BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu Pembahasan dalam penelitian ini merujuk pada penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Berikut ini beberapa perbedaan dan persamaan penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini: 1.
Annisa Sayyid (2014) Penelitian Annisa Sayyid, (2014) meneliti tentang Pemeriksaan Fraud
dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Variabel yang digunakan adalah akuntansi forensik dan audit investigasi. Hasil penelitian Annisa Sayyid, 2014 menunjukkan bahwa akuntansi forensik dan audit investigatif adalah serangkaian hubungan dalam pemeriksaan fraud. Fraud atau kecurangan adalah objek utama yang diperangi dalam akuntansi forensik dan dibuktikan dalam audit investigasif. Kecurangan adalah suatu pengertian umum yang mencakup beragam cara yang dapat digunakan oleh kecerdikan manusia, yang digunakan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perbuatan yang tidak benar. Akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu masalah atau sengketa keuangan atau dugaan fraud. Akuntansi forensik menghubungkan tiga aspek yaitu kerugian, perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Annisa Sayyid (2014), terletak pada variabel independennya yaitu akuntansi forensik. Sedangkan 14
15
perbedaan penelitian ini dengan penelitian Annisa Sayyid (2014) terletak pada jenis penelitian, peneliti menggunakan penelian kuantitatif dengan sumber data primer sedangkan Annisa Sayyid (2014) menggunakan jenis penelitian kualitatif. 2.
G. Stevenson Smith dan D. Larry Crumbley (2009) Penelitian Smith & Crumbley (2009) meneliti tentang How Divergent
Are Pedagogical Views Toward The Fraud/Forensic Accounting Curriculum Penelitian ini membahas mengenai pendapat dari akademisi dan praktisi mengenai pentingnya, relevansi, dan penyampaian pendidikan akuntansi forensik Variabel yang digunakan adalah akuntansi forensik, akuntansi penipuan, pemeriksaan penipuan dan kurikulum akuntansi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurikulum fraud dan akuntansi forensik merupakan dua bidang yang berbeda dalam akuntansi. Smith & Crumbley (2009) mengungkapkan bahwa wilayah diluar penipuan laporan keuangan seperti investigasi digital, kriminologi dan beberapa layanan seperti litigasi tidak termasuk dalam fraud atau kurikulum forensik. Sehingga akademisi perlu memahami bahwa ada perbedaan konseptual antara pemeriksaan fraud dan akuntansi forensik. Investigasi forensik lebih luas sehingga nantinya pengembang kurikulum perlu menentukan apakah mereka harus mendasarkan revisi kurikulum mereka pada model fraud, model forensik yang lebih luas, atau lebih memilih mengkombinasikan kedua pendekatan. Praktisi akuntansi sebaiknya ikut mempertimbangkan kurikulum apa yang sebaiknya digunakan dalam dunia pendidikan, sehingga akan lebih memperjelas peran profesional mereka dalam memberikan layanan kepada
klien di masa
depan. Sebaliknya akademisi akuntansi juga harus mempertimbangkan implikasi
16
revisi kurikulum yang akan diterapkan untuk kebutuhan masa depan, terutama profesi akuntan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Smith & Crumbley (2009) terletak pada jenis penelitian yang sama-sama menggunakan penelitian kuantitatif serta menggunakan variabel dependen yaitu integrasi pendidikan akuntansi forensik dalam kurikulum dan variabel independen persepsi atau opini. Perbedaan penelitian ini terletak pada jenis penelitian. Penelitian Smith & Crumbley (2009) menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan variabel independen akuntansi forensik, akuntansi fraud dan pemeriksaan fraud sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kurikulum akuntansi. Penelitian ini menggunakan variabel independen perbedaan persepsi akademisis dan praktisi, dan variabel dependen pengajaran akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan strata satu. 3.
Mary-Jo Kranacher, Bonnie W. Morris, Timothy A. Pearson dan Richard A. Riley, Jr. (2008) Penelitian Kranacheret al., 2008. meneliti tentang A Model Curriculum
for Education in Fraud and Forensic Accounting. Variabel independen yang digunakan adalah kecurangan dan akuntansi forensik. Sedangkan variabel dependen adalah model kurikulum untuk pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model kurikulum pendidikan akuntansi forensik dan fraud dikembangkan dalam tiga fase utama yaitu panel perencanaan untuk memandu proyek dan memilih anggota kelompok teknis yang menguasai materi pelajaran, mengembangkan pedoman kurikulum, dan uji coba pedoman tersebut
17
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Kranacheret al.,2008 terletak pada variabel dependen yaitu integrasi pendidikan akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan. Sedangkan perbedaan penelitian ini adalah jenis penelitian,
dan
variabel
independen.
Penelitian
Kranacheret
al.,
2008
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan variabel independen fraud dan akuntansi forensik. Pada penelitian saat ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan variabel independen yang membedakan persepsi akademisi dan praktisi, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah pengajaran akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan strata satu. 4.
Lester E. Heitger dan Dan L. Heitger (2008) Penelitian Heitger & Heitger, (2008) meneliti tentang Incorporating
Forensic Accounting and Litigation Advisory Service Into the Classrom yang bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai aspek menarik dari akuntansi forensik dan mengatasi permasalahan yang muncul dari pendidikan akuntansi forensik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuntansi forensik adalah segmen yang berkembang pesat dari praktik akuntansi, yang memberikan kesempatan karir menarik bagi mahasiswa. Sehingga perguruan tinggi sebaiknya menyediakan lingkungan belajar yang efektif dalam memberikan pendidikan akuntansi forensik. Sehingga akuntansi forensik, dukungan litigasi dan ahli kesaksian merupakan komponen utama dari praktek akuntansi forensik dimana akuntansi forensik akan membahas pengetahuan dasar dan beragam keterampilan kepada mahasiswa. Persamaan penelitian ini dengan Heitger & Heitger, (2008) terletak pada variabel yang digunakan yaitu integrasi akuntansi forensik dan konsultasi
18
jasa litigasi dalam pendidikan. Perbedaan penelitian ini terletak pada jenis penelitian dan variabel. Penelitian Heitger & Heitger, (2008) menggunakan penelitian kualitatif dengan variabel independen akuntansi forensik dan jasa konsultasi litigasi, sedangkan untuk variabel dependen yang digunakan adalah integrasi pendidikan dalam kurikulum perkuliahan. Sedangkan pada penelitian saat ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan variabel independen yang membedakan persepsi akademisi dan praktisi, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah pengajaran akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan strata satu. 5.
George E. Curtis (2008) George E. Curtis, (2008) meneliti tentang Legal and Regulatory
Environments and Ethic: Essential Components of a fraud and Forensic Accounting Curriculum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fraud dan pendidikan akuntansi forensik harus dibagikan dengan porsi yang signifikan dalam kurikulum perkuliahan. Seperti menerapkan dua mata kuliah dalam semester yang berbeda yaitu akuntansi forensik dan litigasi yang berisi materi kriminologi, pendidikan hukum pidana, kejahatan kerah putih, kejahatan ekonomi yang benar-benar terpisah dari kursus hukum bisnis atau lingkungan hukum bisnis, serta etika yang harus diajarkan sebagai fitur tata kelola perusahaan dan kode perilaku etis dalam kursus hukum pidana. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Curtis, (2008) terletak pada variabel yang digunakan yaitu integrasi akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan. Perbedaan penelitian ini terletak pada jenis penelitian dan variabel
19
yang digunakan. Penelitian Curtis, (2008) menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan variabel independen yang digunakan adalah hukum, peraturan lingkungan dan etika. Sedangkan variabel dependen adalah komponen dari fraud dan akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan. Pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitaif dengan variabel independen persepsi akademisi dan praktisi sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah pengajaran akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan strata satu. 6.
Mike Seda dan Bonita K. Peterson Kramer (2008) Seda & Kramer (2008) meneliti tentang The Emergence of Forensic
Accounting Program in Higher Education. Variabel yang digunakan antara lain: program akuntansi forensik dan pendidikan perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini beberapa universitas telah menawarkan program sertifikasi, pendidikan akuntansi forensik baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana sebagai matakuliah pilihan maupun peminatan dalam jurusan akuntansi. Penelitian ini, peneliti telah memeriksa jenis dan lokasi program yang ditawarkan, beserta hambatan yang terjadi dalam pengintegrasian akuntansi forensik, apa saja yang akan menghambat universitas lain dalam menawarkan program yang serupa. Hambatan
tersebut
berasal
dari
karakteristik
masing-masing
fakultas,
administrasi, dan struktur kurikulum dalam universitas yang berbeda serta kurangnya waktu yang cukup dalam mempelajari tentang akuntansi forensik. Sehingga mahasiswa perlu mencari informasi sendiri mengenai bidang tersebut.
20
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Seda & Kramer, (2008) terletak pada variabel yang digunakan yaitu pendidikan akuntansi forensik dalam perguruan tinggi. Perbedaan penelitian ini terletak pada jenis penelitian dan variabel yang digunakan. Seda & Kramer, (2008) menggunakan jenis penelitian kualitatif, variabel independen akuntansi forensik. Variabel dependen adalah program pendidikan di perguruan tinggi. Pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan variabel independen yang digunakan adalah persepsi akademisi dan praktisi sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah pengajaran pendidikan akuntansi forensik dalam kurikulum perkuliahan. 7.
Iprianto (2009) Iprianto (2009) meneliti tenantang Persepsi Akademisi dan Praktisi
Akuntnasi Terhadap Keahlian Akuntan Forensik. Variabel yang digunakan adalah akuntansi forensik, analisis deduktif, berpikir kritis, pemecahan masalah yang tidak terstruktur, fleksibilitas penyelidikan, keahlian analitik, komunikasi lisan, komunikasi tertulis, pengetahuan tentang hukum dan ketenangan. Hasil penelitian Iprianto (2009) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman antara akademisi dan praktisi terhadap kemampuan analisis deduktif, kemampuan analitik, kemampuan pengetahuan tentang hukum dan kemampuan bersikap tenang adalah sama. Namun ada beberapa perbedaan persepsi dalam kemampuan berfikir kritis, memecahkan masalah tidak terstruktur, fleksibilitas penyelidikan dan kemampuan berkomunikasi lisan antara akademisi dan praktisi. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan tingkat pendidikan dan lingkungan kerja
21
antara masing-masing responden, yang menimbulkan perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman antara akademisi dan praktisi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Iprianto (2009) terletak pada variabel independen yang membedakan persepsi antara akademisi dan praktisi serta jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian kuantitatif dengan sumber data primer berupa kuesioner. perbedaan penelitian ini dengan penelitian Iprianto (2009) terletak pada variabel dependen yang digunakan yaitu pengajaran akuntansi forensik, sedangkan penelitian Iprianto (2009) menggunakan keahlian akuntan forensik. 8.
Gusnardi (2012) Gusnardi(2012) meneliti tentang Peran Forensic Accounting Dalam
Pencegahan Fraud. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuntansi forensik, investigatif dan fraud. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pencegahan tindakan fraud dapat dilakukan dengan memahami resiko yang ada, mengamati tren yang marak dilakukan, menaati peraturan yang berlaku dan mencari hal-hal yang potensial menimbulkan tindakan fraud. Dalam organisasi atau industri fraud muncul akibat kurang atau lemahnya audit dan pengendalian internal. Selain itu Gusnardi (2012) mengungkapkan bahwa akuntansi forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif dan persuasif melalui penerapan prosedur audit forensik dan audit investigatif yang bersifat litigation suport. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Gusnardi (2012), terletak pada variabel independennya yaitu akuntansi forensik. Sedangkan perbedaan
22
penelitian ini dengan penelitian Gusnardi (2012) terletak pada jenis penelitian, peneliti menggunakan penelian kuantitatif dengan sumber data primer sedangkan Gusnardi (2012) menggunakan jenis penelitian kualitatif.
2.2
Landasan Teori
2.2.1
Persepsi Menurut Arfan Iksan (2008: 57) persepsi adalah bagaimana orang-
orang melihat atau menginterpretasikan peristiwa, objek, serta manusia. Orangorang bertindak atas dasar persepsi mereka dengan mengabaikan apakah persepsi itu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Menurut Muhammad Ishak (2008: 57) dalam kamus besar indonesia (1995) mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, atau sebuah proses dalam diri seseorang untuk mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas, persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan mengintepretasikan stimulus yang ditunjukan oleh panca indra. Persepsi memberikan makna pada stimuli (sensor stimuli). Persepsi juga merupakan pengalaman tentang objek atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Meskipun demikian, karena persepsi tentang objek atau peristiwa tersebut bergantung pada suatu kerangka ruang dan waktu, maka persepsi akan bersifat sangat subjektif dan situasional. Persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, dan pengalaman masa lalu. Faktor stuktural
23
berasal dari sifat fisik dan dampak saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Jadi persepsi dapat diartikan sebagai proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya melalui panca indranya (melihat, mendengar, mencium, menyentuh, dan merasakan). Menurut Robert & Angelo Kinicki (2014: 185) persepsi (Perception) adalah proses kognitif yang memungkinkan kita menginterpretasikan dan memahami lingkungan sekitar kita. Pengenalan atas hal-hal adalah satu dari fungsi utama. Robbins & Judge (2008) mendefinisikan persepsi sebagai
proses
dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberi arti bagi lingkungan mereka. Sedangkan Robbins (2006) sendiri mengartikan persepsi sebagai proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai gambaran tentang suatu objek yang menjadi fokus permasalahan yang sedang dihadapi. Persepsi sangat tergantung pada faktor-faktor, antara lain individu yang membuat persepsi, situasi yang terjadi pada saat persepsi itu dirumuskan, serta gangguan-gangguan yang mempengaruhi dalam proses pembentukan persepsi (target). (Tampubolon, 2012) Lebih lanjut Tampubolon (2012) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang ada dalam persepsi yaitu:
24
1.
Faktor Individu Individu dalam membuat suatu persepsi akan dilatarbelakangi oleh :
kemampuan individu untuk mempelajari sesuatu (attitude), motivasi individu untuk membuat persepsi tentang sesuatu tersebut, kepentingan individu terhadap sesuatu yang dipersiapkan, pengalaman individu dalam menyusun persepsi, dan harapan individu dalam menentukan persepsi tersebut. 2.
Faktor Situasi Situasi dalam menyusun suatu persepsi ditentukan oleh : momen yang
tepat, bangunan atau struktur dari objek yang dipersepsikan dan kebiasaan yang berlaku dalam sosial masyarakat dalam merumuskan persepsi. Persepsi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sebuah proses seseorang didalam mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Uma (2013:220), persepsi (perception) adalah suatu proses yang diawali sebuah penginderaan. Penginderaan merupakan sebuah stimulus yang diperoleh individu dari alat indera yang merupakan alat reseptor. Persepsi merupakan stimulus yang diinderakan, diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu mengetahui apa yang diinderakan. Terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap persepsi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor yang berasal dari dalam diri seorang individu adalah faktor internal misalnya fisiologis, perhatian, minat, kebutuhan yang searah, pengalaman dan ingatan, dan suasana hati. Sedangkan faktor eksternal yaitu karakteristik dari lingkungan dan objek – objek yang terlibat di dalamnya
25
misalnya ukuran dan penempatan dari objek atau stimulus, warna dari objek – objke, keunikan, intensitas, dan gerakan (Uma, 2013:224). Faktor internal yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah kemampuan kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan konoatif. Jika tingkat pengetahuan manusia tersebut dikaitkan dengan konsep moral maka kemampuan kognitif setingkat dengan moral perception, kemampuan afektif setingkat dengan moral judgement dan kemampuan konatif setingkat dengan moral intention. Kemampuan kognitif dan afektif dapat diasah melalui proses pembelajaran, sedangkan kemampuan konatif tumbuh dari dirinya sendiri sesuai dengan tingkat kesadaran dan kemauannya. Persepsi menurut Kotler (2006) adalah proses dimana seseorang memilih, mengorganisasi dan mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti dari dunia ini. Faktor utama dalam persepsi yaitu: 1. Stimulus faktor Yaitu faktor yang merupakan sifat fisik suatu obyek seperti ukuran, warna dan ketajaman. 2. Individual faktor. Yaitu faktor yang merupakan sifat-sifat individual yang tidak hanya meliputi proses, tetapi juga pengalaman diwaktu yang lampau pada hal yang sama. Dalam keadaan yang sama, persepsi seseorang terhadap produk dapat berbeda dengan persepsi orang lain. Persepsi adalah proses memberikan makna pada stimulus indrawi. Seseorang melakukan suatu tindakan berdasarkan persepsi yang dimilikinya, sebagai
akibatnya kualitas tindakan seseorang sangat
tergantung pada
ketepatannya dalam mempersepsikan suatu realitas. Baron & Greenberg dalam
26
Kustono (2001) mendefinisikan persepsi sebagai proses di mana seseorang memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi sesuatu dengan senses untuk memahami apa-apa yang ada di sekitarnya. Elemen pembentuk persepsi, yaitu: 1. Informasi : dapat berupa benda fisik dan ada juga yang abstrak. 2. Rangsangan : rangsangan mendorong pikiran untuk menangkap dan mengolah informasi tersebut. 3. Proses pengolahan informasi : informasi yang diperoleh kemudian diolah untuk dikenali dan dimaknai. Proses ini meliputi pengorganisasian, penafsiran dan pengungkapan makna. Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Pearson (1992) menyatakan bahwa perbedaan persepsi disebabkan karenabeberapa faktor berikut : 1. Faktor fisiologis, yaitu: tinggi, berat, gender, panca indra dan rasa lapar 2. Pengalaman dan peranan, yaitu apa yang telah dialami di masa lalu dan peranan seseorang yang diajak bicara. 3. Budaya, merupakan suatu sistem kepercayaan, nilai, kebiasaan dan perilaku yang digunakan dalam masyarakat tertentu. 4. Perasaan dan keadaan, misalnya hari baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Perbedaan persepsi terhadap suatu hal dari individu atau kelompok yang berbeda dapat menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan persepsi yang berbeda akan menimbulkan tindakan atau respon yang berbeda pula. Demikian
27
halnya pada apa yang dipersepsikan seorang individu dapat secara jelas berbeda dengan realitas yang terjadi dalam kenyataan. 2.2.2
Peran Dan Tanggung Jawab Auditor Auditor adalah seseorang yang menyatakan pendapat atas suatu
kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil dari suatu usaha dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum di Indonesia. Auditor adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menghimpun dan menafsirkan bukti pemeriksaan. Dilakukannya suatu pemeriksaan atas buktibukti yang ada dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut secara keseluruhan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum dan apakah auditor tersebut telah bekerja mengikuti dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Profesi akuntan publik (auditor independen) memiliki tangggung jawab yang sangat besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (publik). Terdapat 3 (tiga) tanggung jawab akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu : a. Tanggung jawab moral (moral responsibility). Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral untuk : 1. Memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai perusahaan yang diaudit kepada pihak yang berwenang atas informasi tersebut, walaupun tidak ada sanksi terhadap tindakannya. 2. Mengambil keputusan yang bijaksana dan obyektif (objective) dengan kemahiran profesional (due professional care).
28
b. Tanggung jawab profesional (professional responsibility). Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional terhadap asosiasi profesi yang mewadahinya (rule professional conduct). c. Tanggung jawab hukum (legal responsibility). Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab di luar batas standar profesinya yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum yang berlaku. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Auditing Seksi 110, mengatur tentang “Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen”. Pada paragraf 2, standar tersebut antara lain dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak. Bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan. d. Pencegahan & Pendeteksian Fraud Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua pihak yang mendasarkan keputusannya atas informasi dalam laporan keuangan (financial statement) tersebut. Oleh karena itu akuntan publik harus bisa menccegah dan mendeteksi
29
lebih dini agar tidak terjadi fraud. Untuk mengetahui adanya fraud, biasanya ditunjukkan oleh timbulnya gejala-gejala (symptoms) berupa red flag (fraud indicators), misalnya perilaku tidak etis manajemen. Red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan (fraud) yang terjadi. Dalam SPAP peran dan tanggung jawab auditor meliputi: 1.
Tanggung jawab mendeteksi dan melaporkan kekeliruan dan ketidak beresan kecurangan (fraud). Kekeliruan atau error (SPAP, seksi 316) adalah salah saji atau
penghilangan yang tidak disengaja, dapat berupa: kekeliruan mengumpulkan dan mengolah data akuntansi, estimasi akuntansi yang salah karena kekhilafan, penafsiran akuntansi yang salah menyangkut jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan. Ketidak beresan (irregularities) adalah salah saji atau penghilangan disengaja yang mencakup: penyajian laporan keuangan yang menyesatkan (kecurangan manajemen) dan penyalahgunaan aset (penggelapan). 2.
Tanggung
jawab
menghindari
konflik
dan
mempertahankan
sikap
independensi. Independensi adalah sikap yang tidak mudah dipengaruhi, dimana auditor harus jujur, bebas dari kewajiban terhadap kliennya dan tidak mempunyai kepentingan terhadap klien, baik terhadap manajemen maupun pihak pemilik (SPAP, seksi 220). Auditor berkewajiban mempertahankan fakta bahwa dia independent (independent in fact) dan juga harus menghindari keadaan yang dapat menyebabkan pihak luar meragukan sikap independensinya (independent in
30
appearance). Independensi bisa diartikan bertindak objektif dengan penuh integritas. 3.
Tanggung jawab mengkomunikasikan kepada para pemakai laporan keuangan Sarana komunikasi antara investor dan kreditor adalah informasi dan
akuntan dianggap sebagai pihak yang independen dalam mengkomunikasikan informasi terutama kepada pihak luar. Selama melakukan audit apabila auditor menemukan kelemahan material pada struktur pengendalian intern, maka auditor berkewajiban mengkomunikasikannya kepada pihak luar berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Didalam SPAP seksi 314 dinyatakan apabila hasil evaluasi yang dilakukan mengidentifikasi adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup perusahaan, auditor wajib mengevalusi rencana manajemen untuk memperbaiki kondisi tersebut. Jika tidak memuaskan, auditor berhak untuk tidak memberikan pendapat dan perlu di ungkapkan. 4.
Tanggung jawab menemukan pelanggaran hukum oleh klien Didalam SPAP seksi 317 dijelaskan mengenai unsur pelanggaran
hukum oleh klien adalah pelanggaran terhadap hukum atau perundang-undangan oleh unit satuan usaha (manajemen atau karyawan) yang laporan keuangannya di audit. Penentuan suatu perbuatan melanggar hukum bukanlah kompetensi dari seorang auditor melainkan hasil penelitian ahli hukum. 5.
Tanggung jawab meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memperbaiki keefektifan audit
31
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam melakukan audit merupakan tanggung jawab profesi dan individu auditor. Suyono Salamun (1999) berpendapat mengenai sifat-sifat yang harus selalu melekat pada diri seorang akuntan, diantaranya adalah betul-betul menghayati profesionalismenya sebagai etos kerjanya, berwawasan luas dan mempunyai visi ke depan berorientasi internasional
dan
multi-kultural,
berkarakter
wirausahawan,
mempunyai
kemampuan teknis tertentu dan mempunyai kepekaan terhadap tanggung jawab sosial kemasyarakatan. 2.2.3
Struktur Kantor Akuntan Publik Bentuk hukum kantor-kantor akuntan di Indonesia biasanya adalah
bentuk usaha sendiri (sole practioner) atau bentuk kerja sama antara dua atau lebih rekan akuntan (partnership). Biasanya para rekan tersebut mempekerjakan tenaga professional untuk membantu mereka. Bentuk perseroan terbatas tidaklah dikenal dalam profesi akuntan di Indonesia. Secara vertikal bagian-bagian kantor akuntan dapat terdiri dari berbagai jenjang. Suatu kelompok dalam bagian pemeriksaan, misalnya dapat dipimpin oleh suatu atau dua akuntan yang menjadi partner dalam kantor tersebut. Partner ini dibantu oleh beberapa pembantu (staff) yang memiliki fungsi pengawasan atas pelaksanaan pemeriksaan (supervisor staff) dan pembantupembantu pelaksana. Bagian-bagian kantor akuntan tergantung pada kebijakan kantor yang bersangkutan, pembantu pengawas dan pembantu pelaksana dapat dibagi lagi kedalam jenjang-jenjang yang lebih terperinci.
32
Menurut Mulyadi (2002: 33), umumnya hirarki auditor dalam perikatan audit dalam kantor akuntan publik dibagi menjadi berikut ini: 1. Partner (Rekan) 2. Manajer 3. Auditor Senior 4. Auditor Junior Tabel 2.1 Tingkat dan Tanggung Jawab Staff Tingkat Staff Asisten Staf (Auditor Junior)
Pengalaman
Tanggung Jawab Utama
Rata-Rata 0-2 Tahun
Melakukan
sebagian
besar
pekerjaan audit yang terinci Mengkoordinasikan
dan
bertanggung jawab atas pekerjaan Auditor Senior
2-5 Tahun
lapangan mengawasi
audit,
termasuk
dan
mereview
pekerjaan auditor junior Membantu
penanggung
merencanakan audit,
5-10 Tahun
mengelola
mereview
penganggung Manajer
dan
jawab
jawab,
pekerjaan serta
membina hubungan dengan klien. Seorang
manajer
mungkin
bertanggung jawab atas lebih dari satu penugasan pada saat yang sama. Partner
10 Tahun ke
Meriveiw keseluruhan pekerjaan
atas
audit dan terlibat dalam keputusan-
33
keputusan audit yang signifikan. Seorang partner adalah pemilik KAP
dan
karenanya
mengembangkan tanggung jawab akhir dalam melakukan audit dan melayani klien. Sumber : Arrens (2006: 37) a.
Partner (Rekan)
Partner menduduki jabatan tertinggi dalam perikatan audit; bertanggung jawab atas hubungan dalam klien: bertanggung jawab secara menyeluruh mengenai auditing. Partner menandatangi laporan audit dan manajemen letter, dan bertanggung jawab terhadap penagihan fee audit dari klien. b. Manajer Manajer bertindak sebagai pengawas audit; bertugas untuk membantu auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit; mereview kertas kerja, laporan audit dan management letter. Biasanya manajer melakukan pengawasan terhadap pekerjaan beberapa auditor senior. Pekerjaan manajer tidak berbeda di kantor klien, melainkan dikantor auditor, dalam bentuk pengawasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan para auditor senior. c.
Auditor Junior Menurut Mulyadi (2002:33) Auditor junior melaksanakan prosedur
audit secara rinci; membuat kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah dilaksanakan. Pekerjaan ini biasanya dipegang oleh auditor yang baru saja menyelesaikan pendidikan formalnya di sekolah. Dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai auditor junior, seorang auditor harus belajar secara rinci
34
mengenai pekerjaan audit. Biasanya ia melaksanakan audit di berbagai jenis perusahaan. Ia harus banyak melakukan audit di lapangan dan di berbagai kota, sehingga ia dapat memperoleh pengalaman dalam berbagai masalah audit. Auditor junior sering juga disebut asisten auditor. Menurut Arrens, Beasley (2008:37) sifat hierakis KAP akan membantu meningkatkan kompetensi. Individu - individu disetiap tingkat audit mengawasi dan meriview pekerjaan individu lain yang berada pada tingkat dibawahnya dalam struktur organisasi, seorang asisten staf baru diawasi langsung oleh auditor senior atau penanggung jawab. Pekerjaan assisten staf ini selanjutnya direview oleh penganggung jawab serta oleh manajemen dan partner. Pengalaman kerja 0-2 tahun. Auditor junior adalah staf akuntan dimana penugasan yang diberikan kepadanya harus disupervisi dan diawasi, dalam hal ini yaitu auditor pemula. Karyawan-karyawan yang baru biasanya memulai karirnya sebagai auditor junior, dan bertugas pada setiap jenjang kerja selama dua sampai tiga tahun pada setiap tingkatan sebelum mencapai kedudukan sebagai rekan. Pada auditor junior tersebut adalah lulusan S1 jurusan akuntansi yang belum memperoleh gelar akuntan, mahasiswa jurusan akuntansi tahun terakhir, atau lulusan dari D3 akuntansi. (Trisnaningsih, 2007). d. Auditor Senior Menurut Mulyadi (2002: 33) dan Verani et.al (2011) Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit; bertanggung jawab untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana; bertugas untuk mengarahkan dan mereview pekerjaan auditor junior. Auditor senior biasanya akan menetap di
35
kantor klien sepanjang prosedur audit dilaksanakan. Umumnya auditor senior melakukan audit terhadap satu objek pada saat tertentu. Pengalaman kerja 3-5 tahun. Semakin tinggi jabatan seorang auditor, maka tugas dan tanggung jawabnya akan semakin besar pula. Adanya perbedaan dalam tugas dan tanggung jawab ini menyebabkan konflik dan dilema etis yang dihadapi juga berbeda-beda. Auditor yang memiliki fungsi yang tinggi akan menghadapi konflik dan dilema etis yang lebih besar dari pada auditor yang memilki fungsi yang rendah. Hal ini akan mempengaruhi persepsinya terhadap pelaksanaan etika profesi (Tarigan dan Mawarni, 2009:245). 2.2.4
Akuntansi Forensik Menurut Tuanakotta (2010: 4) akuntansi forensik merupakan
penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan, di sektor publik maupun privat. Dalam penelitian Rezaee, et al.,(2004) akuntansi forensik dapat diartikan sebagai praktik pengumpulan data yang ketatdan analisis dibidang dukungan litigasi, konsultasi, pakar kesaksian dan penipuan. Curtis, (2008) mengungkapkan bahwa akuntansi forensik merupakan aplikasi dari tugas akuntansi
untuk
pembuktian melalui
aksi
pengidentifikasian,
merekam,
menetapkan, pengadilan, pemilahan, pelaporan dan verifikasi data keuangan masa lalu atau kegiatan akuntansi lainnya untuk menyelesaikan sengketa hukum. Menurut Heitger & Heitger, (2008) akuntansi forensik mencakup deteksi penipuan dan pencegahan, dukungan litigasi dan saksi ahli serta layanan
36
investigasi lainnya. Sedangkan menurut Crumbley dalam Tuanakotta (2010: 5) akuntansi forensik merupakan akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan maupun peninjauan yudisial termasuk tinjauan administratif. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin ilmu akuntansi dalam arti luas termasuk auditing pada masalah hukum, yang mengumpulkan data, menganalisis bidang dukungan litigasi, konsultasi pakar kesaksian, penipuan, pendeteksian dan pencegahan penipuan, serta layanan investigasi lainnya yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan, di sektor publik maupun privat. Menurut Tuanakotta (2010: 18) Akuntansi forensik merupakan gabungan dari tiga bidang ilmu yaitu akuntansi, audit dan hukum. Bidang akuntansi sendiri berkaitan dengan kegiatan menghitung besarnya harta yang diperebutkan dalam persidangan. Sedangkan untuk bidang Audit digunakan sebagai salah satu pendukung dalam menanggapi temuan, tuduhan dan keluhan berkaitan dengan masalah hukum dan akuntansi yang dipersoalkan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Sementara bidang hukum sangat erat kaitannya dengan standar akuntansi dan undang-undang dalam suatu negara,yang merugikan dan melawan hukum yang berlaku.
37
Akuntansi
Audit
Hukum
Sumber : Tuanakotta T. M., Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, (2010: 19) Gambar 2.1 Diagram Akuntansi Forensik Seorang akuntan forensik sangat dibutuhkan sebagai saksi ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam persidangan. Auditor forensik adalah salah satu orang yang memiliki keahlian dalam bidang keuangan yang dapat memberikan keterangan terkait arah aliran korupsi, modus yang digunakan, siapa pelaku korupsi dan hasil yang lebih terperinci dari proses audit forensik. Kranacher et al., 2008 menjelaskan bahwa fraud dan akuntansi forensik merupakan area yang berkembang spesialis untuk akuntan profesional dan profesi lainnya dalam bidang hukum, kriminologi, sosiologi, psikologi, kecerdasan, komputer forensik dan ilmu forensik lainnya.
38
Tabel 2.2 Diagram Akuntansi Forensik-Tripikor Jenis Penugasan
Akuntansi Forensik
Fraud Audit Proaktif Investigatif Risk Temuan audit Temuan audit Sumber Asessment Tuduhan Informasi Keluhan Tip Indikasi Indikasi awal Bukti Output potensi adanya fraud ada/tidaknya kecurangan pelanggaran Sumber : Theodorus M. Tuanakotta (2010: 20) Diagram diatas menunjukkan bahwa auditor akan melakukan tindakan proaktif untuk melihat kelemahan dalam sistem pengendalian internal, terutama berkaitan dengan perlindungan aset, korupsi dan kecurangan laporan keuangan suatu perusahaan atau instansi untuk mendeteksi adanya fraud. Apabila seorang auditor menemukan indikasi adanya temuan audit, tuduhan, keluhan dan tip dari pihak lain yang mengarah pada fraud. Maka auditor sebaiknya melakukan audit investigatif yang didasarkan pada bukti, apakah ada atau tidak pelanggaran yang telah dilakukan, bila ternyata terbukti adanya tindak kejahatan fraud, maka tahap selanjutnya perlu dilakukan audit forensik. Dimana nantinya proses audit forensik yang akan mengungkap bagaimana pelaku kejahan fraud melakukan aksinya, menghitung berapa kerugian yang ditimbulkan dari kejahan fraud tersebut dan peraturan serta hukum apa saja yang telah dilanggar oleh pelaku. Ada sedikit perbedaan antara audit investigatif dan akuntansi forensik bila di tinjau dari latar belakang dilakukannya proses pemeriksaan. Audit investigatif dilakukan bila terjadi indikasi bahwa seseorang, instansi pemerintah maupun swasta dicurigai melakukan tindakan fraud. Sedangkan audit forensik
39
dilakukan saat kasus fraud tersebut sudah terjadi, sehingga perlu dilakukan penyelidikan mengapa dan bagaimana fraud tersebut bisa terjadi,peraturan apa saja yang telah dilanggar dan berapa besar kerugian yang timbul dari kejahatan tersebut. Howard R. David dalam Tuanakotta T. M., (2010: 99-104) memberikan lima nasihat kepada auditor forensik pemula berkaitan dengan investigasi terhadap adanya fraud, yaitu sebagai berikut: 1. Tidak hanya melakukan pengumpulan fakta dan data yang berlebihan sceara prematur tapi juga mengidentifikasi siapa yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindakan fraud. 2. Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku dalam melakukan kecurangandi pengadilan. 3. Seorang fraud auditor harus berfikir kreatif seperti pelaku fraud, yang sulit untuk ditebak. 4. Auditor harus memahami bahwa banyak fraud dilakukan dalam persekongkolan. 5. Auditor harus memastikan apakah kecurangan dilakukan didalam atau diluar pembukuan Akuntansi forensik sendiri bermula dari adanya penyelesaian dalam menentukan pembagian warisan atau menghadapi motif pembunuhan di Amerika Serikat dan berkembang hingga sekarang (Tuanakotta T. M., 2010: 12). Sedangkan di Indonesia Akuntansi forensik mulai diterapkan oleh Price waterhouse Copers (PwC) sejak adanya kasus Bank Bali tahun 2005. Ada
40
beberapa perbedaan terkait perkembangan akuntansi forensik di Amerika dan di Indonesia, hal tersebut dijelaskan dalam tabel berikut Tabel 2.3 Perbedaan Perkembangan Akuntansi Forensik di Negara Amerika dan Indonesia Keterangan Amerika Kasus Fraud yang ditangani Xerox (2000), Enron oleh auditor forensik (2001), Kmart, WorldCom,Qwest Communication, AdelphiaCommunication, Tyco, Duke Energy (2002) dan lainnya Lembaga sertifikasi akuntan American Institute of forensik Certified Public Accountants Organisasi profesi akuntan Association of Certified forensik Fraud Examiners (1988)
Indonesia Bank Bali, Bank BNI (2005), Bank Century (2009)
Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (2011) Asosiasi Auditor Forensik Indonesia (2013) Sumber : Tuanakotta T. M., Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, (2010) Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan akuntansi forensik di Indonesia relatif masih lambat, dan belum bisa membantu dalam menangani berbagai kasus kecurangan yang merugikan berbagai macam instansi, terutama kerugian bagi negara. Sehingga perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, terutama melalui dunia pendidikan agar masyarakat semakin sadar bahwa kejahatan fraud sangat merugikan dan harus ditangani secara serius. Penelitian Rezaee, et al., (2004) mengungkapkan bahwa pendidikan akuntansi forensik dianggap sebagai sesuatu yang relevan dan bermanfaat bagi mahasiswa akuntansi, masyarakat bisnis, profesi akuntansi dan pendidikan akuntansi. Hal tersebut berkaitan dengan adanya kurikulum akuntansi saat ini yang tidak cukup responsif terhadap tuntutan masyarakat dalam pendidikan dan
41
pelatihan akuntansi, sehingga perlu untuk memasukkan cakupan akuntansi forensik dalam kurikulumnya. Rezaee, et al., (2004) menyatakan juga bahwa tingginya tingkat kecurangan laporan keungan saat ini membuat perguruan tinggi harus mendorong dan menyarankan mahasiswanya untuk berkarir dalam bidang akuntansi forensik. Karena banyaknya kesempatan kerja dalam bidang tersebut akan membuat mahasiswa semakin tertarik untuk mengambil peminatan dalam bidang akuntansi forensik termasuk pemeriksaan keuangan. Berkaitan dengan hal tersebut akuntansi forensik perlu untuk diterapkan dalam kurikulum pendidikan, karena dengan adanya akuntansi forensik akan memenuhi permintaan masyarakat untuk mendapatkan pelaporan keuangan yang berkualitas. Melalui pelaporan keuangan yang berkualitas tersebut perusahaan atau instansi terkait dapat membuktikan bahwa mereka telah menerapkan tata kelola perusahaan yang bertanggung jawab, sehingga alumni perguruan tinggi yang memiliki pendidikan akuntansi forensik akan semakin dibutuhkan di masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut perguruan tinggi sebaiknya mempersiapkan alumni perguruan tingginya untuk ikut terlibat dalam pemeriksaan fraud, konsultasi litigasi dan kesaksian ahli. Beberapa materi berkaitan dengan akuntansi, audit dan hukum dirasa penting untuk dipelajari mahasiswa, seperti : 1. Karir dan standar profesi dlam bidang akuntansi forensik 2. Organisasi profesi yang mensponsori akuntansi forensik 3. Dasar dan unsur fraud
42
4. Teori dan metodologi pemeriksaan fraud 5. Kriteria, pendidikan, kontrol dan pelatihan audit anti fraud 6. Kejahatan kerah putih dan kejahatan ekonomi 7. Investigasi penipuan, penyuapan dan korupsi 8. Kecurangan laporan keuangan 9. Teknik dalam mencari aset tersembunyi 10. Prosedur review analitis 11. Melakukan penyelidikan dan evaluasi pengadilan internal 12. Tanda-tanda kecurangan di lingkungan bisnis 13. Program pendeteksian dan pencegahan fraud 14. Pengetahuan tentang sistem dan unsur fraud dalam hukum 15. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku 16. Keterampilan wawancara dalam aspek hukum 17. Teknik konsultasi litigasi 18. Teknik sebagai saksi ahli 19. Cyber dan kecurangan software 20. Keamanan dan privasi serta teknik mengontrol tindakan Melalui mekanisme pengajaran akuntansi forensik yang baik mahasiswa diharapkan dapat memiliki daya tangkap dan pemahaman tentang ilmu dan penerapan materi yang diajarkan. Ada beberapa media yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan, seperti meminta mahasiswa untuk membaca dan meresum buku pelajaran, melakukan penelitian, melihat video, menyelesaikan kasus cerita, mengadakan kuliah tamu/kuliah umum dan mengajak mahasiswa
43
untuk terjun langsung ke lapangan seperti berkunjung ke organisasi profesional seperti BPK, KPK dan KAP maupun LSM. Menurut I Dewa Nyoman Wiratmaja (2010) menjelaskan bahwa terminologi akuntansi forensik dibahas untuk referensi dalamformulasi strategi pemberantasan korupsi. Forensik Accounting, Forensik Investigation, Forensik Audit dan Litigation Support adalah beberapa terminologi penting dalam memahami akuntnasi forensik sebagai bagiandari ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan pencegahan tindak pidana korupsi. Akntansi forensik dalam kontek preventif, detektik dan represif secara aksiomatik dapat mengambil peranannya dengan menyediakan pendekatanpendektan yang efektif dalam mencegah, mengetahui atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi. Untuk kepentingan ini akuntansi forensik di indoensia belum banyak digunakan karena profesi akuntansi belum menetapkan standar dari penerapan akuntansi forensik sebagai salah satu profesi akuntan. Akuntansi forensik dan profesi akuntan forensik yang di negara-negara maju mengambil peran strategik dalam pengungkapan kecurangan termasuk korupsi di Indonesia belum begitu umum peranannya. Kondisi ini tidak terlepas dari belum ditetapkannya standar untuk profesi ini dan belum dimasukannya akuntansi forensik dalam kurikulum perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga akuntan. Pendidikan akuntan forensik merupakan sinergi dari pendidikan tinggi dan profesi akuntansi yang secara khusus dalam kurikulumnya memberikan dasardasar ilmu hukum khusus yang berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti perkara.
44
Menurut Gusnardi (2012) Forensik dan Akuntansi merupakan dua istilah yang jarang dibicarakan dalam satu bahasan. Forensik sering kita kenal sebagai salah satu istilah yang terkait dengan kejadian kriminalitas seperti meneliti korban kasus pembunuhan. Menurut Larry Crumbley & Stevenson (2009), fraud Auditor adalah seorang akuntan yang terampil dan professional dalam mengaudit umumnya akan terlibat dalam kegiatan tentang penemuan, dokumentasi, dan pencegahan fraud. Sedangkan Forensic Accountant: seorang akuntan forensik dapat terlibat dalam fraud audit dan mungkin fraud auditor, tetapi dia juga dapat menggunakan jasa profeional lainnya, jasa konsultasi, dan ahli hukum dalam keterlibatan yang lebih luas. Selain keterampilan akuntansi, ia juga membutuhkan pengetahuan tentang sistem hukum dan keterampilan komunikasi yang baik dalam melaksanakan kesaksian sebagai saksi ahli di ruang sidang dan untuk membantu dalam keterlibatan dukungan litigasi lain bagi kliennya. Forensik berarti "berkaitan dengan, digunakan, atau sesuai untuk pengadilan hukum atau untuk diskusi publik atau argumentasi" (Am Heritage Dictionary, 4th ed.) Akuntansi berarti, "sistem yang menyediakan informasi kuantitatif tentang keuangan" (Warren, 2010). Akuntansi forensik adalah penerapan keterampilan akuntansi untuk menyediakan informasi keuangan kuantitatif tentang hal-hal sebelum ke pengadilan. Pada tahun 1986, AICPA mengelompokkan akuntansi forensik menjadi duabidang yg lebih luas: yaitu investigative accounting dan litigation support. Jenis jasa litigasi tersebut kemudian dipecah ke dalam Practice Aid 7, listing: 1) damages, 2) antitrust analyses, 3) accounting, 4) valuation, 5) general consulting, dan 6) analyses.
45
(AICPA, 2003). Ruang lingkup akuntansi forensik dapat dibedakan dari lembaga yang menerapkannya, yaitu sektor swasta dan sektor pemerintahan (Tuannakota, 2007). Bologna dan Lindquist perintis mengenai
akuntansi forensik
menekankan beberapa istilah dalam perbendaharaan akuntansi, yakni: fraud auditing, forensic accounting, investigative support, dan valuation análisis. Litigaton support merupakan istlah yang paling luas, segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi forensik bersifat dukungan untuk kegiatan litigasi. Akuntansi foresik dimulai sesudah ditemukan indikasi awal adanya fraud. Audit invesigasi merupakan bagian awal dari akuntansi forensik. Sedangkan valuation analysis berhubungan dengan dengan akuntansi atau unsur hitung-hitungan Misalnya dalam menghitung kerugian negara karena tindakan korupsi. Praktiknya yang sama akuntansi forensik pada sektor swasta, perbedaanya adalah bahwa tahap-tahap dalam seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi di dalam berbagai lembaga. Ada lembaga yang melakukan pemeriksaan keuangan negara (BPK), ada lembaga yang merupakan bagian dari pengawasan internal pemerintah (BPKP), ada lembaga-lembaga pengadilan, ada lembaga yang menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada umumnya, dan korupsi khususnya (PPATK), dan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK. Juga ada lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai pressure group seperti ICW, Pekat UGM, dan sebagainya.
46
2.2.5
Fraud “Fraud berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “fraus” yang
memiliki banyak makna, namun semuanya merujuk pada konsep bahaya, pelanggaran dan penipuan. Fraud dapat didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum
yang
mengandung
unsur
kesengajaan,
niat
jahat,
penipuan,
penyembunyian, dan penyalahgunaan kepercayaan dengan tujuan mengambil keuntungan haram (illegal advantage). Kejahatan kerah putih dibagi menjadi tiga cabang
utama,
yaitu
korupsi
(corruption),
penyalahgunaan
aset
(assetmisappropriation), dan pembuatan laporan keuangan yang curang (fraudulent statements) (M.Tuanakota, 2007: 96). Korupsi merupakan suatu bentuk skema kejahatan kerah putih dimana seseorang tidak dibenarkan menggunakan kekuasaannya dengan cara melanggar ketentuan yang ada untuk memperoleh manfaat pribadi. Penyalahgunaan aset merupakan suatu bentuk skema kejahatan kerah putih dimana seseorang mengambil atau mencuri serta menggunakan kekayaan atau sumber daya milik organisasi untuk kepentingan pribadinya. Sedangkan kecurangan laporan keuangan merupakan suatu bentuk skema kejahatan kerah putih dimana seseorang karyawan dengan sengaja menimbulkan salah saji yang material dalam sebuah laporan keuangan organisasi (Wilopo, 2013: 258). Munculnya
fraud
dapat
digambarkan
dalam
sebuah
segitiga
kecurangan (fraud triangle) yang terdiri dari tekanan (pressure), peluang (opportunity) dan pembenaran (rationalization). Ketiga faktor tersebut dianggap mampu membuat seseorang melakukan fraud (M.Tuanakotta, 2013: 28). Namun
47
pada tahun 2012, Dorminey melakukan penelitian untuk melanjutkan penelitian dari Cressey dalammerumuskan faktor penyebab fraud dan menghasilkan segitiga kecurangan yang baru yang lebih dikenal dengan sebutan “The New Fraud Triangle Model”. The
Association
of
Certified
Fraud
Examiners
(ACFE),
menggambarkan bahwa fraud merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu seperti manipulasi atau memberikan laporan yang salah terhadap pihak lain. Tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari dalam maupun diluar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. (Sumber: www.acfe.com). Menurut Tuanakotta T. M. (2010: 188) fraud adalah kejahatan yang ditangani dengan dua cara, mencegah dan mendeteksi. Para ahli memperkirakan bahwa fraud yang terungkap merupakan bagian kecil dari seluruh fraud yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, upaya utama seharusnya pada pencegahan. R. Wilopo “Etika Profesi Akuntan” (2014: 284) menjelaskan bahwa terdapat dua cara yang utama dalam mencegah kejahatan kerah putih. Kedua cara tersebut adalah: 1. Menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, serta sikap saling membantu: a.
Menerima karyawan yang jujur serta memberikan pelatihan kesadaran akan kejahatan fraud
b.
Menciptakan lingkungan kerja yang positif
c.
Memberikan program asistensi karyawan
48
2. Menghilangkan peluang terjadinya fraud: a.
Memiliki system pengendalian atau pengawasan internal yang baik
b.
Memberikan informasi kepada pemasok dan pihak lain tentang kebijakan perusahaan melawan kejahatan fraud
c.
Memantau karyawan dan manajemen serta memberikan hotline tanpa mengungkap nama
d.
Menciptakan ekspektasi akan hukum
49
Fraud Tree Sumber: www.acfe.com Gambar 2.2 Fraud Tree
50
Lebih lanjut Association of Certified Fraud Examiner dalam Wilopo (2013: 257) menggambarkan kecurangan (Occupational fraud) atau kejahatan kerah putih dalam bentuk diagram yang lazim disebut dengan pohon kejahatan kerah putih (kecurangan). Dalam fraud tree digambarkan bahwa kejahatan kerah putih dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1.
Korupsi (Corruption), yaitu skema kejahatan kerah putih, dimana seorang karyawan secara tidak benar menggunakan pengaruhnya di dalam transaksi bisnis dengan cara yang melanggar tugasnya kepada atasannya yang secara langsung atau tidak langsung memperoleh manfaat.
2.
Penyalahgunaan Kekayaan (asset misappropriation), yaitu skema kejahatan kerah putih, dimana seorang karyawan mencuri atau secara tidak benar menggunakan kekayaan atau sumber daya organisasi.
3.
Kecurangan Laporan Keuangan (financial statement fraud), yaitu skema kejahatan kerah putih, dimana seorang karyawan secara sengaja menimbulkan salah saji atau menghilangkan informasi yang material di dalam laporan keuangan organisasi. Donald R. Cressy dalam Tuanakotta T. M.,(2010: 207-213)
menjelaskan bahwa sesorang melakukan kejahatan kerah putih karena adanya : 1. Tekanan (Pessure) Tekanan yang menghimpit seseorang untuk melakukan tindak kecurangan, dimana individu tersebut tidak dapat berbagi masalah keuangannya dengan orang lain sehingga menyebabkan penggelapan keuangan perusahaan dan berbagai macam tindakan fraud.
51
R. Wilopo (2014: 279) mejelaskan bahwa fraud dapat dilakukan untuk menguntungkan diri pribadi pelakunya atau bagi organisasi tempat dia bekerja. Karyawan yang melakukan fraud dengan cara menggelapkan kekayaan organisasi atau perusahaan, lazimnya dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi pelaku. Sebaliknya fraud yang dilakukan oleh manajemen dengan cara menipu para pemegang saham, investor, atau kreditor dengan cara memanipulasi laporan keuangan. 2. Peluang (Opportunity) Donald R. Cressy dalam Tuanakotta T. M.,(2010 : 211) berpendapat bahwa terdapat dua komponen dalam persepsi yaitu general information dan technical skill. General information merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Seperti pengalaman seseorang yang melakukan fraud tetapi tidakketahuan, tidak diberi hukum maupun sanksi lainnya. Sedangkan technical skill merupakan keahlian atau keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Seperti karyawan yang bertugas menangani rekening koran disuatu bank mencuri dana dari nasabahnya yang jarang melakukan transaksi. 3. Pembenaran (Rationalization) Pembenaran merupakan bagian dari motivasi seseorang dalam melakukan kejahatan, dima individu tersebut dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya. Seperti seorang kasir yang mengambil uang perusahaan dan meyakinkan dia bahwa dia akan mengembalikannya suatu saat nanti.
52
R. Wilopo (2014: 283) menjelaskan selain tekanan dan peluang, kejahatan fraud terjadi bila terdapat pembenaran atau rasionalisasi atas tindakannya. Hampir semua kejahatan fraud melibatkan unsur pembenaran. Banyak para pelaku fraud pada awalnya adalah bukan pelaku berbagai kejahatan yang lain. Oleh karenanya mereka harus mencari pembenaran atas tindak fraudnya. Menurut Sukanto (2009) Fraud atau yang sering dikenal dengan istilah kecurangan merupakan hal yang sekarang banyak dibicarakan di Indonesia. Pengertian fraud itu sendiri merupakan penipuan yang sengaja dilakukan, yang menimbulkan kerugian pihak lain dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan atau kelompoknya. Sementara Albrecht (2003) mendefinisikan fraud sebagai representasi tentang fakta material yang palsu dan sengaja atau ceroboh sehingga diyakini dan ditindak lanjuti oleh korban dan kerusakan korban. Dalam bahasa aslinya fraud meliputi berbagai tindakan melawan hukum. Bologna (1993) dalam Amrizal (2004) mendefinisikan kecurangan “Fraud is criminal deception intended to financially benefitthe deceiver” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial dari tindakannya tersebut. Biasanya kecurangan
mencakup
tiga
langkah
yaitu
(1)
tindakan/the
penyembunyian/the concealment dan (3) konversi/the conversion.
act.,
(2)
53
Adapun menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah: Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalamatau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. Jadi, berdasarkan pengertian fraud yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa fraud adalah mencangkup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencangkup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat atau tersembunyi, dan setiap cara yang tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu atau menderita kerugian. 2.2.6
Praktik-Praktik Fraud Pada dasarnya terdapat dua tipe dari praktik fraud, yaitu eksternal dan
internal. Eksternal fraud adalah praktik fraud yang dilakukan oleh pihak luar terhadap entitas. Misalnya fraud yang dilakukan pelanggan terhadap usaha, wajib pajak terhadap pemerintah, atau pemegang polis terhadap perusahaan asuransi. Tipe praktik Internal fraud adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer, dan eksekutif terhadap perusahaan, contohnya pencurian dana kas kecil, memalsukan saldo dalam akun kas, melakukan pembelian dari uang kejahatannya. Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (2011:316.2) yang menyatakan bahwa ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang fraud dalam audit atas laporan keuangan, yaitu
54
salah saji yang timbul sebagai akibat dari fraud dalam pelaporan keuangan dan fraud yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva, berikut penjelasannya : a.
Salah saji yang timbul dari fraud dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan. Fraud dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan seperti yang disajikan berikut ini: 1.
Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
2.
Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi atau informasi yang signifikan.
3.
Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.
b.
Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan), berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang atau uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat
55
menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan atau pihak ketiga
2.3
Kerangka Pemikiran
Praktik Akuntansi Forensik Dalam Dunia Audit
Uji Beda
Persepsi Auditor Senior
Persepsi Auditor Junior Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan model penelitiannya, hipotesis yang dapat dikemukakan
pada penelitian ini adalah: H1: Terdapat perbedaan persepsi antara auditor junior dan auditor senior atas permintaan akuntansi forensik pada bidang penyelesaian kasus secara hukum, saksi ahli dan pemeriksa fraud. H2: Terdapat perbedaan persepsi antara auditor junior dan auditor senior mengenai akuntansi forensik. H3: Terdapat perbedaan persepsi antara auditor junior dan auditor senior atas manfaat yang akan dirasakan dari pendidikan dan praktik akuntansi forensik.
56
H4: Terdapat perbedaan persepsi antara auditor junior dan auditor senior atas materi yang penting dalam kurikulum akuntansi forensik. H5: Terdapat perbedaan persepsi antara auditor junior dan auditor senior atas mekanisme pengajaran akuntansi forensik.