100
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FARID ESACK
A. SEJARAH HIDUP FARID ESACK a. Sketsa Biografis Farid Esack Farid Esack (selanjutnya: Esack) dilahirkan tepat pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh lagi miskin di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan.1 Lima saudara kandungnya berlatar belakang kehidupan miskin dan penuh dengan kegetiran hidup. Figur ayahpun telah lama tak dijumpai Esack semenjak Ia berumur tiga minggu.2 Semakin lengkap penderitaannya
ketika
sang
Ibu,
sepanjang
perjalanan
hidupnya
ditakdirkan sebagai seorang pekerja rendahan di sebuah pabrik dengan gaji kecil, dan di akhir hayatnya, meninggal dalam kondisi uzur pada usia 52 tahun.3 Romantisme masa kecil berselang—dengan kondisi keprihatinan dan ketertindasan, beberapa tahun kemudian, tanah kelahirannya, Wynberg, dirampas oleh rezim Apartheid. Maka tak ada pilihan lain, akhirnya Esack beserta keluarganya terpaksa hijrah ke Bonteheuwel, sebuah kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats, Afrika Selatan
1 Zakiyuddin Baidhawy, Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an: Perspektif Farid Esack dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002, hlm. 195. 2 Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islam ic Perspective of Interreligious solidarity againts Oppression, lihat terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 24 3 Lihat Simon Dagut dalam “Profile Farid Esack”, www.homepagefaridesack.com
101
(yang dalam sejarahnya, adalah koloni Inggris). Hukum apartheid4 yang diberlakukan pada 1952 memposisikan Esack dan keluarganya semakin terjerembab dalam lumpur kemiskinan, penindasan dan keterkungkungan keberagamaan. Terlebih, lewat Akta Wilayah Kelompok (Groups Areas Act), seluruh warga kulit berwarna (hitam) diperlakukan secara diskriminatif oleh rezim apartheid, aktor hegemoni penindasan saat itu.5 Di Bonteheuwel, Esack menjumpai struktur masyarakat yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan keadaan masyarakat di Wynberg. Di sana hadir beragam etnis, kultur dan agama. Fenomena sosial yang menjadi karakteristik khas masyarakat adalah pluralitas dan heterogenitas. Kendati kehidupannya tidak seromantis sewaktu tinggal di Wynberg, tapi Esack menemukan fakta ko-eksistensi6 sosial-keagamaan yang jauh lebih damai dan harmonis di Bonteheuwel, yang seakan-akan telah menjadi kultur masyarakat yang sudah mendarah daging.7
4
Dalam bahasa Afrikaans, apartheid berarti penyisihan dan pemisahan. Di Afrika Selatan, apartheid merujuk pada pemisahan kelompok kulit putih dan kelompok non kulit putih (berwarna, hitam dll). Pemerintah saat itu sebagai motor bagi terciptanya ide pembedaan secara rasial ini, lewat seorang perdana menterinya (perdana Menteri Ke-7 Afsel), Hendrik Frensch Verwoerd, benar-benar membawa pemerintahan Afrika Selatan lewat penindasan cukup mendalam. Ide dari hukum apartheid adalah pemberian pelayanan ‘berbeda’ terhadap kelompok kulit berwarna (terutama kulit hitam) baik secara politik, hukum, ekonomis, sosial, pendidikan, keamanan, dan lainnya. Yang lebih parah lagi, proses penindasan rasial itu dilindungi dan berdasar undang-undang. Tulisan ini bisa diakses dalam situs http://ms.wikipedia.org/wiki/Apartheid, lihat juga the History of Apartheid in South Africa makalah diambil dari www.homepagefaridesack.com. 5 Ibid. 6 Keadaan hidup yang berdampingan secara damai antara dua negara (bangsa) atau lebih yang berbeda atau bertentangan pandangan politiknya. Lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 578. 7 A. Rafiq Zainul Mun’im, Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, dalam Jurnal Studi KeIslam an AKADEMIA, (terbitan Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel) Surabaya, edisi vol. 16, No. 2, Maret 2005. lihat juga Farid Esack, op.cit
102
Dalam karya besarnya, Qur’an Liberation and Pluralism, digambarkan secara jelas, kondisi Afrika Selatan memang telah terbentuk dalam tradisi multiagama, ia mencontohkan; kelompok Khoikhoin (yang kini nyaris punah), Nguni, San dan kelompok asli lainnya diketahui memegang berbagai kepercayaan dan praktik agama, para pemukim Kristen Belanda, budak muslim dan pelarian politik dari Indonesia menambah keberagaman Afsel dalam naungan Pluralitas dan dinamika keberbedaan.8 Di sisi lain, realitas kemiskinan yang menghimpit masyarakat muslim, membuat Esack dan keluarganya “mentolerir” kebiasaan untuk saling tolong menolong dan solidaritas yang tinggi meski dari/untuk kalangan yang berbeda keyakinan.9 Justru dari interaksi yang bermakna ini, Esack banyak mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang makna pluralitas dan solidaritas antara sesama, bahkan boleh dikata, benih-benih pluralisme dalam otak Eack justru muncul karena seringnya berinteraksi secara intens, yang sekaligus kerap menjumpai sisi-sisi kebajikan, kesalehan, kasih sayang serta rasa solidaritas sosial dari mereka 8
Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralis, ibid, hlm. 25 Dalam potongan kisah yang ditulisnya, Esack menuturkan: Kepada para tetangga Kristen itulah kami bergantung demi “semangkuk gula”, “menyambung nafas hingga Jumat berikutnya”, dan tempat untuk berbagi derita—kepada tuan Frank-lah kami memohon perpanjangan waktu pembayaran pinjaman yang seolah tanpa akhir. Kenyataan bahwa penderitaan kami menjadi terpikulkan berkat solidaritas, kemanusiaan, dan senyum para tetangga Kristen membuat saya curiga pada semua ide keagamaan yang mengklaim keselamatan hanya ada bagi kelompoknya sendiri, dan mengilhami saya dengan kesadaran akan kebaikan intrinsik agama lain. Bagaimana mungkin saya menatap keramahan yang memancar dari ibu Batista dan Bibi Katie sembari menyakini bahwa mereka ditakdirkan untuk masuk neraka? Penerimaan terhadap orang lain, yaitu inti dari pluralisme agama, tidak datang begitu saja kepada penduduk kota kami. Sekalipun sama-sama menderita, mereka masih memegang keyakinan surga eksklusif untuk Kristiani atu Muslim; meski saling berbagi makanan yang bersahaja, mereka memisahkan dan menandai piring dan mangkuk bagi penganut agama yang lain itu. Lihat Farid Esack, ibid. hlm. 25 9
103
tanpa memandang dan mempersoalkan asal-muasal agama, idiom teologis, ras, etnis, kultur dan pembedaan diferensiasi sosial lainnya.10 Hal demikian jarang dia temukan dari teman-teman sesama agamanya, yang dengan bangga sering mengatakan agamanya sebagai “rahmatan li al‘alamin” namun dalam praktiknya jauh lebih mementingkan simbol primordialisme agama dari pada rasa kemanusiaan.11 Islam bagi Esack dan keluarganya menjadi ‘sauh kultural’ dan berperan penting dalam perjuangan kami dalam mempertahankan hidup di tengah padang pasir dan pepohonan Port Jackson di Bonteheuwel. Karena mengaku sesama Islam , maka Esack dan keluarganya sering merapatkan interaksi mereka untuk saling berkomunikasi dengan sesama tetangga12 muslim. Sehingga meski keluarganya tidak tergolong religius, masjid adalah menjadi tempat yang penting untuk mereka melakukan kontak interaksi sesama tetangga muslim.13 Di samping itu, Esack menjadikan masjid sebagai tempat yang mempunyai nilai romantisme sendiri sewaktu kecil hingga dewasa; disanalah ia bermain sepulang sekolah dan akhir pekan, mendorong gerobak pasir ketika kecil dan menjadi wakil
10
Farid Esack On Being a Muslim; Finding a Relegious Puth in the World Today, (Oxford England: Oneworlds, 1999), tej. On Being A Muslim, Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, hlm 172. lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit. 11 A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid. 12 Yang disebut “tetangga” dalam konteks masyarakat Bonteheuwel adalah merekamereka yang tinggal tiga atau empat puluh rumah jauhnya dari sebuah rumah. Lihat dalam Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit. hlm. 26. 13 Dalam tulisannya terkait dengan Masjid di Bonteheuwel, Esack menceritakan bagaimana konteks Masjid di Bonteheuwel cukup mempunyai peran penting sebagai tonggak perjuangan dan kontrol terhadap sistem apartheid yang menindas. Dari Masjid, maka refleksi kritis dan progresif terbangun bersama rekan-rekannya. Lihat dalam Farid Esack, Mosque The Battle for Control – Some Reflections, dalam www.homepagefaridesack.com
104
masyarakat yang mengelola masjid ketika dewasa, serta menjadi guru madrasah sejak saya masih anak sekolahan.14 Berangkat dari pengalaman ‘pahit’ inilah, Esack termotivasi mempertanyakan kembali secara kritis terhadap teks-teks keagamaan (liturgis) yang kerap ditafsirkan secara eksklusif. Terlebih, yang sangat esensial mempertanyakan secara radikal makna agama, klaim kebenaran dan doktrin keselamatan suatu agama. Karena Esack menyadari bahwa dalam konteks penindasan yang sudah sedemikian akut, menghadapi persoalan hidup tidak cukup hanya diatasi dengan memegangi argumenargumen normatif dan teologis yang terus-menerus ditafsirkan secara eksklusif, konservatif dan ideologis, sementara kenyataan sosial berupa penindasan, kapitalisme, rasisme15, eksploitasi gender (seksisme)16 dan lain sebagainya terus membayangi setiap saat. Oleh karenanya, dia berkeyakinan kuat bahwa selain teguhnya keyakinan, sesuatu yang mendesak dan mutlak dibutuhkan oleh umat Islam dan rakyat Afrika
14
Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralis, ibid. Menurut Jamil Salmi, rasisme menjadi bagian dari kekerasan alienatif dalam ekonomi kapitalisme. Rasisme bukan hanyak berupa kebencian untuk mengisolasikan beberapa orang pinggiran yang mempunyai ide-ide yang menyimpang. Rasisme esensinya merupakan sebuah fenomena sosial dan perannya sama dengan ideologi dalam masyarakat kapitalis. Dan proses kekerasan rasisme ini meniscayakan akan selalu beriringan dengan sistem ekonomi kapitalis. Lihat Prof. Dr. Jamil Salimi, Violence and Democratic Society; Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm. 224. 16 Seksisme juga dapat dianggap sebagai sebuah bentuk rasisme. Dengan dalih adanya perbedaan prikologis dan biologis yang fundamental antara laki-laki dan perempuan (peran reproduktifnya, ukuran dan kekuatan fisik), hirarki sosial yang disangkakan sebagai takdir Tuhan telah berkembang jauh sehingga menguntungkan laki-laki. Meski Seksisme menjadi penyebab dan akibat dari persoalan ekonomi, status subordinatif perempuan tidak hanya terbatas di bidang ekonomi, namun berkembang ke semua aspek kehidupan. Di Media, dunia periklanan, mode pakaian, fashion dan kesusastraan. Perempuan diajari bahwa dirinya inferior dan seharusnya menempatkan laki-laki di atasnyua. Perempuan tidak mempunyai akses yang sama terhadap kekuasaan. Perempuan dicegah oleh pola-pola sosial dan tradisi untuk tidak terlibat di dalam seluruh kekgiatan yang secara biologis baginya tidak tepat. Ibid, hlm. 227. 15
105
Selatan pada khususnya adalah sebentuk ruh revolusioner untuk menafsirkan teks-teks keagamaan demi membebaskan rakyat Afrika Selatan dari belenggu sejarah kolonialisme dan imperialisme yang dilanggengkan oleh rezim apartheid.17
b. Pendidikan dan Aktivitas Intelektual Farid Esack Dengan kepindahannya ke Bonteheuwel akibat jeratan Akta Wilayah Kelompok (Groups Areas Act), Esack tetap menempuh pendidikan secara berkelanjutan meski dengan kondisi diri dan keluarganya yang ‘memprihatinkan’. Esack menyelesaikan Sekolah dasar dan menengahnya di Bonteheuwel, di sebuah sekolah yang menganut kurikulum Pendidikan Nasional Kristen.18 Pada usia tujuh tahun, Esack telah mulai menancapkan keinginan kuatnya untuk menjadi sosok pemimpin agama (cleric). Dalam gambaran yang ia bubuhkan dalam karya Qur’an Liberation and Pluralism, Esack telah mengenal dan bersentuhan dengan tradisi kehidupan yang plural semenjak kecil, namun juga sangat relegius di ranah keagamaan.19 Ketika masih kecil, ia telah menjadi sekretaris masyarakat yang bertugas mengatur masjid dan sebagai guru madrasah. Ia adalah orang yang sangat 17
Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit. lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid. 18 Di sekolah Nasional Kristen ini ditanamkan ideologi pendidikan yang bertujuan membentuk pola dan struktur berpikir warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan serta taat pada pemerintahan apartheid. Disamping terdiri dari penghuni (yang sebagian besar) Kristen, terlihat di sana ada juga penganut Yahudi dan Tahirah, yakni Tuan Frank, dan gadis Baha’i di sekolah dasar yang orang tuanya melarang anak itu untuk membicarakan agamanya kepada siapapun. Lihat dalam Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, ibid. lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid. 19 Zakiyuddin Baidhawy, op.cit, hlm. 195, lihat juga Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit, hlm. 26
106
memegang teguh agama dengan perhatian besar pada penderitaan yang dialami dan disaksikan di sekitarnya. Sampai-sampai ia yakin bahwa karena Tuhan menjadi Tuhan, Tuhan harus berbuat adil dan berada di sisi orang yang marginal.20 Ia percaya bahwa firman Allah, “jika engkau menolong allah, allah akan menolongmu dan mengokohkan langkahlangkahmu”21 Artinya, bahwa ia harus berpartisipasi dalam perjuangan untuk kebebasan dan keadilan, jika saya ingin agar Tuhan menolong, maka saya harus menolong-Nya. “menolong-Nya” dipahami sebagai “menolong agamanya”. Dan inilah yang mendorongnya bergabung dua tahun kemudian dengan tablighi jama’ah, sebuah gerakan revivalis muslim Internasional, pada umur yang tergolong masing cukup belia, 9 tahun.22 Sampai pada tahap ini, Esack yakin bahwa ia harus ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan, salah satu caranya dengan masuk Jamaah Tabligh.23 Di sela-sela aktifitas pendidikannya, Esack masih sempat meluangkan waktunya untuk aktif di berbagai organisasi gerakan, seperti di Aksi Pemuda Nasional (NYA/national Youth Action), sebuah organisasi yang cukup vokal menentang apartheid, dan Asosiasi Cendekiawan Kulit Hitam Afrika Selatan (SABSA/South
20
Zakiyuddin Baidhawy, ibid. (QS. 47: 7) 22 Zakiyuddin Baidhawy, op.cit, hlm. 195. lihat juga Simon Dagut dalam “Profile Farid Esack”, (http://www.faridesack.com) 23 Sebuah organisasi keagamaan yang memiliki Jaringan Internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood). Ia mengakui bahwa figur sang ayah yang tak ketahuan rimbanya tergantikan dengan rekatnya hubungan persaudaraan antar-anggota Jamaah Tabligh.Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islam ic Perspective of Interreligious solidarity againts Oppression, lihat terj. al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, op.cit, Lihat juga Burhanudin, op.cit 21
107
Africa Black Student).24 Dan karena keaktifannya inilah Esack sempat merasakan ‘jeruji bui’ oleh pasukan khusus, yang kemudian dikenal sebagai polisi keamanan (Special Branch) Pasal yang di tuduhkan kepadanya adalah lantaran aktivitas di kedua organisasi tersebut Esack sangat “nyaring” dan vokal meneriakkan tuntutan adanya perubahan sosial politik bagi masyarakat Afrika Selatan secara radikal.25 Setelah dibebaskan dari jeratan kasus politik tersebut, pada tahun 1974 Esack mendapatkan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun di Pakistan.26 Ia kemudian masuk di lembaga scholarship atau lembaga tinggi yang ia tempuh terpisah, yakni: Jami’ah Ulum al-Islam iyah dan Jami’ah Alimiyyah al-Islam iyah, Pakistan.27 Di sana dia berhasil memperoleh gelar sarjana Hukum dan sarjana Theology Islam . Dan di
24
Farid Esack, ibid, hlm 26, lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit Kedua organisasi yang bermarkas di Gedung Christian Institute ini membawa Esack menikmati keramahan dan solidaritas dari pemimpinnya, Pendeta Theo Kotze dan para stafnya. Pendeta Theo menawarkan fasilitas beribadah bagi para muslim dan datang mengunjungi keluarga esack setelah dilepas dari tahanan. Pendeta Theo Juga meyakinkan kami bahwa “berurusan” dengan polisi sebenarnya merupakan suatu kehormatan. Akhirnya di tahun 1973 organisasi ini dilarang. Farid Esack, ibid 26 Lihat paparan pengalaman pendidikan Esack selama di Pakistan dalam tulisannya, Farid Esack, Muslims Engaging the Other and The Humanum, dalam www.homepagefaridesack.com. Lihat juga Burhanudin, Titik Balik Pengalaman Eksistensial Farid Esack: Raison D’etre Hermeneutika Pembebasan Al-Qur’an, makalah tidak diterbitkan, lihat dalam situs www.Islam lib.com. 27 Sebagian besar Institut (perguruan tinggi) di Pakistan adalah menganut aliran konservatif yang memandang jelek segala sesuatu yang berbau “duniawi”. Dalam penuturan kisahnya Esack menceritakan: suatu malam seorang anak berusia dua belas tahun, Abdul Khlmiq Ali, harus segera dibawa ke rumah sakit dan menjalani operasi darurat yang berlangsung beberapa jam. Adil Johaar menungguinya pada pagi hari, sementara Esack masuk setelah semalaman berjaga di rumah sakit. Di kelas pagi itu, Baksh menanyakan Adil. Ketika diberitahu bahwa adil menjaga Abdul Khlmiq di rumah sakit, dia berkata, “Kalian datang ke sini untuk belajar atau menunggui orang sakit?”. Lihat Farid Esack, op.cit. lihat juga Zakiyuddin Baidhawy, op.cit, hlm 196. lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit 25
108
tempat ini pula, Esack memperoleh gelar keilmuan “Maulana” yang semakin memantapkan nama sekaligus keilmuannya.28 Lambat
laun,
Esack
mulai
mencintai
Pakistan,
karena
kedatangannya dari keluarga Muslim dalam situasi minoritas membuatnya prihatin pada pelecehan sosial dan agama atas kaum minoritas Hindu dan Kristen yang memang sering ia jumpai di Pakistan. Lihatlah kisah yang Ia tuturkan dalam Qur’an Liberation and Pluralism; “Derrick Dean, seorang aktivis muda Kristen, suatu malam mengunjungi saya di ruang madrasah yang saya tempati bersama enam orang lainnya. Reaksi Haji Bhai Padia, pemimpin Jamaah Tabligh Afika Selatan mengejutkan saya saat itu. Begitu mengetahui bahwa Derrick bukan seorang non Muslim, dia memintanya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Saya menghormati Derrick seperti apa adanya, saya pun mencintai Bhai Padia, tapi diam-diam saya merasa malu. Apa yang terjadi di sini adalah logika sederhana yang tadinya begitu saya pegang bahwa “jika kamu menolong Tuhan, niscaya Dia menolongmu”, jadi melemah. Jurang antara teologi konservatif yang melekat dalam diri saya dan praksis-progresif menjadi terang.” Dari kejadian-kejadian tersebut, Esack semakin meneguhkan diri dan segera menentukan pilihan gerakan. Jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Akhirnya, Ia memilih untuk menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough).29 Dari diskusi yang ia ikuti, Esack menyaksikan bagaimana mereka berusaha memaknai hidup sebagai seorang Kristiani dalam lingkungan yang tak adil dan
28 29
lihat Burhanuddin, op.cit Lihat Farid Esack, op.cit
109
eksploitatif.30 Jalinan kerjasama antariman ini semakin kuat, hingga Esack membangun kerjasama dengan Norman Wray, seorang tokoh dalam kelompok Breakthrugh dalam beberapa hal, semisal: permintaan Norman kepada Esack untuk mengajar Studi Islam di sekolah yang dipimpinnya, kemudian kerja-kerja sosial di Penjara Pusat Karachi, mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kristen, dan merawat anak-anak terlantar di sana. Pelajaran beharga inilah yang mencoba Esack inspirasikan sebagai perkawinan iman dan praksis di Afrika Selatan.31 Inspirasi
perkembangan
intelektualnya
juga
tumbuh
lewat
kesadaran Esack menyaksikan banyaknya kesamaan antara penindasan terhadap wanita di kalangan Muslim Pakistan dengan penindasan terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan (apartheid). Titik temu tak terelakkan antara pandangan seksis dan rasialis ini yang kemudian semakin membentuk pola pemikiran Esack menjadi matang.32 Setelah merasa cukup dengan bekal keilmuannya, pada tahun 1982, Esack kembali di Afrika Selatan dan mulai merintis gerakan pembebasan hingga mewarnai aktivitas politik, sosial-keagamaan dan bidang kehidupan lain, yang selanjutnya menjadi salah satu pilar kekuatan kelompok Islam progresif di Afrika Selatan. Pada tahun 1983, muncul beberapa konstitusi kontroversial yang membuahkan banyak penolakan dari rakyat Afrika Selatan secara massif. Lagi-lagi, 30
soal
yang
diangkat
Lihat Farid Esack, ibid. hlm. 27-28 Farid Esack, ibid. hlm. 28 32 Farid Esack, ibid. hlm. 28 31
adalah
isu
rasial
yang
cukup
110
menyengsarakan rakyat dan kembali membawa pertentangan banyak pihak. Di satu sisi, dengan bangga, presiden Afrika Selatan saat itu, P.W. Botha, mencari pembenaran secara teologis dalam kitab suci Bible demi mengembalikan Afrika Selatan yang khas apartheid ke dalam komunitas bangsa-bangsa.33 Puncaknya pada tahun 1984, Esack bersama tiga orang sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, mendeklarasikan organisasi gerakan bernama The Call of Islam , dengan Esack sebagai koordinator nasionalnya. Organisasi ini menjadi motor penggerak bagi Esack bukan hanya di bidang intelektual, tapi juga menjalankan aktivitas sosial-politik. Esack kemudian dipercaya sebagai orang yang memiliki komitmen kuat terhadap solidaritas antar-agama (inter-religious solidarity) untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian serta menentang kekejaman Apartheid.34 Pada praktiknya, organisasi The Call Of Islam berafiliasi dengan Front Demokrasi Bersatu (United Democratic Front/UDF),35 sebuah Front Nasionalis Afrika Selatan yang dipimpin Nelson Mandela. Sementara itu, pada saat yang bersamaan munculnya gerakan oposisi Islam lain terhadap rezim Apartheid era tahun 1970-1980-an semakin mempengaruhi gerakan
33
Farid Esack, op.cit. hlm. 28 A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit. lihat juga Burhanudin op.cit. 35 UDF/Front Demokrasi Bersatu berdiri pada 1983, dan merupakan organisasi pergerakan terbesar untuk kemerdekaan. UDF adalah pergerakan muslim yang paling aktif memobilisasi aktivitas nasional menentang apartheid, diskriminasi gender, dan pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antariman. Dalam UDF sendiri Call Of Islam hanyalah satu dari sekian banyak organisasi berbasis agama yang terlibat dalam “perjuangan”. Lihat Farid Esack, op.cit. hlm. 29. 34
111
dan pemikiran keagamaan Esack dalam meniupkan ruh pembebasan pada The Call of Islam . Melalui organisasi besarnya ini, Esack berkeinginan kuat untuk menemukan formulasi Islam Afrika Selatan yang berdasarkan pada pengalaman penindasan dan pembebasan yang dia sebut sebagai “a search for an outside model of Islam ”.36 Namun, perjuangan Esack lewat The Call of Islam bukan sepi dari hambatan. Kelompok-kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM (Muslim Youth Movement), MSA (Muslim South Africa)37 melalui tabloid Majlis mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap mereka yang bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama pluralisme.38 Lebih ironis lagi, mereka menstigma kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia.
Bahkan
mereka
menampilkan
justifikasi
teologis
dengan
menyerukan ayat-ayat al-Qur’an, yang sering mereka serukan adalah:
36 Di kutip dari Farid Esack, “Contemporary Religious Tought in South Africa and the Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion, dalam I.C.M.R, 2. (1991), 215, lihat dalam A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit. 37 Gerakan-gerakan Islam ini sebenarnya memiliki semangat yang sama untuk melawan rezim apartheid. Hanya saja, mereka relatif ekslusif dan enggan bekerjasama dengan elemen di luar agama Islam . Padahlm, kita tahu, komunitas Muslim menjadi minoritas di Afsel sehingga sulit menggalang perlawanan yang masif jika melupakan komunitas lainnya di luar Islam . 38 MYM-MSA dan Qibla mencela komitmen Call untuk bekerjasama dalam ranah antariman, karena mereka berpendirian bahwa bekerjasama dengan kelompok di luar Islam dalam perjuangan ideologis, akan berakibat pada pengaburan iman Islam seseorang. Dalam sebuah makalah yang disebarkan dan diterima secara luas di MYM-MSA, yakni berjudul “United Democratic Front: An Islam ic Critique”, Bradlow menguraikan beberapa keberatan untuk bersekutu dengan penganut agama lain dan khususnya dengan UDF. Ada beberapa alasan, Pertama, aliansi politik memiliki “strategi implisit untuk membela kaum kafir” dan akan mencegah “tampilnya Islam ” dalam kekuatan pembebasan terhadap kelompok tertindas di Afrika Selatan. Kedua, dalam afiliasinya dengan UDF sebagai organisasi keagamaan, kelompokkelompok Muslim telah mereduksi Islam dengan menjadikan agama tunduk pada ideologi sekuler. Ketiga, konsep demokrasi bukan hanya “asing bagi kerangka acuan pemerintahan yang Islam i, namun mengakuinya pyun dapat membawa kepada tindakan syirk, menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Lihat dalam Farid Esack, op.cit. hlm. 70
112
☺
⌧
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kamu”39 (Q.s: al-Baqarah: ayat 120):
⌫
☺
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu” (al-Maidah (5): 51).
Mendapatkan ‘kritik’ dan stigmatisasi ini Esack tak gentar, tekad mereka di barisan progresif sudah bulat untuk membuat barikade pembebasan seperti cita-cita Esack mewujudkan “a search for an outside model of Islam ”. Maka, untuk meladeni kelompok konservatif ini, Esack 39
al-Quran dan Terjemahnya, Khadim al-Haramaian Raja Fadh. Diterjemahkan oleh Yayasan Penyeleng-gara Penterjema/Pentafsir al-Quran yang ditunjuk Menag dengan SK N. 26 tahun 1967. Yayasan ini diketuai Prof. Dr. RHA Soenarjo, SH. Anggota-anggotanya adalah Prof. Hasbi Asshiddiqi, Prof. Bustami Ghani, Muhtar Yahya, Toha Jahya Omar, Prof. Mukti Ali, KH Musaddad, KH Ali Maksum dan lain-lain.
113
kemudian memperdalam kembali wilayah pemahaman tentang al-Qur’an dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci acapkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit.
Pada tahun 1989, ia meninggalkan
negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Tepatnya di Universitas Theologische Hochschule, Sankt Geprgen, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Sementara di University of Birmingham Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir.40 Dan akhirnya, pada tahun 1997, dia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Qur’an, Liberation and pluralism: an Islam ic perspective of interreligius solidarity against Oppression”.41 Setelah itu, Esack menggalang berbagai kekuatan lain dengan menyuguhkan peranan di berbagai lembaga dan organisasi, seperti: The Organization of People Against Sexism, The Cape Against Racism and the World Conference on religion and Peace. Di samping itu, Ia rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld and Burger (dwi mingguan), koran harian South African, dan kolumnis masalah sosial keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan Muslim Afrika Selatan. Dia juga menulis di Islam ica, Jurnal tiga bulanan umat Islam di
40
lihat Burhanuddin, op.cit Lihat A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit. Lihat juga Simon Dagut dalam “Profile Farid Esack”, www.faridesack.com 41
114
Inggris serta jurnal Assalamu’alaikum, sebuah Jurnal Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.42 Pergulatan (pemikiran) Esack semakin hidup dengan aktifitas keintelektualannya. Esack menjadi semakin mobile lewat aktifitas mengajar di University of Western Cape sebagai dosen senior pada Department Of Religious Studies serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan masalah Islam dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam , politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam, CSUN (California State University Nortridge) dan juga Jakarta (Indonesia).43 Tak sekadar itu, Esack juga masih aktif di Comission on Gender Equality dan World Conference for Religion and Peace (WCRP). Di bebeberapa literature yang penulis dapatkan, Esack juga menjadi seorang jurnalis yang menggeluti kerja-kerja media. Berikut rekamannya:44 Pada tahun 1999, Esack menjadi columnist45 untuk media Beeld, Burger (fortnightly) dan Cape Times (dengan edisi mingguan).
42
lihat dalam www.homepagefaridesack.com. A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit. Lihat juga Burhanuddin, op.cit lihat juga di Farid Esack, http://www.homepagefaridesack.com. 44 ibid. 45 Kolumnis (columnist) adalah istilah bagi orang yang aktif menulis di media dengan rubric yang rutin. Jenis tulisan adalah berupa artikel (kolom). Sekadar contoh, di media Tempo, misalnya, kita bias menjumpai tipe orang seperti ini pada diri Gunawan Muhammad, lewat Catatan Pinggir-nya. 43
115
Sebelumnya, Esack telah lebih dulu menjadi columnist untuk media Assalamu Alaikum, a USA quarterly. Dan pada tahun yang hamper bersamaan, secara berurutan, pada tahun 1991, 1997, 1999 ia aktif sebagai columnist untuk Al Qalam, sebuah Koran/media muslim yang terbit setiap bulan di Afrika Utara. Kemudian, 1992-1997, columnist untuk Islamica. Di samping itu Esack juga sempat keliling melakukan talk show di radio berskala internasional (BBC) pada 1990, 1991 dan 1993. Pada tahun 19891991, ia menjadi columnist untuk Cape Times, sebuah Koran harian di kota kelahirannya, Cape Town. Perlu diketahui bahwa selama karirnya mencuat di media, Esack sering juga melakukan kegiatan show di TV atau radio-radio di seluruh dunia dengan menyuarakan agenda-agenda pembebasan dan pluralisme. Bahkan pada bulan Juni 2002, Esack melengkapi karirnya dengan menghabiskan seri sampai 24 untuk edisi tampil di program TV, khusus bagi para pemuda Islam . Semua itu, karena memang didukung dengan keahlian bahasa Esack yang mampu menguasai banyak bahasa, diantaranya: bahasa Afrika (Afrikaans), Arab (Arabic), dan bahasa Urdu (dengan keahlian menulis dan berbicara) kemudian juga bahasa Jerman (German) dan Dutch (lengkap). Kesibukannya tak berhenti di situ, Esack juga memimpin banyak LSM dan perkumpulan, diantaranya: Community Development Resource
116
Association, The (Aids) Treatment Action Campaign, Jublee 2000 dan Advisory Board of SAFM.46 Dari kesibukan dan aktifitasnya, bias dikatakan bahwa dalam diri Esack muncul sebuah gabungan apik antara intelektualisme dan aktivisme. Kita akan buktikan bersama dalam aktifitas pemikirannya; applicable atau tidak? c. Kondisi Sosio-Politik-Histories Afrika Selatan Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam , Afrika Selatan boleh dikatakan sebagai kawasan yang kurang—untuk mengatakan tidak sama sekali—dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam . Sebagaimana Islam di Asia Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar jazirah Arab dan Afrika bagian utara, Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keIslam an. Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi keragaman wajah Islam —dan oleh karenanya—pemikiran keIslam an yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan Islam (the centre of Islam ).47 Untuk itulah, Esack kemudian berambisi untuk mewujudkan “Islam 46
Afsel”48 lewat organisasi The Call of Islam -nya. Struktur
Ibid lihat Burhanuddin, op.cit 48 Penulis sengaja memakai konteks lokal Afrika Selatan sebagai relasi penanda dan petanda (siginifiant dan signifier). Banyak pemikir Islam yang melakukan proses perkawinan antara ortodoksi dengan tradisi lokal di mana ia mengembangkan gagasannya. Thariq Ramadhan, cucu Hasan al-Banna, yang sedang menekuni filsafat Nietszce di sebuah universitas di Jerman, juga berambisi menegakkan pemikiran “Islam Eropa. “Abdurrahman Wahid juga terkenal dengan pemikiran pribumisasi Islam yang meniscayakan akulturasi Islam yang dibawa dari Timur tengah 47
117
penindasan yang
nyaris sempurna seperti digambarkan Esack ketika
melukiskan penderitaan ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid, patriarkhi dan kapitalisme,49 memang menjadi krisis kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian lama berurat akar. Konteks lokal inilah yang dijadikan Esack—dengan meminjam perspektif Aloysius Pieris—sebagai “tempat berteologi” (locus theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan kaum tertindas.50 Keterlibatan Esack dan komunitas muslim secara intens dalam gerakan pembebasan di Afsel menjadi anotasi penting dalam perjuangan meruntuhkan rezim apartheid. Agar lebih jelas dan terinci, mari kita telurusuri genealogi gerakan sosial politik kaum Muslim di Afsel, termasuk peran Esack dalam menorehkan gerakan pembebasannya. Sejenak, mari kita selami satu persatu. Sebagaimana diketahui, dalam situs-situs sejarah yang tersedia menyiratkan bahwa historisitas masyarakat muslim di Afsel adalah kelompok urban. Esack menuliskan, dari bukti-bukti yang tersedia, Islam
dengan konteks lokal Indonesia yang sebelumnya telah dihuni budaya Hindhu Budha. Inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai budaya hibrida. Cak Nur bahkan mengatakan bahwa al-Quran sendiri banyak mengandung unsur non Arab dilihat dari kosakata yang ditampilkan. Lihat Orasi Ilmiah Nurcholish Madjid dalam Islam ic Cultural Center, dimuat di Jawa Pos, “Islam Agama Hibrida,” 11-12 Desember 2001. 49 Farid Esack, Qur’an Liberation, op.cit, dalam acknowlegement. Dalam makalah yang disajikan pada seminar tentang HAM dan Aplikasi Hukum Islam di Dunia Modern yang diselenggarakan Norwegian Institute of Human Rights (NIHR), Oslo, 14-15/2/1992, Esack juga mengawali tulisannya dengan perkataan ini. Setelah direvisi, kumpulan makalah dalam pertemuan tersebut dibukukan dengan judul “Islam ic Law Reform and Human Rights Chlmenges and Rejoinders” Lihat Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi Syariah II, terj. Farid Wajidi, Yogyakarta: LKiS, 1996, hlm. 189. 50 Ibid
118
memasuki Afrika Selatan dari dua arah, dalam periode yang berbeda.51 Arus pertama datang setelah kedatangan kaum kolonis pertama di Cape pada 1652. Mereka (kebanyakan) berasal dari Nusantara, Indonesia, dan terdiri dari para buruh, pelarian politik, tawanan politik dan budak.52 Bersama para penduduk lokal yang masuk Islam , mereka disebut sebagai “Melayu”, sekalipun faktanya tak sampai satu persen diantara mereka yang berasal dari Malaysia sampai sekarang.53 Di Cape, komunitas ini berangsur-angsur membentuk sub-kelompok yang disebut “komunitas berwarna”.54 Sementara kelompok kedua datang pada 1860. Mereka adalah para pekerja upahan dari India bersama beberapa orang Hindu. Keturunan mereka sekarang terpusat di wilayah utara Provinsi Gauteng, Northwest, Mpumalanga, Northern, dan KwaZulu-Natal (wilayah selatan). Dari dua kelompok tersebut di atas, penulis memilih menekankan perhatian pada arus gelombang kedatangan Islam pertama, karena dua alasan. Pertama, meski ada pribadi-pribadi Muslim tertentu dari berbagai provinsi di utara yang terlibat dalam perjuangan menentang apartheid,
51
Farid Esack, Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan, ibid, hlm.190 Data ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh F.R. Bradlow dan M. Cairns tentang asal-usul populasi di Afrika Selatan. Dari risetnya diketahui bahwa asal-usul populasi budak awal menandakan bahwa secara etnis, “ini adalah kaum yang heterogen”, terdiri atas negro asal Afrika Barat, kaum yang berbahasa Bantu dari Angola dan Mozambique, orang-orang negro Polinesia asal Madagaskar, orang India, berbagai kelompok orang Polinesia dari kepulauan Indonesia, dan beberapa tempat lain di ‘Timur Jauh’. Dan tampakan kecenderungan data Bradlow menyatakan bahwa mayoritas muslim yang ada di Afsel merupakan keturunan kelompok terakhir, kepulauan Indonesia dan beberapa tempat lain di Timur Jauh, lihat Farid Esack, ibid, hlm. 74 53 Dalam konteks ini istilah “melayu”dipakai lebih pada pertimbangan bahasa dibanding pada kebangsaannya. Melayu merupakan bahasa dagang yang umum dipakai di Kepulauan Indonesia, tempat asal kebanyakan Muslim awal di Cape. Ibid 54 Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid 52
119
kaum muslim di Cape mengorganisasi penentangannya dengan basis Islam. Kedua, di tempat inilah hermeneutika al-Qur’an tentang pembebasan mulai terbentuk.55 Terlebih lagi, sebagai kelompok kecil, minoritas dan tertindas, kaum Muslim di Cape ini telah teruji ketahanannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hebat, baik tekanan politik, agama, sosial, dan rasial tentunya.56 Ketahanan, dan kesabaran mereka kemudian menjadi faktor penting dalam merenda komunitas agama dan budaya yang unik yang dirajut dalam nuansa keberbedaan. Dengan perasaan ini, jalinan dan ikatan mereka sebagai kelompok inferior (baik secara agama, sosial, budaya maupun politik) semakin kuat untuk menghadapi kelompok superior, penguasa dan negara. Dari data yang penulis dapat, kekuatan psikologi masyarakat muslim di Cape memang telah terbina oleh pengaruh tokoh-tokoh ‘ungsian politik’ dari Indonesia (yang terkenal dengan Melayu itu). Kelompok pendatang ini membangun kekuatan basis di Afsel. Seperti dituliskan,
55
Ibid, hlm. 47 Berbagai tekanan yang dihadapi kelompok muslim ini tertuang dalam karya Esack Qur’an, Liberation and pluralism. Esack menuliskan bagaimana Cape saat itu memberlakukan Undang-Undang Hindia, yang melarang ekspresi umum dan berkembangnya bentuk kepercayaan apapun selain tradisi reformasi belanda. Sebuah plakat mengenai hlm tersebut dikeluarkan pada 1642 oleh Jan van Diemen, Gubernur Jederal Ambon, wilayah penjajahan Belanda yang kini bagian dari Indnesia. Plakat ini, yang digunakan kembali pada 1657 oleh Johan Maetsuyker dan diterapkan Cape, menetapkan hukuman mati bagi pelanggar. Hampir dua abad setelahnya, pada 1828, harian lokal masih meratapi keadaan menyedihkan yang dialami kaum muslim yang perkawinannya dianggap tak sah dan dihinakan. Kewarganegaraan mereka ditolak…tak boleh memiliki tanah atau menetap di wilayah Koloni (jajahan, di Cape) walau dilahirkan di sana, tanpa izin khusus… mereka melakukan kerja paksa tanpa bayaran—dihukum sekehendak tuannya dengan cambuk dan dipenjara, tak bisa keluar dari kampung hlmannya tanpa izin, rumah-rumah mereka dimasuki dan dijamah oleh polisi dengan sewenang-wenang”. (Dikutip dari the Second African Commercial Advertiser, 26 Juli 1856, hlm. 12), lihat dalam Farid Esack, Qur’an Liberation, op.cit, hlm. 74 56
120
tokoh kunci awal kelompok muslim di Cape adalah Syaikh Yusuf (Abidin Tadja Tjoesoep, w. 1699), seorang menantu Sultan Ageng, Raja Banten, Indonesia.57 Kedatangan Syaikh Yusuf menjadi titik keberangkatan yang penting bagi transformasi gerakan masyarakat muslim di Cape, dari sekedar perasaan ada (sebagai kelompok minoritas muslim) menjadi komunitas yang kukuh.58 Kedatangan berikutnya setelah Syaikh Yusuf, adalah Raja Tambora, tahun 1697, yang sama-sama berposisi sebagai tahanan politik Belanda, dibuang dari kepulauan Indonesia. Mulai abad ke-18, Islam di wilayah Cape—dalam bahasa Esack— menjadi “fenomena historis yang teramati”.59 Artinya, dibawah kebijakan religius-represif hingga abad kesembilan belas, kelompok Islam tetap melakukan penekanan ke arah pembentukan organisasi yang lebih menyatu dan nyata. Hal lain didukung oleh kebebasan yang diberlakukan oleh kelompok penjajah, Inggris, pada 1775, yang menggeser konsep relasi antara penjajah dengan jajahan menjadi lebih ‘longgar’ dari sebelumnya. Pada 1804, sebuah peraturan yang memperbolehkan kebebasan beragama di keluarkan. Dengan begitu kaum muslim dapat menjalankan kewajiban agamanya tanpa perlu lagi sembunyi-sembunyi dari penguasa. Di samping itu, bertambahnya jumlah kaum Muslim pada era ini mengharuskan adanya bentuk organisasi yang lebih nyata. Terlebih,
57
Syaikh Yusuf adalah satu dari sekian pemimpin yang dibuang selama masa perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Ia dibuang ke Cape pada 1694 bersama 49 pengikutnya. Setelah menetap dengan posisi tawanan politik Belanda di Cape, Syaikh Yusuf menjadi pembimbing utama kaum Muslim dan budak-budak yang baru masuk Islam . Lihat Farid Esack, ibid, hlm. 48. 58 Ibid 59 Ibid
121
peraturan negara pada perkembangan ini lebih longgar, hingga pada tahun 1834 keluarlah peraturan mengenai penghapusan perbudakan. Perkembangan di level sosioreligius ini menjadi semakin nyata dan kentara sebagai bentuk konsolidasi komunitas muslim tatkala datang seorang buangan politik lain pada 1780 bernama Tuan Guru (Imam ‘Abdullah Qadi’ Abd al-Salam, w. 1807) yang berasal dari Tidore.60 Setelah kekuatan Inggris mulai terancam di wilayah Cape, umat muslim
justru
semakin
mengalami
perpecahan
dan
perselisihan
keagamaan yang keras, seperti klaim-klaim saling bertentangan mengenai otoritas agama dan hak-hak legal atas kepemilikan masjid. Perselisihan ini meningkat secara dramatis dengan semakin banyaknya masjid dan slamseskool
(sekolah
agama)
yang
didirikan.
Pertentangan
dan
perselisihan ini menjadikan komunitas muslim terkuras energi dan waktunya untuk hal-hal yang tidak prinsipil, sementara kerja-kerja pembebasan menjadi terlupakan. Maka dari itu, perkembangan kelompok muslim yang tidak menentu di Cape ini segera diantisipasi oleh beberapa kelompok yang menginginkan ada keadilan di Afrika Selatan. Pada tahun 1902, organisasi Politik (belakangan menjadi organisasi rakyat) Afrika (APO/African Peoples
Organization),
dibentuk
dengan
tujuan
membela
dan
mempromosikan hak-hak kaum kulit berwarna di Afrika Selatan.61 Berdirinya APO ini menjadi wadah aspirasi politik masyarakat Afsel dari 60 61
Ibid Ibid
122
pelbagai kalangan sekaligus menjadi embrio bagi kebangkitan muslim urban. Dr. Abdullah Abdurrahman yang kebetulan cucu seorang budak,62 menjadi pemimpin dari tahun 1905 hingga ia wafat (1940). Sementara di sela-sela itu, pada periode 1886-1969 populasi kaum Muslim di Cape meningkat sampai delapan kali lipat, dari 15.099 menjadi 120.000 orang. Jika pada masa-masa awal kebanyakan muslim merupakan warga miskin yang bekerja sebagai pelayan, penjahit, dan pengrajin, kini lapisan kelas menengah mulai muncul. Kaum profesional, banyak diantaranya adalah guru, dokter dan pengacara, memainkan peran yang cukup penting dalam kehidupan politik di Cape selama periode ini. Era ini pun menyaksikan berkembangnya runtutan politik kaum Muslim yang mempelopori kebangkitan kesadaran politik yang lebih luas diantara warga kulit hitam di Cape.63 Peran signifikan komunitas muslim semakin kentara bila dilihat dari jumlah nominalnya yang tidak terlalu seberapa, namun mengambil posisi proaktif dalam gerakan pembebasan. Kaum Muslim menduduki posisi-posisi kelas menengah yang menguasai sektor publik sehingga turut mewarnai arah perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Saat ini, kaum Muslim yang hanya berjumlah 2% dari total populasi rakyat Afsel menduduki 12% kursi di kabinet (empat menteri beragama Islam dari 28 menteri yang ada).64 Ketua Mahkamah Nasional juga seorang
62
“Wawancara dengan Farid Esack.” dalam http://www.tempo.co.id Farid Esack, op.cit, hlm. 51 64 Burhanudin, Titik Balik Pengalaman Eksistensial Farid Esack; Raison d’etre Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an, op.cit 63
123
muslim. Begitu juga di parlemen terdapat 12% anggotanya yang beragama Islam. Menurut Esack, konstalasi politik di atas menguntungkan sekaligus merugikan. Secara politis memang daya tawar komunitas muslim meningkat, tapi dilihat dari diskursus Islam
progresif pasca-apartheid
justru terlihat menurun frekuensinya karena semakin banyak pemikir Islam progresif yang terlalu sibuk menjalankan pemerintahan.65 Menurut pengakuan Esack, peran kelompok muslim terutama dalam perjuangan anti-apartheid bersama kelompok lain tidaklah memancing reaksi negatif karena mereka tidak memburu agenda muslim semata, tapi agenda pembebasan masyarakat Afsel.66 Sebagai masyarakat yang terbilang minoritas di negeri yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen, kelompok muslim memang tidak bisa bertindak gegabah meskipun perjuangan anti-aparteid yang mereka kumandangkan ditujukan untuk agenda kemanusiaan yang bersifat universal serta melampaui batas-batas dan sekat-sekat teologis dan etnis. Mereka harus pandai merangkul komunitas lainnya, terutama dari agama Kristen yang mayoritas, untuk bersama-sama menegakkan aras perjuangan yang didasarkan pada kesadaran teologis bahwa agama apa pun mengecam penindasan atas dasar rasialisme dan sejenisnya. Realitas menunjukkan bahwa hingga tahun 1970-an, hampir semua gereja di Afsel mendukung apartheid.67 Gereja hanya melayani
65
Ibid. “Wawancara dengan Farid Esack,” op.cit. 67 Inilah kritik utama Karl Marx terhadap agama. Agama yang didukung agen agama (pastur, romo, kiai dan lain-lain) seringkali dijadikan alat kaum borjuasi untuk melanggengkan 66
124
kepentingan orang kulit putih saja, terlebih lagi bila gereja tersebut berada di wilayah orang kulit putih. Masyarakat berkulit hitam dan berkulit berwarna—dalam struktur apartheid yang mendekati kesempurnaan— diharuskan membangun gereja sendiri dan terpisah. Sebuah ironi di mana agama dipaksa berperan dalam memelihara sistem rasialis. Paulo Freire pernah mengatakan bahwa kelompok yang menikmati status quo dan kepentingannya akan terganggu dengan perubahan, akan cenderung menolak perubahan.68 Demikian juga dengan kenyataan yang terjadi di sana sebelumnya di mana banyak orang kulit putih yang didukung oleh agamawan-kolaborator justru menjadi lawan pertama dari gerakan anti-apartheid selain aparatus ideologi negara yang dijaga militer dan polisi. Kemunculan Kongres Nasional Afrika (ANC) membawa nuansa
baru
dalam
perjuangan
anti-apartheid
yang
kemudian
mengantarkan Nelson Mandela menjadi Presiden Afsel pada tahun 1992. Jika dicermati lebih mendalam, setidaknya ada dua perkembangan yang merefleksikan perubahan wajah masyarakat Muslim di awal periode ini: respon mereka terhadap prakarsa kesehatan Negara selama wabah cacar pada 1892 dan usaha mereka untuk mendudukkan perwakilan langsung di parlemen pada pemilu 1889.69 Mereka (Muslim dan kelompok berwarna/Kristen) sudah mulai berani menolak apa yang mereka pandang sebagai campur tangan otoritas kolonial terhadap kehidupan mereka. penindasan. Agama adalah candu karena merekomendasikan kesadaran palsu (false consciousness). Kritik Marx terhadap agama ini sebenarnya berdasar pada pemikiran Ludwig Feurbach tentang teori proyeksi ilutif. 68 lihat Burhanuddin, op.cit 69 Farid Esack, Qur’an Liberation, op.cit, hlm. 50-51
125
Kalangan muslim dan kelompok berwarna (Kristen) sudah mulai menghilangkan identitas keagamaannya dalam melakukan protes dan aksi bersama, baik muslim maupun Kristen tidakterlalu memperdulikan perbedaan agama sehingga dalam salah satu Koran Cape Times, pada 19 januari 1886 menyebutnya sebagai “massa Melayu dan Kulit berwarna (maksudnya adalah muslim dan Kristen bersama bersatu).70 Proses perjuangan terus berlanjut, di sisi ini giliran kelompok muslim yang menginginkan keterwakilan mereka di parlemen terwujud secara nyata. Maka pada 1889, secara resmi, lewat pencalonan Achmat Effendi, ingin membawa partisipasi kaum Muslim dan kulit berwarna (Kristen) dalam politik parlemen.71 Konsolidasi terus juga berlanjut, pada agustus 1892, sebuah pertemuan besar yang dihadiri terutama oleh kaum Muslim di bawah kepemimpinan Ozair Aly, menolak akta hak suara 1892. akta ini menaikkan kualifikasi hak suara sehingga tidak mencakup sebagian besar kulit hitam yang berdiam di Teritori Transkeian. Dan pada tahun yang sama pula, berdiri Persatuan Kulit Berwarna (CPA) yang mendeklarasikan diri sebagai bentuk penolakan ini. Organisasi ini menjadi organisasi politik nasional pertama bagi kaum kulit berwarna dengan pimpinan Ozair Aly. 70 Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid. lihat juga Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, dalam www.homepagefaridesack.com 71 Kaum muslim di Cape saat itu mencakup kaum kulit berwarna yang dikenal sebagai “melayu”, dan India. Ketika dibutuhkan pembedaan lebih lanjut di kalangan kulit berwarna, Esack menyebutnya “Muslim” dan Kulit berwarna (Kristen)”. Dalam periode ini, muslim India, yang kebanyakan pedagang, tidak benar-benar sama dengan Muslim “Melayu”. Yang terakhir ini terorganisasi dalam Organisasi Rakyat Afrika (APO), sedangkan Muslim India mendirikan kongres India-Inggris Cape (Cape British Indian Congress) pada 1919 untuk menentang diskriminasi terhadap orang-orang India. Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid. lihat juga Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, ibid.
126
Menurut Esack dalam tulisannya, bahwa dengan pemberontakanpemberontakan yang dilancarkan oleh kedua kelompok, baik Kristen maupun Islam , kemudian didukung dengan deklarasi berbagai organisasi, terutama CPA, menjadi tanda bahwa telah bersatunya identitas politik Muslim dan kaum kulit berwarna yang, dalam hal ini di bawah kepemimpinan Muslim.72 Di babak selanjutnya, kelompok kulit hitam juga kemudian merapatkan diri dengan bersatu mendirikan organisasi sosial politik bernama APO (seperti telah di tuliskan sebelumnya). Menurut Esack yang mengutip kata-kata Lewis, bawa pendirian APO ini menandai awal mula keberhasilan mobilisasi kulit hitam beskala nasional di Afsel, dengan pimpinan (lagi-lagi
juga kelompok
dari muslim) Dr. Abdullah
Abdurrahman. Memang ada sedikit perbedaan di level perjuangan politik nasional yang dilakukan oleh APO, kendati dalam rangka sama-sama mempunyai tujuan memperjuangkan hak-hak golongan Muslim minoritas dan Kristen (kulit berwarna). Organisasi ini tampaknya lebih kompromistis, dalam arti arahan kerja APO adalah pada tujuan mengintegrasi elite kulit berwarna (khususnya) dan kaum Muslim dengan masyarakat kulit putih. Hal ini dilakukan demi resolusi program dalam melakukan agenda gerak dan perjuangan di semua lini, termasuk di level kebijakan pemerintah yang
72
Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid., hlm. 54, lihat juga Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, ibid.
127
saat itu selalu kontroversial dan terkesan menindas kelompok-kelompok minoritas, termasuk muslim dan kaum berwarna. Maka kemudian, ada beberapa upaya untuk meninggalkan kolaborasi yang telah berjalan seiring. Pada akhir 1930-an, terjadi ketidakpuasan pada kebijakan APO dan gelombang baru Undang-undang diskriminatif memicu munculnya bentuk organisasi-organisasi alternatif. Kelompok pecahan itu bertekad untuk memobilisasi kaum kulit berwarna untuk mendukung strategi penyatuan kelas pekerja dan aksi langsung seperti pemogokan, boikot dan demonstrasi. Pemuda kulit berwarna yang radika terbagi dalam dua kelompok organisasi, keduanya dipimpin oleh kalangan Muslim. Pertama, faksi pragmatis yang menggabungkan retorika perjuangan
kelas dengan aktivitas kesejahteraan-reformis, pimpinan
Zainunnisa Gool, anak perempuan Abdurrahman (pemimpin APO). Kemudian faksi yang cenderung ideologis (garis keras) dipimpin oleh Dr. Goolam Gool yang merupakan kakak ipar Zainunnisa, dan istrinya Hawa Ahmad. Kedua faksi ini akhirnya bergabung pada 1935 membentuk liga pembebasan nasional (NLL) dengan Dr. Warada Abdurrahman, anak perempuan Abdurrahman lainnya, yang belakangan berperan dalam persiapan divisi perempuan.73 Pembentukan NLL dalam perkembangannya ikut berperan menumbuhkan militansi di tubuh ANC sendiri, mengawali fase baru dalam politik kaum kulit hitam di Afsel; suatu fase yang menolak pngawalan 73
Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid., hlm. 56. lihat juga Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, ibid.
128
kulit putih atas kaum kulit hitam. Periode ini menyaksikan penekanan besar dalam upaya mempersatukan kelas pekerja nonrasial dan aksi massa langsung menentang diskriminasi rasial. Tinggalan berharga dari kelompok ini adalah dengan berdirinya Pergerakan Non-Eropa Bersatu (NEUM) pada 1943. Hal ini merupakan kebijakan non-kolaboratif.74 Namun ada satu catatan, bahwa meski NLL dengan pimpinan Putri Abdurrahman dan Gool bersaudara itu adalah tokoh berpengaruh di Islam Afsel, namun ada suara yang mengatakan bahwa organisasi tersebut (NLL, NEUM dan APO) mempunyai aksen doktrin Marxis, yang menimbulkan tingkat resistensi bagi Muslim. Pada tahun 1943, pemerintah saat itu yang kebanyakan dihegemoni oleh
kelompok
kulit
putih,
mengumumkan
akan
diadakannya
pembentukan Dewan Penasihat Kulit Berwarna (Coloured Advisory Council). NLL yang dipimpin oleh Dr. Wiradia Abdurrahman (anak perempuan Abdurrahman) serta semua sekutunya menolak proposal tersebut, karena dikhawatirkan, aspirasi kelompok kulit berwarna akan di selewengkan.
Terlebih
kekhawatiran
yang
lain
adalah
adanya
pembentukan kementrian (departemen) yang mengurusi “suara kulit berwarna” (CAD/Departemen Urusan Kulit Berwarna).75 Dalam sebuah terbitan Cape Standard, 4 Mei 1943, terpampang gambaran yang menandakan bahwa masyarakat betul-betul tidak sepakat 74
Kebijakan untuk meningglkan kolaborasi adalah upaya untuk berjuang sendiri, dari tulisan Esack di dapat pengertian bahwa dari kelompok Muslim misalnya, mereka mempunyai tekad untuk berjuang bersama kaum tertindas, namun juga ingin berangkat dari perspektif Islam . 75 Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid., lihat juga hlm. 56 Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, op.cit.
129
dengan niat pemerintah untuk membentuk CAD, hingga memboikot dan mejuluki kelompok atau orang yang pro dengan rencana tersebut dengan julukan “Judas”, dan “si Penurut” atau “si Pembebek”. Ada juga seruan yang tertulis di sana: “jangan berurusan secara sosial maupun personal dengan mereka……”.76 Doktrin ini kemudian berefek pada pembentukan psikologi protes dan penentangan warga kulit hitam dan berwarna untuk berjuang lebih di aras politik di masa-masa selanjutnya, di samping ANC yang getol memperjuangan kelompok berwarna, membawa spirit ini sebagai modal perjuangan yang cukup signifikan untuk selanjutnya. 1. Melawan Apartheid: pasca 1948 Perjuangan melawan apartheid adalah pilar bagi penegakan HAM dan perlindungan terhadap kelompok minoritas dan tertindas di Afrika Selatan. Adalah Hendrik Frensch Verwoerd seorang Perdana Menteri Afrika Selatan ke-7 yang menjadi otak intelektual dibalik munculnya sistem apartheid. Sehingga selama masa pemerintahannya, sistem ini menjadi “bumbu penyedap” para kaum kulit putih untuk “menyedot” dan mengeksploitasi kelompok tertindas seperti kulit hitam dan berwarna di Afsel.77 76
Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 56 Afrika selatan, dimana angka kulit hitam adalah 7 berbanding satu dengan kulit putih, telah menjadikan diskriminasi rasial sebagai undang-undang antara tahun 1948-1991. Sistem apartheid membuat putih, hitam, imigran india, kulit berwarna tinggal dalam kelompok yang terpisah. Kartu identitas negara memperlihatkan mereka milik kelompok yang mana Pemisahan dilakukan di dalam bis, kereta api, gereja, restoran, wartel, rumah sakit dan dan kuburan. Perkawinan campuran dilarang. Seorang berkulit hitam tidak bisa bekerja di kawasan orang kulit putih maupun bekerja di bidang intelektual atau bidang saintifik. Kerja-kerja buruh diperuntukkan untuk kulit hitam. Sedikit yang memperhatikan bahawa setengah juta berada di penjara! Jaksa 77
130
Melihat realitas yang demikian parah, seruan-seruan provokatif dan kampanye politik berbagai organisasi, seperti APO dan NonEuropean Unity Movement (NEUM) dan, yang terpenting, kejamnya Group Areas Act (undang-undang wilayah kelompok)—dengan itu penggusuran secara paksa dilaksanakan—yang disetujui pada 1952 merupakan faktor yang paling signifikan bagi mayoritas Muslim, sehingga gagasan kolaborasi akhirnya ditinggalkan pada 1950-an. Sekitar 1958 kekejaman penggusuran dialami oleh kaum berwarna. Akibatnya, kaum muslim terpisahkan dari masjid sebagai pusat
kehidupan
komunitas
mereka.
Ketidakpuasan
dan
ketidaknyamanan kelompok Muslim berakibat pada pendeklarasian organisasi Muslim Youth Movement (MYM) di Claremont dan Distrik Enam—kedua wilayah ini terkena undang-undang wilayah kelompok. Mulai saat itu, kaum muda Muslim berpendidikan mencari respon Islam
terhadap
pergumulan
Afsel.78
Tampak
diantaranya,
pembentukan Gerakan Pemuda Muslim Cape (CMYM, didirikan pada 1957) dan Asosiasi Pemuda Muslim Claremont (CMYA, didirikan pada 1957).79
berkulit putih memimpin kasus-kasus yang melibatkan orang berkulit hitam. Ensiklopedia Wikipedia, Apartheid, lihat dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Apartheid 78 Lihat Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi Syariah II, op.cit, hlm. 196 79 Kedua organisasi pemuda ini kemudian mempelopori terbentuknya The Call of Islam . Pada tanggal 7 Mei 1961 mereka mengadakan pertemuan besar, di sana ribuan salinan deklarasi menentang apartheid disebarkan. Deklarasi ini juga dipublikasikan di Muslim News pada tanggal 31 Maret 1961 yang antara lain isi deklarasi tersebut adalah: “lama sudah kita tertindas bersamasama, direndahkan, dihinakan karena dianggap makhluk inferior, dicerabut dari hak-hak asasi kita untuk mencari nafkah, belajar, dan bersembahyang. Dengan ini, kami mengajak saudara-saudara sesame muslim dan semua saudara dalam penderitaan untuk bersatu di bawah panji kebenaran,
131
Mereka kemudian aktif menggelar pertemuan dan deklarasi politik yang kemudian pada pertemua pertama, mempelopori berdirinya Call of Islam . Meski tak bertahan lama selama setahun, namun para anggotanya kemudian bergabung membentuk Federasi Islam Cape/CIF (termasuk Esack berada dalam peran ini). Sebagai poros Muslim muda, CIF kemudian menantang Dewan Pengadilan Muslim (MJC) untuk mengambil posisi teguh menentang apartheid. Para imam di Dewan MJC malah menganggap bahwa upaya ini mencerminkan ketidaksabaran kaum Muda. Adalah Abdullah Haroon yang menjadi sosok pelopor bagi gerakan deklarasi menentang ketidakadilan apartheid, salah satu gerakanya adalah dengan sistem da’wah Islam , membagikan ribuan lembar deklarasi yang profokatif untuk mendukung penentangan apartheid. Pada perode pasca-Sharpville,80 Afrika Selatan dilanda musim penindasan dan penyiksaan yang paling garang.81 Di periode inilah penindasan politik yang paling memukul bagi komunitas muslim.
keadilan, dan persamaan untuk merebut negeri kita tercinta dari kejahatan dan tirani. Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 78. 80 Mengenai penjelasan tentang periode Sharpville, memang penulis tidak mendapatkan data yang begitu lengkap, namun ada satu penjelasan dari sebuah situs internet kemudian juga dipublikasikan di Suratkabar Tehran, Etellat No.13149 bahwa diterangkan pada masa itu, tanggal 12 Maret 1960, terjadi demonstrasi di Sharpville, Afrika Selatan. Demonstrasi tersebut dilakukan untuk memprotes undang-undang yang mengharuskan semua orang berkulit hitam untuk membawa kartu identitas dan menunjukkannya ketika diminta. Demonstrasi ini juga terjadi di kota-kota lainnya di Afrika Selatan. Polisi Sharville melakukan tembakan ke arah demonstrasi damai ketika melewati kantor pusat kepolisian. Dalam peristiwa itu, polisi membunuh 69 orang serta mencederai 180 orang. Bukankah kekerasan ini merupakan pemaksaan atas perbudakan? Lihat dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Apartheid, op.cit. 81 Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan”, op.cit.
132
Puncaknya adalah tragedi “pembunuhan sang imam” yakni Abdullah Haroon oleh polisi keamanan ada 1969, setelah empat bulan dalam penahanan. Atas kematian Haroon,82 kaum muslim serasa kehilangan semangat progresifitasnya. Terbukti, dari sepinya protes atas pengungkapan alasan kematian Haroon. Kebungkaman para ulama seputar kematian Haroon memunculkan rasa penghianatan dan kecewa yang mendalam di kalangan pemuda muslim. Dibalik inersia (kelembaman/kejengkelan) umat Islam
tersebut, baru di tangan
pendeta Anglikanlah (Bernard Wrankmore), kesadaran kaum Muslim dan semua warga Afsel terbangkitkan. Meminjam bahasa sekarang, Wrankmore kemudian melakukan “aksi mogok makan” dengan melakukan puasa (40 hari) menuntut diusutnya kematian Haroon pada pemerintah.83 Akhirnya pada periode 1970-an secara tepat digambarkan sebagai era menggiring ke arah kematian apartheid. Awal 1970 menjadi ajang konsolidasi kelompok muda yang memegang doktrin
82 Dalam tulisan Esack yang berjudul The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa dituturkan panjang lebar; misalnya dalam hal ini tentang syahidnya Abdullah Harun, ia bertugas di Markas Qiblah, yaitu Masjid al-Jamiah di Claremont, Cape. Di tempat inilah menjadi tempat berkembangnya kekuatan Islam yang militan dan revolusioner pendukung kesadaran kulit hitam (BC/black consciousness). Lihat dalam Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, yang diterbitkan di Islam o Christiana, Vol. 17, 1991, hlm. 83, 97, terj. Muhammad Zakki, Paradigma Eksodus dalam al-Qur’an dilihat dari Pemikiran Islam Re-Interpretatif di Afrika Selatan, dalam Jurnal Taswirul Afkar, Edisi No. 12 Tahun 2002, hlm. 130-146. 83 Farid Esack, Qur’an Liberation, op.cit., hlm. 60-61
133
kesadaran kulit hitam (BC/black consciousness).84 Di samping, faktor eksternal yang menyulut semangat progresifitas kelompok muda ini untuk mengimbangi pecahnya revolusi Iran pada tahun 1970 dalam konteks Afrika Selatan. Imbasnya, di kalangan pemuda Muslim Afsel, karya revolusioner Iran ‘Ali Syari’ati (w. 1977) banyak dipelajari dan didiskusikan di halaqah (kelompok studi). Demikian juga karya para ideology yang terkait dengan pergerkaan Islam , seperti Sayyid Quthb (w. 1966), seorang cendekiawan Mesir yang dibunuh oleh rezim Nasser, dan pendiri Jama’at al-Islam i Pakistan, Abul-A’la Maududi (w. 1979). Di ranah kelompok studi yang didirikan oleh kelompok muda inilah, pemuda Muslim mulai memandang Islam
sebagai
ideology pilihan bagi masa depan Afsel.85 Gerakan untuk Islam
yang relevan secara sosial di
personifikasikan oleh gerakan kaum muda muslim (Muslim Youth Movement, MYM, sekitar 1970) dan Perhimpunan Mahasiswa Muslim (Muslim Student Association, MSA, sekitar 1974).86 Kedua organisasi ini secara teratur mengungkapkan perlawanan mereka terhadap apartheid. Dari
pertengahan
1970-an,
Muslim
News
mengalami
metamorfosis sempurna dan memproyeksikan citra sebuah Islam yang
84
Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, op.cit, hlm. 133 85 Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan”, op.cit, lihat juga Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 60-61 86 Esack menuliskan beberapa list organisasi yang cukup berpengaruh dan berperan besar dalam gerakan revolusioner di Afrika selatan dalam Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, op.cit
134
militan dan dinamis, sembari terus mempromosikan kesadaran Hitam (BC/ teologi kaum hitam) dan sejak 1979 dan seterusnya al-Qalam, media berkala MYM, secara konsisten menolak berpartisipasi dalam struktur-struktur apartheid.87 Namun, baru pada bagian akhir dari periode terakhir (19701990) komunitas ini bersama-sama menentang apartheid dan bekerja untuk menciptakan Afrika Selatan yang demokratik dan non-rasial. Bisa dikatakan bahwa tiga elemen: Muslim News, MYM, dan MSA ini sangat berperan penting dalam mendorong lahirnya Qibla (didirikan pada 1981) dan The Call of Islam (didirikan pada 1984). Keterlibatan mereka merupakan kombinasi yang apik antara pemuda, serikat pekerja, dan komunitas lokal untuk membawa perkembangan konsolidasi besar di afsel dalam masa-masa injuri time apartheid. Dengna begitu, periode ini kita bisa saksikan sejumlah perkembngan di front agma yang berdampak besar pada perjuangan pembebasan. Di antaranya: berdirinya Jews for Justice88 dan Institute Teologi Kontekstual (ICT). Semua faktor ini menandakan bahwa periode 1980-menjadi decade kebebasan dari dominasi kulit putih.
87
Ibid. Berdirinya Jewa of Justice ini menandakan keterlibatan yang makin besar Dewan Gereja Afrika Selatan (SSACC) dalam program-program peningkatan kesadaran politik dan pembinaan korban-korban penindasan; meningkatnya nada militan dalam pernyataan keafamaan serta dukungannya bagi sanksi-sanksi ekonomi; naiknya pamor para pemimpin agama, seperti Pendeta Allan Boesak, Pendeta Frank Chikane, Imam Hassan Solomon, Manibhen Sita, dan Suster Bernadette Ncube, yang amat teguh pada gerakan pembebasan politik dan Front Demokrat Bersatu (UDF). Lihat dalam Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 62-63 88
135
Ditambah lagi, Abdal Hakim Murad dalam tulisannya “Dancing With Liberation” menggambarkan bahwa sosok Farid Esack sepanjang tahun 1980-an dikenal sebagai figur yang cukup menarik perhatian bagi pejuang pembelaan perbedaan ras di Afrika Selatan. Seruan-seruan provokatinya telah membawa pada situasi dan kondisi dimana pilar-pilar apartheid akhirnya tunduk oleh tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik mayoritas kulit hitam yang—telah digambarkan di atas—bersatu dan melakukan konsolidasi gerakan.89 2. Pembentukan UDF: Detik-detik Kehancuran Apartheid Farid Esack menuliskan bahwa detik-detik kehancura apartheid akan segera dimulai. Bersatunya seluruh elemen masyarakat Afsel, terutama golongan kulit hitam seperti organisasi mahasiswa, dan organisasi keagamaan, bersatu dalam wadah payung bernama United Democrtic Front (UDF).90 Di samping itu, periode ini juga merupakan titik balik kebangkitan kembali ANC, yang seperti dijelaskan di muka bahwa kongres nasional afrika ini jugalah yang sempat mengantarkan Nelson Mandela menjadi presiden Afsel di tahun 1992. Pemberlakuan
trikameralisme
(tri-cameral
Parlement:
perwakilan masyarakat kulit berwarna, kulit putih, dan India) pada 89 Farid Esack was throughout the 1980s one of the most conspicuous Muslim campaigners against apartheid in his native South Africa. His sermons and broadsides diffused by the Call to Islam association of which he was National Co-ordinator until 1990 were warmly received, particularly by anti-racist sections of the Christian churches. Among Muslims, however, he remained a provocative and sharply controversial figure. Lihat dalam Abdal Hakim Murad, Dancing With Liberalism, sebuah review atas tulisan Farid Esack (Qur’an Liberation), diambil dari http://people.cas.sc.edu/vishanov/theology/revelation.htm. 90 Kelompok ini terdiri atas empat mahasiswa Universitas Cape Town (‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool, Shamiel Manie, dan Farid Esack sendiri. Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 79. lihat juga Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, op.cit
136
1984, dan terjadinya revolusi yang rangkaian gerakannya telah digambarkan di atas tampaknya menjadi isyarat bagi seluruh Muslim untuk melepas dukungan pada apartheid, dan menyatu bersama kaum tertindas. Peran UDF dalam hal ini adalah menyeru pada seluruh elemen (termasuk Dewan MJC) dan semua orang untuk bersatu menentang sistem trikameralisme yang hendak melanggengkan kembali apartheid. Seruan ini berhasil menarik para pemimpin muslim seperti Imam Hassan Solomon, Syaikh Abdul Gamiet Gabier, Ebrahim Rasool, dan Farid Esack sendiri untuk bergandeng tangan menyerukan bersama penentangan dan penghancuran apartheid lewat UDF.91 UDF
ini
seolah
membawa
kondisi
masyarakat
untuk
membutuhkan organisasi ini dalam memasuki medan perjuangan. Rasool sampai menggambarkan bahwa perjuangan UDF ini membawa satu bentuk relasi yang apik antara organisasi politik (sebagai gerbong perjuangan di lapangan menentang apartheid) dan kesadaran beragama. Menurut Rasool, “Kita memang membutuhkan berbagai organisasi politik sampai pada wilayah akar rumput sebagi pemosisian kelompok muslim dalam wilayah perjuangan. Sementara kita tidak akan mungkin cukup dengan hanya sekadar mengutip ayat-ayat dalam teks al-Qur’an sebagai pendorong semangan revolusioner kaum
91
Farid Esack, Rejoinder Nkrumah, ibid
137
Muslim. Semua keterlibatan itu adalah produk asli pergumulan kondisi sosial, refleksi teologis, dan perjuangan organisasi”.92 Bagi Esack pernyataan Rasool ini sebagai basis epistemologis yang cukup signifikan bagi munculnya teologi Islam Afrika Selatan dan Hermeneutika Pembebasan Qur’ani. Inilah yang dikatakannya bahwa semangat al-Qur’an membutuhkan momen dalam sejarah agar selalu memiliki makan sosial, atau sesuai dengan ungkapan shalih li kulli zaman wa makan. Salah satu momen itu kini tengah muncul di hadapan kita (muslim) yang ditempa dalam konteks penindasan dan perjuangan pembebasan, meski bergandeng dengan kelompok lain (non muslim) atau the others.93 Maka pembentukan UDF pada 1983 ini kemudian menggugah semangat seluruh elemen untuk bersama-sama menentang apartheid, serta membawa partisipasi kaum Muslim yang semakin nyata berasama orang beragama lain (non-Muslim). Meski upaya kerja sama ini kemudian memunculkan kontroversi di tingkat organisasi Muslim dan aktivisnya. Inilah yang kemudian membawa Esack untuk menekankan pemikirannya pada pembahasan soal iman, Islam , kufr, dan ukhuwah yang menjadi dasar perdebatan dan kontroversi dalam setiap upaya kerja sama dengan non muslim dan “yang lain” termasuk kelompok ahl al-dzimmah.
92 93
Farid Esack, Qur’an Liberation, op.cit, hlm. 64 Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 65
138
Di sinilah peran the Call of Islam sebagai media penyalur aspirasi pluralisme didikan Esack dalam mempengaruhi psikologi muslim untuk menerima realitas politik, sekaligus legitimasi teologis bagi solidaritas perjuangan meski antar iman sekalipun. Babak baru penerimaan kaum Kristen dan Yahudi mulai di gali lewat serua Call. Dalam brosur pertama the Call yang dilansir pada 1984 menyatakan: “non Muslim telah menumpahkan darah mereka menentang kebrutalan apartheid dan berjuang demi Afrika Selatan yang adil. Oleh karena itu, kami bertekad untuk berjuang bersama pihak lain (non muslim) untuk menghancurkan masyarakat apartheid (call of Islam , 1984, hal 4).94 Komitmen untuk bekerja sama dengan orang lain itu melampaui sekadar hubungan fungsional dan utilitarian (saling menguntungkan), hingga penerimaan legitimasi teologis pada imaniman lain (menerima secara teologis “yang lain”. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Hassan Solomon (rekan Esack) yang mengepalai the Call of Islam :95 “Semua nabi Allah membentuk persaudaraan yang satu. Wahyu wahyu yang mereka terima pun pada dasarnya satu, demikian pula agama yang mereka bawa … marilah beranjak ke masa depan sebagai saudara dalam perjuangan semoga Allah … meneguhkan semua umat yang beriman kepada-Nya … sampai kemerdekaan dan keadilan terlihat nyata bagi seluruh kaum tertindas negeri kita. (Solomon 1985, hal 5).
d. Anotasi Karya-karya Farid Esack Untuk melengkapi pemahaman kita tentang pemikiran Esack, tak salah jika kita mengetahui perkembangan karya-karya yang telah 94 95
Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 67 Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 67
139
ditulisnya. Meminjam bahasa Antonio Gramsci, sebagai seorang intelektual-organik dan seorang aktivis cemerlang, Esack lebih dari cukup dalam produktifitas penulisan; buku dan artikel-artikel ilmiah. Oleh karena itu, berikut sedikit ulasan serta paparan terhadap beberapa karya yang telah diterbitkan, yakni: 1. But Musa Went to Fir’aun! Buku ini, secara lengkap, berjudul But Musa Went to Fir’aun: A Compilation of Questions and Answers about The Role of Muslims in the South African Struggle for Liberation.96 Buku yang berukuran kecil ini diterbitkan oleh Clyson Printers, Maitland tahun 1989. Jumlah halaman buku ini hanya 84 halaman. Buku ini berisi tanya jawab. Buku ini tidak dilengkapi daftar isi, tapi secara umum terdiri dari 6 bab dilengkapi pengantar, pendahuluan, catatan penjelas dan glosari. Bab pertama berisi identitas muslim, kepentingan dan urgensi keterlibatan kaum muslim dengan realitas sosial di sekitarnya. Bab kedua berisi partisipasi, negosiasi dan konfrontasi. Dalam bab ini, Esack banyak mengutip kisah perlawanan Nabi Musa terhadap penguasa tiran saat itu, Fir’aun. Adapun bab ketiga berisi tentang Islam , Iman dan Politik. Esack menekankan pentingnya politik sebagai medium untuk menyampaikan aspirasi serta mengubah struktur eksploitatif melalui prosedur-prosedur demokratis. 96
Buku ini menurut Esack diperuntukkan untuk aktifis seruan. Selanjutnya di bab Pemikiran Hermeneutika Pembebasan Esack (di belakang) nanti akan dijelaskan bagaimana melalui seruan dari buku ini menjadi kontribusi bagi munculnya tiang fondasi bagi kerja-kerja hermeneutika pembebasan. Lihat dalam Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, op.cit, hlm.136
140
Pada bab empat, Esack menulis pentingnya kerjasama kaum muslim secara lintas agama (inter-faith) untuk melawan tirani atas nama apapun. Sedangkan bab lima, masa depan serta tujuan yang hendak dicapai diulasnya secara detail. Setelah menulis masa depan serta tujuan yang hendak dituju, Esack menandaskan tugas penting serta kewajiban yang harus dilakukan dalam bab enam. Esack sebenarnya menulis buku ini untuk keperluan organisasi The Call of Islam yang waktu itu sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan ide-ide perlawanan terhadap rezim apartheid dengan mengutip kisahkisah nabi masa lalu yang telah dihidangkan al-Quran dan disirahkan Nabi Saw. Sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar, buku ini dimaksudkan untuk mencari ruh pembebasan untuk melepaskan diri dari penjajahan para tiran. Fatima Meer, aktivis perempuan yang memberi pengantar buku ini, mengidolakan revolusi damai di Iran yang dipelopori oleh para ulama.97 Fatima sangat percaya bahwa Islam sebagai esensinya adalah teologi yang sarat dengan nilai-nilai pembebasan. Dalihnya adalah Islam
di dalam dirinya adalah
seperangkat gugusan norma yang anti-penindasan atas nama apapun. 2. Qur’an Liberation and Pluralism Buku yang diterbitkan oleh Oneworld Publication England pada tahun 1997 berjudul asli Qur’an, Liberation and Pluralism: An 97
Fatima Merr, Foreword, dalam Farid Esack, But Musa Went to Fir’aun, Maitland, The Call of Islam , 1989. lihat dalam Farid Esack, Qur’an Liberation, ibid, hlm. 67
141
Islam ic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression ini telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa. Dalam edisi bahasa Indonesia, berjudul Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (Mizan, 2000). Dalam edisi bahasa Indonesia, buku tersebut dilengkapi surat Nelson Mandela dari penjara tentang kunjungannya ke makam Syaikh Madura.98 Diterjemahkan oleh Watung Budiman. Dalam edisi bahasa Inggris, buku tersebut berisi pendahuluan, tujuh bab, dan kesimpulan serta dilengkapi apendiks, glosari, bibliografi dan indeks. Buku ini tidak sekadar merumuskan perspektif baru dalam hubungan antaragama, tapi juga meletakkan dasar bagi sikap yang obyektif dan kritis terhadap peganut agama yang sama. “Pemahaman agama yang lebih signifikan selalu datang dari pengalaman baru, “ungkap Jonh Hick seolah ingin mengafirmasi titik balik pengalaman eksistensial Esack dari seorang minoritas yang tertindas menjadi seorang pemikir liberatif-progresif. Buku tersebut sampai saat ini diyakini sebagai magnum opus Esack. Dengan tawaran kunci-kunci hermeneutika bagi hadirnya alQuran yang inklusif, toleran dan pluralis —yang menjadi pokok-pokok “ajaran” Islam Liberal yang ditawarkan Charles Kurzman— Esack berupaya mendobrak klaim kebenaran ekslusif suatu agama. “Teologi pembebasan Islam yang ditawarkan Esack, “kata Paul Knitter, “sama
98
Farid Esack, Qur’an Liberation, op.cit, hlm. 325-327.
142
mempesona dan menantangnya dengan teologi pembebasan Kristen dari Gutierrez.” 3. On Being A Muslim Buku yang ditulis Esack ini juga diterbitkan oleh Oneworld Publication Oxford tahun 1999 dengan judul asli On Being A Muslim: Finding a Religious Path in the world Today. Penerbit yang berpusat di Inggris ini terkenal dengan terbitan buku-buku yang ditulis oleh sarjana kelas dunia. Selain menerbitkan karya-karya Esack, Oneworld juga mempublikasikan buku-buku tentang studi Islam yang ditulis Montgomerry Watt, Mark R. Woodward, Richard Martin, Reynold Nicholson, Majid Fakhry dan lain-lain. Buku ini terdiri dari pendahuluan, tujuh bab, kesimpulan dan dilengkapi catatan, bibliografi terpilih dan indeks. Ketika ia meluncurkan buku tersebut, sempat muncul tudingan dari sebagian akademisi yang menganggapnya terlalu hiperbolikal dan melodramatis dalam mengangkat kisah-kisah hidupnya. Memang benar bahwa Esack banyak mengisahkan pengalaman hidupnya dalam buku yang berjumlah 212 halaman. Bagi Esack, setiap karya adalah cerminan dari otobiografi sang penulis. Dan buku yang ditulis setelah Ia menerbitkan Quran Liberation and Pluralism ini memotret rangkaian perjalanan dan pengalaman hidupnya sebagai seorang muslim berhadapan dengan realitas sosial. Di sinilah titik balik pengalaman eksistensial Esack
143
yang hidup di tengah struktur eksploitatif dan dominasi serta hegemoni rezim penindasan dieksplorasi secara mendetail dan lugas. Dalam sebuah situs di internet juga penulis dapatkan banyak diantara karya Esack yang bertebaran dalam bentuk artikel ilmiah atau tulisan dalam jurnal yang semakin memeriahkan blantika intelektual pemikiran Islam , antara lain: 99 1. “In Search of a Progressive Islam ic Response to 9/11” in Safi, Omid, (ed.) Progressive Islam (Oxford: Oneworld, 2003) 2. “Islam & Gender Justice – Beyond Apologia” in Raines, J & Maguire D (eds.), “The Justice Men Owe To Women: Positive Resources from World Religions.” (New York: Suny Press, 2000), pp. 187-210. 3. “Muslims Engaging the Other and the Humanum” in Witte, John Jr. & Martin, Richard C. (eds.) Sharing the Book: Religious Perspective on the Rights and Wrongs of Proselytism. Orbis. 1999. pp. 118-143 4. “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur'anic Hermeneutical Notions,” in Journal for the Study of Islam & Christian-Muslim Relations, (Vol. 2, No. 2: 1991), pp. 206-225. 5 “The Qur'an and History: An Introduction to Problems of Text and Context,” in J. Konig & S. Maimela (eds.), Initiation into Theology: The Rich Variety of Theology and Hermeneutics. Pretoria: JL van Schaik. 1998, pp. 471-493 5. “Beyond ‘The Position of Women in Islam ’”, Africa Legal Aid Quarterly, January-March, 1998, pp. 30-34. 6. “Muslims Engaging Apartheid: The Emergence of an Islam ic Theology of Liberation,” in J. Mutambirwa (ed.), The Role of Religion and Religious Institutions in the Dismantling of Apartheid, (Geneva: WCC and UNESCO, 1993), pp. 33-56. 7. “Qur'anic Hermeneutics: Problems and Prospects,” in Muslim World, (Autumn, 1993). Vol. 83:2 , pp. 118-141. 8. "Wie befreit ist die christliche Befreiungstheologie in Suedafrika?," in J. Lahnemann (ed.), Das Wiedererwachen der Religionen als paedagogische Herausforderung, (Nuremberg: EB - Verlag Rissen, 1992), pp. 140-149, (Nuremberg: EB - Verlag Rissen, 1992), pp. 140-149.
99
Lihat semua urutan karya-karya Esack dalam www.homepagefaridesack.com
144
9. “Liberation, Human Rights, Gender and Muslim Personal Law: The South African Case,” in T. Lindholm & K. Vogt, Islam ic Law Reform and Human Rights: Challenges and Rejoinders, (Oslo: National Institute of Human Rights, 1992), pp.163-196. 10. “The Exodus Paradigm in the Qur'an in the Light of ReInterpretative Islam ic Thought in South Africa” in Islam oChristiana, (Vol.17: 1991), pp. 83-97. 11. “Islam , ‘The People’ and Political Sovereignty,” in Klaus Neurenberger (ed.), A Democratic Vision for South Africa – Political Realism & Christian Responsibility, (Pietermaritzburg: Encounter, 1991), pp. 214-223. 12. “Clamps on the Universities: Curbing 'Unrest' or Silencing Dissent?,” Annual Richard Feetham Memorial Lecture (Johannesburg: Academic Freedom Committee, University of Witwatersrand, 1988). 13. “The Freedom Charter through the Eyes of an Islam ist,” in James A Polley (ed.), The Freedom Charter and the Future, (Cape Town: AD Donker, 1988), pp. 105-110. 15 “Three Islam ic Strands in the South African Struggle for Justice,” in Third World Quarterly, (Vol. 10, No 2: 1988), pp. 473-498. 16 Muslims in South Africa: The Quest for Justice, (Birmingham: Centre for the Study of Islam & Muslim-Christian Relations, April 1987). 17 Herausforderung der Freiheit – Aus der Perspektive eines Muslim, Al Fadscher, (Frankfurt: Maerz-Juni, 1998), pp.3-34. 18 “Post-Modernist Islam ic Theological Reflections in a PostApartheid South Africa,” in Review of Religion and Theology, (Summer 1995), pp. 24-28. 19 “The Gods, the Atheists & the Constitution”, in “Die Suid Afrikaan”, Aug., 1995 pp. 28-35. 20 "Gibt den Frauen ihre Wuerde wieder”, in Visionen, (Berlin: JanFeb. 1994), pp. 14-18. 21 "To Whom Shall We Give Access to Our Drinking Holes? Reflections on the Social, Political, and Religious Dimensions of Prejudice," in European Judaism, (Spring 1993). Also published as “Wem sollen wir Zugang zu unseren Wasserstellen gestatten?,” in U. Tworuschka, U. & R. Kirste (eds.), Interreligioeser Schwerpunkt: Tradition, Moderne und Post-Moderne, (Nachrodt: Intra, 1994), pp. 243-255. 22 “Gender and the Environment: The Unfinished Business of Liberation Theology,” in G.J.A. Lubbe, A Decade of Dialogue, (Johannesburg: WCRP, 1994). Also published as “The Second Desmond Tutu Peace Lecture,” (Johannesburg: WCRP, 1986) and as “Dialogue in Confrontation,” in Africa, (Nairobi: Jan., 1988), pp. 22-31.
23
24
25
26
146
1. “Gender, the Environment & Religious Pluralism: The Unfinished Business of Liberation Theology”, Second Annual Desmond Tutu Peace Lecture, Johannesburg, Sept. 1985. 2. Keynote Address at Culture in Another South Africa Conference, Amsterdam, Dec. 1987. 3. Keynote Address at Joint Organisation of Africa Unity – ANC Conference on “International Solidarity with the People of South Africa”, Arusha, Tanzania Oct. 1987. 4. “Academic Freedom Is Not an Island Unto Itself”: Twenty First Richard Feetham Memorial Lecture on Academic Freedom (University of Witwatersrand), Johannesburg, June 1987. 5. “Human Rights - Problems and Prospects for Universal Enforcement”, Annual United Nations Association Address, Vancouver, Nov. 1988. 6. “The Indivisibility of Freedom”, Sixth Annual Koos Koster Memorial Lecture, (University of Kaampen) Netherlands, March 1988 7. Towards a National Health Care System in South Africa Preparing the Path”, Opening Address at Medical University of SA, Annual Conference on Health Care in SA Garankuwa, Aug., 1989. 8. “The Land Question – Untying the Knot Without Destroying the Land” Keynote Address at Idasa “Land Redistribution Conference”, Somerset West, Feb. 1990. 9. “The Struggle for Africa: Challenges to Mission and Da'wah:” Annual Consultation of Nederlandse Missieraad, Den Bosch, Netherlands, Feb. 1991. 10. “To Whom Shall We Give Access to Our Drinking Holes? Reflections on the Social, Political, and Religious Dimensions of Prejudice, Standing Conference on Jews, Muslims and Christians, Bendorff, Germany, April 1994. 11. “Together for What and With Whom?” Opening Plenary Address, UNESCO Conference on “Learning to Live Together”, Paris, Sept. 1997 (with Boutros Boutros Ghali & Simon Peres). 12. “Tradition and Change”, Keynote Address, Standing Conference on Jews, Muslims and Christians, Bendorff, Germany, March 1998. 13. “Truth & Reconciliation: Finders Keepers, Losers Weepers?” International Fellowship of Reconciliation, Keynote Address, Fort Wayne, IN., July 15-19, 1998 14. “Diversity for What and Whom?” Cultural Diversity and Islam Conference, Keynote Speaker, (with Seyyed Hoosein Nasr) Centre of Global Peace, American University, Washington D.C., Nov. 1998.
147
15. “Gender Equality, Feminism and Family Values: How Real the Gap?” Keynote address to Annual General Meeting of Family and Marriage Society of South Africa, Aug. 1999. 16. “Muslim Minorities; Negotiating Existence in the Belly of the Beast”. Annual Multatuli Lecture, Multatuli Stichting, Breda, Netherlands, May 2000. 17. “Freedom from Poverty as an Enforceable Human Right”, Poverty and the Constitution Conference, Keynote Address, Legal Resource Centre International Conference of Human Rights Jurists, Johannesburg, Aug. 2000. 18. “The Religious Roots of Prejudice,”The Annual Jack and Lewis Rudin Lecture, Union Theological Seminary, Oct. 2001, New York, NY. 19. “Secularism, Desecularization and Religious Consciousness”, Opening Plenary, Annual Conference of Association of Muslim Social Scientists, 26 Oct. 2001 University of Michigan. Dearborn. 20 “The Limitation and Possibilities for an Islam ic Approach to Environmentalism”, “The Environment is a Religious Responsibility” Conference, 8 Nov. 2001, Auburn Theological Seminary, New York. 21. “The Clash of Twin Fundamentalisms – A Progressive Muslim Analysis of Sept. 11th, ICCO Conference on ‘The Rise of Religious Fundamentalism and the Challenge to Development, 2 Dec. 2002, Zeist, The Netherlands. 22. “Sacred Stories from the Edge: Conflict, Justice and Peace”. Keynote Address, Lent Event, Saint Marks Church, 2 Feb. 2002, Pasadena, CA. 23. “A Muslim Response to Evangelism in the 21st Century”, Annual Frederic I Drexler Lecture, American Baptist Seminary of the West, 22 Feb. 2002, Berkeley, CA. 24. Religion and Violence: A Muslim Response Beyond the Drama”, Eckels Memorial Lecture, Universalist Unitarian Church, Harrisburg, PA, 20 April 2002. 25 “The Terrible Twins” African Reflections on Fundamentalist Inspired Violence”, Annual Brueggeman Lecture, Xavier University, 14 Oct. 2002. 26. “Between Playing Dead and Asserting the Faith: Progressive Islam and the Clash of Civilizations”, Annual Majorie Thulin Lecture, University of Urbana-Champaign, 2 April 2003. 27. “HIV/AIDS and Ethical Challenges for Islam ic Theology”, UNICEF Conference on Religion, Children and HIV/AIDS, Kathmandu, 5 December, 2003. Presentasi-presentasi di depan publik:
148
1. “The Introduction of Muslim Personal Law as an Extension of Apartheid Ideology”, Joint Call of Islam -Muslim Youth Movement Conference on Muslim Personal Law, Johannesburg, Oct. 1988. 2 “The Tablighi Jama'ah: The Politics of Apolitical Spirituality”, University of Birmingham, March 1990. 3. “Towards a Definition of Fundamentalism in Islam ”, Multi-Faith Centre, Birmingham, July 1990. 4. “The Struggle between Text and Context”, Religious Studies Department, University of Natal, Pietermaritzburg. Sept. 1991. 5. “The Debate on the Uncreatedness of the Qur'an and its Implications for the Possibility of a Qur'anic Reception Hermeneutic”, Chicago Parliament of Religions, Sept. 1993. 6. “Islam in the Sudan & Nigeria: Religion as Protest”. 21st Century Trust Conference on “Religious Revivalism in Contemporary Politics: Is it Compatible with a Liberal World Order”, Alton, UK, Jan. 1992. 7. “Between Mandela and Man Dalla, Kafirs and Kaffirs: Rethinking Theological Categories with Particular Reference to Kufr”, Islam and Civil Society Conference, University of South Africa, Pretoria, Aug. 1994. 8 “Re-Thinking the Qur’anic Basis for Violence Against Women”, Muslim-Christian Conference, Vienna, May 1997. 9. “Problematizing Proselytism as a Problem”, Religious Varieties in Africa Conference, Emory University, June, 1997 10 “Economic, Political and Cultural Impact of the Colonial Period on Muslim-Christian Relations”, International Conference on Muslim-Christian Relations: Past, Present, and Future, Jakarta, (State Institute of Islam ic Studies, Jakarta & Temple University, Aug. 1997). 11. “Islam , Muslims and Universality of Human Rights”, International Conference on Muslim-Christian Relations: Past, Present, and Future, Jakarta, (The State Institute of Islam ic Studies, Jakarta, Temple University & Hartford Theological Seminary) Aug. 1997. 12 Islam , Muslims and Sexual Morality – Negotiating Moral Pluralism in a Democracy. Stichting Joesuf Quarterly Seminar, Utrecht, Netherlands. Feb. 1999. 13 “Authority and Interpretation: Who Gets to Say what the Qur’an Means?” “From the Islam ic Hinterland: Critical Debates among Canadian Muslims” Conference, Toronto, May 1999. 14 “Doing Muslim Theology in a Post-Modernist Era”, Centre for Middle Eastern Studies, Harvard, Conference, May 1999. 15 “Islam ic Identity and Authenticity in the Face of Traditionalism and Modernity”, Connecticut College, New London, Sept. 1999.
149
16 “Challenges Facing Muslims in the New Millennium”, Major Presentation, Parliament of World Religions, Cape Town, Dec. 1999. 17 “Dialogue and the Future of Civilization,” International Scholars Annual Trialogue, Feb. 2000, Jakarta. 18 “Islam as a Factor of Importance in International Relations from a Global Perspective”. Royal Dutch Military Academy, Breda, May 2000 19 “Da’wah in a World where the only Majority Religion is the Market”, “Sharing Our Faith with Others” Conference, Centre for Research and Training in Da'wah Methodology, Singapore, Aug. 2000. 20 “Islam and the Challenges of Globalization”, The Future of Humankind – Responsibilities and Commitments of Families of Religion” Conference, Ecumenical Institute of Bossey, Aug. 2001. 21. “Monotheism and Violence”, World Council of Churches Consultation on Religion and Violence, Tampa, Fl., 8-11t Feb. 2002 22. “The Theological Roots of Religious Inspired Violence”, 3rd Annual Islam in America Student Run Conference, Harvard University, 9 March 2002, Cambridge, MA 23. “Is There an Essential Muslim Community? Analysing Muslim Responses to Sept. 11th”. At “Islam , Muslims and Sept. 11th Conference on USA Foreign Policy”. College of William and Mary and American Council for Study of Islam ic Societies, 4 March 2002, Washington D.C. 24. “Where do We Go from Here? Rethinking the Role of Islam in the 21st Century” Presenting and Re-Presenting Islam Conference, Centre for Middle Eastern Studies, Austin Texas University, 21-22 March, 2002 25. Muslim Intellectuals and the Challenge of Minority-ness, Annual Ibn Sina Foundation Lecture, Cleveland, OH, 4 May, 2002. 26. Zamakhshari on ‘Wilayah’” at Jewish and Islam ic Hermeneutics as Cultural Critique Workshop. German Oriental Society, Istanbul, 13-16 June 2002. 27. The Qur’an and Human Rights: A Precarious Relationship, at Religion and Human Rights Symposium, Xavier University, 23r Sept. 2002. 28. A Muslim Perspective on Scripture and Pluralist Reading, World Council of Churches Colloquim on Scripture and Pluralism, Bossey, Geneva, 3 July 2003. 29. “The Liberal Ensoulment of Islam ”, Melbourne Institute of Asian Languages and Societies. University of Melbourne 13t May 2003.
150
30 “Sex and Sexuality – Dealing with an Awkward Gift from God during the HIV/AIDS Pandemic”, 2nd Muslim Religious Leaders Consultation on HIV/AIDS, Kuala Lumpur, 21s May 2003. 31 Islam and Muslims in the 21st Century, 4 Lectures for Faculty Seminars, Xavier University, Cincinnati, Oct-Nov 2003. 32 “Muslim Intellectuals between Apologetics and the Empire”, Islam ic Research Academy, International Islam ic University, Islam abad, 1 January 2004. 33. Information, Formation and Transformation – The Task of Educating for Critical Citizenship, Faculty of Education, Aga Khan University, Karachi, 5 January 2004. 34. “Islam ism and Globalization” at “The Future of Humankind: Responsibilities and Commitments of Families of Religion” Conference, Ecumenical Institute of Bossey, Geneva, 20-25 August, 2001. 35. Religious Education and Human Rights Dilemmas” at MuslimChristian Consultation on “Religious Principles and Educational Methods for Muslims and Christians to Protect and Promote Freedom of Religion and Belief”, John Knox International Centre, Geneva, 8-11 June 2002. Kemudian juga tema yang terkait dengan tekanan karya tulis ini adalah beberapa tulisan yang bertemakan Pluralisme Agama/Relasi Antar Agama: 1. International Summer School on Islam & Christianity, Selly Oak Colleges, Birmingham, July 1983 and July 1985 (Co-facilitator conducted several lectures). 2. “Inter-Religious Solidarity as a Response to Interfaith Dialogue”, Fifth World Assembly, World Conference on Religion & Peace, Melbourne, Jan. 1989. 3. “Da'wah, Mission & Dialogue”, Multi-Faith Centre, Birmingham July 1990. 4. “Interreligious Co-operation and Peace-making in the Context of Communal Violence”, World Council of Churches, Dec. 1993. 5. “Inter-faith Activity as a Subversive Pursuit”, Sarva-DharmaSammelana, Bangalore, Aug. 1993 6. “Is there Life after Tea? Beyond Politeness towards Authenticity in Inter-faith Dialogue”, Major Presentation, Chicago Parliament of Religions, Chicago, Sept. 1994. 7. “Pluralism and the Religious Dimension”, International Conference to mark the 25th Anniversary of the Irish School of Ecumenics in Dublin, Nov. 1995 8. “Building Community, Living Together, Working Together”, International Interfaith Centre, Westminster College, Oxford, March 1998.
151
9. “That of God in the Marginalized – Entry Points for Pluralism with Integrity, Annual Call to Action Conference, 06-08 Aug., 1999 Milwaukee. 10. “Making a World of Difference: Muslim-Christian Dialogue”; Keynote Speaker, July 2000, British & Irish Association of Practical Theologians Annual Conference, Birmingham. 11 “Enjoying the Walk, then Talking the Talk - Theological Reflections based on Interfaith Solidarity for Justice”, Nov. 2000. Hartford Seminary. (Two Presentations), Hartford, CT. 12. “Doing Theology in an Inter-Faith Context”, Nov. 2000, Institute for Contextual Theology, Johannesburg. 13. “Truth and Dialogue: How Bearable the Tensions?” July 2001, University of Hamburg / Hamburg Ecumenical Council, Hamburg. 15 “Serving God from Within but beyond the Confines of our Prisons, Pittsburgh Summit Against Racism, Jan. 13 2002, East Liberty Presbyterian Church, Pittsburgh. PA. 16. “Alongsidedness in a World where the Cake Cannot be Unbaked – Muslim-Christian Relations After Sept. 11th”, 28 Jan. 2002, Mississippi State University, Starkville, MS. 17. “Diplomacy and Statecraft: The Interreligious Dimension,” Partnership of Faith Retreat for Religious Leaders, 5 March 2002, New York. 18. “Education for Human Rights: An Islam ic Perspective”, International Association for Religious Freedom, Geneva, 8 June 2002. 19. Exclusion & Embrace: The Challenge of Religious Pluralism, Globalization Symposium, Isabella Canon Centre for International Studies, Elon University, 17 Sept. Elon. 20. “Dhimmis and Religious Pluralism – The Limitations of Muslim Legal Discourse”, University of Denver, 26 October 2002 21. “Vulnerability as Virtue: Challenges for Muslims in Europe,” Avicenna Association, 17 December 2002, The Hague. 22 “Community in the Make and the Dynamics of excommunication (Panellist), Jewish and Islam ic Hermeneutics as Cultural Critique, workshop, Berlin, 14 December 2003. B. PEMIKIRAN
FARID
ESACK
TENTANG
HERMENEUTIKA
PEMBEBASAN Seperti penjelasan yang telah terurai di muka (Bab II), sekadar untuk mengingatkan kembali, bahwa Josef Bleicher membagi dan mengkategorikan teori hermeneutika menjadi tiga: hermeneutika sebagai teori/metode
152
(hermeneutical
theory),
hermeneutika
sebagai
filsafat
(hermeneutical
philosophy) dan hermeneutika kritis (critical hermeneutics).100 Ketiga aliran dan paradigma dari hermeneutika tersebut kemudian saling melengkapi, bahkan saling mengkritik. Terbukti dengan perebutan wacana masing-masing, Fazlur Rahman, kemudian menglompokkan dua aliran pertama sebagai airan obyektifitas (yang diwakili Emilio Betti) dan subyektifitas (yang diwakili oleh Hans Georg Gadamer). Adapun aliran ketiga sebagai aliran kritis pun menjadi penyeimbang wacana yang meng-counter wacana dari paradigma hermeneutika ke dua. Sehingga perdebatan yang muncul adalah pertarungan Gadamer sebagai representasi aliran subjektifis dan Habermas sebagai wakil dari aliran hermeneutika kritis.101 Akan tetapi dengan munculnya post-modernisme yang dibawa oleh Jacques Derrida dan Michael Foucault, telah menunjukkan nuansa dekonstruktif dalam wacana hermeneutika, yang kemudian dapat memposisikan diri sebagai alternative keempat dalam aliran hermeneutika. Diakui atau tidak, berkembangnya metode hermeneutika ini kemudian berkontribusi besar dalam membawa para pemikir dan intelektual muslim melakukan kajian terhadap teks (al-Qur’an) yang berbasis pada aspek metodis epistemologis,102 ketimbang praktis eksegetis (tafsir dan ta’wil). Maka, dalam hal ini posisi Farid Esack adalah menempatkan hermeneutika secara umum pada dua arus utama yang telah disebutkan di 100
A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 22. Ibid, lihat juga Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islam ic Studies, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, cet. I, hlm. 14. 102 Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit, hlm. 83 101
153
muka, yakni hermeneutical theory dan hermeneutical philosophy, meskipun secara jujur, terkadang dalam beberapa waktu, Esack sering berposisi di wilayah kritis mazhab Habermasian. Dengan dua pendekatan yang ia pakai, seperti kutipannya terhadap Carl Braaten, Esack ingin merangkum pendekatannya dalam memposisikan dirinya secara metodologis dalam gugusan konsep hermeneutikanya, yakni bagaimana agar sebuah kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang.( Braaten 1996, h. 131).103 Pendekatan ini ternyata memang signifikan dengan konteks sosiohistoris-politis Afrika Selatan sebagai lokus bagi “proyek besar” pemikiran Esack yang cenderung terkonstruk oleh hegomoni kekuasaan, penindasan, pelecehan hak asasi dan kemunculan rezim despotic apartheid. Terbukti, menurut pengamatan Esack, pengalaman Afrika Selatan memang mempunyai kecenderungan dalam memahami al-Qur’an sebagai bentuk peran dan cara memahaminya. Sehingga yang diperbincangkan oleh rakyat Afsel adalah bagaimana bicara kegunaan dan cara (fungsional-pragmatisnya), bukan soal hakikat al-Qur’an. Dengan keberangkatan posisi di atas, maka penggunaan hermeneutika sebagai perangkat pembacaan atas realitas teks dan konteks Afrika Selatan menjadi satu hal penting (urgen) yang tak bisa di tawar-tawar lagi. Maka, muncullah empat hal yang ingin dituju Esack: pertama, menunjukkan bahwa
103
Ibid
154
sangat mungkin hidup dalam keimanan terhadap al-Qur’an di satu sisi dan dalam satu konteks yang hadir (kontemporer) bersama umat lain, bekerjasama dengan mereka guna membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Kedua, mengedepankan ide tentang hermeneutika al-Qur’an sebagai kontribusi terhadap bangunan teologi pluralisme dalam Islam . Ketiga, mengkaji ulang cara al-Qur’an mengkaji ‘diri sendiri‘ dan ‘orang lain’, baik yang beriman atau tidak beriman, untuk memberi ruang kebenaran bagi orang lain dalam teologi pluralisme
demi
pembebasan.
Keempat,
mencari
hubungan
antara
eksklusivisme keagamaan dengan satu bentuk konservatisme politik (pendukung apartheid) di satu sisi, serta inklusivisme keagamaan dengan satu bentuk politik progresif (pendukung pembebasan) di sisi lain, serta untuk memberikan alasan-alasan bagi yang terakhir.104 Untuk itu, Esack mencoba membuat sebuah rumusan hermeneutika yang di dalam bukunya disebut dengan istilah “hermeneutika pembebasan”.105 Keunikan hermeneutika ini adalah menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks particular (prior texts). Hal penting yang ingin di capai Esack dari gagasan besarnya ini adalah ingin menemukan kembali “makna baru” hermeneutika dalam konteks partikular sosial politiknya sesuai dengan kebutuhan konteks Afrika Selatan.106 Jika dicermati lebih dekat, memang Esack tidak begitu rigid dan detail dalam merumuskan secara teoritis konsep hermeneutikanya, namun bila dirunut secara epistemologis, dapat diketahui dari karyanya (al-Qur’an, 104
Ibid, hlm 72-73, lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 23 Farid Esack, ibid, hlm. 83 106 Ibid 105
155
Liberation dan Pluralism) bahwa gagasan besarnya ini ternyata bermuara pada hermeneutika tanggapan/penerimaan (reception hermeneutics)107 yang populer dalam tradisi injil (bible). Kiblat tokohnya seperti yang dia jelaskan dalam bukunya adalah rujukan hermeneutika Francis Shcussler-Fiorenza. Dalam kajian hermeneutika kontemporer, hermeneutika penerimaan (reception
hermeneutics)
biasanya
selalu
diidentikkan
pada
aliran
fungsionalisme teks. Mengapa disebut demikian? Karena bagi hermeneutika ini, sebuah teks bisa dikatakan sebagai kitab suci, jika ia telah lulus “uji fungsional dan pragmatik tertentu”. Dengan kata lain, aliran ini berpandangan bahwa eksistensi sebuah teks kitab suci terletak pada dimensi fungsional dan pragmatisnya, sehingga letak kebenaran tertinggi sebuah teks kitab suci dilihat dari seberapa jauh mampu mengatasi problem kemanusiaan yang hadir. Pandangan ini sangat bertentangan dengan repertoar’e (paham) kaum revelationis, yang selalu memenuhi ruang pembicaraan teks kitab suci dengan wacana tentang “Tuhan” dan bagaimana ia hadir (manifest) dalam kehidupan riil.108 Hermeneutika penerimaan berfokus pada proses interpretasi dan bagaimana individu atau kelompok yang berbeda menggunakannya. Menurut Esack yang mengutip dari Francis Shcussler-Fiorenza, interpretasi seperti ini: “Perlu memperhatikan bukan hanya teks atau audiens awal teks itu, melainkan juga transformasi jangkauan pemahaman masa lalu dan sekarang”.109 Hermeneutika penerimaan dengan demikian mengubah analisis soal 107
Ibid, hlm. 84 Ibid, lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 24 109 Ibid. hlm. 84 108
156
bagaimana suatu teks telah atau sedang diterima “menjadi studi tentang pemaknaan teks tersebut”. Proses tafsir ini tentu berlawanan dengan positivisme histories yang cenderung memperhatikan makna-makna yang tetap dan pasti (tekstual), hermeneutika penerimaan menuntut agar beragam penerimaan atas teks itu, “termasuk pemahaman yang popular saat itu sebagai konkretisasi pemaknaannya, dilibatkan dalam masalah penafsiran teks tersebut. Dengan demikian, menurut Fiorenza, hermeneutika penerimaan “akan memasukkan ke dalam usaha interpretasi masalah pergeseran jangkauan pemahaman beragam audiensnya dan tansformasi antara harapan masa lalu dan sekarang terhadapnya”.110 Dalam rumusan hermeneutikanya, Farid Esack menempatkan tiga elemen intrinsik dalam sebuah pemahaman dengan mengambil bentuk lingkaran hermeneutika (hermeneutika circle).111 Tiga elemen penting tersebut adalah: teks beserta pengarangnya, penafsir (interpreter) dan aktifitas penafsiran. Sementara itu, Juan Luis Segondo mendefinisikan hermeneutika circle ini sebagai perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat.112 Ia mengemukakan dua syarat untuk menciptakan hermeneutika circle: persoalan-persoalan yang
110
Ibid. hlm. 84 A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 24 112 Dikutip dari Juan Luis Segundo, The Liberation of Theology, New York: Orbis Books, 1991, hlm. 9. lihat dalam Zakiyuddin Baidhawy, Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an: Perspektif Farid Esack, op.cit, hlm. 197 111
157
mendalam dan kaya serta keraguan terhadap situasi yang nyata; dan interpretasi baru terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya. 1. Sumbangan Fazlur Rahman dan Arkoun Untuk
mempertajam
analisisnya,
terutama
terkait
dengan
penggalian makna, dan guna mendukung ide besar pewahyuan progresifnya, Esack kemudian meminjam analisis dua tokoh besar yang menjadi referensi pemikirannya: Fazlur Rahman113 dan Mohammed Arkoun114. Untuk mengawali kupasan pemikirannya, penulis tampilkan terlebih referensi pemikiran Esack terhadap tokoh asal Pakistan, Fazlur Rahman. Berikut penulis tempilkan skema hermeneutika Fazlur Rahman: Situasi Historis
Respon al-Qur’an
Mengeneralisasi Jawaban Spesifik
Menentukan tujuan moral social al-Qur’an
Situasi Kontemporer 113
Nilai-nilai al-Qur’an
Fazlur Rahman lahir pada 1919 di Pakistan. Sebagai pemikir yang besar di lingkungan mazhab Hanafi, maka corak pemikirannya adalah senada dengan genealogi yang melahirkannya, lebih condong rasionalis, karena lebih menggunakan ra’y daripada riwayat hadits. Lihat, Ali Masrur, Ahli Kitab dalam al-Qur’an; Model Penafsiran Fazlur Rahman, lihat dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, op.cit., hlm. 43-44. 114 Mohammed Arkoun, begitu ia diberi nama, lahir pada 1 Februari 1928 di TourirtMimoun, Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Tokoh inilah yang terkenal dengan pemikiran Kritik Nalar Islam (KNI), lihat dalam Mohammed Arkoun, (Washington DC: Center for contemporary arab studies, 1987), terj. Ruslani, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. v,
158
Masyarakat Islam Skema 3. Metodologi Hermeneutika Fazlur Rahman115 Jika dilihat dari skema di atas, menurut Zakiyuddin Baidhawy, ada perbedaan fundamental antara lingkaran Segundo dan Fazlur Rahman, yakni keputusan secara sadar untuk memasuki hermeneutika circle dari sudut praksis pembebasan yang ditentukan secara politik. Segundo menyatakan, hermeneutika circle didasarkan atas fakta bahwa pilihan politik untuk perubahan pembebasan adalah unsur intrinsik dari iman.116 Sementara, Rahman menyatakan bahwa metode hermeneutika yang memadai berkaitan khusus dengan aspek-aspek kognitif dari wahyu.117 Kunci hermeneutika untuk upaya-upaya kognitif ini adalah iman dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokuskan pada lingkaran historis wahyu sebagai alat paling berharga dalam memahami.118 Ia mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement); dari masa kini ke periode al-Qur’an dan kembali ke masa kini (lihat skema 3). Maksudnya, membaca gerakan pertama, berusaha memahami secara keseluruhan kandungan al-Qur’an lewat
115
lihat skema ini dalam Zakiyuddin Baidhawy, ibid. Zakiyuddin Baidhawy, ibid 117 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press, 1982, terj. Ahsin Muhammad, Islam dan Modernitas, Bandung: Pustaka, 1985, hlm. hlm. 4 118 Fazlur Rahman, ibid 116
159
perintah-perintah dan larangan yang diturunkan secara khusus-spesifik sebagai respon terhadap situasi tertentu. Gerakan ini melalui dua tahap. Gerak pertama (dari situasi kini ke masa al-Qur’an) terdiri dari dua langkah: 1).melakukan tahap pemahaman tekstual al-Qur’an dan konteks sosio historis ayat-ayatnya (taks of understanding). Langkah ini mensyaratkan adanya pemahaman secara makro mengenai situasi kehidupan Arabia baik dari sisi kehadiran Islam di Makkah, adat istiadat ataupun masyarakatnya.119 2). Melakukan generalisasi. Pada tahap ini perlu dilakukan upaya generalisasi atas jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral social umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio logis yang sering dinyatakan. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa selama proses ini, perhatian harus diberikan ke arah ajaran al-Qur’an, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.120 Sedangkan gerak kedua (dari masa al-Qur’an diturunkan ke masa kini). Dalam bahasa mudahnya adalah bagaimana membumikan sebuah tujuan ayat al-Qur’an yang pada masa diturunkan berlaku secara spesifik ke dalam konteks kekinian. Tentunya hal ini dengan berupaya memahami pesan moral yang tertuang dalam ayat al-Qur’an tersebut. Sehingga terjadi 119 120
Farid Esack, Muslims Engaging the Other and The Humanum, op.cit A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 26-27
160
penumbuhan sebuah tujuan ayat pada konteks sosio-historis masa sekarang. Di samping Rahman, Mohammed Arkoun juga menawarkan pendekatan
hermeneutika
kontemporer.
Mengapa
Esack
memilih
pendekatan arkoun? Karena, dengan gagasan dekonstruksi wahyu Arkoun, kemudian digunakan oleh Esack untuk mendeteksi secara kritis proses pewahyuan dan cara teks tertulis sehingga menjadi mushaf (canon) yang disakralkan, dimitoskan dan otoritatif.121 Usaha keras Arkoun yang melibatkan pendekatan historissosiologis-antropologis ini, menggiring Esack untuk menghadirkan gagasan tentang adanya relasi antara individu dengan firman Tuhan yang menyerupai hubungan sosio-politis dengan komunitas sosial: “fungsi psikologis pewahyuan merupakan wujud pesan jiwa yang tak bisa dipisahkan dari kemampuan sosialnya untuk mengatasi semua perbedaan dan persaingan, serta memberikan nilai legitimatif bagi suatu tatanan politik.122 Meski secara tegas Esack menampik aliran objektivisme dalam penafsiran
(karena
jika
digolongkan
ia
masuk
dalam
kategori
hermeneutika berperspektif kritis ala Habermasian), tetapi secara metodis, hermeneutikanya tidak bisa menghindar dari pengaruh kuat gagasan sang maestro ‘hemeneut’ Islam berkebangsaai ‘aljazair’ ini. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Esack menyebutkan secara jelas bentuk metode yang 121 122
A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid
161
digunakannya dengan istilah prosedur yang dijuluki Arkoun sebagai regresif-progresif. sebuah
123
pembalikan
Karena, dengan proses regresif-progresif ini berarti terus-menerus
ke
masa
lalu,
bukan
untuk
memproyeksikan tuntutan dan kebutuhan sekarang atas dasar teks-teks fundamental itu, tetapi untuk menemukan mekanisme dan factor-faktor histories yang melahirkan teks-teks tersebut dan memberikan kepadanya fungsi-fungsi tersebut (=prosedur regresif).124 Metode hermeneutika ini terdiri dari dua prosedur teknis, pertama prosedur regresif dan kedua prosedur progresif. Prosedur pertama (regresif) , melihat kembali ke masa lalu secara kontinu bukan hanya untuk memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan masa kini atas teks, tetapi (juga) untuk mengungkap mekanisme histories dan faktor-faktor yang memproduksi teks-teks ini dan memberikan fungsi tertentu terhadapnya. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam prosedur ini menurut Esack adalah apa yang telah berkembang dalam tradisi Ushul Tafsir, yakni genre naskh, asbab an-nuzul dan ‘ilm al-makki wa almadani.125 Sedangkan prosedur kedua (progresif) bekerja dalam rangka menghidupkan makna baru (kontemporer), sebagaimana tuntutan konteks pada masa sekarang. Pasalnya, keberadaan teks-teks tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas kaum Muslim Afrika Selatan, dan aktif dalam sistem ideologi mereka. Oleh karena itu, yang mutlak 123
A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, op.cit, hlm. 38 125 A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit. 124
162
harus dilakukan dalam prosedur ini adalah memeriksa secara cermat proses transformasi muatan-muatan dan fungsi-fungsi awal ke dalam muatan dan fungsi baru.126 Prosedur regresif-progresif tersebut yang Esack sebut sebagai cara pemikiran yang heuristic. Yakni penekanan terhadap pendekatan historiessosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Bahkan di sisi lain, Arkoun menampilkan berbagai jalur pemikiran heuristik fundamental untuk merekapitulasi pengetahuan Islam menghadapkannya
dengan
pemikiran
kontemporer
dan demi
memperluasnya;127 •
Manusia muncul di tengah masyarakat melalui berbagai perubahan “penggunaan” (aktivitas, pengalaman, sensasi, pengamatan, dan sebagainya). Setiap guna dalam masyarkat, kata Arkoun, “dikonversi ke dalam tanda dari kegunaan itu (dan) realitas diekspresikan melalui bahasa sebagai system tanda”. Perkembangan ini terjadi sebelum adanya interpretasi atas wahyu apapun. Lebih jauh lagi, kitab suci “juga dikomunikasikan lewat bahasa natural (yang) digunakan sebagai sistem tanda”. Dan setiap tanda merupakan “lokus bagi operasi konvergen (yaitu persepsi, ekspresi, interpretasi, translasi, komunikasi) yang mengikat semua relasi antara bahasa dan pemikiran”. Ada dua dampak serius bagi pemikiran tradisional tentang pewahyuan dan bahasa ini, yaitu bahwa pengakuan tentang kesucian bahasa Arab tak
126 127
A. Rafiq Zainul Mun’im, ibid, hlm. 26 Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit, hlm. 103-104
163
lagi bisa dipertahankan dan, lebih dari itu, “inti pemikiran Islam ditampilkan sebagai isu linguistik dan semantik”. •
Semua symbol dan tanda yang dihasilkan manusia (yaitu produk semiotic) dalam proses kemunculan social dan budayanya, terkait erat dengan kesejarahan. Sebagai artikulasi semiotic pemaknaan bagi penggunaan social dan cultural (penekanan dari Esack), al-Qur’an adalah subjek kesejarahan.128 Arkoun mengangkat maslah hermeneutic mendasar ini sebagai berikut: “bagaimana kita bisa berurusan dengan yang sakral, spiritual, transsendental, ontologis, jika kita diharuskan untuk memandang semua kosakata yang dikatakan merujuk pada nilainilai yang stabil dan nonmaterial ini tunduk pada sejarah.
•
Keberadan iman tak lepas dari manusia, bukan muncul dari suatu kehendak ketuhanan atau doa; tetapi “dibentuk, diekspresikan, dan diaktualisasikan dalam dan melalui wacana.
•
System legitimasi tradisional yang ditampilkan teologi klasik dan fiqih Islam , serta kosakata yang dipakainya tak punya relevansi epistemologis apapun. Dengan kata lain, tak berguna bagi elaborasi pengetahuan masa kini. Disiplin-disiplin ini dan kosakatanya, ujar arkoun, terlalu kompromistis dengan bias-bias ideologi yang
128
Implikasinya adalah bahwa “tak ada jalan menuju yang mutlak (penekanan dari Esack) di luar dunia fenomenal dari keberadaan histories-terestrial kita”. Arkoun juga menegaskan “sejarah sebagai salah satu dimensi kebenaran”; kebenaran yang dibentuk oleh “perangkatperangkat, konsep, definisi dan postulat yang senantiasa berubah”. Di sini, dia menantang semua “pemikiran abad pertengahan yang didasarkan pada esensi dan substansi”, termasuk pernyataan tentang “kitab suci yang stabil”. Penekannya bahwa tak ada jalan pada yang mutlak tampaknya menyangkal segala kemungkinan adanya kebenaran yang stabil dan esensial. Lihat dalam Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit, hlm. 116.
164
didesakkan kepadanya oleh “kelas penguasa dan budak-budak intelektualnya (dan) bersifat otoritatif hanya lantaran mereka menolak untuk dikaitkan dengan lingkungan ilmiah yang berubah” Akhirnya, aplikasi gagasan-gagasan Arkoun di atas dapat dilihat pada analisis tentang proses wahyu dan cara teks ditulis menjadi kitab yang otoritatif dan suci. Merujuk pada Paul Ricour, Ia membedakan tiga level firman Allah: 1). Firman Allah sebagai transenden, tak terbatas dan tidak dikenal oleh manusia sebagai suatu keseluruhan yang diwahyukan melalui Nabi. Hal ini diungkapkan dalam bahasa al-Qur’an sebagai allawh al-mahfud atau umm al-kitab; 2). Manifestasi histories firman Allah melalui nabi-nabi Israel (dalam bahasa ibrani), Yesus (bahasa Arami), dan Muhammad (bahasa Arab). Ia dihafal dan ditransmisikan secara oral selama periode sebelum ditulis.129 Dan 3). Objektivikasi teks dari firman Allah telah terjadi (al-Qur’an menjadi mushaf) dan kitab ini tersedia bagi orang beriman hanya melalui versi tertulis yang terpelihara dalam kanon resmi tertutup. Arkoun menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan gerak mendaki dari komunitas yang menafsirkan menuju keselamatan sesuai dengan perspektif vertikal tentang semua kreasi sebagaimana adanya ditekankan oleh wacana Qur’ani. Komunitas yang menafsirkan adalah subjek-actant dari keseluruhan sejarah dunia yang diwakili, diinterpretasi dan digunakan sebagai tahapan sulit untuk mempersiapkan penyelamatan
129
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam , op.cit, hlm 16
165
sesuai dengan Sejarah Penyelamatan yang dikisahkan Tuhan sebagai bagian dari wahyu yang mendidik.130 Hubungan individu dengan kitab sebagai firman Allah sama dengan hubungan sosial-politik dengan komunitas yang menafsirkan.
Lihat skema berikut: skema 4. Hermeneutika Arkoun FIRMAN TUHAN
PERISTIWA INAGURASI (PEMBUKA KOMUNITAS MUSLIM)
SEJARAH PENYELAMATAN
KOMUNITAS KAUM BERIMAN
PENYAMPAIAN (TRANSMISI) KORPUS RESMI TERTUTUP KORPUS YANG DITAFSIRKAN
TRADISI—HAFALAN KOLEKTIF, SELEKSI, PENGUMPULAN, ELIMINASI, KRISTALISASI, MITOLOGISASI, SAKRALISASI MASYARAKAT
MASYARAKAT ANGAN-ANGAN SOSIAL (IMAGINAIRE SOCIAL) MUNCULNYA KRITIK RASIONALITAS
2. Menutup ‘kekurangan’ Rahman dan Arkoun a. Rahman; sebuah Kritik Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan di atas, Rahman dan Arkoun. Atas dasar itu, Esack ingin ‘menambal’ bolongbolong yang ada pada keduanya guna menyempurnakan ‘imperium
130
Ibid
166
besar’ pemikiran dengan menghadirkan metode pembacaan yang baru, hermeneutika pembebasan. Untuk pertama, pendekatan Rahman, menurutnya, kurang mengapresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Ketiadaan wilayah ‘abu-abu’ ini yang bagi Esack merupakan kekurangan paling serius dalam pendekatannya. Iman, tegas Rahman, membawa pada pemahaman, (ini yang kurang) tanpa melihat bahwa hal tersebut bisa secara intrinsik terkait satu sama lain. Demikian pula, Rahman justru menyesalkan ketundukan Islam pada politik, bukan malah nilai-nilai Islam sejati yang kemudian mengendalikan politik, tanpa mengakui dilektika antara keduanya. Rahman juga terlalu menekankan kriterianya tentang pengetahuan didasarkan atas keunggulan kognisi semata, sementara Ia mengabaikan hubungan antara kognisi dan praksis. Terakhir, seperti yang dikatakan Moosa, “dia tak berusaha menangkap estetika keseluruhannya, tetapi terlampau asyik dengan kognisi historis yang menitikberatkan pada nilai-nilai moral.”131 Melihat karya-karya Rahman, bagi Esack, juga memperlihatkan perhatian yang terlalu besar pada “élan moral dasar” al-Qur’an— kesadaran akan Tuhan dan keadilan social. Dengan begini, Rahman
131
Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit, hlm. 101-102
167
lupa akan sebab-sebab struktural dan ketidakadilan itu, dari mana datang dan asalnya .132 Kemudian lebih dalam lagi, kita akan semakin jelas melihat aroma keyakinan kaum obyektifis dalam kerangka pemikiran Rahman yang
hendak
meraih
dan
mengungkap
“kebenaran
yang
sesungguhnya”. Ide-idenya sendiri tak sepenuhnya bebas dari ambiguitas. Di satu kesempatan, dia menempatka “kesementaraan: sebagia suatu nilai yang intrinsic dalam pemikiran modern. Ketika mengemukakan tugas intelektual Muslim, dia mengatakan bahwa “pemikiran modern, pada prinsipnya, harus menolak autoritarianisme apapun..keterbukaan pada perbaikan, dan, dalam pengertian ini, sejumput keraguan, atau tepatnya kesementaraan adalah watak dasar pemikiran modern yang merupakan proses tanpa akhir dan senantiasa bersifat eksperimental. Di tempat lain, dia menyadari bahwa kendati “makna sebuah proposisi bisa benar secara universal; ini tak menjawab bahwa pemahaman terhadap makna tersebut juga universal” Sindiran Esack; Rahman dalam hal ini, patut disayangkan, tak mengaitkan “kesementaraan” ini, yang sebenarnya bisa mendukung ke arah pluralisme, ke dalam seluruh pendektan metode logisnya. Dia pun tak melihat bagaimana objektivisme yang melandasi seluruh pendekatannya pada al-Qur’an itu bisa secara efektif bertentangan dengan setiap ide heurisme dan pluralisme.
132
Farid Esack, ibid., lihat juga Zakiyuddin Baidhawy, op.cit. hlm. 199-201
168
b. Arkoun; sebuah Kritik Jika kita cermati, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari lapisan ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, di samping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral. “Setiap hermeneutika membutuhkan partisanship secara sadar ataupun tidak”.133 Pernyataan ini juga diutarakan oleh Segundo pula, bahwa “setiap hermeneutik menuntut keikutsertaan secara sadar maupun tidak. Sekalipun seeorang memiliki sudut pandang yang netral dan mencoba untuk bertindak demikian, tetap dia adalah partisan”.134 Gagasan Arkoun mengimplikasikan bahwa bisa jadi ada kelas “pembaca-super” ahli sejarah atau linguis yang sanggup mencapai makna yang sebenarnya dari sebuah teks. Gagasan ini ditolak juga oleh Fiorenza, bahwa pendekatan ini secara keliru menganggap bahwa jangkauan pemahaman baru (pembaca) termuat di dalam jangkauan pemahaman awal (pengarang)”. Di samping mengabaikan jarak temporal antara teks dan penafsir, pendekatan itu juga “meminimalkan fakta bahwa tak ada teks yang ditulis sedemikian rupa sehingga para
133 134
Farid Esack, ibid, hlm. 106-107 Farid Esack, ibid, hlm. 106-107
169
filolog mampu membaca dan menafsirkannya secara filologis, atau para sejarawan mampu membacanya secara histories.135 Sampai di sini, tampaknya, Esack ingin menutupi kekurangankekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermeneutika pembebasan-nya. Ia yakin bahwa tugas Muslim memahami al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideology dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil; untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensidimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya
untuk
melakukan
pembebasan
(misalnya
hubungan Tuhan dengan orang lapar dan eksploitasi, termasuk bagaimana status hukum orang beda agama “yang lain” atau ahl aldzimmah). Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas Islam isis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan.136 3. Bagaimana Esack Memahami teks? Kita telah semakin jauh menyelami pemikiran Esack, sekarang kita saatnya memahami bagaimana pemahaman Esack sendiri terhadap teks (al-Qur’an). Esack melihat ada 3 (tiga) unsur intrinsik dalam proses memahami teks:137
135
Farid Esack, ibid, hlm. 106-107 Farid Esack, ibid, hlm. 106-107 137 Pendapat esack ini dapat dilihat langsung dalam bukunya, Farid Esack, ibid, hlm. 108109, lihat juga Zakiyuddin Baidhawy, op.cit., hlm. 203. 136
170
a. Memasuki Pikiran Pengarang (proses psikologisasi) Dalam kasus al-Qur’an, Tuhan dipandang sebagai ‘pengarang‘. Muslim perlu masuk dalam pikiran Tuhan (di sinilah proses psikologisasi terhadap pengarang/Tuhan terbangun), sehingga hal ini bukan hal yang luar biasa bagi sebagian orang untuk mengklaim bahwa Tuhan mengendalikan pikiran mereka. Jalur alternatif untuk memahami ini telah dilakukan pada era tradisi mistik Islam ketika mereka melakukan pendekatan terhadap kitab
suci.
Dalam
metodologi
ini,
kesalehan
digabungkan
(dikombinasikan) dengan keilmuan untuk menciptakan dan melahirkan makna. Kesalehan ini juga dianggap sebagai pembatas antara opini pribadi dan kebenaran. Seperti pernyataan Muhyi al-Din ibn ‘Arabi (w.1240) yang dikutip Esack: bahwa Tuhan memainkan peran langsung dalam pemahamannya atas teks. Bagi yang lain, Muhammad dijadikan sebagai ‘ikon kunci’ dalam upaya melahirkan makna. Menurut Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan dapat digali oleh “pikiran murni”. Inilah yang disebut sebagai pendekatan personal. Bagi Esack, problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu. b. Penafsir: Pemikul Banyak Beban
171
Esack telah menegaskan bahwa partisipasi aktif penafsir yang tak terelakkan dalam memproduksi makna sebenarnya berarti bahwa menerima suatu teks dan menyarikan (mengeluarkan) makna dari teks tersebut tidak hadir dengan sendirinya (apalagi tiba-tiba). Penerimaan teks, proses mengeluarkan makna dan makna itu sendiri selalu parsial. Artinya, setiap penafsir selalu masuk dengan membawa serta menyertakan konsepsinya sendiri (pra-paham/pra-asumsi) sebagai asumsi awal dalam penafsirannya. Makna, bagi Esack, dimanapun ia ditempatkan, selalu ada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Kebutuhan mendesak bagi pemikir kontemporer adalah mengeluarkan pra-pemahaman dari tafsir bil-ra’yi (penafsiran dengan penalaran)—sebuah metode tafsir yang dalam wacana konservatif, telah diartikan sebagai campuran politik dan teologi tak berdasar dan menyimpang yang diterapkan pada al-Qur’an. Setelah tugas ini dituntaskan, seseorang bisa melanjutkan dengan mempelajari dan membahas, keabsahan, manfaat, dan keseimbangan prapemahaman tertentu di atas. (prapemahaman) Inilah yang akan syarat untuk hidup dalam sejarah. Sehingga kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi di mana diri itu berada, agar titik acuan absolut yang menjadi kalayakan umum Muslim al-Qur’an da bagi Muslim sunni, Sunnah Nabi; keduanya tetap menjadi kriteria untuk menetapkan Islam normatif. c. Interpretasi tak Lepas dari Bahasa, Sejarah, dan Tradisi
172
Masa lalu adalah yang lalu, kini adalah sekarang. Setiap pengguna bahasa membawa prapemahamannya sendiri, yang sebagian sadar, namun lebih sering tidak sadar tentang sejarah dan tradisi bahasa itu. Kita tak bisa lepas dari semua itu. Makna kata-kata selalu dalam proses. Menurut Cantwell Smith, “menggunakan suatu kata berarti berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya yang terusmenerus (berubah)”. Makna harfiah suatu ucapan bersifat problematik dan tak pernah bebas nilai, khususnya ucapan yang dianggap sakral dan simbolik. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan menafsirkan apapun adalah patisipasi dalam proses linguistik historis. Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Perlakuan kita terhadap al-Qur’an juga terjadi dalam batasan-batasan ini; kita tidak dapat keluar dari dan menempatkan diri di atas bahasa, budaya dan tradisi. 4. Kunci-kunci Hermeneutika Pembebasan Bicara soal ‘pembebasan’ di masa-masa apartheid di Afrika Selatan membuat makna pembebasan menjadi begitu nyata: bebas dari segala bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi.138 Kesadaran yang lebih dalam tentang watak ketidakadilan, peran struktur sosiopolitik, dan
138
Farid Esack, ibid, hlm. 120.
173
pentingnya partisipasi dalam proses pembebasan, telah memperjelas definisi teologi pembebasan ini. Teologi pembebasan, bagi Esack, adalah sesuatu yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan religius yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilandan eksploitasi ras, gender, kelas, dan agama.139 Teologi pembebasan semacam ini berusaha diformulasikan oleh, dan dalam solidaritas dengan, orang-orang yang kebebasan sosio-politik dan pribadinya menjadi nyata melalui partisipasi dalam proses itu. Di samping, teologi pebebasan ini mendapatkan ilhamnya dari al-Qur’an dan perjuangan para nabi. Ini diwujudkan dengan melibatkan al-Qur’an dan teladan nabi dalam proses refleksi teologis bersama dan berkelanjutan demi praksis liberatif yang semakin meningkat. Secara teknis dan praktisnya, Esack menggambarkan penjelasan mengenai teologi pembebasan tersebut melalui turunan pemikirannya yang disarikan dalam sebuah paradigma dan visi yang mencerminkan hidupnya pemikiran Esack, berikut penjelasannya: Paradigma Eksodus, Aplikasi Teologi Pembebasan “Dan kami hendak memberi karunia kepada mereka yang tertindas di bumi, dan akan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin, dan Kami jadikan mereka para ahli waris, hendak Kami kukuhkan mereka di bumi; Dan hendak Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman, serta pasukannya, (peristiwa mana) yang mereka khawatirkan”140 139 140
Farid Esack, ibid, hlm. 120. Lihat QS. Al-Qashas [28]: 5 & 6.
174
Dalam sebuah tulisan Esack yang berjudul “The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa”141 dijelaskan bagaimana ia mengawali pemikirannya dengan memberi sentuhan pemahaman tentang Paradigma Eksodus sebagai paradigma penting bagi para Islamis yang mencari landasan dan legitimasi dari al-Qur’an untuk melawan Apartheid. Di sini Esack menurunkan paradigma Eksodusnya142 menjadi 3 visi penting—sekaligus paradigma ini menjadi turunan—bagi aplikasi teologi pembebasan di Afrika selatan: a. Sebuah visi masa depan yang didasarkan atas pemenuhan janji Allah kepada kaum Mustad’afun (kaum yang termarjinalisasi dan tertindas). b. Legitimasi bagi prinsip-prinsip dan strategi politik di dalam perjuangan untuk pembebasan. c. Persinggahan di daerah liar serta tantangan bagi masyarakat pasca apartheid. Kedua tema pertama diterima dan mendapatkan tingkat popularitas tinggi dalam visi penentangan apartheid. Sementara tema ketiga, dalam pembahasan tersendiri, meski keterhubungannya saling terkait. Di muka, penulis sisipkan landasan normatif (QS. Al-Qashas [28]: 5 & 6) teologi pembebasan yang kemudian menjadi “bibit unggul” bagi 141
Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, loc.cit. hlm. 130-146. 142 Paradigma Eksodus ini berangkat dari landasan dalam al-Qur’an, yaitu surat Qashas (arti harfiah: kisah-kisah). Tema dalam surat itu sebaian besar adalah bertema Eksodus. Paradigma ini dianggap sebagai skema dasar pemikiran teologi Islam reinterpretatif di Afsel—meski Esack ragu, apakah ada paradigma yang bisa dianggap demikian?—tetapi ia merupakan contoh penting dari teologisasi yang membebaskan. Lihat dalam Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, ibid, hlm. 135
175
cikal-bakal gerakan pembebasan Afsel, termasuk munculnya ‘paradigma Eksodus’ tersebut. Setidaknya ada tiga elemen pokok yang menghasilkan konsep pembebasan baru dari hermeneutika al-Qur’an, melekat dalam ayat tersebut:143 a. Allah
dengan
sengaja
berpihak kepada kaum tertindas
dan
termarginalisasi. b. Pembebasan selalu didasarkan atas penghapusan penindasan dan terkadang atas penghancuran penindas. c. Visi pembebasan diberikan kepada mereka yang tertindas dan tidak harus kepada mereka yang beriman atau hidup dalam kebajikan. Pembuktian dari masing-masing konsep di atas terasa nyata ketika perjuangan melawan apartheid mulai memanas di tahun 80-an. Berikut aplikasi masing-masing konsepnya:144 a. Keberpihakan Allah terhadap kaum yang tertindas. Esack menuliskan, dalam sebuah buku petunjuk untuk aktifis seruan berjudul “the struggle” menjelaskan keberpihakan allah terhadap kaum yang tertindas sebagai berikut: “Realitas di mana kita hidup dicirikan oleh penindasan, kemiskinan, eksploitasi bumi dan manusia, perjuangan di antara kelas, dan oleh ketiadaan komitmen jenis apapun kepada Allah sebagai Sang Pemelihara. Lebih dari dua pertiga umat manusia sengsara karena mereka berada di dasar sistem, tempat kaum tak berdaya. Kita mesti menemukan sebuah pemahaman tentang Islam yang berhubungan dengan realitas ini”.
143
Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, ibid, hlm. 136-137 144 Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, ibid, hlm. 136.
176
Di
sini
kita
mengamati
tiang
fondasi
Hermeneutika
Pembebasan sedang diperkenalkan. Perbedaan pemahaman tentang Islam diakui dan sebuah pilihan yang sadar dibuat untuk menerima pemahaman tertentu dan menolak pemahaman yang lain. Kita, menurut Esack, di tuntut memilih: memilih sistem nilai yang berlaku dengan mengabaikan Allah, kaum miskin serta tertindas, atau memilih mereka (kaum tertindas, pen) dan mencari jalan serta alat untuk menerobos dan pergi melampaui sistem yang berlaku… Allah sendiri, menurut Esack, memilih yang terakhir.145 Teks seruan ini kemudian mengutip QS. Al-Qashas [28]: 5 & 6 yang disebutkan di atas. Teks
tersebut
kemudian
mengutip
kembali:
“terdapat
beberapa… yang mengatakan bahwa penindasan berada dalam taqdir (takdir) kita… apabila penindasan berada dalam takdir kita maka pembebasan juga merupakan takdir kita. Apabila Fir’aun berada dalam takdir Musa, maka Musa juga berada dalam takdir Fir’aun…” b. Ayat-ayat ini mendasarkan pembebasan pada penghancuran kaum penindas dan menyokong tujuan ganda perjuangan afrika selatan; mengakhiri apartheid dan penciptaan sebuah masyarakat bebas. Kepada banyak orang yang menginginkan kebebasan tetapi tanpa banyak pengorbanan, ayat-ayat ini berperan sebagai pengingat bahwa penghancuran penindasan adalah prasyarat dari restrukturisasi masyarakat. 145
Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, ibid, hlm. 136
177
c. Visi kebebasan diberikan kepada mereka yang tertindas dan tidak harus kepada mereka yang beriman atau ‘hidup dalam kebajikan’. Surat al-Qashas, kata Seruan, menjelaskan hubungan dengan kaum tertindas yang bukan Islam atau tidak hidup dalam kebajikan. Dalam terbitan Seruan yang lain, Esack menguraikan keharusan akan kebebasan ini, terlepas dari apa keyakinannya: Penindasan adalah kejahatan dalam dirinya dan pembebasan adalah kebajikan dalam dirinya—terlepas dari bagaimana kaum tertindas memperlakukan pembebasan. Nabi Musa AS membaskan rakyatnya dari penindasan Fir’aun… terlepas dari kenyataan bahwa mereka jelas tidak siap untuk kebebasan mereka. Pembebasan, tulis Esack, bukan merupakan balasan untuk perilaku baik, atau ’Es Krim’ yang diberikan orang tua pada anak nakalnya apabila dan ketika orang tuanya yakin bahwa anak itu tidak akan mengotori dirinya dengan es krim tersebut. Identifikasi Allah dengan kaum tertindas ini—yang tidak harus Muslim—berisikan bibit untuk sebuah teologi agama-agama, yang menerima keabsahan dari keyakinan (non-Islam ) kaum tertindas. Teologi yang seperti itu akan muncul dari sebuah teologi pembebasan. Barangkali inilah yang 146
146
Barangkali inilah logika yang sering di gemborkan oleh Marx bahwa perubahan terjadi ketika ada revolusi proletariat menggusur kaum borjuis. Sama halnya dengan Hassan Solomon, yang pada saat itu merupakan tokoh terkemuka di Seruan, menyinggung hal ini. ‘persatuan kaum tertindas’, katanya, ‘adalah hal yang paling pokok. Semua utusan Allah berada dalam satu persaudaraan. Pesan mereka adalah satu dan ajaran mereka adalah satu. Lihat kutipan ini dalam
178
Dari
paparan
di
atas,
kunci
hermeneutika
pembebasan
dimunculkan dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan dari alQur’an. Dalam merefleksikan kunci-kunci hermeneutika yang muncul dari pergulatan realitas (Afrika Selatan) dengan pembebasan dan al-Qur’an, Esack ingin memperlihatkan bagaimana hermeneutika pembebasan alQur’an ini bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks, dan refleksi tentang dampaknya satu sama lain. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci: taqwa, tauhid, alnas, al-mustad’afun, ‘adl dan qist, serta jihad.147 a. Taqwa: Melindungi Sang Penafsir dari Dirinya Sendiri Dalam pengertian al-Qur’an, kata taqwa148 bisa didefinisikan sebagai “memperhatikan suara nurani sendiri dalam kesadaran bahwa dia bergantung pada Tuhan”. Maka, diantara seluruh istilah etika yang digunakan al-Qur’an, terma yang paling banyak dipakai karena paling inklusif diantara semuanya adalah kata taqwa.149 Maknanya, yang amat
Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, ibid, hlm. 138 147 Farid Esack, ibid, hlm. 124. 148 Kata Taqwa berasal dari akar kata w-q-y yang secara harfiah berarti mencegah, menjaga diri, memperhatikan dan melindungi. Esack juga mengutip al-Zamakhsyari, seorang penafsir yang kerap memberikan makna istilah pra-al-Qur’an, bahwa kata waqin dipakai dalam kehidupan pra Islam bagi seekor kuda yang dipotong kukunya agar terhindar dari terluka akibat jalan yang berbatu dan tidak rata. Akar kata w-q-y kemudian dipakai dalam makna melindungi sesuatu atau seseorang dari apa yang bisa melukainya. Jafri juga memperlihatkan bagaimana istilah ini dalam kehidupan pra-Islam bebas dari konotasi agama, moral, etis dan bagaimana alQur’an mengubahnya menjadi “keagungan moral paling komprehensif…kualitas etis dalam kehidupan manusia”, dikutip dari Jafri, 1980, hlm. 117. lihat dalam Farid Esack, ibid, hlm. 151. 149 Al-Qur’an mengaitkan takwa dengan iman kepada Tuhan (QS. Yunus [10]: 63; alNaml [27]: 53; Fushilat [41]: 18) dan menunjuk pencapaiannya sebagai salah satu tujuan ibadahnya kepada-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 21). Orang-orang yang menghendaki keuntungan sesaat di dunia kerap dikontraskan dengan orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Nisa’ [4]: 77; alAn’am [6]: 32; Yusuf [12]: 57). Yang signifikan di sini adalah cara al-Qur’an mengaitkan takwa
179
komprehensif dan aplikatif meliputi tanggung jawab kepada Tuhan dan manusia terasa dari ayat berikut:
⌧
Artinya: Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan/menderma pada yang lain dan bertakwa, Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (kebaikan tertinggi), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah; Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup150, serta mendustakan kebaikan tertinggi, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (QS. Al-Lail [92]: 4-10)
⌧
Artinya: Hai manusia! Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. AlHujarat [49]: 13).
dengna interaksi social dan perhatian pada sesama yang lainnya, seperti saling berbagi (QS. AlLail [92]: 5; al-A’raf [7]: 152-153), menepati janji (QS. Ali ‘Imran [3]: 76; al-A’raf [7]: 52) dan khususnya amal baik (QS. Ali ‘Imran [3]: 172; al-Nisa’ [4]: 126; al-Maidah [5]:93; al-Nahl [16]: 127) 150 Yang dimaksud dengan merasa dirinya cukup ialah tidak memerlukan lagi pertolongan Allah dan tidak bertakwa kepada-Nya
180
Dengan taqwa, individu dan komunitas memikul tugas kenabian dalam transformasi dan pembebasan, perhatikan ayat berikut:
☺ ☺ ☺ ⌧ ☺ ☯
⌧ ⌧ ⌧ ⌧
☺ ☺ ⌧ ⌧
⌧
⌧
181
⌧ ☺ ☺ ☺ Artinya:102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam . 103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orangorang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. 104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar151; merekalah orang-orang yang beruntung. 105. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, 125. Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. (QS. Ali ‘Imran [3]: 102-105, 125)
Kemudian juga ayat berikut:
⌧ Artinya: 29. Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan152. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Anfal [8]: 29)
151
Secara sederhana Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. 152 Artinya: petunjuk yang dapat membedakan antara yang Haq dan yang batil, dapat juga diartikan disini sebagai pertolongan.
182
Menerima takwa sebagai kunci hermeneutika (terutama dalam konteks perjuangan Afrika Selatan) memiliki implikasi dan dampak signifikan bagi penafsir:153 1 Penafsiran harus terbebas dari prasangka (dzann) dan nafsu (hawa). Hermeneutika pembebasan al-Qur’an, dengan takwa sebagai kunci, memastikan interpretasi bebas dari obscurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulasi subjektif; 2 Takwa memfasilitasi keseimbangan estetik dan spiritual dalam kehidupan penafsir; hermeneutika pembebasan ditempa di tengahtengah perjuangan sosio-politik sebuah pergulatan yang kerap mesti membatasi perspektifnya pada kepentingan politik yang mendesak. Dengan hal ini, menuntut si penafsir untuk terus berintrospeksi. 3 Takwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosio-politik. Keterlibatan al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir dalam revolusi tersebut. 4 Takwa membawa penafsir masuk ke dalam proses dialektika personal dan transformasi sosiopolitik. Bimbingan atau arahan yang ditawarkan al-Qur’an adalah sebuah bimbingan aktif bagi mereka yang bukan hanya bergelut sebagai pemikir atau pengamat “objektif”, melainkan yang telah melangkah jauh untuk terjun total
153
Zakiyuddin Baidhawy, op.cit., hlm. 205
183
dalam praksis pembebasan, yakni menyerahkan sepenuh jiwa dan raganya dalam pergulatan revolusioner. Pada gilirannya, ini menuntut keseimbangan antara partisipasi aktif dalam masyarakat dengan transformasi–diri. Seperti yang dituliskankan dalam dokumen The Call Of Islam : “perubahan menurut al-Qur’an adalah sebuah prose dialektik serempak antara perubahan jiwa dan struktur (sosioekonomi). Dalam konteks Afrika Selatan, takwa menjadi nilai penting untuk tetap membawa diri (personal) maupun kelompok tetap berada dalam lingkar karunia Tuhan, yakni tetap mempunyai spirit perjuangan dengan petunjuk dari Tuhan. Pasalnya, dalam perjuangan menentang apartheid, beberapa individu (aktivis) yang dianggap sebagai figur terbaik acapkali dihinggapi motivasi kebenciannya pada penderitaan akibat Apartheid. Pada kelanjutannya, mereka berubah menjadi entitas politik Machiavellian yang dingin dan penuh perhitungan, melanggar demokrasi dan kesusilaan.154 Disinilah urgensi takwa yang dibawa Esack, agar tetap menjadi panglima bagi seorang penafsir dalam menentukan arah jiwanya sehingga terbebas dari manipulasi dan kepentingan politik pribadi maupun ideology sempit dalam proses menafsirkan, yang pada proses selanjutnya, penafsir akan mendapatkan apa yang disebut sebagai petunjuk Tuhan (pengetahuan), seperti yang disuarakan dalam QS. Al-
154
Farid Esack, op.cit, hlm. 127-128.
184
‘Ankabut [29]: 69) yang artinya: “dan bagi siapa pun yang bertakwa di jalan-Nya, maka Dia akan menunjukkan jalan”. b. Tauhid: Kesatuan Tuhan untuk Kesatuan Manusia Tauhid berarti “sendiri”, “satu”, “yang menyatu”.155 Unsur ini sebagai fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam . Ia adalah jantuh pandangan dunia sosio-politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi iran 1979. Adalah Ali Syari’ati, cendekiawan muslim yang menyatakan: “Dalam Islam Tauhid adalah pandangan dunia yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukkan uang dan penyembahan harta. Ia bertujuan menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi… ketika jiwa tauhid bangkit kembali dan peran historisnya disadari oleh seseorang, jiwa itu akan memulai kembali misinya (yang belum berakhir) demi kesadaran keadilan, kemerdekaan manusia, pembangunan dan pertumbuhan” (dikutip dalam irfani, hh. 36-37).156 Memandang tauhid sebagai prinsip hermeneutika berarti bahwa berbagai pendekatan al-Qur’an—baik filosofis, spiritual, hukum maupun politik—mesti dilihat sebagai komponen dari satu jalinan. Semuanya diperlukan untuk mengungkapkan keutuhan peasnpesannya, karena tak ada satu pendekatan pun yang secara tunggal bisa
155
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Jakarta: P3M kerja sama dengan Ford Foundation, 2004, hlm 36- 37. lihat juga Farid Esack, ibid, hlm. 128 156 Zakiyuddin Baidhawy, op.cit., hlm. 206
185
mewujudkan hakikat tauhid sepenuhnya. Dalam konteks inilah tauhid adalah sumber ideology dan kerangka rujukan suci. Berikut ini watak dan visi masyarakat tauhidi serta implikasinya dalam konteks (perjuangan) Afrika Selatan (di samping sebagai dogma teologis):157 1. Pada level eksistensial, ia berarti penolakan atas dualisme konsep tentang eksistensi manusia di mana perbedaan dibuat antara sekuler dan spiritual, suci dan profan. 2. Pada
level
sosio-politik,
ia
menentang
masyarakat
yang
menjadikan ras sebgai objek alternatif bagi pemujaan dan membedakan penduduk atas dasar etnisitas. Pembedaan semacam ini adalah syirk, antitesis Tauhid. Dari dua penerapan visi di atas, menjelaskan gambaran apartheid dalam perjuangan Afrika Selatan sebagai ‘sosok’ yang dalam praktik sosialnya menolak kesatuan (tauhid) umat manusia yang merupakan refleksi tauhid, memilah-milah orang secara etnis. Watak pemecahbelah inilah yang kita namakan sebagai syirk, yang sangat berlawanan dengan tawaran Esack yang memandang tauhid
sebagai
‘holisme
keilahian’
dengan
segala
implikasi
sosioekonominya. Apalagi dalam ayat al-Qur’an “fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS. Al-Rum [30]: 30) yang diartikan sebagai perintah untuk mewujudkan masyarakat nonrasialis dan unitarian, melawan pemisahan rasial apartheid.
157
Zakiyuddin Baidhawy, ibid., hlm. 206, lihat juga Farid Esack, op.cit , hlm. 129-130
186
c. Al-Nas (manusia) Manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi bagi masyarakat Afrika Selatan mempunyai dua implikasi hermeneutika: 1. Menjadi penting bahwa al-Qur’an diinterpretasi dengan cara yang memberikan dukungan khusus bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan atau yang menyokong mayoritas (tertindas) diantara mereka, bukannya minoritas (penindas). 2. Penafsiran mesti dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi manusia sebagai bentuk yang kontras dengan aspirasi minoritas yang diistimewakan itu (para penguasa/penindas). Pernyataan bahwa manusia sebagai kunci hermeneutika di atas, juga mempunyai dua implikasi problem teologis:158 1. Terkait dengan nilai manusia sebagai ukuran kebenaran. Jika pemahaman dan peran manusia seperti ini, maka artinya bahwa kepentingan Tuhan akan identik dengan kepentingan manusia. Ini adalah cara untuk mengangkat humanum, yakni suaru kebenaran yang identik dnegna kebenaran Tuhan, vox populi vox dei. Dengan begitu, orang bisa mengatakan bahwa apabila humanum menjadi kriteria kebenaran, yang dimaksud bukanlah humanum otonom sebagai kriteria absolut, melainkan humanum yang berasal dari tauhid.
158
Farid Esack, ibid., hlm. 135-136
187
2. Masalah autentisitas, yakni masalah legitimasi yang dihadapi oleh orang-orang yang percaya pada kesucian teks. Di sinilah setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memasuki teks suci. Ide hermeneutika menentang konsep tradisional tentang kesucian teks yang hanya dapat disentuh oleh individu tertentu. Ketika siapapun boleh ‘bersetubuh’ dengan teks untuk melakukan kerja-kerja hermeneutik, maka ada satu akibat yang didera sekelompok orang yang telah mempunyai legitimasi terlebih dahulu secara tradisional. Lantas siapa yang menjamin bahwa teks yang suci tak akan ditafsirkan secara sebebasnya, ketika semua teks ditelanjangi sepenuhnya
dari
legitimasi
keagamaannya?
Esack
telah
menunjukkan signifikansi manusia beserta kepentingan dan pegalaman mereka sebagai factor yang membentuk hermeneutika al-Qur’an. Pilihan al-Qur’an jatuh pada kaum tertindas, yang kemudian memberikan mereka pilihan bebas dan sadar untuk menentang netralitas dan objektifitas di satu sisi, penguasa dan penindas di sisi lain. d. Mustadh’af Kata mustadh’af menunjuk pada orang yang tertindas, yang dianggap lemah dan tidak berarti, serta yang diperlakukan secara arogan.159 Mustadh’afun berarti mereka yang berada dalam status sosial “inferior”, yang rentan, tersisih atau tertindas secara
159
Very Verdiansyah, op.cit., hlm. 38
188
sosioekonomis. Perbedaan utamanya dengan Mustadh’afun ialah bahwa ada suatu pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi mereka. Seseorang hanya menjadi mustadh’af apabila itu diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak yang berkuasa dan arogan. Perlunya penafsir menempatkan diri di antara yang tertindas maupun di dalam perjuangan mereka, serta menafsirkan teks dari bawah permukaan sejarah, dilandasi gagasan tentang keutamaan posisi kaum tertindas ini dalam pandangan ilahi dan kenabian. Penafsir yang terlibat mendekati teks lewat keputusan sadar untuk menemukan makna, yang memberikan tanggapan secara kreatif pada penderitaan Mustadh’afun dan berpegang teguh pada pembebasan dan keadilan. 160 Komitmen pada kemanusiaan dan solidaritas aktif dengan mustadh’afun muncul ketika membaca ulang realitas sosial maupun teks lewat perspektif mereka. Pembacaan ulang ini dan keterlibatan dalam analisis sosioekonomi dari titik berangkat itulah yang membentuk pencarian hermeneutika pluralisme al-Qur’an bagi pembebasan. Tujuan usaha ini adalah kontribusi efektif al-Qur’an bagi perjuangan demi keadilan penduduk negeri, suatu perjuangan yang sebagian besar partisipannya adalah penganut agama lain, karena mereka adalah mayoritas mustadh’afun. Artinya, dengan ‘kacamata’ mustadh’afun, tafsir menuju pembebasan akan terbentuk.
160
Farid Esack, op.cit., hlm. 141
189
e. Qisth dan ‘Adl (keadilan)161 Konsep al-Qur’an tentang keadilan bisa dikatakan mencakup seluruh dimensi sosioekonomi, namun, sebagaimana yang jelas terlihat dari teks al-Qur’an yang dikutip, istilah qisth yang dipakainya memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Akibatnya, istilah-istilah seperti ‘adl dan qisth serta antonimnya zhulm dan ‘udhwan (kejahatan/penindasan dan pelanggaran), digunakan terutama untuk merujuk kepada keadilan atua ketidakadilan politik dalam konteks dominasi rasial. Dalam situasi ketidakadilan, al-Qur’an terdorong untuk menjadi alat ideologis bagi pemberontakan yang komprehensif menentang penindasan dalam segala wujudnya.162 Ini memunculkan implikasi: pertama, orang tak bisa mengambil pendekatan objektif terhadap al-Qur’an ketika dirinya dilingkupi oleh penindasan, yang dilembagakan atau tidak, tanpa mencari cara agar al-Qur’an bisa dipakai untuk menentangnya. Netralitas atau objektivitas dalam konteks
semacam
itu,
sebenarnya,
adalha
dosa
yang
akan
mengeluarkan seseorang dari kelompok orang-orang yang bertakwa. Kedua,
pendekatan
terhadap
al-Qur’an
sebagai
alat
bagi
161 al-Qur’an menggunakan dua istilah untuk menunjuk keadilan: qisth dan ‘adl. Qisth berarti “kesamaan”, “keadilan”, “memberi pada seseorang yang menjadi bagiannya”, dan bentuk kata benda Muqsith menjadi salah satu nama Tuhan. Sementara ‘adl berarti “berlaku sama, adil, atau tepat”. Umat Islam dituntut untuk menegakkan keadilan sebagai basis kehidupan soiopolitik. Al-Qur’an sering menyatakan secara spesifik wilayah social yang mungkin diselewungkan, seperti soal harta anak-anak yatim dan anak yang diadopsi. Al-Qur’an mempostulatkan ide bahwa keadilan adalah basis penciptaan alam. Keteraturan semesta, menurut al-Qur’an, dilandasi keadilan, dan penyimpangan terhadapnya disebut kekacauan (fitnah). Lihat Farid Esack, ibid., hlm. 142 162 Very Verdiansyah, op.cit., hlm. 40
190
pemberontakan mensyaratkan adanya komitmen teologis dan ideologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika di atas. f. Jihad Jihad secara harfiah berarti “berjuang”, “mendesak seseorang” atatu “mengeluarkan energi atau harta”.163 Esack menerjemahkan jihd sebagai “perjuangan dan praksis”. Praksis bisa didefinisikan sebagai “tindakan dasar yang diambil suatu komunitas manusia yang bertanggung jawab atas tekad politiknya sendiri berdasar kesadaran bahwa
manusialah
yang
membentuk
sejarah”.
Mengingat
kekomprehensifan penggunaan istilah ini dalam al-Qur’an dan bahwa jihad ditujukan untuk mengubah diri maupun masyarakat, bisa dikatakan bahwa jihad merupakan perjuangan sekaligus praksis. Namun perlu diingat, bahwa dalam konteks perjuangan menggusur ketidakadilan di Afrika Selatan, jihad mempunyai tujuan untuk menghancurkan ketidakadilan yang satu dengan yang lainnya, atau mengganti kelompok dominan yang satu dengan lainnya. Jihad dengan begitu adalah perjuangan keadilan yang tanpa henti, efektif, super sadar, dan senantiasa berlanjut”. Praksis sebagai sumber pengetahuan telah diakui oleh para pemikir Islam secara luas, dan al-Qur’an sendiri begitu eksplisit dalam
163
Dalam al-Qur’an, istilah ini kerap kali diikuti dengan kalimat ”melalui jalan Tuhan” dan “dengan hart dan dirimu”. Di samping arti populernya sebagai perjuangna atau perang suci bersenjata, jihad memiliki makna lebih luas yang mencakup perjuangan untuk mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum
191
pandangannya bahwa teori didasarkan praksis. Allah berfirman dalam QS. Al-‘Ankabut [29]:69:
☺ ☺ Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan kami” (QS. Al-‘Ankabut [29]:69) Al-Qur’an memberi penekanan besar pada ortopraksis dan menegaskan bahwa jihad dan kebaikan adalah juga jalan menuju pemahaman dan pengetahuan. Al-Qur’an memberi penekanan besar pada ortopraksis dan menegaskan bahwa jihad dan kebaikan adalah juga
jalan
menuju
pemahaman
dan
pengetahuan.
Al-Qur’an
menetapkan jihad sebagai jalan untuk menegakkan keadilan, dan praksis sebagai jalan untuk menegakkan keadilan, dan praksis sebagai jalan untuk memperoleh dan memahami kebenaran. Jihad, sebagai kunci hermeneutika, mengasumsikan bahwa hidup manusia pada dasarnya bersifat praksis; teologi akan mengikuti. Tentang kehadiran Tuhan dalam proses transformasi, ayat yang mengungkapkan bahwa “Tuhan tidak akan mengubah keadaan manusia, sampai ia sendiri mengubahnya”, sering dikutip untuk menegaskan bahwa sejarah dan masyarakat adalah wilayah tempat berlangsungnya transformasi bagi manusia.164
164
Farid Esack, op.cit., hlm. 146
192
Dari penjelasan di atas, tampak ada kaitan antara jalan Tuhan mengidentikan diri dengan kemanusiaan (al-nas); hubungan antara jalan Tuhan dan jalan kemanusiaan: pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marginal dan pentingnya menegakkan keadilan (‘adl dan qisth) atas dasar Tauhid dan Taqwa melalui Jihad. Mengupayakan hermeneutika al-Qur’an di dalam situasi ketidakadilan berarti menjalani teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas dengan kaum tertindas dan tersisih dalam perjuangan pembebasan. Hal di atas menunjukkan hermeneutika al-Qur’an yang berbeda dengan teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek:165 1. Perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir; penafsir menentang pendekatan yang lebih “relijius” atau “akademik” terhadap teologi. Artinya Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal; dan teologi modern yang berada dalam dunia sekuler. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marginal; 2. Teologi pembebasan hidup dalam dunia “kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik”; yang berarti bahwa teologi adalah meminjam istilah Guiterrez, senantiasa “tindakan [sadar] kedua”
165
Farid Esack, ibid., hlm. 149-150. lihat juga Zakiyuddin Baidhawy, op.cit., hlm. 209
193
3. Kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.
C. KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID ESACK DALAM PEMBACAAN KEMBALI (REINTERPRETASI) KONSEP DZIMMI. Menurut Dr. Alwi Shihab dalam bukunya, “Islam Inklusif menuju sikap Terbuka dalam Beragama”, menyindir para pakar tafsir dan intelektual muslim baik klasik sampai kontemporer bahwa pembahasan para pakar tafsir mengenai nasib umat non-muslim, termasuk ahli kitab dan ahl al-dzimmah (dzimmi), tidaklah (belum) tuntas. Selanjutnya dikatakan, walaupun sebagian pakar tafsir modern seperti memberikan peluang dan harapan akan adanya kemungkinan jaminan Allah kepada kelompok minoritas ini yang memenuhi syarat-syarat tertentu, namun perlu dicatat bahwa pendapat tafsir klasik dalam persoalan itu masih menggema dan mempengaruhi sebagian penafsir modern166 Maka dari itu, dengan asumsi dasar bahwa persoalan ini belum dikaji secara tuntas oleh pada pakar tafsir, maka tulisan ini mencoba mengungkap sumbangan Esack terhadap upaya penafsiran kembali (reinterpretasi) tentang ahli kitab, termasuk sub bahasan yang menjadi fokus kajian karya tulis ini adalah tentang status ahl al-dzimmah (dzimmi) dan pada akhirnya nanti 166
Alwi Shihab, Islam Mizan, 1997, hlm. 80.
Inklusif menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung:
194
bagaimana sumbangan pemikiran Esack tentang hermeneutika pembebasan dalam membaca konsep dzimmi dan implikasi terhadap pembaruan Hukum Islam . Mengawali kupasan Esack membahas dzimmi, ia mengawali dengan start untuk melihat bagaimana konsep “diri sendiri dan orang lain: iman, Islam dan kufr“. a. Mendefinisikan Diri Sendiri dan Orang Lain: Iman, Islam dan Kufr Masalah definisi ‘kawan dan lawan’ tampaknya ada di dalam setiap agama, dan biasanya ditentukan secara etis dalam kitab suci. Dalam al-Qur’an, istilah ‘kawan dan lawan’ yang sering di sebut-sebut adalah iman dan kufr (yang diterjemahkan sebagai ‘percaya’ dan ‘tidak percaya’)167 Dalam dimensi teologi Islam , konsep iman, Islam dan kufr telah mengalami pembakuan istilah. Dengan kata lain, istilah-istilah tersebut tak lagi dipandang sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu; kualitas yang dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap dalam hidup individu itu. Istilah tersebut dalam literatur tafsir menunjukkan bahwa hubungan antara pemaknaan awal dengan penggunaannya saat ini telah agak melenceng atau berselisih, sehingga dalam bahasa Fazlur Rahman (tokoh yang menjadi referensi Esack), jauh dari idea moralnya. Untuk itu, keberangkatan Esack mendefinisikan kembali istilahistilah di atas adalah keyakinan bahwa al-Qur’an memperhatikan, dan
167
Farid Esack, op.cit., hlm. 155.
195
menampilkan Tuhan sebagai “yang memperhatikan apa yang dilakukan manusia dan manusia yang melakukan hal itu, bukan suatu entitas abstrak semata (yang dinamakan iman)” (Cantwell-Smith 1991, h. 111).168 Dengan begitu, muslim sebagai kategori teologis ini tidak semata-mata merujuk pada kebetulan biologis dan genealogi untuk dilahirkan sebagai keluarga muslim, atau juga sebaliknya, kafir, tak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga muslim. Esack akan memperbarui wacana tersebut agar terbangun kategorikategori yang lebih inklusif. Esack dalam hal ini sering merujuk pada karya beberapa penafsir terpilih yang mewakili arus besar tafsir dan teologi Islam . Didalamnya tercakup pemikir tradisional (Ibn Jarir alThabari, w. 923); pemikir skolastik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah (Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, w. 1144, dan Fakhr al-Din al-Razi, w. 1209); wakil dari trdisi esoteris (muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, w. 1240); serta beberap apenfsir kontemporer, baik dari sunni (Rasyid Ridha, w. 1935) maupun Syi’ah (Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, w. 1981).169 Namun sebelumnya, persoalan mendefinisikan ‘yang lain’, Esack pernah menulis sebuah esai yang mengkhususkan diri pada kepercayaan agama didasarkan pada bentuk ‘perkawinan’/ikatan (engagement) antara muslim dan non-Muslim. Esack mengurai ‘The Other’ sebagai:170 1). The Other as Enemy; 2). The Other as Potential Self (potensi diri); 3). The Other as Unavoidable Neighbor (tetangga/kawan tak terlekkan); 4). The 168
Farid Esack, op.cit., hlm. 157. Farid Esack, ibid., hlm. 157. 170 Lihat dalam Farid Esack, Muslims Engaging the Other and The Humanum, op.cit 169
196
Other as Self & Intellectual / Theological Sparring Partner; 5). The Other as Self & Spiritual Partner; dan, 6). The Other as Self & Comrade 1. Meninjau Kembali Konsep Iman171 Dalam ayat berikut bisa mewakili bagaimana al-Qur’an menggunakan kata iman dan bentuk kata bendanya, mu’minun:
☺
☺
☺ ☺ ☺ ☺
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman172 ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah (semakin kuat) iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (menyerahkan diri). (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. (Q.S. al-Anfal [8]: 2-4).173 171 Dalam tulisannya Esack menyindir umat Islam yang hanya memahami ‘iman’ dengan tidak memahami sebenar-benarnya iman, mereka hanya mengatakan atau mengklaim (secara lisan) percaya; “Whenever the Qur'an uses the word iman with reference to the hypocrites, it does so with the word q-w-l or variants thereof, meaning that they only say or claim that they believe (2:8,14,86; 3:119; 5:41,61), lihat dalam Farid Esack, The Qur'an & the Other, dalam www.homapagefaridesack.com 172 Maksudnya: orang yang Sempurna imannya 173 Ayat ini adalah yang paling eksplisit dalm mendefinisikan kata mu’min. Meski mu’min di sini secara luas dimaknai sebagai “mu’min yang utuh”, ide tentang keutuhan atau ketidakutuhan iman itu sendiri menunjuukkan dinamisme konsep, dinamisme yang lebih jauh menggarisbawahi
197
Merujuk pada penggunaannya dalam al-Qur’an dan dimensi teologi Islam , kata Iman adalah bentuk kata benda verbal keempat dari akar kata a-m-n. Akar kata ini merujuk pada pengertian “aman”, “mempercayakan”, “berpaling kepada”, yang dari situ diperoleh makna “keyakinan yang baik”, “ketulusan”, ketaatan” atau “kesetiaan”. Bentuk keempat (amanah) punya makna ganda, yaitu ”percaya” dan “menyerahkan keyakinan”. Makna primernya adalah “menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh dalam hati; bukan hanya di lidah” (dikutip dari Lane 1980, 1, h. 7).174 Dalam bentuk keempatnya (amanah), kata kerja ini biasanya diikuti oleh partikel bi yang berarti “memiliki kepercayaan pada”, “mengakui”,
“mempercayai”.
Pemahaman
selanjutnya
adalah
penerapan pada pemahaman rukun iman yang sering kita kenal. Nah, Objek dari “mempercayai” dan “mengakui” ini bisa jadi:175
adanya iman yang diperkuat atau dipertinggi. Teks (QS. Al-Anfal: 2-4) ini juga merefleksikan hubungan antara iman dengan amal saleh. Terakhir, teks ini secara ringkas menyebutkan berbagai tuntutan iman yang diuraikan secara lebih terperinci di tempat-tempat lain di dalam al-Qur’an. Merujuk Asbabun Nuzulnya, menurut Esack, Teks ini muncul di awal surat Madaniyah dengan nama “Perampasan Perang” (QS. Al-Anfal), yang sebagian berkisah tentang kejadian perang badar (623) dan perjanjin suci. Karena muncul di awal surat, teks ini sering dipandang sebagai peringatan kepada beberapa sahabat nabi Muhammad yang bersikap berlebihan terhadap hasil rampasan perang. Hlm ini menumbulkan persoalan pembagian harta. Setelah diberi tahu bahwa harta itu adalah milik umat secara bersama, dan keinginan mereka atas harta itu semestinya merusak ikatan sosial mereka, pra sahabat kemudian diingatkan pada watak iman—iman yang bisa ternodai oleh keserakahan mereka (bisa dibuktikan dari konteks ayat ini bahwa iman dikontraskan dengan keserakahan pada harta). Lihat Farid Esack, op.cit., hlm. 159 dan 188-189 174 Farid Esack, ibid., hlm. 159 175 Farid Esack, ibid., hlm. 159
198
1. Kepada Tuhan (QS. al-Baqarah [2]: 177) dan (QS. al-Nisa’ [4]: 38) 2. Kepada Kitab atau wahyu Allah (QS. al-Baqarah [2]: 4, 177) dan (QS. an-Nisa’ [4]: 136) 3. Kepada Nabi Muhammad atau para nabi secara umum (QS. alBaqarah [2]: 177) 4. Dan secara khusus iman pada hari akhir (kiamat) (QS. alBaqarah [2]: 4) dan (QS. an-Nisa’ [4]: 38) kemudian (QS. alAn’am [6]: 93) 5. Terkadang kata kerja ini juga dalam bentuk keempatnya tanpa objek atau preposisi (QS. ali ‘Imran [3]: 110) dan (QS. al-An’am [6]: 93) Dengan melihat konteks ayat di atas, dapat diasumsikan bahwa objeknya (keimanan kepada Tuhan, Nabi, Kitab/wahyu, hari akhir dst) dipahami. Penggunaannya dalam bentuk itu menghubungkan makna ‘keamanan dan kepercayaan’ dengan ide implisit bahwa siapapun yang beriman akan memperoleh kedamaian dan perasaan aman. Menurut Fazlur Rahman, dapat dikatakan bahwa, menurut al-Qur’an, iman adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dan firma-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman, dan benteng terhadap cobaan”. (Rahman 1983, h. 171).176
176
Farid Esack, ibid., hlm. 160
199
Nah, jika kita cermati lebih lanjut, terdapat tiga tema yang saling terkait dari QS. Al-Anfal [8]: 2-4 yang telah tertulis di muka yakni: watak dinamis iman, kesalingterkaitan iman dan amal shaleh, serta iman sebagai respon personal kepada Tuhan. Sejatinya, masih banyak lagi pemahaman tentang iman dalam teologi Islam . Dalam ayat di atas (QS. Al-Anfal 2-4), misalnya, kebanyakan penafsir berpendapat bahwa dalam kalimat “semakin kuatlah iman mereka”, yang semakin menguat adalah aspek penegasan dan kepuasan hati, bukan iman itu sendiri. Al-Thabari dalam kutipan Esack mengatakan: “ditambahkanlah pengakuan lebih banyak lagi pada pengakuan mereka saat itu” (1954, 9, h. 179), sementara al-Zamakhsyari mengatakan bahwa yang bertambah adalah “keyakinan dan kepuasan hati”.177 Kemudian berbeda lagi dengan al-Razi (1990, 15, h. 124) yang lebih terperinci lagi persoalan tafsir atas ayat ini, yakni ada tiga penjelasan untuk menafsirkan bahwa yang bertambah itu adalah kepastian, ketegasan, dan kesadaran (bukan iman itu sendiri): 1). Bukti yang lebih kuat dan lebih banyak akan membawa pada hilangnya keraguan, dan dalam waktu yang sama, bertambahnya kepastian; 2). Semakin banyak yang diketahui, semakin besarlah penegasan itu, dan; 3). Bertambahnya
177
Farid Esack, ibid., hlm. 160
200
iman berarti bertambahnya kesadaran akan “keagungan Tuhan Yang Mahabijaksana dan Mahakuasa”.178 Ibn ‘Arabi, al-Thabathaba’i, dan Ridha dengan cara yang berbeda-beda menerima ide bahwa iman itu sendirilah yang bertambah. Ibn al-‘Arabi menyebutnya sebagai “kemajuan dari tingkat pengetahuan
menuju
tingkat
keyakinan”.
Ridha
menafsirkan
bertambahnya iman sebagai “keyakinan (yang makin besar) untuk patuh, kuatnya kepuasan hati, dan kekayaan dalam pengenalan”, sembari dengan tegas mengategorikan kualitas-kualitas tersebut sebagai iman: “sebenarnya iman dalam hati itu sendirilah yang bertambah atau berkurang”.179 Setelah
mendefinisikan
iman
dalam
pengertian
1).
Spiritual/personal secara esensial (“bergetarlah hati mereka ketika disebut nama Allah”); 2). Religius (“mereka tak henti-hentinya beribadah”); dan 3). Sosio ekonomi (“menafkahkah sebagian rezeki yang Kami berikan pada mereka”), QS. Al-Anfal (8): 2-4 kemudian menggambarkan pemilik sifat-sifat ini sebagai “orang yang benarbenar beriman” atau “orang yang benar-benar percaya”. Apabila karakter ini adalah “beriman yang sesungguhnya” itu, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah ada kategori “beriman yang sekadarnya”? Apakah karakter ini bagian dari apa yang disebut iman
178 179
Farid Esack, ibid., hlm. 160 Farid Esack, ibid., hlm. 161
201
itu, atau di luarnya? Jika itu di luar, bagaimana hubungan karakter ini dengan iman? Menurut al-Thabari, terdapat kaitan antara iman dengan perbuatan baik. Sementara al-Zamakhsyari menuliskan bahwa karakter tersebut adalah syarat bagi “iman yang sempurna”, bahkan dikaitkan dengan dengan bertambahnya iman itu dengan perilaku yang mengarah pada kebenaran yang semakin tinggi. Al-Razi lebih eksplisit lagi, ketika mengemukakan hubungan antara iman dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat di atas. Merujuk pada ayat sebelumnya (“patuhilah Tuhan dan Rasul-Nya bila kamu seorang mu’min”), dia mengatakan bahwa “iman harus berakibat pada kepatuhan (1990), 15, h. 121) dan bahwa ayat yang dibahas itu merupakan penjelasan bagi ayat yang mendahuluinya.180 Semua statement itu muncul dalam diskusi perdebatan skolastik (abad pertengahan/kalam) yang hangat. Bagi ibn ‘Arabi, dia tidak akan terjebak pada wacana perdebatan skolastik, karena baginya, iman secara instrinsik terkait dengan pencarian keyakinan yang lebih mendalam. Kita telah melihat bagaimana dia menafsirkan bertambahnya iman sebagai langkah maju dari sekadar pengakuan rasional akan kehadiran Tuhan ke tingkat keyakinan. Lebih jauh, perhatian pada kualitas dan kehadiran hati yang
180
Farid Esack, ibid., hlm. 163
202
harus mewarnai ibadah seseorang sebagai perluasan iman juga jelas terlihat dalam penafsirannya atas ayat ini.181 Dari penjelasan di atas, yang kita rasakan, ternyata mengarah pada pemahaman bahwa ada hubungan intrinsik antara iman dengan amal shaleh. “Memisahkan iman dari tindakan,” kata Rahman, “adalah absurd dan tak dapat diterima menurut pandangan al-Qur’an” (Rahman, 1983, h. 171). Namun di samping Rahman ada pandangan yang dapat kita pertimbangangkan, yakni pandangan Totshiko Izutsu; “kaitan
terkuat
dari
hubungan
semantiknya
mengikat
shalih
(kesalehan) dan bentuk bendanya, di mana ada iman di situ ada shalihah (amal saleh)… sedemikian sehinga kita dapat diberankan jika mendefinisikan yang pertama dalam terma yang kedua, atau mengekspresikan yang kedua dalam terma yang pertama” (1996, h. 204)182 Penting untuk dicatat, bahwa yang menjadi ganjalan Esack, bahwa apapun perbedaan dalam hubungan antara iman dan amal shaleh, pemikiran tradisional biasanya menafsirkannya secara sempit, yaitu sebagai bagian dari ritual Islam
baku. Meski iman sering
dikaitkan dengan ibadah seperti di dalam QS. Al-Anfal [8]: 2-4, kasusnya tidak senantiasa demikian. Lebih jauh, al-Qur’an cukup tegas
181 182
Farid Esack, ibid., hlm. 163 Farid Esack, ibid., hlm. 164
203
bahwa amal shaleh sekecil apapun akan memperoleh balasannya, tanpa menuntut iman sebagai syarat.183 Menurut Esack, diskusi iman dan amal shaleh ini akan membawa pada beberapa isu penting: 1). Status orang-orang yang beriman dalam arti pengakuan, namun tidak “beramal shaleh”, sekalipun yang terakhir itu diartikan sebagai ibadah-ibadah Islam baku; 2). Nilai amal shaleh yang tidak disertai iman dalam arti pengakuan atau persaksian seperti dibahas dalam teologi Islam , dan 3). Kemungkinan bagi iman yang tak disertai pengakuan seperti dibahas dalam teologi Islam . Pertanyaan tersebut sangat relevan dengan konteks Afrika Selatan selama tahun 1980-an. Di kalangan muslim yang terlihat bekerja untuk apartheid dan enggan untuk menyebut dirinya sebagai “kaum beriman”, ia hanya menyebutkan bahwa ia sedang dalam arus politik, maka untuk sementara “mungkar secara politis” atau “muslim” dalam tanda kutip. Esack ingin menekankan pada pertanyaan ke-2 dan ke-3. Dalam al-Qur’an, literatur tafsir, dan wacana Muslim umumnya kata iman digunakan dalam beberapa cara berbeda:184 1). Tindakan mengakui adanya Tuhan, pertanggungjawaban akhir di hadapan-Nya, dan kenabian Muhammad; 2). Masuk ke dalam komunitas Islam , tanpa memperhatikan komitmen imannya secara nyata atau bahkan ketiadaan komitmen itu; 3). Sebagai perjuangan tanpa henti untuk 183
Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 281; ali Imran [3]: 24; al-Nisa’ [4]: 40, 85; Yusuf [12]: 56; al-Nahl [16]: 111; al-Qashash [28]: 84. 184 Farid Esack, op.cit., hlm. 166
204
mengkonkretkan keimanan kepada Tuhan dalam perilaku pribadi maupun sosial. Dalam pandangan masyarakat Muslim, dilahirkan di dalam keluarga muslim cukup untuk memasukkan seseorang sebagai anggota kalangan mu’minun, selama orang itu tak pernah secara verbal mengingkari asal-usulnya. Ini berarti bahwa faktor “pengakuan lewat mulut” pun dalam praktiknya tak diperlukan, karena tidak ada mekanisme formal untuk menguji keimanan seseorang ketika dia telah menginjak usia dewasa. Jelas bahwa mu’min juga berarti seseorang dengan komitmen keimanan sosioreligius, bukannya hanya personal (yang diekspresikan dalam peribadatan Islam atau sikap hidup). Jelas dan secara umum diterima bahwa da mu’minun dalam arti non sosiologis, yaitu yang di luar komunitas nabi Muhammad. Oleh kaum Islam konservatif, penerimaan ini hanya dibatasi kepada nabinabi sebelum Muhammad dan para pengikut mereka. Al-Qur’an sendiri hanya menyebut mereka dengan Ahli Kitab. Akhirnya, meski iman juga merupakan respon pribadi kepada Tuhan, ia tak dapat dibatasi pada komunitas sosioreligius tertentu. Usaha seperti ini akan mengarah pada penolakan universalitas Tuhan itu sendiri. Inilah alasan mengapa al-Qur’an begitu eksplisit soal iman orang-orang yang berada di luar komunitas sosioreligius mukminun (termasuk Ahli Kitab dan ahl al-dzimmah). Apabila iman bisa mencakup tindakan memungut kulit pisang dari jalanan, mengapa
205
iman tidak bisa mencakup pula tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara Tuhan sebagaimana dipersepsinya dan mewujudkannya dalam bentuk pelayanan kepada orang-orang yang dengannya Tuhan sendiri telah mengidentifikasi diri, yaitu kaum marginal dan tertindas? 2. Mendefinisikan Ulang Islam : dari Kata Benda ke Kata Kerja Teks berikut adalah klaim kaum muslim selama ini bahwa satusatunya ekspresi keagamaan yang dapat diterima Tuhan sejak kenabian Muhammad adalah Islam , apakah benar demikian? Mari kita urai bersama:
☺
Artinya: Sesungguhnya agama (din) di di sisi Allah (yang diridhai) hanyalah Islam . Tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab185 kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS. Ali ‘Imran [3]: 19)186
185
maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran. Seperti surat sebelumnya (al-Baqarah), surat ini juga termasuk dalam surat Madaniyah, yang banyak berbicara soal ahli kitab. Teks ini didahului oleh sebuah ayat yang bercerita ketika Tuhan, pada malaikat, dan “orang-orang berilmu” bersaksi pada keesaan Tuhan dan tegaknya keadilan. Kendati teks yang memakai kata Islam yang berakar kata s-l-m, bisa dianggap mengarah pda konsepsi Islam baku, ayat yang sebelumnya menggunakannya dalam cara yang jelas-jelas personal. Teks itu diikuti oleh satu perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada para penentangnya bahwa ajaran yang dibawanya adalah penyerahan diri kepada tuhan dan ajaran ini juga ditujukan kepada mereka. Lihat Farid Esack, ibid., hlm. 168-169. 186
206
Ayat di atas adalah satu di antara beberapa ayat al-Qur’an yang merujuk pada Islam sebagai satu-satunya din di sisi Tuhan. Pada ayatayat lain, Islam digambarkan sebagai pilihan dan nikmat Tuhan bagi para pengikut Muhammad (QS. Al-Maidah [5]: 3). Mereka “yang telah dibukakan hatinya kepada Islam ” didiskripsikan sebagai “yang mengikuti cahaya dari Tuhan-Nya” (QS. Al-Zumar [39]: 22). Partikel penegas “inna” dalam teks yang dibahas ini biasanya dianggap sebagai penegasan ketunggalan Islam sebagai din yang diterima di sisi Tuhan. Pandangan ini tampaknya kemudian dipertegas lagi dalam ayat selanjutnya di surat yang sama, QS. Ali Imran [3]: 83-85. Pemahaman para penafsir, antara lain:187 Al-Thabari: “Din di sisi allah adalah al-Islam , yang merupakan jalan untuk memandang sekaligus merespon terhadap ‘realitas’. Kini, Islam yang diterima di sisi allah itu adalah yang dimaksud al-Qur’an itu” (dikutip dari al-Thabari, 1954, 3 h. 212). Ibn al-‘Arabi: “sesungguhnya din yang benar di sisi Allah adalah tauhid, yang Dia telah tetapkannya bagi diri-Nya. Maka Din allah adlah ketundukan keseluruhan wujud seseorang. … [menjadi seorang muslim berarti saya] membebaskan dari ego dan mencapai peniadaan diri di dalam Diri-Nya. Al-Zamakhsyari: “pernyataan (terdahulu) ‘tak ada tuhan selain Allah’ adalah tauhid, sedangkan ‘menegakkan keadilan’ adalah kesetaraan bila diikuti dengan ‘sesungguhnya din di sisi Allah adalah Islam ’, maka ini menyiratkan bahwa makna Islam adlah kesetaraan dan tauhid. Inilah agama menurut Allah; selain itu bukanlah din. Al-Razi: “Dari asal bahasa din sebagai ‘balasan’, din berarti ketundukan mengakibatkan balasan itu.” … “Islam memiliki tiga makna: masuk ke dalam Islam , yaitu kedalam penyerahan diri dan ketundukan, masuk ke dalam kedamaian, dan menyucikan segala tindakan hanya bagi Allah semata” Ridha: “Menurut Tuhan, al-din, penintah Tuhan dan respon yang diwajibkan hamba atas diri mereka sendiri,merupakan penyerahan diri pribadi kepada Tuhan dan ruh universal yang ada dalam semua komunitas beragama … ketundukan ini tidak ada hubungannya degan Islam konvensional yang terjebak dalam imitasi dan dalam komunitas-komunitas etno-sosiologis” Al-Thabathaba’i: “Islam adalah ketundukan mutlak pada kebenaran iman dan tindakan … ayat ini merujuk pada din dalam makna syari’at terdahulu kecuali dalam kapasitas alamiah berbagai komunitas penerima” 187
Farid Esack, ibid., hlm. 169-170
207
Pemikir
muslim
menggali
makna
din
dalam
konteks
menafsirkan Islam sebagai din. Akibatnya, kendati kebanyakan secara implisit menerima din sebagai bentuk yang harus diekspresikan di dalam kehidupan beragama yang sistematis dan dilembagakan, penjelasan itu sebenarnya menitikberatkan pada proses, pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Secara etimologi, makna kata “Islam ” dalam bentuk infinitif adalah “tunduk”, “menyerah”, “memenuhi” dan “melakukan”. Dalam konteks kalimat, “ia masuk ke dalam “al-silm”, Islam
diartikan
sebagai nama suatu agama. Istilah ini juga bermakna “rekonsiliasi”, “damai”, atau “keseluruhan”.188 Dari kajian dan pembacaan Esack tengan Islam di dalam alQur’an, ada satu upaya dan semangat besar untuk membebaskan diri dari kungkungan abad pertengahan yang sering berlindung di bawah naungan teks dalam memaknai Islam , seperti dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 85: “barang siapa mencari din selain Islam , maka sekali-kali tidaklah akan diterima pilihannya itu”. Dari teks tersebut, kalimat “apakah mereka mencari din selain din Allah” akan dimaknai secara inklusiv bila konteksnya (dalam hal ini yang dimaksud Esack adalah konteks lokal Afsel) juga dipertimbangkan.
188
Farid Esack, ibid., hlm. 172
208
Kontribusi dari pemakanaan Islam ini, bagi realitas penindasan Afrika Selatan cukup menjadi acuan penting. Kenyataannya tidak sedikit juga atifitas penindasan dilakukan oleh orang-orang yang berlabel Muslim. Di lain pihak ada orang-orang dengan label agama lain terlibat dalam lingkaran pembebasan maupun upaya penindasan (rezim apartheid) serta yang kelompok menolak untuk menggunakan label agama di sisi lain menjadi satu faktor penting bagi proses pemaknaan kembali Islam agar tidak mengangkat isu primordial dan mengutamakan satu golongan saja dalam perjuangan melawan penindasan apartheid di Afrika Selatan189 3. Meninjau Ulang Kufr Esack memilih ayat berikut sebagai refleksi pemknaan istilah kufr:
⌧ ☺
Artinya: 21. Sesungguhnya orang-orang yang kafir (menolak) kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh 189
Farid Esack, ibid., hlm. 176-177.
209
orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih. 22. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong. (QS. Ali-‘Imran [3]: 21-22)190
Melalui kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” di atas, adalah salah satu cara al-Qur’an menggambarkan “kaum lain”, di samping wacana muslim yang telah menstigmakan bahwa Kufr menjadi istilah yang paling penuh dengan celaan sebagai kaum lain yang tertolak (non muslim). Farid Esack mengutip Leonard Thompson, seorang sejarawan Afrika Selatan yang mengisahkan ketertindasan “kaum lain” ini ketika disebut-sebut sebagai Cafres karena dianggap tidak memiliki keyakinan dan kepercayaan di antara mereka. Istilah Kufr menurut Leksikograf Ibn Manzur dan Lane (sebagaimana kutipan Esack), dalam pengertian awal diartikan sebagai “menutup”. Kemudian, ditambah dengan unsur penghancuran. Dan ketika Islam diposisikan sebagai tatanan dari Tuhan, maka pengertian kufr adalah sebagai antonimnya. Dan Toshihiko Izutsu melengkapi dengan pemahaman mengingkari nikmat atau tak bersyukur, meski ia menerima kebaikan Tuhan.191 Dalam penggunaannya yang lebih luas sebagai “penolak keyakinan”, kafir pertama kali dipakai untuk menunjuk beberapa warga Makkah yang menghina Nabi Muhammad, dan, kemudian, di 190
Teks ini muncul setelah diturunkan ayat sebelumnya (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) yang menetapkan bahwa “din” yang benar di sisi Allah adalah al-Islam dan Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul ditengah-tengah umat Islam . 191 Toshihiko Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of the Koranic Weltanscauung, terj. Agus Fahri Husein, dkk.,Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, 112.
210
Madinah, juga kepada berbagai unsur di kalangan Ahli Kitab. Setelah wafatnya Nabi Muhammad (w. 652), penggunaannya secara bebas diperluas oleh berbagai kelompok untuk mengeluarkan ‘kelompok lain’ yang berbeda agama dengannya.192 Dari perspektif kunci-kunci hermeneutika yang telah dibahas di muka barangkali kita setuju bahwa Kafir adalah orang yang menyangkal (atau menolak) kebenaran dalam artinya
yang
paling
luas
dan
spiritual.
Di
sini,
al-Qur’an
menggambarkan kufr sebagai perilaku tak bersyukur yang bersifat aktif dan dinamis, yang menagarah pada penolakan atas kebenaran dan karunia Tuhan secara sengaja, dan, yang secara intrinsic terkait dengan itu, suatu pola tingkah laku yang arogan dan menindas. Dari akar linguistik kata kufr ini, tampak bahwa kufr benarbenar menunjuk perilaku penyangkalan atau penolakan yang disengaja atau suatu pemberian. Dalam QS. Al-Rahman (55), yang berulangulang menyinggung penyangkalan adalah unsur paling operatif dalam kufr. Jadi al-Qur’an menggambarkan kufr sebagai faktor yang membentuk perasaan dan identitas kebencian kepada ‘kaum lain’ yang tergolong lemah secara ekonomi. Seperti yang dijelaskan Izutsu, menurut al-Qur’an kufr sebagai penyangkalan terhadap Tuhan dan keesaan-Nya ”mewujud dalam bentuk sikap angkuh, sombong dan
192
Farid Esack, op.cit., hlm. 184
211
arogan” dan pandangan bahwa kekayaan, kemakmuran dan tingkat ekonomi yang mapan bisa membawa pada sikap kufr.193 Dalam hal ini Esack memang di satu sisi, masih meyakini bahwa kufr juga terkait dengan penolakan terhadap dogma dan ketentuan agama, seperti keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-tanda Tuhan, hari kebangkitan dan para nabi. Secara lebih spesifik, al-Qur’an menyebut kufr, pernyatan tentang ketuhanan Isa. Maka kemudian, agar tidak terjadi salah paham soal istilah kufr dan menghindari sikap tidak adil terhadap mereka yang berlabel “di luar Muslim” ini dalam al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.194 Pertama, ketika al-Qur’an mengaitkan kufr dengan doktrin (termasuk pencelaan terhadapnya), itu sebenarnya terkait dengan konteks sosiohistoris (kondisi awal sejarah Nabi) yang real dan yakin bahwa
kepercayaan
pertanggungjawaban
tulus akhir
pada
keesaan
kepada-Nya
akan
Tuhan
dan
membawa
pada
terwujudnya masyarakat yang adil. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kufr sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, namun memilih untuk menolak mengakuinya. Ketiga, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islam dan Muslim. 193
Toshihiko Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of the Koranic Weltanscauung, op.cit, hlm 115. 194 Farid Esack, op.cit., hlm. 182
212
Keempat, al-Qur’an juga spesifik soal motif keputusan kuffar untuk menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih jalan kufr, kata al-Qur’an, karena pertimbangan material (QS. Al-Anbiya [21]: 53; al-Syu’ara’ [26]: 74; Luqman [31]: 21), ikatan kesukuan (QS. Al-Zukhruf [43]: 22), dan karena Islam akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak adil (karena perintah untuk menzakatkan hartanya pada kaum miskin dan lemah) (QS. Ali ‘Imran [3]: 21). Dari penafsiran ulang terhadap istilah kufr Esack tersebut di atas, yang ingin ditampilkan adalah ada kaitan kuat antara pencelaan al-Qur’an terhadap kufr dengan perilaku personal dan sosial musuhmusuh Nabi Muhammad sebagai individu atau kelompok di Makkah dan Madinah. Semangat yang ditampilkan Esack ini sekaligus mengawali kerja-kerja hermeneutika (penafsiran) terhadap ayat-ayat yang bersentuhan dengan pengakuan Islam
terhadap “kaum lain”.
Sehingga, kita mencoba menemukan di mana kita melihat perilaku semacam ini terhadap Islam dan pola perilaku sosiopolitik seperti itu agar dapat membangun aplikasi kontemporer bagi istilah kufr dan bukan semata mentransfer label kufr yang telah terjadi 14 abad yang lalu untuk diterapkan pada masa kini dengan perilaku dan pemahaman yang sama terhadap ‘mereka’
b. Reinterpretasi Konsep Dzimmi untuk Pembebasan Dari proses peninjauan ulang definisi iman, Islam
dan kufr
tersebut, setidaknya ada gambaran umum arahan pemikiran Esack
213
terhadap pemahaman “kaum lain” (non-Muslim), termasuk (yang menjadi bahasa karya tulis ini) ahl al-dzimmah, yang lebih terbuka dan inklusif, yakni bahwa mengakui dinamika iman, Islam dan kufr beserta nuansanuansanya berarti mengakui etos dasar (semangat) keadilan yang ada dalam al-Qur’an. Menurut al-Qur’an, tegas Esack, bukanlah ‘label-label itu’ yang diperhatikan oleh Tuhan, melainkan perbuatan-perbuatannya (QS. Al-Baqarah [2]: 177; al-Zalzalah [99] 7-8). Kita tak bisa melemparkan etos kufr yang menjadi ciri nenek moyang suatu kelompok kepada orang-orang yang kebetulan lahir sebagai bagian dari kelompok itu; tidak juga pada individu yang ada dalam kelompok itu yang bukan partisipan dalam kufr. Sejajar dengan itu, kita tak bisa pula mengatributkan komitmen (label) iman dan keimananan generasi Muslim terdahulu kepada kaum Muslim saat ini.195 Tujuan yang ingin dicapai al-Qur’an lebih signifikan daripada premis awal yang menjadi titik keberangkatannya. Secara eksplisit dan berulangkali ditegaskan al-Qur’an, fakta identitas kelompok tak bisa menggantikan prinsip pertanggungjawaban pribadi. Bila setiap individu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya, maka kita tak punya pilihan lain selain mengakui sifat dinamis Islam , iman, dan kufr. Individu adalah entitas yang senantiasa berubah. Setiap pertemuan baru dengan diri sendiri dan orang lain, setiap perbuatan yang kita lakukan atau yang kita
195
Farid Esack, ibid., hlm. 188
214
tolak, adalah satu langkah dalam transformasi diri kita yang terusmenerus.196 Berikut
ini
penulis
tampilkan
penjelasan
Esack
tentang
pendefinisian kembali konsep ahli kitab, termasuk di dalamnya adalah konsep ahl al-dzimmah (dzimmi) sebagai konstruksi baru hubungan muslim dan non-muslim, terutama di era sekarang. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, terminology Ahli Kitab berarti sebutan bagi komunitas yang mempercayai dan berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain al-Qur’an.197 Namun dalam pembahasannya, masih ada beberapa masalah terkait dengan posisi al-Qur’an terhadap Ahli Kitab dan bahkan pengertian tentang siapa yang disebut Ahli Kitab itu. Permasalahan ini semakin panjang ketika melihat bagaimana komentar para ahli Fiqh (fuqaha) yang membawa pemahaman Ahli Kitab sebagai sinonim dari kaum musyrik, yakni merujuk pada pemahaman awal warga Makkah yang menyembah objek-objek fisik, seperti patung atau benda-benda keramat sebagai entitas yang sakral.198 Komunitas Yahudi dan Nasrani adalah dua kelompok yang direpresentasikan sebagai kelompok lain (the oters) bagi Islam . Ketika Hijrah Nabi bersama kaum “muhajirin” (atau Esack menyebutnya sebagai
196
Farid Esack, ibid., hlm. 188 Abdul Azis Dahlan..et.al., Ensiklopedi Hukum Islam , Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, jilid 1, hlm. 46. 198 Farid Esack, op.cit., hlm. 198-199 197
215
“pengungsi”) ke Madinah, sebagian besar penduduk yang ada di sana terdiri atas Arab dan Yahudi.199 Di Madinah, tempat Nabi Muhammad menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara, kaum Yahudi berperan besar dalam bidang ekonomi, politik, dan intelektual.200 Sementara kaum Nasrani juga mempunyai relasi cukup baik dengan Islam . Nabi ketika datang ke Madinah, sebelumnya singgah di Negara komunitas Nasrani menikmati keramahan mereka (dikutip dari ibn Sa’ad 1967, 1, hh. 235-140).201 Namun beberapa lama kemudian, turunlah perintah untuk memerangi orang-orang di luar Islam (yahudi dan nasrani). Keduanya akhirnya menjadi objek perintah al-Qur’an: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan ahli kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (QS. Al-Taubah [9]: 29) Terjadilah kemudian ketegangan religio-ideologis antara muslim dan Ahli Kitab (non-Muslim). Belum lagi stigma yang menggantung pada diri ahli kitab yang masih saja membunyikan dirinya sebagai syirk.202
199
Farid Esack, ibid., hlm. 194 Farid Esack, ibid., hlm. 195. lihat juga, Karen Armstrong, Muhammad; a Biography of the Prophet, terj. Muhammad sang Nabi, sebuah Biografis Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm., 184 201 Farid Esack, ibid., hlm. 195 202 Dalam perkembangan dogmatis Islam , konsep syirk telah mengalami pelebaran yang cukup luas… (karena) penganut berbagai sekte dalam Islam tak segan-segan menunjuk lawan muslimnya sebagai syirk, ketika mereka melihat monoteisme yang agak sedikit berbeda, meski hanya pada hlm-hlm tertentu yang mereka anggap penting … Syirk dengan demikian tak semata menjadi istilah bagi ketidakberimanan di luar Islam , melainkan celaan yang juga saling 200
216
Maka dari itu perlu ada rekonstruksi tafsir terhadap status non-Muslim ini. Untuk mengawali, sebelumnya kita menggali pandangan dan sikap alQur’an terhadap pengakuan penganut agama lain (non-Muslim). Dalam proses ini, kita tengah meggali nilai-nilai etik al-Qur’an (dalam bahasa Rahman) tentang pendangannya terhadap pengakuan agama lain. Pertama, al-Qur’an menghubungkan dogma dengan eksploitasi ekonomi.
Al-Qur’an
menjelaskan
bahwa
penyangkalan
dan
ketidakpedulian pada tauhidlah yang mengakibatkan penindasan sosial dan ekonomi masyarakat Makkah. Surat-surat Makiyyah yang pendek-pendek menegaskan dengan tajam soal ini. QS. Al-Balad (90): 5-6 menegaskan bahwa penyangkalan atas kekuasaan Tuhan menyebabkan orang akan menghambur-hamburkan hartanya: “Apakah manusia itu menyangkal bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya. Dia mengatakan: ”aku telah menghabiskan harta yang banyak” (QS. Al-Balad [90]: 5-6). Kedua, al-Qur’an secara eksplisit dan tegas mencela eksklusivisme agama yang sempit sebagaimana ditunjukkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang dijumpai Nabi Muhammad di Hijaz. Al-Qur’an bersikap keras
dalam
mencela
arogansi
tokoh
keagamaan
Yahudi
serta
eksklusivisme tribalisme yang membuat mereka memperlakukan orangorang di luar kaum mereka sendiri, terutama yang lemah, dengan sikap
dilontarkan kaum muslim di dalam Islam sendiri. Dikutip dari pengamatan Shorter Encyclopaedia Of Islam , lihat dalam, Farid Esack, ibid., hlm. 200.
217
menghina. Penghinaan pihak lain ini, menurut al-Qur’an, berakar dari kesombongan karena merasa sebagai umat pilihan Tuhan. Ketiga, al-Qur’an bersifat eksplisit dalam penerimaan atas pluralisme agama (QS. Al-Baqarah [2]: 136, 285; ali ‘Imran [3]: 84). Dalam hal ini al-Qur’an mengakui keabsahan de jure semua agama wahyu dalam dua hal: ia menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain yang semasa dengan kaum muslim awal, menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, dan praktik-praktik keagamaan mereka; dan ia menerima pandangan bahwa pemeluk-pemeluk setia agama-agama ini juga akan mendapatkan keselamatan dan bahwa “tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Berpijak dari penjelasan di atas, maka pemikiran tentang Esack mengenai status Ahl Al-Dzimmah (dzimmi) sebagai bagian dari kelompok atau kaum lain (non-Muslim) menjadi tidak relevan lagi dalam dunia kita sekarang ini. Status non muslim yang mendapat perlindungan dibawah Negara Islam, kemudian pembayaran jizyah sebagai bentuk upeti untuk mengganti perlindungan atasnya menjadi tidak relevan lagi, karena berdasar pada asas pandangan al-Qur’an di atas terhadap penganut agama lain. Terlebih, seperti yang telah dijelaskan di muka, bahwa paradigma yang di bawa Esack (eksodus paragdigm) mendasarkan diri pada komitmen untuk membawa kelompok tertindas sebagai satu nilai tertinggi al-Qur’an dalam upaya membawa keberpihakan Tuhan pada kelompok
218
minoritas dan tertindas ini. Termasuk satu komitmen penting untuk membawa konsep non-Muslim sebagai kelompok yang sama pentingnya dalam upaya melakukan kerja pembebasan dan perjuangan (melihat konteks Esack: melawan Apartheid di Afsel)203
203
Dalam Visi turunan yang dibawa dari QS al-Qashas, Esack menampilkan Visi pembebasan yang diberikan kepada mereka yang tertindas dan tidak harus kepada mereka yang beriman atau hidup dalam kebajikan. Lihat dalam Farid Esack, The Exodus Paradigm in the Qur’an In the Light of Re-Interpretative Islam ic Thought in South Africa, op.cit, hlm. 135