20
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN UDARA Dalam kegiatan sehari - hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata ”transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut.9 Secara
etimologis,
transportasi
berasal
dari
bahasa
latin,
yaitu
transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain lainnya. Sehingga transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Abdulkadir Muhammad mendefenisikan Pengangkutan sebagai proses kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan diatur undang - undang
9
Abdulkadir Muhammad, 2007, Arti Penting danS trategis multimoda pengangkutan niaga di Indonesia, dalam perspektif hukum bisnis di era globalisasi ekonomi, Yogyakarta, Genta Press, hal. 1.
21
sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan teknologi. Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha, pengangkutan sebagai perjanjian dan pengangkutan sebagai proses. Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 10 1) Berdasarkan suatu perjanjian; 2) Kegiatan ekonomi di bidang jasa; 3) Berbentuk perusahaan; 4) Menggunakan alat angkut mekanik. Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan ( tidak tertulis ) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter, seperti carter pesawat udara untuk pengangkutan jemaah haji, carter kapal untuk pengangkutan barang dagangan. Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang. Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliput:
10
Ibid, h. 98
22
a) Dalam arti luas, terdiri dari: 1. Memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut. 2. Membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan. 3. Menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan. b) Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan. Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Defenisi ini memiliki kesamaan dengan defenisi sebelumnya, dengan sedikit perbedaan yaitu adanya penekanan pada aspek fungsi dari kegiatan pengangkutan, yaitu memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud untuk meningkatkan daya guna atau nilai. Selain defenisi di atas ada yang menyatakan bahwa Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, dengan adanya perpindahan.11 Ketentuan peraturan perundang - undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
11
H.M.N Purwosutjipto, 2003,Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia III:Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, hal. 2.
23
a) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. b) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara. c) Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara. Selain hukum positif nasional yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa ketentuan - ketentuan internasional. Di dalam tata urutan sumber
hukum
konvensikonvensi
internasional
dan
perjanjian
multilateral/bilateral diletakkan di atas peraturan perundang - undangan nasional. Karena hukum udara termasuk di dalamnya hukum pengangkutan udara yang lebih bersifat internasional, hukum udara dan hukum pengangkutan udara nasional di setiap negara pada umumnya mendasarkan diri bahkan ada yang turunan semata dari konvensi - konvensi internasional dalam bidang angkutan udara tersebut. Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional, yaitu sebagai berikut : 1) Konvensi - konvensi internasional dalam bidang angkutan udara. a) Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929. Konvensi Warsawa ini nama lengkapnya adalah “Convention for The Unification of The Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air”, ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933. Konvensi ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara (chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab pengangkut
24
udara. Konvensi Warsawa penting artinya karena ketentuan - ketentuan yang terkandung di dalamnya dengan atau tanpa perubahan di beberapa negara dipergunakan pula bagi angkutan udara domestik, seperti di Inggris, Negeri Belanda, dan Indonesia. Dengan demikian, maka setiap perubahan pada Konvensi Warsawa harus pula diikuti dengan seksama di Indonesia, karena perkembangan dalam hukum udara perdata internasional akan berpengaruh pula pada hukum udara perdata nasional di Indonesia. Terutama ketentuan mengenai besarnya ganti rugi, baik untuk penumpang maupun barang harus sama besarnya, ini berlaku untuk penerbangan domestik maupun internasional. b) Konvensi Geneva. Konvensi Geneva ini mengatur tentang “International Recognition of Right in Aircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapat diakui secara internasional oleh negara - negara pesertanya. c) Konvensi Roma 1952. Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the Surface”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operator pesawat terbang asing
25
tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya. d) Protokol Hague 1955 Nama lengkap dari protokol Hague adalah Protokol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12 Oktober 1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955. Protocol Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara. Jumlah peserta Protocol Hague ini sampai dengan tahun 1981 sebanyak 105 negara. Di dalam peserta Protocol Hague ini negara Indonesia tidak tercatat di dalamnya, tetapi sebenarnya Indonesia melalui piagam pernyataan Menteri Luar Negeri RI tanggal 12 Agustus 1960 untuk turut serta (instrument of accession) sebagai negara peserta kepada Pemerintah Polandia sebagai Depositary State Protocol Hague ini melalui Kedutaan Besar Indonesia di Moscow untuk diteruskan di Polandia. e) Konvensi Guadalajara 1961 Nama lengkap daripada Konvensi Guadalajara 1961 adalah “Convention Supplementary to The Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Performed by a person other than the Contracting Carrier. Konvensi Guadalajara ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan mulai berlaku sejak tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi
26
oleh 5 negara pesertanya. Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen atas Konvensi Warsawa, suplemen tersebut mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara terhadap pihak - pihak tidak tersangkut dalam mengadakan perjanjian pengangkutan udara, karena dalam praktek sering terjadi pengangkut yang
sebenarnya
bukanlah
pengangkut
yang
mengadakan
perjanjian
pengangkutan. Hingga dengan demikian dalam konvensi dikenal adanya istilah actual carrier dan contracting carrier. Pada pokoknya Konvensi Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawa terhadap angkutan udara yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian sistem tanggungjawab yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa. f) Protokol Guatemala. Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan - perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi. Dalam Protocol Guatemala ini ditentukan : a. Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi digunakan sistem tanggung jawab yang prinsip “absolute liability dengan prinsip limitation of liability” dan untuk limit ganti ruginya ditetapkan sebesar 1.500.000,- Gold Franc. b. Tanggung
jawab
terhadap
muatan
digunakan
kombinasi
Presumption of Liability dengan Limitation of Liability.
prinsip
27
c. Tanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan kelambatan terhadap penumpang, bagasi dan barang digunakan kombinasi prinsip “presumption on non liability dengan limitation of liability”. Dalam Protocol Guatemala ini, Indonesia ikut serta mengirimkan delegasinya tetapi tidak ikut menandatanganinya, karena delegasi Indonesia beranggapan bahwa limit tanggung jawab yang ditentukan oleh Protokol Hague ini terlalu tinggi. 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Udara Dari segi hukum, khusunya hukum perjanjian. Pengangkutan merupakan bentuk perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pihak yang diangkut (penumpang dan/atau pengirim) dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak penumpang dan/atau pengirim mengikatkan dirinya pula untuk membayar sejumlah uang atau ongkos pengangkutan.12 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, yang dimaksud dengan persetujuan adalah ”Suatu perbuatan dimana satu orang/lebih mengikatkan diri terhadap satu orang/lebih (dalam pasal ini terlihat bahwa terdapat perjanjian yang sepihak, sedangkan kenyataannya, perjanjian seseorang/lebih mengikatkan diri untuk melakukan prestasi/kontra prestasi), jadi perjanjian tersebut berisi tentang perikatan. “Perikatan” merupakan suatu hubungan hukum dimana satu pihak timbul kewajiban dan dipihak lain timbul hak.”
12
Ibid, h. 2
28
Dalam dunia bisnis perikatan timbul karena perjanjian tetapi disamping itu perikatan timbul oleh karena undang - undang. Sedangkan mengenai syarat syarat umum sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHP, menurut ketentuan pasal tersebut perjanjian sah apabila : 1.Adanya kata sepakat antara para pihak yang akan mengadakan perjanjian (kedua pihak harus seia - sekata). 2. Cakap untuk membuat perjanjian. 3. Mengenai hal tertentu. 4. Adanya sebab yang halal. Hukum perjanjian menganut “asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini mengandung makna bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang - undang, disamping menganut “asas kebebasan berkontrak” juga menganut “asas konsensualisme/konsensualitas.” sebagai mana dinyatakan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Artinya : perjanjian itu sudah dianggap lahir sejak terjadinya kata sepakat. Perjanjian pengangkutan terjadi setelah sebelumnya didahului oleh serangkaian perbuatan penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan penumpang/pengirim secara timbal balik. Sebelum dipaparkan mengenai perjanjian pengangkutan udara terlebih dahulu dijelaskan mengenai hukum Pengangkutan Udara. Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan (kaidah, norma) yang mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang dan barang dengan
29
pesawat udara. Hukum pengangkutan udara ( Air Transportation ) adalah merupakan bagian daripada hukum penerbangan ( Aviation Law) dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum udara( Air Law ). Hukum udara adalah sekumpulan peraturan yang menguasai ruang udara serta penggunaannya di lingkungan penerbangan. Sedangkan hukum penerbangan adalah kumpulan peraturan yang secara khusus mengenai penerbangan, pesawat udara, ruang udara dan peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan. Dengan demikian, hukum udara lebih luas cakupannya dari pada hukum penerbangan atau hukum pengangkutan udara. Dalam peraturan perundang-undangan juga dijelaskan beberapa defenisi yang berkenaan dengan kegaiatan pengangkutan udara, yaitu antara lain: dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, menentukan beberapa ketentuan umum, yaitu antara lain : 1. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait; 2. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara; 3. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suau perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara. Menurut G Kartasapoetra, perjanjian pengangkutan udara
30
adalah suatu perjanjian antara pengangkut dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau prestasi lain Berdasarkan rumusan perjanjian pengangkutan udara di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur diantaranya adanya para pihak atau subjek hukum, adanya alat atau sarana pengangkut, adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian adanya kewajiban membayar ongkos atau biaya pengangkutan. 2.2 Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara 2.2.1 Pihak penumpang Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut atau semua orang/badan hukum pengguna jasa angkutan, baik angkutan darat, udara, laut,dan kereta api. Ada beberapa ciri penumpang : a) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan; b) Membayar biaya angkutan; c) Pemegang dokumen angkutan. E. Suherman menyatakan bahwa dalam penerbangan teratur (schedule) defenisi penumpang adalah setiap orang yang diangkut dengan pesawat udara oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian angkutan udara dengan atau tanpa bayaran . Di dalam draft convention September 1964 pernah dirumuskan tentang defenisi penumpang di mana disebutkan bahwa penumpang adalah setiap orang
31
yang diangkut dalam pesawat udara, kecuali orang yang merupakan anggota awak pesawat, termasuk pramugara atau pramugari.13 Dengan defenisi terebut, maka jelaslah semua yang termasuk awak pesawat sebagai pegawai pengangkut tidak tergolong sebagai penumpang, sedangkan pegawai darat pengangkut yang turut serta atau diangkut dengan pesawat udara baik untuk keperluan dinas pada perusahaan penerbangannya maupun untuk kepentingan pribadi dianggap sebagai penumpang biasa . 2.2.2 Pihak pengangkut Pengangkut pada umumnya adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad pengangkut memiliki dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkutan pada arti yang pertama masuk dalam subjek pengangkutan sedangkan pada arti pengangkut yang kedua masuk dalam kategori objek pengangkutan.
Pengangkut memiliki arti yang luas yaitu tidak hanya
terbatas atau dipertanggungjawabkan kepada crew saja, melainkan juga perusahaan - perusahaan yang melaksanakan angkutan penumpang atau barang. 14
13
E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, hal 23. 14
Ibid, h. 56.
32
Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan tersebut. Pengangkut dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan antara lain, yaitu sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan pengangkutan dengan aman, selamat dan utuh; 2. Pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat pada waktunya: 3. Diselenggarakan dengan tidak ada perubahan bentuk. Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang. Pengangkut dapat berstatus Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Badan Usaha Miliki Swasta, Badan Usaha Koperasi, atau Perseorangan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan niaga. Ada beberapa ciri dan karakteristik pengangkut yaitu sebagai berikut: a) Perusahaan penyelenggara angkutan; b) Menggunakan alat angkut mekanik; c) Penerbit dokumen angkutan Dalam Konvensi Guandalajara 1961, pengakut udara dinamai contracting carier dan actual carier sebagaimana dinyatakan pada artikel 1 huruf b. Contacting carier adalah ”a person who as principal makes an agreeman for carriage governed by the Warsaw Convention with passengger on consignor or with a person on behalf of the passengger or consignor”. Contracting Carrier adalah pengangkut yang mengadakan perjanjian angkutan dengan penumpang
33
atau pengirim barang, sedangkan actual carrier adalah pengangkut yang atas dasar kuasa dari pengangkut pertama melaksanakan perjanjian angkutan udara tersebut. Sedangkan E. Suherman mendefenisikan pengangkut udara yaitu setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang15. Dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan udara niaga atau komersial, pengangkut adalah perusahaan-perusahaan penerbangan atau biasa disebut juga dengan maskapai penerbangan, ada juga menyebutnya operator penerbangan. 2.3 Syarat Sahnya Perjanjian Pengangkutan Udara Permasalahan di dalam pertanggungjawaban pengangkutan udara adalah permasalahan mengenai perjanjian pengangkutan udara, hal ini dikarenakan permasalahan tanggungjawab pengangkut udara yang tidak dapat lepas dari sifat internasional angkutan udara. Undang - undang Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 43 menyebutkan bahwa pengangkut udara wajib mengangkut orang dan barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan. H.M.N Purwosutjipto mengemukakan bahwa sistem hukum Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada ada persetujuan kehendak atau consensus.16 Mengenai
15
Ibid, h. 33
34
kewajiban dan hak - hak para pihak dapat diketahui penyelenggaraan pengangkutan atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian tersebut apabila pengangkut tidak menyelenggarakan pengangkutan sebagaimana mestinya akan membuat semua akibat yang timbul dari perbuatan penyelenggaraan baik karena kesengajaan atau pun karena kelalaian pengangkut itu sendiri. Mieke Komar Kantaatmadja, menyatakan bahwa harus ada perjanjian pengangkutan yang bentuknya berupa tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara ( airway bill ),17 sedangkan menurut E. Suherman, bentuk perjanjian udara pada penerbangan teratur tidak dijumpai suatu perjanjian tertulis, karena dokumen pengangkutan udara bukanlah suatu perjanjian angkutan udara, karena tanpa diberikannya suatu dokumen angkutan tetap ada suatu perjanjian angkutan.18 Perjanjian angkutan udara adalah merupakan suatu perjanjian yang standart, karena perjanjian angkutan udara ditetapkan oleh perusahaan penerbangan secara sepihak, dalam hal ini pemakai jasa tidak berwenang merubah
16
Ibid, h. 44
17
Mieke Komar Kantaatmadja, 1996, Masalah dan Aspek Hukum Dalam Pengangkutan Udara Nasional, Cet. I, Mandar Maju, Bandung, hal 76.
18
Ibid, h. 78.
35
perjanjian tersebut. Jaminan disini sangat diperlukan, untuk menjamin bahwa perjanjian standart itu cukup adil serta memperhatikan kepentingan pihak pemakai jasa angkutan. Syarat - syarat angkutan udara dapat digolongkan dalam 2 golongan ( dua ) katagori, yaitu : a. Syarat - syarat umum pengangkutan. Organisasi Internasional Swasta yaitu Internasional Air Transport Association ( IATA ) merupakan gabungan sebagian besar pengangkut udara di seluruh dunia yang memiliki kekuatan yang tidak sedikit terhadap anggota - anggotanya, salah satu diantaranya adalah yang dinamakan syarat - syarat umum pengangkutan ( General Condition Of Carriage ) yang mengatur baik untuk penumpang, bagasi, maupu untuk barang. Syarat umum pengangkutan ini bertujuan agar suatu keseragaman dalam syarat - syarat pengangkutan bagi anggotanya. Syarat - syarat umum ini merupakan bagian dari perjanjian pengangkutan, dengan lebih terperinci dari yang tercantum dalam dokumen angkutan menurut ketentuan – ketentuan dan definisi - definisi seperti : tentang tiket, tentang akomodasi, tentang bagasi, tentang jadwal penerbangan, tentang pengembalian harga tiket,( refund ), tentang tanggungjawab pengangkut, dan lain - lain. Semua hal tersebut harus menjadi perhatian seorang penumpang atau seorang pengirim barang, karena dengan diterimanya tiket oleh penumpang atau dibuatnya muatan oleh pengirim barang maka terjadilah suatu persetujuan
36
pengangkutan udara yang syarat - syaratnya merupakan hukum bagi kedua belah pihak. b. Syarat - syarat khusus pengangkutan. Setiap pengangkut udara memiliki pula syarat - syarat khusus pengangkutan yang didasarkan atas syarat - syarat umum dari Internasional Air Transport Association ( IATA ). Syarat - syarat khusus ini dapat dilihat atau tercantum dalam dokumen angkutan seperti dalam tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara dapat disebut dengan syarat - syarat perjanjian ( Condition Of Contract ) yang sebenarnya dimaksud adalah syarat - syarat pokok dari perjanjian atau persetujuan pengangkutan. Pemahaman pemakai jasa angkutan udara sangat diperlukan dalam mengetahui syarat - syarat tersebut karena barang siapa yang membeli tiket pengangkutan udara, maka mereka dianggap sudah mengetahui bahwa telah terjadi perjanjian pengangkutan antar pengangkut atau pengusaha dengan pemakai jasa, yang mengakibatkan berlakunya semua ketentuan - ketentuan yang tercantum dalam tiket penumpang. 2.4 Akibat Hukum Pengangkutan Udara Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa akibat hukum dari perjanjian pengangkutan adalah : 1. Berlaku sebagai undang - undang. 2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa ada alasan yang cukup menurut undang - undang.
37
3. Dilaksanakan berdasarkan itikad baik. Suatu perjanjian berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya artinya pihak - pihak harus menaati perjanjian sama seperti menaati undang - undang, apabila salah satu pihak yang melanggar tersebut berarti telah melanggar undang - undang. Biasanya dalam perkara perdata yang berkaitan dengan perjanjian bagi para pihak yang telah melanggar perjanjian dapat digugat melalui pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak sehingga perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak saja dan apabila ingin membatalkan perjanjian tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak lain dan harus diperjanjikan lagi, namun bila alasan - alasan yang cukup menurut undang - undang perjanjian tersebut dapat ditarik kembali atau dapat dibatalkan secara sepihak. Perjanjian ini harus dilakukan dengan itikad baik, hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian dengan suatu unsure subyektif tetapi untuk menilai perjanjian tersebut ditentukan pada unsur obyektif yaitu dengan selalu mematuhi norma - norma kesusilaan, ketentuan undang - undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan adanya perjanjian pengangkutan tersebut masing - masing pihak yaitu pihak pengangkutan dan pihak penumpang sepakat untuk tunduk pada isi perjanjian yang telah dibuat, karena sifat perjanjian adalah terbuka maka para pihak secara bebas dapat menentuka isi perjanjian tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang ada pada undang - undang, ketertiban umum, dan
38
kesusilaan, sehingga perjanjian yang telah disepakati tersebut tetap akan membebani para pihak dengan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sehingga menimbulkan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh para pihak.19
19
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya,Bandung, hal. 69.