BAB II Tinjauan Umum Tentang Tayammum
A. Pengertian Tayammum Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya:
اﻟﻘﺼﺪ: اﻟﻤﻌﻨﻰ اﻟﻠﻐﻮي ﻟﻠﺘﻴﻤﻢ: ﺗﻌﺮﻳﻔﺔ Artinya: Secara etimologi (lughat), tayammum artinya menyengaja Sedang menurut syara’ ialah menyengaja tanah untuk penghapus muka dan kedua tangan dengan maksud dapat melakukan shalat dan lain-lain.1 Sementara Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini mengatakan: tayammum menurut istilah syara’ ialah merupakan istilah untuk menyatakan suatu pekerjaan mendatangkan debu pada wajah (muka) dan kedua tangan dengan syarat-syarat tertentu.2 Sedang Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, merumuskan:
واﻟﺘﻴﻤﻢ ﻟﻐﺔ اﻟﻘﺼﺪ وﺷﺮﻋﺎ اﻳﺼﺎل ﺗﺮاب ﻃﻬﻮر ﻟﻠﻮﺟﻪ واﻟﻴﺪﻳﻦ ﺑﺪﻻ ﻋﻦ .وﺿﺆ اوﻏﺴﻞ اوﻏﺴﻞ ﻋﻀﻮ ﺑﺸﺮاﺋﻂ ﻡﺨﺼﻮﺹﺔ
1
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1, Maktabah Dar al-Turas, Kairo, tt, hlm.76.
2
Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hall Ghayat alIhtisar, Maktabah Alawiyah Semarang, tt, hlm. 51.
14
15 Artinya: Menurut syara’, tayammum ialah menyampaikan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan sebagai gantinya wudlu, mandi atau membasuh anggauta disertai syarat-syarat yang sudah ditentukan.3 Di samping rumusan di atas masih ada rumusan lain misalnya dari Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany bahwa tayammum adalah sengaja memakai tanah debu untuk mengusap muka dan kedua tangan dengan niat pembolehan shalat dan semacamnya.4 Rumusan lain yang hampir tidak berbeda dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa tayammum adalah mengusap muka dan kedua tangan dengan debu yang
suci mensucikan sesuai aturan
tertentu.5 Madzhab Maliki (al-Malikiyyah) dan madzhab Syafi’i (al-Syafi’iyyah), dalam memberikan pengertian tayammum, mereka menambahkan kata “dengan niat”, karena menurut mereka niat itu termasuk rukun tayammum.6
B. Syarat Sahnya Tayammum Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi dengan ringkas mengemukakan syarat-syarat tayammum ada lima macam yaitu:
3 Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Dar al-Ihya al-Kitab, alArabiyah, Indonesia, tt, hlm. 8. 4 Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany, Subul al-Salam, Sarah Bulugh al Maram, Min Jami’i Adillaty al-Ahkam, Juz 1, Maktabah Wa Matbaah Toha Putra, Semarang, tt, hlm. 93. 5
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, Maktabah wa Matbaah, Toha Putera, Semarang, tt, hlm.148. 6
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, al-Umm, juz 1, Dar al-Turas, Kairo, tt, hlm. 63. Cf. Abd al-Rahman al-Jaziri, Loc. Cit.
16 1) Adanya halangan (udzur) karena bepergian atau sakit. 2) Masuk waktunya shalat. Menurutnya tidak sah tayammum karena untuk shalat sebelum masuk waktunya. 3) Harus mencari air sesudah datang waktu shalat yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau dengan orang yang telah mendaptkan izin untuk mencarikan air. Maka hendaknya mencari air dari upayanya sendiri dan dari temanya. Menurutnya jika orang tersebut sendirian, maka hendaknya melihat kanan kirinya dari empat arah bila berada di tempat yang buminya datar. Sedang jika berada di tempat yang
naik turun, maka hendaklah memperkirakan
berdasarkan penglihatannya. 4) Terhalang memakai air. Seperti takut memakai air yang menyebabkan hilang nyawanya atau hilang manfaatnya anggota. Termasuk juga terhalang memakai air yaitu bila ada air didekatnya, ia takut akan dirinya jika menuju tempat air itu seperti adanya binatang buas, musuh, takut hartanya tercuri orang atau takut kepada orang yang pemarah. Didapat sebagian keterangan dalam kitab matan adanya tambahan dalam syarat ini sesudah terhalangnya memakai air yaitu kebutuhan orang itu akan air sesudah berusaha mencarinya. 5) Harus dengan debu yang suci yang tidak dibasahi. Perkataan “ath-Thahiru” artinya yang suci itu sejalan dengan pengertian debu yang diperoleh dengan ghashab dan debu kuburan yang belum digali.7
7
Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, Loc. Cit
17 Seiring dengan pendapat di atas, Abd al-Rahman al-Jaziri mengungkapkan bahwa tayamun sah apabila telah memenuhi beberapa syarat yaitu: 1) Memasuki waktu. Tidak sah tayammum sebelum datangnya waktu. Akan tetapi
madzhab
Hanafi
(al-Hanafiyyah)
beranggapan
bahwa
boleh
bertayammum sebelum datang waktu. 2) Niat. Dalam kaitannya dengan niat, madzhab Maliki (al-Malikiyyah) dan madzhab Syafi’i (asy-Syafi’iyyah) mereka berkata bahwa niat adalah rukun, bukan syarat. Sedang madzhab Hanafi dan madzhab Hambali beranggapan bahwa niat adalah syarat dalam tayammum dan juga syarat dalam wudlu; dan niat ini bukan sebagai rukun.8
C. Beberapa Alat Yang Boleh/Tidak Untuk Tayammum Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary menandaskan, tayammum bisa dilakukan karena hadats besar atau kecil, bila tiada air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya, memakai debu yang suci mensucikan.9 Para Fuqaha’ sepakat bahwa tayammum boleh dilaksanakan dengan menggunakan debu bersih pepohonan. Tetapi mereka berbeda pendapat jika pelaksanaan tayammum dengan menggunakan selain debu tapi menggunakan benda yang muncul dari tanah, misalnya batu. Dalam hubungan ini, menurut 8 9
Abd al-Rahman al-Jaziri, Op. Cit., hlm. 151.
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in Bi Syarkh Qurah al-Uyun, Maktabah Wa Matbaah, Karya Toha Putra, Semarang, tt, hlm. 8.
18 Syafi’i tayammum tidak boleh dilakukan jika menggunakan debu murni. Sedang menurut pendapat Malik, tayammum boleh saja dilakukan dengan menggunakan segala sesuatu yang halus yang masih masuk bagian dari tanah misalnya kerikil pasir dan debu, bahkan Abu Hanifah menambahkan, boleh saja menggunakan segala sesuatu yang masih keluar dari tanah, seperti batu, kapur, tanah liat, bata, dan marmer10. Ada juga fuqaha yang mensyaratkan harus debu yang ada di permukaan bumi; inilah pendapat Jumhur. Ahmad Ibn Hambal berpendapat bahwa tayammum boleh dilakukan dengan menggunakan debu yang ada di kain dan debu rambut. 11 Sebab perbedaan pendapat tersebut berkisar pada dua masalah: pertama, dalam bahasa Arab kata al-Sha’id mengandung arti ganda atau banyak (musytarak) itu bisa berarti debu murni dan bisa juga berarti semua benda yang tampak di permukaan tanah. Bahkan Malik dan para muridnya berani mengartikan dengan benda-benda yang justru jauh dari debu. Jadi, al-Sha’id menurutnya dalam salah satu riwayat berarti rumput dan salju atau embun yang boleh digunakan untuk tayammum. Menurut mereka nama al-Sha’id itu asalnya adalah semua benda yang ada di atas permukaan bumi. pendapat ini menurut Ibnu Rusyd lemah. Kedua, sebagian riwayat hadits masyhur disebutkan bahwa
10
Al-Faqih Abul Walid Muhammad Ibn ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayat alMujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I, Dar al-Jiil, Baerut, 1409 H/ 1989 M, hlm. 51. 11
Ibid.
19 tayammum boleh menggunakan tanah secara mutlak, dan dalam riwayat lain menyebutkan terbatas pada debu. Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat, apakah yang terbatas itu dibawa berarti mutlak atau sebaliknya? Tetapi menurut pendapat yang masyhur, yang muqayyat harus dibawa ke yang mutlaq. Menurut pendapat Abu Muhammad Ibn Hazm, yang mutlaq harus dibawa kearti yang muqayyat karena yang mutlaq ada tambahan arti. Ulama yang berpendirian bahwa yang diberlakukan yang muqayyat dengan mengartikan tanah yang baik sebagai debu akan berpendapat bahwa tayammum tidak dilaksanakan kecuali menggunakan debu. Sedang yang berpendapat sebaliknya, dengan mengartikan tanah yang baik sebagai semua benda yang ada di permukaan bumi memperbolehkan tayammum dengan pasir dan kerikil. Sedang yang berpendapat yang mengatakan boleh bertayammum dengan benda-benda yang berasal dan terproses dari tanah, itu sangat lemah. Sebab, istilah al-Sha’id tidak mencakup benda-benda tersebut. Maksud al-Sha’id tidak mencakup benda-benda tersebut. Maksud al-Sha’id yang paling umum sekalipun, adalah hanya terdapat pada benda-benda yang masuk kategori tanah. Dengan demikian, bukan kapur, es, atau rumput. Allahlah yang
bisa mencocokkan
20 “kebenaran” itu. Banyaknya arti makna istilah al-Sha’id merupakan salah unsur yang paling menajamkan perbedaan pendapat. 12 Berbeda dengan pendapat di atas, adalah pendapat Imam Syafi’i dalam kitabnya
menguraikan
tiada
memadai
pada
tayammum,
selain
bahwa
mendatangkan debu tanah, menurut yang didatangkan air pada wudlu, dari muka dan dua tangannya, sampai kepada dua siku Allah berfirman:
.... ﺻﻌﻴﺪﺍ ﻃﻴﺒﺎ.... Artinya: Maka carilah tanah yang baik (bersih). (Q.S. 5 : 6)13 Setiap yang bernama tanah, yang tidak bercampur dengan najis, maka adalah tanah yang baik, yang boleh bertayammum dengan tanah itu. Dan setiap yang terhalang dari nama tanah, niscaya tiada boleh bertayammum. Dan tidaklah bernama tanah, niscaya tiada boleh bertayammum. Dan tidaklah bernama tanah, selain atas tanah yang berdebu. Adapun batu-batu kecil yang kasar dan yang halus dan yang tebal kasar, maka tidaklah bernama: tanah. Dan kalau bercampur dengan tanah debu atau lumpur kering yang berdebu, niscaya adalah yang bercampur itu tanah. Apabila orang yang bertayammum itu menepuk ke atasnya dengan dua tangannya, lalu melekatlah debu pada dua tangannya, niscaya memadailah bertayammum dengan debu tersebut. Apabila ia menepuk dengan dua tangannya ke atasnya atau ke atas 12
Ibid, hlm. 51-52.
13
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara, Surabaya, hlm. 168.
21 yang lain, lalu tidak melekat debu, kemudian ia menyapu padanya, niscaya tiada memadai. Begitu juga, tiap bumi, tanahnya yang
tiada baik, lumpurnya yang
kering, batu-batu yang kecil dan yang lain-lain, maka apa yang melekat dari padanya dari debu, apabila ditepuk dengan tangan, lalu bertayammum dengan dia, niscaya memadailah. Dan yang
tidak melekat debu padanya, lalu ia
bertayammum, niscaya tiada memadai. Begitu juga, kalau orang yang hendak bertayammum itu menggoyanggoyangkan kainnya atau sebagian perkakasnya, lalu keluarlah debu tanah, lalu ia bertayammum dengan debu itu, niscaya memadai. Apabila tanah itu tanah kering, lalu orang yang akan bertayammum itu, menepuk dengan dua tangannya pada tanah itu, lalu melekat dari padanya banyak benda, maka tiada mengapa ia goyang-goyangkan benda itu, apabila masih ada debu pada dua tangannya, yang menyentuhkan seluruh muka. Dan padaku lebih sunnat kalau ia mulai, lalu meletakkan kedua tangannya atas tanah, dengan letakan yang
pelan-pelan.
Kemudian, ia bertayammum dengan debu tanah itu.14 Penganut madzhab Syafi’i yaitu Imam Taqi al-Din memaparkan, tidak sah tayammum seseorang kecuali dengan menggunakan debu (tanah) yang
suci,
murni dan belum pernah digunakan. Jadi keharusan adanya tanah itu sudah pasti baik tanah merah, tanah hitam atau tanah kuning. Baik tanah dari Armani maupun
14
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Op.Cit., hlm. 65-66.
22 dari lainnya, asalkan sebutan tanah tetap pada tanah-tanah yang macam itu. Tidak sah bertayammum dengan kapur (yang
bermacamdibuat untuk
mengkapur rumah) atau dengan tanah kapur dan semua barang-barang tambang (barang galian seperti besi, emas dan sebagainya). Dan juga tidak sah pula bertayammum dengan batu yang sudah dihancurkan atau dengan kaca beling (pecahan kaca) yang sedah digerus (gosok/tumbuk) dan lain sebagainya. Dalam satu wajah, semua barang-barang tersebut di atas itu boleh dibuat tayammum. Namun hukum yang demikian itu adalah salah. Mereka menjadikan hujah firman Allah SWT:
.... ﻓﺘﻴﻤﻢ ﺻﻌﻴﺪ ﺍ ﻃﻴﺒﺎ.... Artinya : maka bertayammum dengan debu yang baik (bersih) (Q.S. 5:6)15 Kata-kata Sha’id merangkumi tanah dan semua yang ada di dalam tanah. Wajah tersebut dinisbatkan kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Kedua Imam ini berkata: tayammum boleh menggunakan segala macam jenis tanah, bahkan dengan batu yang dibersihkan sekalipun. Imam Rafi’i menukil dari Imam Malik bahwa beliu mengesahkan tayammum dengan menggunakan segala sesuatu yang terdapat di bumi, seperti pepohonan dan tumbuhan sawah. Imam Nawawi menukil dari al-Auza’i dan Sufyan ats-Tsauri di dalam syarah muslim bahwa alAuza’i dan Sufyan juga mengesahkan tayammum dengan menggunakan segala 15
DEPAG RI, Loc. Cit.
23 sesuatu yang ada di bumi, bahkan dengan es sekalipun. Menurut madzhab Imam Syafi’i serta kebanyakan para ulama, dan juga menjadi perkataan imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Mundzir dan Daud tayammum tidak sah jika tidak menggunakan tanah yang suci dan berdebu, yang boleh menempel pada kulit wajah dan kedua tangan. Sebab perkataan Sha’id itu boleh mengenai tanah dan semua yang ada pada permukaan tanah dan jalan-jalan.16 D. Kedudukan Tayammum Sebagai Pengganti Wudlu Menurut Sayyid Sabiq bagi orang yang telah bertayammum dibolehkan dengan satu kali tayammum itu melakukan shalat, baik yang fardlu maupun yang sunnat sebanyak yang dikehendakinya. Pendeknya hukum tayammum itu sama dengan wudlu, tak ada bedanya sama sekali.17 Dari Abu Dzar r.a:18
ﻓﺄ ﻣﺮﱄ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺈ ﺑﻞ ﻓﻜﻨﺖ، ﺍﺟﺘﻮﻳﺖ ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ:ﻋﻦ ﺃﰊ ﺫﺭ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﺣﺎﻟﻚ ؟ ﻗﺎﻝ ﻛﻨﺖ: ﻫﻠﻚ ﺃﺑﻮ ﺫﺭ ﻗﺎﻝ: ﻓﺄﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ.ﻓﻴﻬﺎ . ﺇﻥ ﺍﻟﺼﻌﻴﺪ ﻃﻬﻮﺭ ﳌﻦ ﱂ ﳚﺪ ﺍﳌﺎﺀ ﻋﺸﺮ ﺳﻨﲔ: ﻓﻘﺎﻝ.ﺃﺗﻌﺮﺽ ﻟﻠﺠﻨﺎﺑﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻗﺮﰉ ﻣﺎﺀ Artinya : dari Abu Dzar ia brkata: aku tidak betah tinggal di Madinah, lalu rasulullah SAW menyuruh mengambil seekor unta untukku, sedang aku di atas unta. Kemudian aku datang kepada Nabi SAW, lalu aku berkata : celakalah Abu Dzar! Nabi bertanya: mengapa? Ia menjawab: aku berjunub, padahal didekatku tidak ada air. Lalu Nabi bersabda: 16
Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Op. Cit., hlm. 55.
17
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 78.
18
Al-Imam Abu Abdilah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal asy-Syaibani al-Mawarzi, Musnad Ahmad, Jilid I, Tijariyyah Kubra, tt, hlm. 84. Cf. Al-Imam al-Alammah Muhmmad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autar min Asrari Muhtaqa al-Akhbar Juz I, Dar al-Kitab, alArabi, Baerut, Libanon, tt, hlm. 382.
24 sesungguhnya debu itu suci bagi orang yang tidak mendapati air selama sepuluh tahun. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan alAtsram. Dan ini adalah lafadh al-Atsram) Berbeda dengan pandangan di atas adalah apa yang dikemukakan Syeikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi yang menegaskan: tayammumlah untuk tiaptiap satu fardlu dan satu nadzar. Maka tidak boleh mengumpulkan antara dua shalat fardlu itu dengan satu tayammum dan tidak boleh mengumpulkan antar dua thawaf dan antara dua shalat thawaf dan antara shalat Jum’at dan dua khotbah.19 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz alMalibary bahwa satu kali tayammum itu hanya bisa digunakan untuk satu shalat fardlu dan shalat nadzar dan sah melakukan satu shalat fardlu bersama shalat jenazah. Demikian pula pendapat Imam Abu Ishaq al-Syirazi bahwa tidak boleh melaksanakan shalat dengan tayammum lebih dari satu shalat fardlu, tapi boleh untuk beberapa shalat sunnat. Barang siapa bertayammum untuk shalat fardlu ia boleh menggunakannya untuk shalat sunnat, tatapi barang siapa bertayammum untuk shalat sunnat ia tidak boleh menggunakannya untuk shalat fardlu. 20
19 20
Syeikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi, Op. Cit., hlm. 9.
Al-Tambih fi Fighi asy-Syaf’i, Terj. Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, CV. As Syifa’ Semarang, 1990, hlm. 12-13.
25 E. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum Hal-hal yang
Membatalkan Tayammum adalah apa saja yang
dapat
membatalkan wudlu. orang yang bertayammum dari hadats besar tidak kembali berhadats besar kecuali apabila melakukan sesuatu yang mewajibkan mandi, walaupun orang tersebut dikatakan berhadats kecil karena melakukan sesuatu yang
membatalkan wudlu. Apabila seseorang bertayamum untuk janabat
kemudian batal tayammumnya, maka ia tidak kembali sebagi orang yang dalam keadaan junub, melainkan menjadi berhadats kecil. Sehingga ia boleh membaca al-qur’an, masuk masjid dan diam di dalamnya. Dalam hubungan ini, madzhab Maliki berpendapat bahwa apabila orang yang bertayammum dari hadats besar kemudian ia berhadats kecil, maka batal tayammumnya baik dari hadats kecil maupun dari hadats besar. Dengan demikian sesuatu yang dapat membatalkan wudlu walaupun tidak dapat membatalkan mandi, dapat membatalkan tayammum sebagai pengganti mandi. Oleh karena itu haram atas orang yang
batal
tayammumnya (karena hadats kecil) apa yang diharamkan atas orang yang dalam keadaan junub, maka ia mengulangi tayammumnya.21 Yang membatalkan tayammum lebih banyak dibandingkan dengan yang membatalkan wudlu. Artinya ada beberapa hal yang membatalkan tayammum akan tetapi tidak membatalkan wudlu, yaitu:
21
Abd al-Rahman al-Jaziri, Op.Cit, hlm. 165.
26 1) Hilangnya udzur yang dapat membolehkan tayammum. Seperti mendapatkan air setelah sebelumnya tidak membatalkanya. Terhadap hal ini, madzhab Maliki berpendapat bahwa adanya air atau kemampuan menggunakan air tidak membatalkan tayammum kecuali sebelum mengerjakan shalat dengan syarat waktu ikhtiyar masih longgar untuk mendaptkan satu rakaat setelah menggunakan air pada anggota bersuci. Apabila seseorang mendapatkan air setelah memasuki shalat, maka tidak batal tayammumnya dan ia wajib meneruskan shalatnya walaupun waktunya masih leluasa. Tidak batalnya ini adalah apabila ia tidak dalam keadaan lupa terhadap air yang ada di tempat tinggalnya. Sebab apabila seseorang bertayammum kemudian mengerjakan shalat, dan ketika dalam keadaan shalat ia ingat akan adanya air, maka batal tayammumnya apabila waktunya masih longgar untuk mendapatka satu rakaat setelah menggunakan air. Apabila waktunya sudah cukup, maka tidak batal shalatnya. Apabila ketika ingat sesudah selesai mengerjakan shalat, maka wajib mengulangi pada waktu itu saja karena ia tergolong ceroboh.22 2) Mampu menggunakan air setelah sebelumnya tidak mampu menggunakanya. Disamping pendapat di atas, dapat pula dikemukakan pendapat Syaikh Abu Syujak:
ﻭﺍﻟﺮﺩﺓ، ﻭﺭﺅﻳﺔ ﺍﳌﺎﺀ ﰱ ﻏﲑﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻣﺎ ﻳﺒﻄﻞ ﺍﻟﻮﺿﺆ:ﻭﺍﻟﺬﻯ ﻳﺒﻄﻞ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺷﻴﺎﺀ
22
Ibid. Cf. Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 80.
27 Artinya: perkara yang membatalkan tayammum ada tiga. Yaitu: 1) perkara-perkara yang dapat membatalkan wudlu; 2). Melihat air pada selain waktu mengerjakan shalat, dan 3) yaitu riddah (murtad)23 Pendapat yang tidak jauh berbeda diuraikan oleh Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, perkara yang membatalkan tayammum itu ada tiga perkara, yaitu: 1. Segala sesuatu yang
membatalkan wudlu. Hal ini sudah terdahulu
keterangannya tersebut dalam pasal perkara-perkara yang
merusak
(membatalkan) wudlu. Oleh karena itu sewaktu-waktu orang yang mempunyai tayammum tersebut datang hadats, maka menjadi batal tayammumnya. 2. Melihat ada air. Menurut sebagian keterangan kitab matan menggunakan kata “adanya air” bukan pada waktu shalat. Siapa saja yang bertayammum karena kesulitan menemukan air, kemudian tiba-tiba melihat ada air atau mendugaduga, sebelum memasuki shalat maka batal tayammumnya. Jika orang itu melihat adanya air sesudah berada di dalam shalat, maka bila memang shalat itu membutuhkan kepada adanya qadla sebagaimana shalatnya orang yang mukim yang
dilakukan dengan tayammum, maka wajib membatalkan
shalatnya, dan bila shalat itu tidak membutuhkan qadla seperti shalatnya musyafir,maka shalatnya tidak batal, baik itu shalat fardlu atau sunnah. 23
Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi HallGhayat alIhtisar, Maktabah Alawiyah Semarang, tt, hlm. 59
28 Seandainya seseorang bertayammum karena sakit dan yang
seperti itu,
kemudian melihat ada air, maka hal ini tidak berpengaruh terhadap tayammumnya, bahkan tayammumnya orang tersebut tetap kekal dengan keadaan tayammum itu sendiri. 3. Murtad. 24
24
Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, Op.Cit, hlm 9.