BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG
A. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Pemalsuan Uang 1. Tindak Pidana Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Moeljatno menjelaskan bahwa:1 “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri. Dengan ini ditolak pendapat bahwa hukum pidana adalah bergantung pada bagian-bagian hukum lainnya dan hanya memberi sanksi saja pada perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dalam bagian-bagian hukum lainnya itu.” Lebih jauh Moeljatno menjelaskan pula bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:2 a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat 1 2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 9. Ibid, hlm. 1.
27
28
dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu. Simons, sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, memberikan definisi bahwa:3 “Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh Negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya, kesemua aturan-aturan yang menentukan syaratsyarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut”.
Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa hukum pidana adalah suatu hukuman yang diberikan oleh negara kepada setiap orang yang melaksanakan larangan-larangan yang diadakan oleh negara. Dalam kaitan itu, Wirjono prodjodikoro menyatakan bahwa:4 Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak seharihari dilimpahkan.”
3
Ibid.,, hlm. 8. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm. 1. 4
29
Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini, dan alasan ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang didalamnya seorang oknum yang bersangkutan bertindak kurang baik. Maka unsur “hukuman” sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”. Akan tetapi, kata “hukuman” sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana” di samping “hukum perdata” seperti misalnya ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang disusul dengan pelelangan. Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsurunsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Menurut Moeljatno, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:5 a. Kelakuan dan akibat. Pada hakekatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam lahir (dunia); b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Van Hamel membagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai diluar diri si pelaku; c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Sebagai syarat penuntutan untuk mendatangkan sanksi pidana, untuk menuntut supaya pelakunya dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan; d. Unsur melawan hukum yang obyektif.
5
Moeljatno, Op.Cit.,hlm. 69.
30
Menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan; e. Unsur melawan hukum yang subyektif. Adakalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri. Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana dijelaskan oleh Moeljatno sebagai berikut:6 “Suatu perbuatan sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya ditekankan, meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.” Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:7 a. Subjek tindak pidana Subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berfikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman atu pidana yang termuat pada pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda; b. Perbuatan dari tindak pidana Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat para perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Misalnya dalam tindak pidana mencuri, perbuatannya, dirumuskan sebagai mengambil barang; 6 7
Ibid., hlm. 70. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm.59.
31
c. Hubungan sebab akibat Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu; d. Sifat melanggar hukum Hukum pidana dengan tindak-tindak pidana yang dirumuskan didalamnya itu, bersumber pada pelanggaranpelanggaran hukum di bidang-bidang hukum lain; e. Kesalahan pelaku tindak pidana Karena si pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini adalah mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Dan baru kalau ini tercapai, maka betul-betul ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana; f. Kesengajaan Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja; g. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan si pelaku dapat dipertanggungjawabkan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana; h. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan mencapai akibat yang menjadi dasar dari deli, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu; i. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu; j. Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melanggar hukum Bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku harus tahu bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana; k. Culpa
32
l.
m.
n.
o.
Suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti ke sengaja, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Culpa merupakan perbuatan yang kurang hati-hati dan menimbulkan suatu akibat yang dilakukan oleh undangundang yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pelaku peerbuatan itu; Culpa khusus Adakalanya suatu culpa ditentukan tidak untuk akibat dari tindak pidana, tetapi mengenai hal yang menyertai akibat itu; Kelalaian Pada pasal-pasal 247-253 dari perundang-undangan yang dibicarakan hamper semata-mata hal kelalaian. Dalam pasal tersebut, hal kelalaian diperlakukan secara primer, sedangkan hal kesengajaan hanya secara subsidier sebagai hal yang memberatkan hukumannya sampai dua kali lipat; Tiada hukuman tanpa kesalahan Pasal-pasal KUHP mengenai tindak-tindak pidana yang masuk golongan kejahatan atau misdridjven termuat dalam buku II KUHP selalu mengandung unsur kesalahan dari pelaku pihak tindak pidana, yaitu kesengajaan atau culpa; Unsur-unsur khusus dari tindak-tindak pidana tertentu Tindak pidana yang pada umumnya melekat pada suatu tindak pidana. Disamping unsur-unsur ini, terdapat beberapa unsur khusus yang hanya ada pada pelbagai tindak pidana tertentu.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu tindak pidana terdiri dari beberapa unsur yaitu adanya subjek tindak pidana, adanya perbuatan dari tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat terjadinya pidana, adanya sifat melanggar hukum, adanya kesalahan pelaku tindak pidana, adanya kesengajaan, adanya culpa, adanya kelalaian, adanya tiada hukuman tanpa kesalahan, dan unsur-unsur khusus dari tindak-tindak pidana tertentu.
33
2. Tidak Pidana Pemalsuan Uang Uang merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari denyut kehidupan ekonomi masyarakat. Stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh sejauh mana peranan uang dalam perekonomian oleh masyarakat dan otoritas moneter. Definisi uang bisa dibagi dalam dua pengertian, yaitu definisi uang menurut hukum (law) dan definisi uang menurut fungsi. Yuliadi mengemukakan definisi uang menurut hukum yaitu:8 “Sesuatu yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai uang dan sah untuk alat transaksi perdagangan. Sedangkan definisi uang menurut fungsi, yaitu sesuatu yang secara umum dapat diterima dalam transaksi perdagangan serta untuk pembayaran hutang-piutang.”
Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa uang adalah satu alat sah secara undang-undang dapat diterima dalam transaksi perdagangan serta untuk pembayaran hutang-piutang. Namun demikian, pada awalnya fungsi uang hanyalah sebagai alat guna memperlancar penukaran. namun seiring dengan perkembangan zaman fungsi uangpun sudah beralih dari alat tukar ke fungsi yang lebih luas. Uang sekarang ini telah memiliki berbagai fungsi, sehingga benar-benar dapat memberikan banyak manfaat bagi penggunanya. Boediono mengemukakan bahwa fungsi dasar dari uang diantaranya:9 a. Alat tukar (means of exchange). 8 9
Yuliadi, Ekonomi Moneter, PT Indeks, Jakarta, 2004, hlm. 4. Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE-UGM, Yogyakarta, 2004, hlm. 10.
34
Peranan uang sebagai alat tukar mensyaratkan bahwa uang tersebut harus diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran. Artinya, si penjual barang mau menerima uang sebagai pembayaran untuk barangnya karena ia percaya bahwa uang tersebut juga diterima oleh orang lain (masyarakat umum) sebagai alat pembayaran apabila ia nanti memerlukan untuk membeli suatu barang; b. Alat penyimpan nilai/daya beli (store of value). Terkait dengan sifat manusia sebagai pengumpul kekayaan. Pemegangan uang merupakan salah satu cara untuk menyimpan kekayaan. Kekayaan tersebut bisa dipegang dalam bentuk-bentuk lain, seperti tanah, kerbau, berlian, emas, saham, mobil dan sebagainya. Syarat utama untuk ini adalah bahwa uang harus bisa menyimpan daya beli atau nilai; c. Satuan hitung (unit of account). Sebagai satuan hitung, uang juga mempermudah tukarmenukar. Dua barang yang secara fisik sangat berbeda, seperti misalnya kereta api dan apel, bisa menjadi seragam apabila masing-masing dinyatakan dalam bentuk uang; d. Ukuran untuk pembayaran masa depan (standard for deferred payments) Sebagai ukuran bagi pembayaran masa depan, uang terkait dengan transaksi pinjam-meminjam atau transaksi kredit, artinya barang sekarang dibayar nanti atau uang sekarang dibayar dengan uang nanti. Dalam hubungan ini, uang merupakan salah satu cara menghitung pembayaran masa depan tersebut.
Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa fungsi uang bukan hanya sekedar alat pertukaran saja, tetapi juga dapat digunakan untuk alat penyimpanan nilai, satuan hitung dan untuk pembayaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, uang memiliki fungsi yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, sehingga memunculkan suatu tindak pidana terkait dengan uang, salah satu pemalsuan uang.
35
Kejahatan pemalsuan menurut Teguh Prasetyo adalah:10 “Kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya itulah yang di namakan dengan tindak pidana pemalsuan dalam bentuk (kejahatan dan pelanggaran).” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa kejahatan pemalsuan adalah suatu tindak pidana dengan melakukan ketidakbenaran tau memalsukan suatu objek agar terlihat asli yang dapat merugikan masyarakat. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah pada Pasal 1 ayat (13) dan ayat (14) menjelaskan bahwa:11 “Uang Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Uang Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Uang Rupiah sebagai simbol Negara”. “Uang Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Uang Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum”.
Pengertian mata uang palsu itu sendiri adalah mata uang yang dicetak atau dibuat oleh perseorangan maupun perkumpulan/sindikat tertentu dengan
10
Teguh Prasetyo, Hukum pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 58. F.X. Bambang Irawan, Bencana Uang Palsu, Els Treba, Yogyakarta, 2008, hlm. 14.
11
36
tujuan Mata uang palsu hasil cetakannya dapat berlaku sesuai nilainya dengan sebagaimana mestinya. Eddi Wibowo lebih jauh menjelaskan:12 “Pemalsuan uang kertas dilakukan dengan cara peniruan (conterfeiting). Tindakan meniru uang dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya seolah-olah uang tersebut asli merupakan suatu tindak kejahatan berat yang dapat dikenai hukuman pidana.” Pemalsuan jenis peniruan dapat digolongkan menjadi jenis-jenis “kurang berbahaya” dan “berbahaya”, yaitu:13 a. Jenis yang kurang berbahaya, yaitu jenis pemalsuan uang dengan kualitas relatif kurang baik, masyarakat mudah membedakannya dengan yang asli, pembuatannya dilakukan satu-persatu (kuantitas produksinya rendah). 1) Lukisan Tangan Peniruan dilakukan dengan cara melukis dengan bahan antara lain cat air, hasil lukisan tampak buruk, tidak sempurna, tidak rapi dan mudah dideteksi; 2) Fotokopi hitam putih Pemalsuan dengan alat fotokopi hitam putih memberikan penampakan pada hasil cetakan antara lain garis-garis relief dan garis halus hilang terputus-putus atau tidak jelas. Penyempurnaan warna gambar dilakukan dengan menggunakan cat air; 3) Cetakan kasa/sablon Proses ini memerlukan alat fotografi untuk memisahkan warna-warna yang ada pada gambar aslinya. Sebagai acuan cetak digunakan kasa (screen) missal nilon, sebanyak jumlah warna yang diperlukan; b. Jenis berbahaya, yaitu jenis pemalsuan dengan kualitas baik, mendekati sempurna dan sulit dibedakan dengan yang asli jika dideteksi tanpa menggunakan alat deteksi serta kuantitas produksinya tinggi. 1) Proses photo mechanic (fotografi)
12
Eddi Wibowo dkk, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004, hlm. 130-132. 13 Ibid., hlm. 132-135.
37
Reproduksi dengan cara pemisahan setiap komponen warna. Komponen-komponen warna tersebut kemudian dikombinasikan sesuai dengan urutan pencetakannya; 2) Proses colour separation Pemisahan warna dilakukan dengan filter pada kamera bagi masing-masing warna proses (cyan, magenta, yellow dan black). Penomoran dilakukan dengan menggunakan teknik cetak offset yang banyak digunakan percetakan non-sekuritas; 3) Proses multi-colour Pemisahan warna secara selektif dan pencetakannya sesuai dengan jumlah warna secara berurutan. Unsur pengaman yang ada pada uang kertas antara lain warna kertas, tanda air, benang pengaman, dan serat-serat berwarna dapat juga ditiru dengan proses ini. Reproduksi dengan proses multi-colour relatif memerlukan keahlian dan ketelitian dengan waktu persiapan yang lebih lama dibandingkan dengan colour separation. Uang kertas rupiah palsu hasil reproduksi dengan proses multi-colour secara teknis merupakan ancaman potensial menuju kualitas sangat berbahaya; 4) Fotokopi berwarna Kemajuan teknologi fotokopi berwarna berkembang pesat. Dewasa ini mesin fotokopi berwarna mampu mereproduksi semua warna yang tampak. Yaitu empat warna dasar yang dikenal sebagai warna cyan, magenta, yellow dan black. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa setiap pemalsuan uang tidak selalu identik dengan uang palsu, dimana dibuat dengan menggunakan peralatan yang sederhana sehingga masyarakat mudah untuk mengenalinya. Sedangkan untuk pemalsuan uang yang berbahaya dimana pemalsuan dilakukan dengan peralatan yang modern sehingga masyarakat akan sulit untuk mengenalinya.
38
Ditinjau dari sifat pelaku pemalsuan uang kertas rupiah, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri, dapat dibedakan sebagai berikut.14 a. Secara professional Uang kertas rupiah palsu yang dibuat secara professional oleh organisasi sindikat (organized crime), umumnya dapat digolongkan pada jenis „berbahaya‟, dimana semua gambar pada uang palsu merupakan hasil reproduksi dengan proses photo mechanic, dicetak offset dengan pemberian warnanya secara colour separation atau multi colour menggunakan tinta cetak biasa sampai penggunaan tinta-tinta sekuritas. Kertas yang digunakan umumnya mirip dengan asli kecuali pemalsuan benang pengaman dan tanda air yang kualitasnya sangat rendah. Kasus-kasus pemalsuan uang kertas rupiah eks-luar negeri dapat dibedakan sebagai berikut: 1) Semua pemalsuan uang kertas rupiah eks-Singapura dan Malaysia dilakukan melalui proses colour separation; 2) Semua pemalsuan uang kertas rupiah eks-Hongkong dan Tawao (Filipina Selatan) dilakukan melalui proses multi colour. b. Secara amatir Uang kertas palsu yang dibuat secara amatir baik oleh suatu kelompok maupun perorangan ini pada umumnya dapat digolongkan jenis „kurang berbahaya‟ sampai dengan jenis „berbahaya‟ biasanya dilakukan di dalam negeri. Modus operandi pemalsuannya, yaitu: 1) Digambar atau dilukis satu-persatu secara sederhana atau difotokopi dan kemudian diberi warna; 2) Dicetak dengan alat cetak sederhana (handpress, sablon); 3) Pemindahan warna (colour transfer); c. Kualitas uang kertas palsu lainnya Dari hasil pemeriksaan terhadap uang kertas palsu yang pernah diperiksa di Laboratorium Perum Peruri, poses pemalsuan berkisar dari cara yang paling sederhana yaitu
14
Ibid., hlm. 136-137.
39
lukisan tangan, colour transfer, dan cetakan kombinasi antara offset dengan etterpress-thermography.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa suatu pemalsuan uang dapat dikategorikan berdasarkan sifat pemalsuan uang, diantaranya adalah dilakukan oleh kelompok yang profesional atau sindikat dimana mereka telah menggunakan peralatan yang modern dan tidak hanya berfokus pada satu mata uang tetapi lebih mata uang negara lain. Adapun lainnya adalah secara amatir yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kecil dan hasilnya pun masih sederhana sehingga mudah untuk dikenali oleh masyarakat. Kelemahan umum yang teramati pada uang kertas rupiah palsu terdapat pada ciri-ciri uang kertas palsu diantaranya:15 a. Gambar Ciri-ciri gambar utama dari hasil cetak intaglio memiliki ketajaman gambar dengan gradasi cetakan blok sampai dengan garis-garis halus (dengan kaca pembesar), dengan peralihan warna yang sempurna. Pada uang palsu ciri-ciri ini tidak dapat ditiru dengan sempurna; b. Kertas Sesuai dengan tujuan pemalsu yang mencari keuntungan, maka pada umumnya kertas yang digunakan adalah kertas yang terdapat di pasaran, sehingga mutunya rendah dan memudar di bawah sinar ultra-violet, hal tersebut berbeda dengan kertas uang asli yang tidak memudar bila dikenai sinar ultra-violet; c. Warna tinta cetak Warna tinta merupakan karakteristik dalam mengidentifikasi uang-uang palsu, maka dalam pemeriksaan memerlukan pembanding, dengan toleransi 15
Ibid., hlm. 137.
40
akibat perubahan warna baik dalam proses produksi ataupun akibat perubahan dalam peredaran.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa uang kertas palsu memiliki beberapa ciri kelemahan dibandingkan dengan uang asli, diantaranya dari gambar yang tidak dapat ditiru dengan sempurna, kertas yang digunakan mutunya rendah dan memudar dibawah sinar ultraviolet dan warna tinta cetak yang mengalami perubahan ketika uang tersebut beredar. B. Asas, Teori, Doktrin dan Ketentuan Perundang-undangan yang Mendasari 1. Asas a. Asas Legalitas Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih dahulu ada undangundang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut (retroaktif). Pasal 1 RKUHP disebutkan bahwa:16 (1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan; (2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi; (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut 16
Elsam, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Elsam-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm. 17.
41
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan; (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat mendasar dalam hukum Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, terdapat dua frasa yakni perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana. Frasa pertama jelas mengandung perbuatan yang tidak dapat dipidana. Sementara frasa kedua mengandung perbuatan yang dapat dipidana, tetapi dengan syarat tertentu. Syarat tersebut ialah telah ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan itu dilakukan. Perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana bergantung pada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan tidak ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Sebaliknya, jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan telah ada perbuatan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
42
Moelajtno mengemukakan bahwa asal legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:17 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan udang-undang; 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias); 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa ancaman suatu pidana dapat diberikan bila aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut, dimana seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru di kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tidak dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa:18 “Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
17
Moelajtno., hlm. 27-28. Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, www.komisiyudisial.go.id, diakses pada tanggal 2 April 2015. 18
43
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa asas legalitas sangat penting untuk menjamin kepastian hukum sebab dengan demikian keadilan bagi terdakwa akan tersedia sesuai kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan. Dengan demikian, peraturan perundangundangan yang dipakai juga dapat sesuai dengan waktu terjadinya peristiwa hukum. UUD 1945 Amandemen IV Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa:19 “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan”. Berdasarkan pendapat tersebut, jelas asas legalitas keharusan bagi suatu negara hukum Indonesia, sehingga hal ini menjadi suatu bentuk dari hak asasi manusia dalam memperoleh kepastian hukum dan keadilan. Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:20 1) 2) 3) 4) 5)
19
Memperkuat adanya kepastian hukum; Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa; Mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana; Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan Memperkokoh penerapan “the rule of law”.
Elsam, Op.Cit., hlm. 11-12. Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, hlm. 14. 20
44
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu tujuan dari asa legalitas selain dari adanya kepastian hukum adalah untuk mencegah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu dan menerapkan rule of law, yaitu memposisikan hukum sebagai landasan bertindak dari seluruh elemen bangsa dalam sebuah negara Ahmad Bahiej memberikan penjelasan mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:21 1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya adalah: a) Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana; b) Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana; 2) Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa: a) Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa; b) Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa asas legalitas menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan harus ada
21
Ibid., hlm. 14-15.
45
sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Oleh karena itu, setiap tindak pidana harus dirumuskan dalam setiap peraturan perundang-undangan.
b. Asas Teritorial dan Kepentingan Nasional Asas territorial masih banyak diikuti oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada. Ketentuan mengenai asas teritorial tercantum dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa:22 “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Berdasarkan ketentuan tersebut, diketahui bahwa asas territorial sudah sewajarnya berlaku bagi Negara Indonesia yang berdaulat. Asas territorial lebih menitikberatkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Ditinjau dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian, yaitu:23
22 23
Moelajatno, Op.Cit., hlm. 42. Ibid., hlm. 42
46
1) Perundang-undangan hukum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing (asas teritorial); 2) Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga di luar wilayah negara (asas personal).
Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa semua tindak pidana yang terjadi pada suatu negara berlaku hukum pidana di negara tersebut berdasarkan perundang-undangan yang telah ditetapkan tanpa memandang warga negara sendiri maupun warga asing. Pasal 4 KUHP, bahwa aturan-aturan pidana dalam perundangundangan berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah negara bersalah:24 1) Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108, dan 131; 2) Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia; 3) Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu; 4) Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada 24
Ibid., hlm. 47-48
47
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Dalam pasal ini didapati asas melindungi kepentingan, yaitu baik melindungi
kepentingan
nasional,
maupun
kepentingan
universal
(internasional), yaitu yang ternyata dalam ke-2 bila dikaitkan dengan tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas, baik yang dikeluarkan oleh negara maupun oleh bank tanpa disebut nama negara. 2. Doktrin Tindak pidana pemalsuan uang sudah berlangsung cukup lama dan hal ini berdampak pada perekonomian di Indonesia. Dalam sejarahnya, menurut M. F. Asiza mengemukakan bahwa:25 “Pada awalnya, pemalsuan uang bukan untuk tujuan kriminal. Sekitar tahun 1980-an segelintir orang hanya melakukannya untuk „mengisi waktu luang‟ atau „menciptakan karya kreatif‟. Mereka menggunakan cairan kimia lalu menjiplaknya. Sebagian melukisnya secara langsung di atas kertas. Isengiseng mereka membelanjakannya di warung, dan ternyata tidak dicurigai. Namun sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997, pemalsuan uang semakin marak seiring bertambah majunya teknologi. Maraknya peredaran uang palsu di Indonesia menunjukan bahwa ekonomi masyarakat telah menurun drastis sedemikian rupa.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa krisis moneter menjadi awal maraknya pemalsuan uang. Keadaan ekonomi yang sedang
25
Mumut Fachri Asiza, “Terjadinya Pemalsuan Uang Ditinjau dari Kriminologi”, dalam http://kicauanpenaku.blogspot.com., yang diakses pada tanggal 5 Mei 2015, Pukul 17.30 WIB.
48
dilanda krisis dan teknologi yang semakin berkembang membuat pihak-pihak tertentu membuat uang palsu untuk mendapatkan keuntungan dari keadaan tersebut. Secara teoritik M. Arief Amrullah mengidentifikasi beberapa pandangan yang berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejahatan, yakni :26 a. Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan-kegiatan industri ilegal; b. Terdapatnya bentuk-bentuk “inovasi” sebagai akibat kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio struktural untuk mencapainya. Dalam masa keunduran ekonomi, banyak warga masyarakat yang kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi “inovator” potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum; c. Perkembangan karier kejahatan dapat terjadi sebagai akibat tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah; d. Pada beberapa kepribadian tertentu, krisis ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk perilaku agresif; e. Pada kelompok-kelompok tertentu yang mengalami tekanan ekonomi terdapat kemungkinan besar bagi berkembangnya sub-kebudayaan delikuen; f. Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran sejumlah warga masyarakat yang mengangur dan kehilangan penghasilannya cenderung untuk menggabungkan diri dengan dengan teman-teman yang menjadi penganggur pula dan dengan begitu lebih
26
M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002, hlm. 16.
49
memungkinkan kejahatan.
dirancang
dan
dilakukannya
suatu
Perkembangan pemalsuan uang banyak terjadi dikota-kota besar dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus di bidang mata uang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, perbuatan mereka dapat mengkhawatirkan dan merupakan perbuatan yang sangat berbahaya. Kenyataan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:27 a. Dampak negatif dari arus globalisasi, komunikasi, serta informasi yang begitu cepat turun mempengaruhi kondisisosial ekonomi masyarakat; b. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi; c. Perubahan gaya hidup sebagai orang terpandang, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam masyarakat. Bertolak dari asumsi tersebut, maka pengkajian masalah delik pemalsuan uang didasarkan atas pertimbangan: a. Mengedarkan uang palsu merupakan kejahatan yang dapat merugikan masyarakat; b. Mengedarkan uang palsu merupakansalah satu bentuk kejahatan yang serius, karena selain bertujuan untuk memperkaya diri secara ekonomi, kejahatn pemalsuan uang juga dapat menjadikan perekonomian negara tidak stabil; Kejahatan pemalsuan uang merupakan kejahatan yang tergolong berat dan serius karena dampaknya yang sangat besar bagi negara, yaitu merugikan perekonomian negara bahkan bisa mengancam perekonomian Indonesia serta menurunkan martabat bangsa di mana uang Rupiah merupakan salah satu simbol negara Indonesia. 27
Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Rajawali Press, Jakarta, 2000, hlm.173.
50
3. Ketentuan Perundang-undangan yang Mendasari Kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas, yang kadang disingkat dengan pemalsuan uang, adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, kepercayaan terhadap uang harus dijamin. Kejahatan ini diadakan berhubungan untuk melindungi masyarakat terhadap uang sebagai alat pembayaran tersebut. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah berupa kejahatan berat. Menurut Adami Chazawi, setidak-tidaknya terdapat dua alasan yang mendukung pernyataan itu, yakni:28 a. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249); b. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 4 sub 2 KUHP). Mengadakan kejahatan-kejahatan yang oleh undang-undang ditentukan berlaku asas universaliteit bukan saja berhubungan terhadap kepentingan hukum masyarakat Indonesia dan kepentingan hukum negara RI, juga bagi kepentingan hukum masyarakat internasional. Sebagai contoh 28
22.
Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Rajawali Pers, Bandung, 2005, hlm. 21-
51
hukum pidana Indonesia dapat digunakan untuk menghukum seorang warga negara asing yang memalsukan uang negaranya yang kemudian melarikan diri ke Indonesia, di mana negara tersebut tidak mempunyai perjanjian mengenai ekstradisi dengan Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa kejahatan dalam pemalsuan uang berlaku secara universal dimana hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam KUHP dari Pasal 244 KUHP sampai dengan 252 KUHP, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. a. KUHP 1) Meniru dan Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP) Pasal 244 merumuskan sebagai berikut: “Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.” Apabila dirinci rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:29 a) Unsur-unsur objektif: (1) Perbuatan: (a) meniru; (b) memalsu.
29
Ibid., hlm. 22-28
52
(2) Obyeknya: (a) mata uang; (b) uang kertas negara; (c) uang kertas bank; b) Unsur subjeknya yaitu dengan maksud untuk: (1) Mengedarkan; atau (2) Menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu seolah-olah asli dan tidak dipakai. Berdasarkan ketentuan tersebut, diketahui bahwa terdapat dua unsur pidana yang dilakukan oleh pihak pemalsuan uang yaitu unsur objektif terkait dengan mata uang dan unsur subyektif terkait dengan kegiatan mengedarkan dan menyuruh mengedarkan uang palsu. a) Perbuatan meniru. Adami Chazawi mengemukakan bahwa:30 “Perbuatan meniru (namaken) adalah membuat sesuatu yang menyerupai atau seperti yang asli dari sesuatu itu. Dalam kejahatan ini sesuatu yang ditiru itu adalah mata uang dan uang kertas, meniru diartikan sebagai membuat mata uang (uang logam) atau uang kertas yang menyerupai atau mirip dengan mata uang atau uang kertas yang asli. Untuk adanya perbuatan ini disyaratkan harus terbukti ada yang asli atau yang ditiru. Membuat mata uang atau uang kertas yang tidak ada yang asli atau yang ditiru, tidak termasuk dalam pengertian meniru.” Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa perbuatan meniru adalah perbuatan yang dilakukan oleh pihak tertentu yang membuat objek yang palsu yang dapat merugikan masyarakat.
30
Ibid., hlm. 23
53
b) Perbuatan memalsu. Adami Chazawi mengemukakan bahwa:31 “Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum perbuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada uang asli ini dilakukan perbuatan menembah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi. Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana.” Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa perbuatan memalsu uang dapat dijadikan suatu unsur tindak pidana bila adanya suatu maksud mengedarkannya sebagai uang asli. c) Mata Uang dan Uang Kertas Uang adalah suatu benda yang wujudnya sedemikian rupa yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah dan berlaku pada saat peredarannya. Sah dalam arti yang menurut peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Lembaga yang berwenang ini adalah negara atau badan yang ditunjuk oleh negara
31
Ibid., hlm. 25.
54
seperti bank. Uang terdiri dari mata uang dan uang kertas. Mata uang berupa uang yang terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga perak dan lain sebagainya. Uang kertas adalah uang yang terbuat dari lembaran kertas. Uang kertas dibedakan menjadi dua macam, yakni uang kertas negara dan uang kertas bank. d) Maksud untuk: (1) Mengedarkan dan (2) Menyuruh Mengedarkan Mata Uang atau Uang Kertas Itu sebagai Asli dan Tidak Dipalsu Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara maupun uang kertas bank sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUHP adalah unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerfk) berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan perbuatan meniru dan memalsu uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang, didorong oleh suatu kehendak (maksud) yang ditujukan untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu (uang kertas yang tidak asli) atau uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang yang dipalsu tersebut sebagai uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang asli dan tidak dipalsu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai yang asli dan tidak palsu, maka perbuatan itu termasuk termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana.
55
2) Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP) Pasal 245 KUHP merumuskan sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.” Berdasarkan ketentuan tersebut, diketahui bahwa barang siapa yang sengaja mengedarkan, menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun Dalam rumusan Pasal 245 tersebut di atas, terdapat empat bentukkejahatan mengedarkan uang palsu, yaitu:32 a) Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, uang palsu mana ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. Unsur-unsurnya adalah: (1) Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; (2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; (3) Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; (4) Unsur subyektif: Dengan sengaja. 32
Ibid., hlm. 29-33.
56
b) Melarang orang yang waktu menerima mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank diketahuinya sebagai palsu, dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsurnya: (1) Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; (2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinyapada saat diterimanya; (3) Unsur subyektif: Dengan sengaja. c) Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu, yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu oleh dirinya sendiri dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsurnya: (1) Perbuatan: a) menyimpan; b) memasukkan ke Indonesia; (2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; (3) Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; (4) Unsur subjektif: Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu. d) Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang pada waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif: (1) Perbuatan: a) menyimpan; b) memasukkan ke Indonesia; (2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara palsu (tidak asli) atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
57
(3) Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat menerimanya. (4) Unsur subjektif: Dengan maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. Bentuk pertama dan kedua memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur kesengajaan. Perbedaannya, pada bentuk pertama ialah tidak aslinya atau palsunya uang itu disebabkan perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan olehnya sendiri. Berarti dalam bentuk pertama, sebelum perbuatan mengedarkan dilakukan, terlebih dahulu pelaku melakukan perbuatan meniru atau memalsu, perbuatan mana sama dengan perbuatan dalam Pasal 244. Sedangkan pada bentuk kedua, tidak aslinya atau palsunya uang itu bukan disebabkan oleh perbuatan pelaku, tetapi oleh orang lain selain pelaku. Orang lain ini tidak perlu diketahuinya, melainkan pada waktu menerima uang itu ia mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Kemudian bentuk ketiga dan bentuk keempat juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur subjektif. Perbedaannya sama dengan bentuk pertama, bahwa pada bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Berarti sebelum pelaku melakukan perbuatan
58
menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia terlebih dahulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu. Bentuk keempat, pelaku tidak melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu, yang melakukannya adalah orang lain, dan orang lain itu tidak perlu diketahui olehnya, melainkan pelaku pada waktu menerima uang itu mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Pengetahuan perihal tidak aslinya atau palsunya uang itu harus ada sebelum ia melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang telah mengatur kewajiban penggunaan rupiah pada setiap transaksi di Indonesia. Kewajiban penggunaan rupiah dimana rupiah wajib digunakan untuk segala transaksi yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penggunaan alat pembayaran lain selain rupiah di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana baik kurungan maupun denda kecuali pada perbuatan-perbuatan yang dikecualikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang termuat dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 41. Tindak pidana yang tertuang dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UndangUndang Nomor 7 Tahun 2011 adalah pelanggaran, sedangkan tindak
59
pidana yang tertuang dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 UndangUndang Nomor 7 Tahun 2011 adalah kejahatan. Adapun yang terkait dengan kegiatan pemalsuan uang terkandung dalam Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 menyatakan bahwa:33 (1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); (2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); (3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, bahwa untuk Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 unsur-unsur pidananya diantaranya unsur “setiap orang” dan “Memalsu Rupiah”. Untuk Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 unsur-unsur pidananya diantaranya unsur “setiap orang” dan unsur “yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu”. 33
Bank Indonesia, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, www.bi.go.id, diakses pada tanggal 11 Desember 2014.
60
Adapun pidana yang diberikan dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) adalah pidana maksimum dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan untuk Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 unsur-unsur pidananya diantaranya unsur “setiap orang” dan unsur “yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu”. Adapun pidana lebih berat dari pada Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) yaitu pidana maksimum dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Selanjutnya, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 menyatakan bahwa:34 (1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); (2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
34
Bank Indonesia, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, www.bi.go.id, diakses pada tanggal 11 Desember 2014.
61
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, bahwa untuk Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 unsur-unsur pidananya diantaranya unsur “setiap orang”, unsur “memproduksi, menjual, membeli,
mengimpor,
mengekspor,
menyimpan,
dan/atau
mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan” dan unsur “dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu”. Sedangkan untuk Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 unsur-unsur
pidananya
diantaranya
unsur
“setiap
orang”,
unsur
“memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan”, dan unsur “dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu”. Adapun pidana yang diberikan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) adalah pidana maksimum dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Terkait dengan pemalsuan dalam Pasal 36 dan Pasal 37 UndangUndang Nomor 7 Tahun 2011, bila terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda, maka pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Adapun pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga). Bila terpidana korporasi tidak
62
mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi. Selain sanksi pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.
C. Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pemalsuan Uang 1. Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang Pengertian penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah:35 “Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.” Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia
terlindungi,
hukum
harus
dilaksanakan
untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sejalan dengan fungsi hukum tersebut, Sudikmo Mertokusumo menjelaskan bahwa:36 “Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum dan harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur uang 35
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hlm. 3. 36 Sudikmo Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 1.
63
selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).”
Pelaksanaan hukum sangat penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, karena tujuan hukum terletak pada pelaksanaan hukum tersebut. Ketertiban
dan
ketentraman
hanya
dapat
diwujudkan
jika
hukum
dilaksanakan, dan sebaliknya jika hukum tidak dilaksanakan maka peraturan hukum itu hanya menjadi susunan kata-kata yang tidak bermakna dalam kehidupan masyarakat. Penegakan hukum menurut Ilhami Bisri adalah usaha semua kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua komponen bangsa, dan merupakan ralat bahwa hukum hanya boleh ditegakkan oleh golongan-golongan tertentu saja, antara lain:37 a. Aparatur negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu seperti polisi, hakim dan jaksa, yang dalam dunia hukum disebut secara ideal sebagai the three musketers atau tiga pendekar hukum, yang mempunyai fungsi penegakan dengan sifat yang berbeda-beda akan tetapi bermuara pada terciptanya hukum yang adil, tertib dan bermanfaat bagi semua manusia. Polisi menjadi pengatur dan pelaksana penegakan hukum di dalam masyarakat, hakim sebagai pemutus hukum yang adil sedangkan jaksa adalah institusi penuntutan negara bagi para pelanggar hukum yang diajukan polisi; b. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat baik yang bekerja secara individual ataupun yang bergabung secara kolektif melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, yang menjadi penuntun masyarakat yang 37
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 128.
64
awam hukum, agar dalam proses peradilan tetap diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehormatan, hak dan kewajiban, sehingga putusan hakim akan mengacu pada kebenaran, keadilan yang dilandasi penghormatan manusia atas manusia; c. Para eksekutif yang bertebaran di berbagai lahan pengabdian sejak dari pegawai pemerintah yang memiliki beraneka fungsi dan tugas kewajiban sampai kepada para penyelenggara yang memiliki kekuasaan politik (legislatif); d. Masyarakat pengguna jasa hukum yang kadang-kadang secara ironi menjadi masyarakat pencari keadilan. Berkaitan dengan penegakan hukum ini, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa:38 “Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.” Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, perlakuan dalam penegakan hukum tidak hanya memberikan hukuman saja melalui pidana,
38
hlm. 109.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
65
tetapi juga melakukan penegakan hukum yang bersifat pencegahan agar tidak terjadi kejahatan yang serupa. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai actual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.
2. Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pemalsuan Uang Upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas perbaikan perilaku seseorang yang dinyatakan telah bersalah (terpidana) di lembaga pemasyarakatan atau dengan kata lain sebagaimana yang diungkapkan oleh A.S. Alam, penanggulangan terdiri atas 3 bagian pokok yaitu:39 a. Pre-emtif. Pre-emtif atau (moral) adalah upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Dalam upaya ini yang lebih ditekankan adalah menanamkan nilai atau norma dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi, dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan; 39
A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, Rineka Cipta, 2010, hlm. 79-80.
66
b. Upaya preventif. Upaya penaggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyang dalam kriminologi. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis;
c. Upaya represif. Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatah sesuai dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat. Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititibratkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi. Hal ini disebabkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan
67
pelanggaran hukum, pelanggaran-pelanggaran hukum yang lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah. Jika ada pelanggaran hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut system pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan system pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin bukan pembalasan dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.