BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA
2.1 Geografi Batak Toba Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut (Siahaan, t.t.) Dilihat dari segi persebaran penduduk, masyarakat Batak Toba telah tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, bahkan juga di daerah lain di Nusantara serta mancanegara, jumlah yang pasti masyarakat Batak Toba juga tidak dapat dipastikan, tetapi jumlah masyarakat Batak Toba yang terdapat di Sumatera Utara lebih kurang 2.948.264 jiwa, jadi kira-kira 30% dari jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 10.250.027 jiwa, berdasarkan sensus penduduk 2001. 4 Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut Tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, atau pendidikan. 4
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Angka (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2001), hal.,12.
Universitas Sumatera Utara
Persebaran masyarakat Batak Tobadi Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara (Sumber: BPS Sumatera Utara 2001) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
KABUPATEN/KOTA Nias Mandailing Natal Tapsel Taput Tapteng Tobasa Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai
JUMLAH PENDUDUK 2.423 10.880 195.309 178.828 393.480 294.149 255.030 208.261 265.984 195.314 31.433 259.978 40.668 54.695 56.219 114.807 18.131 335.758 15.917
Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. (Siahaan, 1982:48)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba Dalam mengaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Tobadapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang lahirnya suku Batak.
2.2.1 Pengertian Batak Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’ (Lumbantobing, 1996:1). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pembatak adalah perampok/penyamun. Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang sesungguhnya. Jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya adalah suatu etnis yang berdiam/berasal dari Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Sejarah Batak Catatan sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak ditemukan, sehingga sulit memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Beberapa catatan sejarah yang umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi tentang asal-usul masyarakat Batak akan dikemukakan sebagai berikut. Sehubungan dengan asal-usul suku bangsa Batak, Brahma Putro mengemukakan bahwa pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang. Berdasarkan pendapat dari Brahma Putro tersebut maka suku bangsa Batak adalah berasal dari bangsa-bangsa Hindia Belakang (Putro, 1978:20). Tentang waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd. Yamin, sebagai berikut: Menurut G. Gerrad, perpindahan itu terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira 1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda).
Universitas Sumatera Utara
V.H. Geldern mengatakan, Perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi. Dr. Kern menyebutkan, Perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Prof. Dr. Kern, yang menyebutkan bahwa perindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikutip oleh Brahma Putro di atas, maka dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak adalah termasuk ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman, sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay. Namun seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang mengemukakan sebagai berikut. Menurut beberapa prasasti peninggalan zaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayani telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui
Universitas Sumatera Utara
sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu. (Lumbantobing, 1996:1) Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak. (Schreiner, 2002: 64) Melihat pendapat di atas maka suku bangsa Batak sebenarnya masih tergolong baru mendiami wilayah Sumatera Utara apabila dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Hal ini apabila diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907). Mendukung pendapat yang berhubungan dengan Si Raja Batak ini, dari kalangan yang sudah mulai meninggalkan mitos, membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya data dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan
Universitas Sumatera Utara
menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah barat Pangunguran, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba (Sinaga, 1997:13). Sejarawan Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas. Dilihat dari catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1.400 Kerajaan Nagur (Nakur) berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh. Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas diperkirakan bahwa Si Raja Batak adalah salah seorang yang sudah beberapa generasi berdiam di wilayah timur atau selatan atau barat Danau Toba, namun dia mempunyai kemampuan yang menonjol dalam berbagai hal sehingga mendapat simpati dari rakyat banyak, dan dapat dipastikan Si Raja Batak bukan langsung berasal dari Thailand atau India. Hal ini juga didukung pendapat yang mengatakan: Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba
Universitas Sumatera Utara
kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku Tarombo Bor-bor Marsada anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu: Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.
2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba Hampir semua suku bahkan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, begitu juga masyarakat Batak Toba, memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang asal-usulnya. Namun sebagaimana sifat dari tradisi lisan, maka sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama dan semakin jauh terpisah dari sumber awalnya, semakin berbeda dengan cerita aslinya. Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996). Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki. Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk Manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan. Si Boru Deakparujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (lakilaki) dan Boru Itam Manisia (perempuan). Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham. Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir. Cerita di atas hanya merupakan salah satu dari mitologi tentang asal-usul masyarakat Batak Toba, meskipun banyak cerita dengan berbagai versi, tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, dan semua cerita mengatakan bahwa Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.
2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara Etnografi berasal dari istilah ethnic dan secara harafiah berarti suku bangsa dan
graphein
artinya
menggambarkan
atau
mendeskripsikan.
Etnografi
merupakan jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik.
Universitas Sumatera Utara
Selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam kaitan ini, para ilmuwan antropologi, biasaya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup enam macam: (1) masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; (2) masyarakat peternak atau pastoral societies; (3) masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; (4) masyarakat nelayan, atau fishing communities, (5) masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan (6) masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies. Pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu, dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep “daerah kebudayaan” atau culture area. Sebuah “daerah kebudayaan” atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna. Namun
Universitas Sumatera Utara
mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu. Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke-19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama Clark Wissler (Koentjaraningrat, 1980: 127-128), seorang ahli museum, adalah yang membat konsep itu populer, terutama karena bukungan The American Indian (1920). Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area. Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor,
Universitas Sumatera Utara
senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, properti tari dan teater, tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, cara berpikir, filsafat, adat istiadat, dan lainnya. Ciriciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area itu menunjukkan persamaan-persamaan besar dari unsur-unsur alasan tadi. Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-unsur yang sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke dalam culture area tetangga. Dengan demikian, garis-garis yang membatasi dua culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsurunsur dari kedua culture area itu selalu tampak tercampur. Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi cultue area tadi telah menimbulkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan antropologi sendiri. Kelemahan-kelemahan metode ini memang telah lama dirasakan oleh para sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa-rupanya tidak akan mempertajam batas-batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya. Walau demikian, metode klasifikasi diterapkan oleh para sarjana lain terhadap tempat-tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai sekarang karena pembagian ke dalam culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan dalam hal menghadapi suatu daerah luas dengan banyak aneka warna kebudayaan di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau boleh juga lebih sempit.
Universitas Sumatera Utara
Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari wilayah-wilayah kecamatan sebagai berikut: Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, Siborong-borong, Muara, Sipoholon, Tarutung, Adiankoting, Parmonangan, Siatas Barita, Simangumban, Pahae Julu, Pahae Jae, Pagaran, Simangumban. Wilayah Pangaribuan terdiri dari wilayah desa sebagai berikut: Parlombuan, Lumban Sinaga, Pansur Natolu, Silantom Julu, Silantom Tonga, Rahut Bosi, Batuna Dua, Sampagul, Harianja, Batu Manumpak, Pakpahan, Parsibarungan, Najumambe, Purbatua, Lumban Sormin, Sibingke, Godung Borotan, Parratusan, Sigotom Julu, Parsorminan I, Silantom Jae, Padang Parsadaan. Wilayah Kecamatan Pangaribuan mempunyai letak astronomi dan geografis sebagai berikut: 1. Letak astronomis Lintang Utara
: 010 45’ – 020 06’
Bujur Timur
: 990 02’ – 990 02’
2. Letak di atas permukaan laut
: 500 s/d 1500 m
3. Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan
: 459,25 Km2
4. Berbatasan dengan -
Sebelah Utara
: Kecamatan Sipahutar
-
Sebelah Selatan
: Kabupaten Tapanuli Selatan
-
Sebelah Barat
: Kecamatan Pahae Julu dan Kecamatan Pahae Jae
-
Sebelah Timur
: Kecamatan Garoga
Universitas Sumatera Utara
5. Jarak Kantor Camat ke Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Utara
: 48 Km
6. Iklim
: Sedang
7. Curah hujan
: 2.760 mm/thn
8. Kemiringan tempat -
Dataran rendah
: 0-2%
:
0 Ha
-
Landai
: 3-15%
: 18.375 Ha
-
Miring
: 16 – 40%
: 5.125 Ha
-
Terjal
: 40% Ke atas : 22.425 Ha
Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan Menurut Desa/Kelurahan Desa/Kelurahan Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan
Luas (Km2) 23,25 20,00 21,00 29,00 12,20 37,00 20,00 21,00 12,00 39,00 7,00 9,00 25,00 21,00 11,00 12,00 43,00 22,00 40,00 12,17 12,00
Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan (%) 5,06 4,35 4,57 6,31 2,65 8,06 4,35 4,57 2,61 8,49 1,52 1,96 5,44 4,57 2,40 2,61 9,36 4,79 8,71 2,64 2,61
Universitas Sumatera Utara
Pansorminan I Jumlah
10,63 459,25
2,31 100
Di Kecamatan Pangaribuan, tepatnya Desa Rahut Bosi merupakan lokasi penelitian mengenai Pesta Horja Marga Gultom yang mempunyai letak koordinat sebagai berikut:
Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan Desa/Kelurahan Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan Pansorminan I
Bujur Timur 99,12495 98,97968 99,21614 99,28791 99,19137 99,20013 98,97968 99,14807 99,16312 99,17527 99,16843 99,16401 99,22636 99,20293 99,16399 99,13445 99,10158 99,16891 99,10019 99,15214 99,19137 99,19137
Lintang Utara 1,97481 2,01366 1,94128 1,90997 1,96471 1,95416 2,01366 1,96204 2,00173 1,99450 2,00099 2,01709 2,04536 2,06267 2,01710 2,00988 1,99395 2,00230 1,97588 1,98579 1,96471 1,96471
Universitas Sumatera Utara
Desa Rahut Bosi diresmikan pada tahun 1949. Luas tanah Desa Rahut Bosi menurut penggunaan pada tahun 2011 (Sumber: UPT Pertanian Kecamatan Pangaribuan). Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi Menurut Penggunaannya Pada Tahun 2011
Tanah
Tanah
88
Tanah
Bangunan
Sawah Kering (Ha)
Tanah
Jalan dan Lainnya
Jumlah
Perkebun
Pemuk
(Ha)
(Ha)
an Rakyat
iman
(Ha)
(Ha)
1000
300
Pekarangan
(Ha)
Kuburan
(Ha)
1897
(Ha)
215
1500
3700
Tanah yang diusahai dalam waktu sementara 455 Ha. Sumber ekonomi Desa Rahut Bosi adalah kopi, padi sawah, padi gogo, kemenyan, nenas dan pertambangan mika.
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa Rahut Bosi 2011 Jumlah Jumlah Kepadatan
Penduduk Penduduk
Luas Pertengahan
Desa
Penduduk Akhir Tahun
(Km2) Tahun
(Jiwa/Km2) (Jiwa)
(Jiwa) Rahut Bosi
37,00
1.750
1757
47,49
Universitas Sumatera Utara
20
Jumlah penduduk Desa Rahut Bosi adalah 1757 jiwa yang terdiri dari laki-laki 895 jiwa dan perempuan 862 jiwa. Agama yang dianut adalah Kristen Protestan, Kristen Katolik dan agama Islam.
Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija (ha.) Kacang Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Jumlah Tanah
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha) (Ha)
22
12
20
2
56
Tabel 2.7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Jumlah
Jumlah
Rata-rata per
Penduduk
Rumah Tangga
Rumah Tangga
779
187
4
Lumban Sinaga
1.202
270
4
Pansur Natolu
1.051
271
4
Silantom Julu
639
145
4
Salantom Tonga
347
189
3
Rahut Bosi
1.757
399
4
Batu Nadua
1.347
305
4
Sampagul
1.007
303
3
719
163
4
2.225
544
4
Desa/Kelurahan
Parlombuan
Harianja Batu Manumpak
Universitas Sumatera Utara
Parsibarungan
1.038
230
5
Pakpahan
2.885
616
5
979
203
5
Purbatua
1.064
233
5
Lumban Sormin
1.229
269
5
972
216
5
1.351
327
4
976
244
4
Sigotom Julu
1.529
385
4
Silantom Jae
5.88
144
4
Padang Parsadaan
402
74
5
Pansorminan I
618
93
7
Jumlah
25.004
5.810
4
Jumlah
24.647
5.663
4
Najumambe
Sibingke Godung Borotan Parratusan
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Dalam berbagai tulisan yang membicarakan masyarakat Toba – kini sudah lebih sering disebut Batak Toba– istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga.
Universitas Sumatera Utara
Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk. Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu: (1) pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima istri (wife receiving party); (3) pihak yang memberi istri (giving party). (Siahaan, 1982:35) Ketiga unsur atau posisi penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu: Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal sebutan “Somba marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memeroleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga yang harus tetap akrab dan kompak, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan yang mengatakan “manat mardongan tubu”, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja”, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta. Kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan
Universitas Sumatera Utara
menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan kehidupan masyarakat Batak Toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan bersikap. Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur yang besar, gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan halong yang artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santun/etik. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbeda-beda agama. Mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, dan Budha kadang-kadang begitu erat kaitannya karena konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan adatnya di mana pun mereka berada. Setiap warga Batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota pemangku adat Dalihan Na Tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan di tengahtengah masyarakat secara adat Dalihan Na Tolu. Karena bila salah satu unsur dari adat Dalihan Na Tolu tidak hadir maka suatu pekerjaan adat dipandang tidak sah dan tidak kuat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan gambaran adat Dalihan Na Tolu di atas, dapat dimengerti bahwa adat Dalihan Na Tolu dapat dibentuk dalam mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga di suatu kampung. Akan tetapi meskipun telah berkembang melintas batas daerah Batak namun konsep dasar adat Dalihan Na Tolu berlaku sama di setiap wilayah dan tempat bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini bisa terwujud karena tutur dalam Dalihan Na Tolu amat menjaga adanya etika. Dari luasnya hubungan kekerabatan dalam adat Batak Toba, maka dapat dilihat tumbuhnya harosuan (keakraban) dan nilai ini sangat mendasar dalam segala pergaulan. Nilai keakraban itu tidak sekedar teori, tapi diaplikasikan dalam bentuk mekanisme sosial adat Dalihan Na Tolu sampai sekarang.
2.4.1 Hula-hula Kedudukan pemberi anak hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur bakat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajaon, artinya dirajakan, dan mereka sangat dihormati oleh borunya. Rasa hormat terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu, bahwa somba marhula-hula artinya seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan patuh kepada hula-hula walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan kepangkatan di luar adat lebih tinggi, namun tetap harus menghormati hulahulanya. Penghormatan terhadap hula-hula itu karena mereka dianggap sebagai tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu, sehingga hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianalogikan sebagai perwujudan “tuhan yang kelihatan”.
Universitas Sumatera Utara
Tidak jarang kita lihat Boru pergi mengunjungi Hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak Hula-hula. Keadaan ini seolah-olah memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi Hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dapat dirinci atas 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Dalam suatu musyawarah dan mufakat untuk sebuah rencana, Hula-hula adalah sebagai tempat meminta nasihat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat. 2. Pada saat upacara adat berlangsung, Hula-hula bertugas memimpin upacara memberkati dan berdoa, agar acara adat tidak mendapat hambatan. 3. Sebagai juru damai dalam suatu perselisihan, misalnya dalam hal pembagian harta warisan. Hula-hula yang bersusah payah untuk mendamaikan, tanpa memihak, sering menjadi pertimbangan untuk selesainya suatu permasalahan.
2.4.2 Dongan Sabutuha Sehubungan
dengan
kekerabatan
dongan
sabutuha,
Schreiner
mengemukakan: golongan-golongan “seperut” ini menganggap dirinya sebagai persekutuan-persekutuan pemujaan yang anggota-anggotanya secara berkala memperkuat kesatuan mereka dan ikatan persekutuan dengan bapa leluhur mereka melalui pesta-pesta perjamuan bersama. Ikatan mereka diteguhkan melalui musik gondang dan melalui pertukaran pemberian-pemberian. Kepada upacara-upacara pesta yang disertai pertukaran barang-barang antara golongan-golongan yang seketurunan semacam itu termasuk antara golongan-golongan yang seketurunan
Universitas Sumatera Utara
semacam itu termasuk juga kawin dan mengawinkan, yang mempertahankan keselarasan makrokosmos-makrokosmos. 5 Dongan sabutuha adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari ayah. Namun cakupannya dalam suatu pelaksanaan upacara adat lebih luas lagi, setiap marga yang dianggap satu nenek moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan sabutuha. Dari kata “dongan”, yang artinya adalah teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sejajar. Sabutuha adalah “satu ayah” dan “satu ibu”. Dongan sabutuha itu haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, sebagai keluarga kandung seibu-sebapak. Fungsi dongan sabutuha di dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah sama dengan suhut. Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa suaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafah manat mardongan tubu yang artinya hati-hati terhadap teman semarga, maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.
2.4.3 Boru Boru merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan formal dan nonformal. Penerima boru dalam suatu horja berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula. Dalam posisi ini kelompok hula-hula harus 5
Lothar Schreiner, Adat dan Injil (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002) 42. “Seperut” adalah istilah Schreiner untuk semarga yang dalam bahasa Batak Toba disebut dengan istilah dongan sabutuha.
Universitas Sumatera Utara
mengasihi dan bersikap mengayomi boru yang tercermin dari filsafat elek marboru. Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta. Jika masyarakat Batak Toba, hendak melaksanakan suatu horja, pada saat musyawarah kelompok dongan sabutuha, pendapat dan pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya rencana keputusan dilaksanakan. Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan sidang, pelaksananya adalah boru. Jadi dapat dikatakan peranan utama dari boru dalam adat adalah memberi sumbangan tenaga, materi, dan pemikiran pada setiap upacara adat. Selain itu, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadi perselisihan.
2.4.4 Sistem Sapaan Fungsi lainnya dari adat Dalihan Na Tolu adalah pengenalan garis keturunan hingga jauh ke atas yang disebut tarombo. Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur. Tutur merupakan suatu aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur merupakan suatu aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur juga sekaligus menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Tidak kurang dari lima puluh macam tutur dalam kekerabatan Batak Toba. Dengan menyebut tutur terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan di antara mereka
Universitas Sumatera Utara
yang menggunakan. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan perilaku apa yang pantas dan tidak pantas di antara mereka yang bergaul. S. De Jong mengatakan bahwa di bawah payung yang sama yaitu adat, manusia menjaga hak dan kewajiban tutur. Pada orang yang berbeda agama kadang terdapat sikap hidup yang sama. Alasannya cukup sederhana, yakni karena mereka semua pertama-tama merupakan orang Jawa atau Batak yang berpegang pada adat. Hal ini berlaku bagi masyarakat Batak Toba, sehingga perbedaanperbedaan agama, status sosial, jabatan dan lain-lain, namun dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam hal martutur mengesampingkan hal tersebut dan lebih mematuhi ketentuan adat (Jong, 1970:7). Dengan suatu tutur juga diketahui dan dilaksanakan suatu konsekuensi secara adat akan adanya hal dan kewajiban secara adat di antara mereka yang bertutur secara timbal balik. Jika seseorang memanggil tutur tulang yaitu sapaan untuk bapak mertua dan saudara laki-laki dari ibu, maka si pemanggil adalah bere yang artinya keponakan dari tulang tersebut. Konsekuensinya secara adat, yang memanggil tulang harus hormat kepada yang dipanggilnya karena posisinya menjadi hula-hula, sedang yang dipanggil tulang harus mengasihi, melindungi dan membimbing yang memanggilnya, karena dalam falsafah masyarakat Batak Tobadikenal istilah “amak do rere, anak do bere” yang artinya “keponakan adalah anak”. Jadi si bere tersebut harus diperlakukan sebagaimana anaknya oleh tulangnya. Tegaknya hak kewajiban di antara mereka sekaligus menentukan etika yang harus mereka jaga. Mereka harus menjaga etika dalam bersenda gurau.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya seperti tutur antara parumaen terhadap amang boru ada aturan adatnya yang
masing-masing
harus
menjaganya.
Si
parumaen
bila
hendak
mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu kepada amang borunya biasanya melalui anaknya, hal ini juga berlaku sebaliknya, melalui cucunya, karena menurut pandangan masyarakat Batak Toba, janggal bila antara kedua tutur tersebut akrab. Untuk masyarakat yang tidak tercakup dalam lingkungan keluarga yang dekat (masih diketahui hubungan kekerabatan yang jelas) tutur dapat juga dilaksanakan dengan acuan marga. Marga bagi masyarakat Batak Toba adalah asal mula nama nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama diri dari satusatu garis keturunan. Melalui rentetan vertikal turunan marga itu sejak nama nenek moyang sampai saat sekarang ini menumbuhkan silsilah Batak Toba. Marga dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Batak Toba memegang peranan penting untuk menempatkan dirinya berkomunikasi terhadap sesamanya masyakat sesuai dengan Dalihan Na Tolu. Marga dalam masyarakat Batak membentuk keluarga dan menimbulkan ketentuan yang ketat dalam aturan perkawinan. Seseorang harus mengawini wanita dari marga di luar kelompok marganya. Garis keturunan yang patrilineal, mengakibatkan wanita harus meninggalkan marganya, dan anaknya langsung menyandang marga suaminya. Konsekuensinya adalah setiap keluarga secara langsung masuk ke dalam tiga kelompok adat secara sekaligus; dongan sabutuha, hula-hula, dan boru, yang membentuk apa yang disebut dalihan na tolu.
Universitas Sumatera Utara
Marga bagi orang Batak juga sekaligus merupakan identitas yang menunjukkan silsilah dari nenek moyang asalnya. Sebagaimana diketahui marga bagi orang Batak diturunkan secara patrilineal artinya menurut garis ayah. Sebutan
berdasarkan
satu
kakek
dalam
marga
yang
sama
ialah
markahanggi/marampara. Orang Batak yang semarga merasa bersaudara kandung sekalipun mereka tidak se-ibu-se-bapak. Mereka saling menjaga, saling melindungi, dan saling tolong-menolong. Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaan harus selalu memelihara kekeluargaan. Rasa kekeluargaan tetap terpupuk bukan saja keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan seseorang adalah nama marganya bukan nama pribadinya. Jadi apabila orang Batak Toba bertemu di mana saja, terlebih-lebih ketika di perantauan, maka pertama sekali ditanyakan adalah nama marganya dan bukan nama atau tempat asal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka, dengan demikian mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal tabu dapat dihindarkan, seperti ungkapan bahwa: “jalo tiniptip sanggar, asa binaen huruhuruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya untuk membuat sangkat burung haruslah terlebih dahulu disiapkan/dibuat bahan-bahannya, dan untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marga. Dengan demikian orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Mata Pencaharian Mata pencaharian (sumber ekonomi) penduduk Tapanuli Utara secara umum adalah di bidang pertanian. Dari luas wilayah itu dapat kita lihat luas panen sawah 2.254/Ha, dan produksi 12.665,29 ton. Untuk Rahut Bosi luas panen sawah 88 Ha, produksi 494,56 ton, luas panen padi ladang di Rahut Bosi adalah 40 Ha, produksi 101,36 ton. Luas tanaman palawija di antaranya jagung 22 Ha, ubi kayu 12 Ha, dan ubi jalar 20 ha. Untuk hasil tanaman perkebunan rakyat di antaranya kopi 121 Ha, kemenyan 420,00 Ha, kulit manis 2 Ha, jahe 0,19 Ha.
2.6 Kampung dan Desa Dalam hal kemasyarakatan Batak Toba, urusan/masalah perkampungan/desa memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap marga mendiami sendiri suatu area sebagai perkampungan yang disebut huta, yang kemungkinan juga merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh sekelompok induk marga dari suatu keturunan, yang disebut toga. Kesatuan masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang didiami unsurunsur marga satu keturunan disebut bius. Misalnya marga Nainggolan dalam cakupan bius Onan Runggu, namun marga Simamora dalam cakupan bius Dolong Sanggul, marga Lumban Tobing dalam cakupan bius Tarutung, marga Sinambela dalam cakupan bius Balige, marga Pasaribu dalam cakupan bius Haunatas, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol daripada kelompok suku. Daerah suatu kampung, kecil adanya batas-batas pasti. Lebih tegas lagi, dia adalah sebidang tanah tempat kampung berdiri dengan tembok dan paritnya. Jika pendiri membangun di atas tanahnya sendiri, atau di atas tanah yang telah diduduki, maka parhutaan adalah bagian dari milik si pendiri serta keturunannya, dan akan terus begitu walaupun kampung itu pindah di kemudian hari ke lain temat, dan parhutaan itu menjadi lobu yaitu huta yang ditinggalkan. Daerah kampung adalah suatu lapangan kecil empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong di tengah-tengahnya. Di satu sisi bidang empat persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah, biasanya berbaris, setiap rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang. Berhadapan dengan barisan rumah terdapat lumbung padi. Biasanya, adapula satu atau dua kubangan lumpur. Keseluruhan dikelilingi tembok yang ditumbuhi pohon-pohon bambu yang
tinggi,
kadang-kadang
ada
juga
kampung
dengan
sebuah
parit
mengelilinginya. Dalam hal pemerintahan komunitas suatu kampung masyarakat Batak Toba, belum sampai kepada tingkat pemerintahan yang mampu mencakup suatu daerah luas di daerah pemerintahan yang mantap. Tidak ada orang atau orangorang yang memangku kekuasaan sentral. Sepanjang untuk keamanan, kadang-kadang dianggap perlu memiliki suatu kampung sebagai pos tapal batas di tempat yang dianggap rawan, dari mana kelompok suku yang berdekatan diduga mungkin akan menyerbu. Dalam hal demikian, setelah melalui perundingan antara wilayah-wilayah yang berdekatan,
Universitas Sumatera Utara
didirikanlah kampung, diisi dan dipeliharan sebagai sumbangan penting untuk mencegah musuh berani mendekat.
2.7 Agama dan Kepercayaan Dalam kepercayaan masyarakat Batak Purba, diyakini adanya Tuhan Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara fungsional terbagi atas tiga dalam prinsip yang tri tunggal, yaitu Tuan Bubi na Bolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai wilayah atas: langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang disebut banua tonga dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua toru. Konsep “Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli antropologi religi akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli orang Batak. 6 Sebelumnya, keagamaan orang Batak adalah suatu konsep totalitas, yaitu alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya terjalin dalam suatu pandangan. Konsep totalitas itu juga yang tercermin dalam pembagian alam menjadi tiga bagian dan Mulajadi Na Bolon sebagai penguasa. Sejak masa sebelum ada pengaruh Hindu, orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa tanah, dan roh-roh lain yang bermukim di tempat-tempat suci. Diperkirakan agama Hindu lama cukup memengaruhi perkembangan budaya Batak, seperti dapat dilihat dari kosa kata yang diserap dari bahasa Hindi dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara, aditia, anggara dan 6
Hary Parkin, Batak Fruit Hindu Thought, (Madras: Cristian Literature Society, 1978), 253. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 46
Universitas Sumatera Utara
lain sebagainya, dan terdapatnya candi-candi Hindu di Portibi, Sipamutung dan Padang Bolak. Menurut Pedersen pada mulanya antara tahun 2000 dan 1500 sebelum Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir barat Sumatera Utara telah dikuasai oleh suatu peradaban Hindu-Budha. Tetapi kemudian, pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu-Budha ke daerah Batak lebih menonjolkan teori kolonisasi yang lebih muda, dengan teori bahwa kolonisasi asing mungkin secara langsung datang dari India atau dari Jawa, tetapi yang paling besar kemungkinannya ialah dari orang-orang Melayu Minangkabau di Sumatera Tengah-Barat. (Pedersen, 1975: 17) Pada masa Si Singamangaraja X (sebelum masuknya Islam dan Kristen) kehidupan beragama bagi orang Batak Toba merupakan kesatuan yang erat dengan pemerintahan, yang pada masa itu dipegang oleh beberapa pimpinan. Sebab walaupun secara keseluruhan wilayah Batak Toba berpegang pada tata cara adat yang sama, tetapi masyarakatnya terbagi atas tiga harajaon yang masingmasing dipimpin oleh Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, yang menguasai tujuh marga dari keturunan Si Raja Lontung: Jonggi Manaor di lembah kaki gunung Pusuk Buhit, yang menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan; dan Si Singamangaraj X dengan wilayah yang hampir meliputi lima perenam dari keseluruhan wilayah Batak Toba (yang mencakup Toba Holbung, Samosir Utara, Humbang dan Silindung), yang menguasai belasan bius dari keturunan Sumba (Pasaribu, 1996:32).
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan ketiga pimpinan tersebut di atas adalah sebagai pendeta agung yang mewakili Mang Maha Kuasa dengan sebutan Malim Ni Debata. Mereka memimpin dari suatu bentuk organisasi politik yang meliputi berbagai bius, yang secara genealogis dan geografis terkelompok sebagai suatu rumpun, sesuai dengan peta hasil pola migrasi marga-marga masyarakat Batak Toba. Status mereka “keramat” (sakral), bahkan lebih lagi, mereka dipandang sebagai perwujudan nyata dari “yang keramat”, yang di dalam dirinya tergabung sifat alamiah (natural) dan adi kodrati (super-natural), dan mereka disebut sebagai orang-orang yang menerima sahala harajaon langsung dari Tuhan. Dalam konsep kebudayaan totalitas, kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang terjalin erat dalam keseluruhan tata kehidupan. Semua ritus pemujaan, baik “sembahyang” maupun upacara yang menyangkut pertanian, diatur oleh Parbaringin, sebuah organisasi bius yang mengatur tata kehidupan masyarakat Batak Toba. Tetapi walaupun organisasi Parbaringin diangkat oleh dan takluk di bawah pemerintahan sekuler biusnya sendiri, namun semua pejabat sekuler, dan terutama para parbaringin, berkiblat kepada Malin Ni Debata secara religius dan ideologis. Sehingga tampaklah suatu bentuk dari struktur “kekuasaan” yang jenjang tangga politiknya terungkap lewat hirarki ritual pesta marga yang tunduk pada ritual pesta bius, yang pada gilirannya tunduk pula pada ritual Malin Ni Debata. Dengan demikian terjadilah hubungan timbal balik antara unsur keagamaan dengan unsur “pemerintahan”. Pada masa Si Singamangaraja XII, ditanamkan suatu keyakinan tentang agama asli yang mereka anut sebagai agama yang berada di atas segala agama.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini merupakan suatu ajakan bagi masyarakat Batak Toba untuk tetap setia menganut agama asli yang berasal dari Mulajadi Na Bolon. Dalam konsep agama yang berada di atas agama, tercatat adanya tiga lapisan atau unsur kepercayaan yang juga tercermin dari ritual-ritual, yaitu: (1) unsur theisme, berdasar pada kepercayaan akan keesaan tuhan; (2) unsur kepercayaan bahwa semua benda dan gejala alamiah adalah roh atau mengandung roh, yang disebut animisme; dan (3) unsur kepercayaan bahwa jagat raya ini dikuasai oleh daya-daya gaib, magis yang lewat pelaksanaan ritual dan mantra dapat dikendalikan oleh datu, seperti penyembuhan orang sakit secara kekuatan supra-natural. Parbaringin dan Malim Ni Debata dapat dikatakan mewakili tahap evolusi kepercayaan Batak Toba dalam mana unsur “theis” semakin menonjol sejalan dengan perubahan wawasan politik dari ala bius ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kerajaan. Sekalipun tetap dianggap sebagai perwakilan kerohanian marga, para Parbaringin dalam tugasnya terlepas dari ikatan kemargaan dan selalu mengabdi kepada urusan keagamaan. Karena setelah dinobatkan oleh pemerintah sekuler bius, mereka menjadi bagian dari struktur oraganisasi keagaman yang berinduk kepada pendeta raja. Pendeta raja sendiri lebih longgar lagi hubungannya dengan marga asalnya. Dari silsilah diketahui bahwa Jonggi Manaor berasal dari marga Limbong, Ompu Palti Raja berasal dari marga Sinaga, dan Si Singamangaraja berasal dari marga Sinambela, tetapi sejak pendeta raja itu mulai menerima fungsinya, mereka terlepas dari hal-hal kemargaan. Mereka menjadi milik umum dan afiliasi kemargaannya tidak lagi mengikat, kecuali untuk kehidupan pribadinya.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Islam Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam. Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari masyarakat, sehingga memperoleh dukungan yang banyak terutama dari golongan yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat. (Keunang, 1990: 302) Kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada orang Inggris, dan sesudah tahun 1824, kepada orang Belanda; maka pecahlah suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut bagi kedua belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri. Malahan pada tahun 1830
mereka
melakukan
penyerangan
ke
Mandailing
dan
berhasil
memporakporandakan perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya. Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja Mandailing yang dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas gerakan kaum Paderi ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga era baru pun mulailah di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah pendudukan Kolonial Belanda. Pemerintah memerlukan
Belanda
tenaga-tenaga
dalam bantuan
melaksanakan untuk
program-programnya
mengerjakan
urusan-urusan
pemerintahan, yang antara lain dimulainya penanaman kopi secara paksa –
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu bagian dari Culturstelsel (Sistem Tanam Paksa). Orang Batak Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa sekolah didirikan untuk mendidik putra kepala-kepala adat Batak Mandailing agar memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan. Guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau. Orang-orang muslim yang menduduki posisi yang besar wibawanya, dijadikan contoh, untuk dipakai sebagai pedoman. Terutama hal ini berlaku terhadap generasi yang lebih muda, yang tidak lagi atau tidak sadar akan pengalaman dari kekejaman kaum Paderi. Sebagai penganut agama Islam yang sangat yakin, orang Minangkabau ini dihinggapi pula oleh semangat yang menyala-nyala untuk agama, sehingga sambil bekerja bagi pemerintah kolonial Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak Toba, bahkan nyaris tanpa batas yang jelas, masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Jadi hampir dapat dipastikan, bahwa masyarakat Batak Toba yang memeluk agama Islam pasti mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul. Sehingga daerah Batak Tobayang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam sedang sebagian lagi memeluk agama Kristen contohnya Pahae Jahe dan Pahae Julu.
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Kristen Sejarah baru perkembangan yang sangat dinamis bagi masyarakat Batak Toba dimulai dalam tahun 1863, ketika misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen menetap di Silindung. Sebelum itu, berabad-abad lamanya hampir tidak ada hubungan dunia luar, orang hidup terus dengan gayanya sendiri dan menurut pahamnya sendiri. Sebelum kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar Injil berkebangsaan Inggris, memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru beberapa hari sampai di tanah Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga melarikan diri meminta perlindungan kepada pihak Belanda. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun 1834 dua orang penginjil Amerika harus menebus kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh (Schreiner, 2002:56). Satu-satunya orang kulit putih yang tidak lama sesudah tahun 1850 dapat tinggal lebih lama di antara orang Batak-Toba adalah Neubronner Van Der Tuuk, tetapi ia berada dekat pantai di Barus di daerah pinggiran. Perjalanannya ke Danau Toba hampir saja berakhir dengan malapetaka baginya, ketika sekelompok masyarakat Batak Toba mengejar-ngejarnya. Hanyalah dengan melarikan diri dengan tergesa-gesa ia berhasil dapat mencapai kembali tempat tinggalnya di Barus. Tetapi untuk masa selanjutnya sikap masyarakat Batak Toba
mulai
terbuka dalam menerima agama baru. Hal ini merupakan paduan antara keinginan untuk merubah hidup dan gigihnya pekerjaan para zending. Mengenai persentasi penganut agama Kristen di Batak Toba, Geertz menuliskan: Agama Kristen telah dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak; ada juga sedikit menjadi Islam,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan nyang lainnya tetap memeluk apa yang dinamakan orang Batak Toba sebagai agama perbegu, yaitu kepercayaan kepada roh-roh. (Greetz, 1986) Nommensen pun sebenarnya mengalami banyak kesulitan di tahun-tahun pertama. Dari berbagai pihak ia mengalami berbagai hambatan dan gangguan, berkali-kali nyawanya terancam. Karena wibawa pribadinya yang besar dan kesabarannya yang hampir melebihi kesabaran manusia ia dapat bertahan, dan bukan itu saja ia berhasil pula menobatkan beberapa orang di antara raja-raja, walaupun pada permulaannya agak perlahan-lahan. Sesudah itu gerakannya bertambah cepat, agama Kristen mencapai perkembangan yang cepat. Mula-mula di Silindung, kira-kira 15-20 tahun kemudian di Dataran Tinggi Danau Toba dan Balige dan sekitarnya. Di sekitar Danau Toba walaupun sudah melalui perjuangan yang sengit, dengan campur tangan sebuah ekspedisi militer Belanda dan pencaplokan daerah itu, hasilnya memuaskan bagi Zending. Akan tetapi memang sesudah tahun 1883 Zending telah benar-benar berhasil dengan misinya, orang Batak Toba memahami apa arti kesempatan yang diberikan Zending dan pemerintahan Belanda kepada mereka. Keamanan dan ketertiban, pembukaan daerah permukiman dan lahan pertanian yang baru banyak memengaruhi taraf kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Tobadiberi kesempatan untuk dididik menduduki kedudukan-kedudukan dalam Zending sebagai pengetua-pengetua, guru dan pendeta. (Keunang, 1990: 302)
Universitas Sumatera Utara
2.7.3 Parmalim Organisasi agama Parmalim dibentuk antara tahun 1870 sampai tahun 1883 suatu reaksi dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan sikap hamalimon, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga keutuhan kepercayaan asli Batak dari pengaruh agama Kristen dan perluasan administratif Belanda. Bukti lain yang diajukan adalah keeratan hubungan antara Guru Somalaing Pardede, yang dianggap sebagai mandat dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan pengorganisasi Parmalim dengan E. Modligiani 7, seorang ahli botani Katolik berkebangsaan Itali, membuat penyatuan kepercayaan Islam, Kristen, kultus individu Si Singamangaraja dan animisme Batak dianggap sebagai dasar dari organisasi Parmalim ini. (Sangti, 1978:71) Sekitar tahun 1907 Parmalim yang dianggap sebagai suatu gerakan keagamaan dan politis, melahirkan Parhudamdam yang merupakan suatu gerakan keagamaan politis yang lebih ekstrim. “Agama baru” ini secara tidak langsung merupakan bawahan dari Parmalim. Sehubungan dengan ini Barlett menulis: Akhirnya aliran Parmalim ini meningkat menjadi Parhudamdam, yang bertalian dengan penyembahan Si Singamangaraja, dan merambat ibarat api yang menggila meliputi seluruh Tanah Batak. Dalam tahun 1918 dianggap sebagai ancaman politik yang menguatirkan banyak pejabat Belanda. 8 Parhudamdam diilhami oleh kematian Si Singamangaraja XII yang dipadu dengan adanya pembebanan pajak yang berat oleh Belanda, penyusunan kembali 7
Miodligiani, penulis buku laporan botani dan etnografi di daerah Batak yang berjudul “Fra I Bottacchi Indepedenti”, mengangkat Guru Somailing menjadi juru bicaranya. Sehingga diduga ia banyak memengaruhi sikap dan cara berfikir Somailing. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 37. 8 H.H. Barlett. The Labors of The Datou, (Ann Arbor: University of Michigan), 15 dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
pola-pola tanah milik, dan pengaruh-pengaruh asing lainnya yang berkembang di wilayah Batak, sehingga hal-hal tersebut di atas menimbulkan suatu mitologi yang messianis, yaitu ada kepercayaan akan datangnya kembali Si Singamangaraja, dan suatu tema kebinasaan apokaliptis bagi orang-orang yang tidak percaya. Tata cara ibadat Parhudamdam merupakan paduan antara ritual-ritual gaya Parmalim dengan Islam. 9 Dalam pelaksanaan ibadat parmalim, selain acara ibadat rutin setiap hari Sabtu, hampir seluruh upacara ritual mereka dilaksanakan dengan musik, baik dengan gondang sabangunan maupun dengan gondang hasapi. Berikut ini tulisan Pasaribu tentang kegiatan Parmalim yang dikutip dari catatan harian Masashi Hiroshue, sebagai berikut. Dungi marliat ma margondangi ganup ripe: manukma digondangkan ia na umpogos, hambing ia di naummora, jadi sai marpunguma nasida ganup ari mangan-mangan, ia dung lojabe manortori, ai ndang ringkot roha nasida marulaon. Ai songon ondo di dok guru nasidai: Mangulape angka parbegu I, dohot angka na Cristen I, na hita do I sogot, ninna, Huhut didok: molo dung mulak sian habuangan Guru Somalaing dohot Ompu Barnit ama pangajari I, sega ma tano on, jadi mago masude na cristen dohot parbegu I, alai sonangma ianggo hita. Ai patarma disi harajaonni rajanta Si Singamangaraja I dohot tuanta Raja Rom. 10 Terjemahannya: Kemudian setiap keluarga menari berkeliling dengan iringan gondang: keluarga yang sederhana mempersembahkan ayam, dan 9
Ismail Manalu, Mengenal Batak, (Medan: CV Kiara 1985), 174. Adanya pengucapan “La Illaha Illallahu” yang berulang-ulang dalam ibadat mereka, merupakan perkembangan yang sinkretis yang sudah akomodatif dalam menerima unsur-unsur agama, terutama agama Islam. 10 Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 41. Masashi Hiroshue adalah seorang warga Jepang yang menulis topik tentang Parmalim untuk disertasinya pada Australia National University.
Universitas Sumatera Utara
bagi keluarga yang kaya kambing, yang dipersembahkan melalui gondang, setiap hari mereka berkumpul dan makan-makan, dan mereka terus menari hingga letih, namun mereka tidak mengindahkan pekerjaan. Sebab guru mereka pernah berkata: walaupun kaum kafir dan kristen senantiasa bekerja, kelak hasilnya akan jatuh ke tangan kita, kemudian dikatakan: apabila Guru Somalaing dan Ompu Barnit, guru kecintaan kita, sudah kembali dari pembuangan berubahlah dunia ini, lantas musnahlah semua kristen dan kafir, tetapi kalau kita akan mendapat kesenangan. Sebab jelaslah pada saat itu kerajaan dari Raja Si Singamangaraja dan Tuan Kita Raja Rom. 11 Secara umum peribadatan Parmalim dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 1. Upacara yang wajib dilaksanakan oleh anggota penganut Parmalim dua kali dalam setahun, yang disebut sipaha sada dan sipaha lima. Upacara sipaha sada berlangsung selama lima hari, sedang upacara sipaha lima berlangsung selama tiga hari. 2. Upacara yang dilaksanakan secara khusus, tanpa berpegang pada bulan-bulan tertentu, yang pelaksanaannya merupakan kehendak dari perseorangan. Upacara seperti ini disebut maradat, misalnya martutu aek yaitu upacara pemandian bagi anak yang baru lahir; manggalang na paet yaitu suatu upacara kurban setelah melaksanakan puasa selama sehari semalam; dan sebagainya. 3. Upacara yang dilaksanakan apabila seseorang ada melakukan kesalahan atau perbuatan asusila sehingga dilaksanakan acara manopoti sala (memohon ampun). Kepada orang yang melakukan kesalahan ini akan dikenakan aturan yang “ingkon pajong-jongonna hau sarung marnaik, halangonna gondang
11
Dalam tonggo-tonggo (doa) Si Singamangaraja, diucapkan hormat kepada Mulajadi na Bolon, Martua Raja Uli, Tuan Soripada Aceh dan kepada Martua Raja Rom, yang diperkirakan adalah Raja Turki dari Istambul dari kekaisaran Ottoman yang pengaruh dan wibawanya masuk melalui Aceh.
Universitas Sumatera Utara
bolon” (harus mendirikan kayu sarung marnaik dan mengadakan acara gondang).
2.7.4 Siraja Batak Organisasi Si Raja Batak berdiri sekitar tahun 1942, merupakan suatu kenangan terhadap Si Singamangaraja dengan memproklamasikan pemujaan terhadap Mulajadi Na Bolon, penghormatan leluhur orang Batak, dan pemeliharaan adat. Perbedaan yang nyata antara organisasi Parmalim dan Si Raja Batak adalah dasar pijakannya. Parmalim menekankan pada hal iman sedangkan Si Raja Batak menekankan pada hal adat. Si Raja Batak didirikan oleh Raja Patik Tampubolon yang beranggapan bahwa tugas penganut Si Raja Batak adalah menghidupkan kembali persekutuanpersekutuan bius melalui pengaruh adat yang berdasarkan kekuatan ilham yang supra alamiah. Tampubolon membuat “kitab suci” dari Si Raja Batak yang disebut Pustaha Tumbaga Holing, yang oleh Tampubolon sendiri disebut sebagai pustaha yang berdasar pada mitos pustaha yang diberikan Mulajadi Na Bolon kepada Si Raja Batak (nenek moyang suku bangsa Batak), dan mencoba membuktikan melalui pustaha karangannya bahwa seluruh habatahon (dasar-dasar kehidupan dan setelah kehidupan masyarakat Batak) adalah dasar anutan Si Raja Batak. Tetapi Tampubolon tidak menyebut agama, melainkan “adat” sebagai inti Si Raja Batak (Schreiner, 2002: 41-43). Hampir keseluruhan dari upacara-upacara penting Si Raja Batak mempunyai kaitan dengan pertanian. Hal ini merupakan suatu warisan dari tata
Universitas Sumatera Utara
aturan parbaringin, yang senantiasa menyertakan siklus aktivitas pertanian dalam ritual bius. Secara umum upacara peribadatan Si Raja Batak dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 1. Upacara yang wajib dilaksanakan secara berkala dalam setahun, misalnya: Gondang Patuat Boni Sipaha Ualu, suatu upacara sebelum menanam padi; Gondang Buhuni Taon, suatu upacara menjelang panen; Gondang Matumona Sipaha Dua, upacara panen; Gondang Haroroni Habonaran Sipaha Lima, upacara menyambut kedatangan roh kebenaran; Gondang Sahala ni Raja Si Singamangaraja, upacara memperingati kematian Si Singamangaraja. 2. Upacara yang dilaksanakan oelah penganut Si Raja Batak yang berkenaan dengan adat dan dalihan na tolu, misalnya: Panangkokhon Saring-saring, upacara menggali dan menguburkan kembali tulang-belulang leluhur, dan Gondang Debata Pasahat Tondi ni Naung Mate Matua, upacara kematian. Upacara yang dilaksanakan oleh penganut Si Raja Batak berdasarkan keinginan perseorangan. Hal ini disebut sinta-sinta, misalnya: Sibaran, upacara yang dilakukan atas permintaan seseorang yang telah menderita sakit dan mangompoi gorga, upacara peresmian rumah.
2.8 Kesenian Masyarakat Batak Toba 2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara Dalam masyarakat Batak Toba ada dua kata yang dapat dianalogikan dengan istilah tari,
Universitas Sumatera Utara
a. Tumba yaitu suatu tarian bagi anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di halaman desa, dan peristiwanya terlepas dari konteks upacara. Tumba mirip dengan joting tetapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam sambil bernyanyi. Gerakannya didominasi gerakan tortor, tetapi ada kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan nyanyian ini disebut Tumbas. Sementara dalam syair lagunya ada kata tumba. Tumba adalah syairnya, embas adalah gerakannya. Pemakaian kata tumba dipopulerkan karena embas tortor batak semakin dihilangkan dan telah didominasi budaya joget melayu. b. Tortor, yang dilakukan dalam setiap upacara dengan iringan gondang sabangunan, secara umum terlihat seperti hiburan. Akan tetapi dalam pemikiran yang asli, kedudukan tor-tor bagi masyarakat Batak Toba tidaklah merupakan suatu seni hiburan. Pastor A.B. Sinaga menuliskan: Pada mulanya tortor bukanlah peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada Pengada Adikodrati… Tortor asli Batak bersifat sakral dan merupakan pujaan kepada Sang Maha Tinggi (Sinaga, 1977:16-19). Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian: -
Tortor hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara. Antara pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya dilakukan pada setiap awal penyajian gondang, setiap penari melakukan gerakan yang sama, menurut pola-pola yang telah baku.
Universitas Sumatera Utara
-
Tortor hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks upacaranya. Dengan kata lain, fungsi tortor ini berhubungan dengan upacara tersebut. Tortor ini dilakukan secara pribadi atau sekelompok orang yang memiliki motivasi serupa misalnya tortor untuk kaum muda, atau tortor dalam acara sukacita, tetapi memiliki gerakan yang relatif bebas, setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan ekspresinya sepanjang masih mengikuti ritme. Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Batak Toba, tortor sangat individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali mereka mengabaikan hal ini.
c. Joting Joting adalah seni suara dengan syair yang beraturan dipadukan dengan gerakan yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seseorang bernyanyi dan diikuti banyak suara (respinsorial). d. Andung Andung adalah ratapan bernuansa kesedihan. Bila tangisannya diiringi dengan suara menggelegar dan hempasan tubuh sembarang disebut dengan “angguk bobar”.
Universitas Sumatera Utara
e. Oing Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Oing kebanyakan mengutarakan suka duka dan pengharapan, biasanya dinyanyikan perahan dan dalam kesendirian. f. Dideng Dideng adalah seni suara bernuansa sanjungan dan motivasi kepada seseorang. g. Didang Didang tidak disebut sebagai seni suara, tetapi merupakan sikap menyanjung seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun perlahan disebut “mandidang” dan kadang diiringi nyanyian meninabobokkan. h. Doding Doding adalah kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati seseorang atau kelompok orang. Doding juga adalah rangkaian kata-kata bentuk nyanyian yang tujuannya menyemangati seseorang atau kelompok orang. Orang tua bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang belajar berdiri termasuk juga sebagai kegiatan mandoding. i. Ende Ende (nyanyian) adalah syair dan irama yang dilagukan oleh pemain joting dan tumbas. Opera Batak adalah bentuk kegiatan teatrikal yang diiringi Gondang Hasapi dan nyanyian (andung, ende, oing) untuk hiburan rakyat. Opera Batak mempopulerkan
kesenian
andung,
ende,
oing,
dan
pemainnya
sering
menampilkan (bernyanyi seperti menangis).
Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Seni Rupa Di antara beberapa ciri khas kesenian Batak Toba, karta seni rupa yang paling tua dapat dilihat sekarang ini adalah hasil karya seni megalitikum. Peninggalan ini sampai sekarang masih banyak kelihatan di beberapa tempat di Toba. Pengaruh kebudayaan ini juga tercermin pada bentuk atap berbentuk tanduk kerbau, dan dindingnya yang penuh ukiran yang disebut gorga. Wawasan seni rupa yang ada pada masyarakat Batak Toba juga mencakup tenun, ragam hias, patung, dan berbagai bentuk lainnya. Salah satu yang khas dalam penyajiannya adalah apa yang tertera pada bangunan ruma dan sopo (tempat menyimpan padi dan beberapa kegiatan desa yang menyangkut kehidupan muda-mudi). Secara umum, pola-pola ragam hias tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Pola berbentuk manusia, misalnya: ulu paung, singa-singa. b. Pola berbentuk hewan, misalnya: boraspati, hoda-hoda. c. Pola berbentuk raksasa, misalnya: jengger, jorngom. d. Pola berbentuk tumbuhan, misalnya: hariara, sundung di langit. e. Pola berbentuk geometris, misalnya: ipon-ipon, iran-iran. f. Pola berbentuk kosmos, misalnya: silintong, simarogung-gung. Di samping berfungsi sebagai magis, di sisi lain seni rupa yang berbentuk tenunan, ulos misalnya berfungsi dalam upacara adat. Setiap corak atau motif ulos yang dibedakan dalam warna, pola, bahan, dan ukuran memiliki nama-nama tersendiri. Misalnya: ragidup, abit godang, runjat, sibolang, ragi hotang, sadum,
Universitas Sumatera Utara
parompa, dan sebagainya. Tetapi dalam masing-masing upacara adat, nama ulos tersebut berubah menurut kepentingan dan fungsi ulos tersebut. Misalnya: dalam upacara kelahiran diberikan ulos manimpus, ulos tondi; dalam upacara perkawinan diberikan ulos pargomgom, ulos pansamoti, ulos hela todoan, ulos paribanl dalam upacara kematian diberikan ulos saput, ulos saurmatua, ulos panggabei; dalam upacara mangongkal holi diberikan ulos saput; dalam upacara pemberian nama anak diberikan ulos mampe; dalam upacara memasuki rumah baru diberikan ulos mompo jabu. Jadi dalam kehidupan masyarakat Batak Tobakarya seni rupa mempunyai kedudukan penting dalam religi, adat, dan kehidupan sehari-hari.
2.8.3 Seni Sastra Selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari, bahasa Batak Toba juga dipergunakan dalam seni-seni sastra masyarakat Batak Toba, yang mencakup turiturian
(cerita/hikayat/legenda),
tonggo-tonggo
(mantra),
torsa-torsa
(perumpamaan), huling-huling (teka-teki). Kesemuanya disampaikan dalam beberapa bentuk penyajian sastra, yang berfungsi sebagai hiburan, bagian dari adat, hukum dan religi. Bentuk bahasa dalam seni sastra ini yang pokok ada tiga macam, yaitu: 1. Umpama, suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat, misalnya:
Universitas Sumatera Utara
-
Songon gondang, dobung-dobung soarana, hape rumar do dibagasan. (Terjemahannya: Seperti gendang, keras suaranya, ternyata kosong di dalamnya).
-
Matek-tek bulung pinasa, matektek tu bona. Tunda ni anakna, dohonan tu amana (Terjemahannya: jatuh daun nangka, jatuh ke batangnya. Perbuatan anaknya, ditanggungkan ke ayahnya). (Pasaribu, 1986:41).
2. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang dari segi bentuknya agak sulit dibedakan dari umpama. Tetapi dari segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan berkat, contohnya” - Sahat-sahatni solu, sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat tu pangabean. (Terjemahannya: Melajulah perahu, melaju ke tepian, semoga mempunyai umur yang panjang dan mencapai kebahagiaan/kesuksesan). 3. Tudosan, suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan sesuatu, misalnya: -Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani uhum, toguan hatani padan. (Terjemahannya: Kuat/teguh pun akar bamboo, lebih kuat/teguh akar rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, namun lebih kuat/teguh aturan janji).
Universitas Sumatera Utara
2.8.4 Seni Musik Musik dalam masyarakat Batak Toba, seperti dalam kelompok-kelompok tercakup dalam dua bagian besar, yaitu: a) musik vokal, dan b) musik instrumen. Dalam musik vokal tradisional pembagian ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut dapat dilihat dari isi liriknya. Masing-masing lagu yang disebut ende memiliki kategori tersendiri, yang secara tradisional dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: 1. Ende Mandideng, yaitu musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby song). 2. Ende Sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Dinyanyikan pada saat senggang pada harihari menjelang pernikahan tersebut. 3. Ende Pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solochorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda dalam waktu senggang, bisanya malam hari. 4. Ende Tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan. Penyanyi sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di halaman kampung yang disebut alaman pada malam terang bulan. 5. Ende Sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi di tempat sepi.
Universitas Sumatera Utara
6. Ende Pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya. 7. Ende Hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk AABB yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dinyanyikan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua. 8. Ende Andung, adalah vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung, melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya, haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini (Pasaribu, 1986:50-54). Dalam musik instrumen, ada instrumen yang lazim disajikan dalam bentuk ensambel dan ada yang disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dengan upacara adat, ritual maupun hiburan. Dalam masyarakat Batak Toba, instrumen tunggal adalah yang lepas dari suatu ensambel, namun selain fungsinya sebagai instrumen yang dimainkan secara tunggal, ia juga dapat dimainkan sebagai pendamping vokal. Instrumen-instrumen ini, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1. Dalam kelompok kordophon. Sidideng (seperti rebab dengan dua senar), tanggetang (bamboo idiochordo). Mengmung (seperti prinsip tanggetang tetapi dengan senar dari rotan dan peti kayu sebagai resonator). 2. Dalam kelompok aerophoe, salung (transverse flute), salohat (seperti salung dengan ukuran yang lebih kecil), along-along (alat tiup temporer dari batang padi). 3. Dalam kelompok idiophone, jenggong (jews harp logam), saga-saga (jews harp bambu). Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam musik masyarakat Batak Tobaterdapat dua jenis ensambel yang dalam beberapa repertoar memiliki kesamaan fungsi sebagai pengiring upacara, yaitu gondang hasapi dan gondang sabangunan. 1. Gondang hasapi, yang memiliki beberapa variasi dalam instrumentasinya, tergantung pada guna dan jumlah pemainnya. a. Instrumen pembawa melodi: hasapi ende (plucked lute dua senar), garantung (xylophone), sarune etek (single reed). b. Instrumen ritme konstan; hasapi doal (plucked lute dua senar) dan hesek (plat logam atau botol kosong). 2. Gondang sabangunan, yang terdiri dari: a. Instrumen pembawa melodi: sarune (shawm), taganing (drume chime). b. Instrumen ritme variabel: gordang (single headed drum), taganing. c. Instrumen ritme konstan: ogung (gong) yang terdiri dari oloan, ihutan, doal dan panggora, hesek (plat logam atau botol kosong).
Universitas Sumatera Utara