian terhadap proses produksi. Gambar 3.4 berikut merupakan bagan kendali p yang digunakan untuk mengetahui performansi kualitas proses winding untuk jenis cacat Lost yang merupakan jenis cacat yang mempunyai frekuensi terbesar diantara jenis cacat lainnya pada proses winding.
3.2.2.2. Perkiraan Kemampuan Proses (Process Capability) Pada tahap ini akan dilakukan pengujian kemampuan proses winding berdasarkan data historis jenis cacat terbesar yaitu jenis cacat lost untuk proses winding . Dari pengujian kemampuan proses ini dapat diketahui berapa indeks kapabilitas proses (Cp dan Cpk). Untuk mengetahui perkiraan kemampuan proses ini, data pengukuran diolah dengan menggunakan bantuan program Minitab versi 13.1.
51
Process Capability Winding
LSL
Process Data USL
USL
Target
12.0000
Target
3.0000
LSL
0.0000
Mean
4.4286
Sample N
Within Overall
21
StDev (Within)
1.86170
StDev (Overall)
2.23160
Potential (Within) Capability Cp
1.07
CPU
1.36
CPL
0.79
Cpk
0.79
Cpm
0.76
-2
Overall Capability
0
2
4
Observed Performance
6
8
10
Exp. "Within" Performance
Exp. "Overall" Performance
Pp
0.90
PPM < LSL
0.00
PPM < LSL
8685.13
PPM < LSL
PPU
1.13
PPM > USL
0.00
PPM > USL
23.82
PPM > USL
PPL
0.66
PPM Total
0.00
PPM Total
Ppk
0.66
8708.94
12
PPM Total
23601.16 345.88 23947.05
Gambar 3.5 Process Capability Winding untuk jenis cacat Lost
Berikut ini adalah contoh perhitungan indeks kapabilitas proses (Cp dan Cpk) secara manual : 1. USL = 12,00 ; LSL = 0,00 ; σ 2. Cp
= 1,86170 ; µ = 4.4286
= (USL –LSL) / 6 σ = (12,00 - 0,00) / 6 (1,86170) = 1.0742
3. CPU
= (USL - µ) / 3 σ = (12,00 - 4.4286) / 3(1,86170) = 1,3556 ≈ 1,36
4. CPL
= (µ - LSL) / 3 σ = (4.4286 – 0,00) / 3(1,86170) = 0,792
5. Cpk
= min (CPU ; CPL) = min (1,36 ; 0,792) = 0,792
52
Berdasarkan gambar kemampuan proses winding untuk jenis cacat lost dapat diperoleh suatu analisa secara keseluruhan yaitu : 1. Process Performance Pada gambar 3.5 diatas terdapat 2 kurva yaitu kurva within (potensial) dan kurva overall (aktual). Kurva within (potensial) menunjukkan yang harus dicapai, sedangkan kurva overall (aktual) menunjukan keadaan pada saat ini. Berdasarkan gambar 3.5 di atas terlihat bahwa kurva overall berada tidak tepat dengan kurva within (potensial) sehingga perlu dilakukan perbaikan proses. Selain itu, pada gambar terlihat bahwa histogram tidak terletak di tengahtengah nilai target yaitu 3. Penyebaran data cenderung terletak di sebelah kanan dari nilai target yang diharapkan, dengan demikian perlu dilakukan improve atau perbaikan sehingga penyebaran data dapat mengumpul pada nilai target yang diharapkan. 2. Potensial (within) Capability Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai Cp adalah sebesar 1,0742 yang menunjukkan range/jangkauan distribusi hasil. Kondisi yang baik menurut 6σ adalah jika Cp≥ 2 (Breyfogle,2003). Sedangkan nilai Cp pada tahap measure ini ≤ 2, hal ini menunjukkan rendahnya jangkauan distribusi hasil atau dengan kata lain kemampuan proses yang rendah. Selain itu nilai Cpk tahap measure ini adalah sebesar 0,792, nilai Cpk ini menunjukkan kemampuan proses untuk mencapai nilai spesifkasi target. Kondisi yang baik menurut 6σ adalah jika Cpk≥ 1,5 (Breyfogle,2003). Sedangkan nilai Cpk pada tahap measure ini ≤ 1,5, hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan proses untuk mencapai nilai spesifikasi target. Berdasarkan nilai Cp dan Cpk yang diperoleh pada tahap measure ini maka dapat dikatakan bahwa kemampuan masih rendah dan perlu dilakukan tindakan perbaikan.
3.2.2.3. Penentuan Critical To Quality (CTQ) Setelah pengidentifikasian karakteristik jenis cacat berdasarkan Persentase jumlah kecacatan pada proses winding, maka langkah selanjutnya yaitu tahap Measure, tahap
ini adalah tahap untuk menentukan Critical To Quality (CTQ), atau
karakteristik jenis cacat yang paling kritis terhadap proses Winding. Penentuan
53
karakteristik cacat yang paling kristis pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan oleh adanya cacat produk, seperti: 1. Besarnya biaya tenaga kerja. 2. Besarnya biaya bongkar pasang. 3. Besarnya biaya komponen yang terlibat. Untuk menghitung besarnya biaya kualitas yang diakibatkan oleh masing-masing masalah yang terjadi selama Semester 1 tahun 2008. Sebelumnya harus mengetahui berapa lama waktu perbaikan yang dibutuhkan untuk memperbaiki masing-masing masalah tersebut.
Tabel 3.4 Data Waktu Perbaikan dan Komponen yang Terlibat No
Jenis Cacat
Jumlah Cacat
Waktu Perbaikan
Komponen yang
Keterangan
(Menit)
terlibat
266
8
-
Kawat Miring
70
10
-
-
3
Gemuk
17
9
-
-
4
Putus Awal
8
5
-
-
5
Putus Akhir
5
10
-
-
6
Bobbin Cacat (Bolong)
9
10
Bobbin Baru
Diganti
7
Kawat Terjepit
7
8
-
-
(Unit) 1
Lost
2
-
Masalah/cacat perbaikan pada proses winding diatas dapat diperbaiki oleh pegawai repair yang mengerjakan berbagai jenis kecacatan yang berbeda, jumlah waktu dan komponen yang akan digunakan untuk menyelesaikan produk yang bermasalah tersebut berbeda-beda pula. 1. Biaya Tenaga Kerja Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai repair, bahwa upah yang diperoleh sebesar Rp. 1.000.000,- setiap bulannya. Dimana dengan asumsi: a) satu bulan
= 4 minggu
b) satu minggu = 5 hari kerja c) satu hari
= 8 jam kerja
Dengan asumsi diatas dapat diperoleh upah yang diperoleh dalam satu hari, yaitu:
54
Upah Satu Hari = Rp. 1.000.000 / (4 x 5) = Rp. 50.000 perhari. Maka, biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah sebagai berikut: Biaya Tenaga Kerja = [∑ Cacat x Waktu Perbaikan / 60 Menit x 8 Jam] x Upah Perhari
(3.1)
2. Biaya Bongkar Pasang Biaya bongkar pasang 1 unit yang rusak sebesar Rp. 1.200. Maka besarnya biaya yang dikeluarkan antara lain: Biaya Bongkar Pasang = ∑ Cacat * Rp. 1.200
(3.2)
Asumsi: Biaya bongkar pasang seharga Rp. 1.200 untuk satu masalah/cacat produk yang timbul. 3. Biaya Komponen yang Terlibat Besarnya biaya komponen yang terlibat dihitung berdasarkan: Biaya Komponen yang Terlibat = ∑ Cacat * Harga Komponen
(3.3)
4. Biaya Kualitas Biaya kualitas dihitung berdasarkan hasil dari penjumlahan semua biaya yang dikeluarkan. Biaya Kualitas = Biaya Tenaga Kerja + Biaya Bongkar Pasang +.... Biaya Komponen yang Terlibat
(3.4)
Berdasarkan hasil perhitungan, maka besarnya biaya kualitas yang ditanggung oleh pihak perusahaan dapat terlihat pada Tabel 3.5 berikut ini.
Tabel 3.5 Perhitungan Biaya Kualitas yang Dikeluarkan No
Jenis Cacat
Biaya Tenaga
Biaya Bongkar
Kerja
Pasang
(Rp.) 1 2 3 4 5 6 7
Lost Kawat Miring Gemuk Putus Awal Putus Akhir Bobbin Cacat (Bolong) Kawat Terjepit
221666.667 72916.667 15937.500 4166.667 5208.333 9375.000 5833.333
Biaya Komponen Biaya Kualitas yang Terlibat
(Rp.) 319200 84000 20400 9600 6000 10800 8400
(Rp.) 0 0 0 0 0 6300 0
(Rp.) 540867 156917 36338 13767 11208 26475 14233
Catatan: Untuk komponen bobbin yang rusak digunakan bobbin yang baru, kerugian yang dapat diganti untuk 1 unit bobbin yang baru adalah Rp. 700.
55
Dari Tabel 3.4 di atas dapat diketahui biaya kualitas terbesar yang dibebankan kepada perusahaan akibat adanya sejumlah unit yang cacat adalah pada jenis cacat Lost. Masalah/cacat produk ini memberikan kerugian pada perusahaan sebesar Rp. 540.867 untuk satu jenis cacat lost pada proses winding.
3.2.2.4. Perhitungan Level Sigma Pengukuran DPO (Defects Per Opportunities), DPMO (Defect Per Million Opportunities) dan Level Sigma ini bertujuan untuk mengetahui kondisi performansi perusahaan saat ini, yaitu dengan melihat pada level sigma berapa kondisi perusahaan saat ini berada. Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran untuk ukuran DPO, DPMO dan Level Sigma setiap periode pengamatan dan ukuran DPO, DPMO, dan Level Sigma untuk proses secara keseluruhan. Hasil perhitungan ini berdasarkan waktu/periode pengukuran pada bulan Juni 2008 dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut. Tabel 3.6 Performansi Kualitas Proses Winding Untuk Jenis Cacat Lost Jumlah
Jumlah
CTQ
Inspeksi
cacat (Unit)
Produksi (Unit)
Potensial
DPO (Unit)
DPMO (Unit)
1
2 Juni 2008
11
978
7
0.00161
1606.778
Sigma 4.447
2
3 Juni 2008
5
925
7
0.00077
772.201
4.666
3
4 Juni 2008
7
935
7
0.00107
1069.519
4.570
4
5 Juni 2008
4
916
7
0.00062
623.830
4.728
5
6 Juni 2008
3
923
7
0.00046
464.324
4.811
6
9 Juni 2008
7
947 938
7 7
0.00106 0.00046
1055.966 456.899
4.574 4.816
7 7
0.00031 0.00062
312.256 616.428
4.921 4.731
744.823 614.439
4.677 4.732
No.
Tanggal
Kualitas Proses Level Six
7
10 Juni 2008
3
8
11 Juni 2008
2
915
9
12 Juni 2008
4
927
10
13 Juni 2008
5
959
11
16 Juni 2008
4
930
7 7
0.00074 0.00061
12
17 Juni 2008
6
935
7
0.00092
916.730
4.616
13
18 Juni 2008
7
948
7
0.00105
1054.852
4.574
14
19 Juni 2008
3
935
7
0.00046
458.365
4.815
15
20 Juni 2008
4
934
7
0.00061
611.808
4.733
16
23 Juni 2008
2
910
7
0.00031
313.972
4.919
17
24 Juni 2008
5
945
7
0.00076
755.858
4.672
18
25 Juni 2008
3
935
7
0.00046
458.365
4.815
19
26 Juni 2008
3
938
7
0.00046
456.899
4.816
20
27 Juni 2008
2
907
7
0.00032
315.010
4.918
21
30 Juni 2008
3
940
7
0.00046
455.927
4.816
93
19620
7
0.00068
677.152
4.704
Total
Keterangan : Jumlah CTQ Potensial = 7, diperoleh dari banyaknya karakteristik kunci (jenis cacat) yang dinilai potensial atau berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan (Proses selanjutnya).
56
Contoh perhitungan: DPO no.1
= Jumlah Cacat / (Jumlah Produksi x CTQ Potensial) = 11/ (978x7) = 0.00161
DPMO no.1
= DPO * 1.000.000 = 0.00161* 1.000.000 =1.606,778
Level Sigma no.1
= normsinv ((1000000-DPMO)/1000000)+1,5 = normsinv ((1000000-1.606,778)/1000000)+1,5 = 4.447
Nilai 1,5 untuk perhitungan Level Sigma menunjukan proses Six Sigma dengan distribusi normal yang mengizinkan nilai rata-rata (mean) proses bergeser ±1,5 sigma dari nilai spesifikasi target kualitas yang diinginkan oleh pelanggan (Breyfogle, 2002). 3.2.3. Analyze Tahap Analisis merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pelaksanaan dalam tahap ini yaitu menguji data yang dikumpulkan dalam fase Measure agar dapat diperoleh prioritas dari sumber penyebab variasi.
3.2.3.1. Analisis Kapabilitas Melalui Performansi Kualitas Pemahaman terhadap DPMO (Defect Per Million Opportunities) sangat penting dalam pengukuran keberhasilan aplikasi program peningkatan kualitas Six Sigma. DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. Suatu ukuran proses yang telah atau yang akan menuju sempurna, akan menghasilkan suatu pola DPMO yang akan tereduksi dan cenderung turun sepanjang waktu. Hasil perhitungan terhadap ukuran DPMO dapat digambarkan ke dalam grafik per perioda, akan digambarkan seperti dalam Gambar 3.6 berikut ini:
57
1800.000 1600.000 1400.000 DPMO
1200.000 1000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0.000 1
2
3
4
5
6 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Perioda Ke-
DPMO Perioda
DPMO Rata-Rata
Gambar 3.6 Grafik Ukuran DPMO PerPerioda
Berdasarkan pola DPMO (Gambar 3.6) di atas, bahwa tingkat terjadinya kecacatan dalam sejuta kesempatan masih belum konsisten. Hal ini ditunjukkan dengan naik turunnya nilai DPMO sepanjang periode pengamatan, tetapi sebagian besar nilai DPMO setiap perioda berada di atas nilai DPMO rata-rata sebesar 677,152 per sejuta kesempatan. Walaupun demikian proses tersebut harus dikendalikan dan ditingkatkan terus-menerus, sehingga nilai DPMO akan semakin menurun untuk mencapai target perusahaan. Level sigma adalah suatu ukuran terhadap kinerja perusahaan saat ini, sehingga perusahaan yang telah menjalani program peningkatan kualitas Six Sigma secara terus-menerus (Continues Improving), akan memiliki pola nilai Level Sigma yang akan semakin meningkat sepanjang periode dan berpola konstan setelah perusahaan telah mencapai level 6σ dan pemenuhan target kecacatan di bawah 0.3%. Hasil perhitungan terhadap ukuran Level Sigma untuk setiap periodenya dapat digambarkan kedalam grafik, akan tampak seperti dalam Gambar 3.7 berikut ini:
58
5.000 Level Six Sigma
4.900 4.800 4.700 4.600 4.500 4.400 4.300 4.200 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 21 Perioda Ke-
Level Six Sigma Perioda
Level Six Sigma Rata-Rata
Gambar 3.7 Grafik Level Six Sigma PerPerioda
Berdasarkan pola level sigma (Gambar 3.7) di atas, bahwa ukuran performansi proses winding saat ini sudah cukup baik, dimana ukuran rata-rata performansi proses winding 4,704 sigma atau sekitar 4-5 sigma. Namun demikian Level Sigma untuk proses saat ini harus tetap ditingkatkan dan diperbaiki secara terus menerus kualitasnya dengan harapan untuk mencapai target 6 sigma dan mencapai target perusahaan 0.3% kecacatan.
3.2.3.2. Mencari Penyebab Potensial Permasalahan Dengan Menggunakan The Interrelationship Diagraph Proses pengumpulan data mengenai penyebab permasalahan yang mengakibatkan timbulnya cacat pada proses Winding, dilakukan dengan cara wawancara dan diskusi dengan bagian QC produksi dan Operator yang terlibat langsung di lantai produksi. Hasil dari wawancara dan diskusi mengenai faktor yang menyebabkan munculnya karakteristik jenis cacat Lost dapat digambarkan pada The Interrelationship Diagraph seperti terlihat pada Gambar 3.6 berikut ini. Karakteristik jenis cacat Lost pada proses Winding yaitu suatu jenis cacat dimana bahan baku bobbin sebagai tempat untuk melilit kawat tidak dapat memutar untuk melilit kawat lagi dikarenakan bahan baku gulungan kawat habis pada saat proses
59
pelilitan dan juga putusnya kawat pada saat proses pelilitan akibat tension yang diberkan terlalu kencang. Jumlah lilitan standar untuk ballast TB 210 yaitu sebesar N= 2040 lilitan untuk menghasilkan jumlah watt = 10 dan Voltage = 220 Volt.
Pengecekan Gulungan Kawat Utama tidak dilakukan Job Rotation
Operator Mengetahui Semua Proses Produksi
Operator Belum berpengalaman Bising
Lost Pada Proses Winding
Konsentrasi Tidak Ada Alat Ukur Pengecekan
Suhu Tinggi
Feeling Operator
Gambar 3.8 The Interrelationship Diagraph Cacat Lost Pada Proses Winding
Hasil dari wawancara dan diskusi yang dilakukan dengan bagian produksi dan operator, terjadinya cacat Lost pada proses Winding diakibatkan karena: 1. Pengecekan Gulungan kawat (bahan baku) tidak dilakukan Pada saat proses Winding berjalan pengecekan terhadap gulungan kawat tidak dilakukan secara berkala oleh operator, hal tersebut mengakibatkan panjangnya kawat pada gulungan utama kawat tidak mencukupi untuk pelilitan pada Bobbin. Gulungan kawat untuk proses winding selama ini ditutupi oleh plastik berwarna, hal tersebut dapat menyebabkan pengecekan untuk gulungan kawat tidak dapat terkontrol. Gambar 3.9 merupakan posisi gulungan kawat utama yang akan siap untuk dililitkan pada bobbin selama proses winding berlangsung dan Gambar 3.10 merupakan gulungan kawat utama (bahan baku).
60
Gambar 3.9 Posisi Gulungan Kawat Utama Pada Proses Winding
Gambar 3.10 Bahan baku gulungan kawat untuk diameter yang berbeda
2. Adanya operator yang belum berpengalaman Adanya operator yang belum berpengalaman dapat mempengaruhi kualitas pelilitan kawat pada bobbin berkurang, hal tersebut disebabkan dari seringnya dilakukan rotasi operator pada bagian winding dengan asumsi operator mengetahui semua proses produksi. 3. Tidak adanya alat ukur pengecekan Tidak adanya alat ukur pengecekan untuk mengetahui panjang kawat yang tersisa pada gulungan kawat utama dan alat ukur yang mendeteksi berubahnya
61
besar tension pada saat proses winding berlangsung. Gambar 3.11 menunjukan alat penarik kawat (Tension) atau tumpuan kawat dari gulungan kawat ke mesin Winding.
Gambar 3.11 Bagian Tension (Penarik Kawat) Pada Mesin Winding
4. Lingkungan Kerja Dari hasil wawancara dengan operator dan supervisor bagian produksi pada bagian winding dan juga hasil observasi langsung yang dilakukan penulis, didapatkan fakta bahwa tingkat kebisingan dan suhu ruangan pada bagian winding cenderung tinggi. Hal tersebut terjadi dikarenakan ruangan kerja winding berdekatan dengan stasiun kerja welding dan press yang merupakan sumber kebisingan dan penyebab tingginya suhu ruangan di lantai produksi dan juga berasal dari mesin winding itu sendiri. Lingkungan kerja seperti itu dapat mengakibatkan kesulitan operator dalam berkonsentrasi. Tabel 3.7 menunjukan temperatur yang terjadi di lantai produksi, untuk ruangan winding masuk kedalam kategori Gedung I yang menunjukan ratarata temperatur hingga 28 – 29 ºC.
62
Gedung I II III IV
Tabel 3.7 Data Temperatur di Lantai Produksi (Sumber : Hasil Dokumentasi Penelitian di PT. Nikkatsu, 2006) Data Tingkat Temperatur (Derajat Celcius) Interval Waktu (Jam) 8 s/d 9 9 s/d 10 10 s/d 11 11 s/d 12 13 s/d 14 14 s/d 15 15 s/d 16 16 s/d 17 27 29 29 29 29 29 29 28 29 29 29 30 30 30 29 29 27 28 27 28 28 27 27 27 27 27 28 29 29 28 28 27
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep/51/MEN/1999, temperatur yang diijinkan untuk jenis pekerjaan sedang sebesar 26,7°C. Zona kenyamanan termal temperatur yang diizinkan untuk seorang operator bekerja selama 8 jam adalah 18,9 – 26,1oC (Dokumentasi PT.Nikkatsu, 2006). Tabel 3.8 menunjukan tingkat kebisingan yang terjadi untuk beberapa sample operator yang dijadikan obyek penelitian di ruangan winding. Rata-rata tingkat kebisingan yang paling tinggi yaitu sebesar 88,057 dB (desible). Tabel 3.8 Data Tingkat Kebisingan di Ruangan Winding (Sumber : Hasil Dokumentasi Penelitian di PT. Nikkatsu, 2006) Tingkat Kebisingan Yang Diizinkan Data Tingkat (S (dB)) Kebisingan Saat Ini Stasiun Kerja (S (dB)) Kep.Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep/51/MEN1999 TWA Ass. Domestik 88.195 85
Pack. Domestik Pack. Ekspor Pengawatan Welding Sinar Denki Winding Pengecoran Oven Painting Press
89.157 89.111 82.826 86.745 93.922 88.057 90.877 84.537 84.298 102.254
85 85 85 85 85 85 85 85 85 85
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep/51/MEN/1999, Intensitas kebisingan yang yang diijinkan adalah 85 dB (Dokumentasi PT.Nikkatsu, 2006).
63
Dari data hasil pengamatan yang dilakukan oleh Mahasiswa Kedokteran UNPAD pada tahun 2006 tersebut, hingga saat ini pihak perusahaan belum melakukan tindakan penanggulangan untuk menyelesaikan permasalahan faktor lingkungan tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk memberikan solusi terhadap permasalahan kondisi lingkungan yang terjadi dengan tujuan untuk dapat meminimasi sejumlah cacat yang terjadi saat ini. Gambar 3.12 menunjukan lingkungan kerja pada ruang Winding, Gambar 3.13 menggambarkan mesin winding yang digunakan untuk proses pelilitan pada Ballast TB 210, Gambar 3.14 merupakan bahan baku bobbin yang digunakan sebagai tempat untuk melilitkan kawat, dan Gambar 3.15 menunjukkan 2 operator yang bertugas untuk mengoperasikan mesin Winding.
Gambar 3.12 Ruangan Kerja Winding
Gambar 3.13 Mesin MT 880 Winding Untuk Ballast TB-210
64
Gambar 3.14 Bahan Baku Bobbin Untuk Melilitkan Kawat
Gambar 3.15 Dua Orang Operator Yang Mengoperasikan Mesin Winding
3.2.3.3.Identifikasi Faktor Penyebab Kecacatan yang mendapat Prioritas (FMEA) Tujuan pembuatan FMEA adalah untuk mengidentifikasikan sumber-sumber atau penyebab dari suatu masalah yang ada. Tabel FMEA berikut ini dibuat berdasarkan faktor penyebab cacat Lost.
65
Tabel 3.9 FMEA Jenis Cacat Lost Process
Potential
Function
Failure
(Step)
Mode
Winding process
Kesalahan operator
Potential Effect of SEV Failure Lost pada proses winding
8
Potential Cause of Failure - Pengecekan kawat tidak dilakukan
OCC 8
- Job Rotation
Winding process
Metode Kerja
Lost pada proses winding
8
- Tidak ada alat ukur tension
7
Current Process Control - Pengecekan gulungan kawat dilakukan oleh operator 2 - Mengganti tutup gulungan kawat dengan plastik transparan - Setiap diadakan Job Rotation harus terjadwal dengan pasti - Sistem back-up operator - Operator yang belum berpengalaman dilakukan training terlebih dahulu - Menyediakan alat ukur pada saat proses winding berlangsung dengan menggunakan Tenssion
DET RPN 3
192
3
168
3
144
Meter
- Tidak ada papan
- Dibuatkannya papan / display peringatan kerja
sebagai cara untuk
peringatan kerja Winding process
Lingkungan Lost pada Kerja proses winding
8
- Suhu udara diruangan kerja winding cenderung tinggi
- Tingkat kebisingan dilingkungan kerja winding tinggi
6
meningkatkan kerja operator - Dibuatkan suatu sistem sirkulasi yang baik dengan cara memperluas jendela atau dengan sediakan kipas angin untuk memperlancar sirkulasi udara didalam ruangan kerja - Disediakannya alat peredam suara bagi operator dengan menggunakan earplug pada saat operator memulai pekerjaannya
Nilai severity, occurrence dan detection merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif sehingga rating untuk severity, occurrence dan detection yang terdapat pada table FMEA diperoleh dari hasil wawancara dengan bagian control di lantai produksi dan pengamatan selama di lapangan. Berdasarkan hasil perhitungan RPN di tabel FMEA di atas diperoleh nilai RPN terbesar yaitu pada proses winding karena faktor kesalahan operator dengan nilai RPN sebesar 192 (RPN = SEV x OCC x DET), maka faktor inilah yang harus diberi tindakan perbaikan terlebih dahulu.
66
3.2.4. Improve Tahap Improve merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Tahap ini mengkonfirmasikan solusi yang diusulkan untuk dapat memenuhi atau melampaui target perbaikan mutu. Output dari fase ini berupa solusi yang diusulkan dan diimplementasikan.
3.2.4.1. Identifikasi Usulan Pengambilan Tindakan Pengendalian Terhadap Solusi Perbaikan Usulan dan perancangan perbaikan ini dibuat dan diajukan ke pihak perusahaan, dalam hal ini adalah Departemen QC bagian proses Winding. Informasi mengenai usulan dan perancangan perbaikan didapatkan dari hasil diskusi dengan bagian QC Produksi. Seluruh usulan dan perancangan perbaikan ini merupakan usulan dan perancangan yang belum diterapkan pihak perusahaan, dan akan menjadi acuan perbaikan yang akan di implementasikan di bagian proses Winding. Sebelum melakukan perancangan tindakan perbaikan,
masing-masing faktor
penyebab terjadinya cacat akan diuraikan hingga ke akar permasalahannya. Penjabaran secara rinci ini dilakukan agar tindakan perbaikan yang diambil tepat mengenai sasaran serta kemudian diajukan mengenai usulan dan perancangan perbaikan untuk mengatasi akar permasalahan penyebab cacat Lost di bagian Winding. 1. Pengecekan Gulungan Kawat Tidak Dilakukan Penjabaran akar masalah Gulungan kawat untuk proses Winding selama ini ditutupi oleh plastik berwarna, hal tersebut dapat menyebabkan pengecekan untuk gulungan kawat tidak dilakukan oleh operator. Hal tersebut sering mengakibatkan terjadinya Lost pada proses Winding. Usulan Perbaikan Mesin Winding dioperasikan oleh 2 operator. Operator 1 bertugas menyusun bobbin pada mesin winding dan mengatur posisi kawat pada mesin dan operator 2 bertugas untuk mengontrol mesin. Usulan perbaikan yang akan dilakukan yaitu:
67
a) Pengecekan gulungan kawat secara rutin oleh operator 2, karena operator 2 bertugas hanya pada awal proses dilakukan yaitu untuk set-up mesin saja. Pengecekan dapat dilakukan pada saat setelah proses Set-Up awal pada mesin dilakukan. b) Mengganti tutup gulungan kawat dengan
plastik transparan agar
pengontrolan gulungan kawat dapat lebih mudah dilihat dan dikontrol oleh operator.
2. Job Rotation Penjabaran akar masalah Adanya Job Rotation bisa mengakibatkan banyak terjadinya cacat pada proses Winding. Hal ini dikarenakan operator tersebut tidak mempunyai pengalaman sebelumnya dan tidak diberikan training khusus sebelum menduduki jabatannya. Serta jadwal Job Rotation ini tidak terjadwal dengan pasti. Usulan Perbaikan Job Rotation sebaiknya tidak diberlakukan karena akan membawa dampak negatif, seperti operator belum berpengalaman serta butuh waktu untuk beradaptasi. Dampak positifnya yaitu operator akan berpengalaman / spesialisasi sesuai bidangnya sehingga dapat meningkatkan kecepatan produksi. Namun apabila masih diberlakukannya Job Rotation, maka setiap diadakannya Job Rotation harus terjadwal dengan pasti, serta di-back-up operatornya, dan kemudian operator harus melakukan training terlebih dahulu. Dengan diberlakukannya Job Rotation di dalam lantai produksi dapat mempengaruhi proses winding. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan shift atau pekerjaan yang berbeda, dimana karyawan belum berpengalaman serta butuh waktu untuk beradaptasi. Sebenarnya penempatan karyawan itu harus sesuai dengan pengamalanan atau spesialisasi di bidangnya. Dengan demikian target produksi dapat cepat tercapai dan kemungkinan adanya kegagalan/cacat produk semakin berkurang. Namun pihak PT. Nikkatsu, mempunyai pandangan yang berbeda dengan adanya Job Rotation yang diharapkan semua karyawan bisa mengetahui semua proses produksi yang ada serta bisa mengendalikan proses produksi tersebut. Akan tetapi penerapan Job Rotation ini sangat
68
tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri. Dengan adanya form rotasi karyawan seperti pada Gambar 3.16 diharapkan penjadwalan terhadap rotasi karyawan dapat lebih teratur.
No Surat Perihal
: : Rotasi Karyawan
Kepada Yth, Bagian Personalia PT. Nikkatsu Electric Works Bandung Dengan hormat, Bersama ini kami memberitahukan bahwa karyawan yang nama-namanya tersebut dibawah ini, mulai tanggal ……./….…/………akan diadakan perpindahan shift seperti yang tersebut dibawah ini:
Nomor.
Nama A
NRP
Dari Ke Shift/Pekerjaan Shift/Pekerjaan Keterangan
Z
Demikian pemberitahuan yang akan kami laksanakan, dan mohon untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan perpindahan pekerjaan tersebut dapat disediakan.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Bandung,……/……/…….. Hormat Kami
Mengetahui
Diterima
Kasie.
Ass. Man.
H. R. D.
Gambar 3.16 Form Permohonan Rotasi Karyawan
69
3. Tidak Ada Alat Ukur Penjabaran akar masalah Proses Winding ini belum menggunakan alat ukur pendukung untuk mendeteksi besar tension pada saat proses Winding berlangsung. Hal ini dikarenakan dengan adanya suatu alat ukur akan mengakibatkan waktu proses produksi (Cycle Time) yang semakin lama sehingga target produksi tidak akan tercapai. Usulan Perbaikan Disediakannya suatu alat ukur untuk proses Winding, sehingga penyetingan tension sesuai spesifikasi (Konstan). Alat ukur yang seharusnya digunakan yaitu Tension Meter, seperti pada Gambar 3.17. Dengan disediakannya alat ukur diharapkan jumlah cacat Lost akibat putus kawat karena nilai tension di luar standar (tension tinggi) dapat berkurang tetapi dapat meningkatkan cycle time dari proses tersebut. Maka operator diberikan pelatihan dalam penggunaan alat ukur tersebut. Dengan adanya alat ukur dapat menghasilkan ukuran yang presisi, sehingga perusahaan dapat memenuhi kepuasan konsumen. Selain itu di depan station yang bersangkutan ditempel/digantungkan papan/display sebagai peringatan standar kerja untuk mengingatkan cara kerja operator tersebut, seperti Gambar 3.18. a) Penggunaan Alat Bantu Pengukuran Tension Tension Meter digunakan untuk mengukur besarnya tegangan yang dialami oleh kawat pada saat proses winding berlangsung, jenis tension meter seperti ini tidak mengurangi waktu proses produksi karena pengukuran bisa dilakukan saat proses winding berlangsung. Gambar 3.17 adalah alat bantu tension meter tipe T-101-50 YOKOGAWA untuk mengukur besarnya tegangan pada kawat.
Gambar 3.17 Tension Meter (Sumber : BYM, Laboratory Testing Equipment, 2008)
70
b) Penggunaan papan peringatan sebagai standar kerja Papan peringatan digunakan sebagai pedoman bagi operator dalam bekerja, pada papan peringatan tersebut di munculkan jenis cacat yang paling sering terjadi yang disertai dengan jumlah pada perioda tertentu. Tujuan diadakannya papan display tersebut yaitu agar operator dapat berhati-hati dan tidak melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan jenis cacat tersebut.
Station Penyebab Claim Next Process Nama Process Type Claim Standard Tension Bulan Jumlah
: : : : : :
Winding Process TB 210 Domestic Lost 30 gf (gram force) Juni 2008 93 Unit Ilustrasi Masalah Lost Pada Proses Winding
Good Process
Gambar 3.18 Papan Peringatan yang diusulkan Sebagai Standar Kerja
71
4. Faktor Lingkungan Penjabaran akar masalah Dengan faktor kondisi lingkungan seperti suhu yang cenderung tinggi dan lingkungan kerja yang bising, maka dapat menyebabkan konsentrasi operator menurun pada saat bekerja. Usulan Perbaikan Untuk mengurangi adanya keterlibatan faktor lingkungan, maka harus ada alat pengukur suhu dan dibuatkan suatu sistem sirkulasi udara yang baik, contohnya adanya ventilasi udara melalui jendela yang berukuran besar serta pintu keluar yang terbuka lebar atau pengadaan kipas angin untuk memperlancar sirkulasi udara. Untuk mengatasi masalah kebisingan operator seharusnya memakai alat perlidungan suara atau earplug yang selalu dipakai.
3.2.5. Control Tahap ini merupakan tahap operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas
Six
Sigma.
Pada
tahap
ini,
hasil-hasil
peningkatan
kualitas
didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses distandardisasikan atau disebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar. Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas Six Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia. Hasil-hasil yang memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus distandardisasikan, dan selanjutnya dilakukan peningkatan terus-menerus pada jenis masalah yang lain melalui proyek-proyek Six Sigma yang lain mengikuti konsep DMAIC. Dengan demikian, sasaran proyek Six Sigma yang telah tercapai harus dipromosikan ke seluruh organisasi melalui manajemen dan sponsor yang kemudian menstandardisasikan metoda-metoda Six Sigma yang telah memberikan hasil-hasil optimum tersebut.
3.2.5.1. Pemetaan Performansi Kualitas Proses Melalui Peta Kontrol (Control Chart) Pada tahap kontrol, pemetaan terhadap hasil implementasi harus tetap dilakukan secara rutin dengan tujuan untuk menjaga standarisasi yang telah ditetapkan
72
melalui metoda Six Sigma hasil implementasi. Berikut adalah contoh penggunaan peta kontrol p untuk memantau standar kualitas yang ditetapkan.
Tabel 3.10 Form Tabel Perhitungan UCL & LCL Peta kontrol p Tanggal
No.
Inspeksi
Jumlah Yang
Jumlah yang
Diperiksa
ditolak
(ni)
(Pi)
Proportion per-Perioda
UCL
LCL
P bar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Untuk perhitungan secara detail dapat dilihat pada rumus 2.2, pada sub bab yang membahas mengenai peta-peta kontrol. Berikut adalah contoh peta kontrol hasil perhitungan.
P-Chart 0.01400 0.01200
Proportion
0.01000 0.00800 0.00600 0.00400 0.00200 0.00000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 21 Sample Number Proportion Per-perioda
UCL
LCL
P bar
Gambar 3.19 Contoh Peta Kontol p Hasil Perhitungan
73
3.2.5.2. Perhitungan Performansi Proses Pada tahap kontrol, Perhitungan performansi harus tetap dilakukan secara rutin untuk menghitung kemampuan proses yang bersangkutan. Perhitungan indeks kapabilitas (Cp dan Cpk) dapat dilakukan dengan menggunakan sofware Minitab versi 13.1 untuk menjaga keakuratan perhitungan.
Process Capability Analysis For Winding
LSL
Process Data USL
6.00000
Target
3.00000
LSL
0.00000
Mean
2.95238
Sample N
Target
USL Within Overall
21
StDev (Within)
0.753546
StDev (Overall)
0.814866
Potential (Within) Capability Cp
1.33
CPU
1.35
CPL
1.31
Cpk
1.31
Cpm
1.24 Overall Capability
0
1
2
Observed Performance
3
4
5
Exp. "Within" Performance
6 Exp. "Overall" Performance
Pp
1.23
PPM < LSL
0.00
PPM < LSL
44.65
PPM < LSL
PPU
1.25
PPM > USL
0.00
PPM > USL
26.23
PPM > USL
145.52 92.00
PPL
1.21
PPM Total
0.00
PPM Total
70.88
PPM Total
237.52
Ppk
1.21
Gambar 3.20 Contoh Hasil Perhitungan Performansi Proses Dengan Minitab Versi 13.1
Untuk perhitungan secara manual dapat dilihat pada rumus 2.6, 2.7, 2.8, dan 2.9 pada sub bab perhitungan performansi proses.
3.2.5.3. Melakukan Perhitungan Level Sigma Perhitungan level sigma harus tetap dilakukan untuk memantau dan mengontrol kemampuan proses (Process Capability Analysis) setelah adanya proses perbaikan. Dengan melakukan perhitungan terhadap DPO, DPMO, dan Tingkat Sigma (Sigma Level) maka dapat diperoleh analisa apakah prosesnya mampu atau tidak memenuhi target spesifikasi yang telah ditentukan.
74
Tabel 3.11 Form Tabel Perhitungan Level Sigma Tanggal
No.
Jumlah cacat
Inspeksi
(Unit)
Jumlah
CTQ
Produksi
Potensial
(Unit)
Kualitas Proses DPO
DPMO
Level Six
(Unit)
(Unit)
Sigma
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Total
Untuk perhitungannya dapat dilihat pada rumus 2.10, 2.11, serta 2.12 pada sub bab perhitungan Level Sigma.
3.2.5.4. Uji Verifikasi Dalam tahap kontrol, uji verifikasi dapat digunakan untuk membantu memperjelas/memperkuat hubungan antara hasil sebelum perbaikan dan hasil sesudah perbaikan dengan melalui uji selisih proporsi, Dengan rumus sebagai berikut:
1. Hipotesis: Ho: P1 = P2
Tidak
ada
perbedaan
antara
proporsi
cacat
sebelum
perbaikandengan proporsi cacat setelah perbaikan.
H 1 : P1 > P2 Ada perbedaan antara proporsi cacat sebelum perbaikan dengan proporsi cacat setelah perbaikan.
75
2. α : 0,05 3. Daerah kritis : Z > Z α
Tolak Ho Terima Ho
Ztabel
4. Statistik Hitung: ^
p=
x1 + x 2 n1 + n2 ^
Z Hitung =
^
p1 − p 2 ^ p *1 −
^ 1 1 p + n1 n2
Keterangan: a. n1 = jumlah produk cacat yang diproduksi sebelum perbaikan b. n2 = jumlah produk cacat yang diproduksi setelah perbaikan c.
x1 = jumlah produk yang diproduksi sebelum perbaikan
d. x 2 = jumlah produk yang diproduksi setelah perbaikan e. P1 = proporsi cacat sebelum perbaikan f.
P2 = proporsi cacat setelah perbaikan
5. Kesimpulan: a. Terima Ho, jika : Z < Z α b. Tolak Ho, jika : Z > Z α
76