6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penerimaan (Acceptance) Penerimaan diri menurut Hurlock (1973) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Penerimaan orangtua yaitu suatu efek psikologis dan perilaku dari orangtua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan dan
pengasuhan
dimana
orangtua
tersebut
bisa
merasakan
dan
mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya. (Hurlock, 1973)
2.2. Tahapan Penerimaan Kubbler Rose (1970) dalam Tomb (2003) mendefinisikan sikap penerimaan (acceptance) terjadi bila seseorang mampu menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada pengunduran diri atau tidak ada harapan. Menurut Kubler Ross (dalam teori Kehilangan / Berduka), sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap denial, anger, bargainning, depression, dan acceptance. Demikian halnya pada orangtua yang anaknya didiagnosa menyandang autisme. Ada beberapa tahapan yang akan dilalui orangtua, yang mana tahapan tersebut sesuai dengan teori penerimaan (acceptance) Kubbler Ross, yakni: 2.2.1. Tahap denial (penolakan) Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang
7
harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka. Kadang, orangtua memiliki perasaan yang kuat untuk menolak keadaan bahwa anaknya merupakan anak autis. Tindakan penolakan ini bukan untuk meredakan kesedihan orangtua, tetapi akan semakin menyiksa perasaan orangtua. Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan untuk memberikan keturunan yang ”sempurna”. Kadang dalam hati muncul pernyataan ”tidak mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau ”tidak pernah terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami”. (Safaria, 2005) Orangtua yang menunjukkan koordinasi yang buruk, kurangnya kerjasama dan kehangatan, serta pemutusan hubungan oleh salah satu orangtua, baik berdiri sendiri maupun berkombinasi dengan keterlibatan yang berlebihan dari orangtua yang lain merupakan kondisi yang membuat anak justru akan menghadapi risiko terjadinya gangguan perkembangan yang lebih parah. (Santrock, 2007)
2.2.2. Tahap anger (marah) Tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi / marah pada orangtua yang memiliki anak autis dan orangtua menjadi peka dan sensitif terhadap masalah – masalah kecil yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan. Kemarahan tersebut biasanya ditujukan pada dokter, saudara, keluarga, atau teman – teman. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk ”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa kami yang mengalami ini?” atau ”Apa salah kami?” (Safaria, 2005)
8
2.2.3. Tahap bargainning (tawar – menawar) Tahapan
dimana
orangtua
mulai
berusaha
untuk
menghibur diri dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya” dan berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan anak. (Safaria, 2005)
2.2.4. Tahap Depression (depresi) Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu. Ayah pun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna. (Safaria, 2005) Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka meninggal. Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk pertanyaan ”Akankah anak kami mampu hidup mandiri dan berguna bagi orang lain?”. Pada tahap depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup. (Marijani, 2003)
2.2.5. Tahap Acceptance (penerimaan) Tahapan dimana orangtua telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan anaknya dengan tenang. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka. (Safaria, 2005)
9
Kemampuan
penyesuaian
diri
dari
ibu
akan
mempengaruhi psikologis dari ibu sendiri dan juga perkembangan anak autis. Ibu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi perkembangan anaknya. Sebaliknya, ibu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif bagi perkembangan anak autis. (Singgih D. Gunarsa, 2003)
2.3. Sikap Penerimaan Orangtua Sikap didefinisikan sebagai ekspresi sederhana dari bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap suatu hal. Pada dasarnya, sikap dapat bersifat positif dan juga bersifat negatif. (Purwanto, 1998) Tingkat penerimaan orangtua dalam menerima anak dengan problematika autisme sangat dipengaruhi oleh tingkat kestabilan dan kematangan emosinya. Pendidikan, status sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga, struktur dalam keluarga, dan kultur turut melatarbelakanginya. Ketika orangtua menunjukkan kerjasama, saling menghormati, komunikasi yang seimbang, dan penyesuaian terhadap kebutuhan masing – masing akan membantu anak dalam membentuk sikap yang positif. Sebaliknya, bila orangtua menunjukkan koordinasi yang buruk, peremehan yang dilakukan secara aktif oleh orangtua, kurangnya kerjasama dan kehangatan, dan pemutusan hubungan oleh salah satu orangtua merupakan kondisi yang membuat anak menghadapi risiko terjadinya gangguan perkembangan. (Santrock, 2007) Sikap
menerima
setiap
anggota
keluarga
mengandung
pengertian bahwa dengan segala kelemahan, kekurangan, serta kelebihanya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga dan setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang dari orang tuanya. Sesuai dengan pemahaman yang dimiliki seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anaknya dengan
10
memberikan kasih sayang, perhatian, dan mampu untuk memahami perkembangan anak sejak dini. (Singgih D. Gunarsa, 2003) Menurut Puspita (seorang psikolog) dalam Marijani (2003), bentuk penerimaan orang tua dalam penanganan autisme adalah sebagai berikut a.
Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan). Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua karena banyak diantara orangtua sulit atau enggan menangani sendiri anaknya sehari-hari dirumah. Mereka mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak. Padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya.
b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak. c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak. d. Memahami penyebab perilaku buruk atau baik anak-anak. e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa depan. Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali kedunianya. Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autis yang sulit untuk diarahkan, dididik dan dibina. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak. Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua yang tidak tahu harus memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam membantu memberikan keterampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak.
11
Ada beberapa ciri sikap ibu yang menerima anaknya yang didiagnosa menyandang autis, yaitu: 2.3.1. Ciri – ciri ibu yang memiliki bentuk penerimaan positif: a. Dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis. b. Mengupayakan penyembuhan untuk anak autis yang disesuaikan dengan kebutuhan. c. Tidak merasa rendah diri dan bersikap terbuka terhadap orang lain tentang kondisi anaknya. 2.3.2. Ciri – ciri ibu yang memiliki bentuk penerimaan negatif: a. Tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis. b. Tidak melakukan upaya penyembuhan apapun terhadap keadaan anaknya (cenderung bersikap acuh, bahkan tidak peduli). c. Merasa rendah diri dan bersikap tertutup terhadap orang lain tentang kondisi anaknya
2.4. Aspek-Aspek Penerimaan Orang Tua Orang tua yang menerima anaknya akan menempatkan anaknya pada posisi penting dalam keluarga dan mengembangkan hubungan emosional yang hangat dengan anak. Porter mengungkapkan aspek-aspek penerimaan orang tua terhadap anak adalah sebagai berikut: a.
Menghargai anak sebagai individu dengan segenap perasaan mengakui hak-hak anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan.
b.
Menilai anaknya sebagai diri yang unik sehingga orang tua dapat memelihara keunikan anaknya tanpa batas agar mampu menjadi pribadi yang sehat.
c.
Mengenal
kebutuhan-kebutuhan
anak
untuk
membedakan
dan
memisahkan diri dari orang tua dan mencintai individu yang mandiri. d.
Mencintai anak tanpa syarat. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek penerimaan orang tua terhadap anak antara lain dengan
12
menghargai anak sebagai individu dengan segenap perasaan, mengakui hak-hak anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaaan, mencintai anak tanpa syarat, memperlihatkan kecemasan yang minimal dalam kehadiran anak, menerima keterbatasan anak, tidak ada penolakan yang ditampakkan pada anak, serta adanya komunikasi dan kehangatan antara orang tua dan anak.
2.5.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orangtua Hurlock mengemukakan bahwa penerimaan orangtua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Diungkapkan pula didalam pengertian Hurlock yang menerangkan terdapat berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak. khususnya sikap orangtua dalam menerima kondisi anak berkebutuhan khusus. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua terhadap ABK (Anak Dengan Kebutuhan Khusus). Hurlock menjelaskan faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh : a. Respon individu terhadap anak yang mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya. b. Persepsi orangtua mengenai konsep ”anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak dan didasarkan gambaran anak ideal dari orang tuanya. c. Cara orangtua dalam merawat atau mengasuh anak yang akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara memperlakukan anaknya. d. Kemampuan orangtua dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan anak yang akan mencerminkan penyesuaian yang baik antara orangtua dengan anak. e. Harapan – harapan yang muncul pada diri orangtua sebagai suatu keinginan dari dalam diri yang terbentuk sebelum kelahiran anak.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anak menurut Hurlock adalah bagaimana konsep orang tua terhadap anaknya,
13
apakah anaknya tersebut sesuai dengan gambaran ideal orangtua, pengalaman awal sikap orang tua terhadap anaknya yang ditandai dengan respon individu pertama kali dalam menerima anak, cara orangtua dalam mengasuh anak yang ditandai dengan dengan sikap perhatian, cinta atau kasih sayang, sikap pengertian dari orang tua yang ditunjukkan dengan sikap yang penuh bahagia dalam mengasuh anak serta kemampuan orangtua dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan anak. Dalam kaitannya dengan hal ini, Stipek (2006) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara orangtua dan anaknya yang terdiri atas tiga komponen utama, antara lain: a.
Penerimaan Orangtua harus menerima keberadaan anak apa, tanpa adanya syarat apapun. Penerimaan total orangtua terhadap anak – anak memberikan rasa percaya diri yang tinggi kepada anak – anak dan mempercepat anak dalam proses pembelajaran dan perkembangan dirinya.
b.
Hubungan atau ikatan batin yang kuat antara orangtua dan anaknya menciptakan rasa aman secara emosi, tenteram, dan bahagia menjadi dirinya sendiri.
c.
Dukungan dari orangtua.
d.
Orangtua harus menghargai dan menghormati anak sebagai pribadi yang unik, sehingga dapat mengembangkan segala potensinya untuk menjadi diri sendiri yang mandiri. Berdasarkan uraian – uraian diatas dapat dijelaskan bahwa untuk memenuhi atau membuka hubungan dengan anak – anak special need atau anak dengan berkebutuhan khusus, sikap menerima dan mencintai adalah yang terpenting. Orangtua harus memberikan perhatian yang jauh lebih besar kepada anaknya yang menderita autis. Sebab, semakin tinggi tingkat penolakan maka akan semakin lama rentang waktu reorganisasi yang dapat
14
dilakukan orangtua dalam memberikan intervensi yang dilakukan terhadap anak. Sebaliknya, semakin sedikit kesenjangan dan keragaman permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi dalam proses kemajuan perkembangan anak menjadi lebih optimal. Orangtua juga memiliki peranan penting untuk mengelola keadaan keluarga secara total. Sebab, persamaan persepsi dan kondisi saling memotivasi diantara pasangan akan sangat menentukan optimisme dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak dengan segala kekurangannya untuk dapat diterima di tengah – tengah keluarga yang mencintainya.
2.6. Peran orangtua dalam Penerimaan Anak Autis Orang tua merupakan tokoh kunci yang sangat berperan dalam memberikan contoh, bimbingan, dan kasih sayang dalam proses pertumbuhan anak-anak (Ginanjar, 2008). Peran orang tua dalam penyembuhan anak penderita autisme sangatlah penting. Orangtua adalah pembimbing dan penolong yang paling baik. Dan yang dapat menyelami dunia anaknya adalah orangtuanya sendiri (Maulana, 2007). Ibu sebagai salah satu dari orang tua anak autisme sangat berperan penting dalam mengetahui perkembangan anak. Hal ini berkaitan dengan sikap penerimaan ibu terhadap anak autisme yang ditunjukkan dalam perilaku menghadapi anak autisme. Apabila orangtua kurang memiliki pemahaman tentang autisme, maka dapat berakibat kurangnya perhatian pada anak dan menganggap anak mengalami cacat atau bahkan tidak bisa berbicara selamanya. Orangtua adalah penentu kehidupan anak sebelum dan sesudah dilahirkan. Oleh karena itu, tanggung jawab orangtua sepenuhnya adalah merawat dan memperlakukannya sebagaimana anak yang lahir secara normal. Peran orangtua menjadi sangat penting karena intervensi tidak akan bisa dilakukan bila orang – orang yang berada di sekitarnya itu belum siap untuk menerima keberadaan sang anak. Kenyataannya, penerimaan yang
15
tulus yang disertai dengan cinta kasih memegang peranan penting dalam kemajuan seseorang di kemudian hari. Kasih sayang orangtua akan membawa anak dalam menemukan potensi – potensi yang terpendam di balik kekurangannya. ”Kasih sayang serta penerimaan yang tulus dari orangtua adalah terapi yang sangat luar biasa bagi anak – anak dengan berkebutuhan khusus, ”ujar Adriana S. Ginanjar, seorang ahli psikolog. Ditambahkan pula oleh Hurlock, konsep penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan gembira.
2.7. Autisme 2.7.1. Pengertian Autisme Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Istilah Autisme Infantil (Early Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner 1943, seorang psikiater dari Harvard (Korner, Autistic Disturbance of Affective Contact). Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) gangguan perkembangan pada sistem saraf pusat yang ditemukan pada sejumlah sejumlah anak ketika masa kanak–kanak hingga masa sesudahnya. Sindrom tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri. (Handoyo, 2003) Menurut Kannen (2006), Autis merupakan keterlambatan dalam hal perkembangan
perilaku
yang
menghambat
kemampuan
berkomunikasi, bicara, perilaku emosi, dan keterampilan motorik serta tidak bisa berbicara secara normal, berkomunikasi, dan berhubungan dengan orang lain.
16
Safaria (2005) mendeskripsikan gangguan perkembangan Autis sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, aktivitas permainan yang repetitif dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya. Kuswanto dan Natalia (2001) menyatakan bahwa gangguan Autis merupakan gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi verbal dan non verbal, bidang interaksi sosial, bidang perilaku dan emosi. Jadi, bisa dikatakan bahwa Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang berat pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun, yang meliputi ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial, ketidaknormalan dalam berkomunikasi, mempunyai pola perilaku yang terbatas dan perilakunya dilakukan secara berulang – ulang (repetitif). Kelainan – kelainan perilaku yang tampak dapat ditunjukkan pada sikap anak yang hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri.
2.7.2. Klasifikasi Autisme Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autisme, diantaranya: a) Aloof Merupakan ciri yang klasik dan secara umum diketahui oleh kebanyakan orang. Anak dengan autisme tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial dan cenderung untuk memojokkan diri pada sudut – sudut ruangan. Apabila anak autistik dalam kelompok ini berdekatan dengan orang lain, anak tersebut akan merasa tidak nyaman dan marah. Keengganan untuk berinteraksi terhadap sebayanya terlihat nyata bila dibandingkan berinteraksi dengan orangtuanya. (Hadis, 2006)
17
b) Passive Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha untuk mengadakan kontak sosial, melainkan hanya menerima saja. Autistik jenis ini merupakan group yang paling mudah ditangani. Dilihat dari segi kemampuan, anak autistik pada kelompok passive lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak autistik pada group aloof. Kemampuan visual lebih baik bila dibandingkan dengan kemampuan verbal dan koordinasi. (Hadis, 2006) c) Active but odd Anak dengan autisme tipe ini cenderung akan melakukan pendekatan, namun hanya bersifat satu sisi yang bersifat repetitif dan aneh. Kemampuan bicara pada autistik jenis ini seringkali lebih baik bila dibandingkan dengan kedua group lainnya. Mimik cenderung terbatas dan kontak mata dengan orang lain tidak sesuai, kadang terlalu lama sehingga terlihat aneh. (Hadis, 2006)
2.7.3.
Penyebab Autisme Pada kasus autisma, penyebab terjadinya belum dapat diketahui secara pasti. Banyak faktor yang diduga merupakan pencetus gejala autisme, antara lain: a. Gangguan pada sistem susunan saraf pusat Pada anak autis ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat di dalam otak. Banyak anak autis mengalami pengecilan pada otak kecilnya, sehingga proses penyaluran informasi menjadi terganggu. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi didalam otak sehingga emosi anak autis menjadi tidak stabil. (Wijayakusuma, 2001)
18
b. Zat kimia beracun Sistem imun tubuh bayi rentan secara genetika, dapat diserang oleh logam berat seperti: 1. Timbal (Pb) yang berasal dari asap knalpot mobil dapat mengurangi tingkat kecerdasan anak. 2. Mercuri (Hg) digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam). Apabila tambalan gigi digunakan pada calon ibu, amalgam akan menguap didalam mulut dan dihirup oleh calon ibu dan disimpan dalam tulang. Ketika ibu hamil, terbentuklah tulang anak yang berasal dari tulang ibu yang sudah mengandung logam berat. Selanjutnya proses keracunan logam beratpun terjadi pada saat pemberian ASI dimana logam yang disimpan ibu ikut dihisap bayi saat menyusui. 3. Vaksinasi Pemberian vaksin melalui beberapa kombinasi yaitu vaksin campak (Measles), vaksin gondok (Mumps) dan Rubella yang biasa disebut MMR, dapat berperan sebagai kontributor autisme regresif. (Nikita, 2002). 4. Virus Virus herpes, varicella, virus epstern bass dan human herpes virus dikaitkan dengan munculnya gangguan kemampuan verbal,
kejang-kejang dan
karakterisatik
spectrum autisme lainnya. Beberapa
faktor
lainnya
yang
juga
telah
diidentifikasi berasosiasi dengan autisme diantaranya adalah usia ibu (makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autis kian besar), urutan kelahiran, perdarahan trimester pertama dan kedua serta penggunaan obat yang tak terkontrol selama kehamilan. (Nikita, 2002)
19
2.7.4. Perilaku Autistik Autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks. Ditandai dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komunikasi timbal balik, minat terbatas, dan perilaku tak wajar disertai gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipic). Gejala ini biasanya telah terlihat sebelum usia 3 tahun. Handoyo (2003) menyebutkan 2 jenis perilaku autisme, yaitu: a. Perilaku berlebihan (excessive): 1. Perilaku self – abuse (melukai diri sendiri), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri. 2. Agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit. 3. Tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat – lompat. b. Perilaku berkekurangan (deficit) Yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa autistik memiliki perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficit) yang memungkinkan perilaku yang ditunjukkan tersebut dapat mengganggu orang – orang yang disekitarnya. Dengan mengetahui ciri dari perilaku autistik tersebut maka terapi perilaku dapat dilakukan.
2.7.5. Karakteristik Autisme Menurut Danuatmaja (2003), anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:
20
a. Selektif yang berlebihan terhadap rangsangan sehingga kemampuan untuk menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat terbatas. b. Anak autis cenderung tidak termotivasi untuk memperluas lingkup perhatian mereka. c. Memiliki
respon
stimulasi
diri
yang
tinggi.
Mereka
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merangsang diri sendiri, misalnya bertepuk tangan atau mengepak – ngepakkan tangan sehingga anak menjadi tidak produktif. d. Memiliki respon terhadap imbalan. Mereka belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung, yang jenisnya sangat individual. Namun respon ini berbeda untuk setiap anak autis.
2.7.6. Penanganan Autisme Menurut Danuatmaja (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini, terpadu, dan intensif. Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Namun, anak autis akan mengalami kemajuan seperti anak normal yang lain bila dilakukan beberapa terapi / intervensi. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini: a. Berat atau ringannya gejala, tergantung pada berat – ringannya gangguan di dalam sel otak. b. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2 – 5 tahun, pada saat sel otak mampu dirangsang untuk membentuk cabang – cabang neuron baru.
21
c. Kemampuan bicara dan berbahasa; 20 % penyandang autisme tidak mampu bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara dengan lancar. Anak autis yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan keterampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui gambar – gambar. d. Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4 – 8 jam sehari. Disamping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak. Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain: 1. Terapi obat (medikamentosa) Terapi ini dilakukan dengan obat – obatan yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku – perilaku aneh yang dilakukan secara berulang – ulang. Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping dan mengenali cara kerja obat. Perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang. Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti depressan SSRI (Selective
Serotonin
Reuptake
Inhibitor)
yang
bisa
memberikan keseimbangan antara neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat akan sangat membantu
22
untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian
obat
dapat
dikurangi,
bahkan
dihentikan.
(Danuatmaja, 2003) 2. Terapi biomedis Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak – anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat banyaknya gangguan pada fungsi tubuh yang sering terjadi anak autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan – gangguan pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan mempengaruhi fungsi otak. Aspek pengaturan pola makan sedemikian penting bagi anak autisma karena suplay makanan merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter. Sebagian besar anak autisma akan mengalami reaksi alergi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi. Efeknya, zat – zat yang membentuk neurotransmitter untuk menunjang kesinambungan kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autisma diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni saraf atau neurotoksin. Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi asam
23
amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal seperti ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang akan berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan anak. (Danuatmaja, 2004) Menurut Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme memang tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka. 3. Terapi Wicara Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang – kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan biacaranya untuk berkomunikasi / berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech therapy)
pada
penyandang
autisme merupakan
suatu
keharusan, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan metode ABA (Applied Behavior Analysis). 4. Terapi Perilaku Terapi ini bertujuan
agar
anak
autis
dapat
mengurangi perilaku yang bersifat self – maladaption (tantrum atau melukai diri sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat. Terapi perilaku ini sangat penting untuk membantu anak ini agar lebih
bisa
menyesuaikan
diri
di
dalam
masyarakat.
(Danuatmaja, 2003) 5. Terapi Okupasi Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik kurang baik yang dilakukan melalui gerakan – gerakan. Terapi okupasi ini
24
dapat membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tanganya seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya. (Danuatmaja, 2003) 6. Terapi Sensori Integrasi Integrasi
sensoris
berarti
kemampuan
untuk
mengolah dan mengartikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar. (Veskarisyanti, 2008)
25
Fokus Penelitian
Respon Penerimaan Orangtua
Persepsi
Terhadap Anak Autis
Cara merawat Kendala Cara mengatasi Harapan
Gambar 1.1 Skema Fokus Penelitian Modifikasi: Hurlock (1980)