BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hubungan hukum antar para pihak yang terkait dalam penerbitan Letter of Credit (L/C) sebagai cara pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional Kegiatan perniagaan/perdagangan internasional merupakan kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama, sehingga dalam hal ini tetap tunduk pada ketentuan hukum jual beli masing-masing negara dan juga tunduk pada ketentuan hukum perdagangan yang berlaku secara internasional. Selain itu yang juga menjadi penting adalah adanya kesepakatan diantara para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan internasional. Kegiatan perdagangan internasional juga sering disebut dengan kegiatan ekspor impor. Jual beli secara umum merupakan salah satu bentuk perjanjian, maka perjanjian jual beli tunduk pada Hukum Perjanjian pada umumnya. Batasan tentang perjanjian dalam Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Ketentuan umum yang secara mutlak harus ditaati dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1.
Kesepakatan diantara para pihak
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, perjanjian yang telah
memenuhi syarat sahnya perjanjian, mengakibatkan para pihak terikat pada perjanjian tersebut. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian yang telah disepakati tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Selain itu, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dari para pihak. Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan definisi perjanjian jual beli secara umum, dimana disebutkan jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik antara penjual dengan pembeli, dimana pihak penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga benda sebagai yang telah diperjanjikan. Jual beli secara umum diatur KUH Perdata, sedangkan jual beli perniagaan/perdagangan tidak diatur dalam KUH Perdata maupun KUHD, tetapi berdasarkan perjanjian antara pihak-pihak, dan kebiasaan yang berlaku dalam perdagangan. KUH Perdata tetap berlaku terhadap jual beli perdagangan sepanjang tidak diperjanjikan secara khusus menyimpang (C.S.T Kansil, 2001:8). Hubungan perdagangan luar negeri dalam hal ini ekspor impor sama halnya dengan perdagangan dalam negeri yaitu terdapat pembeli, penjual dan adanya transaksi jual beli. Dalam perdagangan luar negeri, kegiatan penjualannya disebut ekspor dan kegiatan pembeliannya disebut impor, dan transaksi keduanya adalah transaksi ekspor impor. Hanya saja wilayah atau domisili penjual dan pembeli melintas batas negara. Sumber-sumber hukum internasional yang dikenal dalam perdagangan internasional adalah sebagai berikut : 1.
Perjanjian internasional Perjanjian internasional yang dimaksud dapat berupa perjanjian multilateral, regional, dan bilateral dalam bidang perdagangan internasional.
2.
Hukum Kebiasaan Internasional Hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex mercantoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para pedaganglah yang mula-mula ”menciptakan” aturan hukum yang berlaku bagi
mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Suatu praktek yang dilakukan secara berulang-ulang dan diikuti lebih dari dua pihak b. Praktek ini diterima sebagai ketentuan yang sifatnya mengikat (opinio iuris sive necessitates). 3.
Prinsip-prinsip hukum umum Sebenarnya belum ada pengertian yang diterima luas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir, baik dari sistem hukum nasional maupun internasional. Sumber hukum ini akan mulai berfungsi ketika hukum perjanjian perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional tidak memberikan jawaban atas suatu persoalan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum, termasuk hukum perdagangan iinternasional. Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, dan terdapat pula dalam hukum perdagangan internasional.
4.
Hukum nasional Peran hukum nasional sebagai sumber hukum perdagangan internasional mulai lahir ketika timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Peran hukum nasional sebenarnyasangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya yurisdiksi (kewenangan) negara. Kewenangan ini bersifat mutlak dan eksklusif, artinya apabila tidak ada pengecualian lain, kekuasan itu tidak dapat dianggu gugat. Kewenangan atas peristiwa hukum dapat berupa transaksi jual beli dalam perdagangan
internasional.
Kewenangan
atas
subjek
hukum
dalam
perdagangan internasional mencakup kewenangan negara dalam membuat dan
meletakkan syarat-syarat dari perizinan berdirinya suatu perusahaan,bentu perusahaan, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan. Kewenangan negara untuk mengatur segala benda yang ada dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain. 5.
Kontrak diantara para pihak Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang ddibuat oleh para pedagang sendiri. Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Sehingga kontrak disini sangat esensial karena kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak dalam menentukan kontraknya yang tertuang dalam suatu perjanjian yang mereka hormati. Meskipun kebebasan para pihak sangat penting, namum kebebasan tersebut ada batas-batasnya, yaitu : a. Pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kesopanan. b. Status dari kontrak itu sendiri. Kontrak perdagangan inernasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya, artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional suatu negara tertentu. c. Pembatasan lain yang juga penting adalah kesepakatan-kesepatakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan
6.
Doktrin
Doktrin ini merupakan pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka dalam hukum perdagangan internasional. Peran dan fungsinya cukup penting dalam menjelaskan suatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan suatu hukum. Doktrin ini penting ketika sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata tidak jelas mengatur sama sekali mengenai hal di bidang perdagangan internasional. 7.
Putusan pengadilan (arbitrase) Sumber hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum sebelumnya tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum di bidang perdagangan internasional. Putusan—putsan pengadilan dalan hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum common law. Statusnya paling tidak sama seperti yang kita kenal dalam sistem hukum eropa kontinental, bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya umtuk mempertimbangkan. Jadi ada semacam kewajiban yang tidak menikat bagi badan-badan pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional. Perjanjian ekspor-impor yang dituangkan pada kontrak bisnis dalam
perdagangan internasional menjadi hal yang sering dilakukan oleh para pihak berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Dalam perjanjian tersebut, para pihak dapat mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, dimana para pihak yang terlibat akan mendapat perlindungan hukum apabila para pihak mempunyai bukti tertulis dalam suatu ikatan perjanjian. Pihak yang satu menyerahkan hak milik atas suatu barang, pihak lainnya berjanji untuk membayar dengan harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Pihak yang satu disebut eksportir berkewajiban untuk menyerahkan barang sesuai dengan isi perjanjian dan berhak untuk menerima harga (pembayaran), dan pihak yang lain yaitu importir berkewajiban untuk membayar harga, dan berhak untuk mendapatkan barang yang diperjanjikan dalam perjanjian ekspor-impor tersebut. Pada prakteknya, apabila harga yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian ekspor-impor nominalnya cukup tinggi, seringkali disepakati oleh para pihak dalam
pembayarannya menggunakan surat beharga. Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran ini tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang didalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ke tiga, atau pernyataan sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Salah satu surat berharga yang dapat dijadikan sebagai pembayaran dalam perdagangan internasional adalah Letter of Credit (L/C). L/C ini muncul sebagai cara pembayaran di dalam perdagangan internasional sehingga dalam hal ini melibatkan penjual dan pembeli atau secara internasional disebut eksportir dan importir. Jual beli dalam perdagangan internasional ini pada dasarnya merupakan jual beli pada umumnya tetapi mempunyai kekhususan atau mempunyai persyaratan khusus. Jual beli dalam arti khusus ialah jual beli perdagangan dalam hal ini transaksi ekspor impor, dimana dalam jual beli ini terdapat ciri-ciri khusus pula. Kekhususan itu dapat ditelaah melalui unsur-unsur dalam jual beli berikut ini (C.S.T Kansil, 2001:7) : 1.
Unsur subyek terdiri dari penjual dan pembeli Dua pihak ini atau salah satunya adalah pengusaha, yaitu perseorangan atau badan usaha.
2.
Unsur obyek terdiri dari benda dan harga. Benda adalah barang dagangan, yaitu barang yang dibeli atau dijual lagi atau disewakan. Harga adalah nilai benda sebagai imbalan yang dapat menghasilkan nilai lebih yang disebut keuntungan atau laba.
3.
Unsur perbuatan terdiri dari menjual dengan penyerahan dan membeli dengan pembayaran harga. Penyerahan barang dengan menggunakan alat angkut khusus dan dengan syarat khusus pula. Pembayaran biasanya dilakukan melalui Bank dengan menggunakan dokumen-dokumen berharga.
4.
Unsur tujuan yaitu keuntungan atau laba yang diperhitungkan. Setiap transaksi ekspor impor selalu melewati atau melintasi daerah pabean tertentu. Pabean sebagai alat pemerintah bertindak sebagai penjaga gawang
lalu lintas komoditi internasional, disamping mengamankan pemasukan keuangan negara bagi kepentingan APBN, juga membantu eksportir dan importir dalam memperlancar arus barang dan penumpang, dan tidak sebaliknya. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara dialasnya serta tempat - tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang - undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pembayaran dalam perdagangan internasional dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : 1.
Pembayaran Tunai (Cash Payment) Pembayaran tunai adalah pembayaran yang dilakukan secara langsung dengan menggunakan uang tunai atau cek, yang dilakukan bersama-sama dengan surat pesanan atau menunggu diterimanya kabar bahwa barang yang telah dipesan dikapalkan oleh eksportir.
Bagan 2. Pembayaran dengan Cash Payment Keterangan : 1. Eksportir menjual barang ke Importir. 2. Importir melakukan pembayaran secara langsung kepada Eksportir. 2.
Pembayaran dengan Letter of Credit (L/C) Letter of credit atau commercial letter of credit adalah surat yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan importiran sejumlah barang di mana bank sendiri yang mengakseptir (menyetujui) dan membayar surat wesel yang ditarik oleh eksportir. Untuk lebih jelasnya pembayaran dengan L/C dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan 3. Pembayaran dengan Letter of Credit Keterangan : 1. Perjanjian tentang cara pembayaran dengan L/C oleh importir dan eksportir. 2. Importir membuka L/C kepada bank dinegaranya dengan mengisi permohonan L/C. 3. Issuing bank menandatangani L/C tersebut sebagai jaminan pembayaran kepada eksportir. Demikian pula sebaliknya, importir akan menjamin pula semua pembayaran yang dilakukan oleh bank. 4. Dengan diterbitkannya L/C tersebut berarti kredit telah tersedia bagi importir untuk mengimpor barang dari eksportir. 5. Advice terhadap L/C dilakukan oleh confirming bank atas perintah issuing bank guna memperkuat jaminan pembayaran L/C kepada eksportir. 6. Wesel dan dokumen pengiriman barang diperiksa oleh confirming bank sebagai tanda persetujuan pengiriman barang. 7. Wesel dan dokumen tersebut oleh confirming bank dikirimkan kepada issuing bank.
8. Setelah wesel tersebut ditandatangani oleh issuing bank maka barang dapat dikeluarkan dari pelabuhan dan dikirimkan kepada importir setelah menandatangani trust receipt. 9. Pada waktu yang telah ditentukan terjadilah transaksi pembayaran antara eksportir dengan confirming bank melalui negosiasi atas dokumen ekspor. Importir dengan issuing bank melalui debet A/C rekeningnya di bank yang bersangkutan, dan confirming bank dengan issuing bank memalui reimbursement atas L/C tersebut. 3.
Pembayaran dengan Konsinyasi (Consignment) Pembayararan secara konsinyasi dilakukan setelah barang yang dikirim sudah terjual seluruhnya atau sebagian. Metode ini biasanya dilakukan kepada orang yang telah dikenal dengan baik. Jadi, barang yang akan dijual merupakan barang titipan untuk jangka waktu tertentu dan pembayaran dengan termin waktu. Pembayaran secara konsinyiasi kepada pihak eksportir dapat dilakukan dengan cara langsung mengirim kepada pihak eksportir setelah di potong selisih harga untuk tiap-tiap jual beli. Atau apabila jual beli dilakukan secara kontinyu, harga dibayarkan setelah pihak ketiga membayar harga, tetapi kepada eksportir oleh importir dibayar harganya secara periodik yang berarti sekali bayar untuk beberapa pengiriman. Untuk memperkecil risiko eksportir, sebaiknya menggunakan jasa bank dalam pengiriman dokumen penagihan dan bonded warehouse untuk penitipan barangnya. Apabila barang sudah terjual, importir membayar kepada bank sejumlah uang atas nilai barang dan sebagai gantinya bank akan menyerahkan delivery instruction kepada bonded warehouse untuk mengeluarkan barangnya.
Bagan 4. Pembayaran dengan Konsinyiasi Keterangan : 1. Antara penjual dan pembeli terjadi kesepakatan untuk melakukan transaksi perdagangan yang dituangkan dalam sales contract dan disepakati untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan konsinyiasi. 2. Penjual mengirimkan (menyerahkan) barang kepada bonded warehouse. 3. Penjual menyerahkan delivery instruction kepada bank. 4. Pembeli menyerahkan delivery instruction kepada bonded warehouse. 5. Bonded warehouse menyerahkan barang kepada pembeli. 6. Pembeli melakukan pembayaran kepada bank. 7. Bank melakukan pembayaran kepada penjual. Secara internasional terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang L/C, yaitu Uniform Customs and Practice for Documentary Credit atau disingkat dengan UCP. Tujuan dikeluarkannya UCP pertama kali adalah untuk memberikan pedoman yang harus dilaksanakan oleh siapa saja dan dimana saja, di semua negara yang menggunakan L/C. Dalam bertransaksi dengan L/C, seluruh dunia tunduk pada UCP yang dengan tegas dinyatakan dalam L/C dengan kata-kata, “ This credit is subject to Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, ICC
Publication No. 600, 2007 Revision.” Tetapi apabila para pihak dalam L/C setuju untuk mengesampingkan peraturan-peraturan yang terdapat di dalam UCP itu dibolehkan, asalkan secara jelas dinyatakan di dalam L/C dalam bentuk klausula. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 1 UCP 600 membolehkan sebuah L/C untuk menyimpangi pasal-pasal UCP asalkan secara tegas dan jelas dinyatakan di dalam L/C tersebut. Pembayaran dalam perdagangan internasional yang disepakati akan dilakukan dengan menggunakan L/C harus terlebih dahulu melakukan pembukaan L/C kepada pihak bank pembuka (opening bank/issuing bank). Adapun pihak pihak yang terlibat dalam pembukaan Letter of Credit adalah sebagai berikut (Hermansyah, 2012:95) : a.
Opener atau Applicant atau Importir atau Pembeli Adalah pihak importir yang membeli barang dan membuka L/C. Importir yang meminta bantuan bank dalam membuka L/C untuk dan atas nama eksportir sebagai penerima L/C. Pasal 2 UCP 600 memberikan pengertian bahwa “Aplicant means the party on whose request the credit is issued”, yang artinya Importir merupakan pihak yang meminta untuk dilakukan pembukaan L/C.
b.
Opening Bank atau Issuing Bank atau Bank Pembuka Bank yang dimintai bantuan oleh importir untuk membuka L/C untuk keperluan eksportir. Oleh karena itu, “nilai” L/C sangat tergantung pada nama baik dan reputasi dari bank yang membuka L/C tersebut. Pasal 2 UCP 600 memberikan pengertian bahwa “Issuing Bank means the bank that issues the credit at the request of an aplicant or on its own behalf”, yang artinya Bank Pembuka merupakan bank yang membuka L/C atas permintaan importir atau untuk kepentingannya sendiri.
c.
Advising Bank atau Bank Koresponden Adalah bank yang dimintakan oleh bank pembuka L/C untuk meneruskan L/C dan membayarkan kepada pihak penjual. Setelah dibukanya L/C oleh bank pembuka, maka bank tersebut meneruskannya kepada kantor cabang atau salah satu bank koreaponden di luar negeri dimanna eksportir berada. Pasal 2 UCP 600 memberikan pengertian bahwa “Advising Bank means the bank that advises the credit at the request of the issuing bank”, yang artinya Bank
Koresponden berarti bank yang memberikan kredit atas permintaan dari Bank Pembuka. d.
Beneficiary atau Eksportir atau Penjual Adalah pihak yang menerima pembukaan L/C dan diberi hak untuk menarik uang dari dana L/C yang tersedia itu disebut sebagi penerima L/C. Pasal 2 UCP 600 memberikan pengertian bahwa “Beneficiary means the party in whose favour a credit is issued”, yang artinya Eksportir adalah pihak yang mendapatkan keuntungan setelah kredit dikeluarkan. Keempatnya merupakan pihak yang ada dan saling behubungan satu sama
lain dalam penerbitan L/C.Pihak-pihak tersebut mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan fungsinya tersebut. Para pihak saling berhubungan satu dengan yang lainnya untuk kelancaran pembayaran dalam perdagangan internasional.
Hubungan hukum para pihak dalam L/C dapat
diuraikan sebagai berikut : a.
Hubungan Hukum antara Importir dengan Eksportir Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi perdagangan internasional yang menggunakan L/C, antara importir (dalam UCP menjadi pemohon/applicant) dan eksportir (dalam UCP menjadi penerima/beneficiary) yaitu timbul kontrak dasar yang mendasari penerbitan L/C yang disebut kontrak penjualan (sales contract). Sebagaimana halnya transaksi jual beli pada umumnya, dalam transaksi perdagangan internasional, antara importir dan eksportir terjadi hubungan hukum, yaitu importir berkewajiban untuk membayar harga barang dan eksportir berkewajiban menyerahkan barang yang dijual. Selain ada kewajiban, keduanya juga memiliki hak. Importir berhak menerima barang yang dibelinya dan Eksportir berhak memperoleh pembayaran atas barang atau jasa yang dijualnya. Di Indonesia, hal ini sesuai dengan definisi jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Cara pembayaran dalam kontrak penjualan yang disepakati untuk menggunakan L/C akan menimbulkan kewajiban bagi importir untuk mengajukan penerbitan L/C kepada bank. Dengan demikian tidak terdapat pembayaran langsung oleh importir kepada eksportir. Kontrak penjualan tersebut pada umumnya juga mencantumkan bank yang membuka dan/atau bank yang meneruskan L/C kepada eksportir. Dimana bank pembuka dan/atau bank penerus tersebutlah yang akan melakukan pembayaran atas L/C kepada eksportir atas kuasa dari pihak importir. Bank pembuka atau bank penerus bukan para pihak dalam kontak penjualan walaupun nama kedua bank ini dimuat dalam kontrak penjualan. Para pihak dalam kontrak penjualan adalah importir dan eksportir. b.
Hubungan Hukum antara Importir dengan Bank Pembuka Hubungan hukum antara importir dengan bank pembuka didasarkan pada kontrak yang dinamakan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C diperlukan dalam rangka merealisasi cara pembayaran sebagaimana diatur dalam kontrak penjualan. Hubungan hukum antara importir dengan Bank Pembuka ini dapat dipandang sebagai pemberian kuasa (lastgeving) dengan pemberian upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Permintaan penerbitan L/C terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu format permintaan penerbitan L/C dan perjanjian jaminan ganti kerugian (Security Agreement). Perjanjian jaminan ganti kerugian di Indonesia dan dinegara lain ditetapkan oleh masing-masing bank pembuka secara sepihak. Artinya, apabila importir
sebagai
pemohon
dapat
menyetujuinya,
pemohon
tinggal
membubuhkan tanda tangan perjanjian tersebut. Apabila pemohon ingin menambahkan ketentuan tambahan, maka hal tersebut terlebih dahulu disetujui oleh bank pembuka. Perjanjian jaminan ganti kerugian memuat hak dan kewajiban pemohon dan bank pebuka secara rinci.
Kewajiban bank pembuka sesuai dengan kontrak adalah menerbitkan L/C sesuai dengan persyaratan dan kondisi yang ditetapkan importir dan membayar apabila eksportir mengajukan dokumen yang sesuai dengan persyaratan dan kondisi dalam L/C. Kewajiban importir adalah membayar kembali bank penerbit L/C yang telah meleksanakan instruksi importir untuk melakukan pembayaran kepada eksportir. Permintaan penerbitan L/C diatur oleh hukum nasional masing-masing negara yang dalam hal-hal tertentu dapat berbeda dari satu negara terhadap negara lainnya. Akan tetapi, hakikat permintaan penerbitan sama secara internasional yaitu bank pembuka menerbitkan L/C karena pemohon berjanji membayar kembali nilai L/C kepada bank pembuka yang melakukan pembayaran baik langsung maupun melalui bank yang ditunjuk kepada penerima. UCP yang mengatur hubungan hukum antara importir dan bank pembuka dalam Pasal 5, 12, 16, 18 yang pada dasarnya terbatas pada pelaksanaan prosedur yang meliputi instruksi penerbitan dan perubahan L/C, instruksi penerbitan L/C yang tidak jelas atau tidak lengkap, gangguan dalam penyampaian instruksi dan gangguan dalam pelaksanaan instruksi. c.
Hubungan Hukum antara Bank Pembuka dengan Eksportir Hubungan hukum antara bank pembuka dengan eksportir timbul atas dasar L/C yang diterbitkan oleh bank pembuka yang disetujui oleh eksportir sebagai penerima. Hakikat dari L/C adalah “janji pembayaran” dari bank pembuka kepada eksportir. Persetujuan pengajuan terhadap L/C diwujudkan melalui pengajuan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C kepada bank pembuka. Bank pembuka menandatangani L/C untuk kepentingan eksportir. Hubungan hukum antara bank pembuka dengan eksportir terjadi karena bank pembuka mengambil alih kredibilitas importir dalam melakukan pembayaran kepada eksportir dan menjamin pembayaran dari importir. Kewajiban bank pembuka L/C menjamin pembayaran kepada eksportir timbul sejak eksportir menerima L/C.
Kedudukan bank penerbit dala hubungan hukum ini yaitu sebagai pengambil alih kredibilitas pembeli dalam melakukan pembayaran kepada penerima (penjual) dan menjamin pembayaran dari pembeli. Beberapa teori tentang hubungan hukum ini salah satunya yaitu melihat bank penerbit sebagai penjamin (borg) bagi pemohon (pembeli), teori lain menganggap bahwa bank penerbit sebagai aval bagi pembeli, dan ada juga yang melihat bahwa L/C merupakan pemenuhan kewajiban. d.
Hubungan Hukum antara Bank Pembuka dengan Bank Penerus Hubungan hukum antara bank pembuka dan bank penerus didasarkan pada instruksi bank pembuka kepada bank penerus yang disetujui bank penerus. Bank pembuka memberi instruksi kepada bank penerus untuk meneruskan L/C. Hubungan hukum antara bank pembuka dan bank penerus adalah “hubungan keagenan” dimana bank pembuka bertindak sebagai prinsipal dan bank penerus sebagai agen. Hak dan kewajiban kedua bank ini diatur dalam instruksi bank pembuka yang dimuat dalam L/C. Selain itu, hak dan kewajiban kedua bank juga diatur dalam UCP. UCP mengatur hak dan kewajiban bank pembuka dan bank penerus dalam melakukan penerusan dan perubahan L/C kepada eksportir. Bank penerus tidak berkewajiban melakukan pembayaran, negoisasi,atau akseptasi wesel eksportir. Bank penerus yang bertindak untuk dan atas nama bank pembuka berhak atas pembayaran dari bank pembuka apabila bank penerus telah membayar sejumlah uang kepada eksportir sesuai dengan mandatnya, atau telah menerima suatu bill of exchange (wesel) yang ditarik oleh eksportir, maka ia berhak atas pembayaran dari bank pembuka. Bank penerus berdasarkan permintaan bank pembuka dalam L/C, dapat pula berfungsi sebagai bank penegoisasi (negotiating bank). Dalam kapasitasnya sebagai negotiating bank, bank ini berkewajiban melakukan penelitian atas dokumen-dokumen yang diajukan dan melakukan pembayaran dengan cara membeli dokumendokumen tersebut jika tidak ada penyimpangan. Negotiating bank melakukan importiran dokumen-dokemen dengan hak regres terhadap penerima. Sebagai
negotiating bank, bank ini turut menjamin pembayaran L/C. Negotiating bank berhak melakukan importiran dokumen-dokumen L/C ataupun menolaknya. Kemudian, bank penerus dalam L/C dapat juga diminta oleh bank pembuka untuk bertindak sebagai bank pembayar (paying bank). Sebagai bank pembayar, bank ini melakukan pembayaran kepada eksportir yang mengajukan dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Bank pembayar melakukan pembayaran tanpa hak regres terhadap penerima atas beban rekening valuta asing bank penerbit yang ada pada bank pembayar atau atas pembayaran kembali dari bank penerbit atau atas beban rekening bank penerbit pada bank pereimburs yang ditunjuk bank penerbit. Selanjutnya, bank penerus di dalam L/C dapat juga diminta oleh bank pembuka melakukan fungsi sebagai bank pengaksep (accepting bank). Sebagai accepting bank, bank ini diminta melakukan akseptasi atas wesel berjangka yang diajukan penerima dan melakukan pembayaran atas wesel berjangka tersebut kepada eksportir atau pemegang yang sah (bonafide holder) pada saat pembayaran jatuh tempo. Accepting bank meminta pembayaran kembali dari bank penmbuka. Bank yang diberi kuasa oleh bank pembuka menjadi bank penerus tidak harus sekaligus menjadi bank pengkorfirmasi, bank pembayar, bank penegoisasi, atau accepting bank. Artinya, bank penerus dapat berfungsi murni hanya sebagai bank penerus atau bank lain untuk melakukan pembayaran, negoisasi atau akseptasi merupakan kontrak yang mengikat (binding contract) terhadap bank pembuka sepanjang persyaratan dipenuhi. Bank pembuka dapat juga berfungsi sebagai bank pembayar, bank penegoisasi, atau accepting bank. Dalam hal bank pembuka berfungsi demikian, hal ini dapat berarti bahwa bank pembuka tidak memberi kuasa kepada bank lain untuk menjalankan fungsi sebagai bank pembayar, bank penegoisasi atau accepting bank. Hal sebaliknya dapat juga terjadi dalam arti bank lain yang diberi kuasa oleh bank pembuka tidak bersedia menjadi bank pembayar, bank penegoisasi, atau accepting bank. Dalam hal ini, bank pembuka akan melakukan fungsi tersebut. Akan tetapi, bank pembuka tidak berfungsi sebagai bank pengkonfirmasi karena konfirmasi dari bank
pengkonfirmasi merupakan “janji pembayaran” dari bank pembuka. Jaminan pembayaran dan janji pembayaran ini terpisah satu sama lain, tetapi hakikat keduanya sama yaitu realisasi pembayaran L/C. Kewajiban utama dari bank pengkonfirmasi sama dengan kewajiban utama dari bank pembuka yaitu merealisasi pembayaran L/C. Namun, kedua kewajiban tersebut harus dilihat secara sendiri-sendiri. Jaminan pembayaran dan janji pembayaran dalam pelaksanaan L/C sama kwalitasnya dalam hari pembayaran L/C dapat dimintakan oleh penerima atas dasar jaminan pembayaran dari bank pengkorfirmasi atau atas dasar janji pembayaran dari bank penerbit. Penerima boleh pilih salah satu. Namun dalam praktek, penerima merealisasi pembayaran L/C pada bank pengkonfirmasi. Hal ini terjadi karena pada umumnya antara penerima dan bank pengkonfirmasi berada dalam satu kota atau satu negara. Realisasi L/C dalam kondisi demikian lebih efektif dari pada realisasi L/C oleh bank penerbit, bank pengkonfirmasi juga dapat berfungsi sebagai bank pembayar, bank penegoisasi, atau bank pengaksep. e.
Hubungan Hukum Bank Penerus dan Eksportir Hubungan hukum antara bank penerus dan eksportir tergantung dari fungsi yang dilakukan oleh bank penerus sesuai dengan persyaratan L/C. Bank penerus dapat berfungsi sebagai bank penerus semata-mata, bank pengkonfirmasi, bank penegoisasi, bank pembayar, atau accepting bank. Dalam hal bank penerus murni menjalankan fungsinya sebagai bank penerus, maka kewajibannya terhadap eksportir hanya terbatas pada penerusan L/C dan penerus perubahannya. Oleh karena itu, eksportir tidak berhak untuk meminta pembayaran L/C dari bank penerus. Tetapi, dalam hal penerus juga sebagai bank pengkonfirmasi maka selain meneruskan L/C kepada eksportir bank ini juga melakukan konfirmasi atas L/C tersebut. Konsekuensinya, eksportir dapat meminta pembayaran L/C kepada bank pengkonfirmasi karena kewajiban bank pengkonfirmasi merupakan tambahan terhadap kewajiban pembayaran dari bank penerbit terhadap penerima. Kemudian, jika bank penerus bertindak pula sebagai bank
penegoisasi maka kewajiban bank ini yaitu selain meneruskan L/C juga melakukan importiran dokumen-dokumen yang diajukan penerima. Seterusnya apabila bank penerus diminta pula sebagai bankpembayar kepada penerima. Selanjutnya, apabila bank penerus bertindak pula sebagai bank pengaksep, maka kewajiban bank ini selain meneruskan L/C kepada penerima juga melakukan akseptasi atas wesel berjangka yang diajukan penerima dan membayarnya pada saat pembayaran jatuh tempo.
B. Pertimbangan mengenai penggunaan Letter of Credit (L/C) sebagai salah satu cara pembayaran transaksi perdagangan internasional dalam kerangka ASEAN Economic Community
ASEAN Economic Community merupakan kerjasama bidang ekonomi bagi negara-negara di kawasan ASEAN. Negara-negara tersebut melakukan kerjasama ekonomi salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN merupakan suatu perdagangan internasional melalui kegiatan ekspor-impor. Salah satu faktor yang merupakan hambatan dan permasalahan dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional adalah mengenai pembayaran. Pembayaran dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang akan mengadakan transaksi perdagangan ekspor-impor, baik yang menggunakan jasa perantaraan bank ataupun tidak. Eksportir maupun importir yang akan melakukan transaksi perdagangan ekspor-impor dalam melaksanakan pembayaran dapat memilih salah satu cara pembayaran yang ada yang dipandang sesuai dan memberikan rasa aman. Selain cara pembayaran yang diuraikan sebelumnya, adapula cara untuk melakukan pembayaran internasional yang timbul akibat perdagangan dan peminjaman internasional yaitu : 1.
Kompensasi Pribadi (Private Compensation). Kompensasi
pribadi
adalah
cara
pembayaran
dengan
mengalihkan
penyelesaian utang piutang pada seorang penduduk dalam satu negara tempat penduduk tersebut tinggal. Contoh:
Hime mempunyai utang sebanyak £ 100 kepada Dwi di Inggris atau sebanyak Rp1.300.000,00 (dianggap kurs waktu itu menunjukkan £1 = Rp 13.000,00). Kemudian Arcel mempunyai piutang sebanyak £ 100 kepada Tata. Dari keempat orang tersebut penyelesaian utang piutang dilakukan dengan cara Tata membayar utangnya kepada Dwi sebanyak £ 100 dan Hime membayar utangnya sebanyak Pp1.300.000,00 kepada Arcel. Dengan demikian sudah lunas segala utang piutang mereka atau secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan 4. Pembayaran dengan Kompensasi Pribadi Keterangan : 1. Importir (Indonesia) mengimpor barang dari eksportir (inggris) memiliki utang. 2. Importir (Inggris) mengimpor barang dari penjual barang dari eksportir (Indonesia) sehingga miliki utang. 3. Pelunasan utang dalam suatu negara. Cara pembayaran ini digunakan di Indonesia sekitar tahun 1960-an, namun sekarang sudah tidak banyak lagi digunakan dalam perdagangan internasional. 2.
Pembayaran di muka (Advance Payment) Advance Payment merupakan pembayaran yang dilakukan terlebih dahulu kepada eksportir sehingga importir seolah-olah bertindak sebagai lembaga
pembiayaan bagi eksportir. Untuk menggambarkan advance payment ini dapat digambarkan dengan jelas sebagai berikut : a. Antara eksportir dan importir terjadi kesepakatan untuk melakukan transaksi perdagangan yang dituangkan dalam sales contract. b. Setelah terjadi kesepakatan, maka importir akan menghubungi bank di negaranya dan memberi perintah untuk mentransfer jumlah uang yang telah disepakati kepada bank lain di negara eksportir dan dimasukkan kedalam rekening eksportir. Bank di negara eksportir kemudian memberitahukan kepada eksportir telah diterimanya uang pembayaran tersebut. c. Setelah menerima pembayaran, eksportir kemudian mempersiapkan pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan dan mengirimnya melalui port of loading. d. Barang yang dikirim diterima importir di port of destination sudah atas nama importir dan ransaksi selasai. 3.
Pembayaran Kemudian (Open Account) Open Account merupakan pembayaran dimana importir menerima barang pesanannya terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pembayaran sejumlah harga dari barang yang di pesan tersebut. Jadi disini yang memberi kredit adalah eksportir. Dalam pembayaran ini, importir akan membayar setelah barang diterima atau sesuai yang disepakati pada tanggal tertentu dikemudian hari. Untuk menggambarkan open account dapat dijelakan sebagai berikut : a. Antara eksportir dan importir terjadi kesepakatan untuk melakukan transaksi perdagangan yang dituangkan dalam sales contract. b. Setelah terjadi kesepakatan, maka eksportir akan segera mengirimkan barang yang dipesan melalui port of loading. c. Barang yang dikirim oleh eksportir tersebut diterima oleh importir di port of destination. d. Setelah meneriman barang, importir menghubungi bank di negaranya dan memberi perintah untuk mentransfer jumlah uang yang disepakati kepada bank lain di negara eksportir dan dimasukkan ke rekening eksportir. Bank
kemudian memberitahukan kepada eksportir atas telah diterimanya uang pembayaran tersebut. Jadi dalam pembayaran dengan open account ini eksportir terlebih dahulu melakukan pengiriman barang kepada importir, dan pembayaran atas harga dari barang tersebut dilakukan setelah barang diterima. Cara pembayaran secara tunai dirasa kurang praktis jika digunakan untuk lalu lintas perdagangan internasional. Cara pembayaran ini mempunyai risiko yang besar. Kelemahan cara pembayaran secara tunai di antaranya sebagai berikut : a.
Dalam pengimporan barang, importir harus menyediakan dana, walaupun barang yang dibeli belum diterimanya. Importir dalam hal ini harus menanggung biaya untuk barang yang dipesan.
b.
Terdapat kemungkinan barang yang dipesan tidak sesuai dengan barang yang diterima.
c.
Ada kemungkinan terjadi keterlambatan datangnya barang maupun ketidakjujuran pihak eksportir.
d.
Karena pengekspor berada di tempat yang jauh, maka keadaan pengekspor tidak sepenuhnya diketahui pengimpor.
Oleh karena itu muncul cara-cara pembayaran yang lain. Dalam perjanjian jual beli para pihak bebas untuk menentukan sendiri apa yang diinginkan berdasarkan persetujuan para pihak, seperti diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Demikian pula dalam Pasal 1513 KUHPerdata yang mengatakan bahwa “kewajiban utama si importir adalah membayar harga importiran pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan di dalam persetujuan”. Cara pembayaran dimuka berpeluang memberikan kerugian kepada importir, dan dapat mendatangkan keuntungan bagi pihak eksportir. Pada sat barang diterima mungkin tidak sesuai dengan mutu dan spesifikaisnya dengan yang diperjanjikan dalam kontrak. Kedatangan dari barangpun ada kemungkinan untuk
terlambat yang mana hal ini akan merugikan bagi proses produksi dan pemasaran. Risiko terbesar yang mungkin dihadapi oleh importir dalam pembayaran ini adalah eksportir tidak mengirimkan barang yang dipesan. Hal ini disebabkan karena dalam cara pembayaran ini importir melakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum eksportir mengirimkan barangnya. Untuk cara pembayaran yang seperti ini sebaiknya dilakukan antara importir dan eksportir yang sudah saling kenal dan saling percaya, ataupun untuk jumlah impor barang yang relatif kecil. Cara pembayaran dengan pembayaran kemudian (Opening Account), yaitu pembayaran dilakukan di kemudian hari pada tanggal yang telah ditentukan atau dengan cara memindahkan rekening importir kedalam rekening eksportir. Cara pembayaran ini dapat menimbulkan keuntungan sepihak bagi importir, karena ia dapat mengambil barang setelah menerima dokumen-dokumen dari eksportir. Selain itu eksportir harus membiayai seluruh transaksi dagang yang dilakukan. Sebaliknya sistem ini dapat menimbulkan kerugian bagi eksportir karena ia masih menunggu pembayaran yang tergantung pada importir. Biasanya sistem ini dilakukan antara importir dan eksportir yang sudah saling percaya atau berada dibawah satu perusahaan induk. Cara pembayaran dengan konsinyasi, yaitu pembayaran yang dilakukan oleh importir kepada eksportir apabila barang tersebut sudah terjual, dimana eksportir mengirimkan barangnya telebih dahulu kepada importir. Hal ini juga akan berdampak negatif kepada eksportir karena eksporyirlah yang bertindak sebagai kreditor dan membiayai barang yang dikonsinyiasikan. Hal yang mungkin juga terjadi adalah tidak ada laporan dari pihak importir atas terjualnya seluruh atau sebagian dari barang yang dikonsinyiasikan, sehingga importir menjadi menundanunda untuk melakukan pembayaran kepada eksportir. Pada sisi lain, eksportir juga tidak mendapatkan kepastian pembayaran, karena sangat bergantung pada kejujuran importir yang melaporkan status barang yang dikonsinyiasikan tersebut. Cara pembayaran yang sudah umum dipergunakan dalam perdagangan ekspor impor adalah dengan pembukaan L/C, karena pihak eksportir maupun importir dapat merasa aman bahwa hak-hak mereka ada kepastiannya. Disini bank penerbit, atas permintaan dan atas beban importir mengeluarkan alat atau surat
untuk kepentingan eksportir. Bank penerbit melakukan pembayaran kepada pihak eksportir melalui bank di negara eksportir. Pembayaran dengan menggunakan L/C ini merupakan cara yang paling aman dan memberikan kepastian kepada kedua belah pihak, baik pihak importir ataupun pihak eksportir. Pembukaan L/C ini menimbulkan hak dan kewajiban dari pihak yang terkait yaitu eksportir, importir, dan bank, yakni eksportir tidak dapat mengambil uang di bank jika ia tidak dapat menunjukkan dokumennya, sebaliknya pihak importir tidak dapat mengambil barangnya apabila ia tidak dapat menunjukkan dokumennya terhadap bank. Seperti diketahui bahwa latar belakang sistem ini dipakai karena situasi alam yang menyebabkan munculnya cara pembayaran seperti ini, yaitu: 1.
Pihak eksportir merasa berkeberatan untuk melepaskan barangnya sebelum menerima pembayaran, sedangkan importir merasa berkeberatan untuk melakukan pembayaran atas barang sebelum memperoleh penyerahan atas barang.
2.
Melaksanakan kebersamaan antara pembayaran atas harga barang dengan penyerahan nyata barang sangat sukar untuk dilaksanakan karena tempat (negara) antara satu pihak dengan yang lainnya jaraknya begitu jauh. Oleh karena itu timbul suatu usaha dengan dilakukannya pembayaran harga atas dokumen-dokumen atas hak, yang dinamakan dengan penyerahan yuridis. Pengaturan mengenai pembayaran dengan menggunakan L/C ini telah
diusahakan
kearah
kesatuan
dan
bersifat
internasional,
yakni
dengan
dikeluarkannya suatu peraturan baku. Di dalam bahasa Inggris namanya adalah Unidits, dalam bahasa Belanda namanya adalah Uniforme regelen en Usances met Betrekking tot Dokumentaire Credieten, sedangkan di dalam bahasa Perancis namanya adalah Regles et Usances Uniformes Relatives au Credits Documenteires. Setelah beberapa kali dilakukan peninjauan (revisi) oleh ICC (International Chamber of Commerce) atau Kamar Dagang Internasional, maka peraturan yang berlaku saat ini adalah UCP 600. L/C merupakan cara pembayaran tradisional yang telah digunakan sejak beberapa ratus tahun yang lalu, dan merupakan salah satu instrumen yang paling akrab dalam kegiatan ekspor-impor. L/C penting untuk perdagangan internasional,
terutama di Timur Tengah, karena pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan L/C ini memberikan rasa aman dan mampu meminimalisir risiko yang terjadi sehingga menjadi lebih efektif ketika digunakan dalam pembayaran. Pertumbuhan ekonomi yang terus menguat di China dan India juga mempunyai dampak positif bagi perekonomian di wilayah Asia, termasuk kawasan ASEAN. Penguatan ekonomi dan perdagangan yang melibatkan kelompok pemodal kuat dalam ekonomi dan perdagangan seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, pada saat ini lebih dipusatkan pada pasar berkembang seperti di ASEAN yang tengah menjalankan kelompok masyarakat ekonomi kawasan ASEAN (AEC).
Gambar 1. Grafik Peningkatan Perdagangan tahun 2008-2011 Sumber: SWIFT Penggunaan L/C dalam kegiatan ekspor-impor khususnya di wilayah Asia diprediksi akan terus meningkat seiring dengan adanya kelompok ekonomi regional, seperti AEC di wilayah ASEAN.
Gambar 2. Penggunaan L/C dalam Perdagangan Internasional Sumber: ITC, EIU, BCG
Tabel 1. Daftar Penggunaan L/C dalam Ekspor Impor Wilayah
Penggunaan L/C berdasarkan wilayah geografis
European Union
9%
Rest of European
20%
North America
11%
Latin America
27%
Middle East
52%
Asia Pacific
43%
Africa
49%
Asia
46%
Australia and New Zealand
17%
Sumber: Ninth Survey of International Services Provided to Eksportirs, commissioned by the Institute of Export. Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa penggunaan L/C sebagai pembayaran dalam kegiatan ekspor-impor di wilayah Asia menempati posisi terbesar kedua setelah Afrika dengan prosentase sebesar 46%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar dalam perdagangan internasional antara eksportir dan importir percaya untuk menggunakan L/C sebagai pembayarannya. L/C telah menjadi pilihan yang efektif dilakukan dalam hal pembayaran kegiatan ekspor-impor, misalnya apabila mata uang asing persediaannya terbatas di suatu negara yang akan melakukan pembayaran. Berkaitan dengan pemilihan pembayaran perdagangan internasional dan kepercayaan dalam hubungan perdagangan, L/C sangat cocok dipilih dan diterapkan sebagai pembayaran ketika tingkat kepercayaan di antara beneficiary/eksportir dan applicant/importir rendah dan dampak untuk dirugikan itu tinggi. Negara-negara anggota ASEAN telah seluruhnya mengenal cara pembayaran dengan menggunakan L/C ini. Namun, untuk Malaysia dan Brunei Darussalam lebih mengenal Islamic Letter of Credit, dimana penggunaan L/C ini dianut dengan sistem syariah sesuai dengan syariat islam. Indonesia sendiri juga mengenal Islamic Letter of Credit, tetapi untuk penggunaannya sendiri di Indonesia menggunakan L/C pada umumnya. Sedangkan Vietnam, Myanmar, Singapore, Thailand, Kamboja, dan Laos menggunakan L/C seperti yang pada umumnya kita ketahui atau tidak ada unsur syariahnya. Asia NewsFlash (September 2015) menulis tentang perkembangan perekonomian di negara-negara Asia, salah satunya yaitu Vietnam. Dalam tulisannya menyebutkan : Vietnam’s economy continues to show resilience despite a drop in planned FDI. Growth continued to be driven by construction activity and industrial production, and by manufacturing in particular, which grew 10% during the period. This growth could also be a result of increased export competitiveness following a few rounds of currency devaluations in 2015, alongside the strengthening recovery in Vietnam’s key export market, the US. CPI inflation has remained relatively low, around 1.0% y-o-y, despite the devaluations. In line with this resilience shown in 2015 after a difficult few years, Dun & Bradstreet has also moderated its recommended terms from CLC (confirmed letter of credit) to LC (letter of credit), and upgraded its ratings trend from ‘stable’ to ‘improving’. Dari tulisannya tersebut dapat disimpulkan bahwa ekonomi Vietnam terus menunjukkan ketahanan meskipun penurunan diproyeksikan di FDI. Pertumbuhan terus didorong oleh aktivitas pembangunan, industri produksi dan manufaktur
khususnya, yang meningkat sebesar 10%. Pertumbuhan ini juga bisa menjadi hasil dari daya saing ekspor yang meningkat setelah beberapa kali mengalami devaluasi pada tahun 2015 dan memperkuat pemulihan di Vietnam dengan pasar ekspor utama Amerika Serikat. Meskipun devaluasi, IPC tetap relatif rendah yaitu sekitar 1.0%. Dun & Bradstreet juga merekomendasikan L/C dan ditingkatkan dengan kecenderungan untuk 'stabil' menjadi 'meningkat'. Sehingga hal ini penting untuk mendapat perhatian khususnya di negara Vietnam apabila akan melakukan pembayaran dalam transaksi internasional. L/C di Singapura tidak diatur secara khusus dan rinci, tetapi hanya di singgung sedikit di dalam Chapter 11 The Law of Credit and Security (Low Kee Yang, 2015) dan dalam Chapter 23 The Law of Guarantee (Loo Wee Ling, 2015). Thailand pun tidak mengatur L/C secara khusus dan rinci dalam peraturan nasionalnya, karena Thailand hanya mengatur mengenai kredit nya saja yang tertuang dalam Credit Information Bussiness Act B.E. 2545. Dan untuk Kamboja, L/C juga telah digunakan dalam pembayaran internasional. Meskipun di Kamboja tidak mengatur secara jelas mengani L/C tetapi dalam prakteknya sebagian besar tunduk pada ketentuan yang ada dalam UCP. Janed Hyde dalam tulisannya yang berjudul “Trade Finance-Key to Myanmar’s Prosperity-Janed Hyde”menyebutkan bahwa “L/C not available to everyone yet”. Janed Hyde memberikan penjelasan mengenai belum adanya sistem yang mewadahi L/C, artinya belum ada pengaturan yang jelas dan sistem yang pasti dalam penggunaan L/C tersebut di Myanmar. Meskipun demikian, Janed Hyde percaya bahwa dengan adanya L/C ini akan meningkatkan perekonomian Myanmar kedepannya, terbukti dengan sudah ada beberapa pihak yang menggunakan L/C dan menumbuhkan pula pendapatan perbankan di Myanmar. Berbeda dengan Myanmar,
Laos
telah
banyak
menggunakan
L/C
dalam
pembayaran
internasionalnya. Meskipun belum ada pengaturan khusus tentang L/C di Laos, tetapi sebagian besar pembayaran yang digunakan di Laos adalah dengan menggunakan L/C, seperti yang disebutkan dalam Laos Customs Additional Details. Pengaturan mengenai L/C di Indonesia juga belum ada unifikasi. Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor, dan Lalu Lintas Devisa yang merupakan dasar hukum L/C di Indonesia tidak dapat dijadikan pedoman pelaksanaan L/C karena peraturan pemerintah tersebut tidak memuat aturan rinci mengenai L/C. Menteri Perdagangan Republik Indonesia tahun 2015 mengeluarkan regulasi dalam rangka menyambut ASEAN Economic Community (AEC), salah satunya dengan cara menerapkan ketentuan penggunaan L/C untuk ekspor barang tertentu. Dalam pertimbangannya, ketentuan Permendag Nomor 04/M-DAG/PER/1/2015 sebagaimana diubah dengan Permendag Nomor 67/MDAG/PER/8/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2015 Tentang Ketentuan Penggunaan Letter of Credit Untuk Ekspor Barang Tertentu menyebutkan Permendag ini diterbitkan guna mendorong peningkatan nilai tambah bagi perekonomian nasional dan pengembangan industri di Indonesia. Walaupun L/C bukanlah merupakan satu-satunya cara pembayaran yang dapat digunakan dalam kegiatan ekspor-impor di era AEC, namun peranan L/C tetap penting karena dengan cara pembayaran ini dapat memberikan rasa aman, baik bagi pihak eksportir, maupun bagi pihak importir. Terbukti dengan masih besarnya prosentase penggunaan L/C dalam kegiatan ekspor-impor khususnya di wilayah Asia. Eksportir merasa aman karena pembayaran atas barang-barang yang dikirimkan kepada importir ada kepastiannya. Hal ini disebabkan pengiriman atas barang baru akan dilaksanakan oleh pihak eksportir apabila ia telah memperoleh pemberitahuan dari pihak bank tentang adanya pembukaan kredit yang diperuntukkan baginya. Sedangkan pihak eksportir dapat merasa aman karena pembayaran terhadap ekspor-impor tersebut baru akan direalisasikan oleh bank apabila eksportir telah menyerahkan dokumen-dokumen atas barang yang dimaksud sesuai dengan perjanjian. Proses yang sederhana juga merupakan pertimbangan yang dapat dijadikan alasan penggunaan L/C dalam pembayaran transaksi perdagangan internasional di era ASEAN Economic Community. Proses sederhana yang dimaksud yaitu : 1.
Terjadi kesepakatan antara importir dan eksportir, yang biasanya dituangkan dalam sales contract atau media kesepakatan lainnya.
2.
Importir mengajukan permohonan pembukaan L/C kepada Bank yang akan menerbitkan (Issuing bank) atas permintaan Eksportir.
3.
Issuing Bank, sebagai bank penjamin, memberikan jaminan tersebut kepada eksportir, sehingga pada proses ini peran issuing bank berubah menjadi advising bank. Dalam prakteknya, mengingat jauhnya jarak antara issuing bank dengan eksportir yang biasanya di negara yang berbeda, maka issuing bank bisa meminta pihak/bank lain sebagai advising bank tetapi secara konsep, issuing bank dapat secara langsung berhubungn dengan eksportir terkait dengan L/C tersebut ke eksportir jika memungkinkan.
4.
Eksportir yang telah menerima L/C tersebut melakukan pengiriman barang dan membuat dokumen-dokumen yang dipersyaratkan oleh L/C.
5.
Eksportir menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada issuing bank untuk mendapatkan pembayaran dan issuing bank pun melakukan pembayaran kepada eksportir berdasarkan penyerahan dokumen yang sesuai dengan persyaratan dan kesepakatan semua pihak.
6.
Issuing bank menagihkan pembayaran tersebut kepada importir dengan menyerahan dokumen dan importir melakukan pembayaran kepada issuing bank untuk mendapatkan dokumen untuk pengeluaran barang. Seperti halnya surat berharga lainnya, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh eksportir apabila berhubungan dengan L/C. Apabila L/C tersebut dibuka melalui surat, harus diteliti tanda tangan yang tercantum dalam L/C apakah sesuai dengan contoh tanda tangan yang ada pada advising bank. Mengenai persyaratan dalam L/C tersebut, yang harus diperhatikan adalah apakah L/C tersebut irrevocable atau revocable. Bila L/C tersebut irrevocable, berarti L/C tidak dapat diubah, dijual, atau dibatalkan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari para pihak yang terkait di dalamnya. Namun apabila L/C tersebut revocable, L/C tersebut dapat ditarik atau dirubah atau dibatalkan kembali setiap waktu oleh pihakpihak yang bersangkutan, tanpa membutuhkan persetujuan dari pihak lain yang terikat di dalamnya. Disamping itu, harus diperhatikan juga apakah L/C tersebut merupakan L/C general atau restricted. Bila L/C tersebut general, maka eksportir bebas untuk memilih bank yang akan menegosiasi dokumen L/C. Namun apabila
L/C tersebut restricted, maka dokumen hanya dapat dinegosiasi oleh bank yang disebutkan dalam L/C tesebut.Untuk perlindungan, para eksportir harus membandingkan L/C dengan kontrak eksportiran lainnya yang sesuai. Apabila eksportir belum berpengalaman dalam membuat atau mempersiapkan dokumendokumen, maka eksportir dianjurkan untuk melakukan konsultasi dengan suatu agen Freight Forwarding. Pada umumnya, sebelum seorang importir membuka L/C di suatu bank, importir tersebut telah membuat perjanjian ekspor-impor (sale contract) terlebih dahulu dengan pihak eksportir. Berdasarkan perjanjian tersebut importir membuka L/C di suatu bank di tempat ia berdomisili. Hal ini dilakukannya tidak lain untuk mempermudah cara pembayaran atas ekspor-impor yang dilakukannya dengan pihak eksportir, dimana masing-masing pihak berdomisili di lain negara. Selain itu juga untuk memenuhi isi perjanjian jual-beli yang diperkuat oleh kedua belah pihak yang menjadi dasar pembukaan L/C tersebut. Pemenuhan atas isi perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan kepada dokumen-dokumen yang harus ada di dalam L/C. Adapun dokumen-dokumen tersebut antara lain sebagai berikut: 1.
Bill of Lading (B/L)
2.
Invoice (faktur)
3.
Polis Asuransi
4.
Packing List
5.
Dokumen-dokumen lainnya Bill of Lading (B/L) biasanya disebut dengan “cognossement” atau “surat
muatan kapal laut”, yang berfungsi sebagai surat bukti perjanjian pengangkutan dan tanda bukti barang. Dokumen lain yang harus dilengkapi adalah Invoice (faktur). Invoice merupakan suatu nota yang dibuat oleh eksportir mengenai barang-barang yang dijual kepada importir. Sedangkan polis asuransi adalah perjanjian asuransi atau pertanggungan atas barang yang dijual dalam bentuk sepucuk akta. Dengan adanya polis asuransi, maka pihak eksportir akan merasa aman bahwa barangbarang yang dikirimkannya akan memeperoleh tanggungan bilamana terjadi sesuatu atas barang-barang tersebut yang merugikannya. Dokumen selanjutnya yang harus dilampirkan adalah packing list.
Dokumen ini memuat daftar atau perincian lengkap mengenai barang-barang yang akan dikirimkan oleh eksportir, yang terdapat dalam setiap peti kemas. Sedangkan dokumen-dokumen lainnya, yang juga memiliki arti penting dalam L/C adalah sertifikat asal barang (certificate of origin), faktur konsuler (consuler factur), keterangan ukuran berat (certificate of weight), keterangan kualitas barang (certificate of inspection), dan sertifikat perincian barang (certificate of analysis). Dengan adanya dokumen-dokumen ini, maka jelaslah bahwa kepastian hukum dan rasa aman dalam pembayaran dengan menggunakan L/C dapat dirasakan oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi perdagangan internasional tersebut. Eksportir dan importir, khususnya bagi negara negara di kawasan ASEAN yang tergabung dalam AEC tidak terpaku pada satu cara pembayaran saja dalam transaksi ekspor impor, namun bebas memilih cara pembayaran yang sah menurut ketentuan pemerintah. Namun pada kenyataannya, kebanyakan eksportir dan importir lebih memilih L/C sebagai cara pembayaran dalam transaksi ekspor impor. Hal ini disebabkan pembayaran dengan menggunakan L/C cenderung merupakan cara pembayaran yang paling aman bagi pihak eksportir maupun importir. Terdapat beberapa pertimbangan yang menyebabkan eksportir dan importir lebih memilih untuk melakukan pembayaran transaksi ekspor impornya dengan menggunakan L/C, antara lain yaitu: 1.
Pihak eksportir mendapat suatu rasa kepercayaaan pada L/C yang telah dikeluarkan oleh bank, sehingga eksportir merasa terjamin akan adanya pembayaran yang sesuai dengan syarat yang disebutkan di dalam L/C tersebut.
2.
Adanya pembayaran yang segera bagi pihak eksportir, apabila dokumendokumen yang sudah sesuai dengan L/C telah diserahkan kepada bank penerus L/C (advising bank), meskipun pihak importir belum menerima dokumendokuemn tersebut. Atau pihak eksportir dapat menerima pembayaran segera setelah barang dikapalkan, asalkan sesuai dengan persyaratan L/C yang bersangkutan.
3.
Eksportir dapat menggunakan L/C untuk pembiayaan selanjutnya, dan dapat memperoleh Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) dengan bunga rendah dan mendapatkan pula insentif perpajakan.
4.
Importir akan merasa terjamin bahwa bank akan menolak pembayaran terhadap eksportir, kecuali eksportir telah memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan oleh importir di dalam letter of credit.
5.
Bagi importir dengan dana yang sedikit/ tanpa menyetorkan dana, dapat membeli/mengimpor barang dan importir juga akan merasa aman. Penggunaan L/C sebagai alat pembayaran transaksi perdagangan
internasional dalam AEC ini diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan mengenai pembayaran dalam kegiatan ekspor-impor. L/C mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia perdagangan internasional, meskipun L/C bukanlah merupakan satu-satunya alat pembayaran dalam kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor). Hal ini disebabkan karena L/C merupakan alat pembayaran yang dapat memberikan rasa aman bagi pihak eksportir ataupun importir. Selain itu di negara-negara Asia juga masih mengakui eksistensi dan keamanan penggunaan L/C. Terbukti dari kepercayaan dari ekportir maupun importir yang melakukan pembayaran masih menggunakan L/C meskipun L/C merupakan pembayaran yang sifatnya tradisional. Hal tersebut menjadikan pembayaran menggunakan L/C ini patut untuk dipertimbangkan dalam AEC sebagai pembayaran yang aman dan memberikan kepastian kepada pihaknya.