BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian dalam KUHPerdata merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “overeenkomst”. Istilah overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang berarti sepakat atau setuju, namun dalam berbagai kepustakaan belum terdapat berbagai istilah yang dipandang oleh banyak pihak dapat menimbulkan kebingungan atau malah dianggap sama, dalam menerjemahkan istilah overeenkomst para ahli hukum menerjemahkannya sebagai suatu perjanjian walaupun terdapat juga beberapa ahli hukum yang menerjemahkan istilah oveerenkomst sebagai persetujuan. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah perjanjian dari pada persetujuan karena perjanjian merupakan jenis perikatan yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dalam setiap perjanjian terdapat asas kebebasan berkontrak dimana setiap orang bebas mengadakan atau membuat isi suatu perjanjian tersebut baik yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.10 Pengertian perjanjian disebutkan dalam buku ke III Bab II KUHPerdata, yaitu di dalam Pasal 1313. Menurut KUHPerdata, perjanjian adalah kontrak. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Perjanjian adalah satu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.11
10
Djohari Santoso,SH Dan Achmad Ali SH, Hukum Perjanjian Indonesia,Yogyakarta hlm.45.
11
Abdul kadir muhammad, 1992, Hukum perikatan, Bandung, Pt. Citra aditya bakti, hlm. 78
7
8
Menurut subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.12 Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut para ahli hukum kurang sempurna bila dilihat dari dua unsur : a. Unsur “Perbuatan” Kata “Perbuatan” dalam Pasal 1313 KUHPerdata lebih tepat apabila diganti dengan kata “Perbuatan Hukum” digunakannya kata perbuatan hukum tidak hanya menunjukan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki tetapi didalamnya juga terdapat sepakat yang merupakan ciri dari perjanjian yang tidak mungkin ada pada perbuatan melawan hukum dan tindakan-tindakan perwakilan istimewa. b. Unsur “Mengikatkan Diri Terhadap Satu Orang Atau Lebih” Kalimat “Mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” pada Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan penafsiran bahwa pengertian tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak saja, sedangkan dalam perjanjian timbal balik pada kedua belah pihak terdapat hak dan kewajiban. Jadi perumusan Pasal 1313 KUHPerdata pada unsur mengikatkan diri terlalu sempit, supaya meliputi pula perjanjian timbal balik maka sebaiknya ditambahkan “atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri”. Pasal tersebut bila dilihat dari pengertiannya terlalu luas bahasanya namun dalam perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian dalam lapangan hukum harta kekayaan saja, ialah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan materi (uang), maka untuk memperjelas pengertian perjanjian yang lebih sempurna dapat dilihat menurut pandangan para ahli hukum berikut : Ketentuan pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah hanya menyangkut sepihak saja,
12
Subekti, 1990, Hukum perjanjian, jakarta, PT. Intermasa, hlm. 1
9
kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas tanpa menyebut tujuan.13 Menurut Soedikno Mertokusumo istilah perjanjian digunakan sebagai tejemahan dari Overeenkomst. Karena syarat sahnya oveerenkoms adalah adanya toesteming, yang dapat diterjemahkan sebagai persetujuan. Dan istilah perjanjian menurut Soedikno Mertokusumo adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum dimana akibat hukum itu menimbulkan perikatan diantara para pihak.14 Menurut Subekti perjanjian tersebut mancakup dua perjanjian yaitu perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak. Definisi perjanjian menurut Subekti tersebut mengandung beberapa kehendak, yaitu : 15 a. Kata “peristiwa” menunjukan pada peristiwa yang tidak diinginkan atau diluar kehendak manusia, sedangkan perjanjian merupakan perbuatan yang dikehendaki. b. Kata”... untuk melaksanakan sesuatu hal” menunjukan kurang jelas tentang hal apa. Kekurang jelasaan ini dapat menimbulkan anggapan tidak adanya akibat hukum dari hal yang dikehendaki orang untuk melakukannya. Menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu : a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. b. Menambah perkataan “atau saling menikatkan dirinya” didalam pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Definisi perjanjian yang dikemukakan oleh R. Setiawan tersebut dapat disimpulkan, perjanjian adalah : “Suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau
13
Abdul Kadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm 224. 14 Soedikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm 110. 15
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm 1.
10
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”16 Menurut M. Yahya Harahap mendefinisikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain menunaikan prestasi.17 Berdasarkan definisi perjanjian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 18 a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua pihak Perjanjian tidak akan terjadi tanpa adanya para pihak. Para pihak ini sering disebut sebagai subjek perjanjian atau pelaku perjanjian. Setiap subjek perjanjian atau pelaku perjanjian dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. b. Ada perjanjian antara para pihak Sebelum melakukan suatu perjanjian para pihak mengadakan perundingan terlebih dahulu. Perundingan itu adalah tindakan-tindakan untuk menuju adanya persetujuan. Persetujuan itu ditujukan dengan penerimaan syarat atau suatu tawaran, apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Tawaran dan yang dirundingkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan mengenai objek pejanjian. Disetujuinya oleh masing-masing pihak tentang syarat-syarat dan objek perjanjian itu, maka timbulah suatu persetujuan. c. Ada tujuan yang hendak dicapai Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihakpihak itu, kebutuhan hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang. 16
R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin,Jakarta, hlm 49.
17
Yahya Harahap, M, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, hlm 6.
18
Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, hlm 79.
11
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan Ada prestasi menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi, prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang satu sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. 2. Syarat Sahnya Perjanjian Suatu perjanjian dikatakan memiliki akibat hukum apabila perjanjian tersebut dibuat secara sah dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik syarat subjektif maupun syarat objektif yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat berdasarkan asas konsensualisme yang telah dijelaskan diatas adalah berupa sepakat dari para pihak mengenai isi atau pokok dari perjanjian. Para pihak dalam perjanjian sama-sama menginginkan sesuatu yang sama secara timbal balik, sepakat yang diberikan oleh para pihak harus tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak lainnya, sehingga para pihak yang mengadakan perjanjian benar-benar menghendaki perjanjian yang dibuatnya. Menurut Subekti, sepakat atau konsensus yang dimaksud adalah bahwa diantara para pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh pihak lain. Kedua kehendak tersebut bertemu dalam kata sepakat dan tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan kata-kata ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataanpernyataan tertulis sebagai tanda bukti kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.19 Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sepakat atau konsensus merupakan bertemunya penawaran dengan permintaan. Apabila para pihak yang mengatakan sepakat tidak saling berhadapan secara langsung
19
hlm 3.
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian Cetakan Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung
12
sering kali menimbulkan kesulitan untuk menentukan kapan lahirnya kata sepakat tersebut. Ada beberapa teori yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan kapan kesepakatan itu lahir sehingga para pihak dapat mengetahui saat dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing, yaitu : 20 1) Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Berdasarkan teori ini perjanjian lahir pada saat dikeluarkannya pernyataan penerimaan terhadap suatu penawaran yang biasanya berupa surat jawaban penerimaan. Perjanjian dianggap ada pada saat surat penerimaan selesai ditulis. Pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor saling bertemu. 2) Teori Pengiriman (Verzendingstheorie) Berdasarkan teori ini kata sepakat tercapai pada saat dikirimkannya surat jawaban. Tanggal cap pos dapat kita pakai sebagai patokan, sebab sejak saat surat itu dikirimkan, akseptor tidak mempunyai kekuaaan lagi atas surat jawaban tersebut. 3) Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Berdasarkan teori ini, perjanjian terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat, yaitu pada saat surat yang berisi penerimaan sampai di alamat orang yang melakukan penawaran. 4) Teori Pitlo (Geobjectiverde Vernemingstheorie) Pitlo mengembangkan teori sendiri yang olehnya disebut teori yang kelima dengan mengatakan bahwa perjanjian lahir pada saat dimana orang
20
yang
mengirimkan
jawaban
secara
patut
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 3.
boleh
13
mempersangkakan (beranggapan), bahwa orang yang diberikan jawaban mengetahui jawaban itu.21 Tercapainya
persesuaian
kehendak diantara
para
pihak
yang
mengadakan perjanjian belum mengakibatkan adanya perikatan diantara para pihak tersebut. Kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian harus terlebih dahulu saling bertemu untuk kemudian dinyatakan oleh masingmasing pihak yang bersangkutan sehingga lahirlah suatu kesepakatan. Pernyataan kehendak dari masing-masing pihak yang melahirkan kesepakatan dapat dituangkan secara tegas melalui kata-kata atau dilakukan secara diamdiam melalui perbuatan yang mencerminkan adanya kata sepakat di antara para pihak. Kata sepakat itu sendiri sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela para pihak sehingga tidak akan menimbulkan adanya cacat kehendak. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan cacat kehendak menurut Pasal 1321 KUHPerdata adalah sebagai berikut : 1) Kekhilafan (Dwaling) Kekhilafan terjadi apabila seseorang menghendaki sesuatu dan telah mengeluarkan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, akan tetapi pernyataan tersebut menyimpang karena terjadi salah pengertian mengenai : a) Hakekat benda yang menjadi objek perjanjian (error in substansi) b) Seseorang dengan siapa orang itu mengikatkan diri (error in persona) Kekhilafan yang terjadi selain dari kekhilafan mengenai hakikat
benda
yang
menjadi
objek
perjanjian
tidak
dapat
mengakibatkan batalnya perjanjian. Hakekat benda bagi para pihak merupakan alasan yang sesungguhnya untuk dapat menutup suatu perjanjian dengan persyaratan seperti yang ditetapkan didalamnya
21
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, hlm 180-183.
14
karena hakikat benda merupakan sifat dari benda yang merupakan objek perjanjian. Pengaturan mengenai batalnya perjanjian yang hanya dapat diakibatkan dari kekhilafan mengenai hakikat benda dapat diketahui dari ketentuan dalam Pasal 1322 Ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ; “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalanya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”. 2) Paksaan (dwang) Pasal 1324 Ayat 1 KUHPerdata memberikan pengaturan mengenai paksaan (dwang) yang menyebutkan bahwa : “Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaanya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.” Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa paksaan merupakan perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketakutan pada seseorang bahwa dirinya sendiri atau kekayaanya terancam oleh suatu kerugian yang sifatnya terang dan nyata. Dengan kata lain, paksaan tidak hanya menyangkut tindakan kekerasaan yang dilakukan secara fisik saja akan tetapi meliputi ancaman terhadap kerugian kepentingan hukum dari seseorang tersebut. Dalam hal ini paksaan yang dilakukan haruslah merupakan tindakan atau sarana pemaksa yang dilarang oleh Undang-undang, dan adanya suatu paksaan terhadap diri seseorang atau keluarganya dalam melakukan suatu perjanjian, akan berakibat pada batalnya perjanjian tersebut baik dalam garis ke atas maupun ke bawah.
15
3) Penipuan (bedrog) Menurut Subekti, penipuan terjadi apabila salah satu pihak sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perijinannya, pihak yang menipu tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. 22 Pasal 1328 KUHPerdata memberikan pengertian penipuan sebagai berikut : “Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat.” Berdasarkan pengertian yang diberikan dalam ketentuan pasal 1328 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa penipuan merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk menyesatkan pihak lain dengan menggunakan tipu muslihat. Selain dari ketentuan mengenai faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya cacat kehendak dalam suatu perjanjian sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata juga terdapat faktor lain yang
dapat
mengakibatkan
penyalahgunaan
keadaan
terjadinya
cacat
kehendak,
yaitu
(misbruk
van
omstandinghden).
Penyalahgunaan keadan tidak diatur didalam Undang-undang, tetapi dalam Yurisprudensi Putusan MA RI No. 3431/Perdata/1985 tanggal 4 Maret 1987 dan Putusan MA RI No. 1904/SIP/1982 tanggal 28 januari 1984 yang menunjukan bahwa penyalahgunaan keadaan juga dapat dipakai sebagai alasan untuk dibatalkannya suatu perjanjian. Penyalahgunaan keadaan ini berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi tersebut membuat salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila salah satu pihak dalam 22
Subekti, op-cit, hlm 24.
16
perjanjian mempunyai kelebihan dari pihak yang lainnya, baik berupa kelebihan secara ekonomis, status sosial, maupun fisik yang digunakannya untuk menekan pihak yang lain sehingga mengakibatkan pihak yang lain tersebut dengan terpaksa menutup suatu perjanjian yang sebenarnya sangat memberatkan dirinnya. Penyalahgunaan keadaan ini merupakan keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebiasaan yang baik (geoden zeden), sehingga atas dasar itu suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya ataupun bagian tertentu saja. b. Kecakapan Para Pihak Kecakapan untuk membuat suatu perikatan diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatanperikatan, jika ia oleh Undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata diatur mengenai orang-orang yang dianggap tidak cakap, yaitu : 1) Orang-orang yang belum dewasa Dalam pasal 330 KUHPerdata diatur tentang orang-orang yang belum dewasa, yaitu mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa batas usia dewasa menurut KUHPerdata adalah telah mencapai umur genap 21 tahun atau belum mencapai umur genap 21 tahun tetapi terlebih dahulu telah kawin. Terdapat pengecualian dalam penentuan kecakapan seseorang yang menyatakan bahwa seseorang yang dianggap belum dewasa dapat melakukan suatu perbuatan hukum tertentu dan dipersamakan dengan orang dewasa yang disebut dengan Handlichting. Handlichting adalah suatu pernyataan bahwa anak yang dibawah umur tersebut untuk sepenuhnya atau hanya untuk beberapa perbuatan saja dipersamakan dengan orang yang sudah dewasa, dengan
17
adanya Handlichting (Pelunakan) itu anak dibawah umur mempunyai kecakapan bertindak karena untuk sepenuhnya atau hanya untuk beberapa perbuatan hukum saja memperoleh kedudukan yang sama dengan orang dewasa.23 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Untuk dapat mengetahui dengan jelas pengaturan mengenai orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, maka harus dilihat dari ketentuan Pasal 433 KUHPerdata. “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”. “Seorang dewasa boleh juga ditaruh dibawah pengampuan karena keborosannya.” Berdasarkan
ketentuan
Pasal
433
KUHPerdata
dapat
disimpulkan bahwa orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang dewasa yang terganggu atau hilang ingatanya serta yang selalu boros dalam tindakannya. 3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Ketentuan mengenai ketidakwenangan seorang perempuan berdasarkan KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya SEMA No. 3 tahun 1963 dan Pasal 31 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan suami dan istri sekarang samasama berhak melakukan perbuatan hukum.
23
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Badan Pribadi, Liberty, Yogyakarta, hlm 42.
18
c. Suatu Hal Tertentu Dalam membuat suatu perjanjian, objeknya harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan menurut jenis barang tertentu, sedangkan untuk jumlahnya tidak perlu harus ditentukan lebih dahulu melainkan sudah cukup apabila dikemudian hari dapat dihitung dan dapat ditentukan. Pengaturan mengenai syarat sahnya perjanjian yang berupa suatu hal tertentu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata, Pasal 1333, dan Pasal 1334 KUHPerdata. Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.” Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlahnya itu kemudian dapat ditentukan atau dapat dihitung”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1333 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa objek perjanjian harus tertentu atau dapat ditentukan menurut jenis barang tertentu, sedangkan untuk jumlahnya tidak perlu harus ditentukan terlebih dahulu melainkan sudah cukup apabila dapat dihitung dan dapat ditentukan dikemudian hari. Ketentuan ini mempunyai tujuan untuk menentukan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak apabila timbul perselisihan tentang pelaksanaan perjanjian dikemudian hari. Apabila prestasi atau objek perjanjian itu kabur atau tidak jelas sehingga perjanjian tidak dapat dilaksanakan, maka dalam perjanjian dianggap tidak memiliki objek perjanjian atau perjanjian batal demi hukum.
19
Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. “Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176 dan 178.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa barang yang akan dapat dijadikan sebagai pokok perjanjian dengan pengecualian barang warisan yang belum ada atau belum diwariskan. Pada dasarnya yang dimaskud sebagai objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam hal-hal ini prestasi ada tiga (3) macam, yaitu : 1) Prestasi yang berupa memberikan atau menyerahkan sesuatu. 2) Prestasi yang berupa berbuat sesuatu. 3) Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu.
d. Sebab Yang Halal Sebab atau klausul yang halal berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah dalam arti sesuatu hal yang menyebabkan atau mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian, namun sebab atau klausul yang halal adalah suatu hal yang mencerminkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak dalam perjanjian. Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian yang dibuat agar mempunyai kekuatan hukum haruslah disertai dengan sebab yang halal, yang berarti bahwa sebab tersebut tidak palsu atau terlarang.
20
Apabila dalam perjanjian terdapat sebab yang tidak halal maka perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum. Dalam kitab undang-undang Hukum Perdata tidak ditentukan mengenai maksud dari sebab yang halal akan tetapi dapat disimpulkan dari Pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : “Suatu sebab halal adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Sebab yang halal yang dimaksud berarti isi atau maksud dari diadakannya perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Keempat syarat perjanjian tersebut dapat dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu : 1) Syarat subjektif Syarat subjektif adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subjek perjanjian, yaitu meliputi : a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b) Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan.
2) Syarat objektif Syarat objektif adalah syarat yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian, yaitu meliputi : a) Suatu hal tertentu. b) Suatu sebab yang halal. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tetap berlaku dan wajib dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan selama perjanjian tersebut belum dibatalkan. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif akan batal demi hukum, artinya perjanjian dianggap tidak pernah ada
21
sejak semula. Akibatnya apabila salah satu pihak telah menerima sesuatu dari pihak yang lainnya maka harus dikembalikan. Keempat syarat di atas, dengan jelas telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, banyak pula pandangan para ahli hukum yang menggunakan istilah yang berlainan walaupun sebenarnya maksudnya adalah sama. Sri Soedewi mengatakan agar perjanjian itu sah harus memenuhi syarat sebagai berikut : 24 1) Harus ada persesuaian kehendak antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. 2) Harus ada kesepakatan bertindak dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian artinya cakap dalam melakukan perbuatan. 3) Harus ada atau mempunyai objek tertentu dalam perjanjian. 4) Harus mengandung causa yang diperbolehkan oleh hukum atau halal.
3. Asas-Asas Perjanjian Dalam setiap perjanjian dikenal adanya asas-asas hukum yang melekat pada setiap perbuatan suatu perjanjian. Asas hukum tidaklah berwujud peraturan secara konkrit, namun asas hukum merupakan pemikiran dasar dalam pembentukan perjanjian yang bersifat abstrak yang terdapat dalam peraturan konkrit. Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian mengenai asas-asas hukum sebagai berikut : “Asas hukum merupakan suatu pikiran dasar yang bersifat umum atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut”.25
24
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perutangan B, Yogyakarta, Fakultas Hukum UGM, hlm 18. 25 Opcit, hlm 34.
22
Asas-asas hukum yang berkaitan erat dengan perjanjian tersebut adalah : a. Asas Konsensuil Asas konsesuil yang dalam istilah latin disebut “consensus” berarti sepakat adalah asas yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Asas konsensualisme menjelaskan bahwa suatu perjanjian dianggap telah terjadi dengan adanya kata sepakat yang bebas dari para pihak yang membuatnya, sepakat dari para pihak yang dimaksud adalah mengenai isi atau pokok dari perjanjian. Ketentuan mengenai asas konsesualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian, dimana salah satu syaratnya adalah “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Ketentuan Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Kalimat dalam isi ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang berupa “yang dibuat secara sah” ditafsirkan sebagai asas konsensualisme. b. Asas Kebebasan Berkontrak Maksud dari asas kebebasan berkontrak ini adalah setiap orang bebas untuk menentukan kontrak, mengatur sendiri isi perjanjian yang akan mengikat pembuatnya. 26 Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang berkaitan dengan isi, bentuk dan jenis perjanjian. Asas kebebasan berkontrak terdapat didalam ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam isi ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata terdapat kata “semua” yang ditafsirkan sebagai asas kebebasan berkontrak. Kata “semua” tersebut mengandung pengertian bahwa : 1) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian; 26
Satrio J, 1992, Hukum Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 360.
23
2) Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3) Setiap orang bebas untuk menentukan sendiri isi dan syarat perjanjian yang dibuatnya; 4) Setiap orang bebas untuk menentukan bentuk perjanjian; 5) Setiap orang bebas untuk menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian yang dibuatnya. Bebas menurut asas kebebasan berkontrak adalah bebas dalam batasan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pembatasan kebebasan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Adanya asas kebebasan berkontrak menunjukan bahwa hukum perjanjian yang terdapat dalam buku ke III KUHPerdata menganut sistem terbuka, yaitu sistem yang memungkinkan setiap orang untuk mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang sudah ada peraturannya dalam Undangundang maupun yang belum ada peraturannya. KUHPerdata memberikan kemungkinan untuk lahirnya perjanjian jenis baru diluar perjanjian yang sudah diatur dalam buku ke III KUHPerdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.” Dianutnya sistem terbuka dalam perjanjian mengakibatkan ketentuanketentuan dari hukum perjanjian tersebut bersifat pelangkap, artinya ketentuan Pasal-pasal
yang
terdapat
dalam
buku
ke
III
KUHPerdata
dapat
dikesampingkan oleh para pihak dalam perjanjian apabila mereka sudah menentukan sendiri perjanjian diantara mereka.
24
Menurut Djaja S dalam bentuk perjanjian, secara umum mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijelaskan lebih lanjut tentang asas kebebasan berkontrak ini, yang meliputi :27 1) Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah orang tersebut membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian. 2) Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian. 3) Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian. 4) Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian. 5) Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
c. Asas Pacta Sunt Servanda (kekuatan mengikatnya perjanjian) Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berkaitan dengan akibat dari suatu perjanjian. Dalam asas ini terkandung pengertian bahwa para pihak dalam perjanjian wajib untuk mentaati serta melaksanakan isi perjanjian. Dengan adanya ketentuan asas ini, maka hakim dan pihak ketiga diluar perjanjian tersebut wajib menghormati isi perjanjian. Pada pihak ketiga tidak boleh merubah, menambah, ataupun mengurangi ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak yang membuat perjanjian. Asas pacta sunt servanda terdapat di dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah
berlaku
sebagai
undang-undang
bagi
mereka
yang
membuatnya”. kata “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dapat diartikan bahwa para pihak yang membuat suatu perjanjian secara sah tersebut dapat dikatakan telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri dan mengikat bagi mereka. Dengan kata lain, para pihak dalam perjanjian wajib untuk mentaati isi perjanjian. Maksud asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian tidak lain adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. Asas ini menyangkut akibat dari perjanjian itu yaitu : 27
DjajaS. Melialala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Perikatan, Bandung, CV. Nusantara Aulia. Hlm 97.
25
1) Dalam melaksanakan perjanjian para pihak tidak boleh menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan. 2) Apabila
pihak-pihak
yang
bersengketa/berselisih
mengenai
pelaksanaan perjanjian yang telah mereka adakan maka pedoman yang dipakai adalah perjanjian yang mereka buat tersebut. d. Asas Itikad Baik (Goeder Trouw) Asas itikad baik adalah asas yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Pengaturan asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata
yang menyebutkan bahwa
:
“suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik” Menurut Subekti, asas itikad baik dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu : 1) Itikad baik subjektif adalah itikad baik pada saat dibuatnya suatu perjanjian yang berupa kejujuran, yaitu pengira-ngiraan bahwa syaratsyarat yang diperlukan untuk mengadakan perjanjian telah dipenuhi oleh para pihak. 2) Itikad baik objektif adalah itikad baik pada saat dilaksanakannya perjanjian yang berupa kepatutan, artinya perjanjian itu harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan salah satu pihak dan pelaksanaan perjanjian harus tetap berjalan dengan tidak mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan serta harus berjalan di atas rel yang benar.28 Dalam rangka pelaksanaan itikad baik, hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai melanggar norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Hal ini berarti hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian yang menurutnya akan bertentangan dengan itikad baik.29
28
Subekti, Op-cit hlm 41.
29
Ibid.
26
e. Asas Kepribadian Asas kepribadian adalah asas yang berkaitan dengan para pihak yang terikat dalam perjanjian. Menurut asas ini apabila dua orang atau lebih membuat perjanjian maka yang terikat dalam perjanjian tersebut hanyalah mereka sendiri yang membuatnya. Dalam KUHPerdata pengaturan mengenai asas kepribadian dapat ditemukan pada Pasal 1315 dan dipertegas oleh Pasal 1340 Ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan bahwa : “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan suatu perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Ketentuan Pasal 1340 Ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 Ayat 1 KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya tidak ada seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri, sehingga apabila para pihak mengadakan perjanjian maka perjanjian tersebut hanya mengikat dan berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Segala hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut hanyalah untuk para pihak dalam perjanjian itu sendiri. 4. Unsur-Unsur Perjanjian Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak terdapat tiga macam unsur yang selalu ada dalam perjanjian. Unsur-unsur perjanjian tersebut adalah : a. Essentialia Essentialia adalah unsur pokok yang harus ada untuk terjadinya suatu perjanjian. Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah, sehingga merupakan syarat sahnya perjanjian. Syarat-syarat sah perjanjian ialah adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak, kecakapan para pihak, objek tertentu dan kausa yang halal.
27
b. Naturalia Naturlia adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian tanpa harus diperjanjikan secara khusus. Unsur ini secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam suatu perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. Contoh adanya unsur ini adalah pada perjanjian jual beli suatu barang, seorang penjual harus menjamin pembeli terhadap cacat tersembunyi.30 c. Accidentalia Accidentalia adalah unsur tambahan yang harus dimuat atau disebutkan secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan, misalnya mengenai tempat tinggal yang dipilih. Bagian ini tidak diatur oleh undangundang tetapi oleh undang-undang diperbolehkan. 5. Jenis-Jenis Perjanjian Perjanjian dapat dikelompokan menjadi beberapa kategori antara lain sebagai berikut : a. Berdasarkan Cara Terbentuknya Berdasarkan cara terbentuknya, perjanjian dapat dibedakan menjadi tiga (3) macam, yaitu : 1) Perjanjian Konsensual Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang untuk terjadinya cukup dengan adanya kata sepakat (konsensus) dari para pihak yang membuat perjanjian dan tidak memerlukan syarat-syarat lain, contohnya dari perjanjian konsensual antara lain adalah perjanjian jual beli dan sewa menyewa. 2) Perjanjian Riil Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang untuk terjadinya selain dengan adanya kata sepakat juga memerlukan adanya penyerahan 30
Soedikno Mertokusumo, Op-cit, hlm 111.
28
secara nyata atas benda atau barang yang menjadi objek perjanjian, contoh dari perjanjian riil antara lain adalah perjanjian penitipan barang. 3) Perjanjian Formil Perjanjian formil adalah suatu perjanjian yang untuk terjadinya selain dengan adanya kata sepakat juga mensyaratkan adanya formalitas tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang. Contoh perjanjian formil adalah pendirian PT (Perseroan Terbatas) yang harus dengan akta notaris. b. Berdasarkan nama dan Tempat Pengaturannya Berdasakan nama dan tempat pengaturannya maka perjanjian dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu : 1) Perjanjian Bernama (Benomde Contracten Nominaat) Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama tersendiri dan sudah diatur secara khusus dalam buku ke III KUHPerdata, dalam KUHDagang maupun dalam peraturan yang lain. Perjanjian bernama yang diatur secara khusus dalam buku ke III KUHPerdata adalah suatu perjanjian yang diatur dalam bab ke V sampai dengan bab XVIII buku ke III KUHPerdata. Perjanjian bernama yang diatur dalam KUHDagang adalah perjanjian asuransi, perseroan, pertanggungan, dan perjanjian yang berkaitan dengan surat surat berharga. Perjanjian bernama yang diatur dalam peraturan lain adalah perjanjian pengangkutan udara dan perkumpulan koperasi. 2) Perjanjian Tak Bernama (Unbenoemde Contracten Innominaat) Perjanjian
tak
bernama
adalah
perjanjian
yang
tidak
mempunyai nama tertentu dan belum diatur secara khusus dalam buku ke III KUHPerdata, KUHDagang, maupun peraturan yang lain, tetapi
29
merupakan perjanjian yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat. Perjanjian tak bernama terdiri dari dua (2) macam, yaitu : a) Perjanjian Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang tidak memiliki nama dan jumlahnya tidak terbatas dan tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, KUHDagang dan peraturan lainnya. Contoh dari perjanjian jenis baru mandiri ini adalah perjanjian kredit bank. b) Perjanjian jenis baru campuran adalah perjanjian yang mempunyai berbagai unsur dari berbagai perjanjian yang sudah mempunyai nama atau gabungan dari perjanjian-perjanjian yang sudah memiliki nama. Contoh dari perjanjian jenis baru campuran adalah perjanjian sewa beli dan perjanjian pinjam pakai. Pembedaan perjanjian menjadi perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, pedoman
yang
dapat
digunakan
dalam
menyelesaikan
perselisihan pada perjanjian bernama adalah sebagai berikut : i.
Ketentuan hukum pemaksa apabila ada.
ii.
Melihat pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak termasuk hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dan hal-hal yang dianggap secara diamdiam dimasukkan dalam perjanjian meskipun tidak dinyatakan
secara
KUHPerdata),
tegas
termasuk
(sesuai
Pasal
1347
ketentuan
khusus
yang
disebutkan dalam klausula standart. iii.
Ketentuan
khusus
yang berlaku
bagi
perjanjian
bernama. iv. v.
Ketentuan umum buku ke III bab I-IV. Kebiasaan
setempat
sebagaimana
diatur
dalam
ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang isisnya :
30
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undangundang.” vi.
Kepatutan.
c. Berdasarkan Hak dan Kewajiban Para Pihak Berdasarkan hak dan keajiban para pihak, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu : 1) Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, perjanjian timbal balik terdiri dari dua (2) macam, yaitu : a) Perjanjian timbal balik sempurna, yaitu perjanjian yang hak dan kewajibannya dari para pihak saling bertimbal balik secara sempurna, contohnya adalah perjanjian jual beli. b) Perjanjian timbal balik tidak sempurna, yaitu perjanjian dimana pada salah satu pihak timbul kewajiban pokok sedangkan pada pihak lain timbul kewajiban untuk melaksanakan sesuatu tetapi kewajiban tersebut tidak seimbang dengan kewajiban pihak lainnya, contohnya adalah perjanjian pemberian kuasa. 2) Perjanjian Sepihak Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban pada satu pihak dan memberikan hak pada pihak lainnya, contohnya adalah perjanjian hibah. d. Berdasarkan Keuntungan Yang Diperoleh Oleh Para Pihak Berdasarkan keuntungan yang diperoleh oleh para pihak, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu :
31
1) Perjanjian Cuma-Cuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, contohnya adalah perjanjian hibah. 2) Perjanjian dengan alasan hak yang membebani, adalah perjanjian yang dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lainnya, sedangkan antara prestasi dengan kontra prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum, contohnya perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli.
e. Berdasarkan tujuannya Berdasarkan tujuannya, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu : 1) Perjanjian Obligatoir Perjanjian
obligatoir
adalah
perjanjian
yang
hanya
menimbulkan kewajiban saja pada kedua belah pihak atau dengan adanya perjanjian ini baru menimbulkan perikatan saja, hak milik atas suatu benda atau barang belum beralih, contohnya adalah perjanjian sewa menyewa. 2) Perjanjian Kebendaan Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak milik, contohnya adalah perjanjian jual beli. 6. Subjek dan Objek Perjanjian a. Subjek Perjanjian Dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek, yaitu : 1) Seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu. 2) Seorang manusia atau badan hukum yang mendapat hak atas pelaksaan perjanjian itu.31 31
R. Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azaz-Azaz Hukum Perjanjian, Bandung, CV. Mandar Maju, hlm 13
32
b. Objek Perjanjian Kreditur berhak atas prestasi yang diperjanjikan, dan debitur wajib melaksanakan prestasi tersebut. Intisari atau hakekat perjanjian tiada lain dari pada prestasi itu sendiri. Jika undang-undang telah mendapatkan objek perjanjian yaitu pihak kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang melaksanakan prestasi, maka intisari dari objek perjanjian adalah prestasi itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi yang diperjanjikan itu ialah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 7. Wanprestasi Dan Akibatnya Istilah wanprestasi diambil dari bahasa (wanprestatie) yang artinya buruk (kealpaan/kelalaian)32 wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan karena kesalahan atau kelalaian debitur yang menyebabkan debitur itu berhalangan untuk melakukan atas prestasinya. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pasal 1236 KUHPerdata mengatakan bahwa, si berhutang wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkanbendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya. Bentuk atas wanprestasi ini menurut Djohari Santoso, SH dan Achmad Ali, SH ada tiga macam, yaitu :33 a. Debitur tidak bisa melakukan prestasi sama sekali. b. Melakukan prestasi tapi keliru. c. Melakukan prestasi tetapi terlambat melakukannya.
32
Subekti, Hukum Perjanjian, hlm 45.
33
Djohari Santoso, SH. Dan Achamd Ali, SH. Op-cit, hlm 57.
33
Menurut Subekti wanprestasi seorang debitur dapat berupa :34 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi. b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. d. Melakukan perjanjian yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Dalam suatu perjanjian pasti akan selalu ada prestasi dan kontra prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dalam perjanjian yang bersangkutan, dengan kata lain prestasi merupakan pelaksanaan dari hal-hal yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak tidak dapat melakukan prestasi sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian maka akan menimbulkan sengketa dalam perjanjian tersebut. Sengketa dalam suatu perjanjian tidak akan terjadi apabila masing-masing pihak melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Namun terkadang tidak semua pihak dalam perjanjian mampu melaksanakan kewajibannya baik karena kesengajaan maupun kelalaiannya. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan kesalahan atau suatu kelalaian yang berakibat tidak terlaksananya prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan, maka ia dapat digugat karena telah melakukan wanprestasi. Beberapa pakar memberikan pendapatnya mengenai pengertian wanprestasi yakni antara lain : a. Menurut Subekti, wanprestasi adalah apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya. 35 b. Menurut Elly Erawaty dan J.S. Badudu, wanprestasi adalah pengingkaran terhadap suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. Seseorang dapat dikatakan wanpestasi dalam melaksanakan suatu perjanjian apabila :36
34
Subekti, Op-cit. hlm 145.
35
Subekti, Op-cit. Hlm 45.
36
Elly Eraawaty dan Badudu, J.S, Op-cit 97.
34
1) Tidak melakukan apa yang dissanggupi akan dilakukannya. 2) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. 3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak tepat waktu. 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh. Dalam pelaksanaan perjanjian terkadang prestasi yang diperjanjikan tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya prestasi dalam sebuah perjanjian dapat terjadi karena dua (2) kemungkinan, yaitu : a. Karena kesalahan debitur sengaja maupun tidak sengaja. b. Karena keadaan memaksa (force majeur) yaitu merupakan hal-hal diluar kemampuan debitur. Wanprestasi terjadi karena adanya kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja dan bukan karena keadaan memaksa (force majeur). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan wanprestasi adalah sebagai berikut : a. Syarat Materiil, yaitu berupa kesalahan. b. Syarat Formil, yaitu berupa peringatan (somasi) yang berisi pesan dari kreditur agar debitur segera atau pada waktu tertentu yang disebutkan memenuhi prestasinya. Dalam prakteknya tidak mudah untuk dapat menetapkan seseorang telah melakukan wanprestasi. Hal ini biasanaya sering disebabkan karena tidak diperjanjikannya dengan pasti kapan salah satu pihak diharuskan untuk melakukan prestasi dalam menentukan saat terjadinya wanprestasi diperlukan adanya suatu penetapan lalai atau somatie (teguran) atau ingerbrekesteliing. Dalam Pasal 1328 KUHPerdata ditentukan tentang bagaimana caranya untuk memperingatkan debitur agar jika ia tidak memenuhi teguran ia dapat dikatakan lalai. Dalam Pasal 1328 KUHPerdata tersebut ditentukan bahwa : “Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan sebuah surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatan sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
35
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1328 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa ada tiga (3) bentuk somasi (teguran) oleh kreditur kepada debitur yang dianggap telah melakukan perbuatan wanprestasi, yaitu : a. Somasi Somasi merupakan surat perintah atau surat peringatan resmi dari hakim atau juru sita pengadilan yang biasanya berbentuk penetapan (beschikking). Berdasarkan surat perintah tersebut juru sita memberikan teguran secara lisan yang biasanya disebut exploi juru sita. b. Akta Sejenis Akta sejenis ini merupakan peringatan secara tertulis yang biasanya cukup dengan surat tercatat atau surat kawat asalkan jangan sampai mudah diingkari oleh pihak si berpihutang. Akta sejenis ini dapat berupa akta dibawah tangan atau akta sejenis. c. Tersimpul Dari Perjanjian Sendiri Maksudnya adalah sejak membuat perjanjian tersebut kreditur sudah menentukan tenggat waktu terjadinya wanprestasi. Menurut Subekti, peringatan tertulis tersebut cukup dengan catatan, surat kawat, asalakan jangan sampai diingkari oleh si debitur. Sebelum tahun 1963, suatu gugatan wanprestasi harus didahului dengan adanya somasi. Namun dengan adanya SEMA No. 3 Tahun 1963 maka gugatan wanprestasi tanpa didahului dengan adanya somasi adalah dimungkinkan. Hal ini karena telah diterimanya surat gugatan oleh tergugat maka pihak debitur (tergugat) dianggap sudah menerima surat peringatan (somasi). Dalam hal ini pihak tergugat masih mempunyai kesempatan untuk memenuhi prestasi sampai dengan hari sidang pengadilan. Somasi tidak diperlukan lagi apabila : a. Perikatan yang wujud prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu. b. Debitur mengakui bahwa ia telah melakukan kewajibannya atau ia menolak berprestasi.
36
c. Adanya ketentuan mengenai batas waktu dalam perjanjian (fataal termijn) Dalam hal debitur telah ditagih atau sudah diberi peringatan secara tegas untuk memenuhi janjinya tetapi debitur yang bersangkutan tetap tidak mau melakukan prestasi maka kepadanya dapat dikenai sanksi-sanksi sebagai berikut : a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi. Mengenai kerugian ini, Pasal 1242 KUHPerdata menentukan 3 (tiga) unsur kerugian yaitu : 1) Biaya, adalah kerugian yang berupa pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan. 2) Rugi, adalah kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta bendannya si kreditur. 3) Bunga, adalah keuntungan yang akan diperoleh apabila pihak debitur tidak lalai. Dalam rangka untuk melindungi debitur sehingga kreditur tidak sewenang-wenang dalam menuntut ganti rugi maka undang-undang memberi batasan mengenai hal-hal yang dapat dimintakan ganti rugi. Pengaturan mengenai batsan-batasan tersebut terdapat dalam Pasal 1247 dan 1248 KUHPerdata yang menentukan bahwa debitur hanya wajib untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang memenuhi dua (2) unsur, yaitu : 1) Kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya dapat diduga pada waktu perjanjian dibuat kecuali jika ada kesengajaan. Dapat diduga bukan hanya dalam hal terjadinya kerugian, akan tetapi besarnya kerugian pun harus dapat diduga. 2) Kerugian yang diderita merupakan akibat langsung dan serta merta daripada ingkar janji sehingga antara wanprestasi dan kerugian harus ada hubungan kausal. Dalam menentukan besarnya kerugian harus diperhatikan objektifitas, yaitu bahwa harus diteliti terlebih dahulu berapa kiranya jumlah kerugian seorang kreditur pada umumnya dalam keadaan yang sama seperti keadaan
37
kreditur yang bersangkutan dan besarnya keuntungan yang diperoleh kreditur disebabkan terjadinya wanprestasi. b. Pembatalan Perjanjian Mengenai
pembatan
perjanjian
tidak
diatur
tersendiri
dalam
KUHPerdata tetapi dimasukan kedalam bab mengenai perikatan bersyarat, yakni Pasal 1265-1267 bab I buku ke III KUHPerdata. Dalam hal ini pembentukan undang-undang mendasarkan pada anggapan bahwa wanprestasi merupakan syarat putusnya perjanjian. Akan tetapi meskipun demikian dalam prakteknya untuk pembatalan perjanjian harus ada keputusan hakim karena putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian bukan wanprestasi yang ada. c. Peralihan Risiko Dalam Pasal 1237 KUHPerdata ditentukan bahwa jika si berhutang lalai menyerahkannya maka semenjak kelalaianya itu maka kebendaan menjadi tanggungannya. Ketentuan ini merupakan ketentuan megenai peralihan resiko. menurut Subekti, resiko adalah : “kewajiban untuk memikul jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.37 Setiap kelalaian atau keingkaran mewajibkan si pelaku untuk mengganti kerugian serta wajib memikul resiko akibat kelalaian atau keingkarannya. d. Membayar Biaya Perkara Kalau Sampai Diperkarakan Didepan Hakim Dalam Pasal 181 Ayat 1 HIR ditentukan bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara sementara dalam Pasal 1267 KUHPerdata ditentukan bahwa pihak terhadap siapa perikatan-perikatan tidak dipenuhi dapat memilih apakah dia jika itu masih dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
37
Subekti, Op-cit, hlm 52.
38
Dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata tersebut memberikan kesempatan kepada kreditur untuk memilih tuntutan yang harus dipenuhi oleh debitur yang wanprestasi tersebut, yaitu : 1) Pemenuhan Perjanjian. 2) Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti kerugian. 3) Ganti rugi saja. 4) Pembatalan perjanjian. 5) Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Tuntutan yang harus dipenuhi oleh debitur wanprestasi diajukan ke pengadilan. Dalam hal ini debitur hanya meminta ganti rugi saja maka adalah kebebasan hakim pengadilan untuk menentukan baik perjanjian dinyatakan putus atau tetap mengikuti ketentuan berakhirnya perjanjian sebagaimana yang telah diperjanjikan Akibat dari wanpresasi :38 1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur. 2) Pembatalan perjanjian 3) Peralihan resiko 4) Membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan didepan hakim
8. Berakhirnya Suatu Perjanjian Mengenai berakhirnya suatu perjanjian itu ditentukan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian, pada umumnya yaitu apabila tujuan dari perjanjian tersebut yang telah dibuat oleh para pihak telah tercapai. Berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu :39 a. Ditentukan oleh para pihak. b. Undang-undang menentukan batas waktunya. 38
Ibid.
39
H. Mashudi., Moch Chidir Ali, Op-cit,hlm 157.
39
c. Pernyataan penghentian perjanjian. d. Karena putusan hakim. e. Tujuan telah tercapai. f. Karena persetujuan kedua belah pihak. Berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian menurut R. Setiawan adalah sebagai berikut :40 a. Ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu. b. Undang-undang yang menentukan batas waktu berlakunya perjanjian. c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. d. Pernyataan penghentian perjanjian (Opzegging), dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjianperjanjian yang bersifat sementara seperti perjanjian kerja dan sewa menyewa. e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. f. Tujuan perjanjian telah tercapai. g. Berakhir karena persetujuan para pihak (Herroeping). Berdasarkan keputusan hakim yang menyatakan bahwa sesuatu yang dapat mengakibatkan hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian apabila salah satu pihak ada yang melakukan wanprestasi hal ini tercantum dalam Pasal 1266 KUHPerdata yang berbunyi : “syarat-syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam suatu perjanjian yang timbal balik mana kala salah satu pihak tidak dapat memenuhi suatu kewajiban, dalam hal ini suatu perjanjian tidak batal demi hukum tetapi pembatalannya pada hakim”. Sedangkan menurut Hartono Hadisoeprapto berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut :41 a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. b. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian.
40 41
R. Setiawan, Op-cit, hlm 69.
Hartono Hadisoeprapto, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm 106.
40
c. Pernyataan dari pihak-pihak atau salah satu pihak untuk menghentikan perjanjian. d. Putusan hakim atau pengadilan. e. Tujuan perjanjian telah tercapai.
B. Tinjauan Umum Tentang Hutang Piutang 1. Pengertian Hutang Piutang Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang atau jasa yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur berhak untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam yang dijumpai dalam kitab Undang-Undang hukum Perdata pasal 1721 yang berbunyi: “ pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula”. Jadi hutang piutang yaitu merupakan kegiatan antara orang yang berhutang dengan orang lain/ pihak lain pemberi hutang atau disebut pelaku piutang, dimana kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan melalui suatu perjanjian atau melalui pengadilan.
Atau dengan kata lain : merupakan hubungan yang
menyangkut hukum atas dasar seseorang mengharapkan prestasi dari seorang yang lain jika perlu dengan perantara hukum.42 2. Jenis-Jenis Hutang Piutang a. Hutang jangka pendek atau kewajiban lancar 42
Sudarsono. 2005. Kamus Hukum Edisi Baru..Jakarta: Rineka Cipta.
halaman 363.
41
Hutang jangka pendek terdiri dari : 1) Utang Dagang 2) Utang Wesel 3) Pendapatan Diterima Dimuka 4) Utang Gaji 5) Utang Pajak 6) Utang Bunga
b. Hutang Jangka Panjang Yang termasuk hutang jangka panjang yaitu : 1) Hutang Obligasi 2) Hutang Wesel Jangka Panjang 3) Hutang Hipotik 4) Hutang Muka Dari Perusahaan Afiliasi 5) Hutang Kredit Bank Jangka Panjang
c. Piutang Dagang d. Wesel tagih e. Piutang Non Dagang
3. Hapusnya Penanggungan Hutang Piutang Hapusnya penanggungan hutang diatur dalam pasal 1845-1850 KUHPerdata. Di dalam pasal 1845 KUHPerdata disebutkan bahwa “Suatu perjanjian di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya”. Alasan adanya perjanjian penanggungan utang ini antara lain karena si penanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan kepentingan antara penjamin dan peminjam), misalnya si penjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham terbanyak secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan itu dan kedua perusahaan induk ikut menjamin hutang perusahaan cabang.
42
Akibat-akibat penanggungan antara kreditur dan penanggungnya. Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib membayar utang debitur pada kreditur, kecuali debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar utang debitur tersebut, maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya (Pasal 1831 KUHPerdata) Penanggungan tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya, jika : a. Dia (penanggung utang) telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual; b. Ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara tanggung menanggung, dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas utang tanggung-menanggung; c. Debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi; d. Debitur dalam keadaan pailit; dan e. Dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832KUHPerdata) Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Disamping penanggung utang juga berhak menuntut : a. Pokok dan bunga b. Penggantian biaya, kerugian, dan bunga. Disamping itu, penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatannya bahkan sebelum ia membayar utangnya : a. Bila ia digugat dimuka hakim untuk membayar. b. Bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada suatu waktu tertentu. c. Bila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannnya.
43
d. Setelah lewat waktu 10 tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat waktu tertentu. perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya, pasal ini menunjuk kepada pasal 1381, 1408, 1424, 1420, 1437, 1442, 1574, 1846, 1938, dan 1984 KUHPerdata. Didalam pasal 1381, ditentukan 10 cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpangan atau penitipan; pembaruan hutang, kompensasi hutang, pencampuran hutang, pembebasan utang, musnahnya barang terutang, kebatalan atau pembatalan, dan berlakunya syarat pembatalan. Pasal 1381 KUHPerdata, Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada sepuluh cara hapusnya perikatan yaitu : 1) Pembayaran 2) Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan. 3) Pembaharuan utang (inovatie) 4) Perjumpaan utang (kompensasi) 5) Percampuran utang. 6) Pembebasan utang. 7) Musnahnya barang yang terutang 8) Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan 9) Syarat yang membatalkan. 10) Kedaluwarsa
4. Masalah Eksekusi Jaminan Hutang Beberapa hal yang mesti dicermati dalam masalah eksekusi hutang yaitu: a. Kreditur mengeksekusi dengan cara menguasai atau memiliki barang jaminan nasabah debitur tanpa harus menjualnya kepada orang lain.
44
b. Kreditur menjual jaminan dibawah tangan langsung kepada pembeli tanpa melalui kantor lelang. c. Mengeksekusi dengan cara menjual di depan umum via kantor lelang tanpa ada campur tangan pengadilan.
5. Penyelesaian Hutang Piutang Hubungan hutang piutang dalam dunia usaha tidak luput pula dari adanya friksi, namun setiap friksi senantiasa diupayakan untuk diselesaikan melalui musyawarah dan apabila tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah maka penyelesaian melalui badan peradilan merupakan suatu upaya terakhir yang dapat ditempuh. Pengadilan niaga merupakan badan peradilan negara yang dipergunakan untuk mnyelesaikan sengketa atau para pelaku usaha khususnya masalah yang berkaitan dengan utang piutang yang bukan karena wanprestasi. Cara penyelesaian atau penagihan hutang piutang yang dibenarkan menurut hukum : a. Peneguran debitur secara baik-baik dengan lisan, baik secara musyawarah untuk mufakat ataupun mediasi penyelesaian. b. Surat somasi atau surat teguran. c. Pemberitahuan kepada keluarganya akan sanksi hutang secara perdata dan pidana jika debitur sulit ditagih. d. Memperbaharui perjanjian hutang. e. Gugatan ke pengadilan.
C. Tinjauan Umum Tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan Bagi debitur dalam memperoleh pinjaman uang disyaratkan untuk menyerahkan barang miliknya atau atas namanya, yang dipakai sebagai jaminan atau tanggungan. Maka dapat dinyatakan bahwa jaminan adalah “suatu yang diberikan
45
kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang dapat diniai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 43 Dalam hal ini, Yang dimaksud dengan jaminan ialah sesuatu yang diberikan kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.44 Terkait dengan rumusan pengertian jaminan tersebut, Rachmadi Usman Menyebutkan bahwa : “rumusan atau definisi yang tegas tentang jaminan tidak ditmukan dalam kitab Undang-undang Hukum perdata (BW).” Namun berdasarkan pendapat pakar Hukum, jaminan dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.45 Hal yang dapat digunakan untuk menentukan rumusan jaminan adalah Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang diantaranya mensyaratkan bahwa tanpa diperjanjikan pun seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi seluruh pelunasan hutangnya. Berdasarkan pengertian jaminan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama. Secara umum, kata jaminan dapat diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung kembali pembayaran suatu utang. Dengan demikian, jaminan mengandung suatu kekayaan (materiil) ataupun suatu pernyataan kesanggupan (immateriil) yang dapat dijadikan sebagai sumber pelunasan hutanghutangnya tersebut. Di dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang berbunyi : hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 43
Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hlm 50. 44 Hartono Hadisoeprapto, Op-cit, hlm 50. 45
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,Jakarta, Gramedia Pustaka, hlm 54.
46
tentang peraturan dasar Pokok-Pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang utama kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.” Maksud dari bunyi Undang-undang diatas adalah, apabila debitur cidera janji, maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan tersebut untuk melunasi utang debitur. Maksud dari jaminan yang disebut diatas adalah untuk menjaga agar debitur tidak lalai dalam membayar hutangnya kembali kepada kreditur dan selain itu juga harus meyakinkan kreditur bahwa modalnya itu pasti kembali, meskipun debitur wanprestasi sebab kreditur diberi hak untuk mengambil pelunasan terlebih dengan jalan terhadap barang jaminan dengan demikian kedudukan kreditur aman. 2. Jenis-Jenis Jaminan Menurut sistem tata hukum Indonesia jenis lembaga jaminan dapat digolongkan menurut cara terjadinya, sifatnya, objeknya dan menurut kewenangan menguasainya, sehingga dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu : 46 a. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian. Jaminan yang ditentukan undang-undang ialah jaminan yang ditunjuk oleh undang-undang tanpa adanya perjanjian para pihak. Disamping itu ada hak-hak jaminan yang cara terjadinya harus diperjanjikan terlebih dahulu. Menurut kewenangan untuk menguasainya, jaminan dapat dibedakan dengan jaminan tanpa menguasai benda dan jaminan yang dengan menguasai benda, misalnya pada gadai. Bagi kreditur penguasaan benda ini lebih aman, terutama untuk benda bergerak yang mudah dipindah tangankan dan berubah nilainnya. Untuk jaminan yang tidak menguasai benda misalnya hipotek, hal ini menguntungkan debitur karena tetap dapat memanfaatkan benda jaminan.47 b. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus. 46
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta, Liberty, hlm 43. 47 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yan, 2001, Jaminan Fiducia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 78.
47
1) Jaminan Umum Jaminan umum, ini timbul dari Undang-Undang atau jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang tanpa adanya perjanjian yang diadakan para kreditur semuanya secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang tersebut. Meskipun telah ada pada undang-undang yang bersifat memberikan jaminan bagi perutangan debitur sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUHPerdata, namun ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang bersifat peraturan yang berarti bahwa yang menjadi jaminan dalam Pasal 1131 KUHPerdata ialah semua harta benda debitur baik yang bergerak maupun benda yang sudah ada maupun yang ada di kemudian hari, yang akan dijadikan jaminan untuk segala perikatan perorangan. 2) Jaminan Khusus Jaminan khusus ini adalah jaminan yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu. Jaminan khusus ini timbul sebab adanya perjanjian yang khusus diadakan oleh kreditur dan debitur yang berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun yang bersifat perorangan sedangkan jaminan yang bersifat kebendaan atau materiil adalah perjanjian garansi dan perjanjian tanggung menanggung. Sedangkan mengenai jaminan yang brsifat perorangan atau immateriil atau jaminan yang tidak berwujud, yaitu : a) Character (sifat dan watak seseorang) Yang artinya adalah suatu kepribadian, moral dan kejujuran dari calon nasabah sehubung untuk mengetahui apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik. Dengan demikian Character merupakan salah satu faktor yang turut menentukan disetujui atau tidaknya permohonan kredit yang diajukan.
48
b) Capacity (kemampuan atau kesanggupan) Adalah kemampuan nasabah dalam mengembangkan dan mengendalikan
usahanya
serta
kesanggupan
dalam
menggunakan fasilitas kredit yang diberikan. c) Capital (modal atau kekayaan) Capital adalah usaha dari calon nasabah yang telah bersedia atau telah ada sebelum mendapatkan fasilitas permodalan tersebut akan menentukan seberapa besar fasilitas kredit yang akan diberikan sebagai tambahan modal. d) Collateral (jaminan atau agunan) Collateral adalah jaminan yang diberikan oleh calon nasabah, bahwa kreditur tidak begitu saja memberikan uang pinjamanya kepada debitur, sebelum kreditur mendapatkan kepastian hukum, bahwa yang diberikan dapat diterima kembali pada yang telah ditentukan. e) Condition of Economy (kondisi ekonomi) Dimaksud dengan kondisi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu, dimana kredit itu diberikan oleh kreditur kepada debitur. Apakah kondisi ekonomi tersebut memugkinkan kreditur mendapat keuntungan yang telah diperhitungkan dengan mempergunakan pinjaman tersebut.48 c. Jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak. Pembagian benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak itu mempunyai arti penting didalam empat hal, yaitu :49 1) Cara pembebanan atau jaminan.
48
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit, Bandung, Alumni, hlm 72.
49
Hartono Hadisoeprapto, Op-cit, hlm 96.
49
2) Cara penyerahan. 3) Dalam hal daluwarsa atau verjaring. 4) Dalam hal bezit. Dalam hal pembebanan untuk benda bergerak dilakukan dengan lembaga gadai, sedangkan untuk benda-benda yang tidak bergerak dilakukan dengan lembaga jaminan seperti hipotik. Sedangkan mengenai penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata akan tetapi pada penyerahan benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama, yaitu harus dilakukan dengan penyerahan yuridis yang bermaksud memperalihkan yang berbentuk akta otentik. Dalam hal daluwarsa, untuk benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sedangkan untuk benda tidak bergerak mengenal daluwarsa, dalam hal bezit (kedudukan berkuasa), untuk benda bergerak berlaku sebagai asas alas hak yang sempurna, sedangkan benda tetap atau tidak bergerak tidak berlaku asas demikian. d. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat peorangan Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperlihatkan. Sedangkan jaminan pada perorangan tuntutan guna memenuhi pelunasan utang yang dijamin hanya dapat dilakukan pribadi oleh kreditur sebagai piutang dengan penjamin yang mempunyai ciri dan akibat hukum yang menimbulkan hubungan langsung pada diri orang perorangan atau pihak tertentu yang memberikan penjaminan, hanya dapat dipertahankan terhadap penjamin tertentu tersebut terhadap harta kekayaan miliknya tersebut. Sifat sifat jaminan atau penggolongan macam-macam jaminan : Menurut R. Subekti, yaitu :50
50
R. Subekti, 1986, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung, Alumni, hlm 30.
50
1) Jaminan yang bersifat umum. 2) Jaminan yang bersifat khusus. 3) Jaminan yang bersifat kebendaan. 4) Jaminan yang bersifat perorangan. Dapat diketahui bahwa jaminan yang ideal adalah :51 a) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan. b) Yang tidak melemahkan potensi si pencari kredit untuk meneruskan usahanya. c) Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya kepada si pemberi kredit.
3. Sifat dan Fungsi Jaminan Sifat jaminan itu adalah accessoir yaitu suatu perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, suatu perjanjian pokok yang bertujuan untuk terbayarnya hutang debitur dan jaminan itu merupakan suatu tanggungan terhadap pemberian kredit atau pinjaman yang dianggap telah memberikan kepastian hukum bagi pemberi modal kreditur, jadi dengan demikian fungsi jaminan bersifat positif dalam melancarkan dan menanamkan pemberian kredit atau pinjaman tersebut. Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir memperoleh akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lainnya, yaitu :52 a. Jika perjanjian pokok berakhir maka perjanjian jaminan ikut berakhir. b. Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian jaminan ikut batal. c. Jika perjanjian pokok beralih karena cessi, subrogasi maka perjanjian jaminan juga ikut beralih tanpa adanya penyerahan khusus. d. Adanya tergantung pada perjanjian pokok. e. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok. Dalam prakteknya bahwa sifat-sifat dari hak-hak jaminan ada yang bersifat hak kebendaan atau yang memberikan kekuasaan langsung kepada bendanya yang
51
Ibid, hlm 29.
52
Satrio J, 1996, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 56.
51
bertujuan untuk memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutang) kepada kreditur terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya dan bersifat perorangan atau yang menimbulkan hubungan langsung antara perorangan satu dengan perorangan yang lainnya yang bertujuan memberikan verhaal kepada kreditur, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan piutangnya, adapun yang bersifat kebendaan dapat digolongkan antara hipotek, creditvertband, gadai dan fidusia. Sedangkan yang bersifat perorangan disini adalah borgtocht (perjanjian penggunaan), perutangan tanggung menanggung, garansi dan lain-lain. Mengenai jaminan yang bersifat kebendaan mempunyai ciri khas yaitu dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan alas hak yang umum maupun yang khusus, juga tehadap para kreditur maupun pihak lawannya. Hak tersebut selalu mengikuti bendanya (droit de suite ; zaaksgerolg), yang berarti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual benda dan hak eksekusi. 4. Berakhirnya Jaminan Dalam segala hal yang berhubungan dengan suatu perjanjian pasti akan berakhir walaupun dengan cara yang beraneka ragam, baik itu atas kehendak orangnya yang bersangkutan atau menurut ketentuan hukum maupun karena sebabsebab yang lainnya dan hal ini sebagai perjanjian accessoir, maka jaminan dengan sendirinya akan berakhir. Kemungkinan yang paling besar untuk berakhirnya perutangan pokok yang dijaminkan dengan benda jaminan. Sedangkan secara umum suatu jaminan itu berakhir karena sebab-sebab sebagai berikut : a. Dengan hapusnya atau musnahnya benda jaminan. b. Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang jaminan menjadi pemilik barang jaminan. c. Pembayaran. d. Penawaran pembayaran. e. Pembebasan hutang.
52
f. Musnahnya benda yang dijaminkan. g. Sepenuhnya syarat batal dalam akta perjanjian.
D. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud di dalam Undang-Undang No 5 tahun 1960 berikut “benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya. 2. Unsur-unsur Hak Tanggunan a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah. b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. c. Untuk pelunasan hutang tertentu. d. Hak preferen sama dengan kedudukan yang diutamakan. 3. Ciri-ciri Hak Tanggungan a. Memberikan kedudukan yang diutamakan. b. selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada (Droit De suit) c. Memenuhi asas, spesialitas dan publisitas dapat mengikat pihak ke tiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, kalau ia didaftarkan. 4. Objek Hak tanggungan a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak pakai baik yang berasal dari tanah hak milik maupun berasal dari hak atas tanah negara e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
53
5. Pendaftaran Hak Tanggungan Diatur dalam Pasal 13 sampai dengan 14 UU No 4 Tahun 1996 Tata caranya : a. Pendaftaran dilakukan di kantor pertanahan. b. Dilakukan 7 hari setelah ditandatangani. c. Kantor pertanahan mencatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. d. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ke 7 setelah penerimaan secara lengkap surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. e. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan. f. Kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan dengan irah demi keadilan berdasarkan Tuhan yang maha esa. 6. Hapusnya Hak Tanggungan a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan. b. Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan. c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri. d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. 7. Eksekusi hak tanggungan a. Melalui pelelangan umum sebagaimana diatur pada Pasal 6. b. Eksekusi atas titel Eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan. c. Eksekusi di bawah tangan berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.
E. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah 1. Pengertian Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Pada dasarnya sertipikat merupakan salah satu tanda bukti hak, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa : “Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat sebagai mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada didalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
54
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 19 Ayat 2 Huruf C Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1997 Pasal 1 Angka 20 Jo Pasal 19 Ayat 2 Huruf C. Selanjutnya menurut pendapat Herman Hermit yaitu : “berdasarkan uraian tersebut, sertipikat merupakan akibat hukum didaftarkannya surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat tanah merupakan salinan buku tanah dan salinan surat ukur yang kemudian dijilid menjadi satu dan diberi sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan”.53 Menrut Welly D. Permana, sertipikat hak atas tanah adalah : “sertipikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah yang berisi daftar fisik (keterangan tentang letak, batas, bidang tanah, serta bangunan yang ada diatasnya) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang di daftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain serta beban-beban lain yang berada diatasnya) merupakan tanda bukti yang kuat. Dengan memiliki sertipikat, maka kepastiaan hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah, subjek hak dan objek haknya menjadi nyata. Selain hal tersebut sertipikat memberikan berbagai manfaat, misalnya mengurangi kemungkinan sengketa dengan pihak lain, serta memperkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah yang telah bersertipkat diperlukan pihak lain untuk kepentingan pembangunan apabila dibandingkan dengan tanah yang belum bersertipikat serta mempersingkat proses peralihan serta pembebenan hak atas tanah.”54 Sertipikat tanah yang diberikan tersebut adalah akibat dari adanya perbuatan hukum pendaftaran hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 19 Ayat 1 Jo Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya diterbitkan sertipikat tanah oleh kantor pertanhan kabupaten/kota setempat. Penerbitan sertipikat pada dasarnya mempunyai tujuan agar pemegang hak 53
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Bandung, Mandar Maju, 2004, hlm 11. 54 http://permana08.blogspot.com/2013/04/sertipikat-sebagai-tanda-bukti-hak-atas.html, diakses tanggal 12 Juli 2016
55
dapat dengan mudah membuktikan hak yang dimilikinya tersebut. Terkait itu, sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria. Terkait hal ini, keberadaan sertipikat hak milik atas tanah pada dasarnya sebagai alas pemilikan hak atas tanah sebagai dasar penerbitan sertipikat oleh kantor pertanahan. 2. Fungsi Sertipikat Hak Milik Sertipikat merupakan alat pembuktian seseorang yang mempunyai hak atas tanah. Pada ketentuan Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa : “akibat hukum dari pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah itu adalah berupa diberikannya surat tanda bukti hak yang lazim disebut dengan sebutan sertipikat tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah yang bersangkutan tersebut.” Menurut Irawan Soerodjo adalah : “sertipikat tanah tersebut akan memberikan arti yang sangat besar dan peranan yang sangat penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang dapat berfungsi sebagai alat bukti atas tanah, baik apabila ada persengketaan terhadap tanah yang bersangkutan sebagaimana telah disebutkan bahwa penerbitan sertipikat mempunyai tujuan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya, sehingga sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat. Fungsi lain dari suatu sertipikat yang mempunyai manfaat materiil adalah adanya fungsi suatu sertipikat sebagai suatu jaminan hutang bank pemerintah ataupun swasta. Oleh karena itu, hendaknya setiap hak atas tanah wajib untuk mempunyai sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak.55 Berdasarkan uraian pengertian atau definisi sertipikat sebagaimana yang telah disebutkan diatas, sertipikat merupakan akibat hukum didaftarkannya surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat tanah merupakan salinan buku tanah dan salinan surat ukur yang kemudian dijilid menjadi satu dan diberikan sampul yang bentuknya telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.56 Sertipikat tanah yang diberikan tersebut adalah akibat dari adanya perbuatan hukum pendaftaran hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur
55
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Atas Tanah, Surabaya, Arkola, 2002, hlm 36.
56
Ibid, hlm 44.
56
dalam Pasal 19 Ayat 1 Jo Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya diterbitkan sertipikat tanah oleh kantor pertanahan kabupaten/kota setempat. Sehubungan dengan apa yang telah diuraikan diatas, dalam rangka memberikan kepastian hukum pemegang hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, maka dalam Pasal 32 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah juga diberikan penjelasan resmi mengenai arti dan pernyataan pengertian sebagai berikut : “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Hal ini menjelaskan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik maupun data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis yang ada di dalam surat ukur dan buku tanah yang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, dan harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan suatu perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di muka pengadilan.